SOLUSI KLB PER-KORUPSI-AN DI INDONESIA
Oleh :
Prof. Dr. H. Siswoyo Haryono, MM, MPd.)[1]
Dampak Buruk
Telah
banyak usaha yang dilakukan untuk memberangus korupsi, namun sampai saat ini
hasilnya masih tetap belum sesuai dengan yang harapan masyarakat. Melihat
kenyataan betapa sulitnya usaha pemberantasan korupsi, sebenarnya wajar saja
jika sampai timbul public judgement bahwa korupsi adalah manisfestasi
budaya bangsa. Ibarat wabah demam berdarah dengou (DBD), korupsi kini
telah memasuki arena Kejadian Luar Biasa (KLB). Salah satu akibat buruk dari perilaku
korup yang kini semakin membudaya di Indonesia
adalah kerugian keuangan negara. Selama tiga tahun terakhir terdapat trend
kenaikan kerugian keuangan negara yang menurut catatan akhir tahun Indonesian
Corruption Watch (24/1/07) pada tahun 2004 mencapai Rp. 4,3 triliun, tahun
2005 mencapai Rp 5,3 triliun dan tahun 2006 meningkat tiga kali lipat menjadi
Rp 14,4 triliun.
Begitu
kronisnya penyakit korupsi di Indonesia digambarkan oleh Prof. Dr. H. Syafe'i Ma'arif,
akibat korupsi yang semakin merajalela kini bangsa Indonesia dalam kondisi yang sangat
menyedihkan. Departemen Agama RI
yang seharusnya mengurusi pembangunan mental (hati) bangsa adalah salah satu
departemen terkorup di negeri ini. Kemudian Departemen Pendidikan RI yang
seharusnya mengurusi usaha mencerdaskan bangsa (otak) juga merupakan salah satu
departemen terkorup. Demikian juga Departemen Kesehatan RI yang seharusnya mengurusi kesehatan secara
fisik bangsa Indonesia juga salah satu Departemen Terkorup di negeri ini.
"Lalu apa yang tersisa? ", tanya Ma'arif.
Lebih jauh Deny Indrayana, SH, LLM, Ph.D, ketua Pusat
Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Fakultas Hukum UGM mengemukakan kemudlaratan
korupsi telah sukses merambah seluruh
aspek kehidupan sosial diantaranya ; mahalnya biaya pendidikan, kesehatan, minimnya fasilitas umum, minimnya
fasilitas militer, penegakan hukum yang "memble", minimnya lapangan
kerja, dana bantuan di-"sunat", ekonomi biaya tinggi, BBM mahal, dan
banyaknya biaya-biaya yang tidak jelas (invisble cost).
Faktor Penyebab dan Budaya Korupsi
Banyak indikasi yang menyebutkan bahwa faktor
daya dorong (driving force) terhadap mem-batu-nya budaya korupsi selalu
berhubungan dengan usaha pemuasan fasilitas kehidupan yang hedonistik, yaitu usaha pemenuhan kepuasan nafsu terhadap harta,
tahta dan wanita, disebut "tiga-ta". Terbentuknya perilaku
korupsi (corruption behavior) dapat dijelaskan dengan teori
psikoanalisis dari Sigmun Freud. Apabila keinginan dasar manusia yang
begitu liar (wild) terhadap "tiga-ta" sebagai bentuk
daya dorong terlalu kuat disebut "id" dan tidak terkendali
oleh "ego", maka dalam diri manusia muncul "super
ego" berupa perilaku korupsi yang tidak terkendali. Budaya korupsi
adalah hasil akumulatif "super ego" dalam pemenuhan hedonistik yang tidak wajar, berlebihan
serta tidak terkendali.
Statement
yang sering terdengar adalah korupsi telah mendarah daging, mengakar dan
membudaya di republik tercinta ini. Repotnya adalah jika ada urusan yang
berkaitan dengan birokrasi, saat ini orang menjadi lazim untuk memberi
"sesuatu".. Padahal instansi tersebut benar=benar tidak meminta "sesuatu". Karena perilaku korupsi sudah
menjadi "budaya", orang atau instansi yang mencoba untuk
"bersih" justru dianggap aneh. . Salah kaprah ini juga dapat
menjadi daya dorong terjadinya korupsi. Pertanyaan yang dapat dimunculkan
adalah "Apakah benar korupsi telah membudaya di negeri ini?". Meminjam
istilah Edgard H. Schein, bahwa "budaya" didefinisikan sebagai
: " “A pattern of shared basic
assumptions that the group learned as it solved its problem of external
adaptation and internal integration, that have worked well enough to be
considered valid and, therefore, to be taught to new members as the correct way
to perceive, think and feel in relations
to this problems”. Pada intinya,
budaya adalah asumsi dasar yang diketahui secara bersama-sama dan dianggap
benar secara internal maupun eksternal sehingga perlu diteruskan kepada anggota
masyarakat baru atau generasi berikutnya.
Melihat batasan budaya tersebut, perilaku korupsi di
Indonesia dapat dikatakan sebagai telah "membudaya". Secara umum banyak perilaku korupsi yang sudah
diasumsikan secara bersama-sama "benar" dan "lazim". Jika
tidak mengikuti arus perilaku korupsi, bahkan kita dianggap "naif"
dan tidak wajar atau aneh. Lebih sadis lagi kita dapat dianggap ketinggalan
jaman dan tidak modern.Gila bener!
Kilas-balik : Sejarah Korupsi di Indonesia
Perilaku dan sifat korup manusia Indonesia telah dikenal
sejak jaman dahulu sampai sekarang dan akan terus berlanjut entah sampai kapan.
Periodisasi korupsi di Indonesia secara
umum dapat dibagi dua, yaitu periode pra dan pasca kemerdekaan.
Periode
Pra-kemerdekaan. Dari beberapa catatan sejarah, kehancuran
kerajaan-kerajaan besar di Indonesia disebabkan perilaku korup sebagian besar
tokoh elite (pentholan) bangsa pada saat itu. Sebut saja Sriwijaya yang hancur
karena tidak ada penerus setelah mangkatnya raja Bala Putra Dewa dan Majapahit
hancur karena perang saudara (paregreg)
setelah mangkatnya Maha Patih Gajah Mada. Sedangkan kerajaan Mataram di
Jawa Tengah, "loyo" dan semakin melemah karena ditekan dengan politik
pecah belah serta adanya perjanjian Giyanti pada tahun 1755 yang membelah dua
wilayah Mataram menjadi kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Fokus
penelitian sejarah kebanyakan bercerita pada aspek politik, bukan ekonomi
seperti usaha memperkaya diri sendiri dan kerabat kaum bangsawan sehingga
merugikan keuangan negara.
Masa penjajahan
Belanda yang berlangsung 350 tahun juga ikut andil dalam membentuk budaya
korupsi. Buku History of Java karya Rafles (1816) menyebutkan karakter
orang jawa sangat "nrimo" atau pasrah pada keadaan, namun memiliki
keinginan untuk dihargai orang lain, tidak terus terang, menyembunyikan
persoalan dan oportunis. Bangsawan Jawa gemar menumpuk harta, memelihara abdi
dalem untuk kepuasan karena diharapkan memberi sanjungan. Budaya Jawa yang
demikian akhirnya menimbulkan budaya korup. Bahkan pegawai VOC yang bergaji
relatif kecil pada saat itu juga menyebabkan suburnya budaya korupsi. Pada
tahun 1799 asosiasi dagang VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) dipelsetkan menjadi Verhaan Onder
Corruptie, runtuh lantaran korupsi.
Periode
Pasca- kemerdekaan. Pada masa kepemimpinan Soekarno, korupsi tetap
merajalela meskipun negara RI baru terbentuk dan belum stabil. Pada masa
tersebut ada dua badan dibentuk untuk pemberantasan korupsi; PARAN (Panitia
Retooling Aparatur Negara) dan Operasi Budhi. Paran mengalami kebuntuan, karena
semua pejabat tinggi berlindung di ketiak presiden. Kemudian tahun 1963
dikeluarkan Kepres no. 275 tahun 1963
dikenal dengan nama Operasi Budhi (OB). Dalam waktu 3 bulan OB berhasil
menyelamatkan uang negara sebesar Rp. 11
miliar, untuk ukuran waktu itu begitu fantastis. Operasi ini pun akhirnya
gagal, karena dianggap nyerempet-nyerempet presiden. Misalnya untuk menghindari
pemeriksaan, Dirut Pertamina minta ijin kepada presiden untuk ke luar negeri,
sementara direksi yang lain menolak diperiksa dengan alasan belum ada ijin
atasan.
Pada
masa Orde Baru, dibentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) sebagai tindak
lanjut pidato Pj Presiden Soeharto di depan DPR/MPR 16 Agustus 1967. karena
selalu gagal, bagaikan macan ompong maka dibentuk Opstib (Operasi tertib) yang
dikomandani oleh Soedomo. Namun seperti biasanya, Opstib juga hilang ditelan
bumi tanpa bekas sama sekali.
Pada
masa reformasi, berbagai lembaga telah dibentuk untuk memberantas
korupsi. Korupsi yang pada jaman orde baru hanya melingkar di pusat kalangan
elit kekuasaan, dengan adanya desentralisasi maka semua lini pemerintahan
terjangkit virus korupsi. Skala korupsi menjalar ke setiap sendi-sendi
kehidupan bangsa. Usaha pemberantasan korupsi dilakukan mulai dari jaman
presiden B.J. Habibie, Gudur, Megawati dan SBY. Berbagai peraturan dan badan
atau lembaga dibentuk, diantaranya : Komisi Penyelidik Kekakayaan penyelenggara
Negara (KPKPN), Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU), Ombudsmen, Tim
Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Dari semua lembaga
tersebut, hasilnya tetap ajeg, tidak berubah. Intinya keseriusan pemerintah
masih patut dipertanyakan. Tampak secara terang dan jelas, pemerintah selalu
bermain-main dengan cara melindungi para konglomerat dan orang-orang kuat yang
oleh Deny Indrayana disebut epicentrum korupsi, yaitu : istana,
cendana, senjata, dan pengusaha naga.
Perkembangan Terakhir : Indeks Korupsi Indonesia.
Transparency
International kembali me-release Corruption Perception Index
(CPI) untuk tahun 2006 yaitu 2,4 meningkat dari 2,2 tahun sebelumnya. Standar minimal dianggap tidak korup adalah 3,5. Perkembangan
dari tahun sebelumnya; 1999 dan 2000 adalah 1,7, tahun 2001 dan 2002 adalah 1,9, tahun 2003 adalah
2,0, tahun 2004 dan 2005 adalah 2,2 dan tahun 2006 adalah 2,4. Kondisi ini
mendongkrak peringkat Indonesia menjadi urutan ke-7 (dari 163 negara) dari
tahun sebelumnya. Tahun 2005 peringkat 6 (dari 159 negara).
Institusi Publik.
Menarik
untuk diketahui institusi publik mana saja yang paling honest
(jujur) dan very corrupt (sangat
korup) berdasarkan penelitian dari PUKAT Korupsi FH UGM, dengan nilai
integritas 1 = very corrupt dan 5 = very honest dihasilkan peringkat berikut : polisi lalu
lintas (3,0), partai politik (3,0), jaksa/hakim (3,1), polisi bukan lalu lintas
(3,3), bea cukai (3,4), pajak (3,4), tentara (3,7), Depdiknas/Depkes (3,8),
media (3,9), telkom (4,1), kantor pos (4,2), pengurus masjid, gereja, pura
(4,6).
Tawaran Solusi
Mengingat
fenomena perkorupsian di Indonesia kini telah memasuki zone Kejadian Luar Biasa
(KLB), maka pendekatan pemberantasan korupsi juga harus dipilih cara-cara yang
luar biasa (extra ordinary approach). Disamping cara-cara yang luar
biasa juga harus dipilih sasaran tembak yang tepat, diantaranya memerangi
instrument penting seperti memerangi mafia peradilan dan political
corruption.
Sebagai
akhir dari tulisan ini, ditawarkan 10 tawaran solusi untuk pemberantasan
korupsi secara terpadu; (1) Nyatakan perang jihad terhadap korupsi, (2) buat
perpu anti korupsi dan mafia peradilan, (3) reformasi berfokus pada birokrasi
dan peradilan baik secara aktif, persuasif dan represif, (4) fokus pada korupsi
politik dan peradilan, (5) ekstensifikasi strategi bersifat preventif dan
represif, (6) pendidikan anti korupsi,
(7) kampanye dan gerakan-gerakan
LSM, mahasiswa, media dan masyarakat (8)
strategi represif : quick wins and big fishes (koruptor kakap),
amputasi pusat korupsi, lawan usaha fights back (melemahkan usaha anti
korupsi), pertahan kan keluarbiasaan KPK dan Pengadilan Tipikor, (9) leadership
dan (10) Budaya : tidak ada kompromi
terhadap korupsi (zerro tolerance to corrupt)..
Daftar Bacaan
Amin Rahayu , Sejarah Korupsi di Indonesia, Amanah
No. 55, tahun XVIII, Oktober
2004 hal 40 -43.
Catatan Akhir tahun ICW, 24 Januari 2007.
Freud Sigmund (1996). Psychoanalysis
Theory, Prentice-hall.
Hidayati, Rahmatul
(2001) . Pengaturan Tindak Pidana Korupsi di
Indonesia dari
Masa Kolonial sampai Era Reformasi", Dinamika Hukum Universitas islam
Malang :
7 (13) 2001, 20 -25.
Indrayana, Denny (2007). Makalah Seminar : Manajemen
Penanggulangan dan Pengawasan Korupsi di Indonesia, MM-UTP palembang.
Koran Tempo, 13 Nop. 2006.
Schein H. Edgar (1996). Organizational Culture
and Leadership, Jossey-Bass,
Transperancy International Indonesia (TII), Jakarta, 18
Oktober 2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar