INFO PROFIL

Foto saya
JENTREK ROJOIMO WONOSOBO, jawa tengah indonesia, Indonesia
Ya Allah jadikan kami manusia yang bisa keluar dari belenggu “kemunafikan”. Bimbing kami untuk tidak mengoreksi orang lain sebelum diri ini terkoreksi ya Rabb. Jadikan kami manusia yang jujur dan tidak pernah membohongi diri sendiri apalagi orang lain. kepadaMulah kami berserah ya Allah, kepadaMulah kami bermohon karena tanpa kehendakMu kami tidak bisa berbuat apa-apa Affannur Jentrek rojoimo wonosobo . lahir13 Agustus 1989

Rabu, 30 Oktober 2013






Meretas Kebuntuan Kepustakawanan Indonesia
Dilihat Dari Sisi Sumber Daya Tenaga Perpustakaan






Hernandono



Orasi Ilmiah dan
Pengukuhan Pustakawan Utama
Tahun 2005











Daftar Isi



Meretas Kebuntuan Kepustakawanan Indonesia
Dilihat Dari Sisi Sumber Daya Tenaga Perpustakaan………………......1

Daftar Pustaka………………………………………………………… 14

Riwayat Hidup Penulis…………………………………………………15

Lampiran   “Burung Dengan Sebelah Sayap”………………………….16

Lampiran   “Ulat, Kepompong, Dan Kupu-kupu”……………………..18
























Meretas Kebuntuan Kepustakawanan Indonesia
Dilihat Dari Sisi Sumber Daya Tenaga Perpustakaan
            

Yth. Bapak dan Ibu, para hadirin Majelis Orasi Pustakawan Utama yang berbahagia,

Assalaamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarrakatuh,
Selamat Pagi dan Salam Sejahtera bagi kita semua.

Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat ALLAH SWT, karena hanya dengan rahmat, taufik dan hidayahNYA, kita dapat hadir di tempat yang mulia ini dalam keadaan sehat walafiat.

Saya menyampaikan penghargaan dan rasa hormar kepada Bapak Drs. Dady P. Rachmananta, MLIS, Kepala Perpustakaan Nasional RI dan seluruh jajarannya yang telah memberikan dukungan dan memfasilitasi penyelenggaraan  Orasi Pustakawan Utama ini.

Kepada Ketua dan anggota Majelis Orasi Pustakawan Utama, saya juga menyampaikan rasa hormat dan terima kasih di dalam proses dan memimpin  Orasi Pustakawan Utama yang diadakan pada hari ini.

Yth. Bapak dan Ibu, para hadirin yang saya muliakan,

Judul yang saya sampaikan pada Orasi ini adalah Meretas Kebuntuan Kepustakawan Indonesia Dilihat Dari Sisi Sumber Daya Tenaga Perpustakaan.

Komunitas kepustakawanan Indonesia selama 50 tahun atau setengah abad terakhir pernah mengalami kebuntuan. Kebuntuan berarti berhenti atau jalan di tempat karena adanya rintangan atau hambatan.

Kebuntuan Pertama terjadi pada tahun 1956/57 dan berlangsung selama 15 tahun, hingga tahun 1969/1970. Pada saat itu infrastruktur kepustakawanan Indonesia masih sangat lemah, analognya Indonesia mengalami “busung lapar” kepustakawanan. Hal ini terlihat dari kondisi kepustakawanan Indonesia yang amat memprihatinkan, yaitu antara lain,
sumber daya manusia berupa tenaga profesional pustakawan masih sedikit jumlahnya; lembaga pendidikan pustakawan di dalam negeri masih langka atau terbatas; pengguna perpustakaan terutama para ilmuwan dan peneliti sangat kekurangan bahan bacaan ilmiah yang diterbitkan di mancanegara untuk mendukung kegiatan penelitiannya.
Pendulum politik pada saat itu terlalu jauh bergerak ke kiri. Di samping itu, keuangan negara tidak menggembirakan, dan pemerintah tidak mampu menyediakan devisa untuk belanja informasi, dan tidak tersedia anggaran untuk membangun infrastruktur kepustakawanan.
Beberapa upaya untuk mengatasi kebuntuan kepustakawanan di Indonesia Gelombang Pertama yang dapat dilakukan adalah meningkatkan jumlah dan mutu tenaga perpustakaan dengan cara mengirim mereka untuk mengikuti pendidikan lanjutan atas biaya sponsor luarnegeri ataupun badan internasional, serta mendatangkan tenaga asing sebagai tenaga ahli atau konsultan untuk pengembangan kepustakawanan Indoneia.
Di samping itu, Indonesia memperoleh bantuan asing untuk pengadaan bahan pustaka ilmiah, antara lain melalui Yayasan Asia (The Asia Foundation) dan Program Buku Ilmiah (Science Book Program) dari United States Agency for International Development (US-AID) dan United States National Academy of Sciences (US-NAS). Upaya untuk tetap tegak di atas kaki sendiri, juga dilakukan berupa terobosan (breakthrough) berupa pemanfaatan bersama koleksi melalui kerjasama perpustakaan, dan penyusunan alat temu kembali bahan pustaka berupa Katalog Induk Majalah.

Badai Gelombang Kebuntuan Pertama reda, dan komunitas kepustakawanan Indonesia, terutama bagi mereka yang bekerja di lembaga-lembaga pemerintah mulai menikmati kegiatan di bawah panji-panji Proyek Pembangunan yang dimulai pada tahun anggaran 1969/1970 dan berlangsung sekitar tiga dekade.

Namun di penutup milenium kedua, yaitu pada tahun 1987/1988 kepustakawanan Indonesia mengalami kebuntuan kedua, dengan terjadinya Krisis Ekonomi Global yang banyak berpengaruh di berbagai sektor kegiatan, termasuk di bidang infrastruktur pendidikan dan kepustakawanan. Di tingkat nasional, bangsa dan negeri ini menghadapi berbagai masalah besar lain,  di antaranya, merebaknya korupsi, penggarongan sumber daya alam, ancaman narkoba/psikotropika, meningkatnya kriminalitas dan terorisme, ancaman disintegrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), meningkatnya kemiskinan dan kurang gizi serta  berbagai bencana alam yang telah mencabut nyawa anak bangsa hampir 200 ribu orang atau hampir satu permil dari penduduk Indonesia.

Bapak dan Ibu, para hadirin yang saya muliakan,

Beberapa perkembangan di bidang kepustakawanan pada saat ini ditandai antara lain:
  • Jabatan fungsional Pustakawan, terutama bagi mereka yng bekerja di instansi pemerintan (pegawai negeri sipil/PNS) telah diakui sejak tahun 1988. Namun jumlah tenaga fungsional Pustakawan masih amat sedikit, yaitu  2.867 orang, dan secara geografis dan menurut jenis perpustakaan di mana mereka bekerja, belum tersebar secara proporsional untuk melayani penduduk 220 juta orang. Hampir separoh jumlah Pustakawan tersebut yaitu 1.320 orang (47%) nyaman bekerja dan terkonsentrasi di 6 provinsi di Jawa, sedangkan separohnya lagi yaitu 1.527 (53%) bekerja dan tersebar di 27 provinsi di luar Jawa.
  • Jumlah sekolah perpustakaan tersebar di 20 perguruan tinggi negeri dan swasta, dan telah menghasilkan ratusan tenaga Pustakawan tingkat terampil dan ahli.
  • Komputer sudah diterapkan di sebagian perpustakaan, terutama di Perpustakaan Nasional RI, perpustakaan perguruan tinggi dan perpustakaan khusus (instansi) guna mendukung kelancaran akses informasi.
  • Kedudukan/status, tugas pokok dan fungsi sebagian perpustakaan mulai jelas.
  • Meskipun belum mencukupi dan memadai, infrastruktur sebagian perpustakaan menunjukkan perkembangan.



Bapak dan Ibu, para hadirin yang berbahagia,

Meskipun secara fisik terdapat beberapa perkembangan dan kemajuan sebagaimana diuraikan di depan, namun menurut pemahaman saya, masih terdapat kebuntuan di bidang kepustakawanan Indonesia, terutama yang berkaitan dengan sumber daya tenaga perpustakaan. Pertumbuhan dan perkembangan perpustakaan sebagai suatu institusi publik seharusnya didukung oleh pertumbuhan dan perkembangan  sumber daya tenaga Pustakawan semi-profesional (Pustakawan Terampil) dan Pustakawan profesional (Pustakawan Ahli) yang bekerja di institusi tersebut.

      Berdasarkan data Pustakawan Indonesia yang dikumpulkan Pusat Pengembangan
      Pustakawan – Perpustakaan Nasional RI hingga akhir tahun 2005, dapat dilihat “Peta
      Pustakawan” sebagai berikut:

      -------------------------------------------------------------------------------------------------------
      No.           Jenia Perpustakaan                         Jumlah Pustakawan         Prosentase (%)
      -------------------------------------------------------------------------------------------------------
       1.   Perpustakaan Nasional RI                                       178                           6.3                                 
       2.   Perpustakaan Khusus/Instansi                                 483                         17.1                      
       3.   Perpustakaan Perguruan Tinggi                           1.222                          42.1                   
       4.   Perpustakaan Provinsi                                             687                          24.1     
       5,   Perpustakaan Umum Kabupaten/Kota                      78                            2.7
       6.   Perpustakaan Sekolah Lanjutan Atas (SLTA)          93                            3.3
       7.   Perpustakaan Sekolah Lanjutan Pertama (SLTP)   126                            4.4
       -----------------------------------------------------------------------------------------------------
                                 Jumlah Pustakawan di Indonesia      2.867                       100

       Perpustakaan Nasional  RI  sebagai  instansi  pembina  di  bidang  perpustakaan  dan
       kepustakawanan pada saat ini memiliki sekitar 700 pegawai atau sumber daya tenaga
       perpustakaan,   termasuk  178  tenaga  fungsional  Pustakawan  (25%)    dan   sekitar
       sepertiga adalah “Pustakawan Inpassing”,  yaitu tenaga fungsional Pustakawan tanpa
       latar pendidikan formal di bidang ilmu perpustakaan.   Dengan  kondisi  sumber daya
       tenaga  perpustakaan  seperti  itu,   cukup  berat   bagi  instansi  pembina   di   tingkat
       nasional ini  untuk  dapat  dengan  lancar  mengusung  atau  melaksanakan   program
       kerjanya untuk melaksanakan   layanan secara  optimal bagi masyarakat pemakainya,
       di samping untuk menjadi institusi yang  terkemuka  dan  diperhitungkan di kawasan
       regional dan internasional.

Gambaran secara kuantitatif sumber daya tenaga  perpustakaan di instansi pembina tersebut juga tidak jauh berbeda dengan kondisi pada tingkat nasional. Sumber daya tenaga perpustakaan Indonesia memperlihatkan tingkat  dan latar-belakang pendidikan formal yang heterogin, karena jumlah Pustakawan (pejabat fungsional Pustakawan) di Indonesia yang hanya berjumlah 2.867 orang tersebut,  lebih dari  sepertiganya adalah Pustakawan inpassing.

Kondisi tersebut perlu segera di atasi, meskipun hasilnya memerlukan waktu lama atau berjangka panjang, yaitu melalui program pendidikan lanjutan secara formal dan pelatihan, guna meningkatkan kualitas dan kuantitas sumber daya tenaga perpustakaan, di samping pembinaannya secara internal. Naik-turun atau timbul-tenggelamnya eksistensi institusi perpustakaan juga berkaitan erat dengan kinerja pimpinan dan para pejabat struktural pada semua institusi perpustakaan yang mempunyai tugas pokok dan fungsi sebagai pembina internal bagi sumber daya tenaga perpustakaan yang menjadi tanggungjawabnya. Dengan demikian, keberhasilan insitusi perpustakaan bagi masyarakat pemakainya adalah bukan merupakan hasil kerja orang-perorangan, melainkan hasil kerja bersama atau kolaborasi semua pegawai, mulai dari pucuk pimpinan dan pejabat struktural, pejabat fungsional dan tenaga pendukung lainnya.

Sementara itu, pengalaman sejauh ini memperlihatkan, bahwa sebagian besar atau hampir semua tenaga Pustakawan di Indonesia,yaitu 2.636 orang (92.5%)  merupakan Pustakawan Pekerja, yaitu  kelompok “prajurit” atau “tawon-tawon” tenaga fungsional Pustakawan. Sehubungan dengan hal ini, saya berpendapat, sudah saatnya komunitas kepustakawanan Indonesia perlu  memiliki kelompok Pustakawan Pemikir dan kelompok Pustakawan Peneliti. Dari kelompok Pustakawan Pemikir diharapkan dapat dihasilkan berbagai pemikiran serta tentang kepustakawanan Indonesia, sedangkan Pustakawan Peneliti diharapkan menghasilkan produk berupa kajian, kritik dan analisis kepustakawanan Indonesia.
Bagaimana mewujudkannya? Kondisi pada saat ini saya pandang tepat untuk memulai dan mewujudkan, yaitu dengan jalan memanfaatkan para Pustakawan Senior di Indonesia yang sangat sedikit jumlahnya, yaitu hanya sekitar 15 orang (0.5%) yang terdiri dari para Pustakawan Utama untuk kita gali atau peras pemikiran filosofisnya dan cara pandang secara utuh setelah mereka 30 sampai 40 tahun berpengalaman bekerja di dunia perpustakaan. Sedangkan kelompok Pustakawan Peneliti dapat terdiri dari para Pustakawan Madya di Indonesia yang jumlahnya juga tidak terlalu banyak, yaitu sekitar 216 (7.0%) orang untuk melakukan berbagai kajian/penelitian tentang berbagai aspek kepustakawanan. Perpustakaan Nasional RI dan berbagai perpustakan lainnya dapat memfasilitasi kelompok Pustakawan Pemikir dan Pustakawan Peneliti dalam bentuk menyediakan ruang kerja dan fasilitas lainnya termasuk peralatan dan perlengkapan kerja, agar secara optimal mereka dapat menuangkan pemikiran filosofis mereka dan melakukan berbagai macam kajian/penelitian  yang pada gilirannya dapat meningkatkan kinerja perpustakaan bagi kemaslahatan pemakainya. Namun mengingat daur hidup dan daya ingat para Pustakawan Senior terbatas dan relatif singkat, pemanfaatan mereka perlu dilakukan dalam waktu tidak terlalu lama. Daur kehidupan adalah pendek, sedangkan ilmu adalah sepanjang masa (Vita Brevis Ars Longa).
Melihat peta Pustakawan dari sisi jabatan Pustakawan mereka, yaitu jabatan Pustakawan Utama, Pustakawan Madya, dan jenjang jabatan Pustakawan lainnya seperti tersebut di muka, memang cukup mengkhawatirkan. Sedangkan melihat Pustakawan dari sisi pendidikannya, kondisinya juga tidak berbeda jauh  sebagaimana terlihat pada data  berikut.


                                              Pendidikan Pustakawan Indonesia
No.     Pendidikan formal                                                       Jumlah      Prosentase (%)
1.    Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA)                         1,031                 34
2.    Diploma 1  (semua disiplin ilmu)                                        12                   0
3.    Diploma II (semua disiplin ilmu)                                      383                 14
4.    Diploma III (semua disiplin ilmu)                                     260                   9
5.    Sarjana Muda (semua disiplin ilmu)                                  150                   6
6.    Sarjana/S1 (semua disiplin ilmu)                                       915                 32
7.    Pasca Sarjana/S2 (semua disiplin ilmu)                             116                   5
                                                                     Jumlah               2.867               100

Bapak dan Ibu, para hadirin yang saya muliakan,

Kebuntuan Pertama kepustakawanan Indonesia sebagaimana dijelaskan di muka, adalah disebabkan infrastruktur kepustakawanan Indonesia yang porak-poranda diakibatkan kondisi bangsa dan negara muda yang baru saja bebas dari penjajahan, di samping itu kondisi sosial-ekonomi dan politik pada saat itu tidak kondusif. Pada kenyataannya, di samping bidang pendidikan, perpustakaan dan kepustakawanan telah luput dari perhatian sebagai salah satu unsur mencerdaskan kehidupan bangsa. Usaha membangun kepustakawanan Indonesia pada saat itu dapat dikatakan mulai dari nol (developing from scratch).

Sedangkan pada Kebuntuan Kedua, adalah disebabkan kepustakawanan Indonesia kehilangan jiwa atau roh/ruh. Mengapa hal itu terjadi? Jawabannya adalah berkaitan dengan sumber daya tenaga perpustakaan. Di dalam usaha untuk meretas kebuntuan kepustakawanan, saya berpendapat bahwa kita harus berani melakukan otokritik, meskipun saya menyadari bahwa hal ini merupakan tindakan atau sikap yang tidak populer di kalangan komunitas Pustakawan sendiri.

Saya akan mengulas berdasarkan pengalaman saya bekerja di pusat dokumentasi dan perpustakaan selama lebih dari 40 tahun,  yaitu sejak tahun 1963 sampai 2005, tentang karakteristik secara umum atau  profil sumber daya perpustakaan dan terutama  Pustakawan Indonesia, sebagai berikut:

1.      Saya berpendapat bahwa sebagian Pustakawan Indonesia pada umumnya seperti mengidap gejala atau “sindrom autis”. Sindrom autis adalah kecenderungan seseorang yang sibuk dengan dunianya sendiri, dan tidak suka bila ada orang lain mengganggu. Sosialisasi dan hubungan Pustakawan Indonesia dengan komunitas profesi lain sangat terbatas. Pustakawan Indonesia amat tertutup, sulit dan lambat merespon pandangan atau gagasan orang lain yang dirasakan akan mengganggu wilayah atau demarkasi “mainannya”, berupa kegiatan, proyek dan sejenisnya. Boleh jadi karena sebagian Pustakawan kurang percaya diri. Hal ini terlihat, bahwa sebagian Pustakawan Indonesia tidak suka dengan ide pemanfaatan tenaga dari luar instansinya, karena dirasakan Pustakawan pendatang akan mengurangi demarkasi dan mengganggu kemapanan lahan “mainannya”. Karena kurang percaya diri, maka kehadiran Pustakawan pendatang dihadang dengan rasa curiga dan was-was, bahkan dimusuhi dan dijauhi secara sembunyi-sembunyi. Padahal Pustakawan pendatang merupakan “darah segar” yang dapat mendorong kinerja Pustakawan lain ke tingkat yang lebih baik. Sementara itu, Pustakawan-pustakawan yang “hijrah” atau pindah ke instansi lain dianggap dan diberi label “penghianat” oleh rekan-rekan seprofesi di instansi yang ditingalkannya karena dianggap tidak loyal. Sungguh celaka, karena tanpa mereka sadari,  hakikat “hijrah” adalah perubahan.  Pustakawan  yang   tidak mau berubah, dapat dikatakan telah tamat riwayat atau karirnya  Tanpa semangat dan kemauan untuk  berubah dan upaya untuk meningkatkan diri, Pustakawan mengalami kebuntuan.

2.      Sebagian Pustakawan Indonesia  masih  lemah  di  dalam penguasaan   bahasa
asing dan teknologi informasi (TI).Salah satu syarat yang harus dimiliki Pustakawan Indonesia pada saat ini adalah kemampuan komunikasi yang ditandai kemampuan berbahasa asing dan tidak gagap teknologi, terutama teknologi informasi. Bagaimana Pustakawan Indonesia dapat diperhitungkan di forum regional dan internasional bila tidak menguasai bahasa asing sebagai syarat berkomunikasi ? Mereka lebih banyak menjadi pendengar yang baik dan duduk manis di pertemuan regional dan internasional. Pengalaman sejauh ini juga memperlihatkan, bahwa berbagai situs jaringan informasi sebagai salah satu wadah komunikasi maya atau virtual, belum dimanfaatkan  secara  optimal oleh Pustakawan  Indonesia. Tanpa ada kemampuan berkomunikasi secara profesional, baik secara langsung  berupa   dialog tatap-muka maupun melalui sarana maya (virtual), terjadi kebuntuan kepustakawanan Indonesia dengan rekan-rekan seprofesi mancanegara.

3.      Pada umumnya, sebagian Pustakawan tidak banyak  menulis,   apalagi   dalam  
penulisan karya bersama. Sebenarnya Pustakawan menyadari pentingnya menulis. Apalagi kegiatan ini merupakan salah satu kegiatan utama atau pokok bagi tenaga fungsional Pustakawan guna memperoleh angka kredit, di samping agar mereka semakin dikenal rekan-rekan seprofesinya, seperti ungkapan klasik mengatakan, “To publish or perish”. Namun kenyataannya, hingga saat ini keadaannya tidaklah terlalu menggembirakan. Hal ini antara lain terlihat di dalam penulisan buku ajar di bidang perpustakaan. Selama kurun waktu satu dekade, 1991—2001, ternyata terdapat 89 buku atau rata-rata 9 buku ditulis setiap tahun. (Rusli Marzuki, 2002). Dari 89 buku, hanya ada 27 buku (30%) ditulis pengarang bersama, termasuk karya terjemahan. Ada 12 Pustakawan (14%) yang menulis lebih dari satu buku selama kurun waktu tersebut. Dan pemecah rekor di dalam penulisan buku ajar di bidang perpustakaan adalah penulis produktif, sosok yang telah kita kenal, yaitu Prof. Sulistyo-Basuki, Ph.D. yang telah menulis 7 buku (8%) dari jumlah tersebut dalam kurun waktu 10 tahun. Alangkah cantiknya, bila kepiawaian atau keahliannya menulis ditularkan kepada rekan-rekan seprofesi yang lebih muda usia dan lebih muda pengalaman, agar hal itu merupakan air yang terus mengalir atau “panta rei” dan tidak akan kering.
Sementara itu, selama dua dekade terakhir, kurun waktu 1985—2004, terdapat 122 karya tulis berupa artikel dan makalah di bidang perpustakaan, dokumentasi dan informasi (bidang perpusdokinfo). (Arifah Sasmita; Tri Nugraheni, 2005). Dari 122 karya tulis tersebut hanya ada 5 karya tulis bersama (4%). Pada kurun waktu yang sama, terdapat 105 laporan penelitian di bidang perpusdokinfo (Arifah Sasmita; Tri Nugraheni, 2005), dan di antaranya ada 29 kajian/penelitian yang ditulis bersama (28%). Melihat angka terakhir ini cukup menggembirakan, meskipun perlu diketahui, bahwa kajian/penelitian tersebut merupakan kegiatan proyek atau penugasan instansi di mana mereka bekerja.
Rendahnya jumlah penulisan di bidang perpusdokinfo mempunyai hubungan atau korelasi dengan kegiatan penulisan di tingkat nasional untuk semua bidang ilmu pengetahuan yang dijaring secara internasional. Pada tahun 1995, Gibbs mendaftar negara-negara penghasil tulisan ilmiah, dan Indonesia termasuk salah satu negara yang “kehilangan ilmu pengetahuan”, karena ternyata Indonesia hanya menghasilkan tulisan/ilmu pengetahuan 0.012% di antara negara-negara lain. Namun patutlah disyukuri, bahwa Indonesia dengan penduduk 220 juta, peringkatnya masih di atas nenerapa negara di benua Afrika dan Timur Tengah, seperti Mali, Ethiopia, Uganda dan Yaman. Produk tulisan Indonesia tentunya harus ditulis dalam bahasa Inggeris, supaya terbaca komunitas internasional. Bila dibandingkan dengan negara lain di kawasan ASEAN, dalam produksi karya tulis ilmiah, Indonesia yang menghasilkan produk 0.012% adalah yang terendah dibandingkan dengan Singapura 0.179%, Thailand 0.084%, Malaysia 0.064%, dan Filipina 0.035%. Gambaran umum ini merefleksikan produksi karya tulis di bidang perpusdokinfo masih amat rendah. Mengingat sebagian besar karya tulis ilmiah ditulis dalam bahasa Indonesia, maka komunitas internasional tidak dapat membaca atau mengerti perkembangan bidang perpusdokinfo di Indonesia. Dengan demikian, tanpa dukungan kemampuan membaca produk informasi dunia dan kemampuan menulis, Pustakawan dan kepustakawanan Indonesia mengalami kebuntuan dan kehilangan pengetahuan.

Bapak-Ibu, para hadirin yang saya muliakan,

Berikut ini adalah karakteristik keempat secara umum SDM perpustakaan dan Pustakawan Indonesia.

4.      Sebagian  Pustakawan  Indonesia  sejauh ini  bekerja  sebagai  burung  dengan 
      sebelah sayap.Penjelasan mengenai ungkapan “Burung dengan sebelah sayap”
      oleh Gede Prama dimuat pada Lampiran. 
      Pengertian kerja mandiri  yang  dibanggakan  Pustakawan  banyak  ditafsirkan
      secara  sempit.   Mereka  sibuk  bekerja  sendiri-sendiri   dan  timbul  egoisme
      sektoral,  dan  pada gilirannya  egoisme perorangan atau individu  membentuk
      pola pikir terkotak-kotak antar unit kerja dan bahkan antar institusi.
      Persaingan,  perseteruan pribadi  maupun  institusi (personal and institutional
      rivalry)   ini   merupakan   salah  satu  penyebab  kebuntuan   kepustakawanan
      Indonesia.   Mengapa  komunitas kepustakawanan Indonesia  yang jumlahnya
      sedikit atau terbatas ini tidak secara tulus berkolaborasi  agar  dapat mencapai
      hasil kerja yang  optimal.   Untuk   itu,   para   Pustakawan   Indonesia    perlu
      bekerjasama dengan  fikiran   dan   matahati   yang   jernih   dan   menjauhkan
      sifat ke-aku-an.  
      Kerjasama atau kolaborasi antar Pustakawan dan  para   Pejabat  perpustakaan
      akan menjauhkan diri dari  sikap   yang  tertulis  sebagai  ungkapan  “Manusia
      adalah serigala  di antara  sesamanya” (Homo homini lupus).
      Mentalitas  dan  cara  pandang  para  Pustakawan dan para  pejabat   di bidang
      kepustakawanan   perlu   diubah.     Mereka  perlu  mengubah  sikap  dan  cara
      pandang “milik aku” menjadi “milik kami” dan pada akhirnya  menjadi “milik
      kita bersama”.  Namun  hal  ini  merupakan   “pekerjaan   rumah”  yang   tidak
      mudah dan  memerlukan waktu,  tidak seperti membalik telapak  tangan.
      Dengan demikian, tanpa usaha mau  merubah  cara  pandang  maupun  adanya
      tekad untuk memperbaiki mentalitas para  Pustakawan dan  para  Pejabat yang
      bekerja   di   perpustakaan,    maka   kepustakawanan   Indonesia    mengalami
      kebuntuan.

      Bapak-Ibu, para hadirin yang saya hormati dan muliakan,
     
      Di bagian ini saya akan menyampaikan kesimpulan dan saran sebagai berikut:

      Selama  lebih  dari sepertiga abad, sejak tahun 1970-an hingga saat ini  bobot
      pembangunan kepustakawanan Indonesia lebih banyak diarahkan pada wadah
      dibandingkan  pada  isi.   Kita  telah  terlena dan  melupakan  sejarah!
      Presiden RI Pertama telah berpesan,  bahwa untuk membangun  bangsa  yang
      kuat, harus membangun bangsa yang berkarakter.
      Matahati kita sejauh ini tidak tersentuh,  meskipun paling sedikit setiap  tahun
      dan  pada  peringatan  hari-hari   penting  lainnya,    kita   menyanyikan   lagu
      kebangsaan  Indonesia  Raya. Tetapi  banyak  yang  menyanyikannya   tanpa
      semangat,  tanpa  jiwa.  Padahal  jelas  tertulis  pada  syair  lagu,  “Bangunlah
      Jiwanya Bangunlah Badannya untuk Indonesia Raya”.
      Selama sepertiga abad  terakhir ini,  kita hanya sibuk mengurus  pembangunan 
      badan,  pembangunan  fisik,   pembangunan  wadah,  tetapi kurang  diimbangi
      dengan  pembangunan  dan  pembentukan  jiwa,  mental,   karakter  anak-anak
      bangsa, di semua bidang kegiatan, termasuk di bidang kepustakawanan.  Perlu
      ada keselarasan atau harmoni   pembangunan  jiwa dan raga Pustakawan  guna
      mengatasi  mengatasi  kebuntuan  di  bidang  kepustakawanan. Lalu dari mana
      memulainya?

      Tahap  paling  mendasar  untuk  membangun  jiwa  dan  raga kepustakawanan
      adalah  mulai  dari  lingkungan terkecil,  yaitu lingkungan keluarga. Ungkapan
      yang tepat untuk menggambarkan hal ini  adalah,  “Buah jatuh tidak jauh  dari
      pohonnya”.
      Pengalaman   memperlihatkan, bahwa  seseorang  yang sejak usia muda  tidak
      akrab dengan  buku  dan  bahan  bacaan,   di  kemudian  hari  dia akan  kurang   
      tertarik  atau   kurang  gairah  untuk  bekerja di lingkungan  perpustakaan  dan
      dunia kepustakawanan.
      Bila sejak usia muda lingkungan  keluarga  kondusif,   dapat  diharapkan  akan  
      muncul calon Pustakawan tulen  (A genuine and true  librarian)  yang  merasa
      terpanggil untuk bekerja dengan senang hati dan bersemangat di perpustakaan. 
      Hal ini dikatakan Zultanawar,  bahwa menjadi Pustakawan adalah  “panggilan
      atau   dipanggil”,   terjemahan   “calling”   atau   “beruf”   dari   Max  Weber.
      (Zultanawar,  2005).  Seorang Pustakawan tulen  memiliki  jiwa dan semangat
      serta  etos  kerja  prima.    Sebaliknya, “Pustakawan  kebetulan”      (A  pseudo  
      librarian)  adalah mereka yang  terpaksa bekerja di perpustakaan  karena tidak
      diterima  bekerja  di  tempat  lain,   dan   menjadi  tenaga   perpustakaan  yang 
      bekerja  dengan  setengah  hati  dan hasil  kerja yang setengah-setengah. 
      Kelompok Pustakawan kebetulan  akan bekerja dengan perasaan terpaksa  dan
      tanpa gairah,  tanpa jiwa dan semangat yang  terpancar di wajahnya.

      Tahap kedua menjadi  kepentingan  semua  institusi  yang  menyelenggarakan  
      pendidikan  formal  di  bidang  kepustakawanan. Di  institusi ini,   calon-calon
      Pustakawan  mengikuti  pendidikan  formal  yang  cukup  lama, yaitu  berkisar 
      antara 3 sampai 5  tahun.   Para  pengajar  atau  dosen  seharusnya tidak hanya
      mengajarkan  ilmu  dan  teknik  kepustakawanan,    tetapi  juga   mengisi   dan
      membentuk  pribadi  calon-calon  Pustakawan.  Institusi  pendidikan ini  perlu
      menambah wawasan bagi calon-calon Pustakawan,  antara lain filosofi/filsafat  
      kepustakawanan  dan  isyu  mutakhir  dan  ekosistem   yang   berkaitandengan
     dunia   kepustakawanan.     Dengan   demikian   diharapkan,    bahwa   institusi
      pendidikan ini dapat menjadi semacam monitor pencari bakat (talent scouting)
      calon-calon Pustakawan handal bagi institusi penggunanya.

     Tahap ketiga merupakan tanggungjawab institusi di mana Pustakawan bekerja.
     Institusi tempat Pustakawan bekerja mempunyai tanggungjawab membina  dan
     mengembangkan karir Pustakawan dan tenaga perpustakaan. Pustakawan   dan
     tenaga  perpustakaan  jangan  dibiarkan  bekerja  dari hari ke hari atau rutinitas
     tanpa  pembinaan  pimpinan  atau  atasannya.  Pembinaan pimpinan dan atasan
     Pustakawan  dan  tenaga  perpustakaan adalah merupakan salah satu tugas  dan
     tanggungjawab  mereka.    Dengan  demikian,   semua  pimpinan  dan   pejabat
     struktural  di  perpustakaan  harus  memiliki  pengetahuan,  jiwa  dan semangat
     kepustakawanan. Sistim  pemilihan  pimpinan  dan  para pejabat struktural   di
     perpustakaan  perlu  direformasi  untuk  mendapatkan  pejabat  dan  pimpinan
     perpustakan yang kapabel dan akseptabel. (Hernandono, 2004. 3). Di samping
     itu,   pemerintah  baik  pusat  maupun  daerah  (provinsi  dan  kabupaten/kota)
     sebagai  salah  satu  pemangku  kepentingan  (stake holder) harus mendukung
     secara nyata berbagai upaya yang berkaitan  dengan  peningkatan infrastruktur
     perpustakaan dan kepustakawanan, termasuk pengembangan Pustakawan  dan
     tenaga perpustakaan di masing-masing daerah atau wilayahnya.
    
     Di dalam tahap ketiga,  yang perlu diperhatikan adalah proses rikrutmen   atau
     pengadaan Pustakawan dan tenaga perpustakaan  yang harus dilakukan  secara
     cermat.   Seleksi  calon  pegawai  perpustakaan  harus  dilakukan  lebih   ketat,
     melalui  wawancara  mendalam  terhadap  calon  pegawai perpustakaan, lebih-
     lebih untuk menggali minat  dan alasan mereka bekerja di perpustakaan.
     Tahap  ketiga   merupakan  arena  perjuangan  yang   panjang   dalam   rangka   
     menapak dan  menaiki jenjang  karir  Pustakawan.   Para  Pustakawan  supaya
     melakukan interaksi dan  kolaborasi  profesional  secara  intens.   Diskusi  dan
     dialog antar Pustakawan dan dengan anggota masyarakat profesi lainnya perlu
     ditingkatkan  supaya  profesi  kepustakawanan   lebih  dikenal   oleh   anggota
     profesi lain dan masyarakat luas.  Interaksi  berupa  diskusi  dan  dialog  dapat
     dilakukan secara langsung atau tatap-muka maupun  secara maya (virtual).  Di
     sini para  Pustakawan dilatih untuk dapat “berbicara dan menulis”  fikiran  dan
     gagasannya secara profesional, di samping merupakan ajang Pustakawan untuk
     dapat  mendengar,  menyimak  dengan  cermat  dan  menyikapi  secara  santun
     gagasan-gagasan mitra seprofesinya maupun fihak lainnya.

     Bapak-Ibu, hadirin yang saya muliakan,

     Pelaksanaan Orasi Pustakawan Utama yang diadakan pada hari ini adalah tepat
     Karena  telah  didahului  serangkaian peristiwa bersejarah dan penting lainnya,
     yaitu:
1.      Seperempat Abad Perpustakaan Nasional RI, 17 Mei 1980 – 2005.
2.      Hari Pustakawan Indonesia, 3 Juli 1973 – 2005.
3.      60 Tahun Republik Indonesia, 17 Agustus 1945 – 2005.
4.      Hari Kunjung Perpustakaan,  tanggal 14 September.

                 Beberapa  pemikiran  yang  saya  sampaikan  pada  Orasi  ini  mudah-mudahan
                 dapat  menjadi   sumbangan   atau   kontribusi   di  dalam   penulisan   Sejarah
                 Kepustakawanan  Indonesia  yang  sejauh   ini sarat dengan informasi tahap-
                 tahap atau periodisasi yang merupakan serangkaian tonggak (milestone), tetapi
                 kurang dilengkapi jiwa dan nafas pemikiran para pelaku sejarahnya.
                 Dengan demikian, untuk penulisan  dan pengajaran  Sejarah  Kepustakawanan,
                 perlu kiranya dikembangkan menjadi  Sejarah Kehidupan Kepustakawanan
                 Indonesia  (Historiography of Indonesian Librarianship).  Di dalam penulisan
                 tersebut  dapat  dihimpun berbagai  pemikiran  filosofis,  perbedaan  pendapat,  
                 keberhasilan dan kegagalan, maupun  kesalahan  para  pelaku kepustakawanan
                 Indonesia, sehingga menghasilkan suatu mozaik atau gambaran  yang  lengkap
                 Sejarah Kehidupan Kepustakawana Indonesia.
                 Sejarah  Kehidupan  Kepustakawanan  ibaratnya  memang  bukan  merupakan
                 suatu dokumen yang secara tegas membedakan warna hitam dan putih, karena
                 terkadang ada bagian yang remang-remang atau berwarna kelabu  (grey area).
                 Sesungguhnyalah, kepustakawanan Indonesia adalah ibarat sebuah istana atau
                 bangunan  monumental  yang   berkaitan  dengan   khazanah   budaya  bangsa.
                 Pengibaratan   ini   mengingatkan  saya  pada    akhir   tugas   sebagai   Kepala
                 Perpustakaan  Nasional  RI  yang  Kedua,  periode September1998 sampai Juli
                 2001, saya  katakan  bahwa, “Saya hanyalah salah satu pengusung batu sebuah
                 istana atau bangunan monumental yang bernama   Kepustakawanan  Indonesia.
                 Dan untuk melaksanakan hal itu,   saya  tidak  bekerja sendiri melainkan  harus
                 berkolaborasi atau bekerjasama”.

                 Komunitas  atau  masyarakat  kepustakawanan Indonesia memang  perlu untuk  
                 dapat mencermati dan belajar dari sejarah atau pengalaman dan kejadian  masa
                 lalu. Karena pengalaman adalah sejarah yang menyangkut pribadi, institusi dan
                 komunitas,   khususnya  masyarakat  kepustakawanan.   Pribadi,  institusi   dan
                 komunitas  kepustakawanan  jangan  sibuk  sendiri  dan  menghabiskan  waktu
                 untuk mencari kebenaran yang relatif sifatnya.   Karena  yang  kita  cari adalah
                 kearifan  (wisdom). Hal  ini  dikatakan Prof.  DR.  Taufik  Abdullah, sejarawan
                 kondang dan Ahli Peneliti Utama (APU) pada wawancara dengan wartawan di
                 Padang,  “Sejarah  tidak  memberikan  solusi,  tetapi  memberikan bahan untuk
                 mendapatkan kearifan”. (Kompas, Sabtu, 6 Agustus 2005).

                 Kepada  para  Pustakawan  muda  Indonesia  yang  memiliki  idealisme,   jiwa,
                 mental  dan  semangat  kerja  sebagai  Pustakawan  Tulen,    saya   mengharap,
                 jadilah   Petruk-petruk  personifikasi  punakawan  atau  abdi  setia   di  dalam
                 pewayangan, untuk secara optimal melayani para pengguna  perpustakaan,    di
                 samping berlomba-lombalah secara sehat dan jujur untuk menjadi pemuka atau
                 pemimpin  di  antara  sesama  (Primus inter pares) di  bidang  kepustakawanan
                 Indonesia. Simak dan cermatilah  prilaku para pelaku sejarah  kepustakawanan
                 Indonesia  guna  mengambil  hikmah  berupa  kearifan  (wisdom)   yang    pada 
                 gilirannya  akan  menjadi  bekal  untuk  menghasilkan catatan  jalur karir  yang
                 lurus dan membanggakan.
                 Saya  juga  berpesan  kepada  para  Pustakawan  muda  Indonesia untuk jangan
                 pongah  dan  menepuk  dada  sendiri guna  memamerkan kebolehan hasil kerja
                 seorang-perorangan, karena kita tidak dapat bekerja sendiri-sendiri tetapi perlu
                 menjalin kemitraan dan kerja bersama atau berkolaborasi dengan  sejawat lain.
 
                 Bapak-Ibu, para hadirin yang saya hormati dan muliakan,

                 Berkat bimbingan, inayah dan hidayah  ALLAH  SWT,  alhamdulillah   sidang
                 Majelis Orasi Pustakawan Utama ini dapat diselenggarakan.   Untuk  itu,  saya
                 panjatkan puji dan syukur ke hadirat ALLAH SWT.

                 Pada kesempatan yang berbahagia ini,  saya  ingin  menyampaikan   kenangan,
                 rasa hormat,  terima kasih  dan  penghargaan  kepada  semua  fihak  yang tentu
                 tidak dapat saya sebut satu per satu.
          
                 Saya selalu mengenang:

·         Randana Amretawira (Rana),  anak  tercinta  yang  meninggal dunia  pada13 Juli1993 dalam usia 17 tahun 3 bulan, yaitu menjelang 3 tahun saya diperbantukan bekerja  di  Perpustakaan Nasional RI.   Kenangan kepada Rana telah menimbulkan gelora dan semangat  yang  membara  (a burning desire).  Memang  di  dalam   kehidupan  selalu   saja    ada  pengorbanan, tantangan, halangan dan hambatan yang   harus dihadapi dan di atasi.
·         Drs. John Pieter Rompas,  MA,  rekan Pustakawan Utama yang  saya kenal selama 40 tahun sejak sama-sama kuliah di Sekolah Perpustakaan
pada tahun 1960.  Almarhum Pak Rompas  selalu saya  kenang  dengan  “gonggongan” yang  keras,  kendati kafilah tetap berlalu.  Gonggongan ini  adalah dambaan terhadap sikap dan  perlakuan yang adil bagi   para   Pustakawan, mitra  kerja  sejajar  pejabat  struktural  di  perpustakaan.
·         Dra. Ernawati, rekan Pustakawan yang merasa terpinggirkan, yang wafat dalam usia muda. Saya kenang almarhumah mengingat hingga akhir hayatnya, rencana saya untuk kerja-bareng atau berkolaborasi di dalam kegiatan kepustakawanan, belum sempat dilaksanakan.

Semoga arwah-arwah almarhum dan almarhumah diterima ALLAH SWT.  Amin ya robbil alamin.

                  Selanjutnya, terima kasih dan rasa hormat saya sampaikan kepada:

·         Para pimpinan dan rekan sejawat di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)  dan Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PDII—LIPI) yang telah berkolaborasi sejak saya mulai bekerja pada tahun  1963  sampai  1990.
·         Ibu Winarti Partaningrat, MA (almarhumah), mantan Direktur Pusat Dokumentasi Ilmiah Nasional – Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (PDIN—MIPI), dan Ibu Luwarsih Pringgoadisurjo, MA (almarhumah), mantan Kepala PDII—LIPI, serta Ibu Mastini Hardjoprakoso, MA, Kepala Perpustakaan Nasional RI yang Pertama, masing-masing pada kurun waktu tahun 1963—1973, 1973—1990, dan 1990—1998. Ketiga Ibu dan Perempuan Perkasa ini telah menanamkan dan menempa tradisi disiplin dan kerja keras kepada saya dan para pegawai masing-masing.
·         Para Pustakawan dan semua rekan sejawat di Perpustakaan Nasional RI, terutama pada kurun waktu tahun 1990—2006.
·         Bapak Drs. Dady P. Rachmananta, MLIS, Kepala Perpustakaan Nasional RI yang Ketiga  dan jajarannya, Ketua dan Anggota Majelis Orasi Pustakawan Utama serta Panitia Penyelenggara Orasi ini yang telah menyelenggarakan kegiatan di tempat yang megah ini.
·         Semua guru dan dosen saya di Indonesia, Inggeris dan Amerika-Serikat, masing-masing pada kurun waktu tahun 1947—1963, 1975—1977, dan 1980—1983.
·         Raden Ngabei Kartowirono, almarhum kakek buyut saya, mantri guru yang telah menurunkan Trah Kartowirono sejak sekitar 150 tahun lalu, dan Raden Ngabei Kromoatmodjo, almarhum kakek saya yang  juga berprofesi  mantri guru.
·         Raden Soedjono Kartowirono, almarhum ayah saya, yang berprofesi referendaris pada Jawatan Penerangan Kabupaten Banyumas di Purwokerto dan  kemudian menjadi Kepala Bagian Kepegawaian pada Pemerintah Daerah Provinsi Jawa-Tengah di Semarang. Sifat keras ayah almarhum telah mewariskan darah kepustakawanan kepada saya, berupa tekad kuat (determination) serta petuah untuk menjadi orang yang tertawa terakhir (To be the man who last laughed).
·         Raden Ayu Woerjati, almarhumah ibu kandung saya, yang telah melahirkan saya dan wafat saat saya berumur 2 tahun, dan almarhumah Raden Ayu Soejati, ibu pengganti yang telah membesarkan saya sebagai anak kandung sendiri, dan  dengan kelembutan hatinya telah menempa jiwa saya supaya sabar dan tahan bantingan (endurance), dan selalu memberi petuah “Wong sabar dhuwur wekasane” (A  patience person deserves his ultimate achievement).
·         Dan yang terakhir,  adalah  ucapan terima kasih tiada terhingga dan disertai rasa cinta, kasih dan sayang kepada  sosok perempuan  yang sulit dicari tandingannya, yaitu  Nunuk Susmiyati, istriku tercinta, ibu 4 anak dan nenek 7 cucu, yang sejak perkenalan kami yang pertama, berpacaran, menikah dan hingga kini, Dik Nuk selalu tabah dan setia mendampingi saya, baik di kala senang penuh tawa ceria, maupun di kala duka-nestapa penuh airmata. Sosok perempuan inilah yang  senantiasa mendorong dan memberikan warna seindah semburat warna bianglala atau pelangi di dalam kehidupan saya selama  40 tahun terakhir. Sesungguhnyalah, tanpa pendamping seorang perempuan penuh pengertian bernama Nunuk Susmiyati,  saya hanyalah ibarat  burung dengan sayap sebelah.

Sederetan nama yang saya sebut tadi, sesungguhnya mereka semua adalah  yang paling pantas memperoleh penghormatan dan penghargaan pada acara penting di tempat yang mulia ini.

Atas perhatian Bapak-Ibu dan hadirin semua, saya haturkan terima kasih.
Dan kurang-lebihnya, saya mohon maaf.

Wabillahit Taufik Wal Hidayah.
Wassalaamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarrakatuh.
                









Daftar Pustaka



Agus Sutoyo; Joko Santoso (2001).       Strategi dan pemikiran  perpustakaan:
      Visi Hernandono.   Jakarta: Sagung Seto.   ISBN: 979-95115-3-4
Arifah Sasmita; Tri Nugraheni (2005).  “Pengarang bidang/subyek perpustakaan”.
       Jakarta: PDII-LIPI.
Gede Prama (t.th.).   “Burung dengan sebelah sayap”.
Gibbs, W.W. (1995).  “Lost science in the third world”. Scientific American ,275
      (August): 76-83.
Hernandono (2005. 1).     “Pengalaman   pribadi   menjadi   Pustakawan:    Sebuah
     testimoni”.         Makalah  disampaikan  pada  Pertemuan   karyawan/karyawati 
     PDII--LIPI   dalam   rangka    Peringatan   40   Tahun    PDII--LIPI   di Jakarta,
     Senin, 1 Agustus.
Hernandono (2005. 2). “Problim yang dihadapi Pustakawan:   Pustakawan Madya
     dan PustakawanUtama”.  Makalah disampaikan pada Temu Kerja  Pustakawan
     Madya dan  Pustakawan Utama  se-Indonesia,   diselenggarakan  Perpustakaan
     Nasional RI di Jakarta, 29-31 Agustus.
Hernandono (2005. 3).   “Reformasi  birokrasi  di  perpustakaan:   Beberapa  saran
      pemikiran”.  Media Pustakawan, 11 (2): 6-9.
Hernandono (2005. 4).    “Seperempat  abad  Perpustakaan  Nasional  RI:   Antara
      kenyataan  dan  harapan”.        Makalah    disampaikan    pada    Rapat    Kerja
      Perpustakaan Nasional RI Tahun 2005, 6-8 April.
Kompas,  Sabtu,  6  Agustus  2005.   “Wawancara wartawan Kompas dengan DR.
      Taufik Abdullah”.   Hlm. 12.
Perpustakaan Nasional RI (2004).    Direktori Pejabat Fungsional Pustakawan
       Indonesia.   Jakarta.   ISBN:979-3499-44-3
Pusat Pengembangan Pustakawan – Perpustakaan Nasional RI (2005).  Company
       profile  Pusat  Pengembangan  Pustakawan – Perpustakaan Nasional RI.
Rusli Marzuki  (2002).       Buku  ajar bidang  Ilmu  Perpustakaan   Indonesia.
       Jakarta:      Yayasan      Memajukan      Jasa      Informasi              (YASMIN).
       ISBN:979-9477-58-1
Zultanawar  (2005).       “Sejarah   kecil   pembentukan   PDII-LIPI”.       Makalah
       disampaikan pada Pertemuan  karyawan/karyawati  PDII-LIPI  dalam  rangka
       Peringatan   40 Tahun PDII—LIPI di Jakarta, Senin, 1 Agustus.  


    







                                            Riwayat Hidup Penulis


Nama: Hernandono, MLS. MA.
Nomor Induk Pegawai (NIP): 320 000 472
Tempat dan Tanggal Lahir: Purwokerto; 17 Maret 1941.
Jabatan: Pustakawan Utama.
Pangkat / Golongan: Pembina Utama / IV-e
Alamat Kantor: Perpustakaan Nasional RI, Jln. Medan Merdeka Selatan No. 11, Jakarta
Alamat Rumah: Jln. Pengairan No. 14, Bendungan Hilir, Jakarta Pusat.
Pendidikan: a.   Sarjana Muda Perpustakaan, FKIP-UI Jakarta, 1963.
                    b.   Master of Library Studies (MLS), Loughborough University of
                          Technology, Inggeris, 1977.
c.       Master of Arts on International Studies (MA), University of Denver,
Amerika-Serikat, 1983.
Pelatihan Kedinasan/Kepemimpinan: SPATI-LAN Angkatan I, 1997.
Pengalaman Kerja:
a.       Pegawai Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah – Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (PDII—LIPI), 1963—1990.
b.      Pegawai LIPI diperbantukan/dipekerjakan di Perpustakaan Nasional RI,
1990—2001.
                    c.   Pegawai Perpustakaan Nasional RI, 2001—2006.
                    d.   Pengajar Tidak Tetap di Jurusan Ilmu Perpustakaan Universitas
                          Indonesia, 1977—1997.
e.       Ketua Umum Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI), 1995-1998.
f..   Kepala Perpustakaan Nasional RI Kedua, 1998—2001.
g.      Wakil Ketua Tim Penilai Tingkat Pusat Jabatan Fungsional Pustakawan,
2002—2006.

Status Keluarga: Menikah. 2 Maret 1969, di Jakarta Pusat.
Nama Istri: Nunuk Susmiyati.
Anak: 4 orang.
           1, Anggraini Setyasari (RINI) (Suami: Ir. Danny Faturachman).
           2. Kamaratih Ditasari (RITA) (Suami: Zulkarnain Daeng Maupa, SE).
           3. Wiratna Tritawirasta, S.Kom. (RASTA). (Istri: Emilianti, S.Kom.).
           4. Randana Amretawira (RANA), almarhum.
Cucu:  7 orang.
1.      Anggia. 2. Amanda. 3. Andhika. 4. Tazya. 5. Gilang. 6. Rafif. 7. Faiz.








Lampiran.        “Burung dengan sebelah sayap”.  *)
                                       
                                                    Oleh

                                                      Gede Prama

Seorang teman dengan potensi tinggi, mengeluh berat setelah pindah-pindah kerja di lebih dari lima tempat. Tadinya, saya fikir ia mencari penghasilan yang lebih tinggi. Setelah mendengarkan dengan penuh empati, rekan ini rupanya mengalami kesulitan dengan lingkungan kerja. Di semua tempat kerja sebelumnya, dia selalu bertemu dengan orang yang tidak cocok. Di sini tidak cocok dengan atasan, di situ bentrok dengan rekan sejawat, di tempat lain malah diprotes bawahan.

Kalau rekan di atas berhobi pindah-pindah kerja, seorang sahabat saya yang lain, punya pengalaman yang lain lagi. Setelah berganti istri sejumlah tiga kali, dengan berbagai alasan yang berbau tidak cocok, ia kemudian merasa capek dengan kegiatan berganti-ganti pasangan ini.

Seorang pengusaha berhasil punya pengalaman lain lagi. Setiap kali menerima orang baru sebagai pimpinan puncak, ia senantiasa semangat dan penuh optimis. Seolah-olah orang baru yang datang pasti bisa menyelesaikan semua masalah. Akan tetapi, begitu orang baru ini berumur kerja lebih dari satu tahun, maka mulailah kelihatan busuk-busuknya. Dan ia pun mulai merasa capek dengan berganti-ganti pimpinan puncak ini.

Digabung menjadi satu, seluruh cerita ini menunjukkan bahwa kalau motif kita mencari pasangan – entah pasangan hidup maupun pasangan kerja – adalah mencari orang yang cocok di semua bidang, sebaiknya dilupakan saja.

Bercermin dari semua inilah, maka sering kali saya ungkapkan di depan lebih dari ratusan forum, bahwa fundamen paling dasar dari manajemen sumber daya manusia adalah  manajemen perbedaan. Yang mencakup dua hal mendasar: menerima perbedaan dan mentransformasikan perbedaan sebagai kekayaan.

Sayangnya, kendati idenya sederhana, namun implementasinya memerlukan upaya yang tidak kecil. Ini bisa terjadi, karena tidak sedikit dari kita yang  menganggap diri seperti burung yang bersayap lengkap. Bisa terbang (baca: hidup dan bekerja) sendiri tanpa ketergantungan pada orang lain. Padahal, meminjam apa yang pernah ditulis Luciano de Crescendo, kita semua sebenarnya lebih mirip dengan burung yang bersayap sebelah. Dan hanya bisa terbang kalau mau berpelukan erat-erat bersama orang lain.

Anda boleh berpendapat lain, namun pengalaman, pergaulan dan bacaan saya menunjukkan dukungan yang amat kuat terhadap pengandaian burung bersayap sebelah terakhir.

Di perusahaan, hampir tidak pernah saya bertemu pemimpin berhasil tanpa kemampuan bekerja sama dengan orang lain. Di keluarga, tidak pernah saya temukan keluarga bahagia tanpa kesediaan sengaja untuk “berpelukan” dengan anggota keluarga yang lain. Di tingkat pemimpin negara orang sehebat Nelson Mandela dan Kim Dae Jung
bahkan mau berpelukan bersama orang yang dulu pernah manyiksanya.

Lebih-lebih kalau kegiatan berpelukan ini dilakukan dengan penuh cinta. Ia tidak saja merubah sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin, mentransformasikan kegagalan menjadi keberhasilan, namun juga membuat semuanya tampak indah dan menyenangkan. Makanya, penulis buku Chicken Soup For The Couple Soul mengemukakan, cinta adalah rahmat Tuhan yang terbesar.
Demikian besarnya makna dan dampak cinta, sampai-sampai ia tidak bisa dibandingkan dengan apapun.
Rugi besarlah manusia yang selama hidupnya tidak pernah mengenal cinta. Ia seperti pendaki gunung yang tidak pernah sampai di puncak gunung. Capek, lelah, penuh perjuangan namun sia-sia.

Ini semua mendidik saya untuk hidup dengan pelukan cinta. Di pagi hari ketika baru bangun dan membuka jendela, saya senantiasa berterimakasih akan pagi yang indah. Dan mencari-cari lambang cinta yang bisa saya peluk. Entah itu pohon bonsai di halaman rumah, ikan koi di kolam, atau suara anak yang rajin menonton film kartun. Begitu keluar dari kamar tidur, akan indah sekali hidup ini rasanya kalau saya mencium anak atau istri.
Melihat burung gereja yang memakan nasi yang sengaja diletakkan di pinggir kali, juga menghasilkan pelukan cinta tersendiri. Demikian juga dengan di kantor, godaan memang ada banyak sekali. Dari marah, stres, frustrasi, egois sampai dengan nafsu untuk memecat orang.
Namun, begitu saya ingat karyawan dan karyawati bawah yang bekerja penuh ketulusan, dan menghitung jumlah perut yang tergantung pada kelangsungan hidup perusahaan, energi pelukan cinta entah datang dari mana.

Kembali ke pengandaian awal tentang burung dengan sebelah sayap, Tuhan memang tidak pernah melahirkan manusia yang sempurna. Kita selalu lebih di sini dan kurang di situ. Atau sebaliknya. Kesombongan atau keyakinan berlebihan yang menganggap kita bisa sukses sendiri tanpa bantuan orang lain, hanya akan membuat kita bernasib sama dengan burung yang bersayap sebelah, namun memaksa diri untuk terbang.

Sepintar dan sehebat apapun kita, tetap kita hanya akan memiliki sebelah sayap.
Mau belajar, berjuang, berdoa, bermeditasi atau sebesar dan sehebat apapun usaha kita, semuanya akan diakhiri dengan jumlah sayap yang hanya sebelah. Oleh karena alasan inilah, saya selalu ingat pesan seorang rekan untuk memulai kehidupan setiap hari dengan pelukan. Entah itu memeluk anak, memeluk istri, memeluk kehidupan, memeluk alam semesta, memeluk Tuhan atau di kantor memulai kerja dengan memeluk orang lain.


*) Terima kasih kepada Ir. Budi Widodo MM, kemenakan yang telah mengirim tulisan  
     ini melalui komunikasi maya/internet pada awak Agusrus 2005.
Lampiran.

Pustakawan, Ulat, Kepompong Dan Kupu-kupu

Oleh

Hernandono


Aku bagaikan ulat daun
Kerjaku cuma makan daun-daun setiap hari
Aku Pustakawan
Kerjaku melayani pemakai perpustakaan sepanjang hari

Ulat rakus makan daun-daun muda
Pustakawan rakus mencari dan mengumpulkan angka kredit
Jadi Pustakawan aku pantang malas bekerja
Dan aku pantang mangkir alasan sakit

Ulat berubah jadi kepompong
Jadi kepompong bukan omong kosong
Aku menjadi kepompong
Pustakawan jadi kepompong naik derajat jadi pejabat

Pustakawan jadi pejabat, secuil barokah sarat amanah digabung
Menjadi kepompong bagaikan hidup di dalam dunia terselubung
Kepompong menggeliat jika disentuh jejari
Rasa suka-cita sedikit rasa geli-geli

Pustakawan menjadi pejabat punya dunia tersendiri
Sekarang aku penguasa, dapat  sikat angka kredit rekan bestari
Tapi aku tidak pernah peduli
Karena aku Pustakawan, sekarang aku penguasa profesi

Beberapa minggu lewat, aku jadi kupu-kupu
Ini proses metamorfosa, ulat jadi kepompong lalu kupu-kupu
Amboi, identik karir Pustakawan pengawal buku-buku
Sekali jadi prajurit, sekali panglima khazanah ilmu

Jika kupu-kupu bertelur di dedaunan
Telur kupu-kupu jadi ulat dan jadi kepompong kemudian
Aku Pustakawan tua meninggalkan Pustakawan muda
Mereka akan terus mengukir karya bagi nusa dan bangsa.




Jakarta, Idul Adha 1426 H, 10 Januari 2006 M.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar