Meretas Kebuntuan Kepustakawanan Indonesia
Dilihat Dari Sisi Sumber Daya Tenaga Perpustakaan
Hernandono
Orasi
Ilmiah dan
Pengukuhan
Pustakawan Utama
Tahun 2005
Daftar Isi
Meretas Kebuntuan
Kepustakawanan Indonesia
Dilihat Dari Sisi Sumber Daya Tenaga Perpustakaan………………......1
Daftar
Pustaka………………………………………………………… 14
Riwayat Hidup
Penulis…………………………………………………15
Lampiran “Burung Dengan Sebelah Sayap”………………………….16
Lampiran “Ulat, Kepompong, Dan
Kupu-kupu”……………………..18
Meretas Kebuntuan Kepustakawanan Indonesia
Dilihat Dari Sisi Sumber Daya Tenaga
Perpustakaan
Yth. Bapak dan Ibu, para
hadirin Majelis Orasi Pustakawan Utama yang berbahagia,
Assalaamu’alaikum Warrahmatullahi
Wabarrakatuh,
Selamat Pagi dan Salam
Sejahtera bagi kita semua.
Pertama-tama
marilah kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat ALLAH SWT, karena hanya
dengan rahmat, taufik dan hidayahNYA, kita dapat hadir di tempat yang mulia ini
dalam keadaan sehat walafiat.
Saya
menyampaikan penghargaan dan rasa hormar kepada Bapak Drs. Dady P. Rachmananta,
MLIS, Kepala Perpustakaan Nasional
RI dan seluruh jajarannya yang
telah memberikan dukungan dan memfasilitasi penyelenggaraan Orasi Pustakawan Utama ini.
Kepada
Ketua dan anggota Majelis Orasi Pustakawan Utama, saya juga menyampaikan rasa
hormat dan terima kasih di dalam proses dan memimpin Orasi Pustakawan Utama yang diadakan pada hari
ini.
Yth. Bapak dan Ibu, para
hadirin yang saya muliakan,
Judul
yang saya sampaikan pada Orasi ini adalah Meretas
Kebuntuan Kepustakawan Indonesia
Dilihat Dari Sisi Sumber Daya Tenaga Perpustakaan.
Komunitas
kepustakawanan Indonesia
selama 50 tahun atau setengah abad terakhir pernah mengalami kebuntuan.
Kebuntuan berarti berhenti atau jalan di tempat karena adanya rintangan atau
hambatan.
Kebuntuan
Pertama terjadi pada tahun 1956/57 dan berlangsung selama 15 tahun, hingga
tahun 1969/1970. Pada saat itu infrastruktur kepustakawanan Indonesia masih sangat lemah, analognya Indonesia
mengalami “busung lapar” kepustakawanan. Hal ini terlihat dari kondisi
kepustakawanan Indonesia
yang amat memprihatinkan, yaitu antara lain,
sumber
daya manusia berupa tenaga profesional pustakawan masih sedikit jumlahnya;
lembaga pendidikan pustakawan di dalam negeri masih langka atau terbatas;
pengguna perpustakaan terutama para ilmuwan dan peneliti sangat kekurangan
bahan bacaan ilmiah yang diterbitkan di mancanegara untuk mendukung kegiatan
penelitiannya.
Pendulum
politik pada saat itu terlalu jauh bergerak ke kiri. Di samping itu, keuangan
negara tidak menggembirakan, dan pemerintah tidak mampu menyediakan devisa untuk
belanja informasi, dan tidak tersedia anggaran untuk membangun infrastruktur
kepustakawanan.
Beberapa
upaya untuk mengatasi kebuntuan kepustakawanan di Indonesia Gelombang Pertama
yang dapat dilakukan adalah meningkatkan jumlah dan mutu tenaga perpustakaan
dengan cara mengirim mereka untuk mengikuti pendidikan lanjutan atas biaya
sponsor luarnegeri ataupun badan internasional, serta mendatangkan tenaga asing
sebagai tenaga ahli atau konsultan untuk pengembangan kepustakawanan Indoneia.
Di
samping itu, Indonesia memperoleh bantuan asing untuk pengadaan bahan pustaka
ilmiah, antara lain melalui Yayasan Asia (The Asia Foundation) dan Program Buku
Ilmiah (Science Book Program) dari United States Agency for International
Development (US-AID) dan United States National Academy of Sciences (US-NAS).
Upaya untuk tetap tegak di atas kaki sendiri, juga dilakukan berupa terobosan (breakthrough) berupa pemanfaatan bersama
koleksi melalui kerjasama perpustakaan, dan penyusunan alat temu kembali bahan
pustaka berupa Katalog Induk Majalah.
Badai
Gelombang Kebuntuan Pertama reda, dan komunitas kepustakawanan Indonesia,
terutama bagi mereka yang bekerja di lembaga-lembaga pemerintah mulai menikmati
kegiatan di bawah panji-panji Proyek Pembangunan yang dimulai pada tahun
anggaran 1969/1970 dan berlangsung sekitar tiga dekade.
Namun
di penutup milenium kedua, yaitu pada tahun 1987/1988 kepustakawanan Indonesia
mengalami kebuntuan kedua, dengan terjadinya Krisis Ekonomi Global yang banyak
berpengaruh di berbagai sektor kegiatan, termasuk di bidang infrastruktur
pendidikan dan kepustakawanan. Di tingkat nasional, bangsa dan negeri ini
menghadapi berbagai masalah besar lain, di antaranya, merebaknya korupsi, penggarongan
sumber daya alam, ancaman narkoba/psikotropika, meningkatnya kriminalitas dan
terorisme, ancaman disintegrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), meningkatnya
kemiskinan dan kurang gizi serta berbagai bencana alam yang telah mencabut
nyawa anak bangsa hampir 200 ribu orang atau hampir satu permil dari penduduk
Indonesia.
Bapak dan Ibu, para hadirin
yang saya muliakan,
Beberapa
perkembangan di bidang kepustakawanan pada saat ini ditandai antara lain:
- Jabatan fungsional
Pustakawan, terutama bagi mereka yng bekerja di instansi pemerintan
(pegawai negeri sipil/PNS) telah diakui sejak tahun 1988. Namun jumlah tenaga
fungsional Pustakawan masih amat sedikit, yaitu 2.867 orang, dan secara geografis dan
menurut jenis perpustakaan di mana mereka bekerja, belum tersebar secara
proporsional untuk melayani penduduk 220 juta orang. Hampir separoh jumlah
Pustakawan tersebut yaitu 1.320 orang (47%) nyaman bekerja dan
terkonsentrasi di 6 provinsi di Jawa, sedangkan separohnya lagi yaitu
1.527 (53%) bekerja dan tersebar di 27 provinsi di luar Jawa.
- Jumlah sekolah
perpustakaan tersebar di 20 perguruan tinggi negeri dan swasta, dan telah
menghasilkan ratusan tenaga Pustakawan tingkat terampil dan ahli.
- Komputer sudah
diterapkan di sebagian perpustakaan, terutama di Perpustakaan Nasional RI,
perpustakaan perguruan tinggi dan perpustakaan khusus (instansi) guna
mendukung kelancaran akses informasi.
- Kedudukan/status,
tugas pokok dan fungsi sebagian perpustakaan mulai jelas.
- Meskipun belum
mencukupi dan memadai, infrastruktur sebagian perpustakaan menunjukkan
perkembangan.
Bapak
dan Ibu, para hadirin yang berbahagia,
Meskipun secara fisik terdapat beberapa perkembangan dan
kemajuan sebagaimana diuraikan di depan, namun menurut pemahaman saya, masih
terdapat kebuntuan di bidang kepustakawanan Indonesia, terutama yang berkaitan dengan
sumber daya tenaga perpustakaan. Pertumbuhan dan perkembangan perpustakaan
sebagai suatu institusi publik seharusnya didukung oleh pertumbuhan dan
perkembangan sumber daya tenaga Pustakawan
semi-profesional (Pustakawan Terampil) dan Pustakawan profesional (Pustakawan
Ahli) yang bekerja di institusi tersebut.
Berdasarkan data Pustakawan Indonesia
yang dikumpulkan Pusat Pengembangan
Pustakawan – Perpustakaan Nasional RI
hingga akhir tahun 2005, dapat dilihat “Peta
Pustakawan” sebagai berikut:
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
No. Jenia Perpustakaan Jumlah Pustakawan Prosentase (%)
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
1.
Perpustakaan Nasional RI 178 6.3
2.
Perpustakaan Khusus/Instansi 483 17.1
3.
Perpustakaan Perguruan Tinggi 1.222 42.1
4. Perpustakaan Provinsi 687
24.1
5, Perpustakaan Umum Kabupaten/Kota 78 2.7
6. Perpustakaan
Sekolah Lanjutan Atas (SLTA) 93 3.3
7.
Perpustakaan Sekolah Lanjutan
Pertama (SLTP) 126 4.4
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
Jumlah
Pustakawan di Indonesia 2.867 100
Perpustakaan Nasional RI
sebagai instansi pembina
di bidang perpustakaan
dan
kepustakawanan pada saat ini memiliki
sekitar 700 pegawai atau sumber daya tenaga
perpustakaan, termasuk 178 tenaga
fungsional Pustakawan (25%)
dan sekitar
sepertiga adalah “Pustakawan
Inpassing”, yaitu tenaga fungsional
Pustakawan tanpa
latar pendidikan formal di bidang ilmu
perpustakaan. Dengan kondisi
sumber daya
tenaga
perpustakaan seperti itu, cukup
berat
bagi instansi pembina di tingkat
nasional ini untuk dapat
dengan lancar mengusung atau melaksanakan program
kerjanya untuk melaksanakan layanan secara optimal bagi masyarakat pemakainya,
di samping untuk menjadi institusi yang terkemuka dan diperhitungkan di kawasan
regional dan internasional.
Gambaran secara kuantitatif sumber daya tenaga perpustakaan di instansi pembina tersebut juga
tidak jauh berbeda dengan kondisi pada tingkat nasional. Sumber daya tenaga
perpustakaan Indonesia memperlihatkan tingkat
dan latar-belakang pendidikan formal yang heterogin, karena jumlah
Pustakawan (pejabat fungsional Pustakawan) di Indonesia yang hanya berjumlah
2.867 orang tersebut, lebih dari sepertiganya adalah Pustakawan inpassing.
Kondisi tersebut perlu segera di atasi, meskipun
hasilnya memerlukan waktu lama atau berjangka panjang, yaitu melalui program
pendidikan lanjutan secara formal dan pelatihan, guna meningkatkan kualitas dan
kuantitas sumber daya tenaga perpustakaan, di samping pembinaannya secara
internal. Naik-turun atau timbul-tenggelamnya eksistensi institusi perpustakaan
juga berkaitan erat dengan kinerja pimpinan dan para pejabat struktural pada
semua institusi perpustakaan yang mempunyai tugas pokok dan fungsi sebagai
pembina internal bagi sumber daya tenaga perpustakaan yang menjadi
tanggungjawabnya. Dengan demikian, keberhasilan insitusi perpustakaan bagi
masyarakat pemakainya adalah bukan merupakan hasil kerja orang-perorangan, melainkan
hasil kerja bersama atau kolaborasi semua pegawai, mulai dari pucuk pimpinan
dan pejabat struktural, pejabat fungsional dan tenaga pendukung lainnya.
Sementara itu, pengalaman sejauh ini memperlihatkan,
bahwa sebagian besar atau hampir semua tenaga Pustakawan di Indonesia,yaitu
2.636 orang (92.5%) merupakan Pustakawan Pekerja, yaitu kelompok “prajurit” atau “tawon-tawon” tenaga
fungsional Pustakawan. Sehubungan dengan hal ini, saya berpendapat, sudah
saatnya komunitas kepustakawanan Indonesia perlu memiliki kelompok Pustakawan Pemikir dan kelompok Pustakawan
Peneliti. Dari kelompok Pustakawan
Pemikir diharapkan dapat dihasilkan berbagai pemikiran serta tentang
kepustakawanan Indonesia, sedangkan Pustakawan
Peneliti diharapkan menghasilkan produk berupa kajian, kritik dan analisis
kepustakawanan Indonesia.
Bagaimana mewujudkannya? Kondisi pada saat ini saya
pandang tepat untuk memulai dan mewujudkan, yaitu dengan jalan memanfaatkan
para Pustakawan Senior di Indonesia yang sangat sedikit jumlahnya, yaitu hanya
sekitar 15 orang (0.5%) yang terdiri dari para Pustakawan Utama untuk kita gali
atau peras pemikiran filosofisnya dan cara pandang secara utuh setelah mereka
30 sampai 40 tahun berpengalaman bekerja di dunia perpustakaan. Sedangkan
kelompok Pustakawan Peneliti dapat
terdiri dari para Pustakawan Madya di Indonesia yang jumlahnya juga tidak terlalu
banyak, yaitu sekitar 216 (7.0%) orang untuk melakukan berbagai kajian/penelitian
tentang berbagai aspek kepustakawanan. Perpustakaan Nasional RI dan berbagai
perpustakan lainnya dapat memfasilitasi kelompok Pustakawan Pemikir dan Pustakawan
Peneliti dalam bentuk menyediakan ruang kerja dan fasilitas lainnya
termasuk peralatan dan perlengkapan kerja, agar secara optimal mereka dapat
menuangkan pemikiran filosofis mereka dan melakukan berbagai macam kajian/penelitian
yang pada gilirannya dapat meningkatkan
kinerja perpustakaan bagi kemaslahatan pemakainya. Namun mengingat daur hidup
dan daya ingat para Pustakawan Senior terbatas dan relatif singkat, pemanfaatan
mereka perlu dilakukan dalam waktu tidak terlalu lama. Daur kehidupan adalah
pendek, sedangkan ilmu adalah sepanjang masa (Vita Brevis Ars Longa).
Melihat peta Pustakawan dari sisi jabatan Pustakawan mereka,
yaitu jabatan Pustakawan Utama, Pustakawan Madya, dan jenjang jabatan
Pustakawan lainnya seperti tersebut di muka, memang cukup mengkhawatirkan. Sedangkan
melihat Pustakawan dari sisi pendidikannya, kondisinya juga tidak berbeda jauh sebagaimana terlihat pada data berikut.
Pendidikan
Pustakawan Indonesia
No. Pendidikan formal
Jumlah Prosentase (%)
1. Sekolah
Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) 1,031 34
2. Diploma
1 (semua disiplin ilmu) 12 0
3. Diploma II
(semua disiplin ilmu) 383 14
4. Diploma
III (semua disiplin ilmu) 260 9
5. Sarjana
Muda (semua disiplin ilmu) 150 6
6. Sarjana/S1
(semua disiplin ilmu) 915 32
7. Pasca
Sarjana/S2 (semua disiplin ilmu) 116 5
Jumlah 2.867
100
Bapak
dan Ibu, para hadirin yang saya muliakan,
Kebuntuan Pertama kepustakawanan Indonesia sebagaimana
dijelaskan di muka, adalah disebabkan infrastruktur kepustakawanan Indonesia
yang porak-poranda diakibatkan kondisi bangsa dan negara muda yang baru saja
bebas dari penjajahan, di samping itu kondisi sosial-ekonomi dan politik pada
saat itu tidak kondusif. Pada kenyataannya, di samping bidang pendidikan, perpustakaan
dan kepustakawanan telah luput dari perhatian sebagai salah satu unsur
mencerdaskan kehidupan bangsa. Usaha membangun kepustakawanan Indonesia pada saat itu dapat
dikatakan mulai dari nol (developing from scratch).
Sedangkan pada Kebuntuan Kedua, adalah disebabkan
kepustakawanan Indonesia
kehilangan jiwa atau roh/ruh. Mengapa hal itu terjadi?
Jawabannya adalah berkaitan dengan sumber daya tenaga perpustakaan. Di dalam
usaha untuk meretas kebuntuan kepustakawanan, saya berpendapat bahwa kita harus
berani melakukan otokritik, meskipun saya menyadari bahwa hal ini merupakan
tindakan atau sikap yang tidak populer di kalangan komunitas Pustakawan sendiri.
Saya akan mengulas berdasarkan pengalaman saya bekerja
di pusat dokumentasi dan perpustakaan selama lebih dari 40 tahun, yaitu sejak tahun 1963 sampai 2005, tentang
karakteristik secara umum atau profil
sumber daya perpustakaan dan terutama Pustakawan Indonesia, sebagai berikut:
1. Saya berpendapat bahwa sebagian
Pustakawan Indonesia
pada umumnya seperti mengidap gejala atau “sindrom
autis”. Sindrom autis adalah kecenderungan seseorang yang sibuk dengan
dunianya sendiri, dan tidak suka bila ada orang lain mengganggu. Sosialisasi
dan hubungan Pustakawan Indonesia
dengan komunitas profesi lain sangat terbatas. Pustakawan Indonesia amat
tertutup, sulit dan lambat merespon pandangan atau gagasan orang lain yang
dirasakan akan mengganggu wilayah atau demarkasi “mainannya”, berupa kegiatan,
proyek dan sejenisnya. Boleh jadi karena sebagian Pustakawan kurang percaya
diri. Hal ini terlihat, bahwa sebagian Pustakawan Indonesia tidak suka dengan ide pemanfaatan
tenaga dari luar instansinya, karena dirasakan Pustakawan pendatang akan
mengurangi demarkasi dan mengganggu kemapanan lahan “mainannya”. Karena kurang
percaya diri, maka kehadiran Pustakawan pendatang dihadang dengan rasa curiga
dan was-was, bahkan dimusuhi dan dijauhi secara sembunyi-sembunyi. Padahal Pustakawan
pendatang merupakan “darah segar” yang dapat mendorong kinerja Pustakawan lain
ke tingkat yang lebih baik. Sementara itu, Pustakawan-pustakawan yang “hijrah”
atau pindah ke instansi lain dianggap dan diberi label “penghianat” oleh
rekan-rekan seprofesi di instansi yang ditingalkannya karena dianggap tidak
loyal. Sungguh celaka, karena tanpa mereka sadari, hakikat “hijrah” adalah perubahan. Pustakawan yang tidak mau berubah, dapat dikatakan telah tamat
riwayat atau karirnya Tanpa semangat dan
kemauan untuk berubah dan upaya untuk
meningkatkan diri, Pustakawan mengalami kebuntuan.
2.
Sebagian Pustakawan Indonesia
masih lemah di
dalam penguasaan bahasa
asing dan teknologi informasi (TI).Salah satu syarat
yang harus dimiliki Pustakawan Indonesia
pada saat ini adalah kemampuan komunikasi yang ditandai kemampuan berbahasa
asing dan tidak gagap teknologi, terutama teknologi informasi. Bagaimana
Pustakawan Indonesia
dapat diperhitungkan di forum regional dan internasional bila tidak menguasai
bahasa asing sebagai syarat berkomunikasi ? Mereka lebih banyak menjadi
pendengar yang baik dan duduk manis di pertemuan regional dan internasional. Pengalaman
sejauh ini juga memperlihatkan, bahwa berbagai situs jaringan informasi sebagai
salah satu wadah komunikasi maya atau virtual, belum dimanfaatkan secara optimal
oleh Pustakawan Indonesia . Tanpa ada kemampuan
berkomunikasi secara profesional, baik secara langsung berupa
dialog tatap-muka maupun melalui sarana maya (virtual), terjadi kebuntuan kepustakawanan Indonesia dengan rekan-rekan
seprofesi mancanegara.
3.
Pada umumnya, sebagian Pustakawan tidak banyak menulis, apalagi dalam
penulisan karya bersama. Sebenarnya Pustakawan
menyadari pentingnya menulis. Apalagi kegiatan ini merupakan salah satu
kegiatan utama atau pokok bagi tenaga fungsional Pustakawan guna memperoleh
angka kredit, di samping agar mereka semakin dikenal rekan-rekan seprofesinya,
seperti ungkapan klasik mengatakan, “To
publish or perish”. Namun
kenyataannya, hingga saat ini keadaannya tidaklah terlalu menggembirakan. Hal
ini antara lain terlihat di dalam penulisan buku ajar di bidang perpustakaan.
Selama kurun waktu satu dekade, 1991—2001, ternyata terdapat 89 buku atau
rata-rata 9 buku ditulis setiap tahun. (Rusli Marzuki, 2002). Dari 89 buku,
hanya ada 27 buku (30%) ditulis pengarang bersama, termasuk karya terjemahan.
Ada 12 Pustakawan (14%) yang menulis lebih dari satu buku selama kurun waktu
tersebut. Dan pemecah rekor di dalam penulisan buku ajar di bidang perpustakaan
adalah penulis produktif, sosok yang telah kita kenal, yaitu Prof.
Sulistyo-Basuki, Ph.D. yang telah menulis 7 buku (8%) dari jumlah tersebut
dalam kurun waktu 10 tahun. Alangkah cantiknya, bila kepiawaian atau
keahliannya menulis ditularkan kepada rekan-rekan seprofesi yang lebih muda
usia dan lebih muda pengalaman, agar hal itu merupakan air yang terus mengalir
atau “panta rei” dan tidak akan kering.
Sementara itu, selama dua dekade terakhir, kurun waktu
1985—2004, terdapat 122 karya tulis berupa artikel dan makalah di bidang
perpustakaan, dokumentasi dan informasi (bidang perpusdokinfo). (Arifah
Sasmita; Tri Nugraheni, 2005). Dari 122 karya tulis tersebut hanya ada 5 karya
tulis bersama (4%). Pada kurun waktu yang sama, terdapat 105 laporan penelitian
di bidang perpusdokinfo (Arifah Sasmita; Tri Nugraheni, 2005), dan di antaranya
ada 29 kajian/penelitian yang ditulis bersama (28%). Melihat angka terakhir ini
cukup menggembirakan, meskipun perlu diketahui, bahwa kajian/penelitian
tersebut merupakan kegiatan proyek atau penugasan instansi di mana mereka
bekerja.
Rendahnya jumlah penulisan di bidang perpusdokinfo
mempunyai hubungan atau korelasi dengan kegiatan penulisan di tingkat nasional
untuk semua bidang ilmu pengetahuan yang dijaring secara internasional. Pada
tahun 1995, Gibbs mendaftar negara-negara penghasil tulisan ilmiah, dan
Indonesia termasuk salah satu negara yang “kehilangan ilmu pengetahuan”, karena
ternyata Indonesia hanya menghasilkan tulisan/ilmu pengetahuan 0.012% di antara
negara-negara lain. Namun patutlah disyukuri, bahwa Indonesia dengan penduduk
220 juta, peringkatnya masih di atas nenerapa negara di benua Afrika dan Timur
Tengah, seperti Mali, Ethiopia, Uganda dan Yaman. Produk tulisan Indonesia
tentunya harus ditulis dalam bahasa Inggeris, supaya terbaca komunitas
internasional. Bila dibandingkan dengan negara lain di kawasan ASEAN, dalam
produksi karya tulis ilmiah, Indonesia yang menghasilkan produk 0.012% adalah
yang terendah dibandingkan dengan Singapura 0.179%, Thailand 0.084%, Malaysia
0.064%, dan Filipina 0.035%. Gambaran umum ini merefleksikan produksi karya
tulis di bidang perpusdokinfo masih amat rendah. Mengingat sebagian besar karya
tulis ilmiah ditulis dalam bahasa Indonesia , maka komunitas
internasional tidak dapat membaca atau mengerti perkembangan bidang
perpusdokinfo di Indonesia. Dengan demikian, tanpa dukungan kemampuan membaca
produk informasi dunia dan kemampuan menulis, Pustakawan dan kepustakawanan Indonesia
mengalami kebuntuan dan kehilangan pengetahuan.
Bapak-Ibu, para hadirin yang saya muliakan,
Berikut ini adalah karakteristik keempat secara umum
SDM perpustakaan dan Pustakawan Indonesia .
4. Sebagian Pustakawan Indonesia sejauh ini bekerja sebagai burung dengan
sebelah
sayap.Penjelasan mengenai ungkapan “Burung dengan sebelah sayap”
oleh Gede
Prama dimuat pada Lampiran.
Pengertian
kerja mandiri yang dibanggakan Pustakawan banyak ditafsirkan
secara sempit. Mereka sibuk bekerja
sendiri-sendiri dan timbul
egoisme
sektoral, dan pada gilirannya egoisme perorangan atau individu membentuk
pola pikir terkotak-kotak antar unit kerja dan
bahkan antar institusi.
Persaingan, perseteruan pribadi maupun institusi (personal
and institutional
rivalry) ini merupakan salah satu penyebab
kebuntuan kepustakawanan
sedikit atau terbatas ini tidak secara
tulus berkolaborasi agar dapat mencapai
hasil
kerja yang optimal. Untuk itu, para Pustakawan
Indonesia perlu
bekerjasama dengan fikiran
dan matahati
yang
jernih dan menjauhkan
sifat ke-aku-an.
Kerjasama atau kolaborasi antar Pustakawan
dan para Pejabat
perpustakaan
akan menjauhkan diri dari sikap
yang tertulis sebagai
ungkapan “Manusia
adalah serigala di antara
sesamanya” (Homo homini lupus).
Mentalitas dan cara pandang para Pustakawan
dan para pejabat di
bidang
kepustakawanan perlu diubah.
Mereka perlu
mengubah sikap dan
cara
pandang “milik aku” menjadi “milik kami”
dan pada akhirnya menjadi “milik
kita bersama”.
Namun hal ini merupakan
“pekerjaan
rumah”
yang tidak
mudah dan memerlukan waktu, tidak seperti membalik telapak tangan.
Dengan demikian, tanpa usaha mau merubah
cara pandang maupun
adanya
tekad untuk memperbaiki mentalitas
para Pustakawan dan para
Pejabat yang
bekerja di perpustakaan,
maka kepustakawanan Indonesia mengalami
kebuntuan.
Bapak-Ibu, para hadirin yang saya hormati
dan muliakan,
Di bagian ini saya akan menyampaikan
kesimpulan dan saran sebagai berikut:
Selama lebih dari
sepertiga abad, sejak tahun 1970-an hingga saat ini bobot
pembangunan kepustakawanan Indonesia
lebih banyak diarahkan pada wadah
dibandingkan
pada isi. Kita
telah terlena dan melupakan
sejarah!
Presiden RI Pertama telah berpesan, bahwa untuk membangun bangsa
yang
kuat, harus membangun bangsa yang
berkarakter.
Matahati kita sejauh ini tidak tersentuh,
meskipun paling sedikit setiap tahun
dan
pada peringatan hari-hari penting
lainnya, kita menyanyikan
lagu
kebangsaan Indonesia
Raya. Tetapi banyak yang
menyanyikannya tanpa
semangat,
tanpa jiwa. Padahal
jelas tertulis pada
syair lagu, “Bangunlah
Jiwanya Bangunlah Badannya untuk Indonesia Raya”.
Selama
sepertiga abad terakhir ini, kita hanya sibuk mengurus pembangunan
badan,
pembangunan fisik, pembangunan wadah, tetapi kurang diimbangi
dengan pembangunan
dan pembentukan jiwa,
mental, karakter anak-anak
bangsa, di semua bidang kegiatan,
termasuk di bidang kepustakawanan. Perlu
ada keselarasan atau harmoni pembangunan
jiwa dan raga Pustakawan guna
mengatasi mengatasi kebuntuan di bidang
kepustakawanan. Lalu dari mana
memulainya?
Tahap
paling mendasar untuk
membangun jiwa dan
raga kepustakawanan
adalah mulai dari
lingkungan terkecil, yaitu lingkungan keluarga. Ungkapan
yang tepat untuk menggambarkan hal
ini adalah, “Buah jatuh tidak jauh dari
pohonnya”.
Pengalaman memperlihatkan, bahwa seseorang yang sejak usia muda tidak
akrab dengan buku dan
bahan bacaan, di kemudian
hari dia akan kurang
tertarik
atau kurang
gairah untuk bekerja di lingkungan perpustakaan dan
dunia kepustakawanan.
Bila sejak usia muda lingkungan keluarga kondusif, dapat diharapkan akan
muncul calon Pustakawan tulen (A genuine
and true librarian) yang merasa
terpanggil untuk bekerja dengan senang
hati dan bersemangat di perpustakaan.
Hal ini dikatakan Zultanawar, bahwa menjadi Pustakawan adalah “panggilan
atau dipanggil”,
terjemahan “calling”
atau “beruf” dari Max Weber.
(Zultanawar, 2005). Seorang Pustakawan tulen memiliki jiwa dan semangat
serta etos kerja prima. Sebaliknya, “Pustakawan kebetulan”
(A pseudo
librarian) adalah mereka yang terpaksa bekerja di perpustakaan karena
tidak
diterima bekerja di tempat
lain, dan menjadi tenaga perpustakaan yang
bekerja
dengan setengah hati
dan hasil kerja yang setengah-setengah.
Kelompok Pustakawan kebetulan akan bekerja dengan perasaan terpaksa dan
tanpa
gairah, tanpa jiwa dan semangat yang terpancar di wajahnya.
Tahap kedua menjadi kepentingan semua institusi yang menyelenggarakan
pendidikan formal
di bidang kepustakawanan. Di institusi ini, calon-calon
Pustakawan mengikuti
pendidikan formal yang cukup lama, yaitu
berkisar
antara 3 sampai 5 tahun. Para pengajar
atau dosen seharusnya tidak hanya
mengajarkan ilmu dan
teknik kepustakawanan, tetapi juga mengisi
dan
membentuk
pribadi calon-calon Pustakawan. Institusi
pendidikan ini perlu
menambah wawasan bagi calon-calon Pustakawan,
antara lain filosofi/filsafat
kepustakawanan dan
isyu mutakhir dan
ekosistem yang berkaitandengan
dunia kepustakawanan. Dengan demikian diharapkan, bahwa
institusi
pendidikan ini dapat menjadi semacam monitor
pencari bakat (talent scouting)
calon-calon
Pustakawan handal bagi institusi penggunanya.
Tahap ketiga merupakan tanggungjawab institusi
di mana Pustakawan bekerja.
Institusi tempat Pustakawan bekerja
mempunyai tanggungjawab membina dan
mengembangkan karir Pustakawan dan tenaga
perpustakaan. Pustakawan dan
tenaga
perpustakaan jangan dibiarkan
bekerja dari hari ke hari atau
rutinitas
tanpa
pembinaan pimpinan atau
atasannya. Pembinaan pimpinan dan
atasan
Pustakawan
dan tenaga perpustakaan adalah merupakan salah satu
tugas dan
tanggungjawab mereka.
Dengan demikian,
semua pimpinan dan pejabat
struktural di perpustakaan
harus memiliki pengetahuan,
jiwa dan semangat
kepustakawanan. Sistim pemilihan
pimpinan dan para pejabat struktural di
perpustakaan perlu
direformasi untuk mendapatkan
pejabat dan pimpinan
perpustakan yang kapabel dan akseptabel.
(Hernandono, 2004. 3). Di samping
itu,
pemerintah baik pusat maupun
daerah (provinsi
dan kabupaten/kota)
sebagai salah satu
pemangku
kepentingan (stake holder) harus mendukung
secara nyata berbagai upaya yang
berkaitan dengan peningkatan infrastruktur
perpustakaan dan kepustakawanan, termasuk
pengembangan Pustakawan dan
tenaga perpustakaan di masing-masing
daerah atau wilayahnya.
Di dalam tahap ketiga, yang perlu diperhatikan adalah proses rikrutmen
atau
pengadaan Pustakawan dan tenaga
perpustakaan yang harus dilakukan secara
cermat. Seleksi
calon pegawai perpustakaan
harus dilakukan lebih
ketat,
melalui
wawancara mendalam terhadap
calon pegawai perpustakaan,
lebih-
lebih untuk menggali minat dan alasan mereka bekerja di perpustakaan.
Tahap ketiga merupakan arena perjuangan
yang panjang dalam
rangka
menapak dan menaiki jenjang karir
Pustakawan. Para Pustakawan
supaya
melakukan interaksi dan kolaborasi
profesional secara intens.
Diskusi dan
dialog antar Pustakawan dan dengan anggota
masyarakat profesi lainnya perlu
ditingkatkan supaya profesi
kepustakawanan lebih dikenal oleh anggota
profesi lain dan masyarakat luas. Interaksi
berupa diskusi dan
dialog dapat
dilakukan secara langsung atau tatap-muka
maupun secara maya (virtual). Di
sini para Pustakawan dilatih untuk dapat “berbicara dan
menulis” fikiran dan
gagasannya secara profesional, di samping
merupakan ajang Pustakawan untuk
dapat
mendengar, menyimak dengan
cermat dan menyikapi
secara santun
gagasan-gagasan mitra seprofesinya maupun
fihak lainnya.
Bapak-Ibu, hadirin yang saya muliakan,
Pelaksanaan Orasi Pustakawan Utama yang
diadakan pada hari ini adalah tepat
Karena telah didahului serangkaian peristiwa bersejarah dan penting
lainnya,
yaitu:
1.
Seperempat Abad Perpustakaan Nasional RI, 17 Mei 1980 – 2005.
2.
Hari Pustakawan Indonesia ,
3 Juli 1973 – 2005.
3.
60 Tahun Republik Indonesia ,
17 Agustus 1945 – 2005.
4.
Hari Kunjung Perpustakaan,
tanggal 14 September.
Beberapa pemikiran yang saya
sampaikan pada Orasi
ini mudah-mudahan
dapat menjadi sumbangan atau kontribusi
di
dalam penulisan
Sejarah
Kepustakawanan Indonesia yang sejauh
ini sarat dengan informasi tahap-
tahap atau periodisasi yang
merupakan serangkaian tonggak (milestone),
tetapi
kurang dilengkapi jiwa dan
nafas pemikiran para pelaku sejarahnya.
Dengan demikian, untuk
penulisan dan pengajaran Sejarah Kepustakawanan,
perlu kiranya dikembangkan
menjadi Sejarah Kehidupan Kepustakawanan
tersebut dapat
dihimpun berbagai pemikiran filosofis, perbedaan pendapat,
keberhasilan dan kegagalan, maupun kesalahan para pelaku kepustakawanan
Sejarah Kehidupan
Kepustakawana Indonesia .
Sejarah Kehidupan
Kepustakawanan ibaratnya memang
bukan merupakan
suatu dokumen yang secara
tegas membedakan warna hitam dan putih, karena
terkadang ada bagian yang
remang-remang atau berwarna kelabu (grey area).
Sesungguhnyalah, kepustakawanan Indonesia adalah ibarat sebuah
istana atau
bangunan monumental
yang berkaitan dengan
khazanah budaya bangsa.
Pengibaratan ini mengingatkan saya pada akhir tugas
sebagai
Kepala
Perpustakaan Nasional RI
yang Kedua, periode
September1998 sampai Juli
2001, saya katakan
bahwa, “Saya hanyalah salah satu pengusung batu sebuah
istana atau bangunan monumental
yang bernama Kepustakawanan Indonesia .
Dan untuk melaksanakan hal
itu, saya tidak
bekerja sendiri melainkan harus
berkolaborasi atau
bekerjasama”.
Komunitas atau
masyarakat kepustakawanan Indonesia
memang perlu untuk
dapat mencermati dan belajar
dari sejarah atau pengalaman dan kejadian
masa
lalu. Karena pengalaman adalah
sejarah yang menyangkut pribadi, institusi dan
komunitas, khususnya
masyarakat kepustakawanan. Pribadi,
institusi dan
komunitas kepustakawanan jangan
sibuk sendiri dan
menghabiskan waktu
untuk mencari kebenaran yang
relatif sifatnya. Karena yang
kita cari adalah
kearifan (wisdom).
Hal ini
dikatakan Prof. DR. Taufik
Abdullah, sejarawan
kondang dan Ahli Peneliti
Utama (APU) pada wawancara dengan wartawan di
mendapatkan kearifan”. (Kompas,
Sabtu, 6 Agustus 2005).
Kepada para Pustakawan muda Indonesia yang
memiliki idealisme, jiwa,
mental
dan semangat kerja sebagai
Pustakawan Tulen, saya mengharap,
jadilah Petruk-petruk personifikasi punakawan
atau abdi setia di
dalam
pewayangan, untuk secara optimal melayani para
pengguna perpustakaan, di
samping berlomba-lombalah secara
sehat dan jujur untuk menjadi pemuka atau
pemimpin di
antara sesama (Primus
inter pares) di bidang kepustakawanan
gilirannya akan
menjadi bekal untuk menghasilkan catatan jalur karir yang
lurus dan membanggakan.
Saya juga berpesan kepada para Pustakawan muda Indonesia
untuk jangan
pongah dan menepuk
dada sendiri guna memamerkan kebolehan hasil kerja
seorang-perorangan, karena
kita tidak dapat bekerja sendiri-sendiri tetapi perlu
menjalin kemitraan dan kerja
bersama atau berkolaborasi dengan sejawat
lain.
Bapak-Ibu, para hadirin yang
saya hormati dan muliakan,
Berkat bimbingan, inayah dan
hidayah ALLAH SWT, alhamdulillah
sidang
Majelis Orasi Pustakawan Utama
ini dapat diselenggarakan. Untuk itu,
saya
panjatkan puji dan syukur ke
hadirat ALLAH SWT.
Pada kesempatan yang
berbahagia ini, saya ingin menyampaikan
kenangan,
rasa hormat, terima kasih dan penghargaan kepada
semua fihak yang tentu
tidak dapat saya sebut satu per satu.
Saya selalu mengenang:
·
Randana Amretawira (Rana), anak tercinta
yang meninggal dunia pada13 Juli1993 dalam usia 17 tahun 3 bulan,
yaitu menjelang 3 tahun saya diperbantukan bekerja di Perpustakaan
Nasional RI. Kenangan kepada Rana telah
menimbulkan gelora dan semangat
yang membara (a
burning desire). Memang di dalam
kehidupan
selalu saja ada
pengorbanan, tantangan, halangan dan
hambatan yang harus dihadapi dan di
atasi.
·
Drs. John Pieter Rompas, MA, rekan Pustakawan Utama yang saya kenal selama 40 tahun sejak sama-sama
kuliah di Sekolah Perpustakaan
pada
tahun 1960. Almarhum Pak Rompas selalu saya
kenang dengan “gonggongan” yang keras, kendati kafilah tetap berlalu. Gonggongan ini adalah dambaan terhadap sikap dan perlakuan yang adil bagi para Pustakawan, mitra kerja sejajar
pejabat
struktural di perpustakaan.
·
Dra. Ernawati, rekan Pustakawan yang merasa terpinggirkan, yang wafat
dalam usia muda. Saya kenang almarhumah mengingat hingga akhir hayatnya,
rencana saya untuk kerja-bareng atau berkolaborasi di dalam kegiatan
kepustakawanan, belum sempat dilaksanakan.
Semoga arwah-arwah almarhum dan almarhumah diterima
ALLAH SWT. Amin ya robbil alamin.
Selanjutnya, terima kasih dan
rasa hormat saya sampaikan kepada:
·
Para pimpinan dan rekan sejawat di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) dan Pusat Dokumentasi dan
Informasi Ilmiah – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PDII—LIPI) yang telah
berkolaborasi sejak saya mulai bekerja pada tahun 1963
sampai 1990.
·
Ibu Winarti Partaningrat, MA (almarhumah),
mantan Direktur Pusat Dokumentasi Ilmiah Nasional – Majelis Ilmu Pengetahuan
Indonesia (PDIN—MIPI), dan Ibu Luwarsih
Pringgoadisurjo, MA (almarhumah), mantan Kepala PDII—LIPI, serta Ibu Mastini Hardjoprakoso, MA, Kepala
Perpustakaan Nasional RI yang Pertama, masing-masing pada kurun waktu tahun
1963—1973, 1973—1990, dan 1990—1998. Ketiga Ibu dan Perempuan Perkasa ini telah
menanamkan dan menempa tradisi disiplin dan kerja keras kepada saya dan para
pegawai masing-masing.
·
Para Pustakawan dan semua rekan sejawat di Perpustakaan Nasional RI,
terutama pada kurun waktu tahun 1990—2006.
·
Bapak Drs. Dady P. Rachmananta,
MLIS, Kepala Perpustakaan Nasional RI yang Ketiga dan jajarannya, Ketua dan Anggota Majelis Orasi
Pustakawan Utama serta Panitia Penyelenggara Orasi ini yang telah
menyelenggarakan kegiatan di tempat yang megah ini.
·
Semua guru dan dosen saya di Indonesia , Inggeris dan
Amerika-Serikat, masing-masing pada kurun waktu tahun 1947—1963, 1975—1977, dan
1980—1983.
·
Raden Ngabei Kartowirono, almarhum
kakek buyut saya, mantri guru yang telah menurunkan Trah Kartowirono sejak sekitar 150 tahun lalu, dan Raden Ngabei Kromoatmodjo, almarhum kakek saya yang juga berprofesi mantri guru.
·
Raden Soedjono Kartowirono, almarhum
ayah saya, yang berprofesi referendaris pada Jawatan Penerangan Kabupaten
Banyumas di Purwokerto dan kemudian menjadi
Kepala Bagian Kepegawaian pada Pemerintah Daerah Provinsi Jawa-Tengah di
Semarang. Sifat keras ayah almarhum telah mewariskan darah kepustakawanan
kepada saya, berupa tekad kuat (determination)
serta petuah untuk menjadi orang yang tertawa terakhir (To be the man who last laughed).
·
Raden Ayu Woerjati, almarhumah
ibu kandung saya, yang telah melahirkan saya dan wafat saat saya berumur 2
tahun, dan almarhumah Raden Ayu Soejati,
ibu pengganti yang telah membesarkan saya sebagai anak kandung sendiri, dan dengan kelembutan hatinya telah menempa jiwa
saya supaya sabar dan tahan bantingan (endurance),
dan selalu memberi petuah “Wong sabar dhuwur wekasane” (A patience person deserves his ultimate achievement).
·
Dan yang terakhir, adalah ucapan terima kasih tiada terhingga dan
disertai rasa cinta, kasih dan sayang kepada sosok perempuan yang sulit dicari tandingannya, yaitu Nunuk
Susmiyati, istriku tercinta, ibu 4 anak dan nenek 7 cucu, yang sejak perkenalan
kami yang pertama, berpacaran, menikah dan hingga kini, Dik Nuk selalu tabah
dan setia mendampingi saya, baik di kala senang penuh tawa ceria, maupun di
kala duka-nestapa penuh airmata. Sosok perempuan inilah yang senantiasa mendorong dan memberikan warna
seindah semburat warna bianglala atau pelangi di dalam kehidupan saya
selama 40 tahun terakhir. Sesungguhnyalah,
tanpa pendamping seorang perempuan penuh pengertian bernama Nunuk
Susmiyati, saya hanyalah ibarat burung dengan sayap sebelah.
Sederetan nama yang saya sebut tadi, sesungguhnya mereka
semua adalah yang paling pantas
memperoleh penghormatan dan penghargaan pada acara penting di tempat yang mulia
ini.
Atas perhatian Bapak-Ibu dan hadirin semua, saya
haturkan terima kasih.
Dan kurang-lebihnya, saya mohon maaf.
Wabillahit Taufik Wal Hidayah.
Wassalaamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarrakatuh.
Daftar
Pustaka
Agus
Sutoyo; Joko Santoso (2001). Strategi dan pemikiran perpustakaan:
Visi Hernandono. Jakarta : Sagung Seto.
ISBN: 979-95115-3-4
Arifah Sasmita; Tri Nugraheni (2005). “Pengarang bidang/subyek perpustakaan”.
Gede Prama (t.th.).
“Burung dengan sebelah sayap”.
Gibbs, W.W. (1995).
“Lost science in the third world”. Scientific American ,275
(August):
76-83.
Hernandono (2005. 1). “Pengalaman pribadi
menjadi Pustakawan: Sebuah
testimoni”. Makalah disampaikan
pada Pertemuan karyawan/karyawati
PDII--LIPI dalam rangka Peringatan
40 Tahun PDII--LIPI di Jakarta,
Senin, 1
Agustus.
Hernandono (2005. 2). “Problim yang dihadapi
Pustakawan: Pustakawan Madya
dan
PustakawanUtama”. Makalah disampaikan
pada Temu Kerja Pustakawan
Madya dan
Pustakawan Utama
se-Indonesia,
diselenggarakan Perpustakaan
Nasional RI
di Jakarta, 29-31 Agustus.
Hernandono (2005. 3).
“Reformasi birokrasi di
perpustakaan: Beberapa saran
pemikiran”. Media Pustakawan, 11 (2):
6-9.
Hernandono (2005. 4). “Seperempat abad Perpustakaan
Nasional
RI : Antara
kenyataan dan harapan”. Makalah disampaikan pada
Rapat Kerja
Perpustakaan Nasional RI Tahun 2005, 6-8 April.
Kompas, Sabtu, 6 Agustus
2005. “Wawancara wartawan Kompas
dengan DR.
Taufik Abdullah”.
Hlm. 12.
Perpustakaan Nasional RI (2004). Direktori
Pejabat Fungsional Pustakawan
Pusat Pengembangan Pustakawan – Perpustakaan Nasional
RI (2005). Company
profile
Pusat Pengembangan Pustakawan – Perpustakaan Nasional RI .
Rusli Marzuki
(2002). Buku ajar bidang Ilmu
Perpustakaan Indonesia .
ISBN:979-9477-58-1
Zultanawar (2005). “Sejarah
kecil pembentukan
PDII-LIPI”. Makalah
disampaikan pada Pertemuan karyawan/karyawati PDII-LIPI dalam rangka
Peringatan
40 Tahun PDII—LIPI di Jakarta, Senin, 1
Agustus.
Riwayat Hidup Penulis
Nama:
Hernandono, MLS. MA.
Nomor
Induk Pegawai (NIP): 320 000 472
Tempat
dan Tanggal Lahir: Purwokerto; 17 Maret 1941.
Jabatan:
Pustakawan Utama.
Pangkat
/ Golongan: Pembina Utama / IV-e
Alamat
Kantor: Perpustakaan Nasional RI, Jln. Medan
Merdeka Selatan No. 11, Jakarta
Alamat
Rumah: Jln. Pengairan No. 14, Bendungan Hilir, Jakarta Pusat.
Pendidikan:
a. Sarjana Muda Perpustakaan, FKIP-UI Jakarta , 1963.
b. Master of Library Studies (MLS), Loughborough University of
Technology, Inggeris,
1977.
c. Master of Arts on International
Studies (MA), University
of Denver ,
Amerika-Serikat, 1983.
Pelatihan
Kedinasan/Kepemimpinan: SPATI-LAN Angkatan I, 1997.
Pengalaman
Kerja:
a. Pegawai Pusat Dokumentasi dan
Informasi Ilmiah – Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (PDII—LIPI), 1963—1990.
b. Pegawai LIPI
diperbantukan/dipekerjakan di Perpustakaan Nasional RI,
1990—2001.
c.
Pegawai Perpustakaan Nasional RI, 2001—2006.
d. Pengajar Tidak Tetap di Jurusan Ilmu
Perpustakaan Universitas
e. Ketua Umum Ikatan Pustakawan Indonesia
(IPI), 1995-1998.
f.. Kepala Perpustakaan Nasional RI Kedua,
1998—2001.
g. Wakil Ketua Tim Penilai Tingkat
Pusat Jabatan Fungsional Pustakawan,
2002—2006.
Status
Keluarga: Menikah. 2 Maret 1969, di Jakarta Pusat.
Nama
Istri: Nunuk Susmiyati.
Anak:
4 orang.
1, Anggraini Setyasari (RINI)
(Suami: Ir. Danny Faturachman).
2. Kamaratih Ditasari (RITA) (Suami:
Zulkarnain Daeng Maupa, SE).
3. Wiratna Tritawirasta, S.Kom.
(RASTA). (Istri: Emilianti, S.Kom.).
4. Randana Amretawira (RANA), almarhum.
Cucu: 7 orang.
1. Anggia. 2. Amanda. 3. Andhika. 4.
Tazya. 5. Gilang. 6. Rafif. 7. Faiz.
Lampiran. “Burung dengan sebelah sayap”. *)
Oleh
Gede
Prama
Seorang teman dengan potensi tinggi, mengeluh
berat setelah pindah-pindah kerja di lebih dari lima tempat. Tadinya, saya
fikir ia mencari penghasilan yang lebih tinggi. Setelah mendengarkan dengan penuh
empati, rekan ini rupanya mengalami kesulitan dengan lingkungan kerja. Di semua
tempat kerja sebelumnya, dia selalu bertemu dengan orang yang tidak cocok. Di
sini tidak cocok dengan atasan, di situ bentrok dengan rekan sejawat, di tempat
lain malah diprotes bawahan.
Kalau rekan di atas berhobi pindah-pindah kerja,
seorang sahabat saya yang lain, punya pengalaman yang lain lagi. Setelah
berganti istri sejumlah tiga kali, dengan berbagai alasan yang berbau tidak
cocok, ia kemudian merasa capek dengan kegiatan berganti-ganti pasangan ini.
Seorang pengusaha berhasil punya pengalaman lain
lagi. Setiap kali menerima orang baru sebagai pimpinan puncak, ia senantiasa
semangat dan penuh optimis. Seolah-olah orang baru yang datang pasti bisa
menyelesaikan semua masalah. Akan tetapi, begitu orang baru ini berumur kerja
lebih dari satu tahun, maka mulailah kelihatan busuk-busuknya. Dan ia pun mulai
merasa capek dengan berganti-ganti pimpinan puncak ini.
Digabung menjadi satu, seluruh cerita ini
menunjukkan bahwa kalau motif kita mencari pasangan – entah pasangan hidup
maupun pasangan kerja – adalah mencari
orang yang cocok di semua
bidang, sebaiknya dilupakan saja.
Bercermin dari semua inilah, maka sering kali saya
ungkapkan di depan lebih dari ratusan forum, bahwa fundamen paling dasar dari
manajemen sumber daya manusia adalah manajemen perbedaan. Yang mencakup dua hal
mendasar: menerima perbedaan dan
mentransformasikan perbedaan sebagai kekayaan.
Sayangnya, kendati idenya sederhana, namun
implementasinya memerlukan upaya yang tidak kecil. Ini bisa terjadi, karena
tidak sedikit dari kita yang menganggap diri seperti burung yang bersayap
lengkap. Bisa terbang (baca: hidup dan bekerja) sendiri tanpa ketergantungan pada orang lain. Padahal,
meminjam apa yang pernah ditulis Luciano de Crescendo, kita semua sebenarnya
lebih mirip dengan burung yang bersayap sebelah. Dan hanya bisa terbang kalau
mau berpelukan erat-erat bersama orang
lain.
Anda boleh berpendapat lain, namun pengalaman,
pergaulan dan bacaan saya menunjukkan dukungan yang amat kuat terhadap
pengandaian burung bersayap sebelah terakhir.
Di perusahaan, hampir tidak pernah saya bertemu pemimpin berhasil tanpa kemampuan bekerja
sama dengan orang lain. Di keluarga, tidak pernah saya temukan keluarga
bahagia tanpa kesediaan sengaja untuk “berpelukan”
dengan anggota keluarga yang lain. Di tingkat pemimpin negara orang sehebat
Nelson Mandela dan Kim Dae Jung
bahkan mau berpelukan
bersama orang yang dulu pernah manyiksanya.
Lebih-lebih kalau kegiatan berpelukan ini dilakukan dengan penuh cinta. Ia tidak saja merubah sesuatu yang tidak mungkin
menjadi mungkin, mentransformasikan
kegagalan menjadi keberhasilan, namun juga membuat semuanya tampak indah
dan menyenangkan. Makanya, penulis buku
Chicken Soup For The Couple Soul mengemukakan, cinta adalah rahmat Tuhan yang terbesar.
Demikian besarnya makna dan dampak cinta,
sampai-sampai ia tidak bisa dibandingkan dengan apapun.
Rugi
besarlah manusia yang selama hidupnya tidak pernah mengenal cinta. Ia seperti pendaki gunung
yang tidak pernah sampai di puncak gunung. Capek, lelah, penuh perjuangan namun
sia-sia.
Ini semua mendidik saya untuk hidup dengan pelukan cinta. Di pagi hari ketika baru bangun dan
membuka jendela, saya senantiasa berterimakasih akan pagi yang indah. Dan
mencari-cari lambang cinta yang bisa saya peluk. Entah itu pohon bonsai di
halaman rumah, ikan koi di kolam, atau suara anak yang rajin menonton film
kartun. Begitu keluar dari kamar tidur, akan indah sekali hidup ini rasanya
kalau saya mencium anak atau istri.
Melihat burung gereja yang memakan nasi yang
sengaja diletakkan di pinggir kali, juga menghasilkan pelukan cinta tersendiri.
Demikian juga dengan di kantor, godaan memang ada banyak sekali. Dari marah,
stres, frustrasi, egois sampai dengan nafsu untuk memecat orang.
Namun, begitu saya ingat karyawan dan karyawati
bawah yang bekerja penuh ketulusan, dan menghitung jumlah perut yang tergantung
pada kelangsungan hidup perusahaan, energi pelukan cinta entah datang dari
mana.
Kembali
ke pengandaian awal tentang burung dengan sebelah sayap, Tuhan memang tidak
pernah melahirkan manusia yang sempurna. Kita selalu lebih di sini dan kurang di situ. Atau
sebaliknya. Kesombongan atau keyakinan berlebihan yang menganggap kita bisa
sukses sendiri tanpa bantuan orang lain, hanya akan membuat kita bernasib sama
dengan burung yang bersayap sebelah, namun memaksa diri untuk terbang.
Sepintar
dan sehebat apapun kita, tetap kita hanya akan memiliki sebelah sayap.
Mau belajar, berjuang, berdoa, bermeditasi atau sebesar
dan sehebat apapun usaha kita, semuanya akan diakhiri dengan jumlah sayap yang
hanya sebelah. Oleh karena alasan inilah, saya selalu ingat pesan seorang rekan
untuk memulai kehidupan setiap hari dengan pelukan. Entah itu memeluk anak,
memeluk istri, memeluk kehidupan, memeluk alam semesta, memeluk Tuhan atau di
kantor memulai kerja dengan memeluk orang lain.
*) Terima kasih kepada Ir. Budi Widodo MM, kemenakan yang telah mengirim
tulisan
ini melalui komunikasi
maya/internet pada awak Agusrus 2005.
Lampiran.
Pustakawan, Ulat, Kepompong Dan Kupu-kupu
Oleh
Hernandono
Aku bagaikan ulat daun
Kerjaku cuma makan daun-daun setiap hari
Aku Pustakawan
Kerjaku melayani pemakai perpustakaan sepanjang hari
Ulat rakus makan daun-daun muda
Pustakawan rakus mencari dan mengumpulkan angka kredit
Jadi Pustakawan aku pantang malas bekerja
Dan aku pantang mangkir alasan sakit
Ulat berubah jadi kepompong
Jadi kepompong bukan omong kosong
Aku menjadi kepompong
Pustakawan jadi kepompong naik derajat jadi pejabat
Pustakawan jadi pejabat, secuil barokah sarat amanah digabung
Menjadi kepompong bagaikan hidup di dalam dunia terselubung
Kepompong menggeliat jika disentuh jejari
Rasa suka-cita sedikit rasa geli-geli
Pustakawan menjadi pejabat punya dunia tersendiri
Sekarang aku penguasa, dapat sikat
angka kredit rekan bestari
Tapi aku tidak pernah peduli
Karena aku Pustakawan, sekarang aku penguasa profesi
Beberapa minggu lewat, aku jadi kupu-kupu
Ini proses metamorfosa, ulat jadi kepompong lalu kupu-kupu
Amboi, identik karir Pustakawan pengawal buku-buku
Sekali jadi prajurit, sekali panglima khazanah ilmu
Jika kupu-kupu bertelur di dedaunan
Telur kupu-kupu jadi ulat dan jadi kepompong kemudian
Aku Pustakawan tua meninggalkan Pustakawan muda
Mereka akan terus mengukir karya bagi nusa dan bangsa.
Jakarta, Idul Adha 1426 H, 10 Januari 2006 M.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar