Surat-Surat Sheikh Muhammad Bin Ibrahim Yang Mengingkari Kekafiran Hukum Negara Arab Saudi
Affanoer
In the name of Allah, The Most Beneficent, Most Merfciful
Saudara-saudara muslimku yang dirahmati Allah, insha Allah telah kita
ketahui bahwa menjalankan hukum buatan manusia dan mengganti hukum
syari’at Islam adalah kekafiran yang nyata. Di Indonesia yang jelas
berhukum dengan bukan hukum Islam, mata kita telah terbuka untuk melihat
bahwa Negara ini bukan Negara Islam. Lantas bagaimana dengan Negara
Arab Saudi sana yang banyak diklaim orang sebagai Negara tauhid? Berikut
adalah petikan surat-surat dari Sheikh Muhammad Bin Ibrahim (semoga
Allah merahmati beliau) yang mengingkari penyelewengan-penyelewengan
hukum di Arab Saudi. Kami beri penekanan untuk kalimat yang dianggap
penting dengan cetak tebal.
(4038- Dan Kasus-Kasus Perdagangan Dilimpahkan kepada Qadli-Qadli Syar’iy)
Dari Muhammad Ibnu Ibrahim kepada yang terhormat gubernur Riyadh……… sallamahullaah!!!
Assalamu ‘Alaikum wa Rahmatullaahi Wa Barakaatuh!! Wa Ba’du:
Dengan meninjau surat engkau no 4928 tanggal 11/4/1375 yang
dilampirkan dengannya berkas-berkas khusus tentang materi perintisan
ghurfah tijaariyyah di Riyadh.
Kami memberitahukan kepada engkau bahwa undang-undang yang
dilampirkan itu sudah dipelajari, dan kami ternyata memiliki banyak
catatan atasnya, yang paling penting adalah alinea (D) dari ayat (3)
yang teksnya berbunyi: Ghurfah ini adalah menjadi rujukan untuk
menyelesaikan pertentangan bisnis di antara dua orang yang bersengketa
dari kalangan businessman, baik si terdakwa itu tercatat ataupun tidak tercatat.
Dan telah sampai kepada kami satu eksemplar yang berjudul “Nidzaamul
Mahkamah At Tijaariyyah Lil Mamlakah Al ‘Arabiyyah
Assu’uudiyyah/Undang-Undang Pengadilan Bisnis Kerajaan Arab Saudi” yang
dicetak oleh cetakan pemerintah Mekkah tahun 1369 sebagai cetakan ke dua dan kami pelajari sekitar separuhnya dan ternyata kami mendapatkan di dalamnya Undang-Undang Buatan Qanuuniyyah bukan Syar’iyyah,
maka kami memastikan dengan kenyataan itu bahwa dikarenakan ghurfah itu
adalah rujukan saat terjadi pertentangan maka dipastikan akan adanya
mahkamah/pengadilan, dan para hakimpun bukanlah hakim-hakim syar’iy, akan tetapi mereka adalah nidzaaimiyyuun qaanuuniyyun
(para pakar hukum dan perundang-undangan), dan tidak diragukan lagi
bahwa ini adalah menohok ajaran yang dengannya Allah telah
mengutus Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam, berupa syari’at
yang hanya satu-satunya yang harus diterapkan di antara manusia, dan
yang darinyalah manusia mendapatkan pancaran cahaya dalam aqidah mereka,
ibadah mereka, mengetahui yang halal bagi mereka dari yang diharamkan
atasnya, serta memutuskan pertikaian saat terjadi pertikaian di antara
mereka. Dan memakai sedikit saja dari undang-undang buatan itu
untuk memutuskan dengannya meskipun dalam hal yang sangat kecil adalah
tidak diragukan lagi sesungguhnya itu adalah bukti ketidakridlaan dengan
hukum Allah dan Rasul-Nya, serta menisbatkan hukum Allah dan Rasul-Nya
kepada kekurangan dan tidak mampu mencukupi dalam menyelesaikan
persengketaan dan dalam menyampaikan hak kepada yang berhak akannya,
serta menisbatkan hukum undang-undang buatan kepada kesempurnaan dan
mencukupi manusia dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahannya,
sedangkan meyakini ini adalah kekafiran yang mengeluarkan dari millah
(Islam) ini. Dan masalahnya adalah sangat besar lagi berbahaya
dan bukan tergolong masalah ljtihadiyyah. Tahkiim syari’at ini
satu-satunya tidak yang lainnya adalah sejawat ibadah kepada Allah
subhaanahu wa ta’aala saja tidak kepada yang lain-Nya, karena kandungan
dua kalimah syahadat adalah (meyakini) bahwa Allah adalah satu-satunya
yang disembah tidak ada sekutu bagi-Nya, dan (meyakini) bahwa Rasul-Nya
shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah satu-satunya yang diikuti dan yang
diterapkan adalah apa yang dibawanya saja. Pedang-pedang jihad
tidak dihunus kecuali untuk merealisasikan hal itu serta menjalankannya
baik berupa pengamalan, peninggalan, dan tahkiim saat terjadi
persengketaan.
(Majmuu’ Fataawaa Syaikh 12/251)
(4039- Seputar Undang-Undang Ghurfah Tijaariyyah Yang Sudah direvisi)
Dari Muhammad Ibnu Ibrahim kepada yang dihormati!!
Ketua Diiwaan ‘Aalii yang t e r h o r m a t ! !
W a f f a q a h u l l a a h!!
Assalaamu ‘Alaikum Wa Rahmatullah Wa Barakaatuh!! Wa Ba’du:
Setelah meninjau surat no 12/5/3418 tanggal 2/3/1375
tentang”Undang-undang Ghurfah Tijaariyyah” dan perubahan yang dilakukan
di dalamnya, maka kami beritahukan kepada engkau hal-hal berikut ini:
1. Bahwa nama hukum atau hakim dalam penyelesaian persengketaan dan
perselisihan dalam hak, harta dan yang lainnya tidak boleh
diberikan kepada seorangpun meskipun dia itu memiliki kecerdikan,
pengalaman, dan wawasan dalam segala hal, kecuali kepada orang yang
berpedoman dengan cahaya syari’at Muhammad dan dia mengetahui hal
yang bisa menyelesaikan sengketa itu dari syari’at Muhammad, dan dia
juga memiliki pemahaman syari’at dan kejiwaan yang dengannya dia bisa
mengetahui waqi’ (realita dan hikmah/kebijaksanaan) serta menerapkan
hukum terhadap realita.
2. Sesungguhnya akal manusia bagaimanapun tingginya
tidaklah bisa berdiri sendiri untuk mendapatkan hidayah, dan tidak boleh
mengandalkannya dalam meraih kebahagiaan, serta tidaklah boleh merasa
cukup dengannya dalam menempuh jalan keselamatan tanpa berpedoman dengan
cahaya syari’at Muhammad, karena seandainya akal itu cukup dan
bisa berdiri sendiri dalam meraih kebenaran dan dalam menempuh jalan
yang lurus tentulah tidak ada kebutuhan akan diutusnya Rasul dan
diturunkannya Kitab. Sesungguhnya umat yang mengklaim hal itu,
berarti la telah membuang Kitab Allah di belakanq punggung mereka dan
telah keluar dari firqah-firqah umat Muhammadiyyah, sebagaimana yang
telah ma’ruf tentang Jahmiyyah dan semisalnya.
3. Tidak diragukan lagi bahwa para penguasa dari kalangan pedalaman
(badiyah) dan yang lainnya sebelum diutusnya Rasulullah dan pada
masa-masa fatrah, sesungguhnya mereka itu memiliki akal-akal yang
cemerlang, pengalaman-pengalaman yang panjang, kelihaian yang sempurna,
dan pengetahuan tentang keadaan dan realita-realita yang mana semua itu
mendorong untuk bersatu di sekitar mereka dan ridla dengan
hukum-hukumnya, namun demikian syari’at telah datang dengan ajaran yang
menghati-hatikan dan melarang dengan larangan yang pedas dari mengikuti
mereka, serta menamakan para penguasa itu dengan nama-nama yang paling
jelek dan paling buruk, syari’at menamakan mereka
“thawaaghiit/thaghut-thaghut” dan “syurakaa”: “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? “ (Qs: Asy-Syuura:21), “Barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” (Qs: Al-Maa-idah: 44), “Apakah
kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi sebahagian dari Al
Kitab? Mereka percaya kepada Jibt dan Thaghut, dan mengatakan kepada
orang-orang kafir, bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari
orang-orang yang beriman.“An Nisaa;51).
4. Sesungguhnya shulh (perdamaian) itu ada batasan-batasannya yang
sudah ma’ruf, sehingga tidak setiap shulh itu boleh, akan tetapi shulh
itu terbagi menjadi shulh yang adil dan shulh yang aniaya, dan hal itu
tidak mungkin diketahui kecuali oleh orang alim akan syari’at ini yang
menguasai hukum-hukumnya, oleh karena itu Rasulullah shallallaahu‘alaihi
wa sallam berkata:
الصُّلح جائزٌ بين المسلمين إلاّ صُلحاً أحلَّ حراماً أو حرم حلالاً
“Shulh itu boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali shulh yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal”.
5. Sesungguhnya syariat yang mulia ini adalah sudah sempurna lagi
mencukupi apa yang dimaksud, cukup dalam menyelesaikan perselisihan
dengan ungkapan yang memuaskan lagi masuk akal, mencukupi untuk mencapai
segala maslahat, karena yang menetapkannya adalah Dzat Yang Paling
Menyayangi dan Yang Paling Indah hikmah-Nya, Dia-lah yang lebih
mengetahui akan maslahat hamba-hamba-Nya, apa-apa yang bisa mendatangkan
manfaat bagi mereka serta apa-apa yang bisa membahayakannya, dan Dia
tidak menyerahkan wewenang pembuatan hukum itu kepada seorangpun,
Dia-lah Sang Pembuat hukum, sedangkan Rasul-Nya adalah yang
menyampaikan.
Kemudian masalah apa yang sulit yang tidak ada penyelesaiannya dalam
syari’at ini? Tidak ada demi Allah, sesungguhnya syari’at ini
sudahlah cukup lagi sempurna yang datang dengan aturan yang paling
sempurna dan paling tinggi.
Kemudian di dalam fiqh Islamiy yang diambil dari Al Kitab dan
Assunnah hal yang mencukupi yang tidak memerlukan lagi akan
aturan-aturan Romawi (barat) dan undang-undang buatan manusia.
Oleh sebab itu secara wajib kami memandang melimpahkan setiap
pertikaian kepada mahkamah-mahkamah syar’iyyah, mahkamah-mahkamah
inilah yang memiliki wewenang menyelesaikan pertikaian dan
memutuskan pengaduan-pengaduan, serta menyerahkan hak kepada yang berhak
mendapatkannya sesuai dengan cara-cara syari’at dan aturan-aturan
langit yang tinggi. Ini adalah cara yang pasti berhasil yang
menyelamatkan, yang mencukupi lagi memuaskan dan direstui oleh setiap
muslim.
Kemudian cara ini adalah cara yang telah dilalui oleh kaum muslimiin
semenjak zaman kerasulan, dan mereka berhasil dengan gemilang, mereka
telah mencapai kepada maksud, mereka sampai kepada tujuan, mereka
membuka hati-hati manusia dan tanah airnya dengannya, umat-umatpun
berkumpul di sekitar mereka dan merelakan mereka sebagai penguasa, serta
mereka menjadi bahan perumpamaan untuk keadilan dan sifat obyektif.
Adapun selain itu, maka itu adalah bahan untuk adanya kritikan,
ketidakrelaan, kemarahan masyarakat, buruknya reputasi, dan celaan
musuh, serta itu memiliki akibat buruk yang mengenaskan, bahkan bisa
menjamin cerai berainya masyarakat Islamiy dan berpecah-belahnya mereka,
serta menyebabkan kekacauan, ketidakmenentuan dan pertentangan {Kalau kiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya} bahkan ini merupakan sarana yang menjurus kepada pemberian hak putusan kepada setiap orang, serta memberinya kesempatan untuk memberontak penguasa
dan tidak puas dengannya. Sebagaimana si hakim itu memutuskan dengan
pendapatnya dan apa yang didapati oleh akalnya, maka setiap orang mampu
untuk melaksanakannya dan memandang dirinya layak untuk itu, serta dia
tidak merasa diharuskan mengikuti hasil buah pikir orang lain dan
kotoran akalnya, semoga Allah menjaga engkau!!
(SH/F 460 PADA TANGGAL 5/9/1375)
(4040 – Wajibnya menghapuskan Ghurfah Tijaariyyah Meskipun Berhukum Kepadanya Bersifat Ikhtiyaariy)
Dari Muhammad Ibnu Ibrahim kepada saudara yang terhormat Ketua Diiwaan ‘Aaliy…Sallamullahi!
Assalaamu ‘Alaikum Wa Rahmatuilaahi Wa Barakaatuh!! Wa Ba’du:
Telah dilakukan pengamatan terhadap surat engkau no 12/5/4090 yang
bertanggal 9/10/1375 yang disertakan dengannya berkas-berkas khusus
tentang undang-undang “Ghurfah Tijaariyyah” sebagaimana telah dilakukan
pula pengamatan terhadap keputusan Majlis Syuuraa no 74 pada tanggal
6/7/1375 tentang apa yang telah kami tulis yang berkenaan dengan hal
ini.
Dan kami ingatkan engkau bahwa hal yang kami yakini dan yang diyakini
oleh seluruh ulama kaum muslimin serta seluruh orang yang beragam Islam
adalah bahwa mereka, dan pemerintah mereka serta seluruh kaum muslimin
tidak memiliki hak untuk berpaling dari berpegang teguh terhadap apa
yang telah kami tetapkan pertama kali berupa wajibnya dan harusnya
menghapuskan ghurfah tijaariyyah yang mana Allah telah memberikan taufiq
raja kaum muslimin untuk menghapuskannya. Keduanya – yaitu ghurfah
tijaariyyah dan mahkamah tijaariyyah – adalah dua bersaudara: Salah
satunya adalah langkah pertama untuk menolak Al Qur’an dan Assunnah
dalam sisi memutuskan apa yang diperselisihkan para pengusaha.
Dan kedua adalah tujuan terhadap apa yang ditebarkan oleh syaitan dan
apa yang dia hiasi berupa hukum-hukum barat, orang yang mengambilnya
dari mereka serta orang yang merasa terkagung dengan apa yang mereka
hasilkan dalam mengatur materi (dunia) dan usaha kerasnya untuk
mewujudkan hal itu menjadi suatu kenyataan, sama saja apakah hal itu
sesuai dengan syari’at ataupun menyalahinya.
Dan meskipun mereka itu menipu para budak materi dan orang-orang yang
tidak peduli akan jalan yang benar dengan cara mereka menjadikan
tahkiimnya serta perujukan hukum kepadanya sebagai hal yang ikhtiyaari
bukan paksaan. Demi Allah, orang yang melontarkan kalimat tersebut
sungguh telah mendatangkan sesuatu yang sangat nista. Semenjak kapan
pilihan dalam merujuk hukum itu diserahkan kepada orang-orang yang
bersengketa dan bahwa mereka boleh merujuk hukum kepada orang yang
mereka sepakati untuk memutuskan di antara mereka, baik hakim syar’iy
atau bukan syar’iy, bukankah Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman:
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) sekali-kali tidak
beriman hingga mereka menjadikan kamu Hakim dalam perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (Qs: An-Nisaa’: 65).
Sesungguhnya dlamiir (kata ganti) yang ada dalam firman-Nya (hingga mereka menjadikan kamu Hakim) yang dimaksud
dengannya adalah orang-orang yang bersengketa, jadi urusan itu tidak
diserahkan kepada keinginan mereka, bahkan mereka itu sama sekali tidak
diperbolehkan merujuk dan mengadukan kasusnya saat terjadi persengketaan
kecuali kepada syari’at Muhammad, sedangkan tahaakum (merujuk hukum)
kepadanya adalah tahaakum kepada para pembawa syari’at itu yang selalu
memutuskan dengannya. Sungguh kalimat yang buruk ini yang mengandung apa
yang telah dijelaskan tadi, (sungguh ini) serupa dengan apa yang telah
terkenal semenjak lalu di kalangan sebagian para pelopor undang-undang,
yaitu berupa pelimpahan hak pilih yang mereka berikan kepada dua pihak
yang bersengketa saat keduanya mengadukan kasusnya kepada mereka, orang
itu berkata: Anda menginginkan syari’at yang mulia atau anda
menginginkan undang-undang yang maju? Alangkah serupanya malam ini
dengan malam kemarin??.
Bila ia bukan dia atau dia bukan ia, maka sesungguhnya dia adalah
Saudaranya yang sama-sama disusui oleh ibunya dari air susunya
Apakah tidak menyadarkan kita apa yang telah Allah timpakan terhadap
pemerintahan-pemerintahan yang menganggap baik undang-undang berupa
penghancuran kemajuan-kemajuan mereka dan hukuman-hukuman yang membuat
sisa-sisa ajaran dien Islam yang masih tersisa pada mereka semerawut
tidak karuan dan hanya sekedar nama-nama yang tidak ada hakikatnya,
sebagaimana negara mereka juga dijadikan seperti itu. Mereka dihukum
(oleh Allah) dengan sebab mereka menjadikan selain syari’at sebagai
hukum di sebagian urusan mereka, sehingga pada akhirnya semua yang
diberlakukan adalah undang-undang yang diadopsi dari undang-undang
“Jenghis Khan” dari negara-negara maju, seperti Rusia, Inggris dan
negara-negara kafir lainnya, serta dari kelompok-kelompok yang sangat
jauh dari pokok ajaran dan nash-nash syari’at.
Dan tidak boleh diduga bahwa di dalam syari’at Muhammad ini ada
kesempitan, tidak juga dalam hal-hal yang dihalalkannya, hal-hal yang
diharamkannya, dalam putusannya, dalam hukum-hukumnya, dan dalam
mu’aamalatnya, sebagaimana firman Allah subhaanahu wa ta’aala:“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.“(Al
Hajj:78). Justeru ajarannya adalah sangat mudah sekali, dan kaum
muslimin tidak bisa tegak serta tidak bakal beruntung kecuali dengan
menjadikan syari’at ini sebagai rujukan hukum. Ya, hukum Islam
itu tidak bakal sejalan selama-lamanya dengan tujuan-tujuan orang-orang
yang berkepribadian bobrok serta orang-orang yang selalu mengekor kepada
keinginan-keinginan yang kafir, I’tikad-I’tikad yang busuk, mu’aamalat
riba, serta jalan-jalan haram yang hina. Mana mungkin Islam sejalan dengan tujuan mereka itu. Islam
hanya bisa sejalan dengan keadilan dan keinginan orang-orang yang
mengharapkan mendapatkan hak-hak mereka yang sama sekali tidak
berkeinginan mendapatkan hak milik orang lain. Syari’at ini menjaga
semua hak, apapun bentuknya untuk disalurkan kepada yang berhak
mendapatkannya, serta membersihkannya dari apa yang diharapkan oleh
orang-orang tamak dan dzalim yang ingin menggabungkan harta milik orang
lain dengan hartanya.
Kemudian kapan terjadi mahkamah-mahkamah syar’iyyah ini berpaling
dari shulh yang adil yang tidak mengharamkan yang halal dan tidak
menghalalkan yang haram, justeru di antara keputusan yang muncul dari
para hakim syari’at ini dalam menyelesaikan pertikaian ada bagian yang
banyak sekali yang landasannya adalah shluh syar’iy yang adil.
Dan tergolong yang maklum adalah bahwa siapa orangnya yang jatuh
dalam kekeliruan dan terus melanjutkannya, atau dirinya dirayu syahwat
untuk melakukan yang tidak halal dan membiasakan melakukannya serta
terus menjalaninya, maka hal itu menjadi kuat dalam keyakinannya
sehingga syahwatpun menjadi syubhat, dan kekeliruanpun menjadi kebenaran
dalam keyakinannya, sehingga dia tetap membela kekeliruannya dan
syubhatnya yang asalnya tumbuh dari syahwat. Dan dengan cara inilah
syaitan mampu menjerat mayoritas, manusia. Dan hal paling pait dalam
indra perasa mereka adalah manisnya rasa syari’at dan kebenaran.
Hal apa di sisi kaum muslimin yang menyamai pokok dien mereka, yaitu
syahadat Laa ilaaha Illallaah wa Anna Muhammadan Rasulullaah? Di samping
apa yang dihasilkan di atasnya berupa ilmu, I’tiqad, amalan, serta
baraa’ah dari apa yang melanggarnya? Dan kewajiban kaum muslimin adalah
mengamati dua kalimat ashlud dien (Laa ilaaha Illallaah wa Anna
Muhammadan Rasulullaah) dan mengamati apa yang dituntut oleh ungkapan
pertama”syahadat Laa ilaaha Illallaah” berupa pengesaan Allah dengan
ibadah, dan apa yang dituntut oleh ungkapan kedua”syahadat Anna
Muhammadan Rasulullaah” berupa pengesaan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam dengan mutaaba’ah, menjadikan apa yang dibawanya sebagai
rujukan hukum, serta memutuskan sesuai dengan tuntutannya baik dalam hal
sedikit atau banyak, kecil atau besar, baik terhadap orang besar atau
orang kecil, rakyat atau pemimpin. Wallaahu Yahfadhukum!! . Wassalaam!!”
(Sheikh Abu Muhammad Al Maqdisi berkata tentang pengingkaran Sheikh Muhammad Bin Ibrahim dalam masalah ini untuk merujuk ke Majmu Fataawa, hal 273, 274 dalam juz 12 fatwa no. 4058)
(4042 – Pengingkaran Terhadap Badan Penyelesaian Persengketaan)
Dari Muhammad Ibnu Ibrahim kepada saudara yang terhormat!!
Yang mulia wakil Menteri Luar Negeri sallamahullah!!
Assalaamu ‘Alaikum Wa Rahmatullah Wa Barakaatuh!! Wa Ba’du:
Kami merujuk kepada copyan surat engkau yang dialamatkan kepada yang
mulia Menteri Perdagangan dan Industri seputar status undang-undang Badan Penyelesaian Persengketaan.
Dan kami beritahukan kepada anda bahwa kami sama sekali tidak
mengetahui tentang Hai’ah (Badan ini), dan kami tidak mengakui perujukan
hukum (tahaakum) kecuali kepada mahkamah-mahkamah syar’iyyah; karena
mahkamah-mahkamah ini memutuskan hukum di antara manusia sesuai dengan
tuntutan Al Kitab dan Assunnah, dan inilah yang menjamin kemaslahatan
bagi kaum muslimin di dunia dan di akhirat mereka. Adapun tahaakum kepada pihak-pihak yang tidak syar’iy maka itu adalah merupakan berhukum dengan selain apa yang Allah turunkan. Dan
mana mungkin bagi pemerintahan yang undang-undangnya adalah Kitabullah
dan Sunnah Rasul-Nya mengakui hal seperti ini!! Wallaahu Yahfadzukum!!.
Ketua Mahkamah Agung
(SH/Q 1/2067 tanggal 5/4/1386)
(3743— Empat Puluh Deraan Bagi Orang Yang Mengisap Tembakau, Dan Empat Puluh Bagi Orang Yang Makan Qaat)
Dari Muhammad Ibnu Ibrahim kepada saudara al mukarram Ketua Diiwaan
‘Aalii yang terhormat!! Assalaamu ‘Alaikum Wa Rahmatullah Wa
Barakaatuh!! Wa Ba’du:
Kami telah melihat mu’aamalah yang muncul dari engkau no 16/10/3122
tanggal 29/11/1376 H tentang permintaan penjelasan dari Mendagri tentang
sangsi yang mesti dikenakan terhadap orang-orang yang menggunakan Qaat.
Kewajiban yang mesti dikenakan terhadap pemakai qaat adalah
didera sebanyak empat puluh kali deraan, sebagaimana sangsi ini
dikenakan juga buat orang yang menggunakan tembakau, dan inilah hukuman
yang difatwakan oleh ulama-ulama kita para imam dakwah di Nejed
rahimahumullah tentang penggunaan tembakau, karena dua hal itu
bersatu dalam satu alasan yang menuntut pengharamannya, yaitu memabukan
dan melesukan, ini berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad
dalam Musnadnya dan Abu Dawud dalam Sunannya dengan sanad shahih dari
Ummu Salamah radliyallaahu ‘anha, beliau berkata: Rasulullaah melarang setiap hal yang memabukan dan melesukan. “[2] Maka
wajib atas para petugas hisbah (amar ma’ruf nahi mungkar) untuk
menegakkan sangsi-sangsi syar’iy berhubungan dengan penggunaan
bahan-bahan bius lainnya, sebagaimana wajib atas mereka menegakkan
huduud karena akibat penggunaan minuman yang memabukan. Dan wajib atas
pemerintah untuk mendorong para petugas untuk melaksanakannya serta
membantu mereka di dalamnya. Semoga Allah memberikan taufiq-Nya kepada
semua terhadap hal yang membawa kemaslahatan bagi kaum muslimin, dan
semoga Dia menghalangi mereka dari menggunakan apa yang membuat murka
Rabbul ‘Aalamiin. Wassalaamu ‘Alaikum Wa Rahmatullah Wa Barakaatuh!!
Ketua Mahkamah Agung
(SH/F/182 pada 23/2/1377)
(3742 – Rokok Adalah Harta Yang Tidak Berharga)
Dari Muhammad Ibnu Ibrahim kepada Fadlilah Ketua mahkamah-mahkamah Jaazaan…sallamahullah
Assalaamu ‘Alaikum Wa Rahmatullah Wa Barakaatuh, Wa Ba’du:
Kami menguatkan bagi engkau dengan menyertakan berkas-berkas yang
diajukan dari engkau dengan no 1607/2/Q dan tanggal 26/11/87 yang
berkenaan dengan kasus si terpenjara Ali yang tertuduh mencuri 20
tas berisi rokok ‘Aaid milik Umar Al ‘Amuudiy, dan engkau menginginkan
pendapat yang kami pandang tentang pengaduan ini.
Dan kami beritahukan kepada engkau bahwa rokok itu adalah
harta yang tidak berharga, dan pemiliknya tidak berhak menuntut, akan
tetapi penuntut umum dialah yang mengarahkan tuntutan atas terdakwa, dan
bila ternyata benar apa yang dituduhkan terhadapnya, maka dia dita’zir
dan rokok diambil darinya dan kemudian dimusnahkan, dan bila ternyata
dia telah menjualnya, maka nilainya diambil darinya dan kemudian
diberikan kepada orang-orang faqir. Wallaahu Yatawallaakum, wassalaam.
Ketua Mahkamah Agung
(SH/Q 691/3/1 pada 22/2/88 H)
(3741 – Larangan Mempromosikan Rokok)
Dari Muhammad Ibnu Ibrahim kepada pangeran Perdana Menteri yang dimuliakan! !Ayyadahullaah!!
Assalaamu ‘Alaikum Wa Rahmatullah Wa Barakaatuh!! Wa Ba’du:
Kemudian semoga Allah menjaga engkau!! Kami beritahukan kepada yang mulia bahwa Perusahaan” Syankar dan Ibnu Zuqar“telah
mencetak kalender untuk tahun 1378 H yang mendorong dengan cara promosi
dan mengundang hasrat untuk merokok dalam mayoritas
lembaran-lembarannya, sebagaimana perusahaan tersebut membagi-bagikannya
secara gratis. Dan ada anak cabang promosi mereka sekarang di Riyad
yang membagi-bagikan kalender ini. Dan tidak samar bagi yang
mulia bahwa pada hal itu terdapat ajakan buruk untuk menghisap rokok
yang haram lagi busuk dan merusak agama dan kesehatan; maka kami
harapkan dari yang mulia untuk memberikan putusan tegas yang membabat
promosi ini dan menggugurkannya. Dan saya lampirkan dengan
surat saya ini sejumlah kalender yang saya sebutkan tadi agar yang mulia
melihatnya. Semoga Allah memberikan taufiq-Nya kepada engkau.
Wassalaamu ‘Alaikum Wa Rahmatullah!!
(SH/M 1099 pada 20/1/1378)
(4104 – Pemecatan Qadli Yang Merokok)
Dari Muhammad Ibnu Ibrahim kepada paduka raja yang agung Hafidhahullah!!
Assalaamu ‘Alaikum Wa Rahmatullah Wa Barakaatuh!! Wa Ba’du:
Telah nyata bagi kami bahwa qadli daerah Yanbu…merokok
secara terang-terangan di mahkamah, sebagaimana mu’aamalah rakyat dan
kasus-kasusnya sering terlambat padanya dan tidak cepat
menyelesaikannya. Dan dikarenakan itu adalah hal yang sangat
disayangkan baginya terutama bila itu muncul dari para qadli, oleh sebab
itu sesungguhnya maslahat menuntut agar dia cepat dipensiunkan. Maka
kami mengharap dari yang mulia agar menyetujui hal itu dan
memberitahukan hal itu kepada kami. Semoga Allah menuntun engkau dengan
taufiq-Nya.
Ketua Mahkamah Agung
(SH/Q 2425/5/KHA pada 25/11/1384)
(682 – Di Antara Tugasnya Adalah Memberikan Perizinan Dan Keringanan Bisnis Rokok.)
Dari Muhammad Ibnu Ibrahim kepada al mukarram Abdullah Ibnu
Musyabbib Ar Rajaa’……………………………………………………………………………………….. sallamahullaah
Assalaamu ‘Alaikum Wa Rahraatullah Wa Barakaatuh!! Wa Ba’du:
Telah sampai kepada kami suratmu, dan kami memahami isinya bahwa
engkau ini adalah pegawai di Departemen Keuangan Dammam, dan bahwa di
antara tugasmu adalah memberikan perizinan dan keringanan bisnis rokok,
jual beli dan impor, serta bahwa engkau ini adalah imam mesjid jami’ komplek Badiyah di Dammam, sedangkan engkau bertanya tentang status keimamanmu padahal tugasmu adalah apa yang telah disebutkan.
Sebenarnya sesungguhnya ridlamu dengan pekerjaan ini sedangkan engkau
tergolong orang yang dipandang baik dan shalih adalah hal yang sangat
aneh. Dan yang kami nasehatkan kepadamu adalah agar kamu cepat meninggalkan pekerjaan ini dan mencari pekerjaan yang lain. Siapa
orangnya meninggalkan sesuatu karena Allah maka Allah menggantikan
baginya apa yang lebih baik dari hal itu, karena sesungguhnya
pintu-pintu rizki itu tidak terbatas pada pekerjaanmu tadi, (bila kamu
tetap bersikeras untuk tetap bekerja di sana, maka kamu wajib menjauhi
dari mengimami orang-orang di mesjid, sebab sesungguhnya tugas mengimami
mesjid itu sangatlah bertentangan dengan pekerjaanmu.
Inilah, dan kami memohon taufiq dan petunjuk kepada Allah bagi kami dan engkau. Wassalaam.
Mufti Negara Saudi
(SH – F – 1171 pada 25/6/1389 H)
(4043 – Pelimpahan Kasus-Kasus Sinema dan Rokok Serta Yang Lainnya Terhadapnya)
Dari Muhammad Ibnu Ibrahim kepada yang mulia Menteri Dalam Negeri!!Sallamahullaah!!
Assalaamu ‘Alaikum Wa Rahmatullah Wa Barakaatuh!! Wa Ba ‘du:
Merujuk kepada edaran yang copyannya diserahkan kepada kami dengan
nomor 9832 dan tanggal 7/8/86 yang dikaitkan dengan hal yang agung nomor
16458 pada tanggal 15/7/86 yang berisi persetujuan atas usulan engkau
untuk melimpahkan kasus-kasus sinema, rokok, radio, dapur rekaman, kaset
rekaman, alat musik dan yang lainnya kepada “Badan Penyelesaian Sengketa Bisnis”
dan menugaskannya untuk meneliti masalahnya, dan itu dengan alasan
bahwa mahkamah-mahkamah syar’iyyah merasa kurang sreg untuk menangani
masalah-masalah ini dan yang sebangsa dengannya.
Kami beritahukan kepada yang mulia semoga Allah menyelamatkannya!!
Bahwa kami sengaja menangguhkan ta’miim sesuai tuntutannya, karena kami
tidak setuju dengan apa yang ada di dalamnya dan kami meyakini bahwa
secara syar’iy ta’miim hal seperti ini adalah tidak boleh; karena yang
wajib adalah tahkiim syari’at yang suci ini dalam segala hal yang
terjadi perselisihan di dalamnya, dalam rangka ketaatan kepada Allah
subhaanahu wa ta’aala dalam firman-Nya:
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an)
dan Rasul(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (Qs: An-Nisaa’: 59)
Dan firman-Nya:
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) sekali-kali tidak
beriman hingga mereka menjadikan kamu Hakim dalam perkara yang mereka
perselisihkan,-” (Qs: An-Nisaa’: 65).
Dan sebagai ketaatan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:“Tidak beriman seseorang di antara kalian sehingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.” Mahkamah-mahkamah
syar’iyyah sama sekali tidak merasa sungkan menyelesaikan setiap kasus
yang diajukan oleh dua pihak yang bertikai, dan mahkamah pasti
memutuskan di dalamnya dengan putusan yang seharusnya, yang batil
dianggap batil dan yang benar dianggap benar, yang haram dikatakan di
dalamnya haram seraya dijelaskan hukum syar’iy di dalamnya, dan yang
halal dikatakan halal di dalamnya meskipun hukum-hukum ini menyebabkan
pemusnanan sebagian hal-hal yang diharamkan, sebab itulah maslahat dan
kebaikan yang sebenarnya, meskipun orang yang memilikinya merasa
dirugikan, karena pelaku hal yang diharamkan berhak mendapatkan sangsi,
dan di antara bentuk sangsi itu adalah pemusnahan barang miliknya yang
tidak memiliki kehormatan (di dalam Islam). Sedangkan undang-undang
Negara ini alhamdulillah adalah tahkiim syari’at dalam hal besar ataupun
kecil. Dan menyandarkan penyelesaian sebagian masalah kepada
selain mahkamah syar’iyyah dan kepada orang yang bukan ahli untuk
memutuskan sesuai syari’at adalah bertentangan dengan undang-undang
langit ini, dan inilah yang menyinggung dengan sebenar-benarnya
terhadap mahkamah-mahkamah syar’iyyah dan terhadap syari’at yang mereka
jadikan rujukan hukum di mahkamah ini, karena dalam perbuatan tersebut
terkandung penyingkiran akan syari’at dari wewenang memutuskan hukum di
dalam masalah-masalah tadi. Dan baginda raja semoga Allah menjaganya!!
Adalah tergolong orang yang sangat antusias untuk menjaga syari’at ini,
membelanya, dan mengharuskan manusia berhukum kepadanya! Semoga Allah
memberikan taufiq kepada engkau!! Dan semoga Dia menjadikan engkau
tergolong orang-orang yang membela kebenaran dan para penyeru kepada
petunjuk selagi baginda hidup…wassalaam!
Ketua Mahkamah Agung
(SH/Q 2206/1 pada 13/6/1387)
(4044 – Para Anggota Pakar Hukum Perundang-Undangan Bersama Qadli-Qadli Syar’iy Di Dalamnya)
Dari Muhammad Ibnu Ibrahim kepada yang terhormat yang mulia Menteri Perdagangan dan Perindustrian… ..waffaqahulaah!!
Assalaamu ‘Alaikum Wa Rahmatullah Wa Barakaatuh!! Wa Ba’du:
Kami telah menerima surat yang muiia no M/624 tanggal 12/10/1388 seputar apa yang engkau namakan”Hai’aatul Mushaalahaat Wal Fashl Fil Khilaafaat Allatii Tansya’u ‘An Tathbiiqil Andzimah At Tijaariyyah Allatii Tashduru Bihaa Maraasiim Wa Awaamir Saamiyyah” dan
saya paham akan semua apa yang engkau jelaskan, dan terutama apa yang
berkaitan dengan para anggota yang diangkat dari kalangan Ahlul Khibrah
(para pakar hukum perundang-undangan) di samping para anggota yang
syar’iy, dan penguraian yang mulia akan contoh-contoh musykilah yang
ditangani oleh hai’ah tersebut dengan cara mushaalahah dan penyelesaian
di dalamnya, serta bahwa apa yang mereka lakukan itu sama sekali tidak
bertentangan dengan tuntutan syari’at Islamiyyah yang lapang…..sampai
akhir penjelasannya.
Dan sesungguhnya saya mengucapkan terima kasih kepada yang mulia atas
penjelasan ini, akan tetapi apa yang saya ingkari dan pasti diingkari
oleh setiap muslim – dan telah saya tulis kepada paduka raja
hafidhahullaah tentangnya dan saya juga berbicara langsung terhadapnya
beberapa kali akan hal itu – yaitu pengkhususan anggota-anggota pakar
hukum perundang-undangan di samping para qadli syar’iy dalam hai’ah ini,
sebagaimana yang ditegaskan oleh tembusan yang dikirim kepada semua
anggota. Sedangkan pengangkatan anggota-anggotan pakar hukum
perundang-undangan di samping qadli-qadli syar’iy artinya adalah
isytiraak (ikut serta) dalam putusan-putusan yang mereka munculkan
dengan nama mushaalahah serta penandatangannya oleh para qadli syar’iy
bersama para pakar undang-undang itu, dan ini tidak diragukan lagi
menjadikan putusan-putusan ini tunduk kepada keinginan para pakar
undang-undang itu, sebagaimana putusan itu tunduk kepada
pendapat-pendapat para qadli syar’iy. Sedang ini adalah penyetaraan
antara syari’at dengan undang-undang buatan (qawaaniin wadl’iyyah),
dan membuka pintu untuk tahkiimul qawaaniin wadl’iyyah serta istibdaal
(penggantian) syari’at Islamiyyah yang lapang ini dengannya, sedangkan
ini adalah hal yang tidak diinginkan oleh imam kaum muslimiin
hafidhahullah!. Dan ini adalah yang ditolak oleh setiap muslim yang
jujur dalam keislamannya, karena itu adalah menjadikan selain syari’at Islamiyyah sebagai hukum di antara manusia, dan ini maknanya adalah kekafiran dan keluar dari Islam, wal ‘iyaadzu billaah.
Adapun penamaan para pakar undang-undang itu dengan nama”ahlul
khibrah/ahli yang berpengalaman” atau memberikan sifat kepada mereka
bahwa mereka itu”mustasyaaruun/para penasehat” maka ini sama sekali
tidak merubah masalah sedikitpun. Dan sewajibnya adalah membentuk hai’ah
ini dari kalangan qadli-qadli syar’iy yang memutuskan di antara manusia
dengan syari’at Allah, dan mereka menerapkan apa yang diperintahkan
Allah dan Rasul-Nya berupa menghukumi di antara mereka dengan kebenaran
dan keadilan yang mana keduanya terdapat dalam syari’at yang mudah ini
yang menjamin segala maslahat manusia, keberhasilan mereka serta
keselamatannya. Sedangkan undang-undang dan ahli-ahlinya tidak boleh
sama sekali memutuskan di antara manusia, karena mereka itu bila
memutuskan tentunya pasti memutuskan sesuai dengan apa yang dituntut
oleh qawaaniin wadl’iyyah yang jelas-jelas bertentang dengan dienullah
dan syari’at-Nya, sebab mereka itu tidak menguasai kecuali hal itu. Dan
apa yang muncul dari mereka berupa putusan-putusan yang selaras dengan
hukum syar’iy, maka itu hanya datang lewat jalan kebetulan dan tanpa
maksud mengamalkan perintah syari’at.
Dan hendaklah diketahui bahwa shulh memiliki banyak syarat yang di
antaranya adalah ridla kedua belah pihak terhadapnya, dan juga tidak
bertentangan dengan syari’at Islamiyyah, adapun bila menyalahinya maka
shulh itu batil. Dan para qadli syar’iy memiliki pengetahuan sempurna
akan hal ini. Dan Allah-lah yag menunjukan kepada jalan yang lurus.
Wassalaamu ‘Alaikum Wa Rahmatullah Wa Barakaatuh!! .
Mufti Negeri Saudi
(SH/F 1/3328 pada 23/10/1388)
(4045 – Undang-Undang Perburuhan dan Buruh Adalah Tidak Syar’iy)
Dari Muhammad Ibnu Ibrahim kepada pangeran wakil perdana menteri sallamahullaah
Assalaamu ‘Alaikum Wa Rahmatullah Wa Barakaatuh!! Wa Ba’du:
Dalam rangka menjawab surat yang mulia yang disertakan nomor 5808
tanggal 17/3/87 pada berkas-berkas khusus ini tentang kasus Abdul Wahhab
Ibnu Ali Al Qahthaniy dari daerah Ziraa’ah agar membayar diyat khatha’
kepada ahli waris terbunuh Musa An Nuhayyan, padahal departemen
perhubungan telah membayar kepada ahli warisnya ganti rugi sebesar 27000
Riyal dengan berlandaskan kepada Undang-Undang Perburuhan dan Buruh.
Dan apa yang mulia sebutkan bahwa sebaiknya departemen perhubungan
jangan dahulu menyerahkan ganti rugi apapun sebelum mengetahui pasti
laporan penelitian polisi, kejadian, dan hukum syar’iy yang berhubungan
dengan kasus ini, serta permintaan yang mulia untuk meneliti masalah ini
serta memberitahukan yang mulia akan pendapat kami dalam kasus ini.
Kami beritahukan yang mulia bahwa apa yang muncul dalam kasus ini dari mahkamah syar’iyyah adalah itu yang dijadikan acuan. Adapun
apa yang diserahkan oleh departemen perhubungan dengan landasan
Undang-Undang Perburuhan dan Buruh, maka undang-undang tersebut adalah
qaanuuniy dan tidak syar’iy, dan tidak boleh mengakuinya, atau mendukung
apa yang dibangun di atasnya secara total. Waallaahu Yahfadhukum, wassalaam.
Ketua Mahkamah Agung
(SH/Q 1536 pada 27/4/1387)
(4046 – Fatwaa Dalam Masalah Tadi)
Dari Muhammad Ibnu Ibrahim yang terhormat Fadlilah Ketua mahkamah
kubraa di Riyad sallamahullah Assalaamu ‘Alaikum Wa Rahmatullah Wa
Barakaatuh!! Wa Ba’du:
Kami telah membaca surat engkau yang dilampirkan no 1/2812 pada
12/8/78 seputar mu’aamalaat yang dilimpahkan kepada mahkamah dari Kantor
Perburuhan dan Buruh.
Dan yang mesti diikuti dalam hal seperti ini adalah bahwa apa yang
dilimpahkan kepada mahkamah untuk memutuskannya dan menyelesaikannya
dengan cara syar’iy, maka wajib atas mahkamah meninjaunya karena itu
termasuk tugasnya. Adapun bila mu’aamalat itu dilimpahkan dalam
rangka melaksanakan arahan Kantor Perburuhan kemudian nantinya
dikembalikan kepadanya untuk diselesaikan sesuai dengan aturan-aturan
dan undang-undang yang tidak Allah turunkan, maka tidak boleh bagi
mahkamah menghiraukan arahan seperti ini, karena tindakan itu dianggap
dari mahkamah sebagai perestuan bahkan bantuan atas tahaakum kepada
selain apa yang telah Allah turunkan. Maka hendaklah catatan yang kami sebutkan ini diperhatikan dan dilaksanakan. Semoga Allah menjagamu.
Ketua Mahkamah Agung
(SH/Q 31 pada 23/10/1379)
(4047 – Fatwa Yang Serupa)
Dari Muhammad Ibnu Ibrahim kepada Qadli Thariif
Assalaamu ‘Alaikum Wa Rahmatullah Wa Barakaatuh!! Wa Ba’du:
Kami telah melihat surat-menyurat yang terjadi antara engkau dengan Abdul Aziz Ibnu Farraj dan Manshur Ibnu Nabqan, dan dari sebagiannya kami memastikan kekeliruanmu dan lemahnya pengamatanmu, yaitu ucapanmu: Ini kembali kepada pemerintah, ia bisa menunjuk orang yang dikehendakinya untuk memutuskan di
dalamnya, maksud saya adalah bahwa pemerintah bisa menunjuk direktur
(Kantor) Perburuhan dan Buruh.” Bagaimana orang sepertimu rela adanya
tahaakum kepada selain mahkamah, apalagi ikut berusaha untuk memuluskan
tahaakum kepada selainnya. Yang penting dari ini semua adalah bahwa
engkau meninjau pengaduan mereka itu dengan cara syar’iy, dan bila
engkau merasa sulit memutuskan maka cepat serahkan kepada ketua mahkamah
‘Ir’ir, dan kirimkan kepadanya copyan kasus yang ada padamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar