HADITS SEBAGAI SUMBER AJARAN AGAMA
Disusun Dalam Rangka Pemenuhan Tugas Mata Kuliah
‘Ulumul Hadits
Dosen Pengampu :
Farah Farida,Hj.,SS.Ar.
Disusun Oleh :
Affanoer UNSIQ
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS SAINS AL-QUR’AN
2013
KATA
PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Segala
puji bagi Allah, yang telah memberikan milyaran ni’mat kepada hamba –
hamba-Nya, diantaranya yaitu ni’mat kesehatan dan kesempatan yang diberikan
kepada kami, sehingga lantaran ni’mat yang telah diberikan oleh-Nya selesailah
penyusunan makalah kami ini yang berjudul “
Hadits sebagai sumber ajaran agama“.
Sholawat
dan salam semoga tetap tercurahkan keharibaan kita Nabi Agung Muhammad SAW,
beserta para keluarga dan sahabat beliau, dan tentunya kita berharap semoga
kita tercatat sebagai umatnya yang mendapat syafa’at dari Beliau.
Selanjutnya,
dalam penyusunan makalah ini tentunya banyak sekali pihak–pihak yang terlibat,
untuk itu kami haturkan terima kasih terutama kepada Dosen Pengampu yang telah
sudi memberikan bimbingan kepada kami, juga kepada teman – teman yang telah
memberikan sumbangsihnya kepada kami baik berupa materi, fikiran maupun
motivasi.
Pepatah
lama mengatakan “ Tak Ada Gading Yang Tak
Retak “ , sehingga kritik dan saran yang membangun selalu kami nantikan
karena tentu dalam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan.
Akhirnya, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua, amin.
1.PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Dalam Ad-dinulIslam
terdapat pokok sumber ajaran agama atau sumber hukum, yaitu Al-Qur’an. Sama seperti agama - agama samawi lain, Islam mempunyai kitab suci. Kitab suci Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah Muhammad SAW
secara berangsur angsur yang di jadikan sebagai pedoman hidup umat Islam.
Pada zaman Rasulullah segala
permasalahan hukum yang terjadi didalam kehidupan umat Islam diputuskan
langsung sesuai dengan kaidah yang tertera dalam Al-Qur’an melalui lisan Rasulullah. Jika masalah yang
timbul telah tertera didalam Al-Qur’an, maka keputusan diambil sesuai dengan yang
dikatakan Al-Qur’an, dan jika tidak ditemukan didalam Al-Qur’an maka permasalahn hukum diputuskan oleh
Rasulullah yang di akui kebenarannya oleh umat.
Hal ini kemudian ditiru oleh
para sahabat dalam memutuskan suatu hukum, seperti sahabat Mu’adz bin Jabal
ketika diutus sebagai qadhi di Yaman, ditanya Nabi
Muhammad SAW tentang
bagaimana dia memutuskan suatu hukum Mu’adz menjawab
dengan Al-Qur’an, Nabi bertanya lagi pada Mu’adz jika tidak tertera dalam Al-Qur’an, maka Mu’adz menjawab dengan Sunnah Rasulullah, dan jika tidak ditemukan
didalam sunnah, maka
Mu’adz berijtihad dan memutuskan hukum tersebut dengan hasil ijtihadnya dengan
pertimbangan tidak menyimpang dari Alqur’an dan Sunnah.
B . RUMUSAN MASALAH
Dari
uraian latar belakang diatas, maka dalam makalah ini dapat ditarik beberapa
rumusan masalah, meliputi :
1.
Apa
kedudukan Hadits dalam sistem hukum Islam ?
2.
Apa
saja bukti atau penguat bahwa Hadits dapat dijadikan sumber hukum Islam ?
3.
Bagaimana
fungsi
dan keterkaitan Hadits dengan Al-Qur’an sebagai sumber hukum primer syari’at
Islam ?
C . TUJUAN PENULISAN
Dalam
penulisan makalah kedudukan dan fungsi hadits dalam sistem hukum Islam ini
terdapat beberapa tujuan utama yaitu :
1.
Supaya
dapat mengetahui kedudukan hadits dalam sistem hukum Islam
2.
Agar
dapat memahami fungsi – fungsi hadits terhadap sumber
utama syari’at Islam (Al-Qur’an)
BAB
II
PEMBAHASAN
A . HADITS SEBAGAI SUMBER AJARAN
Allah
Azza Wa Jalla menutup risalah samawiyah dengan risalah Islam. Dia
mengutus Nabi Muhammad Shallallhu Alaihi Wassalam( SAW ) sebagai Rasul yang
memberikan petunjuk, menurunkan Al-Qur’an kepadanya yang merupakan mu’jizat
terbesar dan hujjah teragung, dan
memerintahkan kepadanya untuk meyampaikan dan menjelaskannya.Al-Qur’an
merupakan dasar syari’at, karena merupakan Kalamullah Ta’ala yang mengandung
mu’jizat, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril al-Amin,
mutawattir lafadznya baik secara
global maupun rinci, dianggap ibadah dengan membacanya dan tertulis dalam
lembaran – lembaran.
Semua
yang didapat dari Nabi Muhammad SAW selain Al-Qur’an Al-Karim yang berupa
penjelasan terhadap hukum – hukum syari’at, rincian terhadap apa yang ada dalam
Al-Qur’an ataupun praktiknya itulah yang disebut Hadits Rawabiy atau Sunnah, ia
bersumber dari wahyu Allah atau ijtihad dari
Rasul SAW sendiri. Hanya saja tidak ada pengakuan bahwa beliau melakukan ijtihadyang
salah. Dengan demikian rujukan sunnah adalah wahyu. Al-Qur’an adalah wahyu “al-Matluw”
( yang terbaca dalam sholat ), sedangkan sunnah adalah wahyu “Ghoir al-Matluw” ( tidak terbaca dalam
sholat )[1].
Sunnah
yang dimaksud disini adalah sunnah menurut pengertian
yang sama dengan Hadits menurut para muhadditsin, karena ada banyak pengertian mengenai sunnah,
diantaranya yaitu pengertian sunnah menurut bahasa, ahli fiqh, ahli ushul fiqh,
dan ahli hadits. Berikut uraian pengertian tersebut.Secara harfiah, sunnah
merupakan kosa kata kuno yang telah dikenal dalam bahasa Arab, bermakna jalan
yang menjadi kebiasaan, baik maupun buruk. Pengertian seperti ini dapat di
lihat dalam hadits Rasul berikut :
مَنْ سَنَّ سَنَةً حَسَنَةً كَانَ لَهُ اَجْرُهُ وَمِثْلُ
اَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ اَنْ يَنْقُصَ مِنْ اُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ
سَنَّ سَنَة سَيِّئَةً كَانَعَلَيْهِوزره وَمِثْل وزرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْر
اَنْ يَنْقص مِنْاَوْزَارِهِمْ شَيْءً ( رواه الدرامى )
Artinya : Barang
siapa yang berbuat baik, maka ia mendapatkan pahalanya, dan pahala orang -
orang yang melakukannya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barang
siapa yang melakukan perbuatan buruk, maka ia mendapatkan dosanya, dan dosa
orang – orang yang melakukannya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun. (
HR. Al-Darami )[2]
Menurut Ulama Fiqh, sunnah
berarti suatu perbuatan yang dianjurkan tanpa ada keharusan, dengan gambaran
siapa yang mengerjakan mendapat pahala dan bila tidak dikerjakan tidak
mendapatkan dosa.
Sunnah menurut pendapat Ahli
Ushul Fiqh ialah segala yang dinukilkan dari Nabi saw, baik berupa perkataan,
perbuatan maupun taqrir yang
berkaitan dengan hukum.[3]
Makna inilah yang diberikan kepada kata sunnah dalam sabda Nabi saw :
لَقَدْ تَرَكْتُ فِيْكُمْ اَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا اِنْ
تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَسُنَةَرَسُوْلِهِ( رواه مالك )
Artinya: ” Sungguh
telah saya tinggalkan untukmu dua hal, tidaklah sekali – kali kamu sesat selama
kamu berpegang teguh kepadanya, yakni Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.” (
HR. Malik )[4]
Sunnah menurut ulama ahli
hadits ( Muhadditsin ) ialah segala
yang di nukilkan dari Nabi saw, baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir,
pengajaran, sifat, perilaku, perjalanan hidup Nabi SAW. Sebelum diangkat
menjadi rasul, maupun sesudahnya. Sebagian Muhadditsin
menegaskan bahwa sunnah dalam arti ini menjadi muradif ( sinonim ) bagi kata hadits.
Al-Sunnah merupakan sumber
syari’at Islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Kaum muslimin mencapai kata
sepakat dalam hal ini kecuali sebagian kecil para pengingkar sunnah dengan
dasar lemah mereka. Ibnu Hazm berkata, ketika kami telah menjelaskan bahwa
Al-qur’an merupakan sumber utama syari’at maka kami kemudian memperhatikan
lebih dalam, ternyata didalamnya kami menemukan kewajiban taat terhadap apa
yang diperintahkan oleh Rasul SAW. Dan firman Allah SWT dalam menerangkan sifat
Nabi
SAW:
وما ينطق عن الهوى . ان هو الا وحي يوحى .
“ Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan
hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hannyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya)”
. ( An-Najm :
3-4 )
Dengan demikian, nyatalah
bahwa wahyu Allah terbagi menjadi dua bagian. Pertama, wahyu yang terbaca yang di susun secara rapi dan
mengandung nilai mu’jizat. Itulah Al-Qur’an. Kedua wahyu yang marwiy (yang diriwayatkan) yang diambil
tanpa susunan yang mengandung nilai mu’jizat., tidak matluw meskipun maqru’
(terbaca diluar sholat). Itulah hadits Nabi Muhammad SAW. Allah SWT berfirman :
يَا اَيُّهَاالَّذِيْنَ
اَمَنُوْا اَطِيْعُوا اللهَ وَاَطِيْعُواالرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِمِنْكُمْفَاِنْ
تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللهِ وَالَّرسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ
بِااللهِ وَالْيَوْمِ الْأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا
“ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul(-Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir.
Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya ”. (An-Nisa’ : 59)
Allah memerintahkan taat
kepada-Nya
dan kepada rasul-Nya, Dia mengulang kata kerjanya, untuk menunjukkan
bahwa taat kepada rasul wajib secara mandiri tanpa harus dipaparkan dengan
perintah taat kepada Al-Qur’an. Bahkan bila Rasul SAW, memerintahkan sesuatu,
maka harus kita taati secara mutlak, baik perintahnya itu ada dalam Al-Qur’an
maupun tidak. Karena beliau diberi al-Kitab dan yang semisal bersamanya. Namun
Allah SWT tidak memerintahkan taat kepada ulul amri secara mandiri,
justru dengan membuang kata kerjanya dan menjadikan perintah taat kepada mereka
dalam cakupan perintah taat kepada rasul. Hal ini menunjukkan bahwa mereka
ditaati karena konsekuensi taat kepada rasul. Karena siapa diantara mereka yang
memerintahkan taat kepada rasul, maka harus ditaati. Sebaliknya siapa diantara
mereka yang memerintahkan yang menyimpang dari apa yang dibawa oleh Rasul SAW,
maka tidak perlu didengar dan ditaati.
Jadi, sunnah dipandang dari
segi keberadaannya wajib untuk di amalkan dan sumbernya berasal dari wahyu
sederajat dengan Al-Qur’an. Sunnah berada diposisi setelah Al-Qur’an dilihat dari segi kekuatannya,
karena Al-Qur’an berkualitas qath’iy, baik secara global maupun rinci,
sedangkan sunnah berkualitas qath’iy secara global saja. Disamping itu
Al-Qur’an sebagai pokok dan sunnah merupakan cabang, karena posisinya
menjelaskan dan menguraikan. Dan tidak diragukan bahwa pokok lebih didahulukan
dari pada cabang, dan cabang menjadi penjelas dan pengurai pasti mengikuti yang
dijelaskan. [5]
B.Kedudukan
Hadits sebagai Sumber Hukum Islam
Seluruh
umat islam, baik yang ahli naql maupun ahli aqal telah bersepakat bahwa hadits
merupakan dasar hokum Islam, yaitu merupakan salah satu dari sumber hokum
Islam, dan bahwa umat Islam diwajibkan mengikuti Hadits, sebagaimana diwajibkan
mengikuti Al-Qur’an. Dalam kaitannya dengan masalah ini, Muhammad Ajjaj
al-Khatib mengatakan :
“Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan sumber hokum
syari’at Islam yang tetap, yang orang Islam tidak mungkin mampu memahami
syari’at Islam tanpa kembali kepada kedua sumber Islam tersebut. Mujtahid dan
orang alimpun tidak diperbolehkan hanya mencukupkan diri dengan salah satu dari
keduanya”.
[6]
Banyak
Al-Qur’an atau al-Hadits yang memberikan pengertian bahwa hadits itu merupakan
salah satu sumber hokum Islam, selain al-Quran,yang wajid diikuti sebagaimana
mengikuti al-Qur’an, baik dalam bentuk awamir maupun nawahinya. Untuk
mengetahui sejauh mana kedudukan hadits sebagai sumber hokum islam, dapat
dilihat beberapa dalil, baik dalil naql maupun aqli, sebagai berikut :
- Dalil al-Qur’anBanyak ayat al-Qur’an yang menerangkan tentang kewajiban mempercayai dan menenrima segala yang disampaikan oleh Rasul kepada umatnya untuk dijadikan pedoman hidup.
Diantara ayat-ayat yang dimaksud adalah Firma
Allah dalam surat Ali’ Imran ayat 179, surat An-Nisa ayat 136,surat Ali Imran
ayat 32, surat an-Nisa ayat 59, surat al-Hasyr ayat 7, surat Al-Maidah ayat 92,
surat an-Nur 54.
Dari beberapa ayat al-Qur’an
diatas dapat ditarik gambaran bahwa setiap ada perintah taat kepada Allah SWT
dalam al-Qur’an selalu diiringi dengan peringatan (ancaman) karena durhaka kepada Allah dan sering
disejajarkan dengan ancaman karena durhaka kepada Rasul SAW.
Bentuk-bentuk ayat seperti
ini menunjukkan betapa pentingnya kedudukan penetapan kewajiban taat terhadap
semua yang disampaikan oleh Rasul SAW. Cara-cara penyajian Allah seperti ini
hanya diketahui oleh orang yang menguasai bahasa Arab dan menemani
ungkapan-ungkapan serta pemikiran-pemikiran yang terkandung didalamnya, yang
akan member masukan dalam memahami maksud ayat tersebut.
Dari sinilah sebetulnya
dapat ditanyakan bahwa ungkapan wajib taat kepada Rasul SAW dan larangan
mendurhakainya, merupakan suatu kesepakatan yang tidak diperselisihkan oleh
umat islam.
- Dalil al-Hadits
Dalam salah satu pesan
Rasulullah SAW berkenaan dengan keharusan menjadikan hadits sebagai pedoman
hidup, disamping al-Qur’an sebagai pedoman utamanya, beliau bersabda : yang
artinya “ aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekaian ,
[7] yang kalian tidak akan tersesat selagi kamu berpegang
teguh pada keduanya , yaitu berupa kitab Allah dan Sunnah-Nya. Terdapat hadis
yang berbunyi “ wajib bagi sekalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah
khulafa ar-Rasyidin yang mendapat petunjuk, berpegang teguhlah kamu sekalian
dengannya.”.
Hadis-hadis diatas , menunjukkan kepada kita bahwa berpegang
teguh terhadap hadis menjadikan hadis sebagai pegangan dan pedoman hidup itu adalah
wajib, sebagaimana wajibnya berpegang teguh kepada al-Qu’an.
- Kesepakatan Ulama (ijma’)
Ummat Islam
telah sepakat menjadikan hadis sebagai salah satu dasar hokum beramal karena
sesuai yang dikehendaki Allah. Penerimaan mereka terhadap hadis sama seperti
penerimaan mereka terhadap al-Qur’an, karena keduanya sama-sama dijadikan
sebagai sumber hokum Islam7.
Kesepakatan
Ummat muslimin dalam mempercayai, menerima, dan mengamalkan segala ketentuan
yang terkandung didalam hadis ternyata sejak Rasulullah masih hidup,
sepeninggal beliau, mulai masa khulafa ar-Rasyidin hingga masa-masa
selanjutnya, dan tidak ada yang mengingkarinya. Banyak diantara mereka yang
tidak hanya memahami dan mengamalkan isi kandungannya, akan tetapi bahkan
mereka menghafal, memelihara, dan menyebarluaskan kepada generasi-generasi
selanjutnya. Banyak peristiwa menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan hadis
sebagai sumber hukum Islam, antara lain dapat diperhatikan peristiwa Ketika Abu
Bakar dibaiat menjadi khalifah, ia pernah berkata “ Saya tidak meninggalkan
sedikitpun sesuatu yang diamalkan oleh Rasulullah, sesungguhnya saya takut
tersesat bila meninggalkan perintahnya. Dan juga saat Umar berada di sepan
Hajar Aswad ia berkata “Saya tahu bahwa engkau adalah batu. Seandainya saya tidak
melihat Rasulullah menciummu, saya tidak akan menciummu.”, dan masih banyak
lagi contoh-contoh yang menunjukkan bahwa apa yang diperintahkan , dilakukan,
dan diserukan, niscahya diikuti oleh ummatnya, dan apa yang dilarang selalu
ditinggalkan oleh mereka.
- Sesuai dengan Petunjuk Akal
Kerasulan
Nabi Muhammad SAW telah diakui dan dibenarkan oleh umat Islam. Di dalam
mengemban missinya itu, kadang-kadang beliau hanya sekedar menyampaikan apa
yang diterima oleh Allah SWT, baik isi maupun formulasinya dan kadang kala atas
inisiatif sendiri dengan bimbingan ilham dari Tuhan. Namuun juga tidak jarang
beliau membawakan hasil ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak
ditunjuk oleh wahyu juga tidak dibimbing oleh ilham. Hasil ijtihad beliau ini
tetap berlaku sampai ada nas yang menasakhakannya
Bila
kerasulan Muhammad SAW telah diakui dan dibenarkan, maka sudah selayaknya
segala peraturan dan perundang-undangan serta inisiatif beliau, baik yang
beliau ciptakan atas bimbingan Ilham atau hasil Ijtihad semata, ditempatkan
sebagai sumber hokum dan pedoman hidup. Disamping itu secara logika kepercayaan
kepada Muhammad SAW sebagai Rasul mengharuskan umatnya mentaati dan mengamalkan
segala ketentuan yang beliau sampaikan.
Dari uraian
diatas dapat diketahui bahwa hadis merupakan salah satu sumber hokum dan sumber
ajaran Islam yang menduduki urutan kedua setelah al-Qur’an, sedangkan bila
dilihat dari segi kehujjahannya, hadis melahirkan hukum Zanny, kecuali hadis
yang mutawwatir.
[8]
C.FUNSI
HADITS TERHADAP AL-QUR’AN
Dari
sisi muatan hukumnya, keterkaitan al-sunnah atau hadits terhadap Al-Qur’an
dapat dijelaskan dalam berbagai model hubungan, menurut Imam As-Syafi’i ada
empat bentuk fungsi hadits dengan Al-Qur’an.
1. As-Sunnah
atau hadits sebagai pengukuh atau penguat hukum dalam Al-Qur’an
Dalam permasalahan ini, hukum – hukum
yang dibawa al-sunnah bersesuaian dengan hukum-hukum yang dijelaskan dalam
Al-Qur’an.
Karenanya, dalam posisi ini, hukum
tersebut memiliki dua dalil landasan, Al-Qur’an menetapkan dan hadits
mengukuhkan. Seperti contoh perintah sholat, zakat, puasa dan haji.
2. Al-Sunnah
sebagai interpretasi (mubayyin) Al-Qur’an
Dalam fungsi ini, hadits sebagai
penjelas hukum dari Al-Qur’an yang dijelaskan secara global. Ada tiga bentuk
penjelasan hadits dalam pembahasan ini.
a. Sebagai
tabyinal-mujmal, yaitu hadits menjelaskan ayat-ayat yang masih mujmal
(general). Seperti ayat yang memerintahkan sholat, tetapi tidak menerangkan
tata cara sholat, maka haditslah yang menerangkan itu.
صلوا
كما رايتموني اصلي
Shalatlah kalian
sebagaimana kalian melihatku melakukan shalat.
b. Sebagai takhshishal-’am, yaitu hadits
mengkhususkan atau memberikan pengecualianhukum terhadap hukum Al-Qur’an yang memiliki cakupan umum.
Seperti ayat tentang waris di takhshish (dikecualikan) oleh hadits bahwa
pembunuh tidak berhak mendapat warisan dari orang yang dibunuhnya.
c.
Sebagai taqyidal-muthlaq,
atau pembatasan terhadap hukum Al-Qur’an yang masih bersifat muthlaq.
Seperti contoh Al-Qur’an menjelaskan bahwa sanksi bagi pencuri adalah dipotong
tangan (QS Al-Maidah :38 ) namun tidak dijelaskan tangan yang mana,dan batasan pemotongannya,
apakah sebatas pergelangan, lengan atau keseluruhan tangan yang dipotong.
Hadits datang untuk membatasi ketentuan
tersebut, seperti yang diriwayatkan oleh Daruquthni yaitu yang dipotong
adalah tangan kanan, dengan pemotongan sampai pada batas pergelangan. [9]
3. Al-Sunnah
sebagai argumen ter-naskh-nya Al-Qur’an
Ada banyak ulama’ termasuk Imam Syafi’i
mengatakan bahwa hadits tidak boleh digunakan sebagai nasikh (dalil yang
me-naskh) dari hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an. Mereka berargumen
dengan firman Allah :
ما
ننسخ من اية او ننسها نأت بخير منها او مثلها
“
Ayat mana saja yang Kami naskh-kan atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya,
maka kami datangkan yang lebih baik dari padanya, atau yang sebanding dengannya
“. (Al-Baqarah: 106)
Dijelaskan dalam ayat diatas bahwa
subjek penyalin hukum adalah Allah, dan yang dijadikan sebagai pen-naskh
ayat Al-Qur’an adalah yang lebih baik atau yang sebanding dengan ayat tersebut,
dan ini tidak lain adalah Al-Qur’an. Sementara hadits tidak dapat dijadikan
sebagai pen-naskh karena statusnya tidak sama dengan Al-Qur’an. Meskipun
demikian, hadits dapat dijadikan argumen ter-naskh-nya sebagian ayat
Al-Qur’an dengan ayat yang lain. Contohnya hukum kewajiban wasiat yang terdapat
dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 180 di naskh dengan ayat Al-Qur’an
yang lain yaitu ayat tentang waris surat An-Nisa’ ayat 12. Sementara hadits
yang berfungsi menjelaskan naskh ini adalah hadits nabi saw :
الا لا وصية لوارث
“
Ingatlah, tidak ada wasiat bagi ahli waris ”.
4. Al-Sunnah
sebagai penetap hukum baru
Yaitu as-sunnah berfungsi sebagai
penetap suatu hukum yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Artinya bahwa sunnah
dapat menetapkan hukum secara mandiri.
Pendapat yang menyatakan bahwa hadits
berfungsi sebagai penetap hukum baru beralasan bahwa kepatuhan terhadap Rasul
adalah sebuah kewajiban. Disamping itu, sebagai utusan Allah Rasul saw.
terpelihara dari kesalahan dan kemauan hawa nafsu.
Isyarat kearah pemahaman ini juga tampak
dari kisah pembekalan yang dilakukan yang dilakukan oleh nabi Muhammad kepada
sahabat Mu’adz bin Jabal tatkala beliau mengutusnya sebagai Qadhi di daerah
Yaman. Yaitu bahwa Muadz akan mengambil as-sunnah sebagai penetapan hukum jika
tidak dijumpainya dalam Al-Qur’an.
Diantara contoh sunnah sebagai penetap
hukum mandiri adalah ketentan sanksi rajam bagi pelaku zina muhshan, kaum
laki-laki haram memakai emas atau sutera, dan lain lain.
BAB III
PENUTUP
A
. KESIMPULAN
1. Kedudukan
Hadits dalam sistem hukum Islam adalah sebagai sumber hukum. Secara umum
kedudukan Hadits dan Al-Qr’an sama, keduanya berasal dari wahyu. Namun status
hadits berada setelah Al-Qur’an dilihat dari segi argumentasi, dan karena
alasan-alasan lain seperti Al-Qur’an teriwayat secara mutawattir,
sedangka hadits terwayat secara ahad, sehingga kekuatan hadits berada
dibawah Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah pokok dan Hadits adalah penjelas, dengan
begitu sudah jelas bahwa penjelas pasti mengikuti yang dijelaskan.
2. Fungsi-fungsi
Hadits terhadap Al-Qur’an adalah menguatkan hukum yang sudah tertera dalam
Al-Qur’an, menjelaskan ayat yang mubham, memerinci yang mujmal,
membatasi yang muthlaq, mengkhususkan yang umum, menguraikan hukum-hukum
dan tujuannya, serta menetapkan hukum baru yang tidak disebutkan dalam
Al-Qur’an yang isinya selaras dengan Al-Qur’an.
B
. SARAN
1. Diharapkan
kepada Dosen Pembimbing untuk dapat memberikan keterangan tambahan yang
sekiranya dapat menjadikan penguat terhadap isi yang terdapat didalam makalah
ini, atau petunjuk jika dalam makalah ini terdapat isi yang menyimpang dari
kebenaran.
2. Kepada
para pembaca diharapkan untuk dapat mengkritisi setiap kata yang terdapat dalam
pembahasan makalah ini, sehingga akan muncul pengetahuan baru yang berguna bagi
kita.
3. Disarankan
kepada seluruhnya, untuk tidak mengkaji atau membahas permasalahan ini hanya
sebatas pada makalah ini saja. Cari dan teliti kembali dengan tema pembahasan
yang sama atau yang lebih luas, dibuku–buku yang ditulis oleh para pemikir-pemikir
handal, atau kitab-kitab klasik untuk dapat memperkaya ilmu pengetahuan kita.
VI.DAFTAR PUSTAKA
- Muhammad ‘Ajaj Alkhatib, “Ushul Al-Hadits,Pokok-Pokok Ilmu Hadits”, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007
- Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, “Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadits”, Semarang: Pustaka Rizki Putra, cet. I, 2009
- SUPARTA, munzir, Ilmu Hadis , Jakarta :PT Raja Grafindo Persada, 1993
- Forum Karya Ilmiah (FKI) Purna Siswa 2004Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien PP Lirboyo Kediri, “ Kilas Balik Teoritis Islam ”, Kediri: Purna Siswa Aliyyah 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar