Kupas Tuntas Masalah Hukum Doa Qunut (Menurut Pendapat Ulama Empat Madzhab)
Affanoer Wonosobo
Di
Indonesia, sepertinya banyak sekali yang mengenal istilah qunut dalam
masalah ibadah. Doa qunut yang sudah dianggap sebagai sebuah kewajiban
sepertinya selalu dilaksanakan oleh sebagian kaum muslimin di Indonesia
karena mereka merasa tanpa qunut subuh, maka tidak afdhal ibadah
subuhnya.
Namun,
ada sebagian ummat Islam yang rupanya berang karena menganggap bahwa
hal itu adalah bid’ah yang sesat. Mereka mencela pelaku qunut sebagai
ahlul bid’ah yang menyesatkan.
Lalu, bagaimana pendapat para ulama dalam hal ini?
Pertanyaan: Bagaimana pendapat empat Imam Madzhab mengenai qunut?
Jawab: Pendapat imam madzhab dalam masalah qunut adalah sebagai berikut.
Pertama: Ulama Malikiyyah
Mereka
berpendapat bahwa tidak ada qunut kecuali pada shalat shubuh saja.
Tidak ada qunut pada shalat witir dan shalat-shalat lainnya.
Kedua: Ulama Syafi’iyyah
Mereka
berpendapat bahwa tidak ada qunut dalam shalat witir kecuali ketika
separuh akhir dari bulan Ramadhan. Dan tidak ada qunut dalam shalat lima
waktu yang lainnya selain pada shalat shubuh dalam setiap keadaan (baik
kondisi kaum muslimin tertimpa musibah ataupun tidak, -pen). Qunut juga
berlaku pada selain shubuh jika kaum muslimin tertimpa musibah (yaitu
qunut nazilah).
Ketiga: Ulama Hanafiyyah
Disyariatkan
qunut pada shalat witir. Tidak disyariatkan qunut pada shalat lainnya
kecuali pada saat nawaazil yaitu kaum muslimin tertimpa musibah, namun
qunut nawaazil ini hanya pada shalat shubuh saja dan yang membaca qunut
adalah imam, lalu diaminkan oleh jama’ah dan tidak ada qunut jika
shalatnya munfarid (sendirian).
Keempat: Ulama Hanabilah (Hambali)
Mereka
berpendapat bahwa disyari’atkan qunut dalam witir. Tidak disyariatkan
qunut pada shalat lainnya kecuali jika ada musibah yang besar selain
musibah penyakit. Pada kondisi ini imam atau yang mewakilinya berqunut
pada shalat lima waktu selain shalat Jum’at.
Sedangkan
Imam Ahmad sendiri berpendapat, tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan qunut witir sebelum
atau sesudah ruku’.
Inilah
pendapat para imam madzhab. Namun pendapat yang lebih kuat, tidak
disyari’atkan qunut pada shalat fardhu kecuali pada saat nawazil (kaum
muslimin tertimpa musibah). Adapun qunut witir tidak ada satu hadits
shahih pun dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan
beliau melakukan qunut witir. Akan tetapi dalam kitab Sunan ditunjukkan
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan Al Hasan bin ‘Ali
bacaan yang diucapkan pada qunut witir yaitu “Allahummah diini fiiman
hadayt …”. Sebagian ulama menshahihkan hadits ini (riwayat At-Tirmidzi, Abu Daud, dan Nasa’i. dishahihkan oleh Al-Albani).
Jika seseorang melakukan qunut witir, maka itu baik. Jika
meninggalkannya, juga baik. Hanya Allah yang memberi taufik. (Majmu’
Fatawa wa Rasail Ibnu ‘Utsaimin)
Adapun mengenai qunut shubuh secara lebih spesifik, Syaikh Muhammad bin Shalih
Al Utsaimin menjelaskan dalam fatwa lainnya. Beliau pernah ditanya:
“Apakah disyari’atkan do’a qunut witir (Allahummah diini fiiman hadayt
…) dibaca pada raka’at terakhir shalat shubuh?”
Beliau
rahimahullah menjelaskan: “Qunut shubuh dengan do’a selain do’a ini
(selain do’a “Allahummah diini fiiman hadayt …”), maka di situ ada
perselisihan di antara para ulama. Pendapat yang lebih tepat adalah
tidak ada qunut dalam shalat shubuh kecuali jika di sana terdapat sebab
yang berkaitan dengan kaum muslimin secara umum. Sebagaimana apabila
kaum muslimin tertimpa musibah -selain musibah wabah penyakit-, maka
pada saat ini mereka membaca qunut pada setiap shalat fardhu. Tujuannya
agar dengan do’a qunut tersebut, Allah membebaskan musibah yang ada.”
Apakah perlu mengangkat tangan dan mengaminkan ketika imam membaca qunut shubuh?
Dalam lanjutan perkataannya di atas, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan:
“Oleh
karena itu, seandainya imam membaca qunut shubuh, maka makmum hendaklah
mengikuti imam dalam qunut tersebut. Lalu makmum hendaknya mengamininya
sebagaimana Imam Ahmad rahimahullah memiliki perkataan dalam masalah
ini. Hal ini dilakukan untuk menyatukan kaum muslimin.
Adapun
jika timbul permusuhan dan kebencian dalam perselisihan semacam ini
padahal di sini masih ada ruang berijtihad bagi umat Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ini selayaknya tidaklah terjadi.
Bahkan wajib bagi kaum muslimin –khususnya para penuntut ilmu syar’i-
untuk berlapang dada dalam masalah yang masih boleh ada perselisihan
antara satu dan lainnya. ”
Dalam penjelasan lainnya, Syaikh Muhammad bin Shalih
Al Utsaimin mengatakan, “Yang lebih tepat makmum hendaknya mengaminkan
do’a (qunut) imam. Makmum mengangkat tangan mengikuti imam karena
ditakutkan akan terjadi perselisihan antara satu dan lainnya. Imam Ahmad
memiliki pendapat bahwa apabila seseorang bermakmum di belakang imam
yang membaca qunut shubuh, maka hendaklah dia mengikuti dan mengamini
do’anya. Padahal Imam Ahmad berpendapat tidak disyari’atkannya qunut
shubuh sebagaimana yang sudah diketahui dari pendapat beliau. Akan
tetapi, Imam Ahmad rahimahullah memberikan keringanan dalam hal ini
yaitu mengamini dan mengangkat tangan ketika imam melakukan qunut
shubuh. Hal ini dilakukan karena khawatir terjadinya perselisihan yang
dapat menyebabkan renggangnya hati (antar sesama muslim).”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar