Aswaja Klaim Nahdlatul
Ulama
Pembakuan terhadap Kemapanan dalam Visi
Anak Muda Nahdlatul ‘Ulama*
Imam Ghazali MA
Pembakuan terhadap Kemapanan dalam Visi
Anak Muda Nahdlatul ‘Ulama*
Imam Ghazali MA
Mukaddimah NU sejak berdirinya tahun 1926
mencantumkan istilah aswaja pada Qanun Asasinya.Jadi bagi NU, aswaja adalah
doktrin aqidah yang harus dimengerti, ditanamkan secara benar dan dipertahankan
oleh pimpinan dan para anggotanya. Dalam perkembangan selanjutnya, konsep
Ahlusunnah Waljamaah disingkat Aswaja yang dijabarkan oleh K.H.Bisyri Mustafa
dibakukan menjadi Aswaja versi NU. Menurutnya Aswaja adalah golongan muslim
yang mengikuti rumusan Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al- Maturidi dalam
bidang aqidah dan mengikuti salah satu dari mazhab empat dalam fiqih serta
mengikuti Imam Al-Junaid al-Bagdadi dan Abu Hamid al-Ghazali dibidang tasawuf.
Dan kesemuanya itu menjadi rangkaian kesatuan yang tak dapat dipisahkan.
Tapi anehnya, ulama NU
sejak berdiri sampai saat ini belum sempat melakukan “kajian serius” terhadap
pemikiran para tokoh perumus Aswaja tadi. Kevakuman ini mendorong generasi muda
NU terutama mereka yang mengenyam pendidikan tinggi, seperti Said Aqil, Masdar
F. Mas’udi, Nurhadi Iskandar, Ulil Absar Abdalla dan lain-lain mencoba untuk
melakukan “kajian kritis” terhadap keabsahan rumusan tersebut. Apakah betul
klaim aswaja sebagai doktrin kelompok tradisional (baca NU) ?.
Jauh sebelumnya, Umar Hasyim dalam bukunya Apakah
Anda Temasuk Golongan Ahlussunnah Wal Jamaah menekankan bahwa pengertian
Ahlussunnah Wal Jamaah dianut oleh seluruh umat Islam kalangan Sunni dan
menolak asumsi bahwa Ahlussunnah Wal Jamaah hanya dianut oleh segolongan
tradisional saja.(Lihat, Einar Matahan Sitompul,Mth, NU dan Pancasila,
footnote, hal 70)
Walhasil, dengan
melihat latar belakang intelektualitas para perumus Aswaja model NU dan kondisi
sosialogis masyarakat Indonesia pada awal berdirinya NU, secara apriori ada
satu keyakinan bahwa konsepsi Aswaja model NU tidak dimaksudkan sebagai
defenisi mutlak dan oleh karenanya sangat kondisional dan temporal.
Aswaja dalam Konteks
Historis
Kaum muslimin pada masa Rasullullah SAW adalah
umat yang satu, tidak terkotak-kotak dalam aneka kecenderungan, baik kabilah,
paham keagamaan, ataupun visi sosial politik. Segala masalah yang muncul segera
teratasi dengan turunnya wahyu dan disertai dengan pengarahan dari Rasullulah
SAW. Walaupun tradisi kaum muslimin yang cukup dinamis dan terkendali pada
waktu itu. Konon Rasulullah SAW sering memfrediksi “kondisi nyaman” ini akan
segera pudar sepeninggal beliau. Prediksi Rasullulah SAW itu terungkap dalam
beberapa hadits, yang biasanya diawali dengan kata-kata “saya’ti ala ummati
Zaman” (umatku akan sampai pada suatu masa), “sataf tariqu ummati” (umatku akan
terpecah) dan seterusnya.
Berdasarkan hadits “model Prediksi” itulah
istilah Ahlusunnah Wal Jamaah ditemukan. Rasulullah SAW.bersabda :”Umatku akan
terpecah menjadi 73 golongan, hanya satu golongan yang selamat dan yang lain
binasa”. Ditanyakan :Siapakah golongan yang selamat itu ? Rasulullah menjawab
Ahlussunnah Wal Jamaah. Ditanyakan: apa Ahlussunnah Wal Jamaah itu ?.
Rasulullah menjawab: “apa yang aku dan sahabat-sahabatku lakukan saat ini”
Hadits “iftiraqul ummah” diatas seperti yang dikatakan Abdul Qahir, mempunyai banyak isnad dan banyak sahabat yang meriwayatkannya. Namun demikian, ulama berbeda pendapat tentang keshahihan hadits tersebut.
Hadits “iftiraqul ummah” diatas seperti yang dikatakan Abdul Qahir, mempunyai banyak isnad dan banyak sahabat yang meriwayatkannya. Namun demikian, ulama berbeda pendapat tentang keshahihan hadits tersebut.
Yang pertama: berpendapat dhaif dengan hujjah tak
satu pun dari sekian isnad yang tidak mengandung perawi dhaif . Yang kedua:
berpendapat muhtajju bihi dengan alasan: meskipun tidak satu pun isnad yang
tidak mengandung perawi dhaif tapi banyaknya isnad dan sahabat yang
meriwayatkan, memperkuat dugaan adanya hadits tersebut.(lihat :Al-Baghdady,
Al-farqu Bainal firaq,Hal 7 catatan kaki).
Jadi, jika hadits itu shahih Aswaja sebagai
informasi yang akan muncul kemudian, sudah dikenal sejak masa Rasulullah
SAW,.tetapi Aswaja sebagai realitas komunitas muslim belum ada pada masa itu.
Atau dengan kata lain kaum muslimin pada masa Rasulullah itulah Aswaja;
berdasarkan hadits tadi “ma ana alaihi al-yauma wa ashhabi” bahwa aswaja adalah
sikap dan amalan yang kulakukan sekarang bersama sahabat-sahabatku. Jadi amalan
(Sunnah) Rasul yang bersama para sahabat itulah yang disebut Aswaja. Yaitu
ketika kaum muslimin tidak terkotak-kotak dalam kecenderungan misi politik.
Ternyata setelah beliau wafat, para sahabat sudah terkotak dalam kecenderungan
politik tertentu. Dengan mengikuti logika “asap dan api”, isu “iftiragul ummah”
dari prediksi Rasul menjadi kenyataan dan adanya satu firqah (golongan) yang
selamat, sudah dikenal pada masa sahabat. Akan tetapi klaim sebagai Aswaja
belum ada pada masa sahabat. Dengan demikian pada masa khulafaurrasyidin pun
masih dipertanyakan apakah masuk dalam kriteria ma ana ‘alaihi al-yauma wa
ashhabi ?
Setelah beliau wafat, kecenderungan politik
dengan segala frediksinya mulai tampak ke permukaan, antara golongan Anshar,
Muhajirin, dan Ahlul Bait. Tetapi .frediksi itu segera teratasi, setelah
mayoritas umat sepakat membaiat Abu Bakar, kemudian Umar, Usman, dan Ali
sebagai pimpinan tertinggi kaum muslimin (khalifah-Khulafa). Tetapi itu bukan
berarti frediksi kecenderungan politik pudar pada masa yang dikenal dengan era
Khulafa al-.Rasyidin itu. Frediksi itu terus berkembang dan menunggu waktu yang
kondusif untuk muncul.
Usman yang tewas secara tragis dan naiknya Ali
sebagai khalifah dianggap oleh para sejarawan sebagai titik kulminasi munculnya
friksi politik yang terpendam pada masa Abu Bakar dan Umar. Kejadian ini
dikenal dengan Fitnah Kubra yang pertama. Dan dari sinilah visi politik kaum
muslimin sulit dipadamkan bahkan mengarah pada konfrontasi yang terus menerus.
Berangkat dari konfrontasi fitnah kubra I yang
segera diikuti perang shiffin sebagai fitnah kubra II, visi dan friksi politik
kaum muslimin sudah sulit untuk disatukan kembali. Semua golongan yakin akan
“kebenaran” visi politiknya. Atas dasar keyakinan itulah semua golongan
membangun tradisi intelektual dari semua lini disiplin ilmu keislaman yang
berkembang. Masing- masing golongan sibuk meligitiasi Qur’an, hadits dan atsar
para sahabat sesuai dengan kecenderungan politik mereka masing-masing.
Landasan tradisi intelektual diatas, akhirnya
semakin kokoh, setelah kaum muslimin berinteraksi dengan ragam budaya lokal,
seperti Parsi, India, Asyuri, Finiqi, Zoroaster Masehi, Yahudi, dan yang paling
menonjol adalah tradisi Hellenisme Yunani.
Kapan Klaim Aswaja pada Suatu Golongan Tertentu Muncul ?
Pendapat pertama: Sejak akhir Khulafatur-Rasyidin sampai tumbangnya Dinasti Umayah, komunitas aswaja sebetulnya belum muncul. Istilah ini juga tidak dikenal dalam pengajian (halaqah-halaqah) Hasan al-Basri (22-110 H). Komunitas yang paling menonjol pada masa Dinasti Umayah adalah:Umayah. Alawiyyin yang berkoalisi dengan Abbasiyyin menjadi Hasyimiyyin, Mu’tazilah, Hasyawiyah, Khawarij, dan Ahlul Hadits.
Kemudian pada awal Dinasti Abbasiyah komunitas Ahlul-Hadits mulai nampak eksistensinya. Ini berawal sejak digulirkannya mihnah khuluqul Al-Quran oleh imam Ahmad bin Hanbal sebagai tokoh sentralnya.
Kapan Klaim Aswaja pada Suatu Golongan Tertentu Muncul ?
Pendapat pertama: Sejak akhir Khulafatur-Rasyidin sampai tumbangnya Dinasti Umayah, komunitas aswaja sebetulnya belum muncul. Istilah ini juga tidak dikenal dalam pengajian (halaqah-halaqah) Hasan al-Basri (22-110 H). Komunitas yang paling menonjol pada masa Dinasti Umayah adalah:Umayah. Alawiyyin yang berkoalisi dengan Abbasiyyin menjadi Hasyimiyyin, Mu’tazilah, Hasyawiyah, Khawarij, dan Ahlul Hadits.
Kemudian pada awal Dinasti Abbasiyah komunitas Ahlul-Hadits mulai nampak eksistensinya. Ini berawal sejak digulirkannya mihnah khuluqul Al-Quran oleh imam Ahmad bin Hanbal sebagai tokoh sentralnya.
Dari paparan diatas, diskursus pemikiran yang
paling menonjol dan berpengaruh pada tatanan sosial dan politik pada abad kedua
dan ketiga Hijriyah (masa Abbasiyah I) adalah rasional Mu’tazilah yang berhadapan
dengan golongan tektualis Ahlus Hadits Hanabilah. Golongan terakhir inilah
kemudian mengklaim diri mereka sebagai aswaja.
Pendapat kedua; Menurut Abu Hatim Ar-Razi, seorang penganut Syiah Ismailiyah (wafat 322 H), tema Aswaja mulai populer dikalangan bani Umayyah setelah padamnya pemberontakan Hasan, Husein dan Ibnu Zubair. Pendukung Bani Umayyah berkata,“kami adalah ahlul Jamaah Siapa menentang kami berarti menentang umat dan meninggalkan sunnah.Kami adalah ahlusunnah wal Jamaah”. Ar-Razi mengomentari peristiwa itu dengan mengatakan, “maksud mereka adalah menyepakati satu pemimpin meskipun berbeda pendapat dan mazhab” (lihat Ibrahim Hâkat, Assiyâsah wa Al-Mujtamâ’fi ‘Ashri Al-Umawy, hal .295) Dengan mengacu pada pendapat Ar.-Razi, berarti klaim aswaja pertama kali dimunculkan oleh bani umayyah untuk menunjuk pada golongan politik dan bukan aqidah.
Pendapat kedua; Menurut Abu Hatim Ar-Razi, seorang penganut Syiah Ismailiyah (wafat 322 H), tema Aswaja mulai populer dikalangan bani Umayyah setelah padamnya pemberontakan Hasan, Husein dan Ibnu Zubair. Pendukung Bani Umayyah berkata,“kami adalah ahlul Jamaah Siapa menentang kami berarti menentang umat dan meninggalkan sunnah.Kami adalah ahlusunnah wal Jamaah”. Ar-Razi mengomentari peristiwa itu dengan mengatakan, “maksud mereka adalah menyepakati satu pemimpin meskipun berbeda pendapat dan mazhab” (lihat Ibrahim Hâkat, Assiyâsah wa Al-Mujtamâ’fi ‘Ashri Al-Umawy, hal .295) Dengan mengacu pada pendapat Ar.-Razi, berarti klaim aswaja pertama kali dimunculkan oleh bani umayyah untuk menunjuk pada golongan politik dan bukan aqidah.
Pendapat ketiga;
Muhammad Abduh dalam Risalat at tauhid menjelaskan bahwa aswaja adalah klaim
pendukung dan pengikut Al-Asy’ari (wafat 303 H) seperti Imam Haramain, Al-
Isfiayny dan Abu Bakar Al-Baqilany untuk pendapat beliau. (lihat Muhammad
Abduh, Risâlatut Tauhid, hal 11).Secara implisit Abduh mengatakan bahwa tema
aswaja baru muncul pada awal abad empat, dan untuk menunjuk golongan aqidah.
Dari pendapat kedua dan ketiga dapat disimpulkan bahwa istilah aswaja belum ada
pada masa pemulaan Islam. Sebab pada waktu itu umat Islam masih dalam kondisi
Ummatun Wahidah.
Perpecahan umat Islam akibat perbedaan haluan
politik pada masa sahabat memang melahirkan kelompok-kelompok. Akan tetapi tak
satu pun kelompok diberi nama Aswaja. Baru pada masa pemerintahan dinasti
Umayyah, kelompok itu mengklaim dirinya sebagai kelompok Aswaja. Begitu juga
ketika Ma’bad Al-Juhany, Ghoylan Ad-Dimasyqy dan Yunus Al-Asway pada masa akhir
sahabat mempermasalahkan qadla dan qadar (lihat Syahrasyatany, Milal wan
Nihal,hal.22), lahir kelompok-kelompok dengan aqidah masing-masing. Namun tak
satu pun kelompok yang dijuluki sebagai Aswaja. Baru setelah Asy’ari
memodernisasi ekstrem aqal dan ekstrem naql dalam aqidahnya, para pengikutnya
memproklamirkan diri sebagai Aswaja. Dari fakta diatas ada indikasi bahwa
munculnya klaim Aswaja merupakan upaya mendapatkan kemenangan psikologis bagi
suatu golongan.
Siapakah Ahlussunnah
Wal Jamaah ?
Hadits prediksi Rasul tentang iftiraqul ummah
tidak menunjuk dengan sharih orang-orang yang termasuk dalam golongan Aswaja.
Ia hanya memberikan petunjuk secara global bahwa Aswaja adalah orang-orang yang
mengikuti “jejak Nabi dan Sahabat” bisa berbeda antara satu orang dengan yang
lain atau satu golongan dengan golongan lain.
Secara etimologis Ahlussunnah Wal Jamaah terdiri
dari tiga kata, yaitu: ahl; keluarga, kelompok, golongan, dan komunitas,
al-sunnah; tradisi, jalan, kebiasaan dan perbuatan sedang al-jamaah; kebersamaan,
kolektifitas, komunitas, mayoritas dan lain-lain. Tiga rangkaian kata diatas,
kemudian berkembang menjadi istilah bagi sebuah komunitas muslim yang secara
konsisten bepegang teguh kepada tradisi (sunnah) Nabi Muhammad Saw dan sebagai
landasan normatif setelah Al-Qur.’an, dan selalu mengikuti alur pemikiran dan
sikap mayoritas kaum muslimin. Dengan kata lain Ahlussunnah adalah golongan
mayoritas. Bila bani Umayyah mengklaim sebagai kelompok mayoritas maka Syiah
pun membalasnya dengan klaim yang sama. Bahkan mereka mengatakan bahwa bani
Umayyah adalah kelompok separatis. (Ibahim Haokat,As-Siyasah wal Mujtama’ i
Ashil Umawy, hal 318)
Jadi pendefenisian Aswaja oleh bani Umayyah tidak mereduksi globalitas konsep Aswaja dalam hadits. Aswaja masih saja tidak mempunyai ciri dan karakteristik tertentu yang bisa menunjuk pada kelompok tertentu.
Jadi pendefenisian Aswaja oleh bani Umayyah tidak mereduksi globalitas konsep Aswaja dalam hadits. Aswaja masih saja tidak mempunyai ciri dan karakteristik tertentu yang bisa menunjuk pada kelompok tertentu.
Konsepsi Aswaja baru
mendapatkan karakteristik politis dan theologis ketika para pendukung Asy’ari
memproklamasi kan diri sebagai Aswaja. Meskipun Asy’ari dikenal sebagai
theolog,wa bittalii mazhab yang didirikan adalah mazhab theologi, akan tetapi
perbedaan umat Islam dalam aqidah pada waktu itu interen dengan perbedaan
politis. Sehingga mazhab theologi Asya’ri juga mencakup pendapat beliau tentang
khilafah .
Al-Baqdhadi (wafat29 H) dalam alfarqu bainal
firaq, mengembangkan cakupan Aswaja dan Beliau tidak memasukkan merumuskan
konsepnya dengan karakteristik yang lebih jelas. Menurutnya ada lima belas
pokok aqidah yang harus diketahui oang mukallaf. Dan orang yang mempunyai
pendapat berbeda dengan 15 aqidah tersebut maka orang itu tersesat.Beliau juga
membagi kelas kelas Aswaja menjadi delapan yaitu: mutakallimin, fuqaha,
muhaditsin,mufassirin,ulamaahl lughah, mutashawwifin, orang-orang yang berjihad
dan orang-orang yang mengikuti pendapat ulama Aswaja.
Beliau tidak memasukkan Khawarij, Qadariyyah,
Syi’ah dan lain-lain dalam kelompok Aswaja karena menurutnya mereka adalah
orang-orang yang mencela, mengfasikkan para sahabat bahkan mengkafirkannya.
Padahal Aswaja adalah orang yang mengikuti jejak sahabat.
Ada beberapa catatan
yang perlu disampaikan bahwa:
1.Dalam menafsirkan Aswaja ,Al-Bagdâdy tidak menyebut-nyebut dalil naqli. Penafsirannya hanya didukung pemahaman aqal terhadap lafadz ashhaby.
2.Al-Bagdady memasukkan kelompok mutasawwifin dalam kelompok aswaja, padahal fuqaha menentang keras aliran tersebut.
3.kelima belas kelompok yang ditetapkan Al-Bagdady adalah masalah-masalah yang sedang diperdebatkan.
1.Dalam menafsirkan Aswaja ,Al-Bagdâdy tidak menyebut-nyebut dalil naqli. Penafsirannya hanya didukung pemahaman aqal terhadap lafadz ashhaby.
2.Al-Bagdady memasukkan kelompok mutasawwifin dalam kelompok aswaja, padahal fuqaha menentang keras aliran tersebut.
3.kelima belas kelompok yang ditetapkan Al-Bagdady adalah masalah-masalah yang sedang diperdebatkan.
Jadi dari pembahasan
diatas bisa disimpulkan bahwa perumusan Aswaja yang kemudian dibakukan adalah
pengintian masalah-masalah aqidah yang sedang diperdebatkan dan penetapan salah
satu pendapat yang dianggap sesuai dengan pendapat mayoritas sahabat.
Konsep Aswaja Versi NU
Konsep Aswaja Versi NU
“Hai para ulama dan pemimpin yang takut kepada
Allah dari kalangan Ahlussunnah Wal Jamaah dan pengikut mazhab imam empat!
Kalian sudah menuntut ilmu agama dari orang-orang yang hidup sebelum
kalian,begitu pula generasi sebelumnya dengan bersambung sanadnya sampai pada
kalian. Begitu juga kalian harus melihat dari siapa kalian menuntut ilmu agama
Islam. Karena dengan cara menuntut ilmu pengetahuan seperti itu maka kalian
menjadi pemegang kuncinya, bahkan menjadi pintu gerbangnya ilmu agama Islam.
Oleh karenanya janganlah memasuki satu rumah kecuali melalui pintunya. Barang
siapa yang memasuki satu rumah tidak melalui pintunya maka ia adalah pencuri”.
(Einar,opcit,hal 69).Demikian Hadatus Syekh Hasyim Asy’ari mulanya merumuskan
aswaja.
Yang menarik dari
perumusan diatas adalah disebutkannya Pengikut Imam Mazhab Empat. Ini satu
indikasi bahwa penekanan aswaja mulanya pada permasalahan figh yang dalam hal
ini adalah masalah taqlid terhadap imam empat. Hal ini bisa dimengerti karena
perbedaan esensial yamg terjadi antara kelompok pembaharu dengan kelompok
tradisional adalah masalah taqlid dan ijtihad.
Tetapi mengapa hanya
pendapat imam yang empat dianut? Jawaban yang sering terdengar adalah hanya
imam empat itulah yang mazhabnya terkodifikasi lengkap sehingga sampai ke
tangan kita dengan selamat. Adapun mazhab lainnya belum terkodifikasi secara
lengkap sehingga pendapatnya tidak utuh sampai ke tangan kita. Kalau benar ini
alasannya, maka ada satu kejanggalan, mengapa madzhab Ad-Dzahiri dengan mengacu
kitab al-Muhallâ Ibnu Hazm tidak diikuti. Padahal Ibnu Hazm juga disebut oleh
Al-Baghdadi sebagai ulama Ahlussunnah.
Jika NU merumuskan Aswaja dengan menyebut para tokoh bersama rumusannya sebagai panutan yang harus diikuti dapat diartikan bahwa NU ingin memadukan pemahaman ajaran islam yang mengandung unsur-unsur yang terjadi pada abad II, III, IV, V, dan VI Hijriyah.
Jika NU merumuskan Aswaja dengan menyebut para tokoh bersama rumusannya sebagai panutan yang harus diikuti dapat diartikan bahwa NU ingin memadukan pemahaman ajaran islam yang mengandung unsur-unsur yang terjadi pada abad II, III, IV, V, dan VI Hijriyah.
Definisi yang dirumuskan (hasil penjabaran
KH.Bisyri Mustafa) adalah sebagai berikut : satu, menganut ajaran-ajaran imam
madzhab dari salah satu empat madzhab dalam bidang fiqih. Kedua, menganut
ajaran Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi dalam bidang
tauhid. Ketiga, menganut dasar-dasar ajaran Imam Abu Qasim Al-Junaidy dan
Ghazali dalam bidang tasawwuf.
Rumusan pada point kedua menegaskan corak
ke-Aswaja-an NU dan sikap kaum tradisional terhadap gerakan pembaruan, sedang
pada point ketiga merupakan sikap penerimaan NU terhadap paktek tasawuf dengan
menyeleksi tasawuf yang benar.
Bila kita bandingkan dengan konsepsi Aswaja
Al-Baghdadi, setidaknya ada dua hal yang berbeda ; Pertama, Aswaja versi NU
tidak menyebutkan pandangannya tehadap masalah khilafah. Hal ini bisa
dimengerti, karena Islam yang masuk di Indonesia bukan Islam Syiah juga bukan
Khawarij oleh karenanya perbedaan umat Islam di Indonesia tidak berkisar pada
masalah itu. Kedua, Aswaja model NU langsung dengan jelas menunjuk pada aliran
tasawuf tertentu, yang itu tidak masuk dalam konsepsi Aswaja Al-Baghdadi. Jadi
mengacu pada hal diatas bisa disimpulkan bahwa Aswaja model NU di satu sisi
merupakan reaksi terhadap gerakan pembaruan dan di sisi lain merupakan
pengakuan tehadap praktek keagamaan yang berkembang saat itu.
Jika rumusan NU diatas
dimaksudkan mendefinisikan Aswaja, maka definisi itu mengandung beberapa
kelemahan; pertama, para imam madzhab fiqih tidak mungkin
secara teologis mengikuti rumusan al-Asy’ari dan al-Maturidi, karena masa hidup
imam madzhab itu jauh lebih awal sebelum Al-Asy’ari lahir malah yang terjadi
Al-Asy’ari dalam fiqih mengikuti Imam Syafi’i, dan al-Maturidi mengikuti
madzhab Hanafi. Kedua, Imam Junaidi tidak mungkin mengikuti teologi al-Asy’ari
dan Al-Maturidi, karena yang pertama hidup satu abad sebelum tokoh kedua dan
ketiga lahir. Junaidi juga tidak dikenal sebagai pengikut salah satu mazhab
fiqih. Ketiga, Al-Ghazali walau pun sebagai pelanjut teologi al-Asy’ari dan
pengikut madzhab Syafi’i dalam kategori tasawuf, ia bisa dikategorikan sebagai
pengembang teori tasawuf liberal, seperti yang dikembangkan al-Hallaj. Keempat,
rumusan teologi al-Asya’ri sampai saat ini masih simpang siur. Dalam kitab
al-Ibanah, ia secara gamblang mengecam Mu’tazilah karena sering mentakwil
ayat-ayat mutasyabihat, seraya memuji Ahmad bin Hambal yang tak mau mentakwil.
Ia sendiri menisbatkan diri sebagai pelanjut perjuangan Ahmad bin Hambal.
Tetapi dalam kitab Al-Luma’ dan Istihsan, ia mentakwil ayat-ayat mutasyabihat,
dan memuji Mu’tazilah sebagai golongan Islam yang cerdas dan berjasa
membentengi aqidah Islam dari serangan teologi Masehi, Yahudi, Hellenisme, dan
lain-lain. Dalam dua kitab itu, ia menuduh kelompok Hambali , sebagai “bodoh”
dan jumud.
Dilain pihak, golongan Al-Asya’ari dan
al-Maturidi dituduh sebagai zindiq yang menyesatkan kaum muslimin. bahkan Ibnu
Taimiyah dalam beberapa kitabnya mengkafir-kan Al-Asy’ari, jadi studi terhadap
pemikiran teologi Al-Asy’ari masih perlu diungkap secara tuntas.
Buku-buku yang terbit di Saudi Arabia cenderung
untuk mengatakan bahwa teologi Asy’ari tidak berbeda dengan teologi yang
dikembangkan oleh Ahmad bin Hambal dan Ibnu Taimiyah. Studi komprehensif
tentang Al-Asy’ari ditulis oleh Dr. Hamudah Gharabah menyimpulkan bahwa
al-Asy’ari merupakan pemikir yang mampu mengambil jalan tengah antara
kecenderungan filosofis dan tektualis dalam menganalisa sifat-sifat dan
kekuasaan Tuhan. Kiranya pendapat terakhir inilah yang dianut oleh warga NU.
Penutup: Agenda Aswaja
di Era Modern
Rumusan NU diatas, walaupun mengandung beberapa
kelemahan, harus dipahami sebagai upaya dini untuk merespons perkembangan
pemikiran yang tak akan keluar dari bingkai pemaduan secara seimbang antara
landasan normatif Qur’an dan Hadits, dan pengembangan penalaran. Rumusan ini
juga harus dipahami sebagai metode untuk menyeleksi budaya lokal dan budaya
asing yang masuk ke dunia Islam yang selalu berkembang.
Karena rumusan itu kita anggap mengikuti metode
berpikir pada tokoh, maka harus ada terobosan untuk merenovasi dalam berbagai
bidang pemikiran, dengan tujuan kemaslahatan kaum muslimin secara menyeluruh
dan melindungi hak-hak asasi manusia, sebagai realisasi Islam yang membawa
rahmat bagi alam semesta.
Hal yang paling mendesak untuk dirumuskan pada
era modern ini adalah sebagai berikut, pertama, hubungan Islam dan negara yang
sudah terkotak dalam nation state. Kedua, hubungan Syari’ah Islam dengan hukum
publik baik nasional maupun internasional. Ketiga, konsep pemberdayaan rakyat
menuju masyarakat yang musyawarah dan terbebas dari belenggu penghambaan.
Keempat, konsep keadilan ekonomi, politik dan hukum.
Ketika perdebatan
aqidah makin marak dengan munculnya aliran Qadariyah dan Jabariyah, lahirlah
al-Asy’ari seorang teolog yang ingin mengembalikan pemahaman aqidah seperti
pemahaman kaum salaf dengan memoderasi eksterm aqal dan ekstrem naql. Oleh
pengikut dan pendukung nya, pendapat-pendapat beliau diklaim sebagai Aswaja.
Awalnya pengertian Aswaja hanya sebatas pada kelompok aqidah, namun kemudian
berkembang dan mencakup kelompok dalam mazhab fiqih.
Konsep Aswaja baru mempunyai ciri dan
karakteristik tertentu setelah al-Baghdady merumuskan beberapa aqidah yang
menjadi ciri khas Aswaja. Akan tetapi perumusan Al- Baghdady lebih banyak
didasarkan pada pelacakan terhadap kelompok mayoritas pada setiap era.
Perumusan berikutnya
dilakukan NU yang intinya merupakan penyempitan terhadap konsep Aswaja
Al-Baghdady. Hal itu terjadi karena dasar keberdirian NU dari satu sisi
merupakan reaksi terhadap gerakan pembaruan dan sisi lain merupakan pengakuan
terhadap praktek keagamaan yang berlaku saat itu. Oleh karena itu Aswaja model
NU tidak bersifat mutlak dan universal. Dan bisa juga Aswaja NU direvisi
mengingat perkembangan keislaman yang terjadi. Bahkan boleh jadi konsep Aswaja
ditiadakan karena akan mempersempit cakupan Aswaja itu sendiri. Wal- Lâhu al
musta’ân
Sejarah singkat aliran Maturidiyah
Dengan memperhatikan secara seksama sejarah aliran
Maturidiyah, secara jelas akan terbukti bahwa pemikiran-pemikiran teologis
aliran ini bersumber dari Abu Hanifah. Karena sebelum masuk ke dalam
pembahasan-pembahasan fikih, Abu Hanifah pernah memiliki halaqah kajian
teologi. Sejak awal ketika masalah-masalah teologi secara sederhana muncul di
tengah-tengah Islam, pada waktu itu sudah terbentuk dua kelompok di
tengah-tengah kaum muslimin.
1. Kelompok
Ahlul Hadis yang dikenal dengan Hasywiah, Salafiah dan Hanabilah. Kelompok ini,
seluruh keyakinannya disandarkan kepada makna-makna lahir dari ayat-ayat Qur’an
dan sebagian besar dari keyakinan tersebut bersumber dari hadis. Mereka tidak
menganggap akal sebagai sesuatu yang bernilai, dan jika di dalam kelompok ini
ditemukan keyakinan-keyakinan seperti menyerupakan Tuhan dengan makhluk
(tasybih) dan menganggap Tuhan adalah benda (tajsim), keterpaksaan atau
determinisme (jabr), berkuasanya qadha dan qadar atas perilaku-perilaku bebas
manusia, dan atau bersikeras atas keyakinan berkenaan dengan bahwa Tuhan dapat
dilihat di hari kebangkitan, semuanya adalah akibat-akibat dari hadis-hadis
yang tersebar di antara mereka, dan biasanya jejak tangan ulama-ulama Yahudi
dan pendeta-pendeta Nasrani terlihat di dalam hadis-hadis tersebut. Mereka
meyakini bahwa kalam Ilahi (Qur’an) adalah sesuatu yang sudah ada sebelum
diciptakannya semesta ini (qadim). Seperti halnya kebanyakan orang Yahudi
menganggap Taurat sebagai sesuatu yang ada tanpa didahului oleh sesuatu apapun
(azali) dan begitu juga orang-orang Nasrani yang menganggap Al Masih azali,
mereka juga menganggap Al Qur’an sebagai qadim dan azali.
2. Kelompok
Mu’tazilah yang menganggap akal sebagai sesuatu yang berharga dan bernilai,
mereka menolak hadis dan riwayat yang bertentangan dengan hukum akal, dan
sumber keyakinan-keyakinan mereka diambil dari teks-teks ayat Qur’an dan hadis
Nabi Saw yang pasti dan juga dari hukum akal. Sesuatu yang perlu dikritisi dari
mereka adalah sikap mereka yang memberikan penilaian terlalu tinggi terhadap
akal melebihi kapasitasnya dan begitu banyak teks-teks Qur’an yang pasti yang
ada di syariat suci Islam dikesampingkan, karena dianggap muatannya mengandung
pemikiran yang bertentangan dengan akal.
Bertahun-tahun
lamanya berlangsung peperangan pemikiran yang tiada hentinya di antara kedua
kelompok ini, dan kemenangan salah satu kelompok atas kelompok yang lainnya
bergantung kepada bantuan-bantuan para penguasa di masa lalu; penguasa-penguasa
tersebut berpihak kepada salah satu kelompok dan berusaha melemahkan kelompok
yang lain.
Pertarungan ini
berlanjut dengan intensitas yang semakin tinggi sampai permulaan abad 300
Hijriah, akan tetapi pada permulaan abad keempat, dua orang yang berasal dari
dua wilayah yang berbeda menunjukkan dirinya dan melahirkan sebuah aliran yang
pada hakikatnya adalah sebuah aliran yang moderat dan tidak berpihak kepada dua
aliran sebelumnya, baik itu Ahli Hadis ataupun Mu’tazilah. Salah satu dari dua
orang ini adalah Abul Hasan Asy’ari (260-324 Hijriah) di Irak yang keluar dari
aliran Mu’tazilah dan bertobat karena telah meyakininya, dan mengumumkan
dirinya sebagai kawan dan pendukung Ahmad bin Hanbal, dan saat ini terdapat
campur tangan dalam aliran Ahmad bin Hanbal dan secara perlahan aliran ini
menjadi aliran resmi Ahlu Sunnah. Dan orang yang kedua adalah Abu Mansur
Maturidi Samarqandi (250-333 Hijriah) di belahan timur dunia Islam, seorang
pendukung aliran Ahli Hadis yang melakukan persis apa yang dilakukan oleh
koleganya Asy’ari, dan yang luarbiasa adalah walaupun kedua orang pendiri ini
hidup pada satu masa yang sama dan melangkah pada satu jalan yang sama, akan
tetapi mereka tidak saling mengenal satu dengan lainnya.
Wilayah timur
dunia Islam saat itu adalah pusat pembahasan masalah-masalah teologi, seperti
juga halnya Basrah yang merupakan tempat lahirnya Asy’ari adalah titik
pertemuan pandangan-pandangan keyakinan yang berbeda-beda, dan begitu juga
pemikiran-pemikiran asing yang masuk ke dalam Islam dari Negara-negara yang
berbeda pada saat kemenangan-kemenangan yang diraih Islam sebagai
pemikiran-pemikiran impor yang berpindah ke dunia Islam.
Dari sisi
fikih, aliran Hanafi menyebar di daerah Khurasan secara sempurna, pada saat
yang sama kebanyakan penduduk Basrah bermazhab Syafi’i, dari sudut pandang ini
para pengikut mazhab Hanafi memiliki kecenderungan yang tinggi kepada aliran
Maturidiyah, sedangkan para pengikut mazhab Syafi’i lebih dari yang lainnya
memilih aliran Asy’ari. Sebagian dari pemikiran aliran Maturidiyah diperoleh
dari Abu Hanifah dan terpengaruh oleh bukunya yang berjudul Fiqhul Akbar yang
membahas permasalahan keyakinan. Oleh karena itu kebanyakan pengikut aliran
Maturidiyah hidup di Khurasan dan dalam masalah fikih mereka adalah pengikut
mazhab Hanafi, seperti:
1. Fakhrul
Islam Muhammad bin Abdul Karim Bazwadi (493 Hijriah).
2. Abu Hafs
Umar bin Muhammad Nasafi (573 Hijriah).
3. Sa’adudin
Taftazani (791 Hijriah).
4. Kamaludin
Ahmad Bayadzi (abad 11).
5. Kamaludin
Muhammad bin Himamudin (861 Hijriah).
Dengan
memperhatikan dengan seksama sejarah aliran Maturidiyah, secara jelas terbukti
bahwa ia dan pemikiran-pemikiran teologisnya bersumber dari Abu Hanifah, karena
sebelum terjun ke dalam pembahasan fikih, Abu Hanifah memiliki lingkaran
pengkajian teologi, dan ketika ia berhubungan dengan Hamad bin Abi Sulaiman ia
meninggalkan kajian teologinya dan masuk ke dalam pembahasan fikih.
Bukan hanya
Maturidi saja yang keyakinan-keyakinan teologinya bersumber dari Abu Hanifah,
akan tetapi orang yang sezaman dengannya, Abu Ja’far Thahawi (321 hirjiah)
penulis buku Keyakinan-keyakinan Thahawiah, pemikiran-pemikiran teologinya juga
bersumber dari Abu Hanifah, sampai-sampai di pendahuluan bukunya ia mengatakan:
"risalah ini adalah keyakinan para ahli fikih umat Islam, selepas itu ia
mengutip nama Abu Hanifah dan dua murid terkenalnya Abu Yusuf dan Muhammad bin
Hasan Syaibani."[1] Abdul Qahir Baghdadi penulis buku Al Farqu baina Al
Firaq dalam bukunya yang lain yang bertema Ushuludin mengingatkan bahwa Abu
Hanifah memiliki sebuah buku berjudul Al Fiqhul Akbar yang di dalamnya ditulis
sanggahan bagi aliran Qadariah, dan dalam karyanya yang lain membenarkan
kayakinan Ahlu Sunnah dalam sebuah permasalahan.[2] Akan tetapi karya-karya
yang diwariskan Abu Hanifah bukan hanya dua buku ini saja.
Dikarenakan
permasalahan-permasalahan teologi di dalam buku Abu Hanifah tidak tersusun
dengan tertib, Kamaludin Bayadzi di abad kesebelas Hijriah menertibkan
masalah-masalah tersebut dan menulis buku bertajuk Isyaratul Maram min Ibaratil
Imam, dan dalam buku tersebut dikatakan: "saya menyusun dan menertibkan
masalah-masalah ini dengan bersandar kepada buku-buku: 1. Al Fiqhul Akbar 2. Ar
Risalah 3. Al Fiqhul Absath 4. Kitabul Alim wal Mutaalim 5. Al Wasiat, yang
kesemuanya itu dikutip dari Abu Hanifah dengan perantara Masyaikh."[3]
Dari semua yang
telah kita saksikan, jelas bahwa akar dan pondasi aliran Maturidiyah secara
khusus kembali kepada aliran ini sendiri dan dengan cara tertentu kembali
kepada Abu Hanifah; dan seperti yang akan kita saksikan, aliran ini adalah
aliran yang moderat yang tidak memihak Ahli Hadis maupun Mu’tazilah. Lebih dari
itu, bahkan akan kita saksikan bahwa aliran ini dalam metode berpikir lebih
dekat kepada Mu’tazilah ketimbang aliran Ahli Hadis.
Riwayat hidup Maturidi
Hasil
penelaahan kitab-kitab Tarajim membawa kita kepada sebuah keyakinan bahwa
pendiri aliran ini tidak memiliki popularitas yang sempurna di masa hidupnya
dan di kemudian haripun para ahli Tarajim tidak banyak yang merekam
kehidupannya, padahal semua penulis biografi menulis riwayat hidup Asy’ari dan
mengingatnya dengan cara tertentu. Mungkin masalahnya adalah bahwa Maturidi
tinggal jauh dari ibu kota Islam pada waktu itu yaitu Irak, sedangkan Asy’ari
lahir di ibu kota Islam dan meniggal juga di tempat yang sama, dan teman-teman
serta musuh-musuhnya mengingatnya dengan cara tertentu.
Ibnu Nadim (388
M) di dalam bukunya Al Fihrist tidak mengutip tentang Maturidi, sedangkan ia
membawakan riwayat berkenaan dengan Asy’ari walaupun secara singkat. Buku Syeikh
Thahawi pemimpin para pengikut mazhab Hanafi di Mesir banyak diminati dan
banyak ditulis syarah untuknya, akan tetapi hal tersebut tidak terjadi pada
buku-buku Maturidi, dari sudut pandang ini kita melihat bahwa para penerjemah
seperti:
1. Ibnu Khalkan
(681) penulis buku Wafayatul A’yan.
2. Sholahudin
Shafdi (764) penulis buku Al Wafi bil Wafayat.
3. Taqiudin
Islami (774) penulis buku Al Wafayat.
4. Ibnu Khaldun
(808) penulis buku Muqadimah wa Tarikh.
5. Jalaludin
Suyuthi (911) penulis buku Thabaqatul Mufasirin.
Demikian pula
para penulis yang lain, tidak mengutip tentang Maturidi, padahal mereka
mengutip orang-orang yang secara keilmuan lebih rendah darinya. Bahkan orang
yang menerjemahkan masalah yang berkenaan dengannya, tidak mengutipnya secara
terperinci, dan apa yang penulis bisa peroleh dari buku-buku yang berkenaan
dengan kehidupannya adalah apa yang tertulis di sini.
Kelahiran
Para penulis
riwayat hidup Maturidi mengatakan bahwa ia meninggal dunia pada tahun 333,
sedangkan berkenaan dengan tahun kelahirannya mereka tidak menulis apapun. Akan
tetapi dapat dikatakan bahwa ia lahir kira-kira pada tahun 248 atau 250, karena
ia menukil hadis dari Nasir bin Yahya Balkhi dan ia meninggal pada tahun 268.
Jika Maturidi pada waktu itu berumur 20 tahun, dapat dipastikan bahwa tahun
kelahirannya adalah apa yang telah disebutkan.
Tempat kelahiran
Ia dilahirkan
di sebuah tempat yang bernama Maturid yang merupakan salah satu bagian dari
Samarqand di Mawara Al Nahr (wilayah yang termasuk Asia Tengah, yang sekarang
kira-kira adalah wilayah Uzbekistan, sebagian dari Turkmenistan dan
Kazakhstan), dan setelah itu ia dikenal dengan nama-nama seperti Maturidi
Samarqandi atau Alamul Huda, dan secara nasab ada kemungkinan bersambung ke Abu
Ayub Anshari, orang yang rumahnya menjadi tempat persinggahan Rasulullah
Saw.[4]
Pendidikan
Dalam aqidah,
teologi dan fikih ia mengikuti imam mazhabnya sendiri yaitu Abu Hanifah, dan
belajar dari orang-orang seperti:
1. Abu Bakr
Ahmad bin Ishaq Juzjani
2. Abu Nasr
Ahmad bin Al Ayadz
3. Nasir bin
Yahya muridnya Hafs bin Salim bapaknya Maqatil
4. Muhammad bin
Maqatil[5]
Teologi Ahlu
Sunnah adalah hasil rancangan dan bangunan dua orang, yang pertama bermazhab
Hanafi dan yang kedua bermazhab Syafi’i, yang bermazhab Hanafi yaitu Abu Mansur
Maturidi dan yang Syafi’i Abu Al Hasan Asy’ari.[6]
Muslihudin
Qastilani mengatakan orang yang paling terkenal dalam masalah ilmu teologi di
tanah Khurasan, Irak, Syam dan sebagian besar wilayah yang lain adalah Abu Al
Hasan Asy’ari dan di Mawara Al Nahr adalah Abu Mansur Maturidi.[7]
Zubaidi
mengatakan setiap kali kata Ahlu Sunnah diucapkan, yang dimaksud adalah
Asy’ariah dan Maturidiyah.[8]
Murid-murid
Sekelompok
teolog pernah mengecap pelajaran darinya, di antaranya adalah nama-nama ini:
1. Abu Al
Qasim, Ishaq bin Muhammad dikenal dengan Hakim Samarqandi (340).
2. Imam Abu Al
Laits Bukhari.
3. Abu Muhammad
Abdul Karim bin Musa Bazdawi. Ia adalah kakek dari jalur bapak Muhammad bin
Muhammad bin Al Husein bin Abdul Karim Bazdawi penulis buku Ushuludin, dalam
buku ini ia berkata: aku telah membaca buku Tauhid Abu Mansur Maturidi
Samarqandi dan itu sesuai dengan mazhab Ahlu Sunnah. Ayahku dari kakeknya Abdul
Karim bin Musa menukil tentang keajaiban yang dimiliki Abu Mansur Maturidi, dan
kakek kami belajar tentang maksud-maksud dari buku-buku Masyaikh, buku Tauhid
dan buku Ta’wilat[9] dari Abu Mansur Maturidi. Apa yang ada adalah bahwa buku
Tauhid Maturidi bukannya kosong dari ketertutupan, dan jika ia jauh dari
ketertutupan, kita sudah mencukupkan diri dengan buku tersebut.
Karya-karya Maturidi
Abu Mansur
mewariskan banyak karya dan yang ada sekarang tidak lebih dari tiga buku saja,
dua di antaranya sudah dicetak dan yang lainnya masih berupa tulisan tangan.
1. Buku Tauhid,
buku ini adalah buku sumber terbesar keyakinan dan aqidah aliran Maturidiyah.
Dalam buku ini untuk membuktikan kebenaran pendapatnya, ia menggunakan Al
Qur’an, hadis dan akal, dan terkadang memberikan keutamaan yang lebih besar
kepada akal.
Buku ini pernah
dicetak dengan tebal 412 halaman di Beirut dan Dr. Fathullah Khalif adalah
orang yang meneliti keabsahan ayat dan riwayatnya. Dan begitu juga yang
dikatakan Bazdawi penulis buku Ushuludin berkenaan dengan kosongnya buku ini
dari ketertutupan.
2. Ta’wilat
Ahli Sunnah, buku ini berkenaan dengan tafsir Al Qur’an dan di dalamnya
dijelaskan tentang keyakinan-keyakinan Ahlu Sunnah dan pandangan-pandangan
fikih imam mazhabnya yaitu Abu Hanifah, pada hakikatnya ini adalah buku aqidah
dan fikih. Buku ini juga merupakan satu paket tafsir Al Qur’an dan buku
tersebut mencakup juz terakhir Qur’an dari surat Munafiqin sampai akhir Qur’an.
Dan buku tersebut diterbitkan oleh Dr. Ibrahim Iwadzain dengan bantuan yang
lainnya di Kairo. Ketika dibandingkan, jelas terlihat bahwa kedua buku ini satu
sama lain betul-betul memiliki kesamaan dalam hal pembahasan masalah-masalah
aqidah dan keyakinan.
3. Al Maqalat,
peneliti buku At Tauhid berkata bahwa naskah buku ini ada di beberapa
perpustakaan Eropa. Akan tetapi karya-karya lainnya dan nama-namanya tercantum
di buku-buku terjemahan di antaranya adalah:
4. Akhdzu Al
Syara’i
5. Al Jadal fi
Ushul Al Fiqh
6. Bayan wa Hum
Al Mu’tazilah
7. Rad Kitab Al
Ushul Al Khomsah lil Bahili
8. Rad Al
Imamah li ba’dzi Al Rawafidz
9. Al Rad ala
Ushu Al Qaramathah
10. Rad Tahdzib
Al Jadal lil Ka’bi
11. Rad wa Aid
Al Fisaq lil Ka’bi
12. Rad Awa’il
Al Adilah lil Ka’bi
Hingga sekarang
buku-buku ini tidak dapat diperoleh.
Penulis:
Ayatullah Jakfar Subhani
_______________________________________
[1]
Ruh Al Aqidah Al Thahawiah, hlmn. 25, karya Syeikh Abdul Ghani Meidani
Dimisyqi, wafat tahun 1298.
[1] Maksudnya adalah bersamaannya kekuatan dan perbuatan, atau kekuatan yang
lebih dulu ketimbang perbuatan dan Abu Hanifah dan kebanyakan Ahlu Sunnah
mengatakan bahwa kekuatan bersamaan dengan perbuatan.
[1] Isyaratul Maram, hlmn. 21-22, buku ini adalah salah
satu buku sumber aliran teologi Maturidi, dan sebelum ini semua buku-buku
Maturidi sendiri seperti At Tauhid dan At Tafsir, dan setelah kedua buku ini
buku Ushuludin Bazdawi.
[1] Bayadzi, Isyaratul Maram, hlmn. 23.
[1] Isyaratul Maram, hlmn. 23.
[1] Miftahu Saadah wa Misbahu Siyadah, jilid 2, hlmn.
22-23.
[1] Hasyiah Kasteli untuks syarah Al Aqa’id Al Nasafiah
yang telah diterbitkan bersama dengan syarahnya, hlmn. 17.
[1] Itihafu Saadah Al Mutaqin bi syarhi Asrar Ihya
Ulumudin, jilid 2, hlmn. 8, Kairo.
[1] Buku At Tauhid dan Ta’wilat Ahli Sunat adalah karya
Abu Mansur yang merupakan kakek dari ayah Bazdawi, kedua buku tersebut
dibacakan di hadapannya. Silahkan merujuk kepada buku Ushuludin Bazdawi.
‘Asy’ariah
Oktober 6, 2011 Tinggalkan Komentar
Salah satu perdebatan itu menurut a Subki adalah
Al Asy’ari : Bagaimana kedudukan orang mukmin,
kafir dan anak keecil di akhirat?
Al Jubai : Yang mukmin mendapat tingkat yang baik
dalam surga, yang kafir masuk neraka dan yang kecil terlepas dari bahaya
neraka.
Al Asy’ari : Kalau anak kecil ingin memperoleh
tempat yang lebih tinggi di Surga, mungkinkah itu?
Al Jubai : Tidak, yang mungkin mendapat tempat yang
baik itu, karena kepatuhannya kepada Tuhan. Yang kecil belum mempunyai
kepatuhan seperti itu.
Al Asy’ri : Kalau anak kecil itu mengatakan
kepada Tuhan, itu bukanlah salahku. Jika sekiranya Engkau bolehkan aku terus
hidup aku akan mengerjakan perbuatan-perbuatan baik seperti yang dilakukan
orang mukmin itu.
Al Ju bai : Allah akan menjawab, Aku tahu jika
seandainya engkau terus hidup, engkau akan berbuat dosa dan oleh karena itu
akan kena hukum. Maka untuk kepentinganmu Aku cabut nyawamu sebelum engkau sampai
pada umur tanggung jawab.
Al asy’ari : Sekiranya yang kafir mengatakan,
Engkau ketahui masa depanku sebagaimana Engkau ketahui masa depannya. Apa
sebabnya Engkau tidak jaga kepentinganku?
Kemudian diamlah al Jubai dan tidak dapat
menjawab lagi
Asy`ariyah adalah sebuah paham aqidah yang
dinisbatkan kepada Abul Hasan Al-Asy`ariy. Beliau lahir di Bashrah tahun 260
Hijriyah bertepatan dengan tahun 935 Masehi. Beliau wafat di Bashrah pada tahun
324 H / 975-6 M.
Awalnya Al-Asy`ari pernah belajar kepada Al-Jubba`i,
seorang tokoh dan guru dari kalangan Mu`tazilah. Sehingga untuk sementara
waktu, Al-Asy`ariy menjadi penganut Mu`tazilah, sampai tahun 300 H. Namun
setelah beliau mendalami paham Mu`tazilah hingga berusia 40 tahun, terjadilah
debat panjang antara dia dan gurunya, Al-Jubba`i dalam berbagai masalah
terutama masalah Kalam. Debat itu membuatnya tidak puas dengan konsep
Mu`tazilah dan dua pun keluar dari paham itu kembali ke pemahanan Ahli Sunnah
Wal Jamaah.
Al-Asy`ariyah membuat sistem hujjah yang dibangun
berdasarkan perpaduan antara dalil nash (naql) dan dalil logika (`aql). Dengan
itu belaiu berhasil memukul telak hujjah para pendukung Mu`tazilah yang selama
ini mengacak-acak eksistensi Ahlus Sunnah. Bisa dikatakan, sejak berdirinya
aliran Asy`ariyah inilah Mu`tazilah berhasil dilemahkan dan dijauhkan dari
kekuasaan. Setelah sebelumnya sangat berkuasa dan melakukan penindasan terhadap
lawan-lawan debatnya termasuk di dalamnya Imam Ahmad bin Hanbal.
Kemampuan Asy`ariyah dalam memukul Mu`tazilah
bisa dimaklumi karena sebelumnya Al-Asy`ariy pernah berguru kepada mereka.
Beliau paham betul lika-liku logika Mu`tazilah dan dengan mudah menguasai
titik-titik lemahnya.
Meski awalnya kalangan Ahlussunnah sempat menaruh
curiga kepada beliau dan pahamnya, namun setelah keberhasilannya memukul
Mu`tazilah dan komitmennya kepada aqidah ahlus sunnah wal jamaah.
Perbedaan dan persamaan model pemahaman /
pemikiran antara Asy`ariyah dan Maturidiyah bisa kita break-down menjadi
beberapa point :
- Tentang sifat Tuhan
- Pemikiran Asy`ariyah dan Maturidiyah memiliki pemahaman yang relatif sama. Bahwa Tuhan itu memiliki sifat-sifat tertentu. Tuhan Mengetahui dengan sifat Ilmu-Nya, bukan dengan zat-Nya. Begitu juga Tuhan itu berkuasa dengan sifat Qudrah-Nya, bukan dengan zat-Nya.
- Tentang Perbuatan Manusia.
- Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Menurut Maturidiyah, perbuatan manusia itu semata-mata diwujudkan oleh manusia itu sendiri. Dalam masalah ini, Maturidiyah lebih dekat dengan Mu`tazilah yang secara tegas mengatakan bahwa semua yang dikerjakan manusia itu semata-mata diwujdukan oleh manusia itu sendiri.
- Tentang Al-Quran
- Pandangan Asy`ariyah sama dengan pandangan Maturidiyah. Keduanya sama-sama mengatakan bahwa Al-quran itu adalah Kalam Allah Yang Qadim. Mereka berselisih paham dengan Mu`tazilah yang berpendapat bahwa Al-Quran itu makhluq.
- Tentang Kewajiban Tuhan
- Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Maturidiyah berpendapat bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu. Pendapat Maturidiyah ini sejalan dengan pendapat Mu`tazilah.
- Tentang Pelaku Dosa Besar
- Pandangan Asy`ariyah dan pandangan Maturidiyah sama-sama mengatakan bahwa seorang mukmin yang melakukan dosa besar tidak menjadi kafir dan tidak gugur ke-Islamannya. Sedangkan Mu`tazilah mengatakan bahwa orang itu berada pada tempat diantara dua tempat “Manzilatun baina manzilatain”.
- Tentang Janji Tuhan
- Keduanya sepakat bahwa Tuhan akan melaksanakan janji-Nya. Seperti memberikan pahala kepada yang berbuat baik dan memberi siksa kepada yang berbuat jahat.
- Tetang Rupa Tuhan
- Keduanya sama-sama sependapat bahwa ayat-ayat Al-Quran yang mengandung informasi tentang bentuk-bentuk pisik jasmani Tuhan harus ditakwil dan diberi arti majaz dan tidak diartikan secara harfiyah.
kenyataannya mazhab aqidah Asy`ariyah ini memang
mazhabyang paling banyak dipeluk umat Islam secara tradisional dan turun
temurundi dunia Islam. Di dalamnya terdapat banyak ulama, fuqoha, imam
dansebagainya. Meski bila masing-masing imam itu dikonfrontir satu persatu
dengan detail pemikiran asy`ari, belum tentu semuanya sepakat 100 %. Bahkan
sejarah mencatat bahwa hampir semua imam besar dan fuqoha dalam Islam adalah
pemeluk mazhab aqidah al-As-`ari. Antara lain Al-Baqillani, Imam Haramain
Al-Juwaini, Al-Ghazali, Al-Fakhrurrazi, Al-Baidhawi, Al-Amidi, Asy-Syahrastani,
Al-Baghdadi, Ibnu Abdissalam, Ibnud Daqiq Al-`Id, Ibu Sayyidinnas, Al-Balqini,
al-`Iraqi, An-Nawawi, Ar-Rafi`I, Ibnu Hajar Al-`Asqallani, As-Suyuti.
Sedangkan dari wilayah barat khilafat Islamiyah
ada Ath-Tharthusi, Al-Maziri, Al-Baji, Ibnu Rusyd (aljad), Ibnul Arabi,
Al-Qadhi `Iyyadh, Al-Qurthubi dan Asy-Syatibi.
Jangan lupa juga bahwa universitas Islam
terkemuka di dunia dan legendaris menganut paham Al-Asy`ariah dan Maturidiyah
seperti Al-Azhar di Mesir, Az-Zaitun di Tunis, Al-Qayruwan di Marokko, Deoban
di India. Dan masih banyak lagi universitas dan madrasah yang menganutnya.
Para ulama pengikut mazhab Al-Hanafiyah adalah
secara teologis umumnya adalah penganut paham Al-Maturidiyah. Sedangkan mazhab
Al-Malikiyah dan Asy-Syafi`iyyah secara teoligs umumnya adalah penganut paham
Al-Asy`ariyah.
Historisitas Teologi
Asy`ariyah dalam Biografi Abul Hasan al-Asy`ari
Sebagaimana telah disampaikan di atas bahwa
teologi Asy`ariah timbul sebagai penengah yang menjembatani antara kaum
rasionalis-ekstremis dan kaum tekstualis-fatalis. Teologi Asy`ariah merupakan
sebuah paham aqidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al-asy`ari. Nama
lengkapnya Abdul-Hasan Ali bin Ismail Al-asy’ari, keturunan dari Abu Musa
Al-asy’ary, yang dikenal dalam sejarah sebagai delegasi Ali bin Abi Thalib saat
perundingan di Daumatu-l-Jandaal. Perundingan yang terjadi setelah
perang Shiffin. Sebuah perundingan yang diyakini sebagi pemicu awal
mula timbulnya sekte-sekte dalam Islam.
Al-asy’ari lahir tahun 260 H / 873 M dan wafat
pada tahun 324 H / 935 M. Pada waktu kecilnya ia berguru pada seorang
mu’tazilah terkenal, yaitu Abu Ali Al-Juba’i.
B. Perkembangan dan
Tokoh Asy’ariyah
Pendirian Al-asy’ary di atas merupakan tali
penghubung antara dua aliran alam fikiran Islam, yaitu aliran lama (textralis),
dan aliran baru (rasionalis). Akan tetapi sesudah wafatnya aliran
Asy’ariyah mengalami perubahan yang cepat. Kalau pada permulaan berdirinya
kedudukannya hanya sebagai penghubung antara kedua aliran tersebut, maka pada
akhirnya aliran Asy’aruyyah lebih condong kepada segi akal pikiran semata-mata
dan memberinya tempat yang lebih luas daripada nash-nash itu sendiri. Mereka
sudah berani mengeluarkan keputusan, bahwa “akal menjadi dasar naql (nash)”
karena dengan akal kita dapat menetapkan adanya Tuhan, pencipta alam dan yang
maha kuasa. Pembatalan akal fikiran dengan naql ( nash ) berarti pembatalan
dasar ( pokok ) dengan cabangnya, yang berakibat pula pembatalan pokok dan
cabangnya sama sekali.
Karena sikap tersebut, maka Ahlussunnah tidak
dapat menerima golongan Asy’ariyyah, bahkan memusuhinya, sebab dianggap sesat (
bidah ). Kegiatan mereka sesudah adanya permusuhan ini menjadi berkurang,
sehingga datang Nizamul-mulk ( wafat 458 H / 1092 M ), seorang mentri Saljuk,
yang mendirikan dua sekolah terkenal dengan namanya yaitu, Nizamiyah di Nizabur
dan Bagdad, dimana hanya aliran Asy’ariyyah saja yang boleh diajarkan. Sejak
itu aliran Asy’ariyyah menjadi aliran resmi negara, dan golongan Asy’ariyyah
menjadi golongan Ahli Sunnah.
tokoh-tokohnya sebagai berikut :
- Al-Baqilany ( wafat 403 H / 1013 M )
Namanya Abu Bakkar Muhammad bin Tayyib, diduga
kelahiran kota Basrah, tempat kelahiran gurunya, Al-Asy’ary. Ia seorang yang
cerdas otakya, simpatik dan banyak jasanya dalam pembelaan agama. Kitabnya yang
terkenal adalah “at-Tahmid” (pendahuluan / persiapan).
- Al-Juwaini ( 419-478 H/ 1028-1085 M )
Namanya Abu al-Ma’aly bin Abdillah, dilahirkan di
Nisabur, kemudian pergi ke kota Mu’askar, dan akhirnya sampai ke negara Bagdad.
Ia mengikuti jejaknya Al-Baqilany dan Al-Asy’ary dalam menjujung
setinggi-tingginya akal-fikiran, suatu hal yang menjadikan marahnya para
ahli-ahli hadist.
- Al-Ghazali ( 450-505 H )
Nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad
Al-Ghazali. Dilahirkan di kota Tus, sebuah kota di negeri Khurasan. Gurunya
antara lain Al-Juwaini, sedang jabatan yang pernah dipegagnya adalah mengajar
di sekolah Nizamiyah Bagdad.
Al-Ghazali adlah salah seorang ahli fikir Islam
terkenal dan yang paling besar pengaruhnya. Kegiatan ilmiyahnya meliputi
berbagai lapangan, antara lain logika, jadal ( ilmu berdebat ), fiqh dan
ushulnya, ilmu kalam, filsafat dan tasawuf. Kitab-kitab yang dikarangnya banyak
sekali, berbahasa Arab dan Persi.
Kedudukan Al-Ghazali dalam aliran Asy’ariyyah
sangat penting, karena ia telah meninjau semua persoalan yang pernah ada dan
memberikan pendapat-pendapatnya yang hingga kini masih dipegangi Ulam-ulama
Islam, yang karenanya ia mendapatkan julukan “Hujjatul Islam”.
- As-Sanusy ( 833-895 H / 1427-1490 )
Nama lengkapnya Abu Abdillah bin Muhammad bin
Yusuf. Dilahirkan di Tilasam, sebuah kota di Al-Jazair. Ia belajar pada ayahnya
sendiri dan orang-orang lain terkemuka di negaarnya, kemudian ia melanjutkan
pelajaranya di kota Al-Jazair pada seorang alim yang bernama Abd. Rahman
ats-Tsa’laby.
Ulama Maghrib menganggap ia sebagai pembangun
Islam, karena jasa dan karyanya yang banyak dalam lapangan kepercayaan (aqa’id)
dan ketuhanan (ilmu Tauhid).
C. Alur Pemikiran
Teologi Asya`riyah mencakup permasalahan kalam
1. Tentang sifat Tuhan
Asy’ary berpendapat bahwa Tuhan itu memiliki
sifat-sifat tertentu. Tuhan mengetahui dengan sifat Ilmu-Nya, bukan dengan
zat-Nya, begitu juga Tuhan berkuasa dengan sifat Qudrah-Nya, bukan dengan
zat-Nya.
2. Tentang perbuatan manusia
Menurut Asy’ary semua yang dikerjakan manusia itu
tidak semata-mata diwujudkan oleh manusia itu sendiri, melainkan ada peran
Tuhan dalam menentukan perbuatan manusia.
3. Tentang Al-qur’an
Pandangan Asy’ariyah mengatakan bahwa Al-qur’an
itu adalah Kalam Allah Yang Qadim yang berarti bukan makhluq.
4. Tentang Kewajiban Tuhan
Pandangan Asy’ariyah mengatakan bahwa Tuhan tidak
memilii kewajiban-kewajiban tertentu, pandangan ini bertentangan dengan
Mu’tazilah dan Maturidiyah yang beranggapan bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban
tertentu.
5. Tentang Pelaku Dosa Besar
Asy’aryah mengatakan bahwa seorang mukmin yang
melakukan dosa besar tidak menjadi kafir dan tidak gugur ke-islamannya.
6. Tentang Janji Tuhan
Asy’aryah sepakat bahwa Tuhan akan melaksanakan
janji-Nya. Seperti memberikan pahala kepada yang berbuat baik dan memberi siksa
kepada yang berbuat jahat.
7. Tentang Wujud Tuhan
Asy’aryah berpendapat bahwa ayat-ayat al-Qur’an
yang mengandung informasi tentang bentuk-bentuk pisik jasmani Tuhan harus
dita’wil dan diberi arti majaz dan tidak diartikan secara harfiyah.
Demikianlah teologi alur pemikiran dan pemahaman
Asy’ariyah dalam beberapa masalah kalam.
Al Maturudiah
a. riwayat hidup
Nama aliran ini diambil dari nama pendirinya,
yaitu Abu Mansur Muhammad bin Muhammad, kelahiran Matured, kota kecil di daerah
Samarkand kurang lebih abad pertengahan hijrah dan ia meninggal di kota
Samarkand pada tahun 333 H.
Ia hidup sezaman dengan Abu Hasan al Asy’ari,
tapi di tempat yang berbeda. Al Asy’ri di Basrah sedangkan al Maturidi di
Samarkand, latar belakang mazhab yang dianut keduanya juga tidak sama. Al
asy’ari adalah penganut mazhab Syafi’i, sedangkan al maturidi penganut mazhab
Hanafi, sehingga pemikiran theology al Maturidi lebih rasional ketimbang al
Asy’ari. Pemikiran al Maturidi lebih cenderung mendekati pemikiran Mu’tazilah,
sementara pemikiran Asy’ari lebih dekat kepada Jabariyah.
Pada dasarnya timbulnya pemikiran teologi al
Maturidi sebagaiman juga al Asy’ari, merupakan reaksi terhadap paham
Mu’tazilah. Sungguhpun demikian, antara keduanya tidak selalu memiliki pendapat
yang sama. Ada yang sama, dan banyak pula yang berbeda.
b. Pemikirannya
1) Sifat-Sifat Tuhan
Mauridi dalam memahami sifat-sifat tuhan, hamper
bersamaan dengan al asy’ari, di mana keduanya sependapat, bahwa tuhan mempunyai
sifat-sifat, seperti sama’, basyar dan sebagainya. Sekalipun begitu, pengertian
al maturidi berbeda dengan Asy’ari. Asy’ari memehami sifat Tuhan sebagai
sesuatu yang bukan zat, melainkan melekat pada zat itu sendiri. Sedangkan al Maturidi
memahami sifat-sifat Tuhan itu tidak dikatakan sebagaia esensiNya dan bukann
pula dari esensiNya. Sifat Tuhan itu bersifat mulzamah ( suatu kepastian )
bersama zat tanpa terpisah.
Dengan pemahaman maturidi tentang makna sifat
Tuhan ini, cenderung mendekati faham Mu’tazilah. Perbedaannya hanya terletak
pada pengakuan Maturidi tentang sifat-sifat Tuhan, sedangkan Mu’tazilah menolak
adanya sifat-sifat yang berada di luar zatNya. Mu’tazilah memahami antara zat
dan sifat Tuhan adalah dalam kesatuan.
2) Iman dan Kafir
Pada umumnya konsep iman dan kufur Maturidiah
Samarkand mirip dengan konsep Mu’tazilah dan konsep Maturidiah Bukhara sama
dengan Asy’ariah. Golongan Samarkand yang diwakili oleh Maturidi mengartikan
imin sebagai mengetahui Tuhan dalam ketuhanannya atau ma’riffat kepada Allah
dengan segala sifat-sifatnya.
Golongan Bukhara yang diwakili oleh Bazdawi
mengartikan iman dengan imin dan tasdik dan ikrar. Maturidiah pada umumnya
mengakui bahwa iman dapat bertambah dan berkurang, akan tetapi yang bertambah
dan berkurang itu adalah sifatnya, bukan zatnya.
3) Akal dan Wahyu
Golongan Maturidiah Samarkand berpendapat akal
dapat mengetahui adanya Tuhan dan yang baik dan yang buruk. Tetapi akal tidak
dapat mengetahui kewajiban berbuat baik dan menjauhi yang buruk. Untuk hal yang
terakhir ini hanya dapat diketahui dengan wahyu. Karena itu, wahyu sangat
diperlukan untuk menjelaskannya.
Golongan Maturidiah Bukhara lain lagi. Menurut
mereka, akal dapat mengetahui adanya Tuhan dan yang baik dan yang buruk. Tetapi
akal tidak dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan dan
kewajiban berbuat baik dan meninggalkan yang buruk. Untuk mengetahui itu
diperlukan wahyu. Dalam kaitan ini akal harus mendapat bimbingan dari wahyu.
4) Pelaku Dosa Besar
Al Maturidi berpendapat bahwa Muslim yang
melakukan dosa besar tetap mukmin, tidak kafir, tidak pula berada pada al
manzilah bainal manzilatain seperti pendapat Mu’tazilah.
5) Perbuatan Tuhan dan
Perbuatan Manusia
a) Perbuatan Tuhan
Persoalan yang timbul ketika meneliti pebuatan
Tuhan senangtiasa diawali pertanyaan, apakah perbuatan Tuhan mencakup hal-hal
yang buruk? Atau apakah Tuhah memeiliki kewajiban-kewajiban untuk lepentingan
manusia?
Aliran Maturidiah memberi batasan terhadap
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Mereka menerima paham adanya kewajiban
menepati janji tentang pemberian pahala dan hukuman serta serta kewajiban
mengirim para Rasul. Adapun kewajiban Tuhan melakukan hal yang baik dan
terbaik, al Maturidi tidak secara tegas menyatakan wajib. Ia hanya menyatakan
bahwa semua perbuatan Tuhan berdasarkan hikmat kebijaksanaan.
b) Perbuatan Manusia
Al Maturidi berpendapat, perbuatan manusia
sebanarnya diwujudkan oleh manusia itu sendiri, sekalipun kemauan atau kehendak
untuk berbuat itu merupakan kehendak Tuhan, tapi perbuatan itu bukanlah
perbuatan Tuhan. Dalam hal ini maturidi sependapat dengan al Maturidi.
6) Kehendak Mutlak dan
Keadilan Tuhan
Menurut al Maturidiah kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan tidak sebebas yang diberikan Mu’tazilah. Baginya, kekuasaan dan
kehendak mutlak Tuhan itu hanya dibatasi oleh kebebasan manusia yang diberikan
tuhan. Tuhan sebenarnya mampu membuat semua manusia yang ada di bumi ini
menjadi beriman, namun Allah tidak melakukan hal tersebut. Alasannya, karena
kebebasan berkehendak dan berbuat yang diberikanNya kepada manusia.Dalam
masalah keadilan Tuhan maturidi hamper sependapat dengan Mu’tazilah, mereka
menggaris bawahi makna keadilan Tuhan sebagai lawan dari perbuatan zalim Tuhan
terhadap manusia. Tuhan tidak akan membalas kejahatan, kecuali dengan balasan
yang setimpal.
7) Takdir dan Kebebasan
Manusia
Hal ini Maturidi golongan Bukhara sependapat
dengan al Asy’ari sedangkan golongan Samarkan sependapat dengan Mu’tazilah.
al-Asy’ariyah
Al-Hafiz Ibn `Asakir meriwayatkan di dalam
kitabnya Tabyin Kadzib al-Muftari dan al- Hakim meriwayatkan dalam kitabnya
al-Mustadrak sebab turun QS. al-Ma’idah: 54, lalu Rasulullah saw bersabda:
“Mereka kaummu wahai Abu Musa”, dan Rasulullah saw menunjukkan dengan
tangan baginda kepada Abu Musa al Asy`ari”.
Al-Hakim menghukumkan hadis di atas sebagai hadis
sahih `ala shahih Muslim. Hadis di atas juga diriwayatkan oleh al-Tabari
dalam kitab tafsirnya, Ibn Abi Hatim, Ibn Sa`d dalam kitabnya al-Tabaqat
al-Kubra dan al-Tabrani dalam kitab al-Mu`jam al-Kabir. Al-Hafiz al-Haythami
berkata di dalam kitabnya Majmu` al-Zawa’id bahawa rijal hadis tersebut
adalah rijal al-sahih.
Al-Imam al-Qurtubi berkata di dalam kitab
tafsirnya (al-Tafsir al-Qurtubi) jilid. VI, halaman. 220: “Al-Qushayri berkata:
“Maka para pengikut Abu al-Hasan al-Asy`ari
adalah termasuk kaumnya kerana setiap tempat yang disandarkan di dalamnya
oleh suatu kaum kepada seseorang nabi maka maksudnya ialah para pengikut”.
Berkaitan dengan hadis yang mempunyai maksud yang
sama dengan hadis di atas iaitu dengan lafaz yang mafhumnya: “Mereka adalah
kaum lelaki ini” sambil Nabi sallallahu`alaihi wasallam mengisyarat tangannya
kepada Abu Musa al-Asy`ari.” Rasulullah sallallahu`alaihi wa sallam bersabda:
Maksudnya: “Mereka adalah kaum orang ini.”
[Diriwayatkan oleh Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak]
[Diriwayatkan oleh Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak]
Apabila negara Islam berkembang luas, berlaku
perbincangan antara saudara-saudara baru mengenai agama. Antara topik yang
terpenting adalah membicarakan masalah akidah. Hasil daripada beberapa
perbincangan, lahir berbagai-bagai fahaman yang berpandukan logik. Akibatnya,
ada yang terpesong dalam memahami teks al-Quran yang sebenar. Walau apapun
berlaku, Allah berjanji memelihara agamanya dengan melahirkan sarjana yang
mempertahankan akidah yang tulen. Antara sarjana-sarjana itu adalah Imam Abu
Hasan al-Asy’ari.
Abu Hasan al-Asy’ari dilahirkan di Basrah pada
tahun 260 Hijrah. Beliau pernah berpegang pada fahaman Muktazilah dan berguru
kepada ayah tirinya Abu Ali aljubbai. Selepas berusia 40 tahun, beliau berfikiran
matang dan tekun mengkaji secara mendalam. Pada suatu hari, beliau berdebat
dengan ayah tirinya dalam mengenai kehidupan selepas mati. Selepas berdebat
dengan ayah tiri beliau, Abu Hasan al-Asy” ari bangun berucap di Masjid Basrah
lalu mengisytiharkan dirinya keluar daripada fahaman Muktazilah dan berpegang
pada Ahli Sunnah wal Jamaah.
Abu Hasan al-Asy’ari membuat pembaharuan dalam
aliran Ahli Sunnah dengan mengemukakan hujah-hujah logik akal serta teks-teks
al-Quran dan hadis yang ada. Hujah-hujah yang dikumpulkan cukup kuat bagi
mematahkan hujah Muktazilah yang pesat berkembang pada masa itu. Beliau berjaya
mengumpulkan ramai murid dan pengikut. Kemudian, lahir golongan Ahli Sunnah wal
Jamaah dikenali sebagai Asya’irah iaitu golongan pengikut fahaman Abu Hasan al
Asy’ari.
Antara teori Abu Hasan al-Asy’ari adalah
mengemukakan 13 sifat yang wajib bagi Allah secara terperinci iaitu:
1. Ada
2. Bersedia
3. Kekal
4. Berlawanan dengan sesuatu yang baru
5. Berdiri dengan sendirinya
6. Satu
7. Berkuasa
8. Berkehendak
9. Mengetahui
lO.Hidup
11. Mendengar
12.Melihat
13.Berkata-kata
1. Ada
2. Bersedia
3. Kekal
4. Berlawanan dengan sesuatu yang baru
5. Berdiri dengan sendirinya
6. Satu
7. Berkuasa
8. Berkehendak
9. Mengetahui
lO.Hidup
11. Mendengar
12.Melihat
13.Berkata-kata
Beliau juga menghuraikan perkara taklid iaitu
mengambil pendapat orang lain tanpa hujah yang menguatkannya ataupun tidak
dalam perkara yang berkaitan dengan sifat-sifat itu. Beliau menghuraikan
perkara-perkara lain yang berkaitan dengan kepercayaan pada rukun-rukun iman.
Aliran Asya’irah ini berkembang dengan pesatnya
di Iraq. Kemudian, ia berkembang di Mesir pada zaman Salahuddin al- Ayubi, di
Syiria dengan sokongan Nuruddin Zanki, di Maghribi dengan sokongan Abdullah bin
Muhammad, di Turki dengan sokongan Uthmaniah dan di daerah-daerah yang lain.
Ideologi ini juga didokong oleh sarjana-sarjana di kalangan
mazhab Hanafi, Maliki, Syafie dan Hanbali. Antara mereka adalah
al-Asfaraini, al -Qafal, aljarjani dan lain-lain sehingga sekarang.
Pembaharuan yang dibawa oleh Abu Hasan al-Asy’
ari adalah dengan mengemukakan hujah logik dengan disertakan hujah teks
al-Quran dan hadis Nabi Muhammad. Hujah-hujah ini membawa kekuatan kepada Ahli
Sunnah wal Jamaah bagi menghadapi hujah golongan Muktazilah yang pesat
berkembang dan mendapat sokongan daripada pemerintah-pemerintah kerajaan
Abbasiah. Akhirnya, golongan Muktazilah bukan sahaja dibendung dengan hujah,
tetapi kerajaan yang ditubuh kemudiannya memberi sumbangan politik yang besar
bagi mempertahankan dan mengembangkan fahaman Asya’ irah. Di samping itu, lahir
tokoh sarjana Islam yang menyambung aliran fahaman ini seperti Abu Abdullah bin
Mujahid, Abu Hasan al-Bahili, Abu Bakar bin al-Taib al Bakilani, Abu Bakar bin
Furak, Abu Ishak al-Asfiraini, Abu Muhammad aljuwaini, Abu Mazfir al-Asfaraini,
Imam al-Haramain aljuwaini, Hujah Islam Imam al-Ghazali, dan Imam Fakruddin
al-Razi.
Imam Abu Hasan al-Asy’ari juga meninggalkan
beberapa buku yang dikarangnya dan yang masih ada pada zaman sekarang antaranya
Al-Ibanah Min Uslul Diniati. Dalam buku ini, beliau menyokong dengan tegas
kepada Imam Ahmad bin Hanbal yang dipenjara dan didera oleh kerajaan Abbasiah
yang menyokong Muktazilah pada zamannya. Begitu juga dalam buku AJ-Luma ‘ Fir
Raddi ‘Ala Ahlil Zaighi wal Bid ‘i beliau mendedahkan hujah logik dan teks.
Buku Maqalatul Islamiyiin mendedahkan fahaman-fahaman yang timbul dalam ilmu
Kalam dan menjadi rujukan penting dalam pengajian fahaman-fahaman akidah. Buku
Istihsan al-Khaudhi Fil Ilmu Kalam pula adalah risalah kecil bagi menolak hujah
mereka yang mengharamkan ilmu Kalam.
Walaupun ada di kalangan sarjana Islam
terutamanya di kalangan mazhab Hanbali yang menyanggah beberapa hujah dan
kaedah yang dibawa oleh Abu Hasan Asy’ ari, ia tidak menafikan jasanya
mempertahankan fahaman Ahli Sunnah Wal Jamaah. Fahaman beliau berjaya mematikan
hujah-hujah Muktazilah yang terpesong jauh iaitu membicarakan al-Quran sebagai
kata-kata Allah yang kekal, isu melihat Allah pada hari Kiamat, membetulkan
perkara yang berhubung dengan Qadak dan Qadar dan lain-lain dan menjadi
golongan pertama yang menamakan Ahli Sunnah Wal Jamaah di tengah-tengah
kelahiran pelbagai fahaman pada zamannya.
Imam Abu Hasan Asy’ari meninggal dunia pada tahun
324 Hijrah dengan meninggalkan pusaka ilmu yang terdiri daripada buku-buku
karangan beliau serta murid-murid yang meneruskan perjuangannya. Akhirnya, ia
meninggalkan aliran pengajian akidah yang dianuti oleh sebahagian besar umat
Islam hari ini dalam melanda cabaran-cabaran baru yang tidak ada pada zamannya.
Seterusnya aliran ini memerlukan pembaharuan lagi dalam mengemukakan
hujah-hujah kontemporari bagi mempertahankan akidah yang sebenar.
Kuliah Jumaat Tuan Guru Haji Abdul Hadi Awang
Dari Masjid Rusila, Marang, Terengganu
Dari Masjid Rusila, Marang, Terengganu
Al-Maaturidiyyah
Di sebelah timur negara Islam iaitu di daerah
Maturid, wilayah Samarkand, lahir sarjana Islam yang bernama Muhammad bin
Muhammad bin Mahmud Abu Mansur Maturidi. Beliau lahir pada tahun 332 Hijrah.
Beliau membawa aliran ideologi akidah dalam fahaman Ahli Sunnah wal Jamaah bagi
menghadapi beberapa penyelewengan pada zamannya. Beliau adalah sarjana Islam
dalam mazhab Hanafi.
Beliau muncul di Asia Tengah pada waktu
masyarakat Islam dilanda aliran ideologi yang menyeleweng daripada akidah yang
sebenar. Antaranya mazhab Muktazilah, Mujasimah, Muhammad bin Karam Sajassatani
iaitu pemimpin fahaman Karamiah, Qaramitah yang dipimpin oleh Hamdan As’ ad,
Jaham bin Safuan iaitu pemimpin fahaman Jahamiah, dan ahli tasauf Husin bin
Mansur al-Halaj. Imam Abu Mansur Maturidi membawa peranan yang besar bagi
menghadapi penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan oleh mereka.
Walaupun beliau hidup sezaman dengan mazhab Imam
Abu Hasan al-Asy’ ari, namun beliau mempunyai teknik berhujah dan huraian yang
berbeza. Para sarjana Islam menyatakan, Imam Abu Mansur Maturidi lebih
cenderung kepada pendapat Imam Abu Hanifah dalam perkara akidah. Ini kerana
beliau merujuk risalah-risalah dan buku-buku yang ditulis oleh Imam Abu Hanifah
seperti Fikh Akbar, Fikh Absat, Kitab Ilm dan sebagainya.
Terdapat beberapa perselisihan antara Abu Mansur
Maturidi dengan Abu Hassan al-Asy’ ari. Antaranya dalam isu Makrifatullah
(mengenal Allah), Abu Hassan menyatakan wajib mengetahuinya menurut sumber
agama tetapi Abu Mansur berkata wajib juga dengan berpandu dengan akal. Dalam
isu sifat-sifat Allah, Abu Mansur menambah dengan sifat-sifat maknawiyah iaitu
sifat yang menjadi penguat kepada sifat Ma’ani beserta sifat-sifat Madani.
Fahaman Maturidiah mewajibkan hukum akal beserta syarak sehingga beliau
berselisih dengan sebahagian sarjana Fikah dan Hadis. Terdapat lagi
huraian-huraiannya berhubung Qadak dan Qadar dan lain-lain yang berbeza dengan
huraian fahaman Asya’irah.
Abu Mansur Maturidi meninggalkan pusaka ilmu yang
banyak selain membela fahaman Ahli Sunnah bagi menghadapi pelbagai fahaman yang
menyeleweng. Pusaka ilmunya adalah murid-murid yang ramai dan pengikut-pengikut
yang meneruskan ajarannya. Antara murid-muridnya adalah Abu Ahmad Iyad, Abu
Qasim Hakim Samarkandi, Abu Hussin Wastaqfani, Abdul Karim bin Musa Inbazadari,
Abu Asyimah Abi Lais Bakhari dan lain-lain. Antara pengikut-pengikut yang
meneruskan alirannya adalah Sadar Islam Abu Yasir Muhammad bin Muhammad bin
Abdul Karim Bazadui, Maimun bin Muhammad Nasfi yang dianggap tokoh sarjana
terbesar dalam fahaman ini selepas Abu Mansur. Adakala sebahagian menganggap
mereka adalah kumpulan kecil seperti Syaharsatani dalam fahaman Asya’irah,
Najmuddin Abu Hafiz Samarqandi Nasqi, Nuruddin Ahmad bin Muhammad Syobuni,
Bukamal bin Yam iaitu sarjana terbilang dalam fahaman Hanafi dan lain-lain
lagi.
Buku-buku yang dikarang oleh Abu Mansur Maturidi
adalah buku Jadal dan Ma ‘akhiz Syarai’. Kedua-dua buku ini membincangkan Usul
Fikah. Buku-buku dalam ilmu ketuhanan antaranya, Tauhid, Muqalaat, Ra’du Ala
Qawashat, Bayan Wahm Muktazilah, Ra ‘du Amamah Libaddu Rawafaz dan banyak lagi.
Apa yang mendukacitakan, buku-buku itu hilang begitu sahaja. Buku yang masih
tersimpan adalah buku Tauhid dan Maqalaat Selain itu ada buku-buku beliau dalam
ilmu yang lain.
Abu Mansur Maturidi juga seperti Abu Hassan
Asy’ari yang membawa pembaharuan dalam pengajian akidah. Beliau memasukkan
hujah-hujah logik akal semasa menghadapi perkembangan fahaman baru yang timbul
pada zamannya. Pada zaman para sahabat dan generasi awal kalangan tabi” in
termasuk imam-imam mujtahidin yang pertama lebih bergantung kepada hujah-hujah
teks daripada al-Quran dan hadis Nabi Muhammad sahaja.
AL-ASHA^IRAH PEMIMPIN ILMU ISLAM DAN PEMBELA
ISLAM
Al-Imam Abul-Hasan al-Ash^ari dan para pendokong
atau pengikut beliau yang digelar al-Ash^ariyyun atau al-Asha^riyah mempunyai
jasa besar dalam membersihkan umat Islam dari kekotoran aqidah ahli bidaah
seperti aqidah al-Mu^tazilah, al-Jahmiyyah, al-Mujassimah dan al-Mushabbihah.
Bahkan, kebanyakan para pendokong, pemimpin ilmu Islam dan pembela Islam adalah
dari kalangan al-Asha^irah, sedangkan golongan mempertikaikan mereka ini tidak
pun mencapai separas buku lali mereka sejak berzaman sehingga kini dari segi
ilmu, warak, taqwa dan jasa.
Antara ulama al-Asha^irah ialah daripada kalangan
ulama hadis yang sampai ke tahap al-Hafiz yang menjadi pemimpin dalam ilmu
hadis seperti al-Imam al-Hafiz al-Hujjah al-Faqih Shaykhul-Muhaddithin Abu Bakr
al-Jurjani al-Isma^ili (penyusun al-Mustakhraj ^alal-Bukhari), al-Imam al-Kabir
al-Hafiz al-Faqih al-Usuli Abu Bakr al-Bayhaqi,
al-Hafiz Ibn ^Asakir (yang disifatkan sebagai tokoh yang utama daripada
kalangan al-muhaddithin di Sham pada zamannya), Amirul-Mu’minin fil-Hadith
al-Hafiz Ahmad ibn Hajar al-Asqalani,
al-Hafiz Abu Nu^aym al-Asbahani, al-Hafiz al-Daraqutni,
al-Hafiz al-Khatib al-Baghdadi, al-Hafiz al-Silafi, al-Hafiz al-Nawawi,
al-Hafiz Ibn Daqiqil-^Id, al-Hafiz
Qadil-Qudah Taqiyyud-Din al-Subki, al-Hafiz al-^Ala’i, al-Hafiz Zaynud-Din al-^Iraqi,
al-Hafiz Waliyyud-Din al-^Iraqi, al-Hafiz al-Lughawi al-Sayyid Muhammad Murtada
al-Zabidi, Muhaddith al-Diyaril-Maghbiyyah al-Hafiz al-Mujtahid al-Sayyid Ahmad
ibn Siddiq al-Ghummari dan ramai
lagi.
Selain itu, antara ulama al-Asha^irah lain yang amat
berjasa kepada umat Islam ialah Mujaddid Kurun Keempat Hijriah al-Imam
Abut-Tayyib Sahl ibn Muhammad, al-Shaykh Abu Muhammad al-Juwayni, al-Shaykh
Abul-Ma^ali Imamul-Haramayn, al-Imam Abu Mansur ^Abdul-Qahir a l-Baghdadi,
al-Ustadh Abul-Qasim al-Qushayri, al-Shaykh Abu Ishaq al-Shirazi,
al-Imam Abu Bakr al-Baqillani, Shaykhul-Mutakallimin al-Imam Abu Bakr ibn
Furak, al-^Arif biLlah al-Imam al-Sayyid ^Abdul-Qadir
al-Jilani, al-^Arif biLlah al-Imam al-Sayyid Ahmad al-Rifa^i,
Shaykhul-Islam wa-Sultanul-^Ulama’ al-^Izz ^Abdul-^Aziz ibn
^Abdis-Salam, al-^Arif biLlah, al-Imam al-Ghazali,
Abul-Wafa’ Ibn Aqil al-Hanbali, Qadil-Qudah al-Damighi al-Hanafi, Abul-Walid
al-Baji al-Maliki, al-Qadi ^Iyad, al-Imam
Fakhrud-Din al-Razi, Abu ^Amr ibn al-Hajib al-Maliki, ^Ala’ud-Dun al-Baji,
al-Shaykh Zakariyya al-Ansari, al-Shaykh Baha’ud-Din al-Rawwas al-Sufi, al-Imam
al-Habib al-Sayyid ^Abdullah ibn ^Alawi al-Haddad,
Mufti al-Shafi^iyyah bi-Makkah al-Sayyid Ahmad Zayni
Dahlan, Musnidil-Hind WaliyyuLlah al-Dihlawi, Mufti Misr
al-Shaykh Muhammad ^Illish al-Maliki, Shaykhul-Jami^il-Azhar ^Abdullah
al-Sharqawi, al-Shaykh Abul-Hasan al-Qawuqji, al-Shaykh Husayn al-Jisr
al-Tarabulusi, al-Shaykh ^Abdul-Basit al-Fakhuri Mufti Bayrut, al-Shaykh
Muhammad Arshad al-Banjari, al-Shaykh Dawud ibn ^Abdullah
al-Fatani, al-Shaykh Zaynul-^Abidin al-Fatani Ra’is ^Ulama’il-Hijaz al-Shaykh
Muhammad Nawawi al-Bantani al-Jawi, al-Shaykh al-Adib Wan Ahmad
al-Fatani, al-Shaykh Muhammad Mukhtar ibn ^Utarid al-Buquri, Muhaddith
al-Diyarish-Shamiyyah al-Akbar al-Shaykh al-Sharif Badrud-din al-Hasani,
al-^Allamah al-Habib al-Sayyid ^Alawi ibn Tahir al-Haddad al-Hadrami Mufti
Johor, al-Musnid al-Habib Abul-Ashbal Salim ibn Jindan al-Indunisi,
al-^Alimul-^Allamah al-Sayyid ^Alawi ibn ^Abbas al-Maliki, al-Muhaddith
al-Shaykh Muhammad ^Arabi al-Tabbani, Musnidud-Dunya Muhammad Yasin al-Fadani,
al-Shaykh Tuan Guru al-Haj ^Abdullah Lubuk Tapah al-Kalantani, Muhaddith
al-Diyarish-Shamiyyah aw Khalifatish-Shaykh Badrud-Din al-Shaykh ^Abdullah
al-Harari dan ramai lagi.
Selain itu, di kalangan al-Asha^irah dan
al-Maturidiyyah ada yang membela Islam dan umat Islam melalui kuasa
pemerintahan seperti al-Sultanul-^Adil al-Mujahid Salahud-Din
al-Ayyubi, al-Sultan Muzaffarud-Din Kukabri, al-Sultan Qalawun
dan al-Sultan Muhammad al-Thani al-Fatih dan lain-lain lagi.
Sebenarnya, saya tidak bermaksud dengan senarai
di atas untuk menjumlahkan kesemua al-Asha^irah dan al-Maturidiyyah! Siapakah
yang mampu menghitung semua bintang di langit atau siapakah yang tahu bilangan
pasir di gurun melainkan Allah?!. Demikianlah betapa ramainya al-Asha^irah dan
al-Maturidiyyah… al-Asha^irah dan al-Maturidiyyah adalah Ahlus-Sunnah
wal-Jama^ah golongan yang selamat!! Merekalah yang amat berjasa menyebarkan
Islam ke seluruh dunia, di seluruh pelusuk benua dan kepulauan, di timur dan
barat, di utara dan selatan sehingga majoriti umat Islam terdiri daripada
al-Asha^irah dan al-Maturidiyyah!
Namun hairan, di sana ada suara-suara janggal
yang melempar pelbagai tuduhan dan kejian terhadap al-Asha^irah dan metode
pengajian aqidah tauhid mereka. Suara-suara liar itu menuduh bahawa
al-Asha^irah bukanlah Ahlus-Sunnah, bahkan ada yang mengkafirkan mereka atau
menggolongkan mereka ke dalam puak al-Mu^attilah semata-mata menyerahkan makna
nusus mutashabihat kepada Allah dan Rasulullah. Ada yang mendakwa bahawa metode
pengajian tauhid secara ilmu kalam yang didokong oleh al-Asha^irah dan
al-Maturidiyyah (sifat 20 atau sifat 13) itu memundurkan umat Islam, tidak
menggerunkan musuh Islam, dan menyusahkan, berbelit-belit, mengelirukan atau
memeningkan kepala. Suara-suara pelik ini sebenarnya dimomokkan oleh golongan
al-Wahhabiyyah yang menggelarkan diri mereka sebagai Salafiyyah. Sedangkan,
tokoh rujukan utama mereka sendiri Ibn Taymiyah al-Harrani telah mengiktiraf
jasa al-Asha^irah dalam ilmu usulud-din dengan mensifatkan mereka sebagai para
pembantu usulud-din (sila lihat Fatawa Ibn Taymiyah, juz. 4).
Bagaima mungkin majoriti umat Islam ini boleh
dihukumkan sebagai kafir al-Mu^attilah (golongan yang menafikan sifat-sifat
Allah atau menafikan kewujudan Allah) atau golongan sesat? Sedangkan Rasulullah
sallaLlahu ^alayhi wa-sallam telah menyatakan bahawa kebanyakan umat baginda
tidak tidak sesat dan inilah antara keistimewaan umat ini sebagaimana sabda
baginda:
إن الله لا يجمع أمتي على ضلالة
“Sesungguhnya Allah tidak mengumpulkan umatku di
atas suatu kesesatan” [Diriwayatkan oleh al-Tirmidhi dalam Sunan al-Tirmidhi,
Ibn Majah dalam Sunan Ibn Majah, al-Hakim dalam al-Mustadrak, Ahmad dalam
Musnad Ahmad].
Menurut riwayat Ibn Majah ada suatu tambahan:
فإذا رأيتم اختلافًا فعليكم بالسواد الأعظم
“Maka jika kamu melihat suatu perselisihan, maka
kamu hendaklah bersama kumpulan yang paling besar”.
Hadis di atas disokong atau dikuatkan oleh hadis
mawquf ke atas Abu Mas^ud al-Badri, iaitu:
وعليكم بالجماعة فإن الله لا يجمع هذه الأمة على ضلالة
“Dan kamu hendaklah bersama kumpulan kerana
sesungguhnya Allah tidak mengumpulkan umat ini di atas suatu kesesatan”
[Diriwayatkan oleh Ibn Abi ^Asim dalam al-Sunnah. Al-Hafiz Ibn Hajar di dalam
kitabnya Muwafaqatul-Khabar al-Khabar berkata: “Isnadnya hasan”].
Hadis di atas juga disokong oleh hadis mawquf ke
atas ^Abdullah ibn Mas^ud dan hadis init habit daripada beliau:
ما رءاه المسلمون حسنًا فهو عند الله حسن وما رءاه المسلمون قبيحًا فهو
عند الله قبيح
“Suatu yang dipandang oleh orang-orang Islam
sebagai baik maka perkara itu baik di sisi Allah, dan suatu yang dipandang oleh
orang-orang Islam sebagai buruk maka perkara itu buruk di sisi Allah”
[Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad Ahmad dan lihat Kashful-Astar ^an
Zawa’idil-Bazzar oleh al-Hafiz al-Haythami. Al-Hafiz Ibn Hajar di dalam
kitabnya Muwafaqatul-Khabar al-Khabar berkata: “(Hadis) ini mawquf hasan”].
Sesungguhnya pernyataan bahawa kebanyakan atau
majoriti umat ini terpelihara dari kesesatan tidak menafikan hadis sahih ini,
iaitu sabda Nabi sallaLlahu ^alayhi wa-sallam:
لا تزال طائفة من أمتي ظاهرين على الحق حتى تقوم الساعة
“Satu golongan daripada umatku sentiasa zahir di
atas kebenaran sehingga Kiamat berlaku” [Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam
kitabnya al-Mustadrak].
Sabdaan Nabi sallaLlahu ^alayhi wa-sallam ini
bermaksud bahawa di kalangan umat baginda ada segolongan yang berpegang teguh
dengan agama Islam secara sempurna, dan ini tanpa ragu bahawa golongan yang
berpegang teguh dengan agama secara sempurna adalah kaum minoriti. Meskipun
begitu, hadis tersebut tidaklah bermaksud bahawa kebanyakan orang Islam dalam
keadaan sesat dari sudut aqidah sehingga keluar dari agama Islam sebagaimana
yang didakwa secara terang-terangan oleh puak al-Wahhabiyyah dan golongan yang
seumpama mereka.
Selain itu, sabdaan Nabi sallaLahu ^alayhi
wa-sallam itu juga mengisyaratkan kepada kita bahawa ilmu serta perjuangan
Islam akan sentiasa berkesinambungan dari satu generasi ke satu generasi sedari
zaman penurunan wahyu ketika hayat Nabi Muhammad sallaLlahu alayhi wa-sallam
hingga hari terakhir yang dikehendaki Allah untuk umat Islam. Fitnah
al-Wahhabiyyah ke atas Ahlus-Sunnah wal-Jama^ah al-Asha^irah dan
al-Maturidiyyah boleh dianggap sebagai satu usaha dakyah mereka untuk
memutuskan kesinambungan kebenaran Islam sebagaimana yang dimaksudkan oleh
hadis tersebut. WaLlahu a^lam…
Ilmu akidah bersumber karya ulama silam Melayu
|
SHeikh Nuruddin Ar-Raniri antara ulama yang terawal mengarang ilmu
akidah di alam Melayu pada abad ke-16.
|
Koleksi tulisan Allahyarham WAN MOHD. SAGHIR
ABDULLAH
ILMU Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah sangat
luas jika dibicarakan dari sumber-sumber asalnya yang meliputi berpuluh-puluh,
beratus-ratus bahkan ribuan kitab.
Sebahagian kecil sejarah ringkas Ilmu Tauhid di
Dunia Melayu dalam beberapa judul penting yang telah ditulis oleh para ulama
Dunia Melayu, telah penulis perkenalkan dalam ruangan-ruangan sebelum ini dan
dimuatkan juga dalam buku Faridatul Faraid, Sheikh Ahmad al-Fathani.
Maka dirasakan tidak perlu ia diulang perkara
yang sama. Oleh itu, untuk perbicaraan ini, penulis hanya mengehadkan kepada
sumber-sumber tradisional karya ulama dunia Melayu sahaja.
Senarai kitab akidah ulama dunia Melayu
Sebelum memasuki sejarah penulisan akidah Islami
yang berhaluan Ahlus Sunnah wal Jamaah di Dunia Melayu, terlebih dahulu ada
baiknya penulis senaraikan pelbagai judul kitab yang dikarang oleh ulama-ulama
silam kita.
Karya-karya akidah itu dapat dibahagi kepada
empat corak iaitu:
lKarya ilmu tauhid yang khas membicarakan tentang
itu yang ditulis dalam bahasa Melayu.
lKarya ilmu tauhid yang khas membicarakan tentang
itu yang ditulis dalam bahasa Arab.
lKarya tauhid yang ditulis dalam karya ilmu fiqh
atau tasauf yang diletakkan di bahagian permulaan kitab yang ditulis dalam
bahasa Melayu.
lKarya tauhid yang ditulis dalam karya ilmu fiqh
atau tasauf yang diletakkan di bahagian permulaan kitab yang ditulis dalam
bahasa Arab.
Daripada keterangan tersebut, dapat disimpulkan
bahawa ulama-ulama silam Dunia Melayu berkebolehan mengarang kitab-kitab dalam
bentuk bahasa Arab yang setaraf dengan orang-orang Arab sendiri.
Bahawa demikian pentingnya ilmu tauhid (akidah)
sehingga dalam perbicaraan mengenai fiqh atau tasauf pun masih juga membicarakan
perkara akidah.
Disimpulkan bahawa ulama silam Dunia Melayu
sependapat bahawa “Mengenal Allah dan Rasul-Nya melalui akidah Ahlus Sunnah wal
Jamaah adalah wajib, mendapat tempat yang pertama dan utama dari ilmu-ilmu
lainnya”.
Sheikh Ahmad bin Muhammad Zain al Fathani dalam
karyanya Jumanatut Tauhid dalam bentuk syair menulis, maksudnya: “Dan sesudah
itu maka Ilmu Tauhid itu pada pelbagai ilmu, seumpama matahari di antara
sekelian bintang”.
Adapun senarai kitab akidah yang disenaraikan
tersebut dapat dijelaskan sebagai yang berikut:
i. Karya Ilmu Tauhid Dalam Bahasa Melayu
Antara karya-karya yang berkaitan untuk bahagian
ini telah ditemui agak banyak. Antaranya ialah:
lIlmu Tauhid karya Ahmad bin Aminuddin Qadhi
(Kedah) yang ditulis dalam tahun 1032 H (kira-kira 1622 M),
lDurarul Faraid bisyarhil ‘Aqaid karya Sheikh
Nuruddin ar-Raniri, tahun penulisan 1045 H (kira-kira bersamaan 1635 M).
lBidayatul Hidayah karya Syeikh Muhammad Zain bin
Faqih Jalaluddin Aceh, tahun penulisan 1170 H (kira-kira 1757 M).
lZahratul Murid fi Bayani Kalimatit Tauhid karya
Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani, tahun penulisan 1178 H (kira-kira 1764 M).
lTuhfatur Raghibin fi Bayani Haqiqati Imanil
Mu’minin wa Yufsiduhu min Riddatil Murtaddin karya Sheikh Muhammad Arsyad bin
Abdullah al-Banjari, tahun penulisan 1188 H (kira-kira 1774 M).
lKifayatul Mubtadi fi Ushuli I’tiqadil Mursyidin,
atau dengan judul lain iaitu Irsyadu Athfalil Mubtadi-in fi ‘Aqaidid Din wa
Ad’iyah an Nafi’ah ad Din karya Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani (tiada
disebut tahun penulisan).
lRisalatu Ta’alluqi bi Kalimatil Iman karya
Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani.
lDhiyaul Murid fi Ma’rifati Kalimatit Tauhid
karya Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani (tiada disebut tahun penulisan).
lAd Durruth Tsamin fi ‘Aqaidil Mu’minin karya
Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani, tahun penulisan 1232 H (kira-kira 1817 M).
l‘Iqdatul Jawahir karya Sheikh Daud bin Abdullah
al-Fathani, tahun penulisan 1245 H (kira-kira 1831 M).
lWarduz Zawahir li Hilli Alfazhi ‘Iqdil Jawahir
karya Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani, tahun penulisan 1245 H (kira-kira
1831 M) dan banyak lagi yang tidak dapat disenaraikan kesemuanya.
ii. Karya Ilmu Tauhid Yang Khas Yang Membicarakan
Tentang Itu Yang Ditulis Dalam Bahasa Arab
Kitab-kitab Ilmu Tauhid yang ditulis oleh ulama
silam Dunia Melayu dalam bentuk bahasa Arab tidaklah sebanyak seperti yang
ditulis dalam bahasa Melayu. Di antara yang dapat dicatat disenaraikan seperti
berikut:
lJumanatut Tauhid karya Sheikh Ahmad bin Muhammad
Zain al-Fathani, tahun penulisan 1293 H (kira-kira 1876 M).
lMunjiatul ‘Awam karya Sheikh Ahmad bin Muhammad
Zain al-Fathani, tahun penulisan 1293 H (kira-kira 1876 M).
lSabilus Salam atau dengan judul yang lain
Minhajus Salam karya Sheikh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani, tahun penulisan
1306 H (kira-kira 1888 M).
lFat-hul Majid fi Syarhid Durril Farid fi ‘Ilmit
Tauhid karya Sheikh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi al-Bantani, tahun
penulisan 1294 H (kira-kira 1877 M).
lNuruzh Zhalam ‘alal Manzhumati al-Musammah bi
‘Aqidatil ‘Awam karya Sheikh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi al-Bantani, tahun
penulisan 1277 H (kira-kira 1860 M).
lSyarhul Futuhatil Madaniyah fisy Syu’bil
Imaniyah karya Sheikh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi al-Bantani, tanpa
menyebut tahun penulisan.
Perlu penulis sebutkan bahawa selain Sheikh Ahmad
al-Fathani dan Sheikh Nawawi al-Bantani, terdapat beberapa ulama Dunia Melayu
yang menjalankan aktivitinya di Mekah yang juga meninggalkan beberapa karya
dalam bahasa Arab termasuk karangan perkara akidah.
Mereka ialah Sheikh Muhammad Mukhtar bin Atarid
Bogor, Sheikh Ahmad Khatib Minangkabau (pernah menjadi Imam dan Khatib Mazhab
Syafiie di Mekah), Sheikh Abdul Hamid Kudus (juga pernah menjadi Imam dan
Khatib Mazhab Syafiie di Mekah menggantikan Sheikh Ahmad Khatib Minangkabau).
iii. Karya Tauhid Yang Ditulis Dalam Karya Ilmu
Fiqh Yang Diletakkan Di Bahagian Permulaan Kitab (Dalam Bahasa Melayu)
Sebagai petanda bahawa perkara akidah tradisional
menurut Mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah yang berpunca dari Sheikh Abul Hasan
al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi sangat penting, maka ulama-ulama Dunia
Melayu dalam kitab-kitab fikah yang dikarang terlebih dahulu menulis tentang
akidah tersebut di bahagian awal karya fikah berkenaan.
Demikian juga dilakukan terhadap kitab-kitab
tasauf. Di antara kitab-kitab fikah ataupun tasauf yang didahului dengan ilmu
akidah di antaranya:
lPada bahagian awal Hidayatus Salikin karya Sheikh
Abdus Shamad al-Falimbani, tahun penulisan 1192 H (kira-kira 1778 M).
lSiyarus Salikin (jilid 1) karya Sheikh Abdus
Shamad al-Falimbani, tahun penulisan 1194 H (kira-kira 1780 M).
lHidayatul Muta’allim wa ‘Umdatul Mu’allim karya
Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani, tahun penulisan 1244 H (kira-kira 1828 M).
lFathul Mannan li Shafwatiz Zubad karya Sheikh
Daud bin Abdullah al-Fathani, tahun penulisan 1249 H (kira-kira 1833 M).
lAl-Jawahirus Saniyah fi Syarhil ‘Aqaidid Diniyah
karya Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani, tahun penulisan 1252 H (kira-kira
1836 M).
lSullamul Mubtadi fi Ma’rifatil Muhtadi karya
Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani, tahun penulisan 1252 H (kira-kira 1836 M).
lFuru’ul Masail wa Wushulul Washail karya Sheikh
Daud bin Abdullah al-Fathani, tahun penulisan 1254 -1257 H (kira-kira 1838-1841
M).
lMathla’ul Badrain wa Majma’ul Bahrain karya
Sheikh Muhammad bin Ismail Daud al-Fathani, tahun penulisan 1303 H (kira-kira
1885 M).
lWusyahul Afrah wa Ashbahul Falah karya Sheikh
Muhammad bin Ismail Daud al-Fathani, tahun penulisan 1313 H (kira-kira 1895 H).
lBahjatul Mubtadin wa Farhatul Mujtahidin karya
Sheikh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani, tahun penulisan 1310 H (kira-kira
1892 M).
l‘Unwanul Falah wa ‘Unfuwanus Shalah karya Sheikh
Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani, tahun penulisan 1319 H (kira-kira 1902 M)
dan
lDi bahagian awal Al-Fatawal Fathaniyah karya
Sheikh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani, tahun penulisan 1323 H (kira-kira
1905 M).
iv. Karya Tauhid Yang Ditulis Dalam Karya Ilmu
Fiqh Yang Diletakkan Di Bahagian Permulaan Kitab (Dalam Bahasa Arab)
Di bahagian ini hanya dapat disenaraikan beberapa
karya Sheikh Nawawi al-Bantani sebagai contoh. Hal ini disebabkan kurang mendapat
maklumat dan sedikit sekali ulama silam Dunia Melayu melakukannya.
Di antara kitab-kitab karya Sheikh Nawawi
al-Bantani tersebut ialah:
l Di bahagian awal Syarah Sullamul Munajah,
Mirqatu Shu’udit Tashdiq fi Syarhi Sullamit Taufiq, dan Ats Tsimarul Yani’ah
fir Riyadhil Badi’ah, yang kesemuanya kitab tersebut tiada dinyatakan tahun
penulisan.
Sebuah lagi adalah di bahagian awal kitab Syarah
Kasyifatis Saja ‘ala Safinatin Naja fi Ushuliddin wal Fiqh, tahun penulisan
1277 H (kira-kira 1860 M).
Demikianlah senarai ringkas karya-karya ulama
silam Dunia Melayu yang membahas perkara akidah Islamiah yang sekali gus dari
tahun-tahun penulisan. Dengan ini dapat kita ketahui bahawa ilmu tersebut telah
ditulis bersama-bersama dengan ilmu-ilmu keislaman di bidang lainnya, yang
dapat kita kaji sejak abad ke-16 Masihi lagi.
Kita berkeyakinan bahawa ilmu-ilmu yang membahas
perkara akidah telah sampai di rantau ini dibawa serentak dengan kedatangan
agama Islam itu sendiri.
SUKATAN PELAJARAN ILMU TAUHID TRADISIONAL DI DUNIA
MELAYU
Dalam dunia pendidikan moden, kita mengenal
istilah sukatan pelajaran atau kurikulum. Walaupun istilah tersebut dalam
pendidikan tradisional tidak diperkenalkan secara meluas, namun dari
karya-karya peninggalan mereka dapat kita mengerti bahawa hal itu telah berlaku
sejak lama di Dunia Melayu.
Kurikulum pelajaran tauhid secara tradisional
dapat dibahagi kepada berikut, iaitu: Peringkat Awal/Permulaan, Peringkat
Menengah dan Atas dan Peringkat Pembahasan dan Penyelidikan.
Peringkat-peringkat tersebut dapat dibicarakan satu persatu bahagiannya sebagai
berikut:
I. Peringkat Awal/Permulaan
Dimaksudkan dengan Peringkat Awal / Permulaan
ialah orang-orang yang baru memasuki pelajaran Ilmu Tauhid dan tidak terikat
dengan umur.
Adakalanya seorang kanak-kanak yang berumur tujuh
tahun atau seorang yang telah tua hingga melebihi 40 tahun mereka wajib diberi
pengertian asas tauhid dengan cara menghafal.
Bezanya hanyalah cara menyampaikannya sahaja,
tentu saja tidak sama menerapkannya antara seorang kanak-kanak dengan seorang
yang telah berumur.
Untuk peringkat ini Sheikh Daud bin Abdullah
al-Fathani sekurang-kurangnya telah menyusun dua kitab Ilmu Tauhid iaitu
Irsyadul Ithfal dan ‘Iqdatul Jawahir.
‘Iqdatul Jawahir tersebut selain merupakan asas
akidah, dapat juga digunakan sebagai penolong ke arah sastera klasik kerana ia
ditulis dalam bentuk syair dua bait, dua bait tak ubahnya seperti ‘Gurindam Dua
Belas’ gubahan Raja Ali Haji dari Riau.
Barangkali gaya bahasa sastera Sheikh Daud bin
Abdullah al-Fathani seperti tersebut telah mempengaruhi sasterawan yang berasal
dari Riau itu. Ini kerana tidak dapat dinafikan Sheikh Daud bin Abdullah
al-Fathani adalah termasuk salah seorang guru kepada Raja Ali Haji sewaktu dia
ke Mekah dalam tahun 1245 H (kira-kira 1831 M), iaitu tahun Sheikh Daud bin
Abdullah al-Fathani menyelesaikan karya beliau ‘Iqdatul Jawahir.
Selain mengarang dua kitab dalam bahasa Melayu
untuk peringkat ini, Sheikh Ahmad al-Fathani juga menekankan supaya kanak-kanak
digalakkan menghafal akidah berbentuk dalam bahasa Arab.
Hal ini disedari beliau kerana untuk
pengiktirafan menjadi seorang ulama peringkat antarabangsa adalah dimestikan
menguasai bahasa Arab dalam pelbagai bentuk keilmuannya.
Ada empat karya Sheikh Ahmad al-Fathani untuk
peringkat ini, iaitu dua dalam bahasa Arab dan dua dalam bahasa Melayu.
Judul kitab dalam bahasa Arab ialah Jumanatut
Tauhid dan Munjiatul ‘Awam. Kedua-duanya ditulis di Mesir dan telah diuji oleh
pengarangnya mengajar kedua-dua kitab itu di Masjid Jamek Azhar, Mesir kepada
orang-orang yang bukan berasal dari Dunia Melayu.
Dua karya Sheikh Ahmad al-Fathani untuk Peringkat
Awal dalam bahasa Melayu pula ialah An Nurul Mubin dan ‘Aqidah Ushuluddin
Pendek.
Dalam kedua-dua kitab kecil tersebut, beliau
menyimpulkan seluruh akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah untuk kanak-kanak dan orang
awam adalah meliputi beberapa perkara berikut, antaranya: tentang rukun Islam,
rukun iman, Sifat Kamalat yang wajib bagi Allah ada 13 sifat, demikian juga
lawannya, kemudian ditambah lagi tujuh sifat yang dinamakan Sifat Ma’nawiyah
dan sebagainya yang banyak tidak dapat dimuatkan keseluruhannya di sini.
Dua karya yang beliau tulis dalam bahasa Arab
yang berbentuk syair pula. Kandungannya jauh lebih lengkap daripada yang
ditulis dalam bahasa Melayu. Hal ini dapat dimaklumi kerana kedua-dua kitab
bahasa Arab itu adalah untuk diajar di pondok-pondok yang bercorak pengkaderan
bukan untuk orang awam.
Dari segi akidah jelas mencerminkan suatu ajaran
yang dapat dipertanggungjawabkan. Ditinjau dari segi bahasa Arab, Sheikh Ahmad
al-Fathani nampaknya berusaha supaya dari peringkat kanak-kanak lagi perlu
diajar bahasa Arab yang begitu tinggi hingga sampai kepada gaya bahasa
sasteranya.
Ditinjau dari segi kelengkapan kandungan, sebagai
contoh seperti tertulis dalam Jumanatut Tauhid pada bait pertama (tidak dapat
dipaparkan contoh dalam bahasa Arab) iaitu, maksudnya, “bahawa wajib memelihara
kulliyat lima atau enam perkara, iaitu: agama Islam, diri, harta, nasab,
kehormatan, dan akal”.
Pada bait yang lain antaranya ditinjau dari sudut
politik, bahawa untuk memelihara yang tersebut itu adalah “menghendaki kepada
pentadbiran yang baik pula”.
Politik yang baik dan pentadbiran yang baik
menurut Sheikh Ahmad al-Fathani dalam karyanya yang lain ialah menurut yang
telah diperintahkan Allah kepada para RasulNya. Diakui atau tidak ketokohan
ulama kita ini mengkaderkan tokoh-tokoh politik di Dunia Melayu melalui akidah
Islamiah yang berkesinambungan memerlukan analisis, pengkajian dan pandangan
secara jujur secara saksama dan mendalam.
Sebagai bukti, sehingga tertulis dalam buku
Kurikulum Bersepadu Seolah Menengah Sejarah Tingkatan 2 yang diterbitkan oleh
Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia tahun 1989, halaman
182 sebagai yang berikut: “Di Tanah Melayu pada masa itu, telah ada tokoh yang
menganjurkan agar negeri Kelantan dan Patani membentuk sebuah negara Islam.
Tokoh tersebut ialah seorang ulama terkenal di Mekah. Beliau ialah Sheikh Haji
Wan Ahmad bin Haji Wan Muhammad Zain yang berasal dari Patani. Beliau
menganjurkan agar negeri Kelantan dan Patani bersatu untuk menentang Siam dan
membentuk sebuah kerajaan Islam yang akan dilindungi oleh Empayar Turki”.
Di bahagian akhir kitab Jumanatut Tauhid
diperlengkapkan dengan beberapa bait pengertian akidah yang bersangkut paut
dengan tasauf. Untuk melengkapi akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah di peringkat
awal sebagai pengkaderan di pengajian pondok tersebut, Sheikh Ahmad al-Fathani
menulis di dalam Munjiyatul ‘Awam li Manhajil Huda minaz Zhalam dengan beberapa
bait tentang tanda-tanda kiamat.
Penutup
Seterusnya untuk dua peringkat yang tidak
dibicarakan lagi iaitu peringkat Menengah/atas dan peringkat perbahasan/
penyelidikan dalam sukatan ilmu tauhid tradisonal di Alam Melayu ini akan
disambung perbicaraannya pada ruangan yang sama pada minggu hadapan.
Untuk bahagian pertama ini, dapat disimpulkan
bahawa ulama-ulama silam Dunia Melayu yang dapat dipercayai dan
dipertanggungjawabkan ilmunya di bidang akidah Islamiah telah berhasil
mengarang ilmu tersebut dalam banyak judul kitab, sama ada dalam bahasa Melayu
mahupun dalam bahasa Arab.
Malahan terdapat beberapa judul kitab akidah yang
ditulis dalam bahasa Arab dapat diajarkan di luar Dunia Melayu, termasuk
orang-orang Arab sendiri menggunakan karya ulama Melayu tersebut.
Sejarah singkat aliran Maturidiyah
Dengan memperhatikan secara seksama sejarah aliran
Maturidiyah, secara jelas akan terbukti bahwa pemikiran-pemikiran teologis
aliran ini bersumber dari Abu Hanifah. Karena sebelum masuk ke dalam
pembahasan-pembahasan fikih, Abu Hanifah pernah memiliki halaqah kajian
teologi. Sejak awal ketika masalah-masalah teologi secara sederhana muncul di
tengah-tengah Islam, pada waktu itu sudah terbentuk dua kelompok di tengah-tengah
kaum muslimin.
1. Kelompok
Ahlul Hadis yang dikenal dengan Hasywiah, Salafiah dan Hanabilah. Kelompok ini,
seluruh keyakinannya disandarkan kepada makna-makna lahir dari ayat-ayat Qur’an
dan sebagian besar dari keyakinan tersebut bersumber dari hadis. Mereka tidak
menganggap akal sebagai sesuatu yang bernilai, dan jika di dalam kelompok ini
ditemukan keyakinan-keyakinan seperti menyerupakan Tuhan dengan makhluk
(tasybih) dan menganggap Tuhan adalah benda (tajsim), keterpaksaan atau
determinisme (jabr), berkuasanya qadha dan qadar atas perilaku-perilaku bebas
manusia, dan atau bersikeras atas keyakinan berkenaan dengan bahwa Tuhan dapat
dilihat di hari kebangkitan, semuanya adalah akibat-akibat dari hadis-hadis
yang tersebar di antara mereka, dan biasanya jejak tangan ulama-ulama Yahudi
dan pendeta-pendeta Nasrani terlihat di dalam hadis-hadis tersebut. Mereka
meyakini bahwa kalam Ilahi (Qur’an) adalah sesuatu yang sudah ada sebelum
diciptakannya semesta ini (qadim). Seperti halnya kebanyakan orang Yahudi
menganggap Taurat sebagai sesuatu yang ada tanpa didahului oleh sesuatu apapun
(azali) dan begitu juga orang-orang Nasrani yang menganggap Al Masih azali,
mereka juga menganggap Al Qur’an sebagai qadim dan azali.
2. Kelompok
Mu’tazilah yang menganggap akal sebagai sesuatu yang berharga dan bernilai,
mereka menolak hadis dan riwayat yang bertentangan dengan hukum akal, dan
sumber keyakinan-keyakinan mereka diambil dari teks-teks ayat Qur’an dan hadis
Nabi Saw yang pasti dan juga dari hukum akal. Sesuatu yang perlu dikritisi dari
mereka adalah sikap mereka yang memberikan penilaian terlalu tinggi terhadap
akal melebihi kapasitasnya dan begitu banyak teks-teks Qur’an yang pasti yang
ada di syariat suci Islam dikesampingkan, karena dianggap muatannya mengandung
pemikiran yang bertentangan dengan akal.
Bertahun-tahun
lamanya berlangsung peperangan pemikiran yang tiada hentinya di antara kedua
kelompok ini, dan kemenangan salah satu kelompok atas kelompok yang lainnya
bergantung kepada bantuan-bantuan para penguasa di masa lalu; penguasa-penguasa
tersebut berpihak kepada salah satu kelompok dan berusaha melemahkan kelompok
yang lain.
Pertarungan ini
berlanjut dengan intensitas yang semakin tinggi sampai permulaan abad 300
Hijriah, akan tetapi pada permulaan abad keempat, dua orang yang berasal dari
dua wilayah yang berbeda menunjukkan dirinya dan melahirkan sebuah aliran yang
pada hakikatnya adalah sebuah aliran yang moderat dan tidak berpihak kepada dua
aliran sebelumnya, baik itu Ahli Hadis ataupun Mu’tazilah. Salah satu dari dua
orang ini adalah Abul Hasan Asy’ari (260-324 Hijriah) di Irak yang keluar dari
aliran Mu’tazilah dan bertobat karena telah meyakininya, dan mengumumkan
dirinya sebagai kawan dan pendukung Ahmad bin Hanbal, dan saat ini terdapat
campur tangan dalam aliran Ahmad bin Hanbal dan secara perlahan aliran ini
menjadi aliran resmi Ahlu Sunnah. Dan orang yang kedua adalah Abu Mansur
Maturidi Samarqandi (250-333 Hijriah) di belahan timur dunia Islam, seorang
pendukung aliran Ahli Hadis yang melakukan persis apa yang dilakukan oleh
koleganya Asy’ari, dan yang luarbiasa adalah walaupun kedua orang pendiri ini
hidup pada satu masa yang sama dan melangkah pada satu jalan yang sama, akan
tetapi mereka tidak saling mengenal satu dengan lainnya.
Wilayah timur
dunia Islam saat itu adalah pusat pembahasan masalah-masalah teologi, seperti
juga halnya Basrah yang merupakan tempat lahirnya Asy’ari adalah titik
pertemuan pandangan-pandangan keyakinan yang berbeda-beda, dan begitu juga
pemikiran-pemikiran asing yang masuk ke dalam Islam dari Negara-negara yang
berbeda pada saat kemenangan-kemenangan yang diraih Islam sebagai
pemikiran-pemikiran impor yang berpindah ke dunia Islam.
Dari sisi
fikih, aliran Hanafi menyebar di daerah Khurasan secara sempurna, pada saat
yang sama kebanyakan penduduk Basrah bermazhab Syafi’i, dari sudut pandang ini
para pengikut mazhab Hanafi memiliki kecenderungan yang tinggi kepada aliran
Maturidiyah, sedangkan para pengikut mazhab Syafi’i lebih dari yang lainnya
memilih aliran Asy’ari. Sebagian dari pemikiran aliran Maturidiyah diperoleh
dari Abu Hanifah dan terpengaruh oleh bukunya yang berjudul Fiqhul Akbar yang
membahas permasalahan keyakinan. Oleh karena itu kebanyakan pengikut aliran
Maturidiyah hidup di Khurasan dan dalam masalah fikih mereka adalah pengikut
mazhab Hanafi, seperti:
1. Fakhrul
Islam Muhammad bin Abdul Karim Bazwadi (493 Hijriah).
2. Abu Hafs
Umar bin Muhammad Nasafi (573 Hijriah).
3. Sa’adudin
Taftazani (791 Hijriah).
4. Kamaludin
Ahmad Bayadzi (abad 11).
5. Kamaludin
Muhammad bin Himamudin (861 Hijriah).
Dengan
memperhatikan dengan seksama sejarah aliran Maturidiyah, secara jelas terbukti
bahwa ia dan pemikiran-pemikiran teologisnya bersumber dari Abu Hanifah, karena
sebelum terjun ke dalam pembahasan fikih, Abu Hanifah memiliki lingkaran
pengkajian teologi, dan ketika ia berhubungan dengan Hamad bin Abi Sulaiman ia
meninggalkan kajian teologinya dan masuk ke dalam pembahasan fikih.
Bukan hanya
Maturidi saja yang keyakinan-keyakinan teologinya bersumber dari Abu Hanifah,
akan tetapi orang yang sezaman dengannya, Abu Ja’far Thahawi (321 hirjiah)
penulis buku Keyakinan-keyakinan Thahawiah, pemikiran-pemikiran teologinya juga
bersumber dari Abu Hanifah, sampai-sampai di pendahuluan bukunya ia mengatakan:
"risalah ini adalah keyakinan para ahli fikih umat Islam, selepas itu ia
mengutip nama Abu Hanifah dan dua murid terkenalnya Abu Yusuf dan Muhammad bin
Hasan Syaibani."[1] Abdul Qahir Baghdadi penulis buku Al Farqu baina Al
Firaq dalam bukunya yang lain yang bertema Ushuludin mengingatkan bahwa Abu
Hanifah memiliki sebuah buku berjudul Al Fiqhul Akbar yang di dalamnya ditulis
sanggahan bagi aliran Qadariah, dan dalam karyanya yang lain membenarkan
kayakinan Ahlu Sunnah dalam sebuah permasalahan.[2] Akan tetapi karya-karya
yang diwariskan Abu Hanifah bukan hanya dua buku ini saja.
Dikarenakan
permasalahan-permasalahan teologi di dalam buku Abu Hanifah tidak tersusun
dengan tertib, Kamaludin Bayadzi di abad kesebelas Hijriah menertibkan
masalah-masalah tersebut dan menulis buku bertajuk Isyaratul Maram min Ibaratil
Imam, dan dalam buku tersebut dikatakan: "saya menyusun dan menertibkan
masalah-masalah ini dengan bersandar kepada buku-buku: 1. Al Fiqhul Akbar 2. Ar
Risalah 3. Al Fiqhul Absath 4. Kitabul Alim wal Mutaalim 5. Al Wasiat, yang kesemuanya
itu dikutip dari Abu Hanifah dengan perantara Masyaikh."[3]
Dari semua yang
telah kita saksikan, jelas bahwa akar dan pondasi aliran Maturidiyah secara
khusus kembali kepada aliran ini sendiri dan dengan cara tertentu kembali
kepada Abu Hanifah; dan seperti yang akan kita saksikan, aliran ini adalah
aliran yang moderat yang tidak memihak Ahli Hadis maupun Mu’tazilah. Lebih dari
itu, bahkan akan kita saksikan bahwa aliran ini dalam metode berpikir lebih
dekat kepada Mu’tazilah ketimbang aliran Ahli Hadis.
Riwayat hidup Maturidi
Hasil
penelaahan kitab-kitab Tarajim membawa kita kepada sebuah keyakinan bahwa
pendiri aliran ini tidak memiliki popularitas yang sempurna di masa hidupnya
dan di kemudian haripun para ahli Tarajim tidak banyak yang merekam kehidupannya,
padahal semua penulis biografi menulis riwayat hidup Asy’ari dan mengingatnya
dengan cara tertentu. Mungkin masalahnya adalah bahwa Maturidi tinggal jauh
dari ibu kota Islam pada waktu itu yaitu Irak, sedangkan Asy’ari lahir di ibu
kota Islam dan meniggal juga di tempat yang sama, dan teman-teman serta
musuh-musuhnya mengingatnya dengan cara tertentu.
Ibnu Nadim (388
M) di dalam bukunya Al Fihrist tidak mengutip tentang Maturidi, sedangkan ia
membawakan riwayat berkenaan dengan Asy’ari walaupun secara singkat. Buku
Syeikh Thahawi pemimpin para pengikut mazhab Hanafi di Mesir banyak diminati
dan banyak ditulis syarah untuknya, akan tetapi hal tersebut tidak terjadi pada
buku-buku Maturidi, dari sudut pandang ini kita melihat bahwa para penerjemah
seperti:
1. Ibnu Khalkan
(681) penulis buku Wafayatul A’yan.
2. Sholahudin
Shafdi (764) penulis buku Al Wafi bil Wafayat.
3. Taqiudin
Islami (774) penulis buku Al Wafayat.
4. Ibnu Khaldun
(808) penulis buku Muqadimah wa Tarikh.
5. Jalaludin
Suyuthi (911) penulis buku Thabaqatul Mufasirin.
Demikian pula
para penulis yang lain, tidak mengutip tentang Maturidi, padahal mereka
mengutip orang-orang yang secara keilmuan lebih rendah darinya. Bahkan orang
yang menerjemahkan masalah yang berkenaan dengannya, tidak mengutipnya secara
terperinci, dan apa yang penulis bisa peroleh dari buku-buku yang berkenaan
dengan kehidupannya adalah apa yang tertulis di sini.
Kelahiran
Para penulis
riwayat hidup Maturidi mengatakan bahwa ia meninggal dunia pada tahun 333,
sedangkan berkenaan dengan tahun kelahirannya mereka tidak menulis apapun. Akan
tetapi dapat dikatakan bahwa ia lahir kira-kira pada tahun 248 atau 250, karena
ia menukil hadis dari Nasir bin Yahya Balkhi dan ia meninggal pada tahun 268.
Jika Maturidi pada waktu itu berumur 20 tahun, dapat dipastikan bahwa tahun
kelahirannya adalah apa yang telah disebutkan.
Tempat kelahiran
Ia dilahirkan
di sebuah tempat yang bernama Maturid yang merupakan salah satu bagian dari
Samarqand di Mawara Al Nahr (wilayah yang termasuk Asia Tengah, yang sekarang
kira-kira adalah wilayah Uzbekistan, sebagian dari Turkmenistan dan
Kazakhstan), dan setelah itu ia dikenal dengan nama-nama seperti Maturidi
Samarqandi atau Alamul Huda, dan secara nasab ada kemungkinan bersambung ke Abu
Ayub Anshari, orang yang rumahnya menjadi tempat persinggahan Rasulullah
Saw.[4]
Pendidikan
Dalam aqidah,
teologi dan fikih ia mengikuti imam mazhabnya sendiri yaitu Abu Hanifah, dan
belajar dari orang-orang seperti:
1. Abu Bakr
Ahmad bin Ishaq Juzjani
2. Abu Nasr
Ahmad bin Al Ayadz
3. Nasir bin
Yahya muridnya Hafs bin Salim bapaknya Maqatil
4. Muhammad bin
Maqatil[5]
Teologi Ahlu
Sunnah adalah hasil rancangan dan bangunan dua orang, yang pertama bermazhab
Hanafi dan yang kedua bermazhab Syafi’i, yang bermazhab Hanafi yaitu Abu Mansur
Maturidi dan yang Syafi’i Abu Al Hasan Asy’ari.[6]
Muslihudin
Qastilani mengatakan orang yang paling terkenal dalam masalah ilmu teologi di
tanah Khurasan, Irak, Syam dan sebagian besar wilayah yang lain adalah Abu Al
Hasan Asy’ari dan di Mawara Al Nahr adalah Abu Mansur Maturidi.[7]
Zubaidi
mengatakan setiap kali kata Ahlu Sunnah diucapkan, yang dimaksud adalah
Asy’ariah dan Maturidiyah.[8]
Murid-murid
Sekelompok
teolog pernah mengecap pelajaran darinya, di antaranya adalah nama-nama ini:
1. Abu Al
Qasim, Ishaq bin Muhammad dikenal dengan Hakim Samarqandi (340).
2. Imam Abu Al
Laits Bukhari.
3. Abu Muhammad
Abdul Karim bin Musa Bazdawi. Ia adalah kakek dari jalur bapak Muhammad bin
Muhammad bin Al Husein bin Abdul Karim Bazdawi penulis buku Ushuludin, dalam
buku ini ia berkata: aku telah membaca buku Tauhid Abu Mansur Maturidi
Samarqandi dan itu sesuai dengan mazhab Ahlu Sunnah. Ayahku dari kakeknya Abdul
Karim bin Musa menukil tentang keajaiban yang dimiliki Abu Mansur Maturidi, dan
kakek kami belajar tentang maksud-maksud dari buku-buku Masyaikh, buku Tauhid
dan buku Ta’wilat[9] dari Abu Mansur Maturidi. Apa yang ada adalah bahwa buku
Tauhid Maturidi bukannya kosong dari ketertutupan, dan jika ia jauh dari
ketertutupan, kita sudah mencukupkan diri dengan buku tersebut.
Karya-karya Maturidi
Abu Mansur mewariskan
banyak karya dan yang ada sekarang tidak lebih dari tiga buku saja, dua di
antaranya sudah dicetak dan yang lainnya masih berupa tulisan tangan.
1. Buku Tauhid,
buku ini adalah buku sumber terbesar keyakinan dan aqidah aliran Maturidiyah.
Dalam buku ini untuk membuktikan kebenaran pendapatnya, ia menggunakan Al
Qur’an, hadis dan akal, dan terkadang memberikan keutamaan yang lebih besar
kepada akal.
Buku ini pernah
dicetak dengan tebal 412 halaman di Beirut dan Dr. Fathullah Khalif adalah
orang yang meneliti keabsahan ayat dan riwayatnya. Dan begitu juga yang
dikatakan Bazdawi penulis buku Ushuludin berkenaan dengan kosongnya buku ini
dari ketertutupan.
2. Ta’wilat
Ahli Sunnah, buku ini berkenaan dengan tafsir Al Qur’an dan di dalamnya
dijelaskan tentang keyakinan-keyakinan Ahlu Sunnah dan pandangan-pandangan
fikih imam mazhabnya yaitu Abu Hanifah, pada hakikatnya ini adalah buku aqidah
dan fikih. Buku ini juga merupakan satu paket tafsir Al Qur’an dan buku
tersebut mencakup juz terakhir Qur’an dari surat Munafiqin sampai akhir Qur’an.
Dan buku tersebut diterbitkan oleh Dr. Ibrahim Iwadzain dengan bantuan yang
lainnya di Kairo. Ketika dibandingkan, jelas terlihat bahwa kedua buku ini satu
sama lain betul-betul memiliki kesamaan dalam hal pembahasan masalah-masalah
aqidah dan keyakinan.
3. Al Maqalat,
peneliti buku At Tauhid berkata bahwa naskah buku ini ada di beberapa
perpustakaan Eropa. Akan tetapi karya-karya lainnya dan nama-namanya tercantum
di buku-buku terjemahan di antaranya adalah:
4. Akhdzu Al
Syara’i
5. Al Jadal fi
Ushul Al Fiqh
6. Bayan wa Hum
Al Mu’tazilah
7. Rad Kitab Al
Ushul Al Khomsah lil Bahili
8. Rad Al
Imamah li ba’dzi Al Rawafidz
9. Al Rad ala
Ushu Al Qaramathah
10. Rad Tahdzib
Al Jadal lil Ka’bi
11. Rad wa Aid
Al Fisaq lil Ka’bi
12. Rad Awa’il
Al Adilah lil Ka’bi
Hingga sekarang
buku-buku ini tidak dapat diperoleh.
Penulis:
Ayatullah Jakfar Subhani
_______________________________________
[1]
Ruh Al Aqidah Al Thahawiah, hlmn. 25, karya Syeikh Abdul Ghani Meidani
Dimisyqi, wafat tahun 1298.
[1] Maksudnya adalah bersamaannya kekuatan dan perbuatan, atau kekuatan yang
lebih dulu ketimbang perbuatan dan Abu Hanifah dan kebanyakan Ahlu Sunnah
mengatakan bahwa kekuatan bersamaan dengan perbuatan.
[1] Isyaratul Maram, hlmn. 21-22, buku ini adalah salah
satu buku sumber aliran teologi Maturidi, dan sebelum ini semua buku-buku
Maturidi sendiri seperti At Tauhid dan At Tafsir, dan setelah kedua buku ini
buku Ushuludin Bazdawi.
[1] Bayadzi, Isyaratul Maram, hlmn. 23.
[1] Isyaratul Maram, hlmn. 23.
[1] Miftahu Saadah wa Misbahu Siyadah, jilid 2, hlmn.
22-23.
[1] Hasyiah Kasteli untuks syarah Al Aqa’id Al Nasafiah
yang telah diterbitkan bersama dengan syarahnya, hlmn. 17.
[1] Itihafu Saadah Al Mutaqin bi syarhi Asrar Ihya
Ulumudin, jilid 2, hlmn. 8, Kairo.
[1] Buku At Tauhid dan Ta’wilat Ahli Sunat adalah karya
Abu Mansur yang merupakan kakek dari ayah Bazdawi, kedua buku tersebut
dibacakan di hadapannya. Silahkan merujuk kepada buku Ushuludin Bazdawi.
Fiqhislam.com - Setelah
wafatnya Khalifah Usman bin Affan dan tampilnya Ali bin Abu Thalib sebagai
khalifah keempat, umat Islam terpecah dalam memberikan dukungan.
Ada yang meminta supaya diusut dulu penyebab wafatnya Usman dan siapa dalang di baliknya, sedangkan yang lain meminta ditegakkan dulu posisi khalifah untuk meredakan situasi yang genting.
Kondisi yang ‘mencekam’ itu membuat umat Islam terpecah dalam memberikan dukungan kepada Ali bin Abu Thalib. Ada yang mendukung dan ada pula yang menentangnya.
Akibatnya, bermunculan tuduhan saling menyesatkan di antara umat Islam. Bahkan, sampai ada kelompok yang mengafirkan kelompok lain. Inilah salah satu faktor yang menyebabkan munculnya paham atau aliran teologi (akidah) dalam Islam. Di antara aliran teologi itu, salah satunya adalah aliran Maturidiyah.
Aliran Maturidiyah merupakan aliran teologi yang bercorak rasional-tradisional. Aliran ini kali pertama muncul di Samarkand, pertengahan kedua abad kesembilan Masehi. Nama aliran itu dinisbahkan dari nama pendirinya, Abu Mansur Muhammad Al-Maturidi.
Al-Maturidi lahir dan hidup di tengah-tengah iklim keagamaan yang penuh dengan pertentangan pendapat antara Muktazilah dan Asy’ariyah mengenai kemampuan akal manusia.
Aliran ini disebut-sebut memiliki kemiripan dengan Asy’ariyah. Sebelum mendirikan aliran Maturidiyah ini, Abu Mansur Al-Maturidi adalah murid dari pendiri Asy’ariyah, yakni Abu Hasan Al-Asy’ari.
Ada yang meminta supaya diusut dulu penyebab wafatnya Usman dan siapa dalang di baliknya, sedangkan yang lain meminta ditegakkan dulu posisi khalifah untuk meredakan situasi yang genting.
Kondisi yang ‘mencekam’ itu membuat umat Islam terpecah dalam memberikan dukungan kepada Ali bin Abu Thalib. Ada yang mendukung dan ada pula yang menentangnya.
Akibatnya, bermunculan tuduhan saling menyesatkan di antara umat Islam. Bahkan, sampai ada kelompok yang mengafirkan kelompok lain. Inilah salah satu faktor yang menyebabkan munculnya paham atau aliran teologi (akidah) dalam Islam. Di antara aliran teologi itu, salah satunya adalah aliran Maturidiyah.
Aliran Maturidiyah merupakan aliran teologi yang bercorak rasional-tradisional. Aliran ini kali pertama muncul di Samarkand, pertengahan kedua abad kesembilan Masehi. Nama aliran itu dinisbahkan dari nama pendirinya, Abu Mansur Muhammad Al-Maturidi.
Al-Maturidi lahir dan hidup di tengah-tengah iklim keagamaan yang penuh dengan pertentangan pendapat antara Muktazilah dan Asy’ariyah mengenai kemampuan akal manusia.
Aliran ini disebut-sebut memiliki kemiripan dengan Asy’ariyah. Sebelum mendirikan aliran Maturidiyah ini, Abu Mansur Al-Maturidi adalah murid dari pendiri Asy’ariyah, yakni Abu Hasan Al-Asy’ari.
Dalam
Ensiklopedia Islam terbitan Ichtiar Baru Van Hoeve, disebutkan, pada
pertengahan abad ke-3 H terjadi pertentangan yang hebat antara golongan
Muktazilah dan para ulama.
Sebab, pendapat Muktazilah dianggap menyesatkan umat Islam. Al-Maturidi yang hidup pada masa itu melibatkan diri dalam pertentangan tersebut dengan mengajukan pemikirannya.
Pemikiran-pemikiran Al-Maturidi dinilai bertujuan untuk membendung tidak hanya paham Muktazilah, tetapi juga aliran Asy’ariyah.
Banyak kalangan yang menilai, pemikirannya itu merupakan jalan tengah antara aliran Muktazilah dan Asy’ariyah. Karena itu, aliran Maturidiyah sering disebut “berada antara teolog Muktazilah dan Asy’ariyah”.
Namun, keduanya (Maturidi dan Asy’ari) secara tegas menentang aliran Muktazilah. Kaum Asy’ari berhadapan dengan Muktazilah di pusatnya, yakni Basrah, sedangkan Maturidi berhadapan di Uzbekistan, di daerah Maturid. Karena itulah, Maturidiyah dan Asy’ariyah dianggap memiliki kesamaan walaupun berbeda aliran.
Menurut Muhammad Abduh, sebagaimana dikutip Ahmad Hanafi dalam “Theology Islam (Ilmu Kalam)”, yang sering dipermasalahkan keduanya tidak lebih dari 10 soal dan semuanya tidak terlalu prinsip, kecuali hanya istilah.
Keduanya membela kepercayaan yang ada dalam Alquran. Dalam usahanya tersebut, keduanya mengikatkan diri pada kepercayaan itu.
Sebab, pendapat Muktazilah dianggap menyesatkan umat Islam. Al-Maturidi yang hidup pada masa itu melibatkan diri dalam pertentangan tersebut dengan mengajukan pemikirannya.
Pemikiran-pemikiran Al-Maturidi dinilai bertujuan untuk membendung tidak hanya paham Muktazilah, tetapi juga aliran Asy’ariyah.
Banyak kalangan yang menilai, pemikirannya itu merupakan jalan tengah antara aliran Muktazilah dan Asy’ariyah. Karena itu, aliran Maturidiyah sering disebut “berada antara teolog Muktazilah dan Asy’ariyah”.
Namun, keduanya (Maturidi dan Asy’ari) secara tegas menentang aliran Muktazilah. Kaum Asy’ari berhadapan dengan Muktazilah di pusatnya, yakni Basrah, sedangkan Maturidi berhadapan di Uzbekistan, di daerah Maturid. Karena itulah, Maturidiyah dan Asy’ariyah dianggap memiliki kesamaan walaupun berbeda aliran.
Menurut Muhammad Abduh, sebagaimana dikutip Ahmad Hanafi dalam “Theology Islam (Ilmu Kalam)”, yang sering dipermasalahkan keduanya tidak lebih dari 10 soal dan semuanya tidak terlalu prinsip, kecuali hanya istilah.
Keduanya membela kepercayaan yang ada dalam Alquran. Dalam usahanya tersebut, keduanya mengikatkan diri pada kepercayaan itu.
Semasa
hidupnya, Al-Maturidi dikenal sebagai pengikut setia Imam Hanafi yang terkenal
ketat dengan keabsahan pendapat akal.
Al-Maturidi memang banyak menimba ilmu kepada para ulama dari Mazhab Hanafi, seperti Muhammad bin Muqatil Ar-Razi, Abu Bakar Ahmad bin Ishaq Al-Juzjani, Abu Nasr Al-Iyadi, dan Nusair bin Yahya.
Sebagai pengikut Imam Hanafi, tak mengherankan bila paham teologi yang disebarkan oleh Al-Maturidi memiliki banyak persamaan dengan paham-paham yang dipegang Imam Hanafi yang mengedepankan pertimbangan akal dalam memecahkan berbagai masalah keagamaan.
Hal ini pula yang menyebabkan paham Maturidiyah banyak dianut oleh kalangan ulama yang menganut Mazhab Hanafi di bidang fikih.
Terpecah dua
Namun, dalam perkembangannya, aliran Maturidiyah ini terpecah ke dalam dua kelompok, yaitu Maturidiyah Samarkand yang dipimpin oleh Al-Maturidi dan Maturidiyah Bukhara yang dipimpin oleh Abu Al-Yusr Muhammad Al-Bazdawi.
Al-Bazdawi merupakan pengikut Al-Maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam pemikirannya. Nenek Al-Bazdawi menjadi salah satu murid Al-Maturidi. Ia mempelajari ajaran Maturidiyah dari kedua orang tuanya.
Pengelompokan itu terjadi karena ada perbedaan pendirian mengenai wewenang akal. Bagi Maturidiyah Samarkand, akal manusia dapat mengetahui adanya Tuhan, baik dan buruk, serta mengetahui kewajiban bersyukur kepada Tuhan.
Sementara itu, aliran Maturidiyah Bukhara berpandangan bahwa akal manusia hanya dapat mengetahui adanya Tuhan serta baik dan buruk, sedangkan mengenai kewajiban manusia merupakan wewenang wahyu, bukan wewenang akal. [yy/republika]
Al-Maturidi memang banyak menimba ilmu kepada para ulama dari Mazhab Hanafi, seperti Muhammad bin Muqatil Ar-Razi, Abu Bakar Ahmad bin Ishaq Al-Juzjani, Abu Nasr Al-Iyadi, dan Nusair bin Yahya.
Sebagai pengikut Imam Hanafi, tak mengherankan bila paham teologi yang disebarkan oleh Al-Maturidi memiliki banyak persamaan dengan paham-paham yang dipegang Imam Hanafi yang mengedepankan pertimbangan akal dalam memecahkan berbagai masalah keagamaan.
Hal ini pula yang menyebabkan paham Maturidiyah banyak dianut oleh kalangan ulama yang menganut Mazhab Hanafi di bidang fikih.
Terpecah dua
Namun, dalam perkembangannya, aliran Maturidiyah ini terpecah ke dalam dua kelompok, yaitu Maturidiyah Samarkand yang dipimpin oleh Al-Maturidi dan Maturidiyah Bukhara yang dipimpin oleh Abu Al-Yusr Muhammad Al-Bazdawi.
Al-Bazdawi merupakan pengikut Al-Maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam pemikirannya. Nenek Al-Bazdawi menjadi salah satu murid Al-Maturidi. Ia mempelajari ajaran Maturidiyah dari kedua orang tuanya.
Pengelompokan itu terjadi karena ada perbedaan pendirian mengenai wewenang akal. Bagi Maturidiyah Samarkand, akal manusia dapat mengetahui adanya Tuhan, baik dan buruk, serta mengetahui kewajiban bersyukur kepada Tuhan.
Sementara itu, aliran Maturidiyah Bukhara berpandangan bahwa akal manusia hanya dapat mengetahui adanya Tuhan serta baik dan buruk, sedangkan mengenai kewajiban manusia merupakan wewenang wahyu, bukan wewenang akal. [yy/republika]
Aliran Asy’ariah
A.
Sejarah lahirnya aliran Asy’ariah.
Aliran Al-Asy’ariyah dibentuk oleh Abu Al-Hasan ‘Ali Ibn
Isma’il Al-Asy’ari. Sejak kecil ia berguru pada syech Al-Jubba’i
seorang tokoh mu’tazilah yang sangat terkenal. Karena tidak sepaham dengan
gurunya dan ketidak puasannya terhadap aliran Mu’tazilah, walaupun ia sudah
menganut paham Mu’tazilah selama 40 tahun, maka ia membentuk aliran yang dikenal
dengan namanya sendiri pada tahun 300 Hijriyah.
Menurut Ahmad Mahmud Subhi, ketidak puasan itu timbul karena ia
menganut madzhab Syafi’i yang mempunyai pendapat berbeda dengan aliran
Mu’tazilah, misalnya syafi’i berpendapat bahwa Al-Qur’an itu tidak diciptakan,
tetapi bersifat qadim dan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat nanti. Sedangkan
menurut paham Mu’tazilah, bahwa Al-Qur’an itu bukan qadim akan tetapi hadits
dalam arti baru dan diciptakan Tuhan dan Tuhan bersifat rohani dan tidak dapat
dilihat dengan mata.
Al-Asy’ari meninggalkan paham Mu’tazilah ketika golongan ini
sedang berada dalam fase kemunduran dan kelemahan. Setelah Al-Mutawakkil
membatalkan putusan Al-Ma’mun tentang penerimaan aliran Mu’tazilah sebagai
madzhab Negara, kedudukan kaum Mu’tazilah mulai menurun, apalagi setelah
Al-Mutawakkil mengunjukan sikap penghargaan dan penghormatan terhadap diri Ibn
Hambal, lawan Mu’tazilah terbesar waktu itu.
Dalam suasana demikianlah Al-Asy’ari keluar dari golongan
Mu’tazilah dan menyusun teologi baru yang sesuai dengan aliran orang yang
berpegang kuat pada hadits. Dan pada waktu itu tidak ada aliran teologi lain
yang teratur sebagai gantinya untuk menjadi pegangan mereka. Dengan kata lain,
tidaklah mungkin bahwa Al-Asy’ari melihat bahayanya bagi umat Islam kalau
mereka ditinggalkan tidak mempunyai pegangan teologi yang teratur. Rasanya hal
inilah, ditambah dengan perasaan syak tersebut diatas yang mendorong Al-Asy’ari
untuk meninggalkan ajaran-ajaran Mu’tazilah dan membentuk teologi baru setelah puluhan
tahun ia menjadi penganut setia aliran Mu’tazilah
B.
Ajaran pokok aliran Asy’ariah
1.
Tuhan dan Sifat-sifat-Nya
Pendapatnya
terletak di tengah – tengah antara mu’tazilah, hasywiah, dan mujassimah.
Mu’tazilah tidak mengakui sifat – sifat wujud, qidam, baqo’, dan wahdaniyah.
Sifat zat yang lain, seperti sama’, basyar, dan lain – lain tidak lain hanya
Dzat Allah sendiri. Sedangkan hasywiah dan mujassimah mempersamakan sifat –
sifat Allah dengan sifat makhluk. Al – Asy’ari dalam pada itu mengakui sifat –
sifat tuhan yang tersebut sesuai dengan Dzat tuhan sendiri, dan sama sekali
tidak menyerupai sifat – sifat makhluk. Allah mendengar, tetapi tidak seperti
kita mendengar dan seterusnya.[1]
2.
Kebebasan dalam berkehendak
Dalam
kebebasan berkehendak, al-Asy’ary membedakan anta ra
khaliqdan
kasb. Menurutnya, Allah adalah Khaliq (pencipta) perbuatan manusia, tetapi
manusia lah yang mengupayakannaya (muktasib).
3.
Akal dan Wahyu dan Kriteria Baik-buruk
Al-Asy’ary
mengutamakan wahyu dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan
kontadiktif antara akal dan wahyu.
4.
Qadimnya al-Quran
Al-Asy’ary
mengatakan bahwa walaupun al-Quran terdiri atas kata- kata, huruf, dan bunyi,
semuanya tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim. Namun, bagi
al-Asy’ary al-Quran tidaklah diciptakan.
5.
Melihat Allah
Al-Asy’ary
yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan.
Kemungkinan rukyat dapat terjadi manakala Allah sendiri yang menyebabkan dapat
dilihat atau bilamana dia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk
melihat-Nya.
6.
Keadilan
Allah
adalah penguasa mutlak, jadi Dia tidak memiliki keharusan apapun.
7.
Kedudukan orang yang berdosa
Al-Asy’ary
berpendapat bahwa mukmin yang melakukan dosa besar adalah mukmin yang fasik,
sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa kecuali kufur.[2]
C.
Tokoh-Tokoh Dan Ajaran-Ajarannya
1. Muhammad Ibn al-Thayyib Ibn Muhammad Abu Bakr al-Baqillani.
Ia adalah tokoh Asy’ariyah yang mendapat ajaran-ajaran Al-Asy’ari dari dua murid Al-Asy’ari, yaitu Ibn Mujahid dan Abu Al-Hasan Al-Bahili.. beliau wafat di Bagdad pada tahun 1013 Masehi. Ajaran-ajaran yang disampaikannya tidak selalu selaras dengan ajaran Al-Asy’ari, misalnya bahwa sifat Allah itu bukan sifat melainkan hal. Selanjutanya ia juga tidak sepaham dengan Al-Asy’ari mengenai perbuatan manusia. Menurut Al-Asy’ari perbuatan manusia adalah diciftakan Tuhan seluruhnya, sedangkan menurut Al-Baqillani, manusia mempunyai sumbangan yang efektif dalam perwujudan perbuatannya. Yang diwujudkan Tuhan ialah gerak yang terdapat dalam diri manusia, adapun bentuk atau sifat dari gerak itu dihasilkan oleh manusia itu sendiri.
2.
Abd al-Malik al-Juwaini
Beliau lahir di Khurasan tahun 419 Hijriyah dan wafat pada tahun 478 Hijriyah. Namanya aslinya tidak begitu dikenal malah ia terkenal dengan nama Iman Al-Haramain. Hampir sama dengan Al-Baqillani, ajaran-ajaran yang disampaikannya banyak yang bertentangan dengan ajaran Al-Asy’ari. Misalnya Tangan Tuhan diartikan (ta’wil) kekuasaan Tuhan, mata Tuhan diartikan penglihatan Tuhan dan wajah Tuhan diartikan Wujud Tuhan, sedangkan mengenai Tuhan duduk diatas takhta kerajaan diartikan Tuhan berkuasa dan Maha Tinggi. Mengenai soal perbuatan manusia, ia mempunyai pendapat yang lebih jauh dari Al-Baqillani. Daya yang ada pada manusia itu mempunyai efek, tetapi efeknya serupa dengan efek yang terdapat antara sebab dan musabab. Wujud perbuatan manusia tergantung pada daya yang ada pada manusia, wujud daya itu bergantung pada sebab yang lain dan wujud sebab itu bergantung pula pada sebab yang lain dan demikianlah seterusnya hingga sampai pada sebab dari segala sebab yaitu Tuhan.
Beliau lahir di Khurasan tahun 419 Hijriyah dan wafat pada tahun 478 Hijriyah. Namanya aslinya tidak begitu dikenal malah ia terkenal dengan nama Iman Al-Haramain. Hampir sama dengan Al-Baqillani, ajaran-ajaran yang disampaikannya banyak yang bertentangan dengan ajaran Al-Asy’ari. Misalnya Tangan Tuhan diartikan (ta’wil) kekuasaan Tuhan, mata Tuhan diartikan penglihatan Tuhan dan wajah Tuhan diartikan Wujud Tuhan, sedangkan mengenai Tuhan duduk diatas takhta kerajaan diartikan Tuhan berkuasa dan Maha Tinggi. Mengenai soal perbuatan manusia, ia mempunyai pendapat yang lebih jauh dari Al-Baqillani. Daya yang ada pada manusia itu mempunyai efek, tetapi efeknya serupa dengan efek yang terdapat antara sebab dan musabab. Wujud perbuatan manusia tergantung pada daya yang ada pada manusia, wujud daya itu bergantung pada sebab yang lain dan wujud sebab itu bergantung pula pada sebab yang lain dan demikianlah seterusnya hingga sampai pada sebab dari segala sebab yaitu Tuhan.
3.
Abu Hamid al-Ghazali
Beliau adalah murid dari Abd al-Malik al-Juwaini yang lahir pada tahu 1058-1111 Masehi. . Paham teologi yang dianutnya tidak jauh berbeda dengan paham-paham Al-Asy’ari. Al-Qur’an bersifat qadim dan tidak diciptakan. Selanjutnya ia-pun menyatakan bahwa Tuhan dapat dilihat, sebab setiap yang mempunyai wujud dapat dilihat. Selanjutnya ajaran yang disampaikannya adalah penolakan tentang paham keadilan yang diajarkan oleh Mu’tazilah. Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemashlahatan (al-salah wa al-ashlah) manusia, tidak wajib memberi upah atau ganjaran kepada manusia atas perbuatan-perbuatannya, bahkan Tuhan boleh memberi beban yang tidak mungkin dikerjakan manusia.
Beliau adalah murid dari Abd al-Malik al-Juwaini yang lahir pada tahu 1058-1111 Masehi. . Paham teologi yang dianutnya tidak jauh berbeda dengan paham-paham Al-Asy’ari. Al-Qur’an bersifat qadim dan tidak diciptakan. Selanjutnya ia-pun menyatakan bahwa Tuhan dapat dilihat, sebab setiap yang mempunyai wujud dapat dilihat. Selanjutnya ajaran yang disampaikannya adalah penolakan tentang paham keadilan yang diajarkan oleh Mu’tazilah. Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemashlahatan (al-salah wa al-ashlah) manusia, tidak wajib memberi upah atau ganjaran kepada manusia atas perbuatan-perbuatannya, bahkan Tuhan boleh memberi beban yang tidak mungkin dikerjakan manusia.
Aliran Maturidiyah
A. Latar belakang lahirnya aliran Maturidiyah.
Sejarah timbulnya aliran maturidiyah sama halnya dengan aliran – aliran yang
lainya dalam teologi Islamyaitu merupakan rentetan dari aliran teologi
sebelumnya. Aliran Mu’tazilah yang becorak rasionalisme telah mendapat
tantangan keras dari golongan tradisional Islam, terutama dari golongan madzhab
Hambali, sehingga politik kekerasan yang dilakukan Mu’tazilah berkurang,
apalagi setelah meninggalnya Al Ma’mun yaitu putra darikholifah Harun Ar
–Rosyid yang telah menjadikan Mu’tazilah sebagai madzab resmi yang dianut
Negara, sehingga Mu’tazilah dalam menyiarkan ajaranya bersifat memaksa.
Aliran Mu’tazilah sebagai madzhab resmi dibatalkan oleh kholifah Al –
Mutawawakil pada tahun 856 M, dengan pembatalan itu Mu’tazilah kembali
pada kedudukanya saat mendapat tantangan dari umat Islam. Yang diawali oleh Abu
Hasan Al – Asy’ari ( 935 M ) dengan Aliranya yang disebut Asy’ariah. Sementara
itu di Samarkand timbul pula Aliran yang didirikan oleh Abu Mansyur Muhammad Al
– Maturidi yang lahir di desa Maturid sekitar pertengahan abad 3 Hijriyah dan
meninggal di Samarkand Th. 332 H atau 944 M dan aliran ini dikenal dengan nama
Al – Maturidiyah. Aliran Maturidiyah dalam pahamnya tidak se-tradisional
Ays’ariah, akan tetapi juga tidak se-liberal Mu’tazilah, jelasnya Abu Hasan –
Asy’ari dan Abu Mansyur Al – Maturidi sebagai aliran penantang terhadap aliran
Mu’tazilah. Keduanya juga disebut dengan Ahlusunnah wal Jamaah. Aliran
Maturidiyah banyak dianut umat Islam yang bermadzhab Hanafi, sedangkan
Asy’ariah banyak dianut umat Islam Sunni lainya.[3]
B.
Pokok – pokok ajaran Maturidiyah
1.
Kewajiban mengetahui tuhan. Akal semata-mata sanggup mengetahui tuhan. Namun
itu tidak sanggup dengan sendirinya hukum-hukum takliti (perintah-perintah
Allah SWT)
2.
Kebaikan dan kerburukan dapat diketahui dengan akal.
3.
Hikmah dan tujuan perbuatan tuhan
Perbuatan tuhan mengandung kebijaksanaan (hikmah). Baik dalam cipta-ciptaannya
maupun perintah dan larang-larangannya, perbuatan manusia bukanlah merupakan
paksaan dari Allah, karena itu tidak bisa dikatakan wajib, karena kewajiban itu
mengandung suatu perlawanan dengan iradahNya.
C.
Golongan dalam aliran Maturidiyah
1.
Golongan Samarkand
Yang menjadi golongan ini adalah pengikut-pengikut Al-Maturidi sendiri.
Golongan ini cenderung ke arah faham Asy’ariyah, sebagaimana pendapatnya
tentang sifat-sifat Tuhan. Dalam hal perbuatan manusia, maturidi sependapat
dengan Mu’tazilah, bahwa manusialah yang sebenarnya mewujudkan perbuatannya.
Al-Maturidi berpendapat bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu.
2.
Golongan Bukhara
Golongan ini dipimpin oleh Abu Al-Yusr Muhammad Al-Bazdawi. Dia merupakan
pengikut Maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam pemikirannya. Jadi
yang dimaksud dengan golongan Bukhara adalah pengikut-pengikut Al-Bazdawi dalam
aliran Al-Maturidiyah. Walaupun sebagai pengikut aliran Al-Maturidiyah,
AL-Bazdawi tidak selalu sefaham dengan Maturidi. Ajaran teologinya banyak
dianut oleh umat islam yang bermazhab Hanafi. Dan hingga saat ini
pemikiran-pemikiran Al-Maturidiyah masih hidup dan berkembang di kalangan umat
islam.[4]
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad,
Muhammad, Tauhid Ilmu Kalam, Bandung : CV. Pustaka Setia 1998.
Jurnal
IQRA, Vol. 4, No. 2, Juli 2008
Rozak,
Abdul Ilmu Kalam. Bandung : Pustaka Setia. 2007
Hanafi, A, Pengantar Teologi Islam, Jakarta : Pustaka Al Husna Baru. 2003
[1]
.A. Hanafi. Pengantar Teologi Islam, hal : 133
[2]
. Abdul Rozak. Ilmu Kalam. Bandung : Pustaka Setia. 2007 hal. 121
[3]
. Jurnal IQRA, Vol. 4, No. 2, Juli 2008, hal 264 - 272
[4]
. Drs. H. Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, Bandung : CV. Pustaka Setia 1998.
Hal 190 -191
Aswaja dan tantangan masa kini
Sebelum kelompok-kelompok teologis
dalam Islam lahir, Ahlussunnah Wal Jamaah (selanjutnya disebut Aswaja) adalah
umat Islam itu sendiri. Namun setelah kelompok-kelompok teologis muncul, Aswaja
berarti para pengikut Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi. Dalam
pengertian terakhir ini, Aswaja sepadan dengan kelompok-kelompok teologis
semisal Mu’tazilah, Syiah, Khawarij dan lain-lain.
Dalam sejarahnya, kemunculan
kelompok-kelompok ini dipicu oleh masalah politik tentang siapakah yang berhak
menjadi pemimpin umat Islam (khalifah) setelah kewafatan Rasulullah, Muhammad
SAW. Setelah perdebatan antara kelompok sahabat Muhajirin dan Anshor
dituntaskan dengan kesepakatan memilih Abu Bakar sebagai khalifah pertama,
kesatuan pemahaman keagamaan umat Islam bisa dijaga. Namun menyusul huru-hara
politik yang mengakibatkan wafatnya khalifah ketiga, Utsman Bin Affan, yang
disusul dengan perang antara pengikut Ali dan Muawiyah, umat Islam terpecah
menjadi kelompok-kelompok Syiah, Khawarij, Ahlussunnah dan –disusul belakangan,
terutama ketika perdebatan menjadi semakin teologis oleh—Mu’tazilah dan
lain-lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar