INFO PROFIL

Foto saya
JENTREK ROJOIMO WONOSOBO, jawa tengah indonesia, Indonesia
Ya Allah jadikan kami manusia yang bisa keluar dari belenggu “kemunafikan”. Bimbing kami untuk tidak mengoreksi orang lain sebelum diri ini terkoreksi ya Rabb. Jadikan kami manusia yang jujur dan tidak pernah membohongi diri sendiri apalagi orang lain. kepadaMulah kami berserah ya Allah, kepadaMulah kami bermohon karena tanpa kehendakMu kami tidak bisa berbuat apa-apa Affannur Jentrek rojoimo wonosobo . lahir13 Agustus 1989

Selasa, 29 Oktober 2013



HADITS SEBAGAI SUMBER AJARAN AGAMA
Disusun Dalam Rangka Pemenuhan Tugas Mata Kuliah ‘Ulumul Hadits
Dosen Pengampu : Farah Farida,Hj.,SS.Ar.
unsiq warna2.bmp






Disusun Oleh :
Affanoer UNSIQ



FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS SAINS AL-QUR’AN
2013



KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
            Segala puji bagi Allah, yang telah memberikan milyaran ni’mat kepada hamba – hamba-Nya, diantaranya yaitu ni’mat kesehatan dan kesempatan yang diberikan kepada kami, sehingga lantaran ni’mat yang telah diberikan oleh-Nya selesailah penyusunan makalah kami ini yang berjudul “ Hadits sebagai sumber ajaran agama“.
            Sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan keharibaan kita Nabi Agung Muhammad SAW, beserta para keluarga dan sahabat beliau, dan tentunya kita berharap semoga kita tercatat sebagai umatnya yang mendapat syafa’at dari Beliau.
            Selanjutnya, dalam penyusunan makalah ini tentunya banyak sekali pihak–pihak yang terlibat, untuk itu kami haturkan terima kasih terutama kepada Dosen Pengampu yang telah sudi memberikan bimbingan kepada kami, juga kepada teman – teman yang telah memberikan sumbangsihnya kepada kami baik berupa materi, fikiran maupun motivasi.
            Pepatah lama mengatakan “ Tak Ada Gading Yang Tak Retak “ , sehingga kritik dan saran yang membangun selalu kami nantikan karena tentu dalam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan. Akhirnya, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua, amin.
















1.PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Dalam Ad-dinulIslam terdapat pokok sumber ajaran agama atau sumber hukum, yaitu Al-Qur’an. Sama seperti agama - agama samawi lain, Islam mempunyai kitab suci. Kitab suci Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah Muhammad SAW secara berangsur angsur yang di jadikan sebagai pedoman hidup umat Islam.
Pada zaman Rasulullah segala permasalahan hukum yang terjadi didalam kehidupan umat Islam diputuskan langsung sesuai dengan kaidah yang tertera dalam Al-Qur’an melalui lisan Rasulullah. Jika masalah yang timbul telah tertera didalam Al-Qur’an, maka keputusan diambil sesuai dengan yang dikatakan Al-Qur’an, dan jika tidak ditemukan didalam Al-Qur’an maka permasalahn hukum diputuskan oleh Rasulullah yang di akui kebenarannya oleh umat.
Hal ini kemudian ditiru oleh para sahabat dalam memutuskan suatu hukum, seperti sahabat Mu’adz bin Jabal ketika diutus sebagai qadhi di Yaman, ditanya Nabi Muhammad SAW tentang bagaimana dia memutuskan suatu hukum Mu’adz menjawab dengan Al-Qur’an, Nabi bertanya lagi pada Mu’adz jika tidak tertera dalam Al-Qur’an, maka Mu’adz menjawab dengan Sunnah Rasulullah, dan jika tidak ditemukan didalam sunnah, maka Mu’adz berijtihad dan memutuskan hukum tersebut dengan hasil ijtihadnya dengan pertimbangan tidak menyimpang dari Alqur’an dan Sunnah.
B . RUMUSAN MASALAH
            Dari uraian latar belakang diatas, maka dalam makalah ini dapat ditarik beberapa rumusan masalah, meliputi :
1.      Apa kedudukan Hadits dalam sistem hukum Islam ?
2.      Apa saja bukti atau penguat bahwa Hadits dapat dijadikan sumber hukum Islam ?
3.      Bagaimana fungsi dan keterkaitan Hadits dengan Al-Qur’an sebagai sumber hukum primer syari’at Islam ?


C . TUJUAN PENULISAN  
            Dalam penulisan makalah kedudukan dan fungsi hadits dalam sistem hukum Islam ini terdapat beberapa tujuan utama yaitu :
1.      Supaya dapat mengetahui kedudukan hadits dalam sistem hukum Islam
2.      Agar dapat memahami fungsi – fungsi hadits terhadap sumber utama syari’at Islam (Al-Qur’an)


BAB II
PEMBAHASAN

A . HADITS SEBAGAI SUMBER AJARAN
            Allah Azza Wa Jalla menutup risalah samawiyah dengan risalah Islam. Dia mengutus Nabi Muhammad Shallallhu Alaihi Wassalam( SAW ) sebagai Rasul yang memberikan petunjuk, menurunkan Al-Qur’an kepadanya yang merupakan mu’jizat terbesar dan hujjah teragung, dan memerintahkan kepadanya untuk meyampaikan dan menjelaskannya.Al-Qur’an merupakan dasar syari’at, karena merupakan Kalamullah Ta’ala yang mengandung mu’jizat, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril al-Amin, mutawattir lafadznya baik secara global maupun rinci, dianggap ibadah dengan membacanya dan tertulis dalam lembaran – lembaran.
            Semua yang didapat dari Nabi Muhammad SAW selain Al-Qur’an Al-Karim yang berupa penjelasan terhadap hukum – hukum syari’at, rincian terhadap apa yang ada dalam Al-Qur’an ataupun praktiknya itulah yang disebut Hadits Rawabiy atau Sunnah, ia bersumber dari wahyu Allah atau ijtihad dari Rasul SAW sendiri. Hanya saja tidak ada pengakuan bahwa beliau melakukan ijtihadyang salah. Dengan demikian rujukan sunnah adalah wahyu. Al-Qur’an adalah wahyu “al-Matluw” ( yang terbaca dalam sholat ), sedangkan sunnah adalah wahyu “Ghoir al-Matluw” ( tidak terbaca dalam sholat )[1].
            Sunnah yang dimaksud disini adalah sunnah menurut pengertian yang sama dengan Hadits menurut para muhadditsin, karena ada banyak pengertian mengenai sunnah, diantaranya yaitu pengertian sunnah menurut bahasa, ahli fiqh, ahli ushul fiqh, dan ahli hadits. Berikut uraian pengertian tersebut.Secara harfiah, sunnah merupakan kosa kata kuno yang telah dikenal dalam bahasa Arab, bermakna jalan yang menjadi kebiasaan, baik maupun buruk. Pengertian seperti ini dapat di lihat dalam hadits Rasul berikut :
مَنْ سَنَّ سَنَةً حَسَنَةً كَانَ لَهُ اَجْرُهُ وَمِثْلُ اَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ اَنْ يَنْقُصَ مِنْ اُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ سَنَة سَيِّئَةً كَانَعَلَيْهِوزره وَمِثْل وزرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْر اَنْ يَنْقص مِنْاَوْزَارِهِمْ شَيْءً ( رواه الدرامى )
Artinya : Barang siapa yang berbuat baik, maka ia mendapatkan pahalanya, dan pahala orang - orang yang melakukannya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barang siapa yang melakukan perbuatan buruk, maka ia mendapatkan dosanya, dan dosa orang – orang yang melakukannya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun. ( HR. Al-Darami )[2]
Menurut Ulama Fiqh, sunnah berarti suatu perbuatan yang dianjurkan tanpa ada keharusan, dengan gambaran siapa yang mengerjakan mendapat pahala dan bila tidak dikerjakan tidak mendapatkan dosa.
Sunnah menurut pendapat Ahli Ushul Fiqh ialah segala yang dinukilkan dari Nabi saw, baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir yang berkaitan dengan hukum.[3] Makna inilah yang diberikan kepada kata sunnah dalam sabda Nabi saw :
لَقَدْ تَرَكْتُ  فِيْكُمْ اَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا اِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَسُنَةَرَسُوْلِهِ( رواه مالك )
Artinya: ” Sungguh telah saya tinggalkan untukmu dua hal, tidaklah sekali – kali kamu sesat selama kamu berpegang teguh kepadanya, yakni Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.” ( HR. Malik )[4]
Sunnah menurut ulama ahli hadits ( Muhadditsin ) ialah segala yang di nukilkan dari Nabi saw, baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir, pengajaran, sifat, perilaku, perjalanan hidup Nabi SAW. Sebelum diangkat menjadi rasul, maupun sesudahnya. Sebagian Muhadditsin menegaskan bahwa sunnah dalam arti ini menjadi muradif ( sinonim ) bagi kata hadits.
Al-Sunnah merupakan sumber syari’at Islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Kaum muslimin mencapai kata sepakat dalam hal ini kecuali sebagian kecil para pengingkar sunnah dengan dasar lemah mereka. Ibnu Hazm berkata, ketika kami telah menjelaskan bahwa Al-qur’an merupakan sumber utama syari’at maka kami kemudian memperhatikan lebih dalam, ternyata didalamnya kami menemukan kewajiban taat terhadap apa yang diperintahkan oleh Rasul SAW. Dan firman Allah SWT dalam menerangkan sifat Nabi SAW:
وما ينطق عن الهوى . ان هو الا وحي يوحى .
Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hannyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). ( An-Najm : 3-4 )
Dengan demikian, nyatalah bahwa wahyu Allah terbagi menjadi dua bagian. Pertama, wahyu yang terbaca yang di susun secara rapi dan mengandung nilai mu’jizat. Itulah Al-Qur’an. Kedua wahyu yang marwiy (yang diriwayatkan) yang diambil tanpa susunan yang mengandung nilai mu’jizat., tidak matluw meskipun maqru’ (terbaca diluar sholat). Itulah hadits Nabi Muhammad SAW. Allah SWT berfirman :
يَا اَيُّهَاالَّذِيْنَ اَمَنُوْا اَطِيْعُوا اللهَ وَاَطِيْعُواالرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِمِنْكُمْفَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللهِ وَالَّرسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِااللهِ وَالْيَوْمِ الْأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (An-Nisa’ : 59)
Allah memerintahkan taat kepada-Nya dan kepada rasul-Nya, Dia mengulang kata kerjanya, untuk menunjukkan bahwa taat kepada rasul wajib secara mandiri tanpa harus dipaparkan dengan perintah taat kepada Al-Qur’an. Bahkan bila Rasul SAW, memerintahkan sesuatu, maka harus kita taati secara mutlak, baik perintahnya itu ada dalam Al-Qur’an maupun tidak. Karena beliau diberi al-Kitab dan yang semisal bersamanya. Namun Allah SWT tidak memerintahkan taat kepada ulul amri secara mandiri, justru dengan membuang kata kerjanya dan menjadikan perintah taat kepada mereka dalam cakupan perintah taat kepada rasul. Hal ini menunjukkan bahwa mereka ditaati karena konsekuensi taat kepada rasul. Karena siapa diantara mereka yang memerintahkan taat kepada rasul, maka harus ditaati. Sebaliknya siapa diantara mereka yang memerintahkan yang menyimpang dari apa yang dibawa oleh Rasul SAW, maka tidak perlu didengar dan ditaati.
Jadi, sunnah dipandang dari segi keberadaannya wajib untuk di amalkan dan sumbernya berasal dari wahyu sederajat dengan Al-Qur’an. Sunnah berada diposisi setelah Al-Qur’an dilihat dari segi kekuatannya, karena Al-Qur’an berkualitas qath’iy, baik secara global maupun rinci, sedangkan sunnah berkualitas qath’iy secara global saja. Disamping itu Al-Qur’an sebagai pokok dan sunnah merupakan cabang, karena posisinya menjelaskan dan menguraikan. Dan tidak diragukan bahwa pokok lebih didahulukan dari pada cabang, dan cabang menjadi penjelas dan pengurai pasti mengikuti yang dijelaskan. [5]
B.Kedudukan Hadits sebagai Sumber Hukum Islam
            Seluruh umat islam, baik yang ahli naql maupun ahli aqal telah bersepakat bahwa hadits merupakan dasar hokum Islam, yaitu merupakan salah satu dari sumber hokum Islam, dan bahwa umat Islam diwajibkan mengikuti Hadits, sebagaimana diwajibkan mengikuti Al-Qur’an. Dalam kaitannya dengan masalah ini, Muhammad Ajjaj al-Khatib mengatakan :
“Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan sumber hokum syari’at Islam yang tetap, yang orang Islam tidak mungkin mampu memahami syari’at Islam tanpa kembali kepada kedua sumber Islam tersebut. Mujtahid dan orang alimpun tidak diperbolehkan hanya mencukupkan diri dengan salah satu dari keduanya”. [6]
            Banyak Al-Qur’an atau al-Hadits yang memberikan pengertian bahwa hadits itu merupakan salah satu sumber hokum Islam, selain al-Quran,yang wajid diikuti sebagaimana mengikuti al-Qur’an, baik dalam bentuk awamir maupun nawahinya. Untuk mengetahui sejauh mana kedudukan hadits sebagai sumber hokum islam, dapat dilihat beberapa dalil, baik dalil naql maupun aqli, sebagai berikut :


  1. Dalil al-Qur’anBanyak ayat al-Qur’an yang menerangkan  tentang kewajiban mempercayai dan menenrima segala yang disampaikan oleh Rasul kepada umatnya untuk dijadikan pedoman hidup.
 Diantara ayat-ayat yang dimaksud adalah Firma Allah dalam surat Ali’ Imran ayat 179, surat An-Nisa ayat 136,surat Ali Imran ayat 32, surat an-Nisa ayat 59, surat al-Hasyr ayat 7, surat Al-Maidah ayat 92, surat an-Nur 54.
Dari beberapa ayat al-Qur’an diatas dapat ditarik gambaran bahwa setiap ada perintah taat kepada Allah SWT dalam al-Qur’an selalu diiringi dengan peringatan (ancaman)  karena durhaka kepada Allah dan sering disejajarkan dengan ancaman karena durhaka kepada Rasul SAW.
Bentuk-bentuk ayat seperti ini menunjukkan betapa pentingnya kedudukan penetapan kewajiban taat terhadap semua yang disampaikan oleh Rasul SAW. Cara-cara penyajian Allah seperti ini hanya diketahui oleh orang yang menguasai bahasa Arab dan menemani ungkapan-ungkapan serta pemikiran-pemikiran yang terkandung didalamnya, yang akan member masukan dalam memahami maksud ayat tersebut.
Dari sinilah sebetulnya dapat ditanyakan bahwa ungkapan wajib taat kepada Rasul SAW dan larangan mendurhakainya, merupakan suatu kesepakatan yang tidak diperselisihkan oleh umat islam.
  1. Dalil al-Hadits
Dalam salah satu pesan Rasulullah SAW berkenaan dengan keharusan menjadikan hadits sebagai pedoman hidup, disamping al-Qur’an sebagai pedoman utamanya, beliau bersabda : yang artinya “ aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekaian ,
[7] yang kalian tidak akan tersesat selagi kamu berpegang teguh pada keduanya , yaitu berupa kitab Allah dan Sunnah-Nya. Terdapat hadis yang berbunyi “ wajib bagi sekalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah khulafa ar-Rasyidin yang mendapat petunjuk, berpegang teguhlah kamu sekalian dengannya.”.
Hadis-hadis diatas  , menunjukkan kepada kita bahwa berpegang teguh terhadap hadis menjadikan hadis sebagai pegangan dan pedoman hidup itu adalah wajib, sebagaimana wajibnya berpegang teguh kepada al-Qu’an.
  1. Kesepakatan Ulama (ijma’)
Ummat Islam telah sepakat menjadikan hadis sebagai salah satu dasar hokum beramal karena sesuai yang dikehendaki Allah. Penerimaan mereka terhadap hadis sama seperti penerimaan mereka terhadap al-Qur’an, karena keduanya sama-sama dijadikan sebagai sumber hokum Islam7.
Kesepakatan Ummat muslimin dalam mempercayai, menerima, dan mengamalkan segala ketentuan yang terkandung didalam hadis ternyata sejak Rasulullah masih hidup, sepeninggal beliau, mulai masa khulafa ar-Rasyidin hingga masa-masa selanjutnya, dan tidak ada yang mengingkarinya. Banyak diantara mereka yang tidak hanya memahami dan mengamalkan isi kandungannya, akan tetapi bahkan mereka menghafal, memelihara, dan menyebarluaskan kepada generasi-generasi selanjutnya. Banyak peristiwa menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan hadis sebagai sumber hukum Islam, antara lain dapat diperhatikan peristiwa Ketika Abu Bakar dibaiat menjadi khalifah, ia pernah berkata “ Saya tidak meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan oleh Rasulullah, sesungguhnya saya takut tersesat bila meninggalkan perintahnya. Dan juga saat Umar berada di sepan Hajar Aswad ia berkata “Saya tahu bahwa engkau adalah batu. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah menciummu, saya tidak akan menciummu.”, dan masih banyak lagi contoh-contoh yang menunjukkan bahwa apa yang diperintahkan , dilakukan, dan diserukan, niscahya diikuti oleh ummatnya, dan apa yang dilarang selalu ditinggalkan oleh mereka.
  1. Sesuai dengan Petunjuk Akal
Kerasulan Nabi Muhammad SAW telah diakui dan dibenarkan oleh umat Islam. Di dalam mengemban missinya itu, kadang-kadang beliau hanya sekedar menyampaikan apa yang diterima oleh Allah SWT, baik isi maupun formulasinya dan kadang kala atas inisiatif sendiri dengan bimbingan ilham dari Tuhan. Namuun juga tidak jarang beliau membawakan hasil ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak ditunjuk oleh wahyu juga tidak dibimbing oleh ilham. Hasil ijtihad beliau ini tetap berlaku sampai ada nas yang menasakhakannya
Bila kerasulan Muhammad SAW telah diakui dan dibenarkan, maka sudah selayaknya segala peraturan dan perundang-undangan serta inisiatif beliau, baik yang beliau ciptakan atas bimbingan Ilham atau hasil Ijtihad semata, ditempatkan sebagai sumber hokum dan pedoman hidup. Disamping itu secara logika kepercayaan kepada Muhammad SAW sebagai Rasul mengharuskan umatnya mentaati dan mengamalkan segala ketentuan yang beliau sampaikan.
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa hadis merupakan salah satu sumber hokum dan sumber ajaran Islam yang menduduki urutan kedua setelah al-Qur’an, sedangkan bila dilihat dari segi kehujjahannya, hadis melahirkan hukum Zanny, kecuali hadis yang mutawwatir. [8]
C.FUNSI HADITS TERHADAP AL-QUR’AN
Dari sisi muatan hukumnya, keterkaitan al-sunnah atau hadits terhadap Al-Qur’an dapat dijelaskan dalam berbagai model hubungan, menurut Imam As-Syafi’i ada empat bentuk fungsi hadits dengan Al-Qur’an.
1.      As-Sunnah atau hadits sebagai pengukuh atau penguat hukum dalam Al-Qur’an
Dalam permasalahan ini, hukum – hukum yang dibawa al-sunnah bersesuaian dengan hukum-hukum yang dijelaskan dalam Al-Qur’an.
Karenanya, dalam posisi ini, hukum tersebut memiliki dua dalil landasan, Al-Qur’an menetapkan dan hadits mengukuhkan. Seperti contoh perintah sholat, zakat, puasa dan haji.
2.      Al-Sunnah sebagai interpretasi (mubayyin) Al-Qur’an
Dalam fungsi ini, hadits sebagai penjelas hukum dari Al-Qur’an yang dijelaskan secara global. Ada tiga bentuk penjelasan hadits dalam pembahasan ini.
a.       Sebagai tabyinal-mujmal, yaitu hadits menjelaskan ayat-ayat yang masih mujmal (general). Seperti ayat yang memerintahkan sholat, tetapi tidak menerangkan tata cara sholat, maka haditslah yang menerangkan itu.
صلوا كما رايتموني اصلي
Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku melakukan shalat.
b.       Sebagai takhshishal-’am, yaitu hadits mengkhususkan atau memberikan pengecualianhukum terhadap  hukum Al-Qur’an yang memiliki cakupan umum. Seperti ayat tentang waris di takhshish (dikecualikan) oleh hadits bahwa pembunuh tidak berhak mendapat warisan dari orang yang dibunuhnya.
c.     Sebagai taqyidal-muthlaq, atau pembatasan terhadap hukum Al-Qur’an yang masih bersifat muthlaq. Seperti contoh Al-Qur’an menjelaskan bahwa sanksi bagi pencuri adalah dipotong tangan (QS Al-Maidah :38 ) namun tidak dijelaskan  tangan yang mana,dan batasan pemotongannya, apakah sebatas pergelangan, lengan atau keseluruhan tangan yang dipotong. Hadits datang untuk membatasi ketentuan  tersebut, seperti yang diriwayatkan oleh Daruquthni yaitu yang dipotong adalah tangan kanan, dengan pemotongan sampai pada batas pergelangan. [9]
3.      Al-Sunnah sebagai argumen ter-naskh-nya Al-Qur’an
Ada banyak ulama’ termasuk Imam Syafi’i mengatakan bahwa hadits tidak boleh digunakan sebagai nasikh (dalil yang me-naskh) dari hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an. Mereka berargumen dengan firman Allah :
ما ننسخ من اية او ننسها نأت بخير منها او مثلها

“ Ayat mana saja yang Kami naskh-kan atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, maka kami datangkan yang lebih baik dari padanya, atau yang sebanding dengannya “. (Al-Baqarah: 106)

Dijelaskan dalam ayat diatas bahwa subjek penyalin hukum adalah Allah, dan yang dijadikan sebagai pen-naskh ayat Al-Qur’an adalah yang lebih baik atau yang sebanding dengan ayat tersebut, dan ini tidak lain adalah Al-Qur’an. Sementara hadits tidak dapat dijadikan sebagai pen-naskh karena statusnya tidak sama dengan Al-Qur’an. Meskipun demikian, hadits dapat dijadikan argumen ter-naskh-nya sebagian ayat Al-Qur’an dengan ayat yang lain. Contohnya hukum kewajiban wasiat yang terdapat dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 180 di naskh dengan ayat Al-Qur’an yang lain yaitu ayat tentang waris surat An-Nisa’ ayat 12. Sementara hadits yang berfungsi menjelaskan naskh ini adalah hadits nabi saw :
الا  لا وصية لوارث
“ Ingatlah, tidak ada wasiat bagi ahli waris ”.

4.      Al-Sunnah sebagai penetap hukum baru
Yaitu as-sunnah berfungsi sebagai penetap suatu hukum yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Artinya bahwa sunnah dapat menetapkan hukum secara mandiri.
Pendapat yang menyatakan bahwa hadits berfungsi sebagai penetap hukum baru beralasan bahwa kepatuhan terhadap Rasul adalah sebuah kewajiban. Disamping itu, sebagai utusan Allah Rasul saw. terpelihara dari kesalahan dan kemauan hawa nafsu.     
Isyarat kearah pemahaman ini juga tampak dari kisah pembekalan yang dilakukan yang dilakukan oleh nabi Muhammad kepada sahabat Mu’adz bin Jabal tatkala beliau mengutusnya sebagai Qadhi di daerah Yaman. Yaitu bahwa Muadz akan mengambil as-sunnah sebagai penetapan hukum jika tidak dijumpainya dalam Al-Qur’an.
Diantara contoh sunnah sebagai penetap hukum mandiri adalah ketentan sanksi rajam bagi pelaku zina muhshan, kaum laki-laki haram memakai emas atau sutera, dan lain lain.





BAB III
PENUTUP

A . KESIMPULAN
1.      Kedudukan Hadits dalam sistem hukum Islam adalah sebagai sumber hukum. Secara umum kedudukan Hadits dan Al-Qr’an sama, keduanya berasal dari wahyu. Namun status hadits berada setelah Al-Qur’an dilihat dari segi argumentasi, dan karena alasan-alasan lain seperti Al-Qur’an teriwayat secara mutawattir, sedangka hadits terwayat secara ahad, sehingga kekuatan hadits berada dibawah Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah pokok dan Hadits adalah penjelas, dengan begitu sudah jelas bahwa penjelas pasti mengikuti yang dijelaskan.
2.      Fungsi-fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an adalah menguatkan hukum yang sudah tertera dalam Al-Qur’an, menjelaskan ayat yang mubham, memerinci yang mujmal, membatasi yang muthlaq, mengkhususkan yang umum, menguraikan hukum-hukum dan tujuannya, serta menetapkan hukum baru yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an yang isinya selaras dengan Al-Qur’an.
B . SARAN
1.      Diharapkan kepada Dosen Pembimbing untuk dapat memberikan keterangan tambahan yang sekiranya dapat menjadikan penguat terhadap isi yang terdapat didalam makalah ini, atau petunjuk jika dalam makalah ini terdapat isi yang menyimpang dari kebenaran.
2.      Kepada para pembaca diharapkan untuk dapat mengkritisi setiap kata yang terdapat dalam pembahasan makalah ini, sehingga akan muncul pengetahuan baru yang berguna bagi kita.
3.      Disarankan kepada seluruhnya, untuk tidak mengkaji atau membahas permasalahan ini hanya sebatas pada makalah ini saja. Cari dan teliti kembali dengan tema pembahasan yang sama atau yang lebih luas, dibuku–buku yang ditulis oleh para pemikir-pemikir handal, atau kitab-kitab klasik untuk dapat memperkaya ilmu pengetahuan kita.

VI.DAFTAR PUSTAKA

  • Muhammad ‘Ajaj Alkhatib, “Ushul Al-Hadits,Pokok-Pokok Ilmu Hadits”, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007
  • Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, “Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadits”, Semarang: Pustaka Rizki Putra, cet. I, 2009
  • SUPARTA, munzir, Ilmu Hadis , Jakarta :PT Raja Grafindo Persada, 1993

  • Forum Karya Ilmiah (FKI) Purna Siswa 2004Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien PP Lirboyo Kediri, “ Kilas Balik Teoritis Islam ”, Kediri: Purna Siswa Aliyyah 2004


Tidak ada komentar:

Posting Komentar