ADA AMANAT DI PUNDAKMU!!
Korupsi adalah serapan dari bahasa latin corruptio
yang artinya busuk, rusak atau memutar balikkan. Dalam penggunaan
bahasa kita, korupsi lebih identik dengan perilaku pejabat publik atau
politikus yang memperkaya diri atau orang lain dengan menyalahgunakan
kekuasaan yang diamanahkan kepada mereka untuk kepentingan pribadi. Bentuk
korupsi berupa waktu, harta, pangkat kedudukan atau yang lainnya dan
pelakunya pun bermacam-macam, mulai dari kalangan atas sampai kalangan
bawah. Mulai dari korupsi kelas berat dan terorganisasi yang menyebabkan
negara dan rakyat mengalami kerugian yang besar sampai kerjasama
antara seorang pegawai dengan tukang fotokopi untuk membuat nota palsu
dengan menambah total nominal dari biaya fotokopi.
Di negeri kita ini korupsi telah menjadi
salah satu persoalan yang sangat sulit diatasi. Ibarat penyakit,
korupsi telah merajalela ke seantero negeri dengan jumlah yang dari
tahun ke tahun semakin meningkat. Sehingga bukan rahasia lagi jika
hasil riset beberapa lembaga menunjukkan bahwa tingkat korupsi yang
terjadi di bumi pertiwi ini termasuk yang paling tinggi di dunia.
Kewajiban menunaikan amanah
Pembaca yang dirahmati Allah ta’ala, sesungguhnya hal ini tidak akan terjadi bila masing-masing pihak bertakwa kepada Allah ta’ala,
menyadari akan kewajiban melaksanakan amanah, masing-masing punya
komitmen untuk menunaikannya dan mengetahui bahwa pengkhianatan adalah
sebuah kezaliman yang terlarang dalam syariat yang suci ini.
Para pembaca yang budiman, perlu disadari
oleh semua pihak bahwa setiap pribadi muslim diwajibkan untuk
menunaikan amanah yang diembannya.
Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (٥٨)
“Sesungguhnya Allah menyuruh kalian untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya.” [QS An-Nisa : 58]
Berkenaan dengan ayat ini, As-Sa’dy
mengatakan dalam tafsirnya, “Amanah adalah segala sesuatu yang
dibebankan kepada seseorang dan diperintahkan untuk menunaikannya.
Allah ta’ala telah memerintahkan agar menunaikan amanah-amanah tersebut
dengan sempurna, tidak dikurangi maupun ditunda pelaksanaannya.
Termasuk di dalamnya amanah kekuasaan, harta benda ataupun (menjaga)
perkara-perkara rahasia.”
Allah ta’ala juga menyebutkan
bahwa menjaga amanah dan janji merupakan salah satu sifat kaum mukminin
yang akan meraih kesuksesan di dunia dan akhirat :
وَالَّذِينَ هُمْ لأمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ (٨)
“Dan orang-orang yang memelihara amanah-amanah (yang dipikulnya) dan janjinya.” [Q.S. Al-Mukminun : 8]
Dijelaskan pula oleh para ulama bahwa
semua kewajiban yang telah Allah ta’ala tetapkan bagi kaum muslimin,
seperti shalat, zakat, puasa dan yang lainya adalah amanah yang harus
ditunaikan. Demikian halnya kewajiban meninggalkan perkara-perkara yang
dilarang dalam syariat juga merupakan amanah. Dengan demikian, amanah
sangat luas cakupannya, meliputi urusan-urusan dunia maupun keagamaan.
Selain itu, amanah juga terkait dengan hak Allah ta’ala, sesama manusia
maupun makhluk yang lainnya. Seorang pegawai mengemban amanah untuk
jujur dan komitmen dalam melaksanakan tugasnya, seorang pedagang
mengemban amanah untuk jujur dalam melakukan transaksi jual beli,
demikian halnya seorang pelajar, guru atau yang lainnya. Masing-masing
dari kita mengemban amanah dan akan dimintai pertanggungjawabannya
kelak di akhirat.
Diriwayatkan dari shahabat Ibnu Umar bahwasannya Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ والْأَمِيْرُ رَاعٍ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Kalian semua adalah pemimpin dan
kalian akan diminta pertanggung-jawaban atas kepemimpinan kalian.
Seorang penguasa adalah pemimpin, seorang suami adalah seorang pemimpin
keluarganya, seorang istri adalah pemimpin bagi rumah sang suami serta
anaknya. Maka kalian semua adalah pemimpin yang akan dimintai
pertanggung-jawaban atas kepemimpinan kalian.” [H.R. al-Bukhari dan Muslim]
Demikian pula sebaliknya, perlu kita
sadari bahwa menyiakan-nyiakan atau mengkhianati amanah adalah sebuah
kezaliman yang dilarang dalam agama yang mulia ini. Allah ta’ala
berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (٢٧)
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan (juga) janganlah kamu
mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu
mengetahui.” [Q.S. Al-Anfal:27].
إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْخَائِنِينَ (٥٨)
“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.” [Q.S. Al-Anfal : 58]
Adapun di antara landasan hukum dari
As-Sunnah yang menunjukkan wajibnya menunaikan amanah dan dilarangnya
pengkhianatan atau kecurangan adalah sebagai berikut
أَدِّ اْلأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ
“Tunaikanlah amanah kepada orang yang memberimu amanah dan janganlah mengkhianati orang yang mengkhianatimu.” [H.R. Abu Dawud dari shahabat Abu Hurairah dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah (no. 423)].
Bahkan, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
لاَ إِيْماَنَ لِمَنْ لاَ أَمَانَةَ لَهُ
“Tidak ada keimanan (yang sempurna) bagi seseorang yang tidak menunaikan amanahnya.” [H.R. Ahmad dari Anas bin Malik dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami' no.7179)]
Lebih jauh lagi Rasulullah shallallahu
alaihi bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam
Muslim dari shahabat ‘Adi bin ‘Amirah Al-Kindy:
مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ فَكَتَمَنَا مِخْيَطًا فَمَا فَوْقَهُ كَانَ غُلُولًا يَأْتِي بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Siapa saja di antara kalian yang
kami angkat sebagai pegawai lalu menyembunyikan sesuatu dari kami
meskipun sekecil jarum, maka itu adalah ghulul (pengkhianatan) yang
akan ia bawa di hari kiamat nanti.”
Al-Mubarakfuri mengatakan, “Hadits ini
memberikan anjuran kepada para pegawai/pekerja untuk menunaikan amanah
dan sekaligus peringatan bagi mereka agar tidak melakukan kecurangan.”
Jikalau melakukan kecurangan walaupun
pada perkara-perkara yang dianggap sepele oleh kebanyakan manusia saja
tidak diperbolehkan, sebagaimana hal itu digambarkan oleh Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam ‘meskipun sekecil jarum’ dalam riwayat
lain ‘walaupun sekecil kayu siwak’, lalu bagaimana kiranya jika tindak
kecurangan tersebut sampai merugikan negara dan rakyat.
Balasan di Dunia Dan Akhirat
Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad menjelaskan dalam buku beliau ‘Kaifa Yuaddil Muwazhzhofu Al-Amanah’
(Bagaimana seorang pegawai menunaikan amanahnya), bahwa seorang muslim
yang menunaikan pekerjaannya (pekerjaan yang diperbolehkan secara
syar’i) dengan sungguh-sungguh dan mengharap pahala dari Allah, berarti
ia telah melaksanakan kewajibannya dan berhak mendapatkan balasan
(upah) atas perkerjaan di dunia serta pahala di akhirat kelak. Di
antara landasan hukum yang menunjukkan bahwa pahala atas apa yang
dikerjakan oleh seorang muslim hanya bisa diraih jika dilakukan dengan
ikhlas adalah firman Allah ta’ala:
لا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلاحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا (١١٤)
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan
bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan orang yang
memerintahkan untuk bersedekah, berbuat ma’ruf, atau mengadakan
perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian
karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya
pahala yang besar.” [Q.S. An-Nisa : 114]. Di dalam ayat ini Allah ta’ala menerangkan bahwa memerintahkan untuk bersedekah, berbuat ma’ruf, dan mendamaikan manusia adalah baik, namun Allah ta’ala menegaskan bahwa yang akan mendapatkan pahala yang besar hanyalah orang yang melakukan hal itu dengan berharap ridha Allah.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda dalam sebuah haditsnya yang mulia :
وَإِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلَّا أُجِرْتَ عَلَيْهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فِيِّ امْرَأَتِكَ
“Sesungguhnya apa saja yang kamu
nafkahkan untuk mencari ridha Allah, maka pasti kamu akan diberi pahala,
termasuk apa yang dimakan oleh isterimu.” [H.R. Al-Bukhari dan Muslim dari Sa'ad bin Abi Waqqash].
Dalam hadits ini Rasulullah juga menegaskan bahwa kewajiban seorang
suami akan bernilai pahala apabila dilakukan untuk mencari ridha Allah.
Menjaga jam kerja untuk kepentingan pekerjaan
Penyalahgunaan jam kerja juga merupakan
salah satu tindak korupsi, oleh karenanya Asy-Syaikh Abdul Muhsin
Al-Abbad lebih lanjut menjelaskan bahwa setiap pegawai atau pekerja
wajib menggunakan jam-jam kerjanya untuk melaksanakan pekerjaan yang
telah diamanahkan kepadanya. Tidak boleh baginya memanfaatkan seluruh
waktu-waktu tersebut atau sebagiannya untuk urusan-urusan lain, baik
kepentingan pribadi maupun orang lain bila tidak ada kaitannya dengan
pekerjaannya. Karena jam kerja bukanlah semata-mata milik pegawai,
namun menyangkut kepentingan banyak pihak dan kemaslahatan pekerjaan
yang diembannya.
Seorang ulama yang bernama Al-Muammar bin
Ali Al-Baghdadi telah memberikan beberapa untaian nasehat yang
memiliki makna sangat dalam dan bermanfaat kepada perdana menteri
Nizhamul Muluk. Di antara nasehat yang beliau sampaikan, “Suatu hal
yang telah maklum, wahai Shadrul Islam (panggilan untuk perdana menteri
tersebut), bahwasannya setiap individu masyarakat (pada asalnya) bebas
untuk datang dan pergi. Jika mereka menghendaki, mereka bisa
meneruskan dan memutuskan (urusan mereka). Adapun seseorang yang
terpilih untuk menduduki suatu jabatan, maka tidak bebas untuk
bepergian karena orang yang berada di atas pemerintahan adalah amir
(pemimpin) dan ia pada hakekatnya adalah orang upahan, dimana ia telah
menjual waktunya dan mengambil gajinya…” [Dzailut Thabaqat Al-Hanabilah karya Ibnu Rajab].
Para pembaca yang dimuliakan Allah,
sebagaimana seorang pegawai ingin mendapat upahnya secara utuh dan
tidak dikurangi gajinya sedikit pun, hendaklah ia tidak mengurangi jam
kerjanya untuk urusan-urusan yang tidak terkait dengan pekerjaannya.
Allah ta’ala telah mencela orang-orang yang berbuat curang yang mana
mereka menuntut hak mereka dengan sempurna dan enggan untuk menunaikan
hak orang lain secara utuh. Allah ta’ala berfirman :
وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ (١)الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ (٢)وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ (٣)أَلا يَظُنُّ أُولَئِكَ أَنَّهُمْ مَبْعُوثُونَ (٤)لِيَوْمٍ عَظِيمٍ (٥)يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ (٦)
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang
yang curang.(*) (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari
orang lain mereka minta dipenuhi.(*) dan apabila mereka menakar atau
menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.(*) Tidaklah orang-orang
itu menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan.(*) pada
suatu hari yang besar.(*) (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri
menghadap Rabb semesta alam.” [Q.S. Al-Muthaffifin : 1-6]
Bentuk-Bentuk Amanah
Adapun menunaikan amanah yang berkaitan
antara anda dengan Allah ta’ala adalah Anda melaksanakan ketaatan
kepada Allah ta’ala dengan penuh keikhlasan dan beribadah kepada-Nya
dengan mengikuti cara yang telah disyariatkan oleh-Nya, tidak
melalaikan dan tidak pula melampaui batas. Adapun menunaikan amanah
yang berkaitan antara Anda dengan sesama adalah anda melaksanakan semua
hak-hak sesama manusia yang diwajibkan oleh Allah ta’ala kepada anda.
Hal ini berbeda-beda sesuai dengan keberagaman kondisi manusia. Semua
orang memikul amanah sesuai dengan tuntutan pekerjaan yang senantiasa
ia lakukan. Para penguasa, baik kecil maupun besar, amanah mereka
adalah melaksanakan keadilan kepada orang-orang yang berada di bawah
kekuasaan mereka sebagaimana telah diwajibkan oleh Allah ta’ala.
Selain itu, dia juga memimpin rakyatnya sesuai dengan tuntutan
maslahat agama dan dunia, tidak memihak saudara, teman, atau orang yang
memiliki pengaruh, serta menyerahkan perkara kepada orang yang berhak
dan pantas. Demikian halnya seorang pegawai, dia harus melaksanakan
tugasnya sesuai dengan tuntutan dan tidak melalaikan pekerjaannya,
terlambat, tersibukkan dengan hal lain, atau melakukan perkara yang
tidak ada manfaatnya secara syar’i atau tata tertib. Hal lain yang
hendaknya diperhatikan oleh setiap pegawai adalah bahwasanya sebagian
pegawai terkadang tidak bersemangat dalam menjalankan aturan dengan
dalih bahwa peraturan-peraturan tersebut tidaklah diwajibkan oleh
syariat, dia digaji oleh negara bukan atasan, atau alasan semacamnya.
Alasan seperti ini tidaklah benar.
Adapun dalih bahwasanya peraturan
tersebut bukan termasuk peraturan syar’i, maka jawabannya adalah bahwa
peraturan tersebut telah ditetapkan oleh penguasa dan mereka telah
mengharuskan para pegawai untuk melaksanakannya, sedangkan semua
peraturan yang ditentukan oleh penguasa dan tidak mengandung
kemaksiatan kepada Allah ta’ala serta Rasul-Nya maka harus diikuti. Hal
ini berdasarkan firman Allah ta’ala :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا (٥٩)
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan pemerintah di antara kamu.” [Q.S. An-Nisa : 59]
Adapun alasan yang kedua bahwa gajinya
berasal dari negara, maka ini justru termasuk perkara yang mengharuskan
seorang pegawai untuk lebih giat melaksanakan tugasnya. Karena kas
negara berasal dari uang rakyat, maka hal ini terkait dengan hak
segenap rakyat dan masing-masing dari mereka menuntut agar Anda
melaksanakan tugas karena anda mengambil gaji dari uang mereka.
Andaikan perkara ini terkait dengan hak seorang individu, maka akan
masalahnya lebih ringan.
Seorang pendidik mempunyai perbedaan di
antara para pegawai lainnya, ia mempunyai tanggung jawab yang penting
dan amanah yang dibebankan di atas pundaknya. Seorang pendidik adalah
pengajar dan pemberi arahan, dia lah pemberi gizi dan dokter bagi ruh
manusia. Maka seorang pendidik harus memilih metode yang paling mudah
dan sarana terdekat yang akan menyampaikan pengetahuan kepada benak
para muridnya serta tidak menyia-nyiakan jam pelajaran pada hal-hal
yang tidak bermanfaat untuk para murid. Seorang pendidik juga harus
mengarahkan murid-muridnya kepada perkara-perkara yang akan membawa
kebaikan agama dan dunia mereka, sesuai dengan kemampuannya, karena
telah diketahui bahwa seorang murid akan banyak mencontoh gurunya dan
mengambil pendapatnya, melebihi apa yang dia ambil dari bapaknya dan
keluarganya. Oleh karena itu hendaknya seorang pendidik menggunakan
kelebihan ini dengan perhitungan yang tepat dan ikhlas kepada Allah
ta’ala dalam memberikan pengajaran dan pengarahan serta menyikapi para
muridnya dengan adil serta tidak membedakan antara kerabat, bukan
kerabat, orang terhormat dan yang tidak.
Pembaca yang mulia, sesungguhnya seorang
ayah dan pimpinan keluarga juga memiliki beban amanah yang harus
ditunaikan, yaitu mendidik anak-anak dan istrinya, meluruskan akhlak
mereka, membiasakan mereka mengerjakan kebaikan, meninggalkan keburukan
dan melaksanakan serta menjaga hak-hak yang telah Allah ta’ala
wajibkan kepada mereka.
Demikian halnya penjual dan pembeli
mempunyai amanah yang harus mereka tunaikan. Amanah tersebut adalah
kejujuran dan keterbukaan, tidak berdusta dan tidak pula menyembunyikan
cacat pada barang tersebut. Demikian pula orang-orang yang mempunyai
mata pencaharian lain, seperti tukang bangunan, tukang kayu, pengrajin
dan selainnya, hendaknya mereka menunaikan amanah dengan ikhlas dalam
pekerjaan mereka serta melaksanakannya dengan sempurna sebagaimana
mereka menuntut hak mereka dengan sempurna.
Para pembaca yang budiman, sesungguhnya
kalimat ringkas yang mencakup pengertian amanah adalah anda menunaikan
kewajiban anda sesuai yang diinginkan tanpa melalaikan dan melampaui
batas. Sehingga, barangsiapa menunaikan amanahnya, niscaya ia beruntung
dan siapa saja yang melalaikannya, pasti ia merugi.
Kita memohon kepada Allah ta’ala
agar menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang mampu menunaikan
semua amanah dengan baik dan memberikan kebahagiaan bagi kita semua di
dunia dan akhirat. Allahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar