Kekuasaan Politik Perspektif Al-Qur’an
Kekuasaan Politik Perspektif al-Qur’an
Affanoer Wonosobo
Kajian teoretis ataupun perspektif praktis perbincangan tentang makna
kekuasaan politik dalam semua sisinya tetap menjadi wacana actual yang
tak berkesudahan. Hal ini disebabkan, karena keberadaannya secara
fungsional identik dengan keberadaan masyarakat itu sendiri. Selain itu,
konsep kekuasaan politik belumlah sepenuhnya menjadi kesepakatan semua
orang. Bahkan masih banyak kalangan yang menganggap kekuasaan politik
sebagai sesuatu yang jelek dan harus dihindari, kekuasaan politik
disinonimkan dengan tipu daya muslihat dan kelicikan.
Sebagai wacana dan upaya mendudukan istilah kekuasaan politik,
pengkajian terhadap istilah ini dalam prespektif Islam sangat
diperlukan, terutama dalam kerangka penemuan konsep-konsep kekuasaan
politik dalam perspektif al-Qur’an.
Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur’an
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menunaikan
amanat kepada yang berhak menerimanya dan (memerintahkan kebijaksanaan)
di antara kamu supaya menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu. Sesungguhnya Allah
maha mendengar lagi maha melihat. Wahai orang-orang yang beriman
Taatilah Allah, taatilah rasul, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian
jika kamu berselisih tentang sesuatu, maka kembalikan kepada Allah
(al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) lagi
lebih baik akibatnya “(QS. An-Nisa : 58-59)
Kedua ayat di tersebut dinilai oleh para ulama sebagai prinsip –
prinsip pokok yang menghimpun ajaran Islam tentang kekuasaan dalam
pengertian tanggung jawab terhadap amanahnya serta kekuasaan Allah swt[1].
Hal ini menandakan bahwa semua aspek kehidupan manusia telah diatur
oleh Allah SWT melalui konstitusi yang ada di dalam Al-qur’an, ini
menandakan adanya syumuliatul Islam.
Amanat dimaksudkan berkaitan dengan banyak hal, salah satu di
antaranya adalah perlakuan adil. Keadilan yang dituntut ini bukan hanya
terhadap kelompok, golongan, atau kaum muslim saja, tetapi mencakup
seluruh manusia bahkan seluruh makhluk. [2]
Kalau kita meneliti lebih jauh tentang kekuasaan dalam Surat An-Nisa
58-59, dalam latar belakang historisnya turunnya ayat ini bisa dilihat
dalam Asbabun Nuzulnya.
Diriwayatkan oleh Ibnu Marduwaih dari al-Kalbi dari Abi shaleh yang
bersumber dari Ibnu Abbas. Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa setelah
fathu makkah (pembebasan mekkah) Rasulullah saw memanggil Utsman bin
Thalhah untuk meminta kunci ka’bah. Ketika Utsman dating menghadap Nabi
untuk menyerahkan kunci itu, berdirilah Abbas dan berkata: “Ya
Rasulallah demi Allah , serahkan kunci itu kepadaku untuk saya rangkap
jabatan tersebut dengan jabatan siqayah (urusan pengairan). Utsman
menarik kembali tangannya. Maka bersabda Rasulullah: “Berikanlah kunci
itu kepadaku wahai utsman!” Utsman berkata : “inilah dia, amanat dari
Allah”. Maka berdirilah Rasulullah membuka ka’bah dan terus keluar untuk
thawaf di baitullah. Turunlah jibril membawa perintah supaya kunci itu
diserahkan kembali kepada utsman. Rasulullah melaksankan perintah itu
sambil membaca ayat tersebut di atas Qs An-Nisa :58.[3]
Diriwayatkan oleh bukhari dan lainnya yang bersumber dari ibnu Abbas
dengan riwayat ringkas. Menurut imam ad-Dawudi riwayat tersebut
menyalahgunakan nama Ibnu Abbas, karena cerita mengenai Abdullah bin
hudzafah itu sebagai berikut: Di saat Abdullah marah-marah pada
pasukannya ia menyalakan unggun api, dan memerintahkan pasukannya untuk
terjun ke dalamnya. Pada waktu itu sebagian lagi hampir menerjunkan diri
ke dalam api. Sekiranya ayat ini turun sebelum peristiwa Abdullah
mengapa ayat ini dikhususkan untuk mentaati Abdullah bin Hudzafah saja,
sedang pada waktu lainnya tidak. Dan sekiranya ayat ini sesudahnya, maka
berdasarkan hadist yang telah mereka ketahui, yang wajib ditaati itu
ialah di dalam ma’ruf (kebaikan) dan tidak pantas dikatakan kepada
mereka mengapa ia tidak taat.[4]
Dari kajian tekstual di atas , menggambarkan bahwa kekuasaan yang
paling hakiki adalah milik Allah Swt. Allah adalah pemilik segala
sesuatu, sesuai yang difirmankan di dalam Surat Al-Maidah : 18
“ Allah adalah pemilik kerajaan langit dan bumi serta apa yang terdapat antara keduanya (Qs Al-Ma-idah:18).
Adapun di dunia, maka di samping Dia melimpahkan sebagian
kekusaan_Nya kepada makhluk, Dalam konteks kekuasaan politik, al-Qur’an
memerintahkan Nabi Muhammad Saw. Untuk menyampaikan pernyataan tegas
berikut:
“Katakanlah: “Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan
kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan
dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau
kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan
Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala
sesuatu.”
(QS Ali Imran : 26)
Seperti tersurat di dalam ayat di atas, Allah Swt menganugerahkan
kepada manusia sebagian kekuasaan itu. Di antara mereka ada yang
berhasil melaksankan tugasnya dengan baik karena mengikuti
prinsip-prinsip kekuasaan dan ada pula yang gagal.
Dalam konsepsi Islam, manusia memikul amanah (amanah ibadah dan
amanah risalah). Amanah ini boleh jadi sebagai konsekuensi dari
deklarasi universal yang pernah dinyatakan manusia di hadapan Allah dan
sekaligus menjadi tantangan terhadap sifat manusia yang etis yang harus
dibuktikan melalui keberhasilannya di dalam menunaikan amanah yang telah
disanggupinya itu.
Amanah risalah berkaitan dengan kedudukan manusia sebagai
khalifatullah fi Al-Ardh. Kedudukan itu mencakup aktivitas manusia dalam
memakmurkan dan memelihara bumi, menata kehidupan dan menyejahterakan
umat manusia. Aktivitas ini jelas-jelas merupkan suatu tindakan dan
fungsi siyasah manusia yang otentik.
Oleh sebab itu, amanah risalah dalam pengertiannya yang luas
menegaskan bahwa manusia adalah makhluk siyasah yang bertanggungjawab
atas terpeliharanya keteraturan hidup di tengah-tengah masyarakat
manusia dan lingkungan hidupnya, sedangkan siyasah memakmurkan bumi
dalam islam memiliki tujuan antara dan sekaligus menjadi cara, jalan dan
sarana untuk meraih tujuan yang lebih mulia dan lebih abadi, yaitu
keselamatan kehidupan yang lebih bermakna dan kekal, kehidupan akherat.[5]
Kekuasaan yang berorientasi pemerintahan (kekuasaan
Politik) yang mempunyai mekanisme politik tertuang di dalam Al-Qur’an
(Shaad:26) :
”Hai Daud, Sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di
muka bumi, Maka berilah Keputusan (perkara) di antara manusia dengan
adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, Karena ia akan menyesatkan
kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan
Allah akan mendapat azab yang berat, Karena mereka melupakan hari
perhitungan.
Kekuasaan politik (pemerintahan) juga tertuang di dalam surat Al-Baqarah ayat 21 :
” Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah
dan (dalam peperangan itu) Daud membunuh Jalut, Kemudian Allah
memberikan kepadanya (Daud) pemerintahan dan hikmah (sesudah
meninggalnya Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya.
seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia
dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. tetapi Allah
mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.”
Manusia dan Konsep Istikhlafu Al Insan
Kata istikhlaf adalah bentuk mashdar (invinitif) dari kata kerja
istakhlafa yang berarti menjadikan khalifah untuk mewakili dan
melaksanakan tugas yang diwakilkan kepadanya , sedangkan kata khalifah
berasal dari kata kerja khalafa yang berarti “mengganti dan
melanjutkan”. Namun demikian kedua konsep ini (khalifah dan istikhlaf),
pada hakikatnya, berasal dari akar kata yang mencerminkan dua aspek yang
memiliki arti yang sama. Kedua konsep ini merujuk pada fungsi manusia
sebagai pemegang amanah Allah Swt di muka bumi ini. Sementara itu,
konsep iskhtilaf lebih menekankan kepada proses bagaimana manusia boleh
menjadi khalifah Allah.[6]
Al-Qur’an menggunakan kata khalifah sesuai dengan tujuan manusia
diciptakan. Sebuah kata “khalifah” juga mengandung makna bahwa manusia
adalah makhluk yang diciptakan dalam kesempurnaan penciptaan.
Manusia merupakan mikro kosos (alam kecil), sedang kosmos adalah manusia makro (al-insan kawn shaghir wa al-kaw insane kabir).[7]
Manusia merupakan miniature alam yang kompleks. Pisiknya menggambarkan
alam pisikal, sedang psikisnya menggambarkan alam kejiawaan. Dengan
demkian, segala proses takdir Allah yang terjadi di alam sebenarnya juga
berlaku pada manusia, seperti konsep penciptaan ini.
Dalam pandangan Islam, tugas yang diwakilkan itu menjadi “amanah”
yang harus ditunaikan oleh seseorang yang telah menjadi wakilnya.
Berarti, ia (orang yang menjadi wakil) disebut “pengemban amanah” ialah
khalifah. Seperti yang difirmankan oleh Allah Swt dalam surat Al Baqarah
: 30
“ Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”
mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu
orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah,
padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan
Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui.”
(Al-Baqarah : 30)
Sayid Quthub menjelaskan beberapa makna yang terdapat dalam ayat
tersebut. Ia menegaskan bahwa ayat tersebut menunjukkan posisi mulia
manusia, terkandung isyarat adanya kehendak luhur yang hendak
menyerahkan kendali kepemimpinan di bum kepada makhluk manusia. Kepada
Manusia pula pelaksanaan kehendak Sang maha Pencipta diserahkan.
Kehendak Allah Swt dalam menggali apa yang ada di bumi baik yang berupa
kekuatan, potensi, kandungan, maupun bahan mentahnya untuk kepentingan
manusia dalam rangka penunaian amanah yang telah diserahkan kepadanya
serta menundukkan semua itu dengan Izin Allah Swt untuk tugas besar yang
serahkan oleh Allah Kepadanya.[8]
Oleh sebab salah satu kewajiban manusia sehubungan dengan tugas
khilafahnya adalah menegakkan keseimbangan, dalam pandangan Islam
keseimbangan (tawazun) selalu menjadi landasan konsepsinya. Maka,
falsafah istikhlaf dalam pandangan islam memunculkan keseimbangan dalam
pengelolaan Negara. Konsep isikhlaf al insan, dalam rangka mewujudkan
keseimbangan, menuntut adanya hubungan antara agama dan Negara. Eratnya
hubungan agama dengan Negara (siyasah) terjadinya keseimbangan dalam
kehidupan manusia.
Di dalam ayat tersebut juga menginformasikan juga unsur – unsur
kekhalifahan sekaligus kewajiban sang khalifah. Unsur-unsur tersebut
adalah pertama, Bumi atau wilayah. Kedua, Khalifah (yang diberi
kekuasaan politik atau mandataris), serta yang ketiga, hubungan antara
pemilik kekuasaan dengan wilayah, dan hubungannya dengan pemberi
kekuasaan (Allah Swt).[9]
Dalam prespektif Islam tugas utama Negara, sebagai institusi siyasah,
adalah mewujudkan pelaksanaan kekuasaan Allah di bumi. Sedangkan
pelaksanaan kekuasaan Allah tersebut menuntut konsistensi terhadap
syariat-Nya yang harus dilaksanakan.
Selanjutnya hukum-hukum yang terkandung dalam syari’at berorientasi
pada pemeliharaan kemashlahatan (kebaikan umum) dan penolakan
kemafsadatan (kerusakan).[10]
Syari’at islam bertujuan menegakkan kebaikan semua makhluk dan
memberikan kemashlahatan bagi hamba-Nya, baik dalam kehidupannya di
dunia ataupun di akherat.
Al-Ghazali menegaskan, “Agama adalah poros, dan penguasa adalah penjaga, dan sesuatu yang tidak ada penjaganya akan hancur.[11]
Aktualisasi nilai-nilai islam dapat terlaksana dengan sempurna apabila
kaum muslimin memiliki otoritas dan kekuasaan untuk mewujudkan
kemashlahatan.
Penutup
Islam adalah agama syumul, lengkap dengan petunjuk
untuk mengatur semua aspek kehidupan. Dalam lapangan politik, kekuasaan
tertinggi (disebut kedaulatan) ada di tangan Allah, manusia hanya
sebagai pelaksana kedaulatan itu.
Islam memandang kekuasaan dalam pengertian yang transenden, kekuasaan
dalam pengertian ini harus dapat dipertanggungjawabkan kepada sang
Khalik. Manusia tidak semena-mena untuk menjalankan kekuasaan, karena
manusia adalah perpanjangan tangan sang Khalik di muka bumi.
Daftar Pustaka
Abdul Mu’in Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an), (Jakarta: PT. RajaGrafindo,2002), hal 175
Abdul Mujib, Fitrah dan Kepribadian Islam: Sebuah Pendekatan Psikologis, Jakarta:Darul Falah, 2000
Abu Ridha, Amal Siyasi : Gerakan Politik dalam Dakwah, Bandung: PT Syaamil Cipta Media,2004
_________, Manusia dan Kekhalifahan, (Bandung: PT Syaamil Cipta Media, 2004
Dhiauddin Rais ,DR. M, Teori Politik Islam, (Jakarta : Gema Insani Press, 2001
Qamaruddin Shaleh K.H.,dkk. Asbabun Nuzul : Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an,Bandung: CV Diponegoro, 1982
Quraish Shihab Dr. M., M.A. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung
[1] Abdul Mu’in Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an), (Jakarta: PT. RajaGrafindo,2002), hal 175
[2] Dr. M. Quraish Shihab, M.A. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung
[3] K.H. Qamaruddin Shaleh,dkk. Asbabun Nuzul : Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an,(Bandung: CV Diponegoro, 1982), hal 138
[4] Ibid, hal 139
[5] Abu Ridha, Manusia dan Kekhalifahan, (Bandung: PT Syaamil Cipta Media, 2004), hal 59
[6] Ibid, hal 33
[7] Abdul Mujib, Fitrah dan Kepribadian Islam: Sebuah Pendekatan Psikologis, (Jakarta:Darul Falah, 2000), hal 18
[8] Abu Ridho, hal 34
[9] Dr. M. Quraish Shihab, op. cit
[10] Abu Ridha, Amal Siyasi : Gerakan Politik dalam Dakwah, (Bandung: PT Syaamil Cipta Media,2004), hal 57
[11] DR. M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta : Gema Insani Press, 2001) hal 102
Tidak ada komentar:
Posting Komentar