INFO PROFIL

Foto saya
JENTREK ROJOIMO WONOSOBO, jawa tengah indonesia, Indonesia
Ya Allah jadikan kami manusia yang bisa keluar dari belenggu “kemunafikan”. Bimbing kami untuk tidak mengoreksi orang lain sebelum diri ini terkoreksi ya Rabb. Jadikan kami manusia yang jujur dan tidak pernah membohongi diri sendiri apalagi orang lain. kepadaMulah kami berserah ya Allah, kepadaMulah kami bermohon karena tanpa kehendakMu kami tidak bisa berbuat apa-apa Affannur Jentrek rojoimo wonosobo . lahir13 Agustus 1989

Rabu, 01 Mei 2013

Al Qur'an dan Politik

Al Qur'an dan Politik
Affanoer
Masalah negara merupakan urusan duniawi yang bersifat umum, karena itu ia termasuk wilayah ijtihad umat Islam. Mereka harus berusaha untuk menjadikan al-Qur'ân sebagai sistem yang konkrit supaya dapat diterjemahkan dalam pemerintahan sepanjang zaman. Dalam rangka menyusun teori politik mengenai konsep negara yang ditekankan bukanlah struktur "negara Islam", melainkan substruktur dan tujuannya. Struktur negara termasuk wilayah ijtihad kaum muslimin sehingga bisa berubah. Sementara substruktur dan tujuannya tetap menyangkut prinsip-prinsip bernegara secara Islami. Namun penting untuk dicatat, bahwa al-Qur'ân mengandung nilai-nilai dan ajaran yang bersifat etis mengenai aktifitas sosial-politik umat manusia. Ajaran ini mencakup prinsip-prinsip tentang keadilan, persamaan, persaudaraan, musyawarah, dan lain-lain. Untuk itu, sepanjang negara berpegang kepada prinsip-prinsip tersebut maka pembentukan "negara Islam" dalam pengertian yang formal dan ideologis bukanlah kebutuhan yang urgen.

Pendahuluan

Kesimpulan yang terlalu gegabah jika Islam (al-Qur'ân) dikatakan agama yang hanya mengatur persoalan ritual semata. Islam adalah agama universal, agama yang membawa misi rahmatan lil âlamîn. Islam juga memberikan konsep kepada manusia mengenai persoalan yang terkait dengan urusan duniawi, seperti, bagaimana mengatur sistem perekonomian, penegakan hukum, konsep politik, dan sebagainya. Salah satu bukti tercatat dalam sejarah, ketika Nabi hijrah ke kota Madinah beliau mampu menyatukan masyarakat yang majemuk, terdiri dari berbagai agama dan peradaban yang berbeda dalam satu tatanan masyarakat madani. Dan perjanjian yang belliau deklarasikan dengan orang-orang Yahudi adalah satu cermin terbentuknya negara yang berciri demokrasi. Perjanjian itu mengandung kebijaksanaan politik Nabi untuk menciptakan kestabilan bernegara.
Politik yang dimaksud, sebagaimana ungkap Ramlan Surbakti dimaknai sebagai upaya manusia meraih kesempurnaannya atau perjalanan menuju kemaslahatan. Atau, dalam bahasa Aristoteles mengajarkan bagaimana bertindak tepat dan hidup bahagia. Dengan pemahaman ini, politik bernilai luhur, sakral dan tidak bertentangan dengan agama. Setiap manusia yang beragama niscaya berpolitik. Karena itu berpolitik merupakan sesuatu yang inheren dengan kemanusiaan.
Pemikiran politik di kalangan umat Islam, khususnya dalam sistem pergantian kepala negara (khalîfah) mencuat pada saat Nabi saw wafat. Munculnya pemikiran di bidang ini paling awal jika dibandingkan dengan pemikiran dalam bidang teologi dan hukum. Sebab, kebutuhan akan adanya seorang pemimpin untuk meneruskan misi yang dibangun Nabi sangat mendesak dan tidak bisa ditunda. Sehingga tidak mengherankan kalau masyarakat Madinah sibuk memikirkan penggantinya, dan penguburan Nabi menjadi soal kedua bagi mereka. Dalam makalah ini penulis ingin membaca dan mengkaji kembali konsep negara dalam al-Qur'ân yang diyakini sebagai kitab hudan (petunjuk) dan menaburkan kemaslahatan bagi kehidupan manusia.

Embrio Pemikiran Politik Islam

Pemikiran di bidang politik sebagai cikal bakal diskursus konsep negara baru muncul pada periode dinasti 'Abbasiyah. Karya-karya intelektual muslim (Sunni) sebelumnya lebih terfokus pada persoalan fiqh, kalam, dan hadis. Hal ini terjadi karena meskipun faktor yang menyebabkan munculnya kelompok-kelompok atau aliran-aliran dalam Islam adalah persoalan politik, tetapi wacana intelektual yang mengemuka lebih awal adalah masalah teologi yang kemudian diikuti masalah hukum. Ada dua faktor yang menyebabkan terabaikannya disiplin ilmu politik pada periode ini.
  • Pertama, meskipun paham-paham Islam lahir dari sebuah pergolakan politik, implikasi dari lahirnya kelompok politik yang ada adalah munculnya persoalan teologis. Karena persoalan ini membutuhkan pemecahan yang serius pada saat itu.
  • Kedua, hubungan intelektual dunia Islam dengan dunia luar, khususnya peradaban Yunani belum berjalan secara intens.
Namun tidak bisa disangkal walaupun diskursus konsep negara baru muncul pada periode dinasti 'Abbasiyah tetapi ketegangan dan benturan internal mengenai pengganti kedudukan Nabi sebagai pemimpin merupakan awal sumber konflik berbias politik di kalangan umat Islam. Dalam pertemuan yang berlangsung di Saqîfah Banî Sa'âdah muncul tiga ide politik, yaitu:

Kembali ke Sistem Kabilah

Setiap kabilah mengangkat pemimpin mereka sendiri. Ide ini muncul dari kalangan Banî Khazraj dan kaum separatis (riddah).

Sistem Hak Warisan

Ide ini lahir dari kalangan Banî Hâsyim berdasarkan pemikiran dan kebiasaan orang Arab selatan. Tokoh terkemuka pendukukng ide ini ialah al-Abbâs, 'Alî, dan Zubair.

Ide Persatuan Melalui Permusyawaratan

Ide ini didukung kaum muhajirin, kecuali Banî Hâsyim. Ide ini selain sesuai dengan perintah al-Qur'ân agar umat Islam tidak terpecah belah dan selalu bermusyawarah atas asas persatuan yang berkeadilan dalam memecahkan setiap persoalan.
Sebenarnya pemikiran politik Islam sejak awal sampai dengan masa Ibn Taimiyah merupakan produk teori yang lahir dari kelompok dalam tubuh umat Islam, dan secara umum merupakan tanggapan pada suasana sejarah yang spesifik. Dua dari kelompok tersebut adalah Khawârij dan Syi'ah, mereka mengajukan pandangannya tentang ciri-ciri pemerintahan Islam pada awal sejarah negara Islam dengan menghasilkan teori imâmah bagi Syi'ah yang bersifat mistis, dan kecendrungan berpikir revolusioner bagi Khawârij. Kelompok yang ketiga hadir adalah Sunni yang mengedepankan teori kekhilafahannya.
Di bawah pemerintahan 'Abbasiyah dunia ilmu pengetahuan mengalami masa keemasan, khususnya dalam dua ratus tahun pertama dari lima ratus tahun keemasan dinasti itu. Berkat kelonggaran dan bahkan dukungan dari para penguasa waktu itu di mana kegiatan para ilmuwan dari berbagai disiplin amat melonjak. Dengan demikian, perkenalan para ilmuwan Islam dengan alam pikiran Yunani makin meluas dan mendalam. Proses ini pada gilirannya menimbulkan masalah kenegaraan secara rasional dan kemudian lahirlah sejumlah pemikir Islam beserta gagasannya. Misalnya, Syihâb al-Dîn Ahmad Ibn Abî Râbi' kemudian disusul al-Farabi, al-Mâwardi, al-Ghazali, Ibn Taimiyah yang hidup setelah runtuhnya kekuasaan 'Abbasiyah di Baghdad, dan Ibn Khaldûn yang hidup pada abad XIV M. Mereka itu dapat dianggap sebagai eksponen yang mewakili pemikiran politik umat Islam pada zaman pertengahan.
Munawir Sjadzali berpendapat, terdapat dua ciri umum mengenai gagasan politik dari enam pemikir di atas.
  • Pertama, pada pendapat mereka tampak jelas adanya pengaruh alam pikiran Yunani, terutama pandangan Plato meskipun kadar pengaruh itu tidak sama antara satu pemikir dengan pemikir yang lain.
  • Kedua, selain al-Farabi, mereka mendasarkan pemikirannya atas penerimaan terhadap sistem kekuasaan yang ada pada zaman mereka masing-masing.
Jatuhnya Baghdad pada pertengahan abad XIII M yang menandai tamatnya dinasti 'Abbasiyah yang disebabkan faktor-faktor internal, yang kemudian disusul munculnya problem baru dari luar maka muncullah gerakan pembaharuan atau mungkin lebih tepat pemurnian kembali ajaran Islam dengan pengertian dasar dan sasaran yang tidak selalu sama antara satu gerakan dengan gerakan yang lain.
Juga dalam pandangan Munawir terdapat tiga hal yang melatarbelakangi pemikiran politik Islam kontemporer yang muncul setelah jatuhnya Baghdad atau pada waktu menjelang akhir abad XIX M.
  • Pertama, kemunduran dan kerapuhan dunia Islam yang disebabkan faktor-faktor internal yang berakibat munculnya gerakan pembaharuan dan pemurnian.
  • Kedua, rongrongan Barat terhadap keutuhan kekuasaan politik dan wilayah dunia Islam yang berakhir dengan dominasi atau penjajahan negara Barat atas sebagian besar wilayah dunia Islam, dengan akibat rusaknya hubungan yang selama ini baik antara dunia Islam dan Barat, dan berkembangnya di kalangan umat Islam semangat permusuhan dan sikap anti Barat.
  • Ketiga, keunggulan Barat dalam bidang ilmu, teknologi, dan organisasi.
Para pemikir politik Islam pada periode pembaharuan (purifikasi) ini dapat dikategorikan dalam tiga varian besar, yaitu:

Kelompok Konservatif

Ciri yang menonjol dari kelompok ini adalah adanya aksioma ideologis yang dibangun berdasarkan ajaran Islam bahwa, Islam adalah agama yang sempurna, lengkap, komprehensip, dan berlaku universal untuk seluruh umat manusia di semua tempat dan waktu. Tokoh kelompok ini, Sayyid Quthb, Hasan al-Bannâ, Hasan al-Turabî, dan Abul A'lâ al-Maududî.

Kelompok Modernis

Kelompok ini mengajukan upaya reformasi dalam rangka menemukan kembali rasionalisme, saintisme, dan progesivisme dalam Islam. Tokoh kelompok ini, Jamaluddîn al-Afghanî dan Muhammad 'Abduh.

Kelompok Liberal

Kelompok ini pada intinya ingin melihat perubahan radikal-fundamental dalam pola berpikir umat Islam yang dianggap stagnan dengan mengedepankan semangat dekonstruksi pemikiran Islam yang telah mapan. Tokoh kelompok ini adalah 'Ali 'Abd al-Râziq dan Thahâ Husein.

Konsep Negara dalam al-Qur'ân

Para pemikir politik Islam abad pertengahan banyak mengadopsi pikiran Plato dan Aristoteles mengenai konsep terbentuknya negara. Mereka berangkat dari asumsi dasar bahwa manusia adalah makhluk sosial. Seperti dikatakan al-Ghazalî, manusia itu tidak dapat hidup sendirian yang disebabkan oleh dua hal.
  • Pertama, kebutuhan akan keturunan demi kelangsungan hidup umat manusia, hal itu hanya mungkin melalui pergaulan antara laki-laki dan perempuan serta keluarga.
  • Kedua, saling membantu dalam penyediaan bahan makanan, pakaian, dan pendidikan anak.
Kebutuhan akan kerja sama untuk mengadakan segala yang diperlukan bersama akan berakibat timbulnya semacam pembagian tugas di antara anggota masyarakat, kemudian lahirlah kelompok petani, pekerja, dan sebagainya. Semua faktor ini memerlukan kerja sama yang baik antar sesamanya. Untuk itu diperlukan tempat tertentu, dan dari sinilah lahir suatu negara.
Dalam pandangan Ibn Taimiyah negara dan agama saling berkelindan, tanpa kekuasaan negara yang bersifat memaksa agama berada dalam bahaya. Tanpa disiplin hukum wahyu, negara pasti menjadi sebuah organisasi yang tiranik. Juga dengan Ibn Khaldûn, organisasi kemasyarakatan suatu kemestian bagi manusia. Tanpa itu eksistensi mereka tidak akan sempurna, sebagaimana kehendak Allah menjadikan mereka sebagai khalîfah-Nya untuk memakmurkan bumi.
Dalam dunia Islam, ungkap Din Syamsuddin, secara umum kita menemukan tiga bentuk paradigma tentang hubungan agama dan negara.
Paradigma pertama memecahkan masalah dikotomi dengan mengajukan konsep bersatunya agama dan negara. Agama dan negara dalam hal ini tidak dapat dipisahkan. Wilayah agama juga meliputi politik atau negara, karenanya menurut paradigma ini negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus.
Paradigma ini dianut kelompok Syi'ah, di mana pemikiran politiknya memandang bahwa negara (imâmah atau kepemimpinan) adalah lembaga keagamaan dan mempunyai fungsi kenabian. Dalam pandangannya, legitimasi keagamaan berasal dari Tuhan dan diturunkan lewat garis keturunan Nabi. Legitimasi politik harus berdasarkan legitimasi keagamaan, dan hal ini hanya dimiliki para keturunan Nabi SAW.
Berbeda dengan pemikiran politik Sunni, kelompok ini menekankan ijma' (konsesus) dan bai'ah (penbaiatan) kepada kepala negara. Sementara Syi'ah menekankan wilâyah (kecintaan dan pengabdian kepada Tuhan) dan ishmah (kesucian dari dosa) yang hanya dimiliki para keturunan Nabi yang berhak dan absah untuk menjadi kepala negara (imâm). Sebagai lembaga politik yang didasarkan atas legitimasi keagamaan dan mempunyai fungsi menyelenggarakan "kedaulatan Tuhan" dalam perspektif syi'ah, negara bersifat teokrasi.
Menurut salah seorang kelompok ini, al-Maududî (w. 1979 M), syari'at tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik (negara). Syari'at adalah skema kehidupan yang sempurna dan meliputi seluruh tatanan kemasyarakatan, tidak ada yang lebih dan tidak ada yang kurang. Namun dia menolak istilah teokrasi, dan memilih istilah teodemokrasi, karena konsepsinya memang mengandung unsur demokrasi, yaitu adanya peluang bagi rakyat untuk memilih pemimpin negara.
Paradigma kedua memandang agama dan negara berhubungan secara simbiotik, yaitu berhubungan erat secara timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini agama memerlukan negara, karena dengan negara agama dapat berkembang. Sebaliknya, negara memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral.
Al-Mâwardî (w. 1058 M) menegaskan bahwa kepemimpinan negara merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia. Pemeliharaan agama dan pengaturan dunia merupakan dua jenis aktivitas yang berbeda, namun berhubungan secara simbiotik. Keduanya merupakan dua dimensi dari misi kenabian.
Seorang pemikir lain yang juga dapat disebut sebagai pembawa pandangan simbiosa agama dan negara adalah al-Ghazalî (w. 1111 M). Konsep far'i izâdî yang menjadi dasar simbiosa agama dan negara dalam pemikirannya mempunyai akar sejarah pada pemikiran pra-Islam Iran. Konsep ini mengandung arti kualitas tertentu yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin atau kepala negara, seperti pengetahuan, keadilan, dan kearifan. Kualitas demikian diyakini bersumber pada Tuhan dan bersifat titisan.
Peradigma ketiga bersifat sekuralistik. Paradigma ini menolak baik hubungan integralistik maupun simbiotik antara agama dan negara. Dalam konteks Islam, paradigma sekuralistik menolak pendasaran agama pada negara, atau paling tidak menolak determinasi Islam akan bentuk tertentu pada negara.
Pada tahun 1925 'Ali Abdur Raziq menerbitkan risalah yang berjudul al-Islâm Wa ushûl al-Hukm, dikatakan bahwa Islam (al-Qur'ân) tidak mempunyai kaitan apapun dengan sistem pemerintahan kekhalifahan, termasuk dengan khulafâur râsyidîn bahwa aktivitas mereka bukan sebuah sistem politik keagamaan, tetapi sebuah sistem duniawi. Islam tidak menetapkan rezim pemerintahan tertentu, tidak pula mendesak kepada kaum muslimin tentang sistem pemerintahan tertentu lewat mana mereka harus diperintah, tetapi Islam telah memberikan kebebasan mutlak untuk mengorganisasi negara sesuai dengan kondisi intelektual, sosial, dan ekonomi serta mempertimbangkan perkembangan sosial dan tuntutan zaman. Bahkan ia menolak keras pendapat yang mengatakan bahwa Nabi pernah mendirikan suatu negara di Madinah. Menurutnya, Nabi adalah utusan Allah, bukan seorang kepala negara atau pemimpin politik.
Dari pandangannya dapat disimpulkan, masyarakat Islam bukanlah masyarakat politik. Akan tetapi selalu ada peluang bagi masyarakat untuk mewujudkan bentuk pemerintahan Islam yang sesuai dengan konteks budaya. Ia sebenarnya tidak bermaksud mengatakan bahwa Islam tidak menganjurkan pembentukan suatu negara. Sebaliknya, Islam memandang penting kekuasaan politik. Tetapi hal ini tidak berarti pembentukan negara merupakan salah satu ajaran dasar Islam. Dengan lain ungkapan, kekuasaan politik diperlukan umat Islam, tetapi bukan karena tuntutan agama, melainkan tuntutan situasi sosial dan politik itu sendiri.
Dalam perspektif teologis dan historis untuk membuktikan bahwa tindakan politik Nabi seperti, melakukan perang, mengumpulkan jizyah (pajak), dan bahkan jihad tidak berhubungan dan tidak merefleksikan fungsinya sebagai utusan Tuhan. Persoalan negara adalah persoalan duniawi yang telah diserahkan Tuhan kepada akal manusia untuk mengaturnya sesuai dengan arah kecendrungan akal dan pengetahuannya.
Beberapa kalangan pemikir muslim berpendapat bahwa Islam tidak meletakkan suatu pola baku tentang teori negara yang harus dijalankan umat. Seorang pemikir muslim Mesir, Muhammad 'Imarah, sebagaimana dikutip Bahtiar Effendy mengatakan, Islam sebagai agama tidak menentukan suatu sistem pemerintahan tertentu bagi kaum muslim, karena logika tentang kesesuaian agama ini untuk sepanjang masa dan tempat menuntut agar permasalahan yang selalu berubah secara evolusi diserahkan kepada akal pikiran manusia menurut kepentingan umum yang telah digariskan agama.
Pendapat di atas ada kemiripan dengan 'Abduh, menurut 'Abduh Islam tidak menetapkan suatu bentuk pemerintahan. Jika sistem khalîfah masih tetap menjadi pilihan sebagai model pemerintahan maka bentuk demikianpun harus mengikuti perkembangan masyarakat dalam kehidupan materi dan kebebasan berpikir. Ini mengandung makna, 'Abduh menghendaki suatu pemerintahan yang dinamis. Dengan demikian ia mampu mengantisipasi perkembangan zaman.
Menurut aliran pemikiran ini, istilah "daulah" yang berarti negara tidak ditemukan dalam al-Qur'ân. Meskipun terdapat berbagai ungkapan yang merujuk kepada kekuasaan politik dan otoritas, akan tetapi ungkapan tersebut hanya bersifat insidental dan tidak ada pengaruhnya terhadap mekanisme teori politik atau model tertentu dari sebuah negara.
Secara umum, polarisasi kecenderungan para pemikir politik Islam dalam memandang konsep negara dapat dikelompokkan kepada:
  1. Skripturalistik dan rasionalistik
    Kecenderungan skripturalistik menampilkan pemahaman yang bersifat tekstual dan literal, yaitu penafsiran terhadap al-Qur'ân dan Hadis yang mengandalkan pengertian bahasa. Sedangkan kecenderungan rasionalistik menampilkan penafsiran yang rasional dan kontekstual.
  2. Idealistik dan realistik
    Pendekatan pertama cenderung melakukan idealisasi terhadap sistem pemerintahan dengan menawarkan nilai-nilai Islam yang ideal. Kaum idealis cenderung menolak format kenegaraan yang ada, sementara kaum realis cenderung untuk menerimanya, karena orientasi mereka yang bersifat realistik terhadap kenyataan politik.
  3. Formalistik dan substantivistik
    Pendekatan formalistik cenderung mementingkan bentuk dari pada isi, yang pada gilirannya menampilkan konsep negara dan simbolisasi keagamaan. Sebaliknya, pendekatan substantivistik cenderung menekankan isi dari pada bentuk. Kelompok ini tidak mempersoalkan bagaimana bentuk dan format sebuah negara, tetapi lebih memusatkan perhatian pada bagaimana mengisinya dengan etika dan moralitas agama.
Sebenarnya masalah politik atau pengaturan negara termasuk urusan duniawi yang bersifat umum. Panduan al-Qur'ân juga sunnah bersifat umum. Karena itu, permasalahan politik termasuk wilayah ijtihad umat Islam. Tugas cendekiawan muslim adalah berusaha secara terus menerus untuk menjadikan al-Qur'ân sebagai sistem yang konkrit supaya dapat diterjemahkan dalam pemerintahan sepanjang zaman. Inilah yang dilakukan empat khalîfah sesudah Nabi, sehingga walaupun mereka berada dalam rangka pengamalan ajaran Islam, pengorganisasian pemerintahnya berbeda antara satu dengan lainnya.
Dalam rangka menyusun teori politik Islam mengenai konsep negara yang ditekankan bukanlah struktur "negara Islam", melainkan substruktur dan tujuannya. Sebab struktur negara akan berbeda di satu tempat dan tempat lainnya. Ia termasuk wilayah ijtihad kaum muslimin sehingga bisa berubah. Sementara substruktur dan tujuannya tetap menyangkut prinsip-prinsip bernegara secara Islami.
Namun penting untuk dicatat, bahwa al-Qur'ân mengandung nilai-nilai dan ajaran yang bersifat etis mengenai aktifitas sosial politik umat manusia. Ajaran ini mencakup prinsip-prinsip tentang keadilan, persamaan, persaudaraan, musyawarah, dan lain-lain. Untuk itu sepanjang negara berpegang kepada prinsip-prinsip tersebut maka pembentukan "negara Islam" dalam pengertian yang formal dan ideologis tidaklah begitu penting.
Ada beberapa ayat al-Qur'ân yang menggambarkan prinsip-prinsip di atas, atau secara implisit menampilkan sebagai ciri negara demokrasi di antaranya adalah:
  1. Keadilan (QS. 5:8)
    Berlaku adillah kalian karena adil itu lebih dekat kepada taqwa.
  2. Musyawarah (QS. 42:38)
    Sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka.
  3. Menegakkan kebaikan dan mencegah kemungkaran (QS. 3:110)
    Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, dan berimanlah kepada Allah.
  4. Perdamaian dan persaudaraan (QS. 49:10)
    Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqkwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.
  5. Keamanan (QS. 2:126)
    Dan ingatlah ketika Ibrahim berdo'a, Ya Tuhanku jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa.
  6. Persamaan (QS. 16:97 dan 40:40)
    Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (QS. 16:97).
Penulis berkeyakinan, apabila prinsip-prinsip di atas benar-benar ditegakkan dalam sebuah negara, tanpa melihat simbol atau bentuk legal-formal negara itu sendiri maka apa yang Allah telah lukiskan dalam al-Qur'ân surat Saba' ayat 15 akan dapat dirasakan. Firman Allah tersebut:
Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): Makanlah olehmu rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun (QS. 34:15).
Apa yang dikatakan Ibn Taimiyah, negara sebagai sesuatu yang perlu untuk menegakkan suruhan agama, tetapi eksistensinya adalah sebagai alat belaka dan bukan lembaga keagamaan itu sendiri. Jadi, kalau negara adalah alat yang perlu untuk menegakkan agama, maka manusia tentu tidak akan menggunakan alat yang sama dari suatu masa ke masa yang lain. Suatu alat dalam makna yang lazim dipahami mungkin akan lebih canggih berbanding dengan alat yang lain yang dipergunakan di masa silam meskipun keduanya dipergunakan untuk mencapai maksud yang sama. Tuhan akan melanggengkan suatu negara yang menjaga prinsip keadilan, walaupun negara tersebut secara formal bukan negara Islam. Tetapi sebaliknya, Tuhan akan menghancurkan apabila nilai-nilai tersebut dikesampingkan.

Penutup

Al-Qur'ân maupun sunnah tidak memiliki preferensi terhadap sistem politik yang mapan untuk menetukan bentuk legal-formal negara yang ideal. Islam hanya memiliki seperangkat nilai etis yang dapat dijadikan rujukan dalam penyelenggaraan negara yang sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Persoalan politik (negara) lebih merupakan urusan kreatifitas manusia, atau kerangka wilayah fiqh yang perlu dilakukan ijtihad. Sebagai wilayah fiqh maka setiap rumusan dan interpretasi yang dihasilkan tentu berbeda, karena paradigma yang digunakan pun juga berbeda.
Sepanjang negara berpegang kepada nilai-nilai yang ada dalam al-Qur'ân maka pembentukan "negara Islam" dalam pengertian yang formal dan ideologis tidaklah begitu penting. Yang penting adalah substansinya, artinya nilai-nilai al-Qur'ân seperti, musyawarah (syûrâ), keadilan ('adâlah), persamaan (musâwah), hak-hak asasi manusia (huqûq al-adamî), perdamaian (shalâh), keamanan (aman) dan lain-lain bisa direalisasikan dalam konteks bernegara. Sehingga pada akhirnya baldatun toyyibatun wa robbun ghafur bukan hanya sekedar ide dan cita-cita, tetapi sebuah realita yang bisa dirasakan.

Buku Bacaan

'Imârah, Muhammad,
al-Islâm Wa Ushûl al-Hukm Lî 'Ali 'Abdur Râziq (beirut: Dâr al-Fikr, 1972)
Al-Qur'an al-Karim,
terj. Departemen Agama, RI, 2000
Effendy, Bahtiar,
Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998)
Jindan, Khalid Ibrahim,
Teori Politik Islam Telaah Kritis Ibn Taimiyah Tentang Pemerintahan Islam, ter. Masrohin (Surabaya: Risalah Gusti, 1995)
Khan, Qamaruddin,
Political Concepts in the Qur'an (Lahore: Islamic Book Foundation, 1982)
______________,
Pemikiran politik Ibn Taimiyah, terj. Anas Mahyudin (Bandung: Pustaka, 1995)
Madjid, Nurcholis,
Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan kemodernan (Jakarta: Paramadina, 1992)
Mahendra, Yusril Ihza,
"Islamika Jurnal Dialog Pemikiran Islam" (kerja sama Mizan dan Missi, Januari-Maret 1994), No. 3.
Masdar, Umaruddin,
Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais tentang Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999)
Nasution, Harun,
Teologi Islam, Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa, Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986)
Pulungan, J. Suyuthi,
Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995)
Rahman, Fazlur,
Islam (New Tork: The Chicago University Press, 1966)
Shiddiqi, Nourouzzaman,
Jeram-Jeram Peradaban Muslim (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1996)
Sjadzali, Munawir,
Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta: UI Press, 1991)
Surbakti, Ramlan,
Memahami Ilmu Politik (Jakarta: Grafindo, 1992), 2.
Syamsuddin, M. Din,
"Usaha Pencarian konsep Negara dalam sejarah Pemikiran Politik Islam", ed. Abu Zahra dalam Politik Demi Tuhan (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999)
Thaba, Abdul Azîz,
Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru (Jakarta: Gema Insani Press, 1996)

Al Qur'an dan Politik

Wawasan Al-Qur'an

AFfanoer Wonosobo
 

POLITIK                                                  (1/2)

Kata politik pada mulanya terambil dari bahasa Yunani dan atau
Latin  politicos  atau  politõcus  yang  berarti  relating  to
citizen. Keduanya berasal dari kata polis yang berarti kota.

Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata politik  sebagai
"segala   urusan   dan   tindakan   (kebijakan,   siasat,  dan
sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap  negara
lain."  Juga  dalam  arti  "kebijakan,  cara  bertindak (dalam
menghadapi atau menangani satu masalah)."

Dalam kamus-kamus bahasa Arab modern,  kata  politik  biasanya
diterjemahkan dengan kata siyasah. Kata ini terambil dari akar
kata   sasa-yasusu    yang    biasa    diartikan    mengemudi,
mengendalikan,  mengatur,  dan sebagainya. Dari akar kata yang
sama ditemukan kata sus yang berarti penuh kuman,  kutu,  atau
rusak.

Dalam  Al-Quran  tidak ditemukan kata yang terbentuk dari akar
kata sasa-yasusu, namun ini bukan berarti bahwa Al-Quran tidak
menguraikan soal politik.

Sekian  banyak ulama Al-Quran yang menyusun karya ilmiah dalam
bidang politik dengan menggunakan  Al-Quran  dan  sunnah  Nabi
sebagai  rujukan.  Bahkan  Ibnu  Taimiyah  (1263-1328) menamai
salah satu karya  ilmiahnya  dengan  As-siyasah  Asy-Syar'iyah
(Politik Keagamaan).

Uraian   Al-Quran   tentang   politik  secara  sepintas  dapat
ditemukan pada ayat-ayat yang berakar kata hukm. Kata ini pada
mulanya   berarti  "menghalangi  atau  melarang  dalam  rangka
perbaikan". Dari akar kata yang  sama  terbentuk  kata  hikmah
yang  pada  mulanya  berarti kendali. Makna ini sejalan dengan
asal  makna  kata  sasa-yasusu-sais  siyasat,   yang   berarti
mengemudi, mengendalikan, pengendali, dan cara pengendalian.

Hukm  dalam  bahasa Arab tidak selalu sama artinya dengan kata
"hukum" dalam bahasa  Indonesia  yang  oleh  kamus  dinyatakan
antara  lain  berarti  "putusan".  Dalam  bahasa Arab kata ini
berbentuk kata jadian, yang bisa  mengandung  berbagai  makna,
bukan  hanya  bisa  digunakan  dalam  arti "pelaku hukum" atau
diperlakukan atasnya  hukum,  tetapi  juga  ia  dapat  berarti
perbuatan  dan  sifat.  Sebagai  "perbuatan" kata hukm berarti
membuat atau  menjalankan  putusan,  dan  sebagai  sifat  yang
menunjuk  kepada  sesuatu  yang diputuskan. Kata tersebut jika
dipahami sebagai "membuat atau  menjalankan  keputusan",  maka
tentu   pembuatan   dan  upaya  menjalankan  itu,  baru  dapat
tergambar jika ada sekelompok yang terhadapnya  berlaku  hukum
tersebut. Ini menghasilkan upaya politik.

Kata  siyasat sebagaimana dikemukakan di atas diartikan dengan
politik dan juga sebagaimana terbaca, sama dengan kata hikmat.

Di sisi lain terdapat persamaan makna antara  pengertian  kata
hikmat dan politik. Sementara ulama mengartikan hikmat sebagai
kebijaksanaan, atau kemampuan menangani satu masalah  sehingga
mendatangkan  manfaat  atau  menghindarkan mudarat. Pengertian
ini sejalan dengan makna kedua yang  dikemukakan  Kamus  Besar
Bahasa  Indonesia tentang arti politik, sebagaimana dikutip di
atas.

Dalam  Al-Quran  ditemukan  dua  puluh   kali   kata   hikmah,
kesemuanya  dalam  konteks  pujian.  Salah  satu  di antaranya
adalah surat Al-Baqarah (2): 269:

     Siapa yang dianugerahi hikmah, maka dia telah
     dianugerahi kebajikan yang banyak.

WAWASAN POLITIK DALAM AL-QURAN

Dalam Al-Quran ditemukan sekian  banyak  ayat  yang  berbicara
tentang   hukm   (Arab).   Pengamatan   sepintas,  boleh  jadi
mengantarkan orang yang berkata, bahwa ada ayat Al-Quran  yang
secara  tegas mengkhususkannya hanya kepada dan bersumber dari
Allah yakni ayat yang menyatakan,

     Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah (QS Al-An'am
     [6]: 57)

Kelompok Khawarij yang tidak menyetujui kebiiaksanaan Khalifah
keempat  Ali  bin  Abi  Thalib  pernah  mengangkat slogan yang
bunyinya sama dengan redaksi penggalan ayat  tersebut,  tetapi
ditanggapi oleh Ali r.a. dengan berkata,

     Kalimat yang benar, tetapi yang dimaksudkan adalah
     batil.

Memang  ada  empat  ayat  Al-Quran  yang  menggunakan  redaksi
tersebut, tetapi ada dua hal yang  harus  digarisbawahi  dalam
hubungan ini.

Pertama,   keempat  ayat  yang  menggunakan  redaksi  tersebut
dikemukakan  dalam  konteks  tertentu.  Perhatikan   ayat-ayat
berikut:

     Katakanlah, "Sesungguhnya aku dilarang menyembah
     apa-apa yang kamu sembah selain Allah". Katakanlah,
     "Aku tidak akan mengikuti hawa nafsumu. Sungguh
     tersesatlah aku jika berbuat demikian dan tidaklah
     (pula) aku termasuk orang-orang yang mendapat
     petunjuk". Katakanlah, "Sesungguhnya aku berada di
     atas bukti yang nyata (Al-Quran). Bukanlah wewenangku
     untuk menurunkan azab yang kamu tuntut disegerakan
     kedatangannya. Menetapkan hukum hanyalah hak Allah.
     Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi
     Keputusan yang baik" (QS Al-An'am [6]: 56-57).

Ayat  ini seperti terbaca berbicara dalam konteks ibadah serta
keputusan  menjatuhkan  sanksi  hukum  yang  berkaitan  dengan
wewenang Allah.

Dalam  surat  Yusuf  (12):  40,  dan  67  redaksi  serupa juga
ditemukan Ayat 40 berbicara  dalam  konteks  mengesakan  Allah
dalam ibadah:

     Menetapkan hukum hanyalah hak Allah, Dia
     memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia.

Sedangkan  ayat  67  berbicara  tentang kewajiban berusaha dan
keterlibatan takdir Allah.

     Wahai anak-anakku, jangan masuk dalam satu pintu
     gerbang, tetapi masuklah dan pintu gerbang yang
     berlain-lainan. Namun demikian aku tidak dapat
     melepaskan kamu barang sedikit pun dari takdir Allah.
     Keputusan menetapkan sesuatu hanyalah hak Allah
     Kepada-Nya aku berserah diri dan hendaklah kepada-Nya
     saja orang-orang yang bertawakal berserah diri.

Ayat keempat dan terakhir  menggunakan  redaksi  yang  sedikit
berbeda, yang terdapat dalam surat Al-An'am (6): 62,

     Kemudian (setelah kematian) mereka dikembalikan
     kepada (putusan,) A11ah, Penguasa mereka yang
     sebenarnya. Ketahuilah bahwa segala hukum (pada hari
     itu) hanya milik-Nya saja. Dialah pembuat perhitungan
     yang paling cepat.

Sebagaimana terbaca,  ayat  ini  berbicara  tentang  ketetapan
hukum yang sepenuhnya berada di tangan Allah sendiri pada hari
kiamat.

Di sisi lain, ditemukan sekian banyak  ayat  yang  menisbahkan
hukum  kepada  manusia,  baik  dalam kedudukannya sebagai nabi
maupun manusia biasa.  Perhatikan  firman  Allah  dalam  Surat
Al-Baqarah  (2):  213  yang  berbicara  tentang diutusnya para
nabi, dan diturunkannya kitab suci kepada mereka dengan tujuan
--menurut redaksi Al-Quran:

     Agar masing-masing Nabi memberi putusan tentang
     perselisihan antar manusia.

Di  samping  perintah kepada Nabi-nabi, ada juga perintah yang
ditujukan kepada seluruh manusia yang berbunyi:

     Dan apabita kamu berhukum (menjatuhkan putusan) di
     antara manusia, maka hendaklah kamu memutuskan dengan
     adil (QS Al-Nisa' [4]: 58).

Kedua, kalaupun ayat-ayat yang  berbicara  tentang  kekhususan
Allah  dalam  menetapkan  hukum  atau  kebijaksanaan, dipahami
terlepas dari konteksnya, maka  kekhususan  tersebut  bersifat
relatif,  atau apa yang diistilahkan oleh ulama-ulama Al-Quran
dengan  hashr   idhafi.   Dengan   memperhatikan   keseluruhan
ayat-ayat yang berbicara tentang pengembalian keputusan, dapat
disimpulkan bahwa Allah telah memberi wewenang kepada  manusia
untuk  menetapkan  kebijaksanaan  atas  dasar  pelimpahan dari
Allah Swt., dan karena  itu  manusia  yang  baik  adalah  yang
memperhatikan kehendak pemberi wewenang itu.

KEKUASAAN POLITIK

Allah Swt. adalah pemilik segala sesuatu,

     Allah adalah pemilik kerajaan langit dan bumi serta
     apa yang terdapat antara keduanya (QS Al-Ma-idah [5]:
     18).

Demikian satu dan sekian banyak ayat Al-Quran  yang  berbicara
tentang kekuasaan Allah yang meliputi segala sesuatu.

Benar, kita juga membaca,

     Pemilik hari kebangkitan (QS Al-Fatihah [1]: 4).

Ayat ini boleh jadi mengantar seseorang  untuk  menduga  bahwa
Dia bukan pemilik hari-hari duniawi, namun ini tidaklah benar.
Ayat   Al-Fatihah   ini,   menekankan   bahwa   kepemilikannya
menyangkut  hari  kemudian  adalah  mutlak  serta  amat nyata,
sehingga --ketika itu--  jangankan  bertindak,  berbicara  pun
hanya berbisik:

     Dan rendahkanlah semua suara kepada Tuhan Yang Maha
     pemurah sehingga kamu tidak mendengar kecuali bisikan
     (QS Thaha [20]: 108).

Itu pun harus dengan seizin-Nya, jangankan  manusia,  malaikat
pun  demikian,  seperti  firman-Nya dalam surat Al-Naba' (78):
38.

     Mereka tidak bercakap kecuali seizin Tuhan Yang Maha
     Pemurah dan perkataan mereka benar (QS Al-Naba' [78]:
     38).

Adapun di dunia, maka  di  samping  Dia  melimpahkan  sebagian
kekuasaan-Nya  kepada  makhluk, juga karena kekuasaan tersebut
tidak sejenis di hari kemudian. Bukankah masih ada manusia  di
dunia   ini   yang   tidak   mengakui  kekuasaan  Allah  dalam
perwujudan-Nya?

Dalam konteks kekuasaan politik, Al-Quran  memerintahkan  Nabi
Muhammad Saw. untuk menyampaikan pernyataan tegas berikut:

     Katakanlah, "Wahai Tuhan pemilik kekuasaan, engkau
     anugerahkan kekuasaan bagi siapa yang Engkau
     kehendaki dan mencabut kekuasaan dari siapa yang
     Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa yang Engkau
     kehendaki, dan Engkau hinakan siapa yang Engkau
     kehendaki, dalam tangan-Mu segala kebaikkan,
     sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu."
     (QS Ali Imran [3]: 26).

Dalam konteks ini, Rasul Saw. setiap habis shalat membaca doa,
yang hingga kini masih populer di kalangan umat Islam:

Namun  demikian,  seperti  tersurat  dalam ayat di atas, Allah
Swt. menganugerahkan kepada manusia sebagian kekuasaan itu. Di
antara  mereka  ada yang berhasil melaksanakan tugasnya dengan
baik karena mengikuti prinsip-prinsip  kekuasaan  politik  dan
ada pula yang gagal.

Paling  tidak,  dari dua istilah Al-Quran kita dapat menjumpai
uraian tentang kekuasaan politik, serta tugas yang  dibebankan
Allah  kepada manusia. Kedua istilah tersebut adalah istikhlaf
dan isti'mar.

a. Istikhlaf

Dalam surat Al-Baqarah (52): 30 dinyatakan

     Sesungguhnya Aku (Allah) akan mengangkat di bumi
     khalifah.

Kata khalifah dalam bentuk  tunggal  terulang  dalam  Al-Quran
sebanyak  dua  kali,  yakni ayat di atas, dan surat Shad (38):
26:

     Wahai Daud Kami telah menjadikan engkau khalifah di
     bumi.

Bentuk jamak dari kata tersebut ada  dua  macam  khulafa'  dan
khalaif.   Masing-masing   mempunyai   makna   sesuai   dengan
konteksnya.

Seperti terbaca di  atas,  ayat-ayat  yang  berbicara  tentang
pengangkatan  khalifah  dalam  Al-Quran  ditujukan kepada Nabi
Adam dan Nabi Daud. Khalifah pertama  adalah  manusia  pertama
(Adam)  dan  ketika  itu belum ada masyarakat manusia, berbeda
dengan keadaan pada masa Nabi Daud.  Beliau  menjadi  khalifah
setelah  berhasil  membunuh  Jalut.  Al-Quran  dalam  hal  ini
menginformasikan bahwa,

     Dan Daud membunuh Jalut. Allah memberinya kekuasaan
     atas kerajaan, dan hikmah serta mengajarkan apa yang
     dikehendaki-Nya (QS Al-Baqarah [2]: 251].

Ayat ini menunjukkan bahwa Daud memperoleh kekuasann  tertentu
dalam   mengelola  satu  wilayah,  dan  dengan  demikian  kata
khalifah pada ayat yang membicarakan pengangkatan Daud  adalah
kekhalifahan  dalam  arti  kekuasaan  mengelola  wilayah  atau
dengan kata lain kekuasaan politik. Hal ini didukung pula oleh
surat  Al-Baqarah (2): 251 di atas yang menjelaskan bahwa Nabi
Daud a.s. dianugerahi hikmah yang  maknanya  telah  dijelaskan
sebelum ini.

Kekhalifahan  dalam  arti kekuasaan politik dipahami juga dari
ayat-ayat yang menggunakan bentuk jamak  khulafa'.  Perhatikan
konteks ayat-ayat surat Al-A'raf (7): 69 dan 74, serta Al-Naml
(27): 62.

Menarik juga untuk dibandingkan bahwa ketika Allah menguraikan
pengangkatan  Adam  sebagai khalifah, digunakan bentuk tunggal
dalam menunjuk pengangkatan itu,

     Sesungguhnya Aku akan mengangkat di bumi khalifah (QS
     Al-Baqarah [2]: 30).

Sedangkan ketika berbicara tentang pengangkatan  Daud  sebagai
khalifah digunakannya bentuk plural (jamak),

     Sesungguhnya Kami telah mengangkat engkau khalifah.

Pengggunaan bentuk tunggal pada Adam  cukup  beralasan  karena
ketika  itu  memang  belum  ada masyarakat manusia, apalagi ia
baru dalam bentuk ide. Perhatikan redaksinya yang  menyatakan,
"Aku  akan". Sedangkan pada Daud, digunakan bentuk jamak serta
past tense  (kata  kerja  masa  lampau),  "Kami  telah"  untuk
mengisyaratkan  adanya  keterlibatan  selain dari Tuhan (dalam
hal ini restu masyarakatnya) dalam pengangkatan  tersebut.  Di
sisi  lain  dapat dikatakan bahwa mengangkat seseorang sebagai
khalifah boleh-boleh saja dilakukan oleh  satu  oknum,  selama
itu  masih  dalam  bentuk ide. Tetapi kalau akan diwujudkan di
alam nyata maka hendaknya ia dilakukan oieh orang banyak  atau
masyarakat.

Al Qur'an dan politik

Kekuasaan Politik Perspektif Al-Qur’an

Kekuasaan Politik Perspektif al-Qur’an
Affanoer Wonosobo
Kajian teoretis ataupun perspektif praktis perbincangan tentang makna kekuasaan politik dalam semua sisinya tetap menjadi wacana actual yang tak berkesudahan. Hal ini disebabkan, karena keberadaannya secara fungsional identik dengan keberadaan masyarakat itu sendiri. Selain itu, konsep kekuasaan politik belumlah sepenuhnya menjadi kesepakatan semua orang. Bahkan masih banyak kalangan yang menganggap kekuasaan politik sebagai sesuatu yang jelek dan harus dihindari, kekuasaan politik disinonimkan dengan tipu daya muslihat dan kelicikan.
Sebagai wacana dan upaya mendudukan istilah kekuasaan politik, pengkajian terhadap istilah ini dalam prespektif Islam sangat diperlukan, terutama dalam kerangka penemuan konsep-konsep kekuasaan politik dalam perspektif al-Qur’an.
Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur’an
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menunaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (memerintahkan kebijaksanaan) di antara kamu supaya menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu. Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat. Wahai orang-orang yang beriman Taatilah Allah, taatilah rasul, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berselisih tentang sesuatu, maka kembalikan kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) lagi lebih baik akibatnya “(QS. An-Nisa : 58-59)
Kedua ayat di tersebut dinilai oleh para ulama sebagai prinsip – prinsip pokok yang menghimpun ajaran Islam tentang kekuasaan dalam pengertian tanggung jawab terhadap amanahnya serta kekuasaan Allah swt[1]. Hal ini menandakan bahwa semua aspek kehidupan manusia telah diatur oleh Allah SWT melalui konstitusi yang ada di dalam Al-qur’an, ini menandakan adanya syumuliatul Islam.
Amanat dimaksudkan berkaitan dengan banyak hal, salah satu di antaranya adalah perlakuan adil. Keadilan yang dituntut ini bukan hanya terhadap kelompok, golongan, atau kaum muslim saja, tetapi mencakup seluruh manusia bahkan seluruh makhluk. [2]
Kalau kita meneliti lebih jauh tentang kekuasaan  dalam Surat An-Nisa 58-59, dalam latar belakang historisnya turunnya ayat ini bisa dilihat dalam Asbabun Nuzulnya.
Diriwayatkan oleh Ibnu Marduwaih dari al-Kalbi dari Abi shaleh yang bersumber dari Ibnu Abbas. Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa setelah fathu makkah (pembebasan mekkah) Rasulullah saw memanggil Utsman bin Thalhah untuk meminta kunci ka’bah. Ketika Utsman dating menghadap Nabi untuk menyerahkan kunci itu, berdirilah Abbas dan berkata: “Ya Rasulallah demi Allah , serahkan kunci itu kepadaku untuk saya rangkap jabatan tersebut dengan jabatan siqayah (urusan pengairan). Utsman menarik kembali tangannya. Maka bersabda Rasulullah: “Berikanlah kunci itu kepadaku wahai utsman!” Utsman berkata : “inilah dia, amanat dari Allah”. Maka berdirilah Rasulullah membuka ka’bah dan terus keluar untuk thawaf di baitullah. Turunlah jibril membawa perintah supaya kunci itu diserahkan kembali kepada utsman. Rasulullah melaksankan perintah itu sambil membaca ayat tersebut di atas Qs An-Nisa :58.[3]
Diriwayatkan oleh bukhari dan lainnya yang bersumber dari ibnu Abbas dengan riwayat ringkas. Menurut imam ad-Dawudi riwayat tersebut menyalahgunakan nama Ibnu Abbas, karena cerita mengenai Abdullah bin hudzafah itu sebagai berikut: Di saat Abdullah marah-marah pada pasukannya ia menyalakan unggun api, dan memerintahkan pasukannya untuk terjun ke dalamnya. Pada waktu itu sebagian lagi hampir menerjunkan diri ke dalam api. Sekiranya ayat ini turun sebelum peristiwa Abdullah mengapa ayat ini dikhususkan untuk mentaati Abdullah bin Hudzafah saja, sedang pada waktu lainnya tidak. Dan sekiranya ayat ini sesudahnya, maka berdasarkan hadist yang telah mereka ketahui, yang wajib ditaati itu ialah di dalam ma’ruf (kebaikan) dan tidak pantas dikatakan kepada mereka mengapa ia tidak taat.[4]
Dari kajian tekstual di atas , menggambarkan bahwa kekuasaan yang paling hakiki adalah milik Allah Swt. Allah adalah pemilik segala sesuatu, sesuai yang difirmankan di dalam Surat Al-Maidah : 18
“ Allah adalah pemilik kerajaan langit dan bumi serta apa yang terdapat antara keduanya (Qs Al-Ma-idah:18).
Adapun di dunia, maka di samping Dia melimpahkan sebagian kekusaan_Nya kepada makhluk, Dalam konteks kekuasaan politik, al-Qur’an memerintahkan Nabi Muhammad Saw. Untuk menyampaikan pernyataan tegas berikut:
“Katakanlah: “Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
(QS Ali Imran : 26)
Seperti tersurat di dalam ayat di atas, Allah Swt menganugerahkan kepada manusia sebagian kekuasaan itu. Di antara mereka ada yang berhasil melaksankan tugasnya dengan baik karena mengikuti prinsip-prinsip kekuasaan  dan ada pula yang gagal.
Dalam konsepsi Islam, manusia memikul amanah (amanah ibadah dan amanah risalah). Amanah ini boleh jadi sebagai konsekuensi dari deklarasi universal yang pernah dinyatakan manusia di hadapan Allah dan sekaligus menjadi tantangan terhadap sifat manusia yang etis yang harus dibuktikan melalui keberhasilannya di dalam menunaikan amanah yang telah disanggupinya itu.
Amanah risalah berkaitan dengan kedudukan manusia sebagai khalifatullah fi Al-Ardh. Kedudukan itu mencakup aktivitas manusia dalam memakmurkan dan memelihara bumi, menata kehidupan dan menyejahterakan umat manusia. Aktivitas ini jelas-jelas merupkan suatu tindakan dan fungsi siyasah manusia yang otentik.
Oleh sebab itu, amanah risalah dalam pengertiannya yang luas menegaskan bahwa manusia adalah makhluk siyasah yang bertanggungjawab atas terpeliharanya keteraturan hidup di tengah-tengah masyarakat manusia dan lingkungan hidupnya, sedangkan siyasah memakmurkan bumi dalam islam memiliki tujuan antara dan sekaligus menjadi cara, jalan dan sarana untuk meraih tujuan yang lebih mulia dan lebih abadi, yaitu keselamatan kehidupan yang lebih bermakna dan kekal, kehidupan akherat.[5]
Kekuasaan yang berorientasi pemerintahan (kekuasaan Politik) yang mempunyai mekanisme politik tertuang di dalam Al-Qur’an  (Shaad:26) :
”Hai Daud, Sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah Keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, Karena mereka melupakan hari perhitungan.
Kekuasaan politik (pemerintahan) juga tertuang di dalam surat Al-Baqarah ayat 21 :
” Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan (dalam peperangan itu) Daud membunuh Jalut, Kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud) pemerintahan dan hikmah (sesudah meninggalnya Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya. seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.”
Manusia dan Konsep Istikhlafu Al Insan
Kata istikhlaf adalah bentuk mashdar (invinitif) dari kata kerja istakhlafa yang berarti menjadikan khalifah untuk mewakili dan melaksanakan tugas yang diwakilkan kepadanya , sedangkan kata khalifah berasal dari kata kerja khalafa yang berarti “mengganti dan melanjutkan”. Namun demikian kedua konsep ini (khalifah dan istikhlaf), pada hakikatnya, berasal dari akar kata yang mencerminkan dua aspek yang memiliki arti yang sama. Kedua konsep ini merujuk pada fungsi manusia sebagai pemegang amanah Allah Swt di muka bumi ini. Sementara itu, konsep iskhtilaf lebih menekankan kepada proses bagaimana manusia boleh menjadi khalifah Allah.[6]
Al-Qur’an menggunakan kata khalifah sesuai dengan tujuan manusia diciptakan. Sebuah kata “khalifah” juga mengandung makna bahwa manusia adalah makhluk yang diciptakan dalam kesempurnaan penciptaan.
Manusia merupakan mikro kosos (alam kecil), sedang kosmos adalah manusia makro (al-insan kawn shaghir wa al-kaw insane kabir).[7] Manusia merupakan miniature alam yang kompleks. Pisiknya menggambarkan alam pisikal, sedang psikisnya menggambarkan alam kejiawaan. Dengan demkian, segala proses takdir Allah yang terjadi di alam sebenarnya juga berlaku pada manusia, seperti konsep penciptaan ini.
Dalam pandangan Islam, tugas yang diwakilkan itu menjadi “amanah” yang harus ditunaikan oleh seseorang yang telah menjadi wakilnya. Berarti, ia (orang yang menjadi wakil) disebut “pengemban amanah” ialah khalifah. Seperti yang difirmankan oleh Allah Swt dalam surat Al Baqarah : 30
“  Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
(Al-Baqarah : 30)
Sayid Quthub menjelaskan beberapa makna yang terdapat dalam ayat tersebut. Ia menegaskan bahwa ayat tersebut menunjukkan posisi mulia manusia, terkandung isyarat adanya kehendak luhur yang hendak menyerahkan kendali kepemimpinan di bum kepada makhluk manusia. Kepada Manusia pula pelaksanaan kehendak Sang maha Pencipta diserahkan. Kehendak Allah Swt dalam menggali apa yang ada di bumi baik yang berupa kekuatan, potensi, kandungan, maupun bahan mentahnya untuk kepentingan manusia dalam rangka penunaian amanah yang telah diserahkan kepadanya serta menundukkan semua itu dengan Izin Allah Swt untuk tugas besar yang serahkan oleh Allah Kepadanya.[8]
Oleh sebab salah satu kewajiban manusia sehubungan dengan tugas khilafahnya adalah menegakkan keseimbangan, dalam pandangan Islam keseimbangan (tawazun) selalu menjadi landasan konsepsinya. Maka, falsafah istikhlaf dalam pandangan islam memunculkan keseimbangan dalam pengelolaan Negara. Konsep isikhlaf al insan, dalam rangka mewujudkan keseimbangan, menuntut adanya hubungan antara agama dan Negara. Eratnya hubungan agama dengan Negara (siyasah) terjadinya keseimbangan dalam kehidupan manusia.
Di dalam ayat tersebut juga menginformasikan juga unsur – unsur kekhalifahan sekaligus kewajiban sang khalifah. Unsur-unsur tersebut adalah pertama, Bumi atau wilayah. Kedua, Khalifah (yang diberi kekuasaan politik atau mandataris), serta yang ketiga, hubungan antara pemilik kekuasaan dengan wilayah, dan hubungannya dengan pemberi kekuasaan (Allah Swt).[9]
Dalam prespektif Islam tugas utama Negara, sebagai institusi siyasah, adalah mewujudkan pelaksanaan kekuasaan Allah di bumi. Sedangkan pelaksanaan kekuasaan Allah tersebut menuntut konsistensi terhadap syariat-Nya yang harus dilaksanakan.
Selanjutnya hukum-hukum yang terkandung dalam syari’at berorientasi pada pemeliharaan kemashlahatan (kebaikan umum) dan penolakan kemafsadatan (kerusakan).[10] Syari’at islam bertujuan menegakkan kebaikan semua makhluk dan memberikan kemashlahatan bagi hamba-Nya, baik dalam kehidupannya di dunia ataupun di akherat.
Al-Ghazali menegaskan, “Agama adalah poros, dan penguasa adalah penjaga, dan sesuatu yang tidak ada penjaganya akan hancur.[11] Aktualisasi nilai-nilai islam dapat terlaksana dengan sempurna apabila kaum muslimin memiliki otoritas dan kekuasaan untuk mewujudkan kemashlahatan.
Penutup
Islam adalah agama syumul, lengkap dengan petunjuk untuk mengatur semua aspek kehidupan. Dalam lapangan politik, kekuasaan tertinggi (disebut kedaulatan) ada di tangan Allah, manusia hanya sebagai pelaksana kedaulatan itu.
Islam memandang kekuasaan dalam pengertian yang transenden, kekuasaan dalam pengertian ini harus dapat dipertanggungjawabkan kepada sang Khalik. Manusia tidak semena-mena untuk menjalankan kekuasaan, karena manusia adalah perpanjangan tangan sang Khalik di muka bumi.
Daftar Pustaka
Abdul Mu’in Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an), (Jakarta: PT. RajaGrafindo,2002), hal 175
Abdul Mujib, Fitrah dan Kepribadian Islam: Sebuah Pendekatan Psikologis, Jakarta:Darul Falah, 2000
Abu Ridha, Amal Siyasi : Gerakan Politik dalam Dakwah, Bandung: PT Syaamil Cipta Media,2004
_________, Manusia dan Kekhalifahan, (Bandung: PT Syaamil Cipta Media, 2004
Dhiauddin Rais ,DR. M, Teori Politik Islam, (Jakarta : Gema Insani Press, 2001
Qamaruddin Shaleh K.H.,dkk. Asbabun Nuzul : Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an,Bandung: CV Diponegoro, 1982
Quraish Shihab Dr. M., M.A. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung

[1] Abdul Mu’in Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an), (Jakarta: PT. RajaGrafindo,2002), hal 175
[2] Dr. M. Quraish Shihab, M.A. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung
[3] K.H. Qamaruddin Shaleh,dkk. Asbabun Nuzul : Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an,(Bandung: CV Diponegoro, 1982), hal 138
[4] Ibid, hal 139
[5] Abu Ridha, Manusia dan Kekhalifahan, (Bandung: PT Syaamil Cipta Media, 2004), hal 59
[6] Ibid, hal 33
[7] Abdul Mujib, Fitrah dan Kepribadian Islam: Sebuah Pendekatan Psikologis, (Jakarta:Darul Falah, 2000), hal 18
[8] Abu Ridho, hal 34
[9] Dr. M. Quraish Shihab, op. cit
[10] Abu Ridha, Amal Siyasi : Gerakan Politik dalam Dakwah, (Bandung: PT Syaamil Cipta Media,2004), hal 57
[11] DR. M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta : Gema Insani Press, 2001) hal 102

Al Qur'an dan Ekonomi

Al Qur'an dan Ekonomi
Hukum (Ketetapan/Peraturan)
Pemahaman dan Tafsir Al-Quran


Affanoer  Wonosobo
Masalah-masalah pokok ekonomi menurut para pakar mencakup antara lain:
a. Jenis dan jasa yang diproduksi serta sistemnya.
b. Sistem distribusi (untuk siapa barang jasa itu).
c. Efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi.
d. Inflasi, resesi, dan depresi.
Dan sebagainya.

Melihat luasnya ruang lingkup ekonomi, maka boleh jadi kita dapat menyederhanakan kajian tulisan ini, dengan mengambil alih pandangan sekian pakar yang mendefinisikan ilmu ekonomi sebagai "ilmu mengenai perilaku manusia yang berhubungan dengan kegiatan mendapatkan uang dan membelanjakannya".

Pendorong bagi kegiatan itu adalah kebutuhan dan keinginan manusia yang tidak mungkin diperoleh secara mandiri. Untuk memenuhinya manusia terpaksa melakukan kerja sama, dan sering kali juga terpaksa harus mengorbankan sebagian keinginannya, atau mengantarnya menetapkan prioritas dalam melakukan pilihan.
Namun ada juga manusia yang sukar mengendalikan keinginannya, sehingga ia terdorong untuk menganiaya, baik terhadap sesama manusia maupun makhluk lain. Dari sini amat diperlukan peraturan serta etika yang mengatur kegiatan ekonomi.

Peraturan dan etika itulah yang membedakan antara ekonomi yang dianjurkan Al-Quran dengan ekonomi lainnya.
Harus diakui bahwa Al-Quran tidak menyajikan rincian, tetapi hanya mengamanatkan nilai-nilai (prinsip-prinsip)-nya saja. Sunnah Nabi dan analisis para ulama dan cendekiawan mengemukakan sebagian dari rincian dalam rangka operasionalisasinya.

UANG DALAM PANDANGAN AL-QURAN
Terlebih dahulu perlu dijelaskan pandangan Al-Quran tentang harta (uang) dan pengembangannya dalam kegiatan ekonomi.

Uang antara lain diartikan sebagai "harta" kekayaan, dan "nilai tukar bagi sesuatu".

Berbeda dengan dugaan sementara orang yang beranggapan bahwa Islam kurang menyambut baik kehadiran uang, pada hakikatnya pandangan Islam terhadap uang dan harta amat positif. Manusia diperintahkan Allah untuk mencari rezeki bukan hanya yang mencukupi kebutuhannya, tetapi Al-Quran memerintahkan untuk mencari apa yang diistilahkannya fadhl Allah, yang secara harfiah berarti "kelebihan yang bersumber dari Allah". Salah satu ayat yang menunjuk ini adalah:
Apabila kamu telah selesai shalat (Jumat) maka bertebaranlah di bumi, dan carilah fadhl (kelebihan/rezeki) Allah (QS Al-Jumu'ah [62]: 10).

Kelebihan tersebut dimaksudkan antara lain agar yang memperoleh dapat melakukan ibadah secara sempurna serta mengulurkan tangan bantuan kepada pihak lain yang oleh karena satu dan lain sebab tidak berkecukupan.
(Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberikan balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya ALlah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas. (QS. An-Nuur (An-Nur) [24] : ayat 38)
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu ... (QS. Al-Baqarah [2] : ayat 198)

Al-Quran memerintahkan siapa pun yang melakukan transaksi hutang piutang, agar mencatat jumlah hutang piutang itu, jangan sampai oleh satu dan lain hal tercecer hilang atau berkurang. Bahkan kalau perlu meminta bantuan notaris dalam pencatatannya.
Kepada notaris serta yang melakukan transaksi itu, hendaknya notaris jangan merugikan orang yang melakukan transaksi terutama dengan mengurangi haknya masing-masing, dan bagi yang melakukan transaksi hendaknya jangan juga merugikan sang notaris dalam waktu, tenaga, dan pikirannya tanpa memberi imbalan yang wajar. Diperintahkan juga agar memilih saksi-saksi dalam hal hutang-piutang, kalau bukan dua orang lelaki, maka seorang lelaki dan dua orang perempuan:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu melakukan utang-piutang (ber-muamalah tidak secara tunai) untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan adil. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.(QS Al-Baqarah [2]: 282).

Demikian antara lain kandungan pesan ayat yang terpanjang dalam Al-Quran.

Pandangan Al-Quran terhadap uang atau harta seperti yang dikemukakan sekilas ini, bertitik tolak dari pandangannya terhadap naluri manusia. Seperti diketahui, Al-Quran memperkenalkan agama Islam antara lain sebagai agama fitrah dalam arti ajaran-ajarannya sejalan dengan jati diri manusia serta naluri positifnya.

Harta yang banyak oleh Al-Quran disebut "khair/khayr" (QS Al-Baqarah [2): 180), serta dalam ayat-ayat lainnya, yang arti harfiahnya adalah "kebaikan". Ini bukan saja berarti bahwa harta kekayaan adalah sesuatu yang dinilai baik dan berusaha untuk memperolehnya sebanyak mungkin demi kebaikan, tetapi juga mengisyaratkan bahwa perolehan dan penggunaannya harus pula dengan baik. Tanpa memperhatikan hal-hal tersebut, artinya harta tersebut diperoleh tidak dengan cara yang baik serta tidak digunakan untuk kebaikan atau manusia malas dalam mencari harta (yang baik) sehingga hidupnya hanya untuk dirinya sendiri dan tidak berguna bagi orang lain, dan sebagainya. Maka orang tersebut akan mengalami kesengsaraan dalam hidupnya.

Karena daya tarik uang atau harta seringkali menyilaukan mata dan menggiurkan hati, maka berulang-ulang Al-Quran dan hadis, memperingatkan bahwa harta/uang itu adalah titipan Allah SWT yang wajib digunakan untuk kebaikan untuk diamalkan sebagai hamba Allah dan khalifah di bumi.
Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (QS. Ath-Thalaaq (Ath-Talaq) [65] : ayat 3)

Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik), (QS. Ar-Ra'd [13] : ayat 22)

Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat." Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui. (QS. Al-A'raaf (Al-A'raf) [7] : ayat 32)

Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah. (QS. Al-Baqarah [2] : ayat 172)

Atau kamu meminta upah kepada mereka?", maka upah dari Tuhanmu adalah lebih baik, dan Dia adalah Pemberi rezeki Yang Paling Baik. (QS. Al-Mu'minuun (Al-Mu'minun) [23] : ayat 72)

Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, (QS. Faathir (Fatir) [35] : ayat 29)

Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (QS. Ath-Thalaaq (Ath-Talaq) [65] : ayat 7)

Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan. (QS. Al-Baqarah [2] : ayat 245)

PERANAN UANG
Merujuk kepada Mu'jam Al-Muhfaras (Kamus Al-Quran) oleh Fuad Abdul Baqi, kata mal (uang) terulang dalam Al-Quran sebanyak 25 kali (dalam bentuk tunggal) dan amwal (dalam bentuk jamak) sebanyak enam puluh satu kali. Diamati oleh Hassan Hanafi sebagaimana dikemukakan dalam bukunya Ad-Din wa Ats-Tsaurah bahwa kata tersebut mempunyai dua bentuk.

Pertama, tidak dinisbahkan kepada "pemilik", dalam arti dia berdiri sendiri. Ini --menurutnya-- adalah sesuatu yang logis karena memang ada harta yang tidak menjadi objek kegiatan manusia, tetapi berpotensi untuk itu.

Kedua, dinisbahkan kepada sesuatu, seperti "harta mereka", harta anak-anak yatim, "harta kamu" dan lain-lain. Ini adalah harta yang menjadi objek kegiatan. Dan bentuk inilah yang terbanyak digunakan dalam Al-Quran.

Menurut hasil perhitungan Quraish Shihab, bentuk pertama ditemukan sebanyak 23 kali, sedang bentuk kedua sebanyak 54 kali. Dari jumlah ini yang terbanyak dibicarakan adalah harta dalam bentuk objek, dan ini memberi kesan bahwa seharusnya harta atau uang menjadi objek kegiatan manusia. Kegiatan tersebut adalah aktivitas ekonomi.

Dalam pandangan Al-Quran, uang merupakan modal serta salah satu faktor produksi yang penting, tetapi "bukan yang terpenting". Manusia menduduki tempat di atas modal disusul sumber daya alam. Pandangan ini berbeda dengan pandangan sementara pelaku ekonomi modern yang memandang uang sebagai segala sesuatu, sehingga tidak jarang manusia atau sumber daya alam dianiaya atau ditelantarkan.

Modal tidak boleh diabaikan, manusia berkewajiban menggunakannya dengan baik, agar ia terus produktif dan tidak habis digunakan. Karena itu seorang wali yang menguasai harta orang-orang yang tidak atau belum mampu mengurus hartanya, diperintahkan untuk mengembangkan harta yang berada dalam kekuasaannya itu dan membiayai kebutuhan pemiliknya yang tidak mampu itu, dari keuntungan perputaran modal, bukan dari pokok modal. Ini dipahami dari redaksi surat Al-Nisa' (4): 5 yang dikutip di atas, di mana dinyatakan Warzuquhum fiha bukan Warzuquhum minha. "Minha" artinya "dari modal", sedang "fiha" berarti "di dalam modal", yang dipahami sebagai ada sesuatu yang masuk dari luar ke dalam (keuntungan) yang diperoleh dari hasil usaha.

Karena itu pula modal tidak boleh menghasilkan dari dirinya sendiri, tetapi harus dengan usaha manusia. Ini salah satu sebab mengapa membungakan uang, dalam bentuk riba dan perjudian, dilarang oleh Al-Quran. Salah satu hikmah pelarangan riba, serta pengenaan zakat sebesar 2,5% terhadap uang (walau tidak diperdagangkan) adalah untuk mendorong aktivitas ekonomi, perputaran dana, serta sekaligus mengurangi spekulasi serta penimbunan. Dalam konteks ini Al-Quran mengingatkan:
Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkan pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih (QS Al-Tawbah [9]. 34)

Ancaman ini disebabkan karena uang/harta seperti dikemukakan sebelum ini dijadikan Allah untuk sarana kehidupan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Dan menyimpannya tanpa perputaran, demikian juga penimbunan kebutuhannya, tidak sejalan dengan tujuan tersebut.

Bagi pemilik uang yang tidak atau kurang mampu mengelola uangnya, para ulama mengembangkan cara-cara yang direstui oleh Al-Quran dan Sunnah Nabi, antara lain melalui apa yang dinamai murabahah, mudharabah atau musyarakah
Murabahah adalah pembelian barang menurut rincian yang ditetapkan oleh pengutang, dengan keuntungan dan waktu pembayaran yang disepakati.
Mudharabah adalah bergabungnya tenaga kerja dengan pemilik modal, sebagai mitra usaha dan keuntungan yang dibagi sesuai rasio yang disepakati.
Musyarakah adalah memadukan modal untuk bersama-sama memutarnya, dengan kesepakatan tentang rasio laba yang akan diterima.

Cara-cara ini akan mendorong setiap pemilik modal untuk tidak membiarkan modalnya tersimpan tanpa perputaran. Bukankah uang dijadikan Allah untuk sarana kehidupan dan pemenuhan kebutuhan manusia?

KEBUTUHAN MANUSIA
Kebutuhan biasa diartikan sebagai "hasrat manusia yang perlu dipenuhi atau dipuaskan".
Kebutuhan bermacam-macam dan bertingkat-tingkat, namun secara umum ia dapat dibagi dalam tiga jenis sesuai dengan tingkat kepentingannya. Primer (dharuriyat), sekunder (hajiyat), dan tertier (kamaliyat).

Jenis kebutuhan kedua dan ketiga sangat beraneka ragam, dan dapat berbeda-beda dari seorang dengan lainnya, namun kebutuhan primer sejak dahulu hingga kini dapat dikatakan sama dan telah dirumuskan oleh para pakar sebagai kebutuhan sandang, pangan, dan papan.
Al-Quran secara tegas menyebutkan ketiga macam kebutuhan primer itu dan mengingatkan manusia pertama tentang keharusan pemenuhannya sebelum manusia pertama itu menginjakkan kakinya di bumi. Ketika Adam dan istrinya Hawa masih berada di surga, Allah mengingatkan mereka berdua:
Maka Kami berkata, "Hai Adam' sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga karena (jika demikian) engkau akan bersusah payah. Sesungguhnya engkau tidak akan lapar di surga, dan tidak pula akan telanjang. Sesungguhnya engkau tidak akan dahaga, tidak pula disengat panas matahari di sana (surga)" (QS Thaha [20]: 117-119).

Yang dimaksud dengan bersusah payah adalah bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka yang di dunia tidak diperoleh tanpa kerja tetapi di surga telah disediakan yaitu pangan atau dalam bahasa ayat di atas "tidak lapar dan tidak dahaga". Sandang dilukiskan dengan "tidak telanjang", sedangkan papan diisyaratkan oleh kalimat "tidak disengat panas matahari".

Sementara ulama menganalisis mengapa peringatan ini ditujukan kepada mereka berdua selaku suami-istri, tetapi pernyataan bersusah payah dikemukakan dalam bentuk tunggal yang ditujukan kepada suami (Adam) saja. Jawabannya menurut mereka adalah, karena kebutuhan sandang, pangan dan papan, merupakan kebutuhan pria dan wanita (suami-istri), tetapi kewajiban bersusah payah mencarinya, berada di pundak suami, sehingga merupakan kewajiban suami untuk mengikhtiarkannya.
Ketiga jenis kebutuhan seperti yang disebut di atas, mengantar manusia berikhtiar untuk memproduksi alat-alat pemenuhannya, baik berupa barang maupun jasa.

AKTIVITAS EKONOMI
Aktivitas antar manusia --termasuk aktivitas ekonomi-- terjadi melalui apa yang diistilahkan oleh ulama dengan mu'amalah (interaksi). Pesan utama Al-Quran dalam mu'amalah keuangan atau aktivitas ekonomi adalah:
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan atau melakukan interaksi keuangan di antara kamu secara batil... (QS Al-Baqarah [2]: 188).

Kata "batil" diartikan sebagai "segala sesuatu yang bertentangan dengan ketentuan dan nilai agama".
Bukan di sini tempatnya merinci cakupan kata batil, apalagi Al-Quran --sejalan dengan sikapnya terhadap hal-hal yang bukan bersifat ibadah murni-- pada dasarnya tidak memberikan perincian. Ini untuk memberikan peluang kepada manusia atau masyarakat yang sifatnya selalu berubah dan berkembang, agar menyesuaikan diri dengan perubahan masyarakat sepanjang sejalan dengan nilai-nilai Islam.

NILAI-NILAI ISLAM
Secara umum dapat dikatakan bahwa nilai-nilai Islam terangkum dalam empat prinsip pokok: tauhid, keseimbangan, kehendak bebas, dan tanggung jawab.

Tauhid mengantar manusia mengakui bahwa keesaan Allah mengandung konsekuensi keyakinan bahwa segala sesuatu bersumber serta kesudahannya berakhir pada Allah SWT Dialah Pemilik mutlak dan tunggal yang dalam genggaman-Nya segala kerajaan langit dan bumi. Keyakinan demikian mengantar seorang Muslim untuk menyatakan:

Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku adalah semata-mata demi/karena Allah, Tuhan seru sekalian alam.

Prinsip ini menghasilkan "kesatuan-kesatuan" yang beredar dalam orbit tauhid, sebagaimana beredarnya planet-planet tatasurya mengelilingi matahari. Kesatuan-kesatuan itu, antara lain, kesatuan kemanusiaan, kesatuan alam raya, kesatuan dunia dan akhirat, dan lain-lain.
Keseimbangan mengantar manusia Muslim meyakini bahwa segala sesuatu diciptakan Allah dalam keadaan seimbang dan serasi,
Engkau tidak menemukan sedikitpun ketidakseimbangan dalam ciptaan Yang Maha Pengasih. Ulang-ulanglah mengamati. Apakah engkau melihat sedikit ketimpangan? (QS Al-Mulk [67]: 3)

Prinsip ini menuntut manusia bukan saja hidup seimbang serasi, dan selaras dengan dirinya sendiri, tetapi juga menuntunnya untuk menciptakan ketiga hal tersebut dalam masyarakatnya, bahkan alam seluruhnya.

Kehendak bebas adalah prinsip yang mengantar seorang Muslim meyakini bahwa Allah SWT memiliki kebebasan mutlak namun Dia juga menganugerahkan kepada manusia kebebasan untuk memilih dua jalan yang terbentang di hadapannya --baik atau buruk. Manusia yang baik di sisi-Nya adalah manusia yang mampu menggunakan kebebasan itu dalam rangka penerapan tauhid dan keseimbangan di atas. Dari sini lahir prinsip tanggung jawab baik secara individu maupun kolektif. Dalam konteks ini, Islam memperkenalkan konsep fardhu 'ain dan jardhu kifayah. Yang pertama adalah kewajiban individual yang tidak dapat dibebankan kepada orang lain sedang yang kedua adalah kewajiban yang bila dikerjakan oleh orang lain sehingga terpenuhi kebutuhan yang dituntut, maka terbebaskanlah semua anggota masyarakat dari pertanggungjawaban (dosa). Tetapi bila tidak seorang pun yang mengerjakannya, atau dikerjakan oleh sebagian orang namun belum memenuhi apa yang seharusnya, maka berdosalah setiap anggota masyarakat.

Keempat prinsip yang disebut di atas, harus mewarnai aktivitas setiap Muslim, termasuk aktivitas ekonominya.

Prinsip tauhid mengantarkan manusia dalam kegiatan ekonomi untuk menyakini bahwa harta benda yang berada dalam genggaman tangannya adalah milik Allah, yang antara lain diperintahkan oleh Pemiliknya agar diberikan (sebagian) kepada yang membutuhkan:
Dan berilah kepada mereka (yang membutuhkan) harta yang diberikan-Nya kepada kamu (QS Al-Nur [24]: 33).

Dalam pandangan agama Islam, harta kekayaan bahkan segala sesuatu adalah milik Allah. Memang jika diamati dengan saksama, hasil-hasil produksi yang dapat menghasilkan uang atau harta kekayaan, tidak lain kecuali hasil rekayasa manusia dari bahan mentah yang telah disiapkan oleh Allah Yang Maha Esa.

Di sisi lain, keberhasilan para pengusaha bukan hanya disebabkan oleh hasil usahanya sendiri, tetapi terdapat juga partisipasi orang lain atau masyarakat. Bukankah para pedagang --misalnya-- membutuhkan para pembeli agar hasil produksi atau barang dagangannya terjual? Bukankah petani membutuhkan irigasi demi kesuburan pertaniannya? Bukankah para pengusaha membutuhkan stabilitas keamanan guna lancarnya roda keuangan dan perdagangan? Dan masih banyak lagi yang lain. Kalau demikian, wajar jika Allah memerintahkan manusia untuk menyisihkan sebagian dari apa yang berada dalam genggaman tangannya ("miliknya") demi kepentingan masyarakat umum. Dari sini agama menetapkan keharusan adanya fungsi sosial bagi harta kekayaan.

Tauhid, yang menghasilkan keyakinan kesatuan dunia dan akhirat, mengantar seorang pengusaha untuk tidak mengejar keuntungan material semata, tetapi keuntungan yang lebih kekal dan abadi.
Prinsip tauhid yang menghasilkan pandangan tentang kesatuan umat manusia mengantar seorang pengusaha Muslim untuk menghindari segala bentuk eksploitasi terhadap sesama manusia. Dari sini dapat dimengerti mengapa Islam bukan saja melarang praktek riba dan pencurian, tetapi juga penipuan walau terselubung.

Prinsip keseimbangan mengantar kepada pencegahan segala bentuk monopoli dan pemusatan kekuatan ekonomi pada satu tangan atau satu kelompok. Atas dasar ini pula Al-Quran menolak dengan amat tegas daur sempit yang menjadikan kekayaan hanya berkisar pada orang-orang atau kelompok tertentu.
Supaya harta itu tidak hanya beredar pada orang-orang kaya saja di antara kamu... (QS Al-Hasyr [59]: 7).

Dari sini juga datang larangan penimbunan. Hal ini tercermin pada ayat 34 surat At-Taubah yang memberikan ancaman sedemikian keras kepada para penimbun, serta sabda Nabi Muhammad saw berikut: "Siapa yang menimbun makanan selama empat puluh hari, dengan tujuan menaikkan harga, maka ia telah berlepas diri dari Allah, dan Allah juga berlepas diri darinya".

Ayat dan hadis-hadis Nabi seperti di atas oleh sementara pakar dijadikan dasar pemberian wewenang kepada penguasa untuk mencabut hak milik perusahaan spekulatif yang melakukan penimbunan, penyelundupan, dan yang mengambil keuntungan secara berlebihan, karena penimbunan mengakibatkan kenaikan harga yang tidak semestinya.
Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan (QS Al-A'raf [7]: 31).

Sikap berlebih-lebihan dapat menimbulkan kelangkaan barang-barang yang dapat menimbulkan ketidakseimbangan akibat kenaikan harga-harga.
Dalam rangka memelihara keseimbangan itu, Islam menugaskan Pemerintah untuk mengontrol harga, bahkan melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk menjamin agar-paling tidak bahan-bahan kebutuhan pokok dapat diperoleh dengan mudah oleh seluruh anggota masyarakat.

Dalam konteks ini, Nabi Muhammad saw menyebutkan bahwa: "Masyarakat berserikat dalam tiga hal: air, rumput, dan api" (HR Abu Daud).
Tiga komoditi ini merupakan kebutuhan masyarakat pada masa Nabi saw, dan tentunya setiap masyarakat dapat memiliki kebutuhan-kebutuhan lain, yang dengan demikian masing-masing dapat menyesuaikan diri dengan kebutuhannya.

Semua hal yang disebut di atas harus dipertanggungjawabkan oleh manusia demi terlaksananya keadilan baik secara individu maupun kolektif.
Dalam perkembangan perekonomian sesudah turunnya Al-Quran telah lahir institusi-institusi serta kondisi yang diperselisihkan keabsahannya dari segi syariat seperti halnya dengan perbankan konvensional. Sementara ulama mempersamakan praktek perbankan itu dengan riba, sementara ulama lainnya mentoleransinya dengan syarat-syarat tertentu.

RIBA
Keraguan terjerumus ke dalam riba yang diharamkan menjadikan para sahabat Nabi, seperti ucap Umar ibn Khaththab, "Meninggalkan sembilan per sepuluh dari yang halal." Ini disebabkan karena mereka tidak memperoleh informasi yang utuh tentang masalah ini langsung dari Nabi Muhammad saw

Kata riba dari segi bahasa berarti "kelebihan". Kalau kita hanya berhenti pada makna kebahasaan ini, maka logika yang dikemukakan para penentang riba pada masa Nabi dapat dibenarkan. Firman Allah dengan tegas bahwa "Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." Penegasan ini dikemukakan-Nya tanpa menyebut alasan secara eksplisit, namun dapat dipastikan bahwa pasti ada alasan atau hikmah sehingga ini diharamkan dan itu dihalalkan.

Dalam Al-Quran ditemukan kata riba sebanyak delapan kali dalam empat surat, tiga di antaranya turun setelah Nabi hijrah dan satu ayat lagi ketika beliau masih di Makkah. Upaya memahami apa yang dimaksud dengan riba adalah dengan mempelajari ayat-ayat yang turun di Madinah, atau lebih khusus lagi kata-kata kunci pada ayat-ayat tersebut yaitu adh'afan mudha'afah (berlipat ganda), ma baqiya minarriba (apa yang tersisa dari riba) dan falakum ru'usu amwalikum, la tazlimun wa la tuzlamun.

Sementara ulama, semacam Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, memahami bahwa riba yang diharamkan Al-Quran hanya riba yang berlipat ganda. Lipat ganda yang dimaksud di sini adalah "pelipatgandaan yang berkali-kali".
Memang pada zaman jahiliah dan awal Islam, apabila seorang debitur yang tidak mampu membayar hutangnya pada saat yang ditentukan, ia meminta untuk ditangguhkan dengan janji membayar berlebihan, demikian berulang-ulang.
Sikap semacam ini amat dikecam oleh Al-Quran, sebagaimana firman Allah:
Bila debitur berada dalam kesulitan, maka hendaklah diberi tangguh hingga ia memperoleh keleluasaan dan menyedekahkan (semua atau sebagian dari piutang) (lebih baik untuknya jika kamu mengetahui) (QS Al-Baqarah [2]: 280).

Pendapat yang memahami riba yang diharamkan hanya yang berlipat ganda, tidak diterima oleh banyak ulama. Bukan saja karena masih ada ayat lain yang turun sesudahnya, yang memerintahkan untuk meninggalkan sisa riba yang belum diambil, tetapi juga karena akhir ayat yang turun tentang riba, memerintahkan untuk meninggalkan sisa riba. Dan bila mereka mengabaikan hal ini, maka Tuhan mengumumkan perang terhadap mereka sedang
Bila kamu bertobat, maka bagi kamu modalmu, (dengan demikian) Kami tidak menganianya dan tidak pula dianiaya (QS Al-Baqarah [2]: 279).

Menurut Quraish Shihab, inilah kata kunci yang terpenting dalam persoalan riba, dan atas dasar inilah kita dapat menilai transaksi hutang piutang dewasa ini, termasuk praktek-praktek perbankan.

Kesimpulan yang dapat kita peroleh dari ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang riba, demikian pula hadis Nabi dan riwayat-riwayat lainnya adalah, bahwa riba yang dipraktekkan pada masa turunnya Al-Quran adalah kelebihan yang dipungut bersama jumlah hutang, pungutan yang mengandung penganiayaan dan penindasan, bukan sekadar kelebihan atau penambahan dan jumlah hutang.

Kesimpulan di atas diperkuat pula dengan praktek Nabi saw yang membayar hutangnya dengan berlebihan. Dalam konteks pembayaran berlebihan inilah Nabi saw bersabda: "Sebaik-baik manusia adalah yang sebaik-baik membayar hutang". (Diriwayatkan oleh Muslim melalui sahabat Nabi A'bi Rafi', yakni antara lain "melebihkan". Hanya tentu harus digarisbawahi bahwa kelebihan pembayaran itu tidak bersyarat pada awal transaksi).

Bagaimana dengan praktek perbankan dewasa ini?
Ulama sejak dahulu hingga kini belum dan besar kemungkinan tidak akan sepakat, karena sikap kehati-hatian tetap menghiasi diri orang-orang yang bertakwa.

Demikian sekelumit dan prinsip-prinsip ajaran Al-Quran tentang ekonomi. Intinya adalah keadilan, kerja sama, serta keseimbangan dan lain-lain. Dan semua itu tercakup dalam larangan melakukan transaksi apa pun yang berbentuk batil, eksploitasi atau segala bentuk penganiayaan.


Referensi
  • Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA., Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat, Penerbit Mizan, Bandung, 1997.
  • Dr. Syauqi Abu Khalil, Atlas Al-Quran, Membuktikan Kebenaran Fakta Sejarah yang Disampaikan Al-Qur'an secara Akurat disertai Peta dan Foto, Dar al-Fikr Damaskus, Almahira Jakarta, 2008.
  • Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Dr. Ahmad Qodri Abdillah Azizy, MA, Dr. A. Chaeruddin, SH., etc. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Penerbit PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2008, Editor : Prof. Dr. Taufik Abdullah, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Prof. Dr. H. Ahmad Sukardja, MA.
  • Sami bin Abdullah bin Ahmad al-Maghluts, Atlas Sejarah Para Nabi dan Rasul, Mendalami Nilai-nilai Kehidupan yang Dijalani Para Utusan Allah, Obeikan Riyadh, Almahira Jakarta, 2008.
  • Tim DISBINTALAD (Drs. A. Nazri Adlany, Drs. Hanafi Tamam, Drs. A. Faruq Nasution), Al-Quran Terjemah Indonesia, Penerbit PT. Sari Agung, Jakarta, 2004
  • Departemen Agama RI, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Al-Quran, Syaamil Al-Quran Terjemah Per-Kata, Syaamil International, 2007.
  • alquran.bahagia.us, al-quran.bahagia.us, dunia-islam.com, Al-Quran web, PT. Gilland Ganesha, 2008.
  • Muhammad Fu'ad Abdul Baqi, Mutiara Hadist Shahih Bukhari Muslim, PT. Bina Ilmu, 1979.
  • Al-Hafizh Zaki Al-Din 'Abd Al-'Azhum Al Mundziri, Ringkasan Shahih Muslim, Al-Maktab Al-Islami, Beirut, dan PT. Mizan Pustaka, Bandung, 2008.
  • M. Nashiruddin Al-Albani, Ringkasan Shahih Bukhari, Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, dan Gema Insani, Jakarta, 2008.
  • Al-Bayan, Shahih Bukhari Muslim, Jabal, Bandung, 2008.
  • Muhammad Nasib Ar-Rifa'i, Kemudahan dari Allah, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, dan Gema Insani, Jakarta, 1999.