Hukum Mengeraskan atau Melafalkan Niat dalam Shalat
Affanoer
Sebagian
besar ummat Islam di Indonesia semenjak kecil telah diajarkan sebelum
shalat, maka harus berniat terlebih dahulu. Seperti “usholli fardha
zuhri...” atau “ushalli fardha maghribi tsalatsa...” dan ushalli ushalli
lainnya. Seakan-akan tanpa melafalkan niat seperti itu, maka shalatnya
tidak afdhal atau pun tidak sah.
Padahal,
seharusnya saat ini kita harus lebih kritis dan teliti dalam beramal.
Yang kita kritisi bukan ibadahnya, namun masalah dalilnya. Apakah hal
itu diperbuat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para
shahabatnya? Apakah hal itu ada tuntunannya?
Orang-orang
yang tetap melafalkan niat berupa “ushalli...” mengaku bahwa mereka
bermadzhab Syafi’i. Mereka mengetahui itu dari orang tua mereka,
guru-guru mereka, dll. Dan pendapat yang tersebar di Indonesia adalah
bahwa melafalkan atau men-jahr-kan (mengeraskan) niat adalah pendapat
Imam Syafi’i, salah satu ulama besar ahli fiqh.
Padahal
yang sebenarnya bahwa itu bukanlah pendapat Imam Syafi’i melainkan
pendapat Abdullah Az-Zubairi, salah satu ulama bermadzhab Syafi’i.
Sebagaimana diterangkan oleh Imam Nawawi,
...Abdullah Az-Zubairi berpendapat, tidak cukup bagi seseorang dalam hal niat, kecuali dengan mengumpulkan antara niat dalam hati dengan ucapan lisan, karena Imam Syafi’i mengatakan dalam bab haji: ‘Apabila ia berniat haji atau umroh (dalam hati), maka itu sudah cukup baginya, meski tanpa ucapan, tidak seperti sholat yang tidak sah kecuali dengan ucapan’…. (Imam Nawawi mengatakan): “Para sahabat kami mengatakan: Orang ini (Abdullah Az-Zubairi) telah jatuh dalam kesalahan, karena yang dimaksud oleh Imam Syafi’i ‘ucapan dalam sholat’ adalah ucapan takbir bukan ucapan niat....(Imam Nawawi, Majmu’ Syarah Muhadzdzab 3/241)
Dan hal ini berarti, bahwa pendapat yang mendukung adanya pelafalan
atau pengerasan niat jatuh ke dalam derajat yang sangat lemah dan bahkan
para ulama membid’ahkannya. Hal ini dikarenakan beberapa hal,
diantaranya:
Yang pertama, bahwa pendapat ini hanya disampaikan oleh satu orang, yaitu Az-Zubairi dan kemudian diambil oleh banyak orang.
Yang kedua, Az-Zubairi salah memahami perkataan Imam Syafi’i mengenai antara niat haji dan shalat. Yang dikeraskan dalam shalat yang dimaksud adalah takbir, dan bukan niatnya.
Yang ketiga,
seandainya pun Az-Zubairi menqiyaskan (menganalogikan atau menyamakan)
antara niat haji yang dikeraskan dengan niat shalat, maka hal ini pun
keliru. Niat shalat tidak boleh disamakan dengan niat haji,
karena pada dasarnya perintah shalat turun terlebih dahulu sebelum haji.
Dan kaidah penting dalam ilmu fiqh adalah yang terdahulu tidak boleh
disamakan dengan apa yang turun sesudahnya.
Yang keempat,
tidak ada dalil yang bersumber dari Al-Qur’an maupun hadits Nabi yang
memerintahkan untuk melafalkan niat. Jika ada hadits-nya maka hadits itu
derajatnya dhaif (lemah). Sama sekali tidak ditemukan riwayat yang shahih
mengenai anjuran mengeraskan niat, baik itu dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, para shahabat, tabi’in, dan imam 4 madzhab. (Shalih
bin Abdul Aziz bin Muhammad Alu Syaikh, Al-Minzhar fi Katsir min al-Akhta’ asy-Sya’i’ah)
Bahkan, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah dalam Zaadul Ma’ad dan Al-Huda An-Nabawi menyatakan,
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri untuk shalat beliau mengucapkan “Allahu Akbar” dan beliau tidak berkata apapun selain itu. Beliau juga tidak melafalkan niatnya dengan keras. Beliau tidak berkata, “Saya berniat shalat karena Allah begini dan begini sambil menghadap kiblat, empat rakaat...”(Al-Minzhar hal. 22)
"Niat
letaknya di hati, bukan di lisan, berdasarkan kesepakatan para ulama
kaum muslimin. Hal ini mencakup seluruh ibadah, seperti thaharah,
shalat, zakat, puasa, haji, pembebasan budak, jihad, dan lain
sebagainya" (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Majmu'ah Ar Rasail Al Kubra I/243)
Dengan begini, jelaslah kepada kita bahwa mengeraskan atau melafalkan niat dalam shalat adalah perkara baru yang tidak ada tuntunannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan generasi salafushshalih. Melainkan karena pendapat satu ulama –yang semoga Allah merahmatinya dan mengampuninya- yang tidak memiliki dalil yang shahih.
Faidah:
Dengan begini, jelaslah kepada kita bahwa mengeraskan atau melafalkan niat dalam shalat adalah perkara baru yang tidak ada tuntunannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan generasi salafushshalih. Melainkan karena pendapat satu ulama –yang semoga Allah merahmatinya dan mengampuninya- yang tidak memiliki dalil yang shahih.
Faidah:
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
"Seandainya
ia mengatakan dengan lisannya sesuatu yang bertentangan dengan apa yang
diniatkannya dalam hatinya, maka yang menjadi patokan adalah apa yang
diniatkannya bukan apa yang diucapkannya. Seandainya ia berkata dengan
lisannya, namun tidak ada niat dalam hatinya, maka hal itu tidak sah
berdasarkan kesepakatan para imam kaum muslimin. Karena niat itu sejenis
maksud dan tekad" (Lihat Shahih Fiqh Sunnah I/148, Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim)
Sumber Penulisan:
Al-Minzhar fi Katsir min al-Akhta’ asy-Sya’i’ah, Syaikh Shalih bin Abdul Aziz bin Muhammad Alu Syaikh. Edisi Indonesia: 40 Kesalahan Dalam Shalat. Penerbit: Pustaka Arafah.
Shahih Fiqh Sunnah wa Adillatuhu wa Taudhih Madzahib Al A'immah, Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Edisi Indonesia: Shahih Fiqih Sunnah. Penerbit: Pustaka At Tazkia.
Shahih Fiqh Sunnah wa Adillatuhu wa Taudhih Madzahib Al A'immah, Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Edisi Indonesia: Shahih Fiqih Sunnah. Penerbit: Pustaka At Tazkia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar