|
|
EKONOMI Al-Qur'an dan Ekonomi Affanoer Masalah-masalah pokok ekonomi menurut para pakar mencakup
antara 1ain:
a. Jenis dan jasa yang diproduksi serta sistemnya.
b. Sistem distribusi (untuk siapa barang jasa itu).
c. Efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi.
d. Inflasi, resesi, dan depresi.
e. Dan lain-lain.
Melihat luasnya ruang lingkup ekonomi, maka boleh jadi kita
dapat menyederhanakan kajian tulisan ini, dengan mengambil
alih pandangan sekian pakar yang mendefinisikan ilmu ekonomi
sebagai "ilmu mengenai perilaku manusia yang berhubungan
dengan kegiatan mendapatkan uang dan membelanjakannya".
Pendorong bagi kegiatan itu adalah kebutuhan dan keinginan
manusia yang tidak mungkin diperoleh secara mandiri. Untuk
memenuhinya manusia terpaksa melakukan kerja sama, dan sering
kali juga terpaksa harus mengorbankan sebagian keinginannya,
atau mengantarnya menetapkan prioritas dalam melakukan
pilihan.
Namun ada juga manusia yang sukar mengendalikan keinginannya,
sehingga ia terdorong untuk menganiaya, baik terhadap sesama
manusia maupun makhluk lain. Dari sini amat diperlukan
peraturan serta etika yang mengatur kegiatan ekonomi.
Peraturan dan etika itulah yang membedakan antara ekonomi yang
dianjurkan Al-Quran dengan ekonomi lainnya.
Harus diakui bahwa Al-Quran tidak menyajikan rincian, tetapi
hanya mengamanatkan nilai-nilai (prinsip-prinsip)-nya saja.
Sunnah Nabi dan analisis para ulama dan cendekiawan
mengemukakan sebagian dari rincian dalam rangka
operasionalisasinya.
UANG DALAM PANDANGAN AL-QURAN
Terlebih dahulu perlu dijelaskan pandangan Al-Quran tentang
harta (uang) dan pengembangannya dalam kegiatan ekonomi.
"Uang" antara lain diartikan sebagai "harta" kekayaan, dan
"nilai tukar bagi sesuatu".
Berbeda dengan dugaan sementara orang yang beranggapan bahwa
Islam kurang menyambut baik kehadiran uang, pada hakikatnya
pandangan Islam terhadap uang dan harta amat positif. Manusia
diperintahkan Allah untuk mencari rezeki bukan hanya yang
mencukupi kebutuhannya, tetapi Al-Quran memerintahkan untuk
mencari apa yang diistilahkannya fadhl Allah, yang secara
harfiah berarti "kelebihan yang bersumber dari Allah". Salah
satu ayat yang menunjuk ini adalah:
Apabila kamu telah selesai shalat (Jumat) maka
bertebaranlah di bumi, dan carilah fadhl
(kelebihan/rezeki) Allah (QS A1-Jumu'ah [62]: 10).
Kelebihan tersebut dimaksudkan antara lain agar yang
memperoleh dapat melakukan ibadah secara sempurna serta
mengulurkan tangan bantuan kepada pihak lain yang oleh karena
satu dan lain sebab tidak berkecukupan.
Harta atau uang dinilai oleh Allah Swt. sebagai "qiyaman",
yaitu "sarana pokok kehidupan" (QS Al-Nisa' [4): 5). Tidak
heran jika Islam memerintahkan untuk menggunakan uang pada
tempatnya dan secara baik, serta tidak memboroskannya. Bahkan
memerintahkan untuk menjaga dan memeliharanya sampai-sampai
Al-Quran melarang pemberian harta kepada pemiliknya sekalipun,
apabila sang pemilik dinilai boros, atau tidak pandai mengurus
hartanya secara baik. Dalam konteks ini, A1-Quran berpesan
kepada mereka yang diberi amanat memelihara harta seseorang:
Janganlah kamu memberi orang-orang yang lemah kemampuan
(dalam pengurusan harta) harta (mereka yang ada di
tangan kamu dan yang dijadikan Allah untuk semua
sebagai sarana pokok kehidupan) (QS Al-Nisa' [4]: 5).
Bukan hanya itu, Al-Quran memerintahkan siapa pun yang
melakukan transaksi hutang piutang, agar mencatat jumlah
hutang piutang itu, jangan sampai oleh satu dan lain hal
tercecer hilang atau berkurang.
Jangan bosan (enggan) menulisnya sedikit atau banyak
sampai batas waktu pembayarannya (QS Al-Baqarah [2]:
282).
Bahkan kalau perlu meminta bantuan notaris dalam
pencatatannya.
Kepada notaris serta yang melakukan transaksi itu, Allah
berpesan pada lanjutan ayat di atas:
[tulisan Arab]
dalam arti, hendaknya notaris jangan merugikan orang yang
melakukan transaksi terutama dengan mengurangi haknya
masing-masing, dan bagi yang melakukan transaksi hendaknya
jangan juga merugikan sang notaris dalam waktu, tenaga, dan
pikirannya tanpa memberi imbalan yang wajar. Diperintahkan
juga agar memilih saksi-saksi dalam hal hutang-piutang, kalau
bukan dua orang lelaki, maka seorang lelaki dan dua orang
perempuan:
Agar kalau seseorang tersesat/lupa, maka yang satu
lainnya akan mengingatkannya (QS Al-Baqarah [2]: 282).
Demikian antara lain kandungan pesan ayat yang terpanjang
dalam Al-Quran.
Pandangan Al-Quran terhadap uang atau harta seperti yang
dikemukakan sekilas ini, bertitik tolak dari pandangannya
terhadap naluri manusia. Seperti diketahui, Al-Quran
memperkenalkan agama Islam antara lain sebagai agama fitrah
dalam arti ajaran-ajarannya sejalan dengan jati diri manusia
serta naluri positifnya. Dalam bidang harta atau keuangan,
Kitab Suci umat Islam secara tegas menyatakan:
Telah menjadi naluri manusia kecintaan kepada lawan
seksnya, anak-anak, serta harta yang banyak berupa
emas, perak, kuda piaraan, binatang ternak, sawah, dan
ladang (QS Ali 'Imran [3]: l4).
"Harta yang banyak" oleh Al-Quran disebut "khair" (QS
Al-Baqarah [2): 180), yang arti harfiahnya adalah "kebaikan".
Ini bukan saja berarti bahwa harta kekayaan adalah sesuatu
yang dinilai baik, tetapi juga untuk mengisyaratkan bahwa
perolehan dan penggunaannya harus pula dengan baik. Tanpa
memperhatikan hal-hal tersebut, manusia akan mengalami
kesengsaraan dalam hidupnya.
Karena daya tarik uang atau harta seringkali menyilaukan mata
dan menggiurkan hati, maka berulang-ulang Al-Quran dan hadis,
memperingatkan agar manusia tidak tergiur oleh kegemerlapan
uang, atau diperbudak olehnya sehingga menjadikan seseorang
lupa akan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah di bumi.
PERANAN UANG
Merujuk kepada Mu'jam Al-Muhfaras (Kamus Al-Quran) oleh Fuad
Abdul Baqi, kata mal (uang) terulang dalam Al-Quran sebanyak
25 kali (dalam bentuk tunggal) dan amwal (dalam bentuk jamak)
sebanyak enam puluh satu kali. Diamati oleh Hassan Hanafi
sebagaimana dikemukakan dalam bukunya Ad-Din wa Ats-Tsaurah
bahwa kata tersebut mempunyni dua bentuk.
Pertama, tidak dinisbahkan kepada "pemilik", dalam arti dia
berdiri sendiri. Ini --menurutnya-- adalah sesuatu yang logis
karena memang ada harta yang tidak menjadi objek kegiatan
manusia, tetapi berpotensi untuk itu.
Kedua, dinisbahkan kepada sesuatu, seperti "harta mereka",
harta anak-anak yatim, "harta kamu" dan 1ain-1ain. Ini adalah
harta yang menjadi objok kegiatan. Dan bentuk inilah yang
terbanyak digunakan dalam Al-Quran.
Menurut hasil perhitungan penulis, bentuk pertama ditemukan
sebanyak 23 kali, sedang bentuk kedua sebanyak 54 kali. Dari
jumlah ini yang terbanyak dibicarakan adalah harta dalam
bentuk objok, dan ini memberi kesan bahwa seharusnya harta
atau uang menjadi objek kegiatan manusia. Kegiatan tersebut
adalah aktivitas ekonomi.
Dalam pandangan Al-Quran, uang merupakan modal serta salah
satu faktor produksi yang penting, tetapi "bukan yang
terpenting". Manusia menduduki tempat di atas modal disusu1
sumber daya alam. Pandangan ini berbeda dengan pandangan
sementara pelaku ekonomi modern yang memandang uang sebagai
segala sesuatu, sehingga tidak jarang manusia atau sumber daya
alam dianiaya atau ditelantarkan.
Modal tidak boleh diabaikan, manusia berkewajiban
menggunakannya dengan baik, agar ia terus produktif dan tidak
habis digunakan. Karena itu seorang wali yang menguasai harta
orang-orang yang tidak atau belum mampu mengurus hartanya,
diperintahkan untuk mengembangkan harta yang berada dalam
kekuasaannya itu dan membiayai kebutuhan pemiliknya yang tidak
mampu itu, dari keuntungan perputaran modal, bukan dari pokok
modal. Ini dipahami dari redaksi surat Al-Nisa' (4): 5 yang
dikutip di atas, di mana dinyatakan Warzuquhum fiha bukan
Warzuquhum minha. "Minha" artinya "dari modal", sedang "fiha"
berarti "di dalam modal", yang dipahami sebagai ada sesuatu
yang masuk dari luar ke dalam (keuntungan) yang diperoleh dari
hasil usaha.
Karena itu pula modal tidak boleh menghasilkan dari dirinya
sendiri, tetapi harus dengan usaha manusia. Ini salah satu
sebab mengapa membungakan uang, dalam bentuk riba dan
perjudian, dilarang oleh Al-Quran. Salah satu hikmah
pelarangan riba, serta pengenaan zakat sebesar 2,5% terhadap
uang (walau tidak diperdagangkan) adalah untuk mendorong
aktivitas ekonomi, perputaran dana, serta sekaligus mengurangi
spekulasi serta penimbunan. Dalam konteks ini Al-Quran
mengingatkan:
Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak
menafkahkan pada jalan Allah, maka beritahukanlah
kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang
pedih (QS Al-Tawbah [9]. 34)
Ancaman ini disebabkan karena uang/harta seperti dikemukakan
sebelum ini dijadikan Allah untuk sarana kehidupan manusia
dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Dan menyimpannya tanpa
perputaran, demikian juga penimbunan kebutuhannya, tidak
sejalan dengan tujuan tersebut.
Bagi pemilik uang yang tidak atau kurang mampu mengelola
uangnya, para ulama mengembangkan cara-cara yang direstui oleh
Al-Quran dan Sunnah Nabi, antara lain melalui apa yang dinamai
murabahah, mudharabah atau musyarakah
Murabahah adalah pembelian barang menurut rincian yang
ditetapkan oleh pengutang, dengan keuntungan dan waktu
pembayaran yang disepakati.
Mudharabah adalah bergabungnya tenaga kerja dengan pemilik
modal, sebagai mitra usaha dan keuntungan yang dibagi sesuai
rasio yang disepakati.
Musyarakah adalah memadukan modal untuk bersama-sama
memutarnya, dengan kesepakatan tentang rasio laba yang akan
diterima.
Cara-cara ini akan mendorong setiap pemilik modal untuk tidak
membiarkan modalnya tersimpan tanpa perputaran. Bukankah uang
--seperti dikemukakan di atas-- dijadikan Allah untuk sarana
kehidupan dan pemenuhan kebutuhan manusia?
KEBUTUHAN MANUSIA
"Kebutuhan" biasa diartikan sebagai "hasrat manusia yang perlu
dipenuhi atau dipuaskan".
Kebutuhan bermacam-macam dan bertingkat-tingkat, namun secara
umum ia dapat dibagi dalam tiga jenis sesuai dengan tingkat
kepentingannya. Primer (dharuriyat), sekunder (hajiyat), dan
tertier (kamaliyat).
Jenis kebutuhan kedua dan ketiga sangat beraneka ragam, dan
dapat berbeda-beda dari seorang dengan lainnya, namun
kebutuhan primer sejak dahulu hingga kini dapat dikatakan sama
dan telah dirumuskan oleh para pakar sebagai kebutuhan
sandang, pangan, dan papan.
Al-Quran secara tegas menyebutkan ketiga macam kebutuhan
primer itu dan mengingatkan manusia pertama tentang keharusan
pemenuhannya sebelum manusia pertama itu menginjakkan kakinya
di bumi. Ketika Adam dan istrinya Hawa masih berada di surga,
Allah mengingatkan mereka berdua:
Maka Kami berkata, "Hai Adam' sesungguhnya ini (iblis)
adalah musuh bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali
janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga
karena (jika demikian) engkau akan bersusah payah
Sesungguhnya engkau tidak akan lapar di surga, dan
tidak pula akan telanjang. Sesungguhnya engkau tidak
akan dahaga, tidak pula disengat panas matahari di sana
(surga)" (QS Thaha [20]: 117-119).
Yang dimaksud dengan bersusah payah adalah bekerja untuk
memenuhi kebutuhan mereka yang di dunia tidak diperoleh tanpa
kerja tetapi di surga telah disediakan yaitu pangan atau dalam
bahasa ayat di atas "tidak lapar dan tidak dahaga". Sandang
dilukiskan dengan "tidak telanjang", sedangkan papan
diisyaratkan oleh kalimat "tidak disengat panas matahari".
Sementara ulama menganalisis mengapa peringatan ini ditujukan
kepada mereka berdua selaku suami-istri, tetapi pernyataan
bersusah payah dikemukakan dalam bentuk tunggal yang ditujukan
kepada suami (Adam) saja. Jawabannya menurut mereka adalah,
karena kebutuhan sandang, pangan dan papan, merupakan
kebutuhan pria dan wanita (suami-istri), tetapi kewajiban
bersusah payah mencarinya, berada di pundak suami, sehingga
merupakan kewajiban suami untuk mengikhtiarkannya.
Ketiga jenis kebutuhan seperti yang disebut di atas, mengantar
manusia berikhtiar untuk memproduksi alat-alat pemenuhannya,
baik berupa barang maupun jasa.
----------------
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net
|
INFO PROFIL
- Affan
- JENTREK ROJOIMO WONOSOBO, jawa tengah indonesia, Indonesia
- Ya Allah jadikan kami manusia yang bisa keluar dari belenggu “kemunafikan”. Bimbing kami untuk tidak mengoreksi orang lain sebelum diri ini terkoreksi ya Rabb. Jadikan kami manusia yang jujur dan tidak pernah membohongi diri sendiri apalagi orang lain. kepadaMulah kami berserah ya Allah, kepadaMulah kami bermohon karena tanpa kehendakMu kami tidak bisa berbuat apa-apa Affannur Jentrek rojoimo wonosobo . lahir13 Agustus 1989
Foto Foto Affanoer
Rabu, 01 Mei 2013
Al-Qur'an dan Ekonomi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar