Pemikiran
KH. Hasyim Asy’ari Tentang Ahl Al-Sunnah wa Al-Jamaah
Judul Buku:
Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari
Tentang Ahl Al-Sunnah wa Al-Jamaah
Penulis: Achmad Muhibbin Zuhri
Penerbit: Khalista dan LTN PBNU
Cetakan I: Desember 2010
Tebal: XXVI+ 328 Halaman
Peresensi: Fathul Qodir *
Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari
Tentang Ahl Al-Sunnah wa Al-Jamaah
Penulis: Achmad Muhibbin Zuhri
Penerbit: Khalista dan LTN PBNU
Cetakan I: Desember 2010
Tebal: XXVI+ 328 Halaman
Peresensi: Fathul Qodir *
Fakta jika mayoritas umat
Islam di Indonesia adalah pengikut ajaran Sunni atau Ahlussunnah wal Jamaah
(aswaja) tidak dapat dipungkiri. Keberhasilan itu tidak bisa dilepaskan dari
peran Nahdlatul Ulama yang sedari awal berdiri meneguhkan diri sebagai pengamal
dan pengawal ajaran ahlussunnah wal jamaah. Diakui ataupun tidak, inklusifitas
ajaran Nahdhatul Ulama yang ditransformasikan dari nilai-nilai aswaja telah
memberikan kontribusi besar terciptanya wajah moderat dan fleksible Islam di
Indonesia.
Bangsa
Indonesia yang multikultur serta kaya akan ragam tradisi, tidak menghalangi
Islam ala NU membumi. Mengacu pada teori Islam Kolaboratif Prof. Nur Syam,
fleksibilitas doktrin sunni mampu berkolaborasi dengan tradisi-tradisi non
Islami yang telah mapan tanpa menghilangkan nilai-nilai ajaran Islam yang
bersifat absolut.
Fenomena
kenduri, tahlilan, perayaan maulid, peringatan tiga hari, tujuh hari serta
seratus hari pasca kematian, adalah bukti bentuk metamorfosa nilai-nilai ajaran
Islam dengan budaya masyarakat Indonesia pra Islam. Sehingga, keberadaan Islam
dapat diterima menjadi agama mayoritas masyarakat Indonesia tanpa resistensi
yang berarti.
Dalam
kajian historis, Walisongo sangat berjasa menanamkan ajaran ahlussunnah di
ranah Nusantara. Namun, NU sebagai organisasi sosial keagamaan memiliki andil
yang signifikan dalam mempertahankan ajaran ideologi Sunni. Menjamurnya
organisasi keagamaan yang mengusung purifikasi dan pembaruan Islam dalam dekade
awal abad 20 secara sistemik dan masif melakukan penggerogotan. Di sinilah NU
berperan aktif melakukan pendampingan serta pengawalan terhadap tradisi Sunni
sebagai way of life mayoritas umat Islam Indonesia.
Satu
hal pokok yang tidak boleh dilupakan bahwa wajah Sunni Nahdlatul Ulama sangat
dipengaruhi oleh paradigma Aswaja Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari. Tidak
berlebihan jika KH Hasyim Asy’ari ditahbiskan sebagai ideolog Sunni Indonesia.
Penelitian terbaru tentang pemikiran tokoh pendiri organisasi sosial keagamaan
terbesar di dunia ini, Dr Achmad Muhibbin Zuhri menemukan corak Sunni KH Hasyim
Asy’ari sangat khas dan tidak sebangun persis dengan konstruksi Sunni era awal,
meskipun dalam banyak hal tetap mencerminkan pola Sunni.
Sunni
Partikular ala Mbah Hasyim
Ahlussunnah
wal jamaah sebagai ideologi tidak dapat dilepaskan dari normatifitas ajaran
yang telah digariskan pengagasnya. Namun, dalam tataran praksis, normatifitas
ajaran ahlussunnah tersebut tidak bisa melepaskan diri dari proses dialektika
dengan dinamika sosio religious yang mengelilingi. Jika entitas Sunni era awal
pembakuan sebagai counter ideologis terhadap Mu’tazilah dan Jabariah, serta
counter politic terhadap syi’ah. Hal ini berbeda dalam konteks di mana Mbah
Hasyim hidup.
Meskipun
bangunan pemikiran Mbah Hasyim dipengaruhi oleh pemikiran ulama abad
pertengahan dan klasik, namun dekade Mbah Hasyim identik dengan era pertarungan
antara entitas Islam Tradisional yang diwakili oleh masyarakat pesantren dan
mayoritas umat Islam Indonesia yang berhaluan sunni, berhadapan dengan entitas
Islam puritan dan pembaharu yang dikelompokkan dalam Islam Modernis. Uniknya, kelompok
Tradisionalis maupun Puritan-Modernis sama-sama mengaku sebagai entitas sunni
dan secara geneologis bertemu pada simpul Ahmad bin Hanbal pendiri Madzhab
Hanbali yang dikenal otoritasnya sebagai ahli hadist.
Konstruksi
naratif pemikiran Mbah Hasyim dapat dipandang sebagai salah satu “counter
discource” terhadap mainstream pemikiran modernis dan puritan. Yakni kelompok
yang menolak secara tegas pola bermadzhab dan taqlid serta melarang bid’ah atau
kreatifitas dalam ibadah yang secara eksplisit tidak terdapat acuan dalam nash
Al-Qur’an maupun Al-Hadis.
Pandangan
Mbah Hasyim mengenai tawassul, istighatsah, syafa’at, kewalian, maulid,
tarekat, dalam beberapa kitab karangannya merupakan wacana tanding pemikiran
kelompok Islam Puritan yang dikembangkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab pendiri
Aliran Wahhabi. Sedangkan isu-isu pembaruan yang dimunculkan oleh kalangan
Modernis pengikut pemikiran Jamaluddin al-Afghani, Rasyid Ridha dan Muhammad
Abduh, direspon oleh Mbah Hasyim dalam pembahasan seputar ijtihad, madzhab,
taqlid, talfiq, sunnah dan bid’ah.
Menurut
Muhibbin, deskripsi pemikiran keagamaan Kiai Hasyim di atas berimplikasi
teoritis terhadap konsep Sunnisme. Mbah Hasyim dapat diintrodusir sebagai
“sunni partikular”, yaitu paham ahlussunnah wal jamaah yang telah berdialog
dengan dinamika keagamaan di Indonesia, khususnya dialektika
modernis-tradisionalis pada abad ke-20. (hal. 265)
Sebagai
bagian dari komunitas Nahdliyin, penulis telah berhasil menggali dengan
mendalam tentang konstruksi pemikiran KH. Hasyim Asy’ari. Tokoh pendiri
Nahdlatul Ulama yang hingga saat ini menjadi ikon Islam subtantif dan moderat.
Buku ini merupakan hasil disertasi yang diterbitkan, sehingga alur penulisannya
sistematis dan analisanya mendalam. Oleh penulis, pembaca diajak mengarungi
pemikiran ahlussunnah KH. Hasyim Asy’ari secara runtut dan detail. Mulai dari
kajian embrio munculnya pemikiran Sunni, konsolidasi, pelembagaan ideologi
sunni era abad pertengahan, hingga dialektika sunni dengan realitas
sosio-religius yang melingkupinya dalam berbagai dekade.
Tidak
kalah menarik, uraian tentang latar belakang intelektual yang membentuk
paradigma Sunni KH Hasyim Asy’ari serta bagaimana pendiri Nahdlatul Ulama ini
berusaha mendialektikakan mainstream sunni dengan realitas sosio-religious
masyarakat Indonesia era awal abad 20. Sehingga, tampak jelas kepiawaian Mbah
Hasyim dalam merumuskan doktrin-doktrin ahlussunnah dari nash Al-Qur’an dan
Al-Hadis yang pada akhirnya memunculkan bentuk sunni yang khas Indonesia.
Studi
dalam buku ini, selain dapat memberikan referensi bagi usaha-usaha
reaktualisasi ideologi, juga berguna menambah khazanah keilmuan tentang Sunni
Partikular, yaitu ekspresi ahlussunnah wal jamaah pada dimensi ruang dan waktu
tertentu. Selain itu, buku ini merupakan wujud usaha aktualisasi sekaligus
kontekstualisasi ahlussunnah wal jamaah yang bercorak inklusif, moderat dan
fleksible dalam bersinggungan dengan kesejarahan umat. Walhasil, apresiasi yang
besar layak diberikan kepada penulis, sebab isi buku ini menambah kekayaan tafsir
tentang ahlussunnah di saat gempuran ideologi “kaca mata kuda” Islam
puritan yang cenderung eksklusif menguncang kedamaian dan kesantunan dalam
beragama dan keberagamaan. Wallahu a’lam…..
PENDAHULUAN
Abu Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud al-Maturidi lahir di Samarkand pada pertengahan ke dua dari abad ke sembilan Masehi dan meninggal di tahun 944 Masehi. Ia adalah pengikut Abu Hanifah dan faham-faham teologinya banyak persamaannya dengan faham-faham yang dimajukan Abu Hanifah. Sistem pemikiran teologi yang ditimbulkan Abu Mansur termasuk dalam golongan teologi Ahli Sunnah dan dikenal dengan nama al-Maturidiyah.1
Literatur mengenai ajaran-ajaran Abu Mansur dan aliran Maturidiyah tidak sebanyak literatur mengenai ajaran-ajaran Asy’ariyah. Buku-buku yang banyak membahas soal sekte-sekte sperti buku-buku al-Syahrastani, Ibnu Hazm, al Bagdadi dan lain-lain tidak memuat keterangan-keterangan tentang al-Maturidi atau pengikut-pengikutnya. Karangan-karangan al-maturidi sendiri masih belum dan tetap dalam bentuk Mahtutat.
Diantara Mahtutat itu adalah Kitab al Tauhid dan Kitab Ta’wil al-Qur’an. Seterusnya ada pula yang karangan-karangan yang dikatakan disusun oleh al-maturidi yaitu Risalah fi al-’Aqa’id dan Syarh al-Fiqh al-Akbar. Keterangan-keterangan mengenai pendapat-pendapat al Maturidi dapat diperoleh lebih lanjut dari buku-buku yang dikarang oleh pengikut-pengikutnya seperti Isyarat al-Maram oleh al-Bayadi dan Usul al-Din oleh al-Bazdawi.
B. AL-MATURIDIYAH, dan PEMIKIRANNYA
Sebagai pengikut Abu Hanifah yang banyak memakai rasio dalam pandangan keagamaannya, al-Maturidi banyak pula memakai akal dalam teologinya. Oleh karena itu diantara teologinya dan teologi yang ditimbulkan oleh al-Asy’ari terdapat perbedaan, sungguhpun keduanya timbul sebagai reaksi terhadap aliran Mu’tazilah.
Dalam soal sifat-sifat Tuhan terdapat persamaan antar al-Asy’ari dan al-Maturidi. Baginya Tuhan juga mempunyai sifat-sifat.2 Maka menurut pendapatnya, Tuhan mengetahui bukan dengan dzatnya, tetapi mengetahui dengan pengetahuan Nya, dan berkuasa bukan dengan dzat-Nya.3
Tetapi dalam soal perbuatan-perbuatan manusia, al-Maturidi sependapat dengan golongan Mu’tazilah, bahwa manusialah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya.4 Dengan demikian ia mempunyai paham qadariyah dan bukan faham jabariyah atau kasb Asy’ari.
Sama dengan al-Asy’ari, al-Maturidi menolak ajaran Mu’tazilah tentang al-salah wa al-aslah, tetapi disamping itu al-Maturidi berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu.5 Al-Maturidi juga tidak sepaham dengan Mu’tazilah tentang al-Qur’an yang menimbulkan heboh itu. Sebagi al-Asy’ari ia mengatakan bahwa kalam atau sabda Tuhan tidak diciptakan tetapi bersifat qadim.
Mengenai soal dosa besar Al-Maturidi sefaham dengan al-Asy’ari yaitu: bahwa orang yang berdosa besar masih tetap mukmin, dan soal dosa besarnya akan ditentukan Tuhan kelak di akhirat. Ia pun menolak faham posisi menengah kaum mu’tazilah.
Tatapi soal al-wa’ad wa al-wa’id Al-Maturidi sefaham dengan Mu’tazilah. Janji-janji dan ancaman-ancamanTuhan, tak boleh tidak mesti terjadi kelak. Dan juga dalam soal anthropomorphisme6 Al-Maturidi sealiran dengan Mu’tazilah. Ia tidak sependapat dengan al-Asy’ari bahwa ayat-ayat yang menggambarkan Tuhan mempunyai bentuk jasmani tak dapat diberi interpretasi atau ta’wil. Menurut pendapatnya tangan, wajah dan sebagainya mesti diberi arti majazi atau kiasan.
Salah satu pengikut penting Al-Maturidi ialah Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi (421-493 H), nenek al-Bazdawi adalah murid Al-Maturidi, dan al-Bazdawi mengetahui ajaran-ajaran Al-Maturidi dari orang tuanya. al-Bazdawi sendiri mempunyai murid-nurid dan salah seorang dari mereka ialah Najm al-Din Muhammad al-Nasafi (460-537 H), pengarang buku al-’Aqa’idal Nasafiah.
Seperti al-Baqillani dan al-Juwaini, al-Bazdawi tidak pula selamanya sefaham dengan al-Maturidi. Antara ke dua pemuka aliran Maturidiah ini, terdapat perbedaan faham sehingga boleh dikatakan bahwa dalam aliran Maturidiyah terdapat dua golongan; golongan Samarkand yaitu pengikut-pengikut al-Maturidi sendiri, dan golongan Bukhara yaitu pengikut-pengikut al-Bazdawi. Kalau golongan Samarkand mempunyai faham-faham yang lebih dekat kepada faham Mu’tazilah, sedangkan golongan Bukhara mempunyai pendapat-pendapat yang lebih dekat kepada pendapat-pendapat al-Asy’ari.
Al-Maturidi, bertentangan dengan pendirian Asy’ariyah tetapi sefaham dengan Mu’tazilah, juga berpendapat bahwa akal dapat mengetahui kewajiban manusia berterimakasih kepada Tuhan. Hal ini dapat diketahui dari keterangan al-Bazdawi berikut;
“Percaya kepada Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya sebelum adanya wahyu adalah wajib dalam faham Mu’tazilah…al-Syaikh Abu Mansur al-Maturidi dalam hal ini sefaham dengan Mu’tazilah, demikian jugalah umumnya ulama Samarkand dan sebagian dari alim-ulama Irak”.7
Keterangan ini diperkuat oleh Abu ‘Uzbah:
“Dalam pendapat Mu’tazilah orang yang berakal, muda-tua, tak dapat diberi maaf dalam soal mencari kebenaran. Dengan demikian, anak yang telah berakal mempunyai kewajiban percaya kepada Tuhan. Jika ia sekiranya mati tanpa percaya pada Tuhan, ia mesti diberi hukum. Dalam Maturidiah anak yang belum baligh tidak mempunyai kewajiban apa-apa. Tetapi al-Maturidi berpendapat bahwa anak yang telah berakal berkewajiban mengetahui Tuhan. Dalam hal ini tak terdapat perbedaan antara al-Maturidiah dan Mu’tazilah”.8
Kalau uraian al-Bazdawi, Abu ‘Uzbah dan lain-lain memberi keterangan yang jelas tentang pendapat al-Maturidi mengenai soal mengetahui Tuhan dan kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, keterangan yang demikian tidak dijumpai dalam soal baik dan buruk. Al-Bazdawi umpamanya, mengatakan bahwa akal tidak dapat mengetahui kewajiban mengerjakan baik dan menjauhi yang buruk, karena akal hanya dapat mengetahui baik dan buruk saja, sebenarnya Tuhan-lah yang menentukan kewajiban mengenai baik dan buruk.9 Tetapi al-Bazdawi tidak menjelaskan apakah pendapat itu juga merupakan pendapat al-Maturidi.
Bagi kaum Mu’tazilah dan kaum Maturidiah, perintah dan larangan Tuhan erat hubungannya dengan sifat dasar (nature) perbuatan yang bersangkutan, dengan perkataan lain upah dan hukuman bergantung pada sifat yang terdapat dalam perbuatan itu sendiri.1
Akal kata al-Maturidi, mengetahui sifat baik yang terdapat dalam yang baik dan sifat yang buruk yang terdapat dalam yang buruk, dengan demikian akal juga tahu bahwa berbuat baik adalah baik dan berbuat buruk adalah buruk, dan pengetahuan inilah yang memestikan adanya perintah dan larangan. Akal, kata al-Maturidi selanjutnya, mengetahui bahwa bersikap adil dan lurus adalah baik dan bahwa bersikap sebaliknya adalah buruk. Oleh karena itu akal memandang mulia orang yang adil serta lurus dan memandang rendah sikap sebaliknya. Akal selanjutnya memerintah manusia mengerjakan perbuatan-perbuatan yang akan mempertinggi kemuliaan dan melarang manusia mengerjakan perbuatan yang merendahkan. Perintah dan larangan dengan demikian, menjadi wajib dengan kemestian akal (fayajib al-amr wa al-nahy bidarurah al-’aql).
Jelaslah bahwa dalam pendapat al-Maturidi, akal dapat mengetahui baik dan buruk. Tetapi yang menjadi pertanyaan apakah akal bagi al-Maturidi dapat mengetahui kewajiban berbuat baik dan menjauhi kejahatan. Uraian di atas tidak memberi pengertian bahwa akal dapat mengetahui hal itu. Yang diwajibkan akal, menurut uraian itu, ialah adanya perintah dan larangan, dan bukan mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk. Akal tak dapat mengetahui kewajiban itu. Sekiranya dapat maka keterangan al-Maturidi di atas seharusnya berbunyi fayajib i’tinaq al-hasan wa ijtinab al-qabih bidarurah al-’aql. Yang dapat diketahui akal hanyalah sebab waibnya perintah dan larangan Tuhan.
Pendapat al-Maturidi di atas diterima oleh para pengikutnya di Samarkand. Adapun pengikutnya di Bukhara (al-Bazdawiyah), mereka mempunyai faham yang berlainan sedikit. Perbedaan faham antara golongan Samarkand dan Bukhara berkisar sekitar persoalan kewajiban mengenai Tuhan.
Seperti dilihat sebelumnya, adanya perbedaan faham antara Samarkand dan Bukhara, bahwa al-Maturidi sefaham dengan Mu’tazilah, yang berpendapat bahwa matangnya akallah yang menentukan kewajiban mengetahui Tuhan bagi anak, dan bukan tercapainya umur dewasa oleh anak itu. Golongan Bukhara tidak mempunyai faham demikian. Dalam faham mereka akal tidak mampu untuk menentukan kewajiban, akal hanya mampu untuk mengetahui sebanya kewajiban. Akal bagi mereka adalah alat untuk mengetahui kewajiban dan menentukan kewajiban (al-mujib) ialah Tuhan.11
Dengan demikian akal menurut faham golongan Bukhara tidak dapat mengetahui kewajiban-kewajiban dan hanya dapat mengetahui sebab-sebab yang membuat kewajiban-kewajiban menjadi kewajiban. Akibat dari pendapat demikian ialah bahwa mengetahui Tuhan dalam arti berterimakasih kepada Tuhan, sebelum turunnya wahyu tidaklah wajib bagi manusia. Dan ini memang merupakan pendapat golongan Bukhara. Alim ulama Bukhara berpendapat, sebelum adanya Rasul-rasul, percaya kepada Tuhan tidaklah diwajibkan dan tidak percaya kepada Tuhan bukanlah merupakan dosa.12
Dalam memberikan komentar terhadap QS. Thaha, 20:134, al-Bazdawi mengatakan bahwa menurut ayat ini kewajiban-kewajiban tidak ada sebelum pengiriman rasul-rasul dan dengan demikian percaya kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu tidaklah wajib. Kewajiban-kewajiban itu ditentukan hanya oleh Tuhan dan ketentuan-ketentuan Tuhan itu tidak dapat diketahui kecuali melalui wahyu.13
Bagi al-Bazdawiah bahwa akal tak dapat mengetahui kewajiban berterimakasih kepada Tuhan. Begitu juga akal tidak merupakan mujib, yaitu yang menentukan kewajiban-kewajiban bagi manusia, yang menjadi mujib dalam fahamnya hanyalah Tuhan.
Sebaliknya Maturidiyah Samarkand mengadakan per-bedaan antara sifat terpujinya mengetahui Tuhan dan ber-terima kasih kepada-Nya atas nikmat yang dianugerahkan-Nya dan sifat terpujinya perbuatan menjauhi kejahatan. Argumen yang dipakai untuk mengadakan perbedaan ini mungkin sekali seperti berikut ini. Dalam hidup sehari-hari akal dapat mengetahui keharusan berterimakasih kepada pemberi nikmat. Tuhan adalah pemberi nikmat terbesar. Untuk dapat berterimakasih kepada-Nya orang harus mengetahui Tuhan (dari sinilah timbulnya faham kewajiban mengetahui Tuhan).
Dalam hal baik dan buruk tak terdapat unsur penerima nikmat dan pemberi nikmat. Dengan demikian akal dalam hal ini tak mempunyai petunjuk yang kuat untuk mengetahui tentang kewajiban melaksanakan pengetahuan tentang baik dan buruk. Inilah mungkin sebabnya maka akal, dalam pendapat Maturidiyah Samarkand, hanya bisa sampai kepada tingkat dapat memahami perintah-perintah dan larangan-larangan Tuhan mengenai baik dan buruk dan tidak pada kewajiban berbuat baik dan menjauhi kejahatan.
C. PENUTUP
Dari uraian di atas kiranya dapat disimpulkan seperti berikut;
1. Dalam aliran al-Maturidiah terdapat dua golongan, yaitu golongan Samarkand (pengikut al-Maturidi) dan golongan Bukhara (pengikut al-Bazdawi). Kalau golongan Samarkand lebih dekat kepada faham Mu’tazilah sedangkan golongan Bukhara lebih dekat dengan faham al-Asy’ari.
2. Perbedaan faham antara al-Maturidiah dan al-Bazdawiyah berkisar pada masalah kewajiban mengenai Tuhan. Menurut al-Maturidi bahwa mengetahui Tuhan wajib menurut akal (bi’uqulihim) walaupun pemberitaan dari Rasul tak ada. Dalam faham al-Bazdawiyah berpendapat bahwa akal tidak mampu untuk menentukan kewajiban, akal hanya mampu untuk mengetahui sebabnya kewajiban.
CATATAN:
1. Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, 1986, hlm. 76.
2. Abu Yusuf Muhammad al-Bazdawi, Kitab Usul al-Din, Ed. Dr. Hans Peter Linss, Kairo: ‘Isa al-Babi al-Halabi, 1963, hlm. 34.
3. Al-Maturidi, Kitab Syarh al-Akbar, Hyderabad: Dar’irah al-Ma’arif al-Nizamiah, 1321 H, hlm. 22.
4. Ibid, hlm. 11.
5. Ibid, hlm. 122.
6. Antropomorphisme adalah paham jisim pada Tuhan, lihat Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999, hlm. 223.
7. Al-Bazdawi, op.cit, hlm. 207.
8. Abu ‘Uzbah, Al-Rawdah al-Bahiah fima bayn al-Asy’ariyah wa al-Maturidiah, Hyderabad, 1322 H., hlm. 37.
9. Al-Bazdawi, op.cit., hlm. 92.
10. Muhammad Abduh, “Hashiyah ‘ala al-Aqa’id al-’Adudiah”, Ed. Sulayman Dunya dalam Al-Shaykh Muhammad Abduh bayn al-Falasifah wa al-Kalamiyin, Kairo: ‘Isa al-Babi al-Halabi, 1958, hlm.565.
11. Kamal al-Din Ahmad al-Bayadi, Isyarat al-Maram min ‘Ibarat al-Imam, Ed. Yusuf Muhammad ‘Abd al-Razzaq, Kairo: Mustafa al-babi al-Halabi wa Awladuh, 1949, hlm. 75.
12. Abu ‘Uzbah, op.cit., hlm. 38.
13. Al-Bazdawi, op.cit., hlm. 209.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abduh, Muhammad, “Hashiyah ‘ala al-Aqa’id al-’Adudiah”, Ed. Sulayman Dunya dalam Al-Shaykh Muhammad Abduh bayn al-Falasifah wa al-Kalamiyin, Kairo: ‘Isa al-Babi al-Halabi, 1958.
Al-Bayadi, Kamal al-Din Ahmad, Isyarat al-Maram min ‘Ibarat al-Imam, Ed. Yusuf Muhammad ‘Abd al-Razzaq, Kairo: Mustafa al-babi al-Halabi wa Awladuh, 1949.
Al-Bazdawi, Abu Yusuf Muhammad, Kitab Usul al-Din, Ed. Dr. Hans Peter Linss, Kairo: ‘Isa al-Babi al-Halabi, 1963.
Al-Maturidi, Kitab Syarh al-Akbar, Hyderabad: Dar’irah al-Ma’arif al-Nizamiah, 1321 H.
Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, 1986.
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999.
‘Uzbah, Abu, Al-Rawdah al-Bahiah fima bayn al-Asy’ariyah wa al-Maturidiah, Hyderabad, 1322 H.
Abu Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud al-Maturidi lahir di Samarkand pada pertengahan ke dua dari abad ke sembilan Masehi dan meninggal di tahun 944 Masehi. Ia adalah pengikut Abu Hanifah dan faham-faham teologinya banyak persamaannya dengan faham-faham yang dimajukan Abu Hanifah. Sistem pemikiran teologi yang ditimbulkan Abu Mansur termasuk dalam golongan teologi Ahli Sunnah dan dikenal dengan nama al-Maturidiyah.1
Literatur mengenai ajaran-ajaran Abu Mansur dan aliran Maturidiyah tidak sebanyak literatur mengenai ajaran-ajaran Asy’ariyah. Buku-buku yang banyak membahas soal sekte-sekte sperti buku-buku al-Syahrastani, Ibnu Hazm, al Bagdadi dan lain-lain tidak memuat keterangan-keterangan tentang al-Maturidi atau pengikut-pengikutnya. Karangan-karangan al-maturidi sendiri masih belum dan tetap dalam bentuk Mahtutat.
Diantara Mahtutat itu adalah Kitab al Tauhid dan Kitab Ta’wil al-Qur’an. Seterusnya ada pula yang karangan-karangan yang dikatakan disusun oleh al-maturidi yaitu Risalah fi al-’Aqa’id dan Syarh al-Fiqh al-Akbar. Keterangan-keterangan mengenai pendapat-pendapat al Maturidi dapat diperoleh lebih lanjut dari buku-buku yang dikarang oleh pengikut-pengikutnya seperti Isyarat al-Maram oleh al-Bayadi dan Usul al-Din oleh al-Bazdawi.
B. AL-MATURIDIYAH, dan PEMIKIRANNYA
Sebagai pengikut Abu Hanifah yang banyak memakai rasio dalam pandangan keagamaannya, al-Maturidi banyak pula memakai akal dalam teologinya. Oleh karena itu diantara teologinya dan teologi yang ditimbulkan oleh al-Asy’ari terdapat perbedaan, sungguhpun keduanya timbul sebagai reaksi terhadap aliran Mu’tazilah.
Dalam soal sifat-sifat Tuhan terdapat persamaan antar al-Asy’ari dan al-Maturidi. Baginya Tuhan juga mempunyai sifat-sifat.2 Maka menurut pendapatnya, Tuhan mengetahui bukan dengan dzatnya, tetapi mengetahui dengan pengetahuan Nya, dan berkuasa bukan dengan dzat-Nya.3
Tetapi dalam soal perbuatan-perbuatan manusia, al-Maturidi sependapat dengan golongan Mu’tazilah, bahwa manusialah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya.4 Dengan demikian ia mempunyai paham qadariyah dan bukan faham jabariyah atau kasb Asy’ari.
Sama dengan al-Asy’ari, al-Maturidi menolak ajaran Mu’tazilah tentang al-salah wa al-aslah, tetapi disamping itu al-Maturidi berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu.5 Al-Maturidi juga tidak sepaham dengan Mu’tazilah tentang al-Qur’an yang menimbulkan heboh itu. Sebagi al-Asy’ari ia mengatakan bahwa kalam atau sabda Tuhan tidak diciptakan tetapi bersifat qadim.
Mengenai soal dosa besar Al-Maturidi sefaham dengan al-Asy’ari yaitu: bahwa orang yang berdosa besar masih tetap mukmin, dan soal dosa besarnya akan ditentukan Tuhan kelak di akhirat. Ia pun menolak faham posisi menengah kaum mu’tazilah.
Tatapi soal al-wa’ad wa al-wa’id Al-Maturidi sefaham dengan Mu’tazilah. Janji-janji dan ancaman-ancamanTuhan, tak boleh tidak mesti terjadi kelak. Dan juga dalam soal anthropomorphisme6 Al-Maturidi sealiran dengan Mu’tazilah. Ia tidak sependapat dengan al-Asy’ari bahwa ayat-ayat yang menggambarkan Tuhan mempunyai bentuk jasmani tak dapat diberi interpretasi atau ta’wil. Menurut pendapatnya tangan, wajah dan sebagainya mesti diberi arti majazi atau kiasan.
Salah satu pengikut penting Al-Maturidi ialah Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi (421-493 H), nenek al-Bazdawi adalah murid Al-Maturidi, dan al-Bazdawi mengetahui ajaran-ajaran Al-Maturidi dari orang tuanya. al-Bazdawi sendiri mempunyai murid-nurid dan salah seorang dari mereka ialah Najm al-Din Muhammad al-Nasafi (460-537 H), pengarang buku al-’Aqa’idal Nasafiah.
Seperti al-Baqillani dan al-Juwaini, al-Bazdawi tidak pula selamanya sefaham dengan al-Maturidi. Antara ke dua pemuka aliran Maturidiah ini, terdapat perbedaan faham sehingga boleh dikatakan bahwa dalam aliran Maturidiyah terdapat dua golongan; golongan Samarkand yaitu pengikut-pengikut al-Maturidi sendiri, dan golongan Bukhara yaitu pengikut-pengikut al-Bazdawi. Kalau golongan Samarkand mempunyai faham-faham yang lebih dekat kepada faham Mu’tazilah, sedangkan golongan Bukhara mempunyai pendapat-pendapat yang lebih dekat kepada pendapat-pendapat al-Asy’ari.
Al-Maturidi, bertentangan dengan pendirian Asy’ariyah tetapi sefaham dengan Mu’tazilah, juga berpendapat bahwa akal dapat mengetahui kewajiban manusia berterimakasih kepada Tuhan. Hal ini dapat diketahui dari keterangan al-Bazdawi berikut;
“Percaya kepada Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya sebelum adanya wahyu adalah wajib dalam faham Mu’tazilah…al-Syaikh Abu Mansur al-Maturidi dalam hal ini sefaham dengan Mu’tazilah, demikian jugalah umumnya ulama Samarkand dan sebagian dari alim-ulama Irak”.7
Keterangan ini diperkuat oleh Abu ‘Uzbah:
“Dalam pendapat Mu’tazilah orang yang berakal, muda-tua, tak dapat diberi maaf dalam soal mencari kebenaran. Dengan demikian, anak yang telah berakal mempunyai kewajiban percaya kepada Tuhan. Jika ia sekiranya mati tanpa percaya pada Tuhan, ia mesti diberi hukum. Dalam Maturidiah anak yang belum baligh tidak mempunyai kewajiban apa-apa. Tetapi al-Maturidi berpendapat bahwa anak yang telah berakal berkewajiban mengetahui Tuhan. Dalam hal ini tak terdapat perbedaan antara al-Maturidiah dan Mu’tazilah”.8
Kalau uraian al-Bazdawi, Abu ‘Uzbah dan lain-lain memberi keterangan yang jelas tentang pendapat al-Maturidi mengenai soal mengetahui Tuhan dan kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, keterangan yang demikian tidak dijumpai dalam soal baik dan buruk. Al-Bazdawi umpamanya, mengatakan bahwa akal tidak dapat mengetahui kewajiban mengerjakan baik dan menjauhi yang buruk, karena akal hanya dapat mengetahui baik dan buruk saja, sebenarnya Tuhan-lah yang menentukan kewajiban mengenai baik dan buruk.9 Tetapi al-Bazdawi tidak menjelaskan apakah pendapat itu juga merupakan pendapat al-Maturidi.
Bagi kaum Mu’tazilah dan kaum Maturidiah, perintah dan larangan Tuhan erat hubungannya dengan sifat dasar (nature) perbuatan yang bersangkutan, dengan perkataan lain upah dan hukuman bergantung pada sifat yang terdapat dalam perbuatan itu sendiri.1
Akal kata al-Maturidi, mengetahui sifat baik yang terdapat dalam yang baik dan sifat yang buruk yang terdapat dalam yang buruk, dengan demikian akal juga tahu bahwa berbuat baik adalah baik dan berbuat buruk adalah buruk, dan pengetahuan inilah yang memestikan adanya perintah dan larangan. Akal, kata al-Maturidi selanjutnya, mengetahui bahwa bersikap adil dan lurus adalah baik dan bahwa bersikap sebaliknya adalah buruk. Oleh karena itu akal memandang mulia orang yang adil serta lurus dan memandang rendah sikap sebaliknya. Akal selanjutnya memerintah manusia mengerjakan perbuatan-perbuatan yang akan mempertinggi kemuliaan dan melarang manusia mengerjakan perbuatan yang merendahkan. Perintah dan larangan dengan demikian, menjadi wajib dengan kemestian akal (fayajib al-amr wa al-nahy bidarurah al-’aql).
Jelaslah bahwa dalam pendapat al-Maturidi, akal dapat mengetahui baik dan buruk. Tetapi yang menjadi pertanyaan apakah akal bagi al-Maturidi dapat mengetahui kewajiban berbuat baik dan menjauhi kejahatan. Uraian di atas tidak memberi pengertian bahwa akal dapat mengetahui hal itu. Yang diwajibkan akal, menurut uraian itu, ialah adanya perintah dan larangan, dan bukan mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk. Akal tak dapat mengetahui kewajiban itu. Sekiranya dapat maka keterangan al-Maturidi di atas seharusnya berbunyi fayajib i’tinaq al-hasan wa ijtinab al-qabih bidarurah al-’aql. Yang dapat diketahui akal hanyalah sebab waibnya perintah dan larangan Tuhan.
Pendapat al-Maturidi di atas diterima oleh para pengikutnya di Samarkand. Adapun pengikutnya di Bukhara (al-Bazdawiyah), mereka mempunyai faham yang berlainan sedikit. Perbedaan faham antara golongan Samarkand dan Bukhara berkisar sekitar persoalan kewajiban mengenai Tuhan.
Seperti dilihat sebelumnya, adanya perbedaan faham antara Samarkand dan Bukhara, bahwa al-Maturidi sefaham dengan Mu’tazilah, yang berpendapat bahwa matangnya akallah yang menentukan kewajiban mengetahui Tuhan bagi anak, dan bukan tercapainya umur dewasa oleh anak itu. Golongan Bukhara tidak mempunyai faham demikian. Dalam faham mereka akal tidak mampu untuk menentukan kewajiban, akal hanya mampu untuk mengetahui sebanya kewajiban. Akal bagi mereka adalah alat untuk mengetahui kewajiban dan menentukan kewajiban (al-mujib) ialah Tuhan.11
Dengan demikian akal menurut faham golongan Bukhara tidak dapat mengetahui kewajiban-kewajiban dan hanya dapat mengetahui sebab-sebab yang membuat kewajiban-kewajiban menjadi kewajiban. Akibat dari pendapat demikian ialah bahwa mengetahui Tuhan dalam arti berterimakasih kepada Tuhan, sebelum turunnya wahyu tidaklah wajib bagi manusia. Dan ini memang merupakan pendapat golongan Bukhara. Alim ulama Bukhara berpendapat, sebelum adanya Rasul-rasul, percaya kepada Tuhan tidaklah diwajibkan dan tidak percaya kepada Tuhan bukanlah merupakan dosa.12
Dalam memberikan komentar terhadap QS. Thaha, 20:134, al-Bazdawi mengatakan bahwa menurut ayat ini kewajiban-kewajiban tidak ada sebelum pengiriman rasul-rasul dan dengan demikian percaya kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu tidaklah wajib. Kewajiban-kewajiban itu ditentukan hanya oleh Tuhan dan ketentuan-ketentuan Tuhan itu tidak dapat diketahui kecuali melalui wahyu.13
Bagi al-Bazdawiah bahwa akal tak dapat mengetahui kewajiban berterimakasih kepada Tuhan. Begitu juga akal tidak merupakan mujib, yaitu yang menentukan kewajiban-kewajiban bagi manusia, yang menjadi mujib dalam fahamnya hanyalah Tuhan.
Sebaliknya Maturidiyah Samarkand mengadakan per-bedaan antara sifat terpujinya mengetahui Tuhan dan ber-terima kasih kepada-Nya atas nikmat yang dianugerahkan-Nya dan sifat terpujinya perbuatan menjauhi kejahatan. Argumen yang dipakai untuk mengadakan perbedaan ini mungkin sekali seperti berikut ini. Dalam hidup sehari-hari akal dapat mengetahui keharusan berterimakasih kepada pemberi nikmat. Tuhan adalah pemberi nikmat terbesar. Untuk dapat berterimakasih kepada-Nya orang harus mengetahui Tuhan (dari sinilah timbulnya faham kewajiban mengetahui Tuhan).
Dalam hal baik dan buruk tak terdapat unsur penerima nikmat dan pemberi nikmat. Dengan demikian akal dalam hal ini tak mempunyai petunjuk yang kuat untuk mengetahui tentang kewajiban melaksanakan pengetahuan tentang baik dan buruk. Inilah mungkin sebabnya maka akal, dalam pendapat Maturidiyah Samarkand, hanya bisa sampai kepada tingkat dapat memahami perintah-perintah dan larangan-larangan Tuhan mengenai baik dan buruk dan tidak pada kewajiban berbuat baik dan menjauhi kejahatan.
C. PENUTUP
Dari uraian di atas kiranya dapat disimpulkan seperti berikut;
1. Dalam aliran al-Maturidiah terdapat dua golongan, yaitu golongan Samarkand (pengikut al-Maturidi) dan golongan Bukhara (pengikut al-Bazdawi). Kalau golongan Samarkand lebih dekat kepada faham Mu’tazilah sedangkan golongan Bukhara lebih dekat dengan faham al-Asy’ari.
2. Perbedaan faham antara al-Maturidiah dan al-Bazdawiyah berkisar pada masalah kewajiban mengenai Tuhan. Menurut al-Maturidi bahwa mengetahui Tuhan wajib menurut akal (bi’uqulihim) walaupun pemberitaan dari Rasul tak ada. Dalam faham al-Bazdawiyah berpendapat bahwa akal tidak mampu untuk menentukan kewajiban, akal hanya mampu untuk mengetahui sebabnya kewajiban.
CATATAN:
1. Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, 1986, hlm. 76.
2. Abu Yusuf Muhammad al-Bazdawi, Kitab Usul al-Din, Ed. Dr. Hans Peter Linss, Kairo: ‘Isa al-Babi al-Halabi, 1963, hlm. 34.
3. Al-Maturidi, Kitab Syarh al-Akbar, Hyderabad: Dar’irah al-Ma’arif al-Nizamiah, 1321 H, hlm. 22.
4. Ibid, hlm. 11.
5. Ibid, hlm. 122.
6. Antropomorphisme adalah paham jisim pada Tuhan, lihat Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999, hlm. 223.
7. Al-Bazdawi, op.cit, hlm. 207.
8. Abu ‘Uzbah, Al-Rawdah al-Bahiah fima bayn al-Asy’ariyah wa al-Maturidiah, Hyderabad, 1322 H., hlm. 37.
9. Al-Bazdawi, op.cit., hlm. 92.
10. Muhammad Abduh, “Hashiyah ‘ala al-Aqa’id al-’Adudiah”, Ed. Sulayman Dunya dalam Al-Shaykh Muhammad Abduh bayn al-Falasifah wa al-Kalamiyin, Kairo: ‘Isa al-Babi al-Halabi, 1958, hlm.565.
11. Kamal al-Din Ahmad al-Bayadi, Isyarat al-Maram min ‘Ibarat al-Imam, Ed. Yusuf Muhammad ‘Abd al-Razzaq, Kairo: Mustafa al-babi al-Halabi wa Awladuh, 1949, hlm. 75.
12. Abu ‘Uzbah, op.cit., hlm. 38.
13. Al-Bazdawi, op.cit., hlm. 209.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abduh, Muhammad, “Hashiyah ‘ala al-Aqa’id al-’Adudiah”, Ed. Sulayman Dunya dalam Al-Shaykh Muhammad Abduh bayn al-Falasifah wa al-Kalamiyin, Kairo: ‘Isa al-Babi al-Halabi, 1958.
Al-Bayadi, Kamal al-Din Ahmad, Isyarat al-Maram min ‘Ibarat al-Imam, Ed. Yusuf Muhammad ‘Abd al-Razzaq, Kairo: Mustafa al-babi al-Halabi wa Awladuh, 1949.
Al-Bazdawi, Abu Yusuf Muhammad, Kitab Usul al-Din, Ed. Dr. Hans Peter Linss, Kairo: ‘Isa al-Babi al-Halabi, 1963.
Al-Maturidi, Kitab Syarh al-Akbar, Hyderabad: Dar’irah al-Ma’arif al-Nizamiah, 1321 H.
Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, 1986.
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999.
‘Uzbah, Abu, Al-Rawdah al-Bahiah fima bayn al-Asy’ariyah wa al-Maturidiah, Hyderabad, 1322 H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar