INFO PROFIL

Foto saya
JENTREK ROJOIMO WONOSOBO, jawa tengah indonesia, Indonesia
Ya Allah jadikan kami manusia yang bisa keluar dari belenggu “kemunafikan”. Bimbing kami untuk tidak mengoreksi orang lain sebelum diri ini terkoreksi ya Rabb. Jadikan kami manusia yang jujur dan tidak pernah membohongi diri sendiri apalagi orang lain. kepadaMulah kami berserah ya Allah, kepadaMulah kami bermohon karena tanpa kehendakMu kami tidak bisa berbuat apa-apa Affannur Jentrek rojoimo wonosobo . lahir13 Agustus 1989

Minggu, 27 Oktober 2013

Aswaja Klaim Nahdlatul Ulama
Pembakuan terhadap Kemapanan dalam Visi
Anak Muda Nahdlatul ‘Ulama*
Imam Ghazali MA
Mukaddimah NU sejak berdirinya tahun 1926 mencantumkan istilah aswaja pada Qanun Asasinya.Jadi bagi NU, aswaja adalah doktrin aqidah yang harus dimengerti, ditanamkan secara benar dan dipertahankan oleh pimpinan dan para anggotanya. Dalam perkembangan selanjutnya, konsep Ahlusunnah Waljamaah disingkat Aswaja yang dijabarkan oleh K.H.Bisyri Mustafa dibakukan menjadi Aswaja versi NU. Menurutnya Aswaja adalah golongan muslim yang mengikuti rumusan Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al- Maturidi dalam bidang aqidah dan mengikuti salah satu dari mazhab empat dalam fiqih serta mengikuti Imam Al-Junaid al-Bagdadi dan Abu Hamid al-Ghazali dibidang tasawuf. Dan kesemuanya itu menjadi rangkaian kesatuan yang tak dapat dipisahkan.
Tapi anehnya, ulama NU sejak berdiri sampai saat ini belum sempat melakukan “kajian serius” terhadap pemikiran para tokoh perumus Aswaja tadi. Kevakuman ini mendorong generasi muda NU terutama mereka yang mengenyam pendidikan tinggi, seperti Said Aqil, Masdar F. Mas’udi, Nurhadi Iskandar, Ulil Absar Abdalla dan lain-lain mencoba untuk melakukan “kajian kritis” terhadap keabsahan rumusan tersebut. Apakah betul klaim aswaja sebagai doktrin kelompok tradisional (baca NU) ?.
Jauh sebelumnya, Umar Hasyim dalam bukunya Apakah Anda Temasuk Golongan Ahlussunnah Wal Jamaah menekankan bahwa pengertian Ahlussunnah Wal Jamaah dianut oleh seluruh umat Islam kalangan Sunni dan menolak asumsi bahwa Ahlussunnah Wal Jamaah hanya dianut oleh segolongan tradisional saja.(Lihat, Einar Matahan Sitompul,Mth, NU dan Pancasila, footnote, hal 70)
Walhasil, dengan melihat latar belakang intelektualitas para perumus Aswaja model NU dan kondisi sosialogis masyarakat Indonesia pada awal berdirinya NU, secara apriori ada satu keyakinan bahwa konsepsi Aswaja model NU tidak dimaksudkan sebagai defenisi mutlak dan oleh karenanya sangat kondisional dan temporal.
Aswaja dalam Konteks Historis
Kaum muslimin pada masa Rasullullah SAW adalah umat yang satu, tidak terkotak-kotak dalam aneka kecenderungan, baik kabilah, paham keagamaan, ataupun visi sosial politik. Segala masalah yang muncul segera teratasi dengan turunnya wahyu dan disertai dengan pengarahan dari Rasullulah SAW. Walaupun tradisi kaum muslimin yang cukup dinamis dan terkendali pada waktu itu. Konon Rasulullah SAW sering memfrediksi “kondisi nyaman” ini akan segera pudar sepeninggal beliau. Prediksi Rasullulah SAW itu terungkap dalam beberapa hadits, yang biasanya diawali dengan kata-kata “saya’ti ala ummati Zaman” (umatku akan sampai pada suatu masa), “sataf tariqu ummati” (umatku akan terpecah) dan seterusnya.
Berdasarkan hadits “model Prediksi” itulah istilah Ahlusunnah Wal Jamaah ditemukan. Rasulullah SAW.bersabda :”Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, hanya satu golongan yang selamat dan yang lain binasa”. Ditanyakan :Siapakah golongan yang selamat itu ? Rasulullah menjawab Ahlussunnah Wal Jamaah. Ditanyakan: apa Ahlussunnah Wal Jamaah itu ?. Rasulullah menjawab: “apa yang aku dan sahabat-sahabatku lakukan saat ini”
Hadits “iftiraqul ummah” diatas seperti yang dikatakan Abdul Qahir, mempunyai banyak isnad dan banyak sahabat yang meriwayatkannya. Namun demikian, ulama berbeda pendapat tentang keshahihan hadits tersebut.
Yang pertama: berpendapat dhaif dengan hujjah tak satu pun dari sekian isnad yang tidak mengandung perawi dhaif . Yang kedua: berpendapat muhtajju bihi dengan alasan: meskipun tidak satu pun isnad yang tidak mengandung perawi dhaif tapi banyaknya isnad dan sahabat yang meriwayatkan, memperkuat dugaan adanya hadits tersebut.(lihat :Al-Baghdady, Al-farqu Bainal firaq,Hal 7 catatan kaki).
Jadi, jika hadits itu shahih Aswaja sebagai informasi yang akan muncul kemudian, sudah dikenal sejak masa Rasulullah SAW,.tetapi Aswaja sebagai realitas komunitas muslim belum ada pada masa itu. Atau dengan kata lain kaum muslimin pada masa Rasulullah itulah Aswaja; berdasarkan hadits tadi “ma ana alaihi al-yauma wa ashhabi” bahwa aswaja adalah sikap dan amalan yang kulakukan sekarang bersama sahabat-sahabatku. Jadi amalan (Sunnah) Rasul yang bersama para sahabat itulah yang disebut Aswaja. Yaitu ketika kaum muslimin tidak terkotak-kotak dalam kecenderungan misi politik. Ternyata setelah beliau wafat, para sahabat sudah terkotak dalam kecenderungan politik tertentu. Dengan mengikuti logika “asap dan api”, isu “iftiragul ummah” dari prediksi Rasul menjadi kenyataan dan adanya satu firqah (golongan) yang selamat, sudah dikenal pada masa sahabat. Akan tetapi klaim sebagai Aswaja belum ada pada masa sahabat. Dengan demikian pada masa khulafaurrasyidin pun masih dipertanyakan apakah masuk dalam kriteria ma ana ‘alaihi al-yauma wa ashhabi ?
Setelah beliau wafat, kecenderungan politik dengan segala frediksinya mulai tampak ke permukaan, antara golongan Anshar, Muhajirin, dan Ahlul Bait. Tetapi .frediksi itu segera teratasi, setelah mayoritas umat sepakat membaiat Abu Bakar, kemudian Umar, Usman, dan Ali sebagai pimpinan tertinggi kaum muslimin (khalifah-Khulafa). Tetapi itu bukan berarti frediksi kecenderungan politik pudar pada masa yang dikenal dengan era Khulafa al-.Rasyidin itu. Frediksi itu terus berkembang dan menunggu waktu yang kondusif untuk muncul.
Usman yang tewas secara tragis dan naiknya Ali sebagai khalifah dianggap oleh para sejarawan sebagai titik kulminasi munculnya friksi politik yang terpendam pada masa Abu Bakar dan Umar. Kejadian ini dikenal dengan Fitnah Kubra yang pertama. Dan dari sinilah visi politik kaum muslimin sulit dipadamkan bahkan mengarah pada konfrontasi yang terus menerus.
Berangkat dari konfrontasi fitnah kubra I yang segera diikuti perang shiffin sebagai fitnah kubra II, visi dan friksi politik kaum muslimin sudah sulit untuk disatukan kembali. Semua golongan yakin akan “kebenaran” visi politiknya. Atas dasar keyakinan itulah semua golongan membangun tradisi intelektual dari semua lini disiplin ilmu keislaman yang berkembang. Masing- masing golongan sibuk meligitiasi Qur’an, hadits dan atsar para sahabat sesuai dengan kecenderungan politik mereka masing-masing.
Landasan tradisi intelektual diatas, akhirnya semakin kokoh, setelah kaum muslimin berinteraksi dengan ragam budaya lokal, seperti Parsi, India, Asyuri, Finiqi, Zoroaster Masehi, Yahudi, dan yang paling menonjol adalah tradisi Hellenisme Yunani.

Kapan Klaim Aswaja pada Suatu Golongan Tertentu Muncul ?

Pendapat pertama: Sejak akhir Khulafatur-Rasyidin sampai tumbangnya Dinasti Umayah, komunitas aswaja sebetulnya belum muncul. Istilah ini juga tidak dikenal dalam pengajian (halaqah-halaqah) Hasan al-Basri (22-110 H). Komunitas yang paling menonjol pada masa Dinasti Umayah adalah:Umayah. Alawiyyin yang berkoalisi dengan Abbasiyyin menjadi Hasyimiyyin, Mu’tazilah, Hasyawiyah, Khawarij, dan Ahlul Hadits.
Kemudian pada awal Dinasti Abbasiyah komunitas Ahlul-Hadits mulai nampak eksistensinya. Ini berawal sejak digulirkannya mihnah khuluqul Al-Quran oleh imam Ahmad bin Hanbal sebagai tokoh sentralnya.
Dari paparan diatas, diskursus pemikiran yang paling menonjol dan berpengaruh pada tatanan sosial dan politik pada abad kedua dan ketiga Hijriyah (masa Abbasiyah I) adalah rasional Mu’tazilah yang berhadapan dengan golongan tektualis Ahlus Hadits Hanabilah. Golongan terakhir inilah kemudian mengklaim diri mereka sebagai aswaja.

Pendapat kedua; Menurut Abu Hatim Ar-Razi, seorang penganut Syiah Ismailiyah (wafat 322 H), tema Aswaja mulai populer dikalangan bani Umayyah setelah padamnya pemberontakan Hasan, Husein dan Ibnu Zubair. Pendukung Bani Umayyah berkata,“kami adalah ahlul Jamaah Siapa menentang kami berarti menentang umat dan meninggalkan sunnah.Kami adalah ahlusunnah wal Jamaah”. Ar-Razi mengomentari peristiwa itu dengan mengatakan, “maksud mereka adalah menyepakati satu pemimpin meskipun berbeda pendapat dan mazhab” (lihat Ibrahim Hâkat, Assiyâsah wa Al-Mujtamâ’fi ‘Ashri Al-Umawy, hal .295) Dengan mengacu pada pendapat Ar.-Razi, berarti klaim aswaja pertama kali dimunculkan oleh bani umayyah untuk menunjuk pada golongan politik dan bukan aqidah.
Pendapat ketiga; Muhammad Abduh dalam Risalat at tauhid menjelaskan bahwa aswaja adalah klaim pendukung dan pengikut Al-Asy’ari (wafat 303 H) seperti Imam Haramain, Al- Isfiayny dan Abu Bakar Al-Baqilany untuk pendapat beliau. (lihat Muhammad Abduh, Risâlatut Tauhid, hal 11).Secara implisit Abduh mengatakan bahwa tema aswaja baru muncul pada awal abad empat, dan untuk menunjuk golongan aqidah. Dari pendapat kedua dan ketiga dapat disimpulkan bahwa istilah aswaja belum ada pada masa pemulaan Islam. Sebab pada waktu itu umat Islam masih dalam kondisi Ummatun Wahidah.
Perpecahan umat Islam akibat perbedaan haluan politik pada masa sahabat memang melahirkan kelompok-kelompok. Akan tetapi tak satu pun kelompok diberi nama Aswaja. Baru pada masa pemerintahan dinasti Umayyah, kelompok itu mengklaim dirinya sebagai kelompok Aswaja. Begitu juga ketika Ma’bad Al-Juhany, Ghoylan Ad-Dimasyqy dan Yunus Al-Asway pada masa akhir sahabat mempermasalahkan qadla dan qadar (lihat Syahrasyatany, Milal wan Nihal,hal.22), lahir kelompok-kelompok dengan aqidah masing-masing. Namun tak satu pun kelompok yang dijuluki sebagai Aswaja. Baru setelah Asy’ari memodernisasi ekstrem aqal dan ekstrem naql dalam aqidahnya, para pengikutnya memproklamirkan diri sebagai Aswaja. Dari fakta diatas ada indikasi bahwa munculnya klaim Aswaja merupakan upaya mendapatkan kemenangan psikologis bagi suatu golongan.
Siapakah Ahlussunnah Wal Jamaah ?
Hadits prediksi Rasul tentang iftiraqul ummah tidak menunjuk dengan sharih orang-orang yang termasuk dalam golongan Aswaja. Ia hanya memberikan petunjuk secara global bahwa Aswaja adalah orang-orang yang mengikuti “jejak Nabi dan Sahabat” bisa berbeda antara satu orang dengan yang lain atau satu golongan dengan golongan lain.
Secara etimologis Ahlussunnah Wal Jamaah terdiri dari tiga kata, yaitu: ahl; keluarga, kelompok, golongan, dan komunitas, al-sunnah; tradisi, jalan, kebiasaan dan perbuatan sedang al-jamaah; kebersamaan, kolektifitas, komunitas, mayoritas dan lain-lain. Tiga rangkaian kata diatas, kemudian berkembang menjadi istilah bagi sebuah komunitas muslim yang secara konsisten bepegang teguh kepada tradisi (sunnah) Nabi Muhammad Saw dan sebagai landasan normatif setelah Al-Qur.’an, dan selalu mengikuti alur pemikiran dan sikap mayoritas kaum muslimin. Dengan kata lain Ahlussunnah adalah golongan mayoritas. Bila bani Umayyah mengklaim sebagai kelompok mayoritas maka Syiah pun membalasnya dengan klaim yang sama. Bahkan mereka mengatakan bahwa bani Umayyah adalah kelompok separatis. (Ibahim Haokat,As-Siyasah wal Mujtama’ i Ashil Umawy, hal 318)
Jadi pendefenisian Aswaja oleh bani Umayyah tidak mereduksi globalitas konsep Aswaja dalam hadits. Aswaja masih saja tidak mempunyai ciri dan karakteristik tertentu yang bisa menunjuk pada kelompok tertentu.
Konsepsi Aswaja baru mendapatkan karakteristik politis dan theologis ketika para pendukung Asy’ari memproklamasi kan diri sebagai Aswaja. Meskipun Asy’ari dikenal sebagai theolog,wa bittalii mazhab yang didirikan adalah mazhab theologi, akan tetapi perbedaan umat Islam dalam aqidah pada waktu itu interen dengan perbedaan politis. Sehingga mazhab theologi Asya’ri juga mencakup pendapat beliau tentang khilafah .
Al-Baqdhadi (wafat29 H) dalam alfarqu bainal firaq, mengembangkan cakupan Aswaja dan Beliau tidak memasukkan merumuskan konsepnya dengan karakteristik yang lebih jelas. Menurutnya ada lima belas pokok aqidah yang harus diketahui oang mukallaf. Dan orang yang mempunyai pendapat berbeda dengan 15 aqidah tersebut maka orang itu tersesat.Beliau juga membagi kelas kelas Aswaja menjadi delapan yaitu: mutakallimin, fuqaha, muhaditsin,mufassirin,ulamaahl lughah, mutashawwifin, orang-orang yang berjihad dan orang-orang yang mengikuti pendapat ulama Aswaja.
Beliau tidak memasukkan Khawarij, Qadariyyah, Syi’ah dan lain-lain dalam kelompok Aswaja karena menurutnya mereka adalah orang-orang yang mencela, mengfasikkan para sahabat bahkan mengkafirkannya. Padahal Aswaja adalah orang yang mengikuti jejak sahabat.
Ada beberapa catatan yang perlu disampaikan bahwa:
1.Dalam menafsirkan Aswaja ,Al-Bagdâdy tidak menyebut-nyebut dalil naqli. Penafsirannya hanya didukung pemahaman aqal terhadap lafadz ashhaby.
2.Al-Bagdady memasukkan kelompok mutasawwifin dalam kelompok aswaja, padahal fuqaha menentang keras aliran tersebut.
3.kelima belas kelompok yang ditetapkan Al-Bagdady adalah masalah-masalah yang sedang diperdebatkan.
Jadi dari pembahasan diatas bisa disimpulkan bahwa perumusan Aswaja yang kemudian dibakukan adalah pengintian masalah-masalah aqidah yang sedang diperdebatkan dan penetapan salah satu pendapat yang dianggap sesuai dengan pendapat mayoritas sahabat.

Konsep Aswaja Versi NU
“Hai para ulama dan pemimpin yang takut kepada Allah dari kalangan Ahlussunnah Wal Jamaah dan pengikut mazhab imam empat! Kalian sudah menuntut ilmu agama dari orang-orang yang hidup sebelum kalian,begitu pula generasi sebelumnya dengan bersambung sanadnya sampai pada kalian. Begitu juga kalian harus melihat dari siapa kalian menuntut ilmu agama Islam. Karena dengan cara menuntut ilmu pengetahuan seperti itu maka kalian menjadi pemegang kuncinya, bahkan menjadi pintu gerbangnya ilmu agama Islam. Oleh karenanya janganlah memasuki satu rumah kecuali melalui pintunya. Barang siapa yang memasuki satu rumah tidak melalui pintunya maka ia adalah pencuri”. (Einar,opcit,hal 69).Demikian Hadatus Syekh Hasyim Asy’ari mulanya merumuskan aswaja.
Yang menarik dari perumusan diatas adalah disebutkannya Pengikut Imam Mazhab Empat. Ini satu indikasi bahwa penekanan aswaja mulanya pada permasalahan figh yang dalam hal ini adalah masalah taqlid terhadap imam empat. Hal ini bisa dimengerti karena perbedaan esensial yamg terjadi antara kelompok pembaharu dengan kelompok tradisional adalah masalah taqlid dan ijtihad.
Tetapi mengapa hanya pendapat imam yang empat dianut? Jawaban yang sering terdengar adalah hanya imam empat itulah yang mazhabnya terkodifikasi lengkap sehingga sampai ke tangan kita dengan selamat. Adapun mazhab lainnya belum terkodifikasi secara lengkap sehingga pendapatnya tidak utuh sampai ke tangan kita. Kalau benar ini alasannya, maka ada satu kejanggalan, mengapa madzhab Ad-Dzahiri dengan mengacu kitab al-Muhallâ Ibnu Hazm tidak diikuti. Padahal Ibnu Hazm juga disebut oleh Al-Baghdadi sebagai ulama Ahlussunnah.

Jika NU merumuskan Aswaja dengan menyebut para tokoh bersama rumusannya sebagai panutan yang harus diikuti dapat diartikan bahwa NU ingin memadukan pemahaman ajaran islam yang mengandung unsur-unsur yang terjadi pada abad II, III, IV, V, dan VI Hijriyah.
Definisi yang dirumuskan (hasil penjabaran KH.Bisyri Mustafa) adalah sebagai berikut : satu, menganut ajaran-ajaran imam madzhab dari salah satu empat madzhab dalam bidang fiqih. Kedua, menganut ajaran Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi dalam bidang tauhid. Ketiga, menganut dasar-dasar ajaran Imam Abu Qasim Al-Junaidy dan Ghazali dalam bidang tasawwuf.
Rumusan pada point kedua menegaskan corak ke-Aswaja-an NU dan sikap kaum tradisional terhadap gerakan pembaruan, sedang pada point ketiga merupakan sikap penerimaan NU terhadap paktek tasawuf dengan menyeleksi tasawuf yang benar.
Bila kita bandingkan dengan konsepsi Aswaja Al-Baghdadi, setidaknya ada dua hal yang berbeda ; Pertama, Aswaja versi NU tidak menyebutkan pandangannya tehadap masalah khilafah. Hal ini bisa dimengerti, karena Islam yang masuk di Indonesia bukan Islam Syiah juga bukan Khawarij oleh karenanya perbedaan umat Islam di Indonesia tidak berkisar pada masalah itu. Kedua, Aswaja model NU langsung dengan jelas menunjuk pada aliran tasawuf tertentu, yang itu tidak masuk dalam konsepsi Aswaja Al-Baghdadi. Jadi mengacu pada hal diatas bisa disimpulkan bahwa Aswaja model NU di satu sisi merupakan reaksi terhadap gerakan pembaruan dan di sisi lain merupakan pengakuan tehadap praktek keagamaan yang berkembang saat itu.
Jika rumusan NU diatas dimaksudkan mendefinisikan Aswaja, maka definisi itu mengandung beberapa kelemahan; pertama, para imam madzhab fiqih tidak mungkin secara teologis mengikuti rumusan al-Asy’ari dan al-Maturidi, karena masa hidup imam madzhab itu jauh lebih awal sebelum Al-Asy’ari lahir malah yang terjadi Al-Asy’ari dalam fiqih mengikuti Imam Syafi’i, dan al-Maturidi mengikuti madzhab Hanafi. Kedua, Imam Junaidi tidak mungkin mengikuti teologi al-Asy’ari dan Al-Maturidi, karena yang pertama hidup satu abad sebelum tokoh kedua dan ketiga lahir. Junaidi juga tidak dikenal sebagai pengikut salah satu mazhab fiqih. Ketiga, Al-Ghazali walau pun sebagai pelanjut teologi al-Asy’ari dan pengikut madzhab Syafi’i dalam kategori tasawuf, ia bisa dikategorikan sebagai pengembang teori tasawuf liberal, seperti yang dikembangkan al-Hallaj. Keempat, rumusan teologi al-Asya’ri sampai saat ini masih simpang siur. Dalam kitab al-Ibanah, ia secara gamblang mengecam Mu’tazilah karena sering mentakwil ayat-ayat mutasyabihat, seraya memuji Ahmad bin Hambal yang tak mau mentakwil. Ia sendiri menisbatkan diri sebagai pelanjut perjuangan Ahmad bin Hambal. Tetapi dalam kitab Al-Luma’ dan Istihsan, ia mentakwil ayat-ayat mutasyabihat, dan memuji Mu’tazilah sebagai golongan Islam yang cerdas dan berjasa membentengi aqidah Islam dari serangan teologi Masehi, Yahudi, Hellenisme, dan lain-lain. Dalam dua kitab itu, ia menuduh kelompok Hambali , sebagai “bodoh” dan jumud.
Dilain pihak, golongan Al-Asya’ari dan al-Maturidi dituduh sebagai zindiq yang menyesatkan kaum muslimin. bahkan Ibnu Taimiyah dalam beberapa kitabnya mengkafir-kan Al-Asy’ari, jadi studi terhadap pemikiran teologi Al-Asy’ari masih perlu diungkap secara tuntas.
Buku-buku yang terbit di Saudi Arabia cenderung untuk mengatakan bahwa teologi Asy’ari tidak berbeda dengan teologi yang dikembangkan oleh Ahmad bin Hambal dan Ibnu Taimiyah. Studi komprehensif tentang Al-Asy’ari ditulis oleh Dr. Hamudah Gharabah menyimpulkan bahwa al-Asy’ari merupakan pemikir yang mampu mengambil jalan tengah antara kecenderungan filosofis dan tektualis dalam menganalisa sifat-sifat dan kekuasaan Tuhan. Kiranya pendapat terakhir inilah yang dianut oleh warga NU.
Penutup: Agenda Aswaja di Era Modern
Rumusan NU diatas, walaupun mengandung beberapa kelemahan, harus dipahami sebagai upaya dini untuk merespons perkembangan pemikiran yang tak akan keluar dari bingkai pemaduan secara seimbang antara landasan normatif Qur’an dan Hadits, dan pengembangan penalaran. Rumusan ini juga harus dipahami sebagai metode untuk menyeleksi budaya lokal dan budaya asing yang masuk ke dunia Islam yang selalu berkembang.
Karena rumusan itu kita anggap mengikuti metode berpikir pada tokoh, maka harus ada terobosan untuk merenovasi dalam berbagai bidang pemikiran, dengan tujuan kemaslahatan kaum muslimin secara menyeluruh dan melindungi hak-hak asasi manusia, sebagai realisasi Islam yang membawa rahmat bagi alam semesta.
Hal yang paling mendesak untuk dirumuskan pada era modern ini adalah sebagai berikut, pertama, hubungan Islam dan negara yang sudah terkotak dalam nation state. Kedua, hubungan Syari’ah Islam dengan hukum publik baik nasional maupun internasional. Ketiga, konsep pemberdayaan rakyat menuju masyarakat yang musyawarah dan terbebas dari belenggu penghambaan. Keempat, konsep keadilan ekonomi, politik dan hukum.
Ketika perdebatan aqidah makin marak dengan munculnya aliran Qadariyah dan Jabariyah, lahirlah al-Asy’ari seorang teolog yang ingin mengembalikan pemahaman aqidah seperti pemahaman kaum salaf dengan memoderasi eksterm aqal dan ekstrem naql. Oleh pengikut dan pendukung nya, pendapat-pendapat beliau diklaim sebagai Aswaja. Awalnya pengertian Aswaja hanya sebatas pada kelompok aqidah, namun kemudian berkembang dan mencakup kelompok dalam mazhab fiqih.
Konsep Aswaja baru mempunyai ciri dan karakteristik tertentu setelah al-Baghdady merumuskan beberapa aqidah yang menjadi ciri khas Aswaja. Akan tetapi perumusan Al- Baghdady lebih banyak didasarkan pada pelacakan terhadap kelompok mayoritas pada setiap era.
Perumusan berikutnya dilakukan NU yang intinya merupakan penyempitan terhadap konsep Aswaja Al-Baghdady. Hal itu terjadi karena dasar keberdirian NU dari satu sisi merupakan reaksi terhadap gerakan pembaruan dan sisi lain merupakan pengakuan terhadap praktek keagamaan yang berlaku saat itu. Oleh karena itu Aswaja model NU tidak bersifat mutlak dan universal. Dan bisa juga Aswaja NU direvisi mengingat perkembangan keislaman yang terjadi. Bahkan boleh jadi konsep Aswaja ditiadakan karena akan mempersempit cakupan Aswaja itu sendiri. Wal- Lâhu al musta’ân


Sejarah singkat aliran Maturidiyah
Minggu, 13 Februari 2011 13:01 | PDF| Cetak| E-mail
Sejarah singkat aliran MaturidiyahDengan memperhatikan secara seksama sejarah aliran Maturidiyah, secara jelas akan terbukti bahwa pemikiran-pemikiran teologis aliran ini bersumber dari Abu Hanifah. Karena sebelum masuk ke dalam pembahasan-pembahasan fikih, Abu Hanifah pernah memiliki halaqah kajian teologi. Sejak awal ketika masalah-masalah teologi secara sederhana muncul di tengah-tengah Islam, pada waktu itu sudah terbentuk dua kelompok di tengah-tengah kaum muslimin.
1. Kelompok Ahlul Hadis yang dikenal dengan Hasywiah, Salafiah dan Hanabilah. Kelompok ini, seluruh keyakinannya disandarkan kepada makna-makna lahir dari ayat-ayat Qur’an dan sebagian besar dari keyakinan tersebut bersumber dari hadis. Mereka tidak menganggap akal sebagai sesuatu yang bernilai, dan jika di dalam kelompok ini ditemukan keyakinan-keyakinan seperti menyerupakan Tuhan dengan makhluk (tasybih) dan menganggap Tuhan adalah benda (tajsim), keterpaksaan atau determinisme (jabr), berkuasanya qadha dan qadar atas perilaku-perilaku bebas manusia, dan atau bersikeras atas keyakinan berkenaan dengan bahwa Tuhan dapat dilihat di hari kebangkitan, semuanya adalah akibat-akibat dari hadis-hadis yang tersebar di antara mereka, dan biasanya jejak tangan ulama-ulama Yahudi dan pendeta-pendeta Nasrani terlihat di dalam hadis-hadis tersebut. Mereka meyakini bahwa kalam Ilahi (Qur’an) adalah sesuatu yang sudah ada sebelum diciptakannya semesta ini (qadim). Seperti halnya kebanyakan orang Yahudi menganggap Taurat sebagai sesuatu yang ada tanpa didahului oleh sesuatu apapun (azali) dan begitu juga orang-orang Nasrani yang menganggap Al Masih azali, mereka juga menganggap Al Qur’an sebagai qadim dan azali.
2. Kelompok Mu’tazilah yang menganggap akal sebagai sesuatu yang berharga dan bernilai, mereka menolak hadis dan riwayat yang bertentangan dengan hukum akal, dan sumber keyakinan-keyakinan mereka diambil dari teks-teks ayat Qur’an dan hadis Nabi Saw yang pasti dan juga dari hukum akal. Sesuatu yang perlu dikritisi dari mereka adalah sikap mereka yang memberikan penilaian terlalu tinggi terhadap akal melebihi kapasitasnya dan begitu banyak teks-teks Qur’an yang pasti yang ada di syariat suci Islam dikesampingkan, karena dianggap muatannya mengandung pemikiran yang bertentangan dengan akal.
Bertahun-tahun lamanya berlangsung peperangan pemikiran yang tiada hentinya di antara kedua kelompok ini, dan kemenangan salah satu kelompok atas kelompok yang lainnya bergantung kepada bantuan-bantuan para penguasa di masa lalu; penguasa-penguasa tersebut berpihak kepada salah satu kelompok dan berusaha melemahkan kelompok yang lain.
Pertarungan ini berlanjut dengan intensitas yang semakin tinggi sampai permulaan abad 300 Hijriah, akan tetapi pada permulaan abad keempat, dua orang yang berasal dari dua wilayah yang berbeda menunjukkan dirinya dan melahirkan sebuah aliran yang pada hakikatnya adalah sebuah aliran yang moderat dan tidak berpihak kepada dua aliran sebelumnya, baik itu Ahli Hadis ataupun Mu’tazilah. Salah satu dari dua orang ini adalah Abul Hasan Asy’ari (260-324 Hijriah) di Irak yang keluar dari aliran Mu’tazilah dan bertobat karena telah meyakininya, dan mengumumkan dirinya sebagai kawan dan pendukung Ahmad bin Hanbal, dan saat ini terdapat campur tangan dalam aliran Ahmad bin Hanbal dan secara perlahan aliran ini menjadi aliran resmi Ahlu Sunnah. Dan orang yang kedua adalah Abu Mansur Maturidi Samarqandi (250-333 Hijriah) di belahan timur dunia Islam, seorang pendukung aliran Ahli Hadis yang melakukan persis apa yang dilakukan oleh koleganya Asy’ari, dan yang luarbiasa adalah walaupun kedua orang pendiri ini hidup pada satu masa yang sama dan melangkah pada satu jalan yang sama, akan tetapi mereka tidak saling mengenal satu dengan lainnya.
Wilayah timur dunia Islam saat itu adalah pusat pembahasan masalah-masalah teologi, seperti juga halnya Basrah yang merupakan tempat lahirnya Asy’ari adalah titik pertemuan pandangan-pandangan keyakinan yang berbeda-beda, dan begitu juga pemikiran-pemikiran asing yang masuk ke dalam Islam dari Negara-negara yang berbeda pada saat kemenangan-kemenangan yang diraih Islam sebagai pemikiran-pemikiran impor yang berpindah ke dunia Islam.
Dari sisi fikih, aliran Hanafi menyebar di daerah Khurasan secara sempurna, pada saat yang sama kebanyakan penduduk Basrah bermazhab Syafi’i, dari sudut pandang ini para pengikut mazhab Hanafi memiliki kecenderungan yang tinggi kepada aliran Maturidiyah, sedangkan para pengikut mazhab Syafi’i lebih dari yang lainnya memilih aliran Asy’ari. Sebagian dari pemikiran aliran Maturidiyah diperoleh dari Abu Hanifah dan terpengaruh oleh bukunya yang berjudul Fiqhul Akbar yang membahas permasalahan keyakinan. Oleh karena itu kebanyakan pengikut aliran Maturidiyah hidup di Khurasan dan dalam masalah fikih mereka adalah pengikut mazhab Hanafi, seperti:
1. Fakhrul Islam Muhammad bin Abdul Karim Bazwadi (493 Hijriah).
2. Abu Hafs Umar bin Muhammad Nasafi (573 Hijriah).
3. Sa’adudin Taftazani (791 Hijriah).
4. Kamaludin Ahmad Bayadzi (abad 11).
5. Kamaludin Muhammad bin Himamudin (861 Hijriah).
Dengan memperhatikan dengan seksama sejarah aliran Maturidiyah, secara jelas terbukti bahwa ia dan pemikiran-pemikiran teologisnya bersumber dari Abu Hanifah, karena sebelum terjun ke dalam pembahasan fikih, Abu Hanifah memiliki lingkaran pengkajian teologi, dan ketika ia berhubungan dengan Hamad bin Abi Sulaiman ia meninggalkan kajian teologinya dan masuk ke dalam pembahasan fikih.
Bukan hanya Maturidi saja yang keyakinan-keyakinan teologinya bersumber dari Abu Hanifah, akan tetapi orang yang sezaman dengannya, Abu Ja’far Thahawi (321 hirjiah) penulis buku Keyakinan-keyakinan Thahawiah, pemikiran-pemikiran teologinya juga bersumber dari Abu Hanifah, sampai-sampai di pendahuluan bukunya ia mengatakan: "risalah ini adalah keyakinan para ahli fikih umat Islam, selepas itu ia mengutip nama Abu Hanifah dan dua murid terkenalnya Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan Syaibani."[1] Abdul Qahir Baghdadi penulis buku Al Farqu baina Al Firaq dalam bukunya yang lain yang bertema Ushuludin mengingatkan bahwa Abu Hanifah memiliki sebuah buku berjudul Al Fiqhul Akbar yang di dalamnya ditulis sanggahan bagi aliran Qadariah, dan dalam karyanya yang lain membenarkan kayakinan Ahlu Sunnah dalam sebuah permasalahan.[2] Akan tetapi karya-karya yang diwariskan Abu Hanifah bukan hanya dua buku ini saja.
Dikarenakan permasalahan-permasalahan teologi di dalam buku Abu Hanifah tidak tersusun dengan tertib, Kamaludin Bayadzi di abad kesebelas Hijriah menertibkan masalah-masalah tersebut dan menulis buku bertajuk Isyaratul Maram min Ibaratil Imam, dan dalam buku tersebut dikatakan: "saya menyusun dan menertibkan masalah-masalah ini dengan bersandar kepada buku-buku: 1. Al Fiqhul Akbar 2. Ar Risalah 3. Al Fiqhul Absath 4. Kitabul Alim wal Mutaalim 5. Al Wasiat, yang kesemuanya itu dikutip dari Abu Hanifah dengan perantara Masyaikh."[3]
Dari semua yang telah kita saksikan, jelas bahwa akar dan pondasi aliran Maturidiyah secara khusus kembali kepada aliran ini sendiri dan dengan cara tertentu kembali kepada Abu Hanifah; dan seperti yang akan kita saksikan, aliran ini adalah aliran yang moderat yang tidak memihak Ahli Hadis maupun Mu’tazilah. Lebih dari itu, bahkan akan kita saksikan bahwa aliran ini dalam metode berpikir lebih dekat kepada Mu’tazilah ketimbang aliran Ahli Hadis.
Riwayat hidup Maturidi
Hasil penelaahan kitab-kitab Tarajim membawa kita kepada sebuah keyakinan bahwa pendiri aliran ini tidak memiliki popularitas yang sempurna di masa hidupnya dan di kemudian haripun para ahli Tarajim tidak banyak yang merekam kehidupannya, padahal semua penulis biografi menulis riwayat hidup Asy’ari dan mengingatnya dengan cara tertentu. Mungkin masalahnya adalah bahwa Maturidi tinggal jauh dari ibu kota Islam pada waktu itu yaitu Irak, sedangkan Asy’ari lahir di ibu kota Islam dan meniggal juga di tempat yang sama, dan teman-teman serta musuh-musuhnya mengingatnya dengan cara tertentu.
Ibnu Nadim (388 M) di dalam bukunya Al Fihrist tidak mengutip tentang Maturidi, sedangkan ia membawakan riwayat berkenaan dengan Asy’ari walaupun secara singkat. Buku Syeikh Thahawi pemimpin para pengikut mazhab Hanafi di Mesir banyak diminati dan banyak ditulis syarah untuknya, akan tetapi hal tersebut tidak terjadi pada buku-buku Maturidi, dari sudut pandang ini kita melihat bahwa para penerjemah seperti:
1. Ibnu Khalkan (681) penulis buku Wafayatul A’yan.
2. Sholahudin Shafdi (764) penulis buku Al Wafi bil Wafayat.
3. Taqiudin Islami (774) penulis buku Al Wafayat.
4. Ibnu Khaldun (808) penulis buku Muqadimah wa Tarikh.
5. Jalaludin Suyuthi (911) penulis buku Thabaqatul Mufasirin.
Demikian pula para penulis yang lain, tidak mengutip tentang Maturidi, padahal mereka mengutip orang-orang yang secara keilmuan lebih rendah darinya. Bahkan orang yang menerjemahkan masalah yang berkenaan dengannya, tidak mengutipnya secara terperinci, dan apa yang penulis bisa peroleh dari buku-buku yang berkenaan dengan kehidupannya adalah apa yang tertulis di sini.
Kelahiran
Para penulis riwayat hidup Maturidi mengatakan bahwa ia meninggal dunia pada tahun 333, sedangkan berkenaan dengan tahun kelahirannya mereka tidak menulis apapun. Akan tetapi dapat dikatakan bahwa ia lahir kira-kira pada tahun 248 atau 250, karena ia menukil hadis dari Nasir bin Yahya Balkhi dan ia meninggal pada tahun 268. Jika Maturidi pada waktu itu berumur 20 tahun, dapat dipastikan bahwa tahun kelahirannya adalah apa yang telah disebutkan.
Tempat kelahiran
Ia dilahirkan di sebuah tempat yang bernama Maturid yang merupakan salah satu bagian dari Samarqand di Mawara Al Nahr (wilayah yang termasuk Asia Tengah, yang sekarang kira-kira adalah wilayah Uzbekistan, sebagian dari Turkmenistan dan Kazakhstan), dan setelah itu ia dikenal dengan nama-nama seperti Maturidi Samarqandi atau Alamul Huda, dan secara nasab ada kemungkinan bersambung ke Abu Ayub Anshari, orang yang rumahnya menjadi tempat persinggahan Rasulullah Saw.[4]
Pendidikan
Dalam aqidah, teologi dan fikih ia mengikuti imam mazhabnya sendiri yaitu Abu Hanifah, dan belajar dari orang-orang seperti:
1. Abu Bakr Ahmad bin Ishaq Juzjani
2. Abu Nasr Ahmad bin Al Ayadz
3. Nasir bin Yahya muridnya Hafs bin Salim bapaknya Maqatil
4. Muhammad bin Maqatil[5]
Teologi Ahlu Sunnah adalah hasil rancangan dan bangunan dua orang, yang pertama bermazhab Hanafi dan yang kedua bermazhab Syafi’i, yang bermazhab Hanafi yaitu Abu Mansur Maturidi dan yang Syafi’i Abu Al Hasan Asy’ari.[6]
Muslihudin Qastilani mengatakan orang yang paling terkenal dalam masalah ilmu teologi di tanah Khurasan, Irak, Syam dan sebagian besar wilayah yang lain adalah Abu Al Hasan Asy’ari dan di Mawara Al Nahr adalah Abu Mansur Maturidi.[7]
Zubaidi mengatakan setiap kali kata Ahlu Sunnah diucapkan, yang dimaksud adalah Asy’ariah dan Maturidiyah.[8]
Murid-murid
Sekelompok teolog pernah mengecap pelajaran darinya, di antaranya adalah nama-nama ini:
1. Abu Al Qasim, Ishaq bin Muhammad dikenal dengan Hakim Samarqandi (340).
2. Imam Abu Al Laits Bukhari.
3. Abu Muhammad Abdul Karim bin Musa Bazdawi. Ia adalah kakek dari jalur bapak Muhammad bin Muhammad bin Al Husein bin Abdul Karim Bazdawi penulis buku Ushuludin, dalam buku ini ia berkata: aku telah membaca buku Tauhid Abu Mansur Maturidi Samarqandi dan itu sesuai dengan mazhab Ahlu Sunnah. Ayahku dari kakeknya Abdul Karim bin Musa menukil tentang keajaiban yang dimiliki Abu Mansur Maturidi, dan kakek kami belajar tentang maksud-maksud dari buku-buku Masyaikh, buku Tauhid dan buku Ta’wilat[9] dari Abu Mansur Maturidi. Apa yang ada adalah bahwa buku Tauhid Maturidi bukannya kosong dari ketertutupan, dan jika ia jauh dari ketertutupan, kita sudah mencukupkan diri dengan buku tersebut.
Karya-karya Maturidi
Abu Mansur mewariskan banyak karya dan yang ada sekarang tidak lebih dari tiga buku saja, dua di antaranya sudah dicetak dan yang lainnya masih berupa tulisan tangan.
1. Buku Tauhid, buku ini adalah buku sumber terbesar keyakinan dan aqidah aliran Maturidiyah. Dalam buku ini untuk membuktikan kebenaran pendapatnya, ia menggunakan Al Qur’an, hadis dan akal, dan terkadang memberikan keutamaan yang lebih besar kepada akal.
Buku ini pernah dicetak dengan tebal 412 halaman di Beirut dan Dr. Fathullah Khalif adalah orang yang meneliti keabsahan ayat dan riwayatnya. Dan begitu juga yang dikatakan Bazdawi penulis buku Ushuludin berkenaan dengan kosongnya buku ini dari ketertutupan.
2. Ta’wilat Ahli Sunnah, buku ini berkenaan dengan tafsir Al Qur’an dan di dalamnya dijelaskan tentang keyakinan-keyakinan Ahlu Sunnah dan pandangan-pandangan fikih imam mazhabnya yaitu Abu Hanifah, pada hakikatnya ini adalah buku aqidah dan fikih. Buku ini juga merupakan satu paket tafsir Al Qur’an dan buku tersebut mencakup juz terakhir Qur’an dari surat Munafiqin sampai akhir Qur’an. Dan buku tersebut diterbitkan oleh Dr. Ibrahim Iwadzain dengan bantuan yang lainnya di Kairo. Ketika dibandingkan, jelas terlihat bahwa kedua buku ini satu sama lain betul-betul memiliki kesamaan dalam hal pembahasan masalah-masalah aqidah dan keyakinan.
3. Al Maqalat, peneliti buku At Tauhid berkata bahwa naskah buku ini ada di beberapa perpustakaan Eropa. Akan tetapi karya-karya lainnya dan nama-namanya tercantum di buku-buku terjemahan di antaranya adalah:
4. Akhdzu Al Syara’i
5. Al Jadal fi Ushul Al Fiqh
6. Bayan wa Hum Al Mu’tazilah
7. Rad Kitab Al Ushul Al Khomsah lil Bahili
8. Rad Al Imamah li ba’dzi Al Rawafidz
9. Al Rad ala Ushu Al Qaramathah
10. Rad Tahdzib Al Jadal lil Ka’bi
11. Rad wa Aid Al Fisaq lil Ka’bi
12. Rad Awa’il Al Adilah lil Ka’bi
Hingga sekarang buku-buku ini tidak dapat diperoleh.

Penulis: Ayatullah Jakfar Subhani
_______________________________________
[1] Ruh Al Aqidah Al Thahawiah, hlmn. 25, karya Syeikh Abdul Ghani Meidani Dimisyqi, wafat tahun 1298.
[1] Maksudnya adalah bersamaannya kekuatan dan perbuatan, atau kekuatan yang lebih dulu ketimbang perbuatan dan Abu Hanifah dan kebanyakan Ahlu Sunnah mengatakan bahwa kekuatan bersamaan dengan perbuatan.
[1] Isyaratul Maram, hlmn. 21-22, buku ini adalah salah satu buku sumber aliran teologi Maturidi, dan sebelum ini semua buku-buku Maturidi sendiri seperti At Tauhid dan At Tafsir, dan setelah kedua buku ini buku Ushuludin Bazdawi.
[1] Bayadzi, Isyaratul Maram, hlmn. 23.
[1] Isyaratul Maram, hlmn. 23.
[1] Miftahu Saadah wa Misbahu Siyadah, jilid 2, hlmn. 22-23.
[1] Hasyiah Kasteli untuks syarah Al Aqa’id Al Nasafiah yang telah diterbitkan bersama dengan syarahnya, hlmn. 17.
[1] Itihafu Saadah Al Mutaqin bi syarhi Asrar Ihya Ulumudin, jilid 2, hlmn. 8, Kairo.
[1] Buku At Tauhid dan Ta’wilat Ahli Sunat adalah karya Abu Mansur yang merupakan kakek dari ayah Bazdawi, kedua buku tersebut dibacakan di hadapannya. Silahkan merujuk kepada buku Ushuludin Bazdawi.



‘Asy’ariah

Oktober 6, 2011 Tinggalkan Komentar
Salah satu perdebatan itu menurut a Subki adalah
Al Asy’ari : Bagaimana kedudukan orang mukmin, kafir dan anak keecil di akhirat?
Al Jubai : Yang mukmin mendapat tingkat yang baik dalam surga, yang kafir masuk neraka dan yang kecil terlepas dari bahaya neraka.
Al Asy’ari : Kalau anak kecil ingin memperoleh tempat yang lebih tinggi di Surga, mungkinkah itu?
Al Jubai : Tidak, yang mungkin mendapat tempat yang baik itu, karena kepatuhannya kepada Tuhan. Yang kecil belum mempunyai kepatuhan seperti itu.
Al Asy’ri : Kalau anak kecil itu mengatakan kepada Tuhan, itu bukanlah salahku. Jika sekiranya Engkau bolehkan aku terus hidup aku akan mengerjakan perbuatan-perbuatan baik seperti yang dilakukan orang mukmin itu.
Al Ju bai : Allah akan menjawab, Aku tahu jika seandainya engkau terus hidup, engkau akan berbuat dosa dan oleh karena itu akan kena hukum. Maka untuk kepentinganmu Aku cabut nyawamu sebelum engkau sampai pada umur tanggung jawab.
Al asy’ari : Sekiranya yang kafir mengatakan, Engkau ketahui masa depanku sebagaimana Engkau ketahui masa depannya. Apa sebabnya Engkau tidak jaga kepentinganku?
Kemudian diamlah al Jubai dan tidak dapat menjawab lagi
Asy`ariyah adalah sebuah paham aqidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al-Asy`ariy. Beliau lahir di Bashrah tahun 260 Hijriyah bertepatan dengan tahun 935 Masehi. Beliau wafat di Bashrah pada tahun 324 H / 975-6 M.
Awalnya Al-Asy`ari pernah belajar kepada Al-Jubba`i, seorang tokoh dan guru dari kalangan Mu`tazilah. Sehingga untuk sementara waktu, Al-Asy`ariy menjadi penganut Mu`tazilah, sampai tahun 300 H. Namun setelah beliau mendalami paham Mu`tazilah hingga berusia 40 tahun, terjadilah debat panjang antara dia dan gurunya, Al-Jubba`i dalam berbagai masalah terutama masalah Kalam. Debat itu membuatnya tidak puas dengan konsep Mu`tazilah dan dua pun keluar dari paham itu kembali ke pemahanan Ahli Sunnah Wal Jamaah.
Al-Asy`ariyah membuat sistem hujjah yang dibangun berdasarkan perpaduan antara dalil nash (naql) dan dalil logika (`aql). Dengan itu belaiu berhasil memukul telak hujjah para pendukung Mu`tazilah yang selama ini mengacak-acak eksistensi Ahlus Sunnah. Bisa dikatakan, sejak berdirinya aliran Asy`ariyah inilah Mu`tazilah berhasil dilemahkan dan dijauhkan dari kekuasaan. Setelah sebelumnya sangat berkuasa dan melakukan penindasan terhadap lawan-lawan debatnya termasuk di dalamnya Imam Ahmad bin Hanbal.
Kemampuan Asy`ariyah dalam memukul Mu`tazilah bisa dimaklumi karena sebelumnya Al-Asy`ariy pernah berguru kepada mereka. Beliau paham betul lika-liku logika Mu`tazilah dan dengan mudah menguasai titik-titik lemahnya.
Meski awalnya kalangan Ahlussunnah sempat menaruh curiga kepada beliau dan pahamnya, namun setelah keberhasilannya memukul Mu`tazilah dan komitmennya kepada aqidah ahlus sunnah wal jamaah.
Perbedaan dan persamaan model pemahaman / pemikiran antara Asy`ariyah dan Maturidiyah bisa kita break-down menjadi beberapa point :
  1. Tentang sifat Tuhan
  2. Pemikiran Asy`ariyah dan Maturidiyah memiliki pemahaman yang relatif sama. Bahwa Tuhan itu memiliki sifat-sifat tertentu. Tuhan Mengetahui dengan sifat Ilmu-Nya, bukan dengan zat-Nya. Begitu juga Tuhan itu berkuasa dengan sifat Qudrah-Nya, bukan dengan zat-Nya.
  3. Tentang Perbuatan Manusia.
  4. Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Menurut Maturidiyah, perbuatan manusia itu semata-mata diwujudkan oleh manusia itu sendiri. Dalam masalah ini, Maturidiyah lebih dekat dengan Mu`tazilah yang secara tegas mengatakan bahwa semua yang dikerjakan manusia itu semata-mata diwujdukan oleh manusia itu sendiri.
  5. Tentang Al-Quran
  6. Pandangan Asy`ariyah sama dengan pandangan Maturidiyah. Keduanya sama-sama mengatakan bahwa Al-quran itu adalah Kalam Allah Yang Qadim. Mereka berselisih paham dengan Mu`tazilah yang berpendapat bahwa Al-Quran itu makhluq.
  7. Tentang Kewajiban Tuhan
  8. Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Maturidiyah berpendapat bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu. Pendapat Maturidiyah ini sejalan dengan pendapat Mu`tazilah.
  9. Tentang Pelaku Dosa Besar
  10. Pandangan Asy`ariyah dan pandangan Maturidiyah sama-sama mengatakan bahwa seorang mukmin yang melakukan dosa besar tidak menjadi kafir dan tidak gugur ke-Islamannya. Sedangkan Mu`tazilah mengatakan bahwa orang itu berada pada tempat diantara dua tempat “Manzilatun baina manzilatain”.
  11. Tentang Janji Tuhan
  12. Keduanya sepakat bahwa Tuhan akan melaksanakan janji-Nya. Seperti memberikan pahala kepada yang berbuat baik dan memberi siksa kepada yang berbuat jahat.
  13. Tetang Rupa Tuhan
  14. Keduanya sama-sama sependapat bahwa ayat-ayat Al-Quran yang mengandung informasi tentang bentuk-bentuk pisik jasmani Tuhan harus ditakwil dan diberi arti majaz dan tidak diartikan secara harfiyah.
kenyataannya mazhab aqidah Asy`ariyah ini memang mazhabyang paling banyak dipeluk umat Islam secara tradisional dan turun temurundi dunia Islam. Di dalamnya terdapat banyak ulama, fuqoha, imam dansebagainya. Meski bila masing-masing imam itu dikonfrontir satu persatu dengan detail pemikiran asy`ari, belum tentu semuanya sepakat 100 %. Bahkan sejarah mencatat bahwa hampir semua imam besar dan fuqoha dalam Islam adalah pemeluk mazhab aqidah al-As-`ari. Antara lain Al-Baqillani, Imam Haramain Al-Juwaini, Al-Ghazali, Al-Fakhrurrazi, Al-Baidhawi, Al-Amidi, Asy-Syahrastani, Al-Baghdadi, Ibnu Abdissalam, Ibnud Daqiq Al-`Id, Ibu Sayyidinnas, Al-Balqini, al-`Iraqi, An-Nawawi, Ar-Rafi`I, Ibnu Hajar Al-`Asqallani, As-Suyuti.
Sedangkan dari wilayah barat khilafat Islamiyah ada Ath-Tharthusi, Al-Maziri, Al-Baji, Ibnu Rusyd (aljad), Ibnul Arabi, Al-Qadhi `Iyyadh, Al-Qurthubi dan Asy-Syatibi.
Jangan lupa juga bahwa universitas Islam terkemuka di dunia dan legendaris menganut paham Al-Asy`ariah dan Maturidiyah seperti Al-Azhar di Mesir, Az-Zaitun di Tunis, Al-Qayruwan di Marokko, Deoban di India. Dan masih banyak lagi universitas dan madrasah yang menganutnya.
Para ulama pengikut mazhab Al-Hanafiyah adalah secara teologis umumnya adalah penganut paham Al-Maturidiyah. Sedangkan mazhab Al-Malikiyah dan Asy-Syafi`iyyah secara teoligs umumnya adalah penganut paham Al-Asy`ariyah.
Historisitas Teologi Asy`ariyah dalam Biografi Abul Hasan al-Asy`ari
Sebagaimana telah disampaikan di atas bahwa teologi Asy`ariah timbul sebagai penengah yang menjembatani antara kaum rasionalis-ekstremis dan kaum tekstualis-fatalis. Teologi Asy`ariah merupakan sebuah paham aqidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al-asy`ari. Nama lengkapnya Abdul-Hasan Ali bin Ismail Al-asy’ari, keturunan dari Abu Musa Al-asy’ary, yang dikenal dalam sejarah sebagai delegasi Ali bin Abi Thalib saat perundingan di Daumatu-l-Jandaal. Perundingan yang terjadi setelah perang Shiffin. Sebuah perundingan yang diyakini sebagi pemicu awal mula timbulnya sekte-sekte dalam Islam.
Al-asy’ari lahir tahun 260 H / 873 M dan wafat pada tahun 324 H / 935 M. Pada waktu kecilnya ia berguru pada seorang mu’tazilah terkenal, yaitu Abu Ali Al-Juba’i.
B. Perkembangan dan Tokoh Asy’ariyah
Pendirian Al-asy’ary di atas merupakan tali penghubung antara dua aliran alam fikiran Islam, yaitu aliran lama (textralis), dan aliran baru (rasionalis). Akan tetapi sesudah wafatnya aliran Asy’ariyah mengalami perubahan yang cepat. Kalau pada permulaan berdirinya kedudukannya hanya sebagai penghubung antara kedua aliran tersebut, maka pada akhirnya aliran Asy’aruyyah lebih condong kepada segi akal pikiran semata-mata dan memberinya tempat yang lebih luas daripada nash-nash itu sendiri. Mereka sudah berani mengeluarkan keputusan, bahwa “akal menjadi dasar naql (nash)” karena dengan akal kita dapat menetapkan adanya Tuhan, pencipta alam dan yang maha kuasa. Pembatalan akal fikiran dengan naql ( nash ) berarti pembatalan dasar ( pokok ) dengan cabangnya, yang berakibat pula pembatalan pokok dan cabangnya sama sekali.
Karena sikap tersebut, maka Ahlussunnah tidak dapat menerima golongan Asy’ariyyah, bahkan memusuhinya, sebab dianggap sesat ( bidah ). Kegiatan mereka sesudah adanya permusuhan ini menjadi berkurang, sehingga datang Nizamul-mulk ( wafat 458 H / 1092 M ), seorang mentri Saljuk, yang mendirikan dua sekolah terkenal dengan namanya yaitu, Nizamiyah di Nizabur dan Bagdad, dimana hanya aliran Asy’ariyyah saja yang boleh diajarkan. Sejak itu aliran Asy’ariyyah menjadi aliran resmi negara, dan golongan Asy’ariyyah menjadi golongan Ahli Sunnah.
tokoh-tokohnya sebagai berikut :
  • Al-Baqilany ( wafat 403 H / 1013 M )
Namanya Abu Bakkar Muhammad bin Tayyib, diduga kelahiran kota Basrah, tempat kelahiran gurunya, Al-Asy’ary. Ia seorang yang cerdas otakya, simpatik dan banyak jasanya dalam pembelaan agama. Kitabnya yang terkenal adalah “at-Tahmid” (pendahuluan / persiapan).
  • Al-Juwaini ( 419-478 H/ 1028-1085 M )
Namanya Abu al-Ma’aly bin Abdillah, dilahirkan di Nisabur, kemudian pergi ke kota Mu’askar, dan akhirnya sampai ke negara Bagdad. Ia mengikuti jejaknya Al-Baqilany dan Al-Asy’ary dalam menjujung setinggi-tingginya akal-fikiran, suatu hal yang menjadikan marahnya para ahli-ahli hadist.
  • Al-Ghazali ( 450-505 H )
Nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali. Dilahirkan di kota Tus, sebuah kota di negeri Khurasan. Gurunya antara lain Al-Juwaini, sedang jabatan yang pernah dipegagnya adalah mengajar di sekolah Nizamiyah Bagdad.
Al-Ghazali adlah salah seorang ahli fikir Islam terkenal dan yang paling besar pengaruhnya. Kegiatan ilmiyahnya meliputi berbagai lapangan, antara lain logika, jadal ( ilmu berdebat ), fiqh dan ushulnya, ilmu kalam, filsafat dan tasawuf. Kitab-kitab yang dikarangnya banyak sekali, berbahasa Arab dan Persi.
Kedudukan Al-Ghazali dalam aliran Asy’ariyyah sangat penting, karena ia telah meninjau semua persoalan yang pernah ada dan memberikan pendapat-pendapatnya yang hingga kini masih dipegangi Ulam-ulama Islam, yang karenanya ia mendapatkan julukan “Hujjatul Islam”.
  • As-Sanusy ( 833-895 H / 1427-1490 )
Nama lengkapnya Abu Abdillah bin Muhammad bin Yusuf. Dilahirkan di Tilasam, sebuah kota di Al-Jazair. Ia belajar pada ayahnya sendiri dan orang-orang lain terkemuka di negaarnya, kemudian ia melanjutkan pelajaranya di kota Al-Jazair pada seorang alim yang bernama Abd. Rahman ats-Tsa’laby.
Ulama Maghrib menganggap ia sebagai pembangun Islam, karena jasa dan karyanya yang banyak dalam lapangan kepercayaan (aqa’id) dan ketuhanan (ilmu Tauhid).
C. Alur Pemikiran Teologi Asya`riyah mencakup permasalahan kalam
1. Tentang sifat Tuhan
Asy’ary berpendapat bahwa Tuhan itu memiliki sifat-sifat tertentu. Tuhan mengetahui dengan sifat Ilmu-Nya, bukan dengan zat-Nya, begitu juga Tuhan berkuasa dengan sifat Qudrah-Nya, bukan dengan zat-Nya.
2. Tentang perbuatan manusia
Menurut Asy’ary semua yang dikerjakan manusia itu tidak semata-mata diwujudkan oleh manusia itu sendiri, melainkan ada peran Tuhan dalam menentukan perbuatan manusia.
3. Tentang Al-qur’an
Pandangan Asy’ariyah mengatakan bahwa Al-qur’an itu adalah Kalam Allah Yang Qadim yang berarti bukan makhluq.
4. Tentang Kewajiban Tuhan
Pandangan Asy’ariyah mengatakan bahwa Tuhan tidak memilii kewajiban-kewajiban tertentu, pandangan ini bertentangan dengan Mu’tazilah dan Maturidiyah yang beranggapan bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu.
5. Tentang Pelaku Dosa Besar
Asy’aryah mengatakan bahwa seorang mukmin yang melakukan dosa besar tidak menjadi kafir dan tidak gugur ke-islamannya.
6. Tentang Janji Tuhan
Asy’aryah sepakat bahwa Tuhan akan melaksanakan janji-Nya. Seperti memberikan pahala kepada yang berbuat baik dan memberi siksa kepada yang berbuat jahat.
7. Tentang Wujud Tuhan
Asy’aryah berpendapat bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung informasi tentang bentuk-bentuk pisik jasmani Tuhan harus dita’wil dan diberi arti majaz dan tidak diartikan secara harfiyah.
Demikianlah teologi alur pemikiran dan pemahaman Asy’ariyah dalam beberapa masalah kalam.
Al Maturudiah
a. riwayat hidup
Nama aliran ini diambil dari nama pendirinya, yaitu Abu Mansur Muhammad bin Muhammad, kelahiran Matured, kota kecil di daerah Samarkand kurang lebih abad pertengahan hijrah dan ia meninggal di kota Samarkand pada tahun 333 H.
Ia hidup sezaman dengan Abu Hasan al Asy’ari, tapi di tempat yang berbeda. Al Asy’ri di Basrah sedangkan al Maturidi di Samarkand, latar belakang mazhab yang dianut keduanya juga tidak sama. Al asy’ari adalah penganut mazhab Syafi’i, sedangkan al maturidi penganut mazhab Hanafi, sehingga pemikiran theology al Maturidi lebih rasional ketimbang al Asy’ari. Pemikiran al Maturidi lebih cenderung mendekati pemikiran Mu’tazilah, sementara pemikiran Asy’ari lebih dekat kepada Jabariyah.
Pada dasarnya timbulnya pemikiran teologi al Maturidi sebagaiman juga al Asy’ari, merupakan reaksi terhadap paham Mu’tazilah. Sungguhpun demikian, antara keduanya tidak selalu memiliki pendapat yang sama. Ada yang sama, dan banyak pula yang berbeda.
b. Pemikirannya
1) Sifat-Sifat Tuhan
Mauridi dalam memahami sifat-sifat tuhan, hamper bersamaan dengan al asy’ari, di mana keduanya sependapat, bahwa tuhan mempunyai sifat-sifat, seperti sama’, basyar dan sebagainya. Sekalipun begitu, pengertian al maturidi berbeda dengan Asy’ari. Asy’ari memehami sifat Tuhan sebagai sesuatu yang bukan zat, melainkan melekat pada zat itu sendiri. Sedangkan al Maturidi memahami sifat-sifat Tuhan itu tidak dikatakan sebagaia esensiNya dan bukann pula dari esensiNya. Sifat Tuhan itu bersifat mulzamah ( suatu kepastian ) bersama zat tanpa terpisah.
Dengan pemahaman maturidi tentang makna sifat Tuhan ini, cenderung mendekati faham Mu’tazilah. Perbedaannya hanya terletak pada pengakuan Maturidi tentang sifat-sifat Tuhan, sedangkan Mu’tazilah menolak adanya sifat-sifat yang berada di luar zatNya. Mu’tazilah memahami antara zat dan sifat Tuhan adalah dalam kesatuan.
2) Iman dan Kafir
Pada umumnya konsep iman dan kufur Maturidiah Samarkand mirip dengan konsep Mu’tazilah dan konsep Maturidiah Bukhara sama dengan Asy’ariah. Golongan Samarkand yang diwakili oleh Maturidi mengartikan imin sebagai mengetahui Tuhan dalam ketuhanannya atau ma’riffat kepada Allah dengan segala sifat-sifatnya.
Golongan Bukhara yang diwakili oleh Bazdawi mengartikan iman dengan imin dan tasdik dan ikrar. Maturidiah pada umumnya mengakui bahwa iman dapat bertambah dan berkurang, akan tetapi yang bertambah dan berkurang itu adalah sifatnya, bukan zatnya.
3) Akal dan Wahyu
Golongan Maturidiah Samarkand berpendapat akal dapat mengetahui adanya Tuhan dan yang baik dan yang buruk. Tetapi akal tidak dapat mengetahui kewajiban berbuat baik dan menjauhi yang buruk. Untuk hal yang terakhir ini hanya dapat diketahui dengan wahyu. Karena itu, wahyu sangat diperlukan untuk menjelaskannya.
Golongan Maturidiah Bukhara lain lagi. Menurut mereka, akal dapat mengetahui adanya Tuhan dan yang baik dan yang buruk. Tetapi akal tidak dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan dan kewajiban berbuat baik dan meninggalkan yang buruk. Untuk mengetahui itu diperlukan wahyu. Dalam kaitan ini akal harus mendapat bimbingan dari wahyu.
4) Pelaku Dosa Besar
Al Maturidi berpendapat bahwa Muslim yang melakukan dosa besar tetap mukmin, tidak kafir, tidak pula berada pada al manzilah bainal manzilatain seperti pendapat Mu’tazilah.
5) Perbuatan Tuhan dan Perbuatan Manusia
a) Perbuatan Tuhan
Persoalan yang timbul ketika meneliti pebuatan Tuhan senangtiasa diawali pertanyaan, apakah perbuatan Tuhan mencakup hal-hal yang buruk? Atau apakah Tuhah memeiliki kewajiban-kewajiban untuk lepentingan manusia?
Aliran Maturidiah memberi batasan terhadap kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Mereka menerima paham adanya kewajiban menepati janji tentang pemberian pahala dan hukuman serta serta kewajiban mengirim para Rasul. Adapun kewajiban Tuhan melakukan hal yang baik dan terbaik, al Maturidi tidak secara tegas menyatakan wajib. Ia hanya menyatakan bahwa semua perbuatan Tuhan berdasarkan hikmat kebijaksanaan.
b) Perbuatan Manusia
Al Maturidi berpendapat, perbuatan manusia sebanarnya diwujudkan oleh manusia itu sendiri, sekalipun kemauan atau kehendak untuk berbuat itu merupakan kehendak Tuhan, tapi perbuatan itu bukanlah perbuatan Tuhan. Dalam hal ini maturidi sependapat dengan al Maturidi.
6) Kehendak Mutlak dan Keadilan Tuhan
Menurut al Maturidiah kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan tidak sebebas yang diberikan Mu’tazilah. Baginya, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan itu hanya dibatasi oleh kebebasan manusia yang diberikan tuhan. Tuhan sebenarnya mampu membuat semua manusia yang ada di bumi ini menjadi beriman, namun Allah tidak melakukan hal tersebut. Alasannya, karena kebebasan berkehendak dan berbuat yang diberikanNya kepada manusia.Dalam masalah keadilan Tuhan maturidi hamper sependapat dengan Mu’tazilah, mereka menggaris bawahi makna keadilan Tuhan sebagai lawan dari perbuatan zalim Tuhan terhadap manusia. Tuhan tidak akan membalas kejahatan, kecuali dengan balasan yang setimpal.
7) Takdir dan Kebebasan Manusia
Hal ini Maturidi golongan Bukhara sependapat dengan al Asy’ari sedangkan golongan Samarkan sependapat dengan Mu’tazilah.
al-Asy’ariyah
Al-Hafiz Ibn `Asakir meriwayatkan di dalam kitabnya Tabyin Kadzib al-Muftari dan al- Hakim meriwayatkan dalam kitabnya al-Mustadrak sebab turun QS. al-Ma’idah: 54, lalu Rasulullah saw bersabda: “Mereka kaummu wahai Abu Musa”, dan Rasulullah saw menunjukkan dengan tangan baginda kepada Abu Musa al Asy`ari”.
Al-Hakim menghukumkan hadis di atas sebagai hadis sahih `ala shahih Muslim. Hadis di atas juga diriwayatkan oleh al-Tabari dalam kitab tafsirnya, Ibn Abi Hatim, Ibn Sa`d dalam kitabnya al-Tabaqat al-Kubra dan al-Tabrani dalam kitab al-Mu`jam al-Kabir. Al-Hafiz al-Haythami berkata di dalam kitabnya Majmu` al-Zawa’id bahawa rijal hadis tersebut adalah rijal al-sahih.
Al-Imam al-Qurtubi berkata di dalam kitab tafsirnya (al-Tafsir al-Qurtubi) jilid. VI, halaman. 220: “Al-Qushayri berkata:
“Maka para pengikut Abu al-Hasan al-Asy`ari adalah termasuk kaumnya kerana setiap tempat yang disandarkan di dalamnya oleh suatu kaum kepada seseorang nabi maka maksudnya ialah para pengikut”.
Berkaitan dengan hadis yang mempunyai maksud yang sama dengan hadis di atas iaitu dengan lafaz yang mafhumnya: “Mereka adalah kaum lelaki ini” sambil Nabi sallallahu`alaihi wasallam mengisyarat tangannya kepada Abu Musa al-Asy`ari.” Rasulullah sallallahu`alaihi wa sallam bersabda: Maksudnya: “Mereka adalah kaum orang ini.”
[Diriwayatkan oleh Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak]
Apabila negara Islam berkembang luas, berlaku perbincangan antara saudara-saudara baru mengenai agama. Antara topik yang terpenting adalah membicarakan masalah akidah. Hasil daripada beberapa perbincangan, lahir berbagai-bagai fahaman yang berpandukan logik. Akibatnya, ada yang terpesong dalam memahami teks al-Quran yang sebenar. Walau apapun berlaku, Allah berjanji memelihara agamanya dengan melahirkan sarjana yang mempertahankan akidah yang tulen. Antara sarjana-sarjana itu adalah Imam Abu Hasan al-Asy’ari.
Abu Hasan al-Asy’ari dilahirkan di Basrah pada tahun 260 Hijrah. Beliau pernah berpegang pada fahaman Muktazilah dan berguru kepada ayah tirinya Abu Ali aljubbai. Selepas berusia 40 tahun, beliau berfikiran matang dan tekun mengkaji secara mendalam. Pada suatu hari, beliau berdebat dengan ayah tirinya dalam mengenai kehidupan selepas mati. Selepas berdebat dengan ayah tiri beliau, Abu Hasan al-Asy” ari bangun berucap di Masjid Basrah lalu mengisytiharkan dirinya keluar daripada fahaman Muktazilah dan berpegang pada Ahli Sunnah wal Jamaah.
Abu Hasan al-Asy’ari membuat pembaharuan dalam aliran Ahli Sunnah dengan mengemukakan hujah-hujah logik akal serta teks-teks al-Quran dan hadis yang ada. Hujah-hujah yang dikumpulkan cukup kuat bagi mematahkan hujah Muktazilah yang pesat berkembang pada masa itu. Beliau berjaya mengumpulkan ramai murid dan pengikut. Kemudian, lahir golongan Ahli Sunnah wal Jamaah dikenali sebagai Asya’irah iaitu golongan pengikut fahaman Abu Hasan al Asy’ari.
Antara teori Abu Hasan al-Asy’ari adalah mengemukakan 13 sifat yang wajib bagi Allah secara terperinci iaitu:
1. Ada
2. Bersedia
3. Kekal
4. Berlawanan dengan sesuatu yang baru
5. Berdiri dengan sendirinya
6. Satu
7. Berkuasa
8. Berkehendak
9. Mengetahui
lO.Hidup
11. Mendengar
12.Melihat
13.Berkata-kata
Beliau juga menghuraikan perkara taklid iaitu mengambil pendapat orang lain tanpa hujah yang menguatkannya ataupun tidak dalam perkara yang berkaitan dengan sifat-sifat itu. Beliau menghuraikan perkara-perkara lain yang berkaitan dengan kepercayaan pada rukun-rukun iman.
Aliran Asya’irah ini berkembang dengan pesatnya di Iraq. Kemudian, ia berkembang di Mesir pada zaman Salahuddin al- Ayubi, di Syiria dengan sokongan Nuruddin Zanki, di Maghribi dengan sokongan Abdullah bin Muhammad, di Turki dengan sokongan Uthmaniah dan di daerah-daerah yang lain. Ideologi ini juga didokong oleh sarjana-sarjana di kalangan mazhab Hanafi, Maliki, Syafie dan Hanbali. Antara mereka adalah al-Asfaraini, al -Qafal, aljarjani dan lain-lain sehingga sekarang.
Pembaharuan yang dibawa oleh Abu Hasan al-Asy’ ari adalah dengan mengemukakan hujah logik dengan disertakan hujah teks al-Quran dan hadis Nabi Muhammad. Hujah-hujah ini membawa kekuatan kepada Ahli Sunnah wal Jamaah bagi menghadapi hujah golongan Muktazilah yang pesat berkembang dan mendapat sokongan daripada pemerintah-pemerintah kerajaan Abbasiah. Akhirnya, golongan Muktazilah bukan sahaja dibendung dengan hujah, tetapi kerajaan yang ditubuh kemudiannya memberi sumbangan politik yang besar bagi mempertahankan dan mengembangkan fahaman Asya’ irah. Di samping itu, lahir tokoh sarjana Islam yang menyambung aliran fahaman ini seperti Abu Abdullah bin Mujahid, Abu Hasan al-Bahili, Abu Bakar bin al-Taib al Bakilani, Abu Bakar bin Furak, Abu Ishak al-Asfiraini, Abu Muhammad aljuwaini, Abu Mazfir al-Asfaraini, Imam al-Haramain aljuwaini, Hujah Islam Imam al-Ghazali, dan Imam Fakruddin al-Razi.
Imam Abu Hasan al-Asy’ari juga meninggalkan beberapa buku yang dikarangnya dan yang masih ada pada zaman sekarang antaranya Al-Ibanah Min Uslul Diniati. Dalam buku ini, beliau menyokong dengan tegas kepada Imam Ahmad bin Hanbal yang dipenjara dan didera oleh kerajaan Abbasiah yang menyokong Muktazilah pada zamannya. Begitu juga dalam buku AJ-Luma ‘ Fir Raddi ‘Ala Ahlil Zaighi wal Bid ‘i beliau mendedahkan hujah logik dan teks. Buku Maqalatul Islamiyiin mendedahkan fahaman-fahaman yang timbul dalam ilmu Kalam dan menjadi rujukan penting dalam pengajian fahaman-fahaman akidah. Buku Istihsan al-Khaudhi Fil Ilmu Kalam pula adalah risalah kecil bagi menolak hujah mereka yang mengharamkan ilmu Kalam.
Walaupun ada di kalangan sarjana Islam terutamanya di kalangan mazhab Hanbali yang menyanggah beberapa hujah dan kaedah yang dibawa oleh Abu Hasan Asy’ ari, ia tidak menafikan jasanya mempertahankan fahaman Ahli Sunnah Wal Jamaah. Fahaman beliau berjaya mematikan hujah-hujah Muktazilah yang terpesong jauh iaitu membicarakan al-Quran sebagai kata-kata Allah yang kekal, isu melihat Allah pada hari Kiamat, membetulkan perkara yang berhubung dengan Qadak dan Qadar dan lain-lain dan menjadi golongan pertama yang menamakan Ahli Sunnah Wal Jamaah di tengah-tengah kelahiran pelbagai fahaman pada zamannya.
Imam Abu Hasan Asy’ari meninggal dunia pada tahun 324 Hijrah dengan meninggalkan pusaka ilmu yang terdiri daripada buku-buku karangan beliau serta murid-murid yang meneruskan perjuangannya. Akhirnya, ia meninggalkan aliran pengajian akidah yang dianuti oleh sebahagian besar umat Islam hari ini dalam melanda cabaran-cabaran baru yang tidak ada pada zamannya. Seterusnya aliran ini memerlukan pembaharuan lagi dalam mengemukakan hujah-hujah kontemporari bagi mempertahankan akidah yang sebenar.
Kuliah Jumaat Tuan Guru Haji Abdul Hadi Awang
Dari Masjid Rusila, Marang, Terengganu
Al-Maaturidiyyah
Di sebelah timur negara Islam iaitu di daerah Maturid, wilayah Samarkand, lahir sarjana Islam yang bernama Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Abu Mansur Maturidi. Beliau lahir pada tahun 332 Hijrah. Beliau membawa aliran ideologi akidah dalam fahaman Ahli Sunnah wal Jamaah bagi menghadapi beberapa penyelewengan pada zamannya. Beliau adalah sarjana Islam dalam mazhab Hanafi.
Beliau muncul di Asia Tengah pada waktu masyarakat Islam dilanda aliran ideologi yang menyeleweng daripada akidah yang sebenar. Antaranya mazhab Muktazilah, Mujasimah, Muhammad bin Karam Sajassatani iaitu pemimpin fahaman Karamiah, Qaramitah yang dipimpin oleh Hamdan As’ ad, Jaham bin Safuan iaitu pemimpin fahaman Jahamiah, dan ahli tasauf Husin bin Mansur al-Halaj. Imam Abu Mansur Maturidi membawa peranan yang besar bagi menghadapi penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan oleh mereka.
Walaupun beliau hidup sezaman dengan mazhab Imam Abu Hasan al-Asy’ ari, namun beliau mempunyai teknik berhujah dan huraian yang berbeza. Para sarjana Islam menyatakan, Imam Abu Mansur Maturidi lebih cenderung kepada pendapat Imam Abu Hanifah dalam perkara akidah. Ini kerana beliau merujuk risalah-risalah dan buku-buku yang ditulis oleh Imam Abu Hanifah seperti Fikh Akbar, Fikh Absat, Kitab Ilm dan sebagainya.
Terdapat beberapa perselisihan antara Abu Mansur Maturidi dengan Abu Hassan al-Asy’ ari. Antaranya dalam isu Makrifatullah (mengenal Allah), Abu Hassan menyatakan wajib mengetahuinya menurut sumber agama tetapi Abu Mansur berkata wajib juga dengan berpandu dengan akal. Dalam isu sifat-sifat Allah, Abu Mansur menambah dengan sifat-sifat maknawiyah iaitu sifat yang menjadi penguat kepada sifat Ma’ani beserta sifat-sifat Madani. Fahaman Maturidiah mewajibkan hukum akal beserta syarak sehingga beliau berselisih dengan sebahagian sarjana Fikah dan Hadis. Terdapat lagi huraian-huraiannya berhubung Qadak dan Qadar dan lain-lain yang berbeza dengan huraian fahaman Asya’irah.
Abu Mansur Maturidi meninggalkan pusaka ilmu yang banyak selain membela fahaman Ahli Sunnah bagi menghadapi pelbagai fahaman yang menyeleweng. Pusaka ilmunya adalah murid-murid yang ramai dan pengikut-pengikut yang meneruskan ajarannya. Antara murid-muridnya adalah Abu Ahmad Iyad, Abu Qasim Hakim Samarkandi, Abu Hussin Wastaqfani, Abdul Karim bin Musa Inbazadari, Abu Asyimah Abi Lais Bakhari dan lain-lain. Antara pengikut-pengikut yang meneruskan alirannya adalah Sadar Islam Abu Yasir Muhammad bin Muhammad bin Abdul Karim Bazadui, Maimun bin Muhammad Nasfi yang dianggap tokoh sarjana terbesar dalam fahaman ini selepas Abu Mansur. Adakala sebahagian menganggap mereka adalah kumpulan kecil seperti Syaharsatani dalam fahaman Asya’irah, Najmuddin Abu Hafiz Samarqandi Nasqi, Nuruddin Ahmad bin Muhammad Syobuni, Bukamal bin Yam iaitu sarjana terbilang dalam fahaman Hanafi dan lain-lain lagi.
Buku-buku yang dikarang oleh Abu Mansur Maturidi adalah buku Jadal dan Ma ‘akhiz Syarai’. Kedua-dua buku ini membincangkan Usul Fikah. Buku-buku dalam ilmu ketuhanan antaranya, Tauhid, Muqalaat, Ra’du Ala Qawashat, Bayan Wahm Muktazilah, Ra ‘du Amamah Libaddu Rawafaz dan banyak lagi. Apa yang mendukacitakan, buku-buku itu hilang begitu sahaja. Buku yang masih tersimpan adalah buku Tauhid dan Maqalaat Selain itu ada buku-buku beliau dalam ilmu yang lain.
Abu Mansur Maturidi juga seperti Abu Hassan Asy’ari yang membawa pembaharuan dalam pengajian akidah. Beliau memasukkan hujah-hujah logik akal semasa menghadapi perkembangan fahaman baru yang timbul pada zamannya. Pada zaman para sahabat dan generasi awal kalangan tabi” in termasuk imam-imam mujtahidin yang pertama lebih bergantung kepada hujah-hujah teks daripada al-Quran dan hadis Nabi Muhammad sahaja.

AL-ASHA^IRAH PEMIMPIN ILMU ISLAM DAN PEMBELA ISLAM
Al-Imam Abul-Hasan al-Ash^ari dan para pendokong atau pengikut beliau yang digelar al-Ash^ariyyun atau al-Asha^riyah mempunyai jasa besar dalam membersihkan umat Islam dari kekotoran aqidah ahli bidaah seperti aqidah al-Mu^tazilah, al-Jahmiyyah, al-Mujassimah dan al-Mushabbihah. Bahkan, kebanyakan para pendokong, pemimpin ilmu Islam dan pembela Islam adalah dari kalangan al-Asha^irah, sedangkan golongan mempertikaikan mereka ini tidak pun mencapai separas buku lali mereka sejak berzaman sehingga kini dari segi ilmu, warak, taqwa dan jasa.
Antara ulama al-Asha^irah ialah daripada kalangan ulama hadis yang sampai ke tahap al-Hafiz yang menjadi pemimpin dalam ilmu hadis seperti al-Imam al-Hafiz al-Hujjah al-Faqih Shaykhul-Muhaddithin Abu Bakr al-Jurjani al-Isma^ili (penyusun al-Mustakhraj ^alal-Bukhari), al-Imam al-Kabir al-Hafiz al-Faqih al-Usuli Abu Bakr al-Bayhaqi, al-Hafiz Ibn ^Asakir (yang disifatkan sebagai tokoh yang utama daripada kalangan al-muhaddithin di Sham pada zamannya), Amirul-Mu’minin fil-Hadith al-Hafiz Ahmad ibn Hajar al-Asqalani, al-Hafiz Abu Nu^aym al-Asbahani, al-Hafiz al-Daraqutni, al-Hafiz al-Khatib al-Baghdadi, al-Hafiz al-Silafi, al-Hafiz al-Nawawi, al-Hafiz Ibn Daqiqil-^Id, al-Hafiz Qadil-Qudah Taqiyyud-Din al-Subki, al-Hafiz al-^Ala’i, al-Hafiz Zaynud-Din al-^Iraqi, al-Hafiz Waliyyud-Din al-^Iraqi, al-Hafiz al-Lughawi al-Sayyid Muhammad Murtada al-Zabidi, Muhaddith al-Diyaril-Maghbiyyah al-Hafiz al-Mujtahid al-Sayyid Ahmad ibn Siddiq al-Ghummari dan ramai lagi.
Selain itu, antara ulama al-Asha^irah lain yang amat berjasa kepada umat Islam ialah Mujaddid Kurun Keempat Hijriah al-Imam Abut-Tayyib Sahl ibn Muhammad, al-Shaykh Abu Muhammad al-Juwayni, al-Shaykh Abul-Ma^ali Imamul-Haramayn, al-Imam Abu Mansur ^Abdul-Qahir a l-Baghdadi, al-Ustadh Abul-Qasim al-Qushayri, al-Shaykh Abu Ishaq al-Shirazi, al-Imam Abu Bakr al-Baqillani, Shaykhul-Mutakallimin al-Imam Abu Bakr ibn Furak, al-^Arif biLlah al-Imam al-Sayyid ^Abdul-Qadir al-Jilani, al-^Arif biLlah al-Imam al-Sayyid Ahmad al-Rifa^i, Shaykhul-Islam wa-Sultanul-^Ulama’ al-^Izz ^Abdul-^Aziz ibn ^Abdis-Salam, al-^Arif biLlah, al-Imam al-Ghazali, Abul-Wafa’ Ibn Aqil al-Hanbali, Qadil-Qudah al-Damighi al-Hanafi, Abul-Walid al-Baji al-Maliki, al-Qadi ^Iyad, al-Imam Fakhrud-Din al-Razi, Abu ^Amr ibn al-Hajib al-Maliki, ^Ala’ud-Dun al-Baji, al-Shaykh Zakariyya al-Ansari, al-Shaykh Baha’ud-Din al-Rawwas al-Sufi, al-Imam al-Habib al-Sayyid ^Abdullah ibn ^Alawi al-Haddad, Mufti al-Shafi^iyyah bi-Makkah al-Sayyid Ahmad Zayni Dahlan, Musnidil-Hind WaliyyuLlah al-Dihlawi, Mufti Misr al-Shaykh Muhammad ^Illish al-Maliki, Shaykhul-Jami^il-Azhar ^Abdullah al-Sharqawi, al-Shaykh Abul-Hasan al-Qawuqji, al-Shaykh Husayn al-Jisr al-Tarabulusi, al-Shaykh ^Abdul-Basit al-Fakhuri Mufti Bayrut, al-Shaykh Muhammad Arshad al-Banjari, al-Shaykh Dawud ibn ^Abdullah al-Fatani, al-Shaykh Zaynul-^Abidin al-Fatani Ra’is ^Ulama’il-Hijaz al-Shaykh Muhammad Nawawi al-Bantani al-Jawi, al-Shaykh al-Adib Wan Ahmad al-Fatani, al-Shaykh Muhammad Mukhtar ibn ^Utarid al-Buquri, Muhaddith al-Diyarish-Shamiyyah al-Akbar al-Shaykh al-Sharif Badrud-din al-Hasani, al-^Allamah al-Habib al-Sayyid ^Alawi ibn Tahir al-Haddad al-Hadrami Mufti Johor, al-Musnid al-Habib Abul-Ashbal Salim ibn Jindan al-Indunisi, al-^Alimul-^Allamah al-Sayyid ^Alawi ibn ^Abbas al-Maliki, al-Muhaddith al-Shaykh Muhammad ^Arabi al-Tabbani, Musnidud-Dunya Muhammad Yasin al-Fadani, al-Shaykh Tuan Guru al-Haj ^Abdullah Lubuk Tapah al-Kalantani, Muhaddith al-Diyarish-Shamiyyah aw Khalifatish-Shaykh Badrud-Din al-Shaykh ^Abdullah al-Harari dan ramai lagi.
Selain itu, di kalangan al-Asha^irah dan al-Maturidiyyah ada yang membela Islam dan umat Islam melalui kuasa pemerintahan seperti al-Sultanul-^Adil al-Mujahid Salahud-Din al-Ayyubi, al-Sultan Muzaffarud-Din Kukabri, al-Sultan Qalawun dan al-Sultan Muhammad al-Thani al-Fatih dan lain-lain lagi.
Sebenarnya, saya tidak bermaksud dengan senarai di atas untuk menjumlahkan kesemua al-Asha^irah dan al-Maturidiyyah! Siapakah yang mampu menghitung semua bintang di langit atau siapakah yang tahu bilangan pasir di gurun melainkan Allah?!. Demikianlah betapa ramainya al-Asha^irah dan al-Maturidiyyah… al-Asha^irah dan al-Maturidiyyah adalah Ahlus-Sunnah wal-Jama^ah golongan yang selamat!! Merekalah yang amat berjasa menyebarkan Islam ke seluruh dunia, di seluruh pelusuk benua dan kepulauan, di timur dan barat, di utara dan selatan sehingga majoriti umat Islam terdiri daripada al-Asha^irah dan al-Maturidiyyah!
Namun hairan, di sana ada suara-suara janggal yang melempar pelbagai tuduhan dan kejian terhadap al-Asha^irah dan metode pengajian aqidah tauhid mereka. Suara-suara liar itu menuduh bahawa al-Asha^irah bukanlah Ahlus-Sunnah, bahkan ada yang mengkafirkan mereka atau menggolongkan mereka ke dalam puak al-Mu^attilah semata-mata menyerahkan makna nusus mutashabihat kepada Allah dan Rasulullah. Ada yang mendakwa bahawa metode pengajian tauhid secara ilmu kalam yang didokong oleh al-Asha^irah dan al-Maturidiyyah (sifat 20 atau sifat 13) itu memundurkan umat Islam, tidak menggerunkan musuh Islam, dan menyusahkan, berbelit-belit, mengelirukan atau memeningkan kepala. Suara-suara pelik ini sebenarnya dimomokkan oleh golongan al-Wahhabiyyah yang menggelarkan diri mereka sebagai Salafiyyah. Sedangkan, tokoh rujukan utama mereka sendiri Ibn Taymiyah al-Harrani telah mengiktiraf jasa al-Asha^irah dalam ilmu usulud-din dengan mensifatkan mereka sebagai para pembantu usulud-din (sila lihat Fatawa Ibn Taymiyah, juz. 4).
Bagaima mungkin majoriti umat Islam ini boleh dihukumkan sebagai kafir al-Mu^attilah (golongan yang menafikan sifat-sifat Allah atau menafikan kewujudan Allah) atau golongan sesat? Sedangkan Rasulullah sallaLlahu ^alayhi wa-sallam telah menyatakan bahawa kebanyakan umat baginda tidak tidak sesat dan inilah antara keistimewaan umat ini sebagaimana sabda baginda:
إن الله لا يجمع أمتي على ضلالة
“Sesungguhnya Allah tidak mengumpulkan umatku di atas suatu kesesatan” [Diriwayatkan oleh al-Tirmidhi dalam Sunan al-Tirmidhi, Ibn Majah dalam Sunan Ibn Majah, al-Hakim dalam al-Mustadrak, Ahmad dalam Musnad Ahmad].
Menurut riwayat Ibn Majah ada suatu tambahan:
فإذا رأيتم اختلافًا فعليكم بالسواد الأعظم
“Maka jika kamu melihat suatu perselisihan, maka kamu hendaklah bersama kumpulan yang paling besar”.
Hadis di atas disokong atau dikuatkan oleh hadis mawquf ke atas Abu Mas^ud al-Badri, iaitu:
وعليكم بالجماعة فإن الله لا يجمع هذه الأمة على ضلالة
“Dan kamu hendaklah bersama kumpulan kerana sesungguhnya Allah tidak mengumpulkan umat ini di atas suatu kesesatan” [Diriwayatkan oleh Ibn Abi ^Asim dalam al-Sunnah. Al-Hafiz Ibn Hajar di dalam kitabnya Muwafaqatul-Khabar al-Khabar berkata: “Isnadnya hasan”].
Hadis di atas juga disokong oleh hadis mawquf ke atas ^Abdullah ibn Mas^ud dan hadis init habit daripada beliau:
ما رءاه المسلمون حسنًا فهو عند الله حسن وما رءاه المسلمون قبيحًا فهو عند الله قبيح
“Suatu yang dipandang oleh orang-orang Islam sebagai baik maka perkara itu baik di sisi Allah, dan suatu yang dipandang oleh orang-orang Islam sebagai buruk maka perkara itu buruk di sisi Allah” [Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad Ahmad dan lihat Kashful-Astar ^an Zawa’idil-Bazzar oleh al-Hafiz al-Haythami. Al-Hafiz Ibn Hajar di dalam kitabnya Muwafaqatul-Khabar al-Khabar berkata: “(Hadis) ini mawquf hasan”].
Sesungguhnya pernyataan bahawa kebanyakan atau majoriti umat ini terpelihara dari kesesatan tidak menafikan hadis sahih ini, iaitu sabda Nabi sallaLlahu ^alayhi wa-sallam:
لا تزال طائفة من أمتي ظاهرين على الحق حتى تقوم الساعة
“Satu golongan daripada umatku sentiasa zahir di atas kebenaran sehingga Kiamat berlaku” [Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam kitabnya al-Mustadrak].
Sabdaan Nabi sallaLlahu ^alayhi wa-sallam ini bermaksud bahawa di kalangan umat baginda ada segolongan yang berpegang teguh dengan agama Islam secara sempurna, dan ini tanpa ragu bahawa golongan yang berpegang teguh dengan agama secara sempurna adalah kaum minoriti. Meskipun begitu, hadis tersebut tidaklah bermaksud bahawa kebanyakan orang Islam dalam keadaan sesat dari sudut aqidah sehingga keluar dari agama Islam sebagaimana yang didakwa secara terang-terangan oleh puak al-Wahhabiyyah dan golongan yang seumpama mereka.
Selain itu, sabdaan Nabi sallaLahu ^alayhi wa-sallam itu juga mengisyaratkan kepada kita bahawa ilmu serta perjuangan Islam akan sentiasa berkesinambungan dari satu generasi ke satu generasi sedari zaman penurunan wahyu ketika hayat Nabi Muhammad sallaLlahu alayhi wa-sallam hingga hari terakhir yang dikehendaki Allah untuk umat Islam. Fitnah al-Wahhabiyyah ke atas Ahlus-Sunnah wal-Jama^ah al-Asha^irah dan al-Maturidiyyah boleh dianggap sebagai satu usaha dakyah mereka untuk memutuskan kesinambungan kebenaran Islam sebagaimana yang dimaksudkan oleh hadis tersebut. WaLlahu a^lam…

Ilmu akidah bersumber karya ulama silam Melayu

http://www.utusan.com.my/pix/2009/0622/Utusan_Malaysia/Bicara_Agama/ba_02.1.jpg
SHeikh Nuruddin Ar-Raniri antara ulama yang terawal mengarang ilmu akidah di alam Melayu pada abad ke-16.


Koleksi tulisan Allahyarham WAN MOHD. SAGHIR ABDULLAH
ILMU Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah sangat luas jika dibicarakan dari sumber-sumber asalnya yang meliputi berpuluh-puluh, beratus-ratus bahkan ribuan kitab.
Sebahagian kecil sejarah ringkas Ilmu Tauhid di Dunia Melayu dalam beberapa judul penting yang telah ditulis oleh para ulama Dunia Melayu, telah penulis perkenalkan dalam ruangan-ruangan sebelum ini dan dimuatkan juga dalam buku Faridatul Faraid, Sheikh Ahmad al-Fathani.
Maka dirasakan tidak perlu ia diulang perkara yang sama. Oleh itu, untuk perbicaraan ini, penulis hanya mengehadkan kepada sumber-sumber tradisional karya ulama dunia Melayu sahaja.
Senarai kitab akidah ulama dunia Melayu
Sebelum memasuki sejarah penulisan akidah Islami yang berhaluan Ahlus Sunnah wal Jamaah di Dunia Melayu, terlebih dahulu ada baiknya penulis senaraikan pelbagai judul kitab yang dikarang oleh ulama-ulama silam kita.
Karya-karya akidah itu dapat dibahagi kepada empat corak iaitu:
lKarya ilmu tauhid yang khas membicarakan tentang itu yang ditulis dalam bahasa Melayu.
lKarya ilmu tauhid yang khas membicarakan tentang itu yang ditulis dalam bahasa Arab.
lKarya tauhid yang ditulis dalam karya ilmu fiqh atau tasauf yang diletakkan di bahagian permulaan kitab yang ditulis dalam bahasa Melayu.
lKarya tauhid yang ditulis dalam karya ilmu fiqh atau tasauf yang diletakkan di bahagian permulaan kitab yang ditulis dalam bahasa Arab.
Daripada keterangan tersebut, dapat disimpulkan bahawa ulama-ulama silam Dunia Melayu berkebolehan mengarang kitab-kitab dalam bentuk bahasa Arab yang setaraf dengan orang-orang Arab sendiri.
Bahawa demikian pentingnya ilmu tauhid (akidah) sehingga dalam perbicaraan mengenai fiqh atau tasauf pun masih juga membicarakan perkara akidah.
Disimpulkan bahawa ulama silam Dunia Melayu sependapat bahawa “Mengenal Allah dan Rasul-Nya melalui akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah wajib, mendapat tempat yang pertama dan utama dari ilmu-ilmu lainnya”.
Sheikh Ahmad bin Muhammad Zain al Fathani dalam karyanya Jumanatut Tauhid dalam bentuk syair menulis, maksudnya: “Dan sesudah itu maka Ilmu Tauhid itu pada pelbagai ilmu, seumpama matahari di antara sekelian bintang”.
Adapun senarai kitab akidah yang disenaraikan tersebut dapat dijelaskan sebagai yang berikut:
i. Karya Ilmu Tauhid Dalam Bahasa Melayu
Antara karya-karya yang berkaitan untuk bahagian ini telah ditemui agak banyak. Antaranya ialah:
lIlmu Tauhid karya Ahmad bin Aminuddin Qadhi (Kedah) yang ditulis dalam tahun 1032 H (kira-kira 1622 M),
lDurarul Faraid bisyarhil ‘Aqaid karya Sheikh Nuruddin ar-Raniri, tahun penulisan 1045 H (kira-kira bersamaan 1635 M).
lBidayatul Hidayah karya Syeikh Muhammad Zain bin Faqih Jalaluddin Aceh, tahun penulisan 1170 H (kira-kira 1757 M).
lZahratul Murid fi Bayani Kalimatit Tauhid karya Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani, tahun penulisan 1178 H (kira-kira 1764 M).
lTuhfatur Raghibin fi Bayani Haqiqati Imanil Mu’minin wa Yufsiduhu min Riddatil Murtaddin karya Sheikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari, tahun penulisan 1188 H (kira-kira 1774 M).
lKifayatul Mubtadi fi Ushuli I’tiqadil Mursyidin, atau dengan judul lain iaitu Irsyadu Athfalil Mubtadi-in fi ‘Aqaidid Din wa Ad’iyah an Nafi’ah ad Din karya Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani (tiada disebut tahun penulisan).
lRisalatu Ta’alluqi bi Kalimatil Iman karya Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani.
lDhiyaul Murid fi Ma’rifati Kalimatit Tauhid karya Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani (tiada disebut tahun penulisan).
lAd Durruth Tsamin fi ‘Aqaidil Mu’minin karya Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani, tahun penulisan 1232 H (kira-kira 1817 M).
l‘Iqdatul Jawahir karya Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani, tahun penulisan 1245 H (kira-kira 1831 M).
lWarduz Zawahir li Hilli Alfazhi ‘Iqdil Jawahir karya Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani, tahun penulisan 1245 H (kira-kira 1831 M) dan banyak lagi yang tidak dapat disenaraikan kesemuanya.
ii. Karya Ilmu Tauhid Yang Khas Yang Membicarakan Tentang Itu Yang Ditulis Dalam Bahasa Arab
Kitab-kitab Ilmu Tauhid yang ditulis oleh ulama silam Dunia Melayu dalam bentuk bahasa Arab tidaklah sebanyak seperti yang ditulis dalam bahasa Melayu. Di antara yang dapat dicatat disenaraikan seperti berikut:
lJumanatut Tauhid karya Sheikh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani, tahun penulisan 1293 H (kira-kira 1876 M).
lMunjiatul ‘Awam karya Sheikh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani, tahun penulisan 1293 H (kira-kira 1876 M).
lSabilus Salam atau dengan judul yang lain Minhajus Salam karya Sheikh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani, tahun penulisan 1306 H (kira-kira 1888 M).
lFat-hul Majid fi Syarhid Durril Farid fi ‘Ilmit Tauhid karya Sheikh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi al-Bantani, tahun penulisan 1294 H (kira-kira 1877 M).
lNuruzh Zhalam ‘alal Manzhumati al-Musammah bi ‘Aqidatil ‘Awam karya Sheikh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi al-Bantani, tahun penulisan 1277 H (kira-kira 1860 M).
lSyarhul Futuhatil Madaniyah fisy Syu’bil Imaniyah karya Sheikh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi al-Bantani, tanpa menyebut tahun penulisan.
Perlu penulis sebutkan bahawa selain Sheikh Ahmad al-Fathani dan Sheikh Nawawi al-Bantani, terdapat beberapa ulama Dunia Melayu yang menjalankan aktivitinya di Mekah yang juga meninggalkan beberapa karya dalam bahasa Arab termasuk karangan perkara akidah.
Mereka ialah Sheikh Muhammad Mukhtar bin Atarid Bogor, Sheikh Ahmad Khatib Minangkabau (pernah menjadi Imam dan Khatib Mazhab Syafiie di Mekah), Sheikh Abdul Hamid Kudus (juga pernah menjadi Imam dan Khatib Mazhab Syafiie di Mekah menggantikan Sheikh Ahmad Khatib Minangkabau).
iii. Karya Tauhid Yang Ditulis Dalam Karya Ilmu Fiqh Yang Diletakkan Di Bahagian Permulaan Kitab (Dalam Bahasa Melayu)
Sebagai petanda bahawa perkara akidah tradisional menurut Mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah yang berpunca dari Sheikh Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi sangat penting, maka ulama-ulama Dunia Melayu dalam kitab-kitab fikah yang dikarang terlebih dahulu menulis tentang akidah tersebut di bahagian awal karya fikah berkenaan.
Demikian juga dilakukan terhadap kitab-kitab tasauf. Di antara kitab-kitab fikah ataupun tasauf yang didahului dengan ilmu akidah di antaranya:
lPada bahagian awal Hidayatus Salikin karya Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani, tahun penulisan 1192 H (kira-kira 1778 M).
lSiyarus Salikin (jilid 1) karya Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani, tahun penulisan 1194 H (kira-kira 1780 M).
lHidayatul Muta’allim wa ‘Umdatul Mu’allim karya Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani, tahun penulisan 1244 H (kira-kira 1828 M).
lFathul Mannan li Shafwatiz Zubad karya Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani, tahun penulisan 1249 H (kira-kira 1833 M).
lAl-Jawahirus Saniyah fi Syarhil ‘Aqaidid Diniyah karya Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani, tahun penulisan 1252 H (kira-kira 1836 M).
lSullamul Mubtadi fi Ma’rifatil Muhtadi karya Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani, tahun penulisan 1252 H (kira-kira 1836 M).
lFuru’ul Masail wa Wushulul Washail karya Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani, tahun penulisan 1254 -1257 H (kira-kira 1838-1841 M).
lMathla’ul Badrain wa Majma’ul Bahrain karya Sheikh Muhammad bin Ismail Daud al-Fathani, tahun penulisan 1303 H (kira-kira 1885 M).
lWusyahul Afrah wa Ashbahul Falah karya Sheikh Muhammad bin Ismail Daud al-Fathani, tahun penulisan 1313 H (kira-kira 1895 H).
lBahjatul Mubtadin wa Farhatul Mujtahidin karya Sheikh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani, tahun penulisan 1310 H (kira-kira 1892 M).
l‘Unwanul Falah wa ‘Unfuwanus Shalah karya Sheikh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani, tahun penulisan 1319 H (kira-kira 1902 M) dan
lDi bahagian awal Al-Fatawal Fathaniyah karya Sheikh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani, tahun penulisan 1323 H (kira-kira 1905 M).
iv. Karya Tauhid Yang Ditulis Dalam Karya Ilmu Fiqh Yang Diletakkan Di Bahagian Permulaan Kitab (Dalam Bahasa Arab)
Di bahagian ini hanya dapat disenaraikan beberapa karya Sheikh Nawawi al-Bantani sebagai contoh. Hal ini disebabkan kurang mendapat maklumat dan sedikit sekali ulama silam Dunia Melayu melakukannya.
Di antara kitab-kitab karya Sheikh Nawawi al-Bantani tersebut ialah:
l Di bahagian awal Syarah Sullamul Munajah, Mirqatu Shu’udit Tashdiq fi Syarhi Sullamit Taufiq, dan Ats Tsimarul Yani’ah fir Riyadhil Badi’ah, yang kesemuanya kitab tersebut tiada dinyatakan tahun penulisan.
Sebuah lagi adalah di bahagian awal kitab Syarah Kasyifatis Saja ‘ala Safinatin Naja fi Ushuliddin wal Fiqh, tahun penulisan 1277 H (kira-kira 1860 M).
Demikianlah senarai ringkas karya-karya ulama silam Dunia Melayu yang membahas perkara akidah Islamiah yang sekali gus dari tahun-tahun penulisan. Dengan ini dapat kita ketahui bahawa ilmu tersebut telah ditulis bersama-bersama dengan ilmu-ilmu keislaman di bidang lainnya, yang dapat kita kaji sejak abad ke-16 Masihi lagi.
Kita berkeyakinan bahawa ilmu-ilmu yang membahas perkara akidah telah sampai di rantau ini dibawa serentak dengan kedatangan agama Islam itu sendiri.
SUKATAN PELAJARAN ILMU TAUHID TRADISIONAL DI DUNIA MELAYU
Dalam dunia pendidikan moden, kita mengenal istilah sukatan pelajaran atau kurikulum. Walaupun istilah tersebut dalam pendidikan tradisional tidak diperkenalkan secara meluas, namun dari karya-karya peninggalan mereka dapat kita mengerti bahawa hal itu telah berlaku sejak lama di Dunia Melayu.
Kurikulum pelajaran tauhid secara tradisional dapat dibahagi kepada berikut, iaitu: Peringkat Awal/Permulaan, Peringkat Menengah dan Atas dan Peringkat Pembahasan dan Penyelidikan. Peringkat-peringkat tersebut dapat dibicarakan satu persatu bahagiannya sebagai berikut:
I. Peringkat Awal/Permulaan
Dimaksudkan dengan Peringkat Awal / Permulaan ialah orang-orang yang baru memasuki pelajaran Ilmu Tauhid dan tidak terikat dengan umur.
Adakalanya seorang kanak-kanak yang berumur tujuh tahun atau seorang yang telah tua hingga melebihi 40 tahun mereka wajib diberi pengertian asas tauhid dengan cara menghafal.
Bezanya hanyalah cara menyampaikannya sahaja, tentu saja tidak sama menerapkannya antara seorang kanak-kanak dengan seorang yang telah berumur.
Untuk peringkat ini Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani sekurang-kurangnya telah menyusun dua kitab Ilmu Tauhid iaitu Irsyadul Ithfal dan ‘Iqdatul Jawahir.
‘Iqdatul Jawahir tersebut selain merupakan asas akidah, dapat juga digunakan sebagai penolong ke arah sastera klasik kerana ia ditulis dalam bentuk syair dua bait, dua bait tak ubahnya seperti ‘Gurindam Dua Belas’ gubahan Raja Ali Haji dari Riau.
Barangkali gaya bahasa sastera Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani seperti tersebut telah mempengaruhi sasterawan yang berasal dari Riau itu. Ini kerana tidak dapat dinafikan Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani adalah termasuk salah seorang guru kepada Raja Ali Haji sewaktu dia ke Mekah dalam tahun 1245 H (kira-kira 1831 M), iaitu tahun Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani menyelesaikan karya beliau ‘Iqdatul Jawahir.
Selain mengarang dua kitab dalam bahasa Melayu untuk peringkat ini, Sheikh Ahmad al-Fathani juga menekankan supaya kanak-kanak digalakkan menghafal akidah berbentuk dalam bahasa Arab.
Hal ini disedari beliau kerana untuk pengiktirafan menjadi seorang ulama peringkat antarabangsa adalah dimestikan menguasai bahasa Arab dalam pelbagai bentuk keilmuannya.
Ada empat karya Sheikh Ahmad al-Fathani untuk peringkat ini, iaitu dua dalam bahasa Arab dan dua dalam bahasa Melayu.
Judul kitab dalam bahasa Arab ialah Jumanatut Tauhid dan Munjiatul ‘Awam. Kedua-duanya ditulis di Mesir dan telah diuji oleh pengarangnya mengajar kedua-dua kitab itu di Masjid Jamek Azhar, Mesir kepada orang-orang yang bukan berasal dari Dunia Melayu.
Dua karya Sheikh Ahmad al-Fathani untuk Peringkat Awal dalam bahasa Melayu pula ialah An Nurul Mubin dan ‘Aqidah Ushuluddin Pendek.
Dalam kedua-dua kitab kecil tersebut, beliau menyimpulkan seluruh akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah untuk kanak-kanak dan orang awam adalah meliputi beberapa perkara berikut, antaranya: tentang rukun Islam, rukun iman, Sifat Kamalat yang wajib bagi Allah ada 13 sifat, demikian juga lawannya, kemudian ditambah lagi tujuh sifat yang dinamakan Sifat Ma’nawiyah dan sebagainya yang banyak tidak dapat dimuatkan keseluruhannya di sini.
Dua karya yang beliau tulis dalam bahasa Arab yang berbentuk syair pula. Kandungannya jauh lebih lengkap daripada yang ditulis dalam bahasa Melayu. Hal ini dapat dimaklumi kerana kedua-dua kitab bahasa Arab itu adalah untuk diajar di pondok-pondok yang bercorak pengkaderan bukan untuk orang awam.
Dari segi akidah jelas mencerminkan suatu ajaran yang dapat dipertanggungjawabkan. Ditinjau dari segi bahasa Arab, Sheikh Ahmad al-Fathani nampaknya berusaha supaya dari peringkat kanak-kanak lagi perlu diajar bahasa Arab yang begitu tinggi hingga sampai kepada gaya bahasa sasteranya.
Ditinjau dari segi kelengkapan kandungan, sebagai contoh seperti tertulis dalam Jumanatut Tauhid pada bait pertama (tidak dapat dipaparkan contoh dalam bahasa Arab) iaitu, maksudnya, “bahawa wajib memelihara kulliyat lima atau enam perkara, iaitu: agama Islam, diri, harta, nasab, kehormatan, dan akal”.
Pada bait yang lain antaranya ditinjau dari sudut politik, bahawa untuk memelihara yang tersebut itu adalah “menghendaki kepada pentadbiran yang baik pula”.
Politik yang baik dan pentadbiran yang baik menurut Sheikh Ahmad al-Fathani dalam karyanya yang lain ialah menurut yang telah diperintahkan Allah kepada para RasulNya. Diakui atau tidak ketokohan ulama kita ini mengkaderkan tokoh-tokoh politik di Dunia Melayu melalui akidah Islamiah yang berkesinambungan memerlukan analisis, pengkajian dan pandangan secara jujur secara saksama dan mendalam.
Sebagai bukti, sehingga tertulis dalam buku Kurikulum Bersepadu Seolah Menengah Sejarah Tingkatan 2 yang diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia tahun 1989, halaman 182 sebagai yang berikut: “Di Tanah Melayu pada masa itu, telah ada tokoh yang menganjurkan agar negeri Kelantan dan Patani membentuk sebuah negara Islam. Tokoh tersebut ialah seorang ulama terkenal di Mekah. Beliau ialah Sheikh Haji Wan Ahmad bin Haji Wan Muhammad Zain yang berasal dari Patani. Beliau menganjurkan agar negeri Kelantan dan Patani bersatu untuk menentang Siam dan membentuk sebuah kerajaan Islam yang akan dilindungi oleh Empayar Turki”.
Di bahagian akhir kitab Jumanatut Tauhid diperlengkapkan dengan beberapa bait pengertian akidah yang bersangkut paut dengan tasauf. Untuk melengkapi akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah di peringkat awal sebagai pengkaderan di pengajian pondok tersebut, Sheikh Ahmad al-Fathani menulis di dalam Munjiyatul ‘Awam li Manhajil Huda minaz Zhalam dengan beberapa bait tentang tanda-tanda kiamat.
Penutup
Seterusnya untuk dua peringkat yang tidak dibicarakan lagi iaitu peringkat Menengah/atas dan peringkat perbahasan/ penyelidikan dalam sukatan ilmu tauhid tradisonal di Alam Melayu ini akan disambung perbicaraannya pada ruangan yang sama pada minggu hadapan.
Untuk bahagian pertama ini, dapat disimpulkan bahawa ulama-ulama silam Dunia Melayu yang dapat dipercayai dan dipertanggungjawabkan ilmunya di bidang akidah Islamiah telah berhasil mengarang ilmu tersebut dalam banyak judul kitab, sama ada dalam bahasa Melayu mahupun dalam bahasa Arab.
Malahan terdapat beberapa judul kitab akidah yang ditulis dalam bahasa Arab dapat diajarkan di luar Dunia Melayu, termasuk orang-orang Arab sendiri menggunakan karya ulama Melayu tersebut.

Sejarah singkat aliran Maturidiyah
Minggu, 13 Februari 2011 13:01 | PDF| Cetak| E-mail
Sejarah singkat aliran MaturidiyahDengan memperhatikan secara seksama sejarah aliran Maturidiyah, secara jelas akan terbukti bahwa pemikiran-pemikiran teologis aliran ini bersumber dari Abu Hanifah. Karena sebelum masuk ke dalam pembahasan-pembahasan fikih, Abu Hanifah pernah memiliki halaqah kajian teologi. Sejak awal ketika masalah-masalah teologi secara sederhana muncul di tengah-tengah Islam, pada waktu itu sudah terbentuk dua kelompok di tengah-tengah kaum muslimin.
1. Kelompok Ahlul Hadis yang dikenal dengan Hasywiah, Salafiah dan Hanabilah. Kelompok ini, seluruh keyakinannya disandarkan kepada makna-makna lahir dari ayat-ayat Qur’an dan sebagian besar dari keyakinan tersebut bersumber dari hadis. Mereka tidak menganggap akal sebagai sesuatu yang bernilai, dan jika di dalam kelompok ini ditemukan keyakinan-keyakinan seperti menyerupakan Tuhan dengan makhluk (tasybih) dan menganggap Tuhan adalah benda (tajsim), keterpaksaan atau determinisme (jabr), berkuasanya qadha dan qadar atas perilaku-perilaku bebas manusia, dan atau bersikeras atas keyakinan berkenaan dengan bahwa Tuhan dapat dilihat di hari kebangkitan, semuanya adalah akibat-akibat dari hadis-hadis yang tersebar di antara mereka, dan biasanya jejak tangan ulama-ulama Yahudi dan pendeta-pendeta Nasrani terlihat di dalam hadis-hadis tersebut. Mereka meyakini bahwa kalam Ilahi (Qur’an) adalah sesuatu yang sudah ada sebelum diciptakannya semesta ini (qadim). Seperti halnya kebanyakan orang Yahudi menganggap Taurat sebagai sesuatu yang ada tanpa didahului oleh sesuatu apapun (azali) dan begitu juga orang-orang Nasrani yang menganggap Al Masih azali, mereka juga menganggap Al Qur’an sebagai qadim dan azali.
2. Kelompok Mu’tazilah yang menganggap akal sebagai sesuatu yang berharga dan bernilai, mereka menolak hadis dan riwayat yang bertentangan dengan hukum akal, dan sumber keyakinan-keyakinan mereka diambil dari teks-teks ayat Qur’an dan hadis Nabi Saw yang pasti dan juga dari hukum akal. Sesuatu yang perlu dikritisi dari mereka adalah sikap mereka yang memberikan penilaian terlalu tinggi terhadap akal melebihi kapasitasnya dan begitu banyak teks-teks Qur’an yang pasti yang ada di syariat suci Islam dikesampingkan, karena dianggap muatannya mengandung pemikiran yang bertentangan dengan akal.
Bertahun-tahun lamanya berlangsung peperangan pemikiran yang tiada hentinya di antara kedua kelompok ini, dan kemenangan salah satu kelompok atas kelompok yang lainnya bergantung kepada bantuan-bantuan para penguasa di masa lalu; penguasa-penguasa tersebut berpihak kepada salah satu kelompok dan berusaha melemahkan kelompok yang lain.
Pertarungan ini berlanjut dengan intensitas yang semakin tinggi sampai permulaan abad 300 Hijriah, akan tetapi pada permulaan abad keempat, dua orang yang berasal dari dua wilayah yang berbeda menunjukkan dirinya dan melahirkan sebuah aliran yang pada hakikatnya adalah sebuah aliran yang moderat dan tidak berpihak kepada dua aliran sebelumnya, baik itu Ahli Hadis ataupun Mu’tazilah. Salah satu dari dua orang ini adalah Abul Hasan Asy’ari (260-324 Hijriah) di Irak yang keluar dari aliran Mu’tazilah dan bertobat karena telah meyakininya, dan mengumumkan dirinya sebagai kawan dan pendukung Ahmad bin Hanbal, dan saat ini terdapat campur tangan dalam aliran Ahmad bin Hanbal dan secara perlahan aliran ini menjadi aliran resmi Ahlu Sunnah. Dan orang yang kedua adalah Abu Mansur Maturidi Samarqandi (250-333 Hijriah) di belahan timur dunia Islam, seorang pendukung aliran Ahli Hadis yang melakukan persis apa yang dilakukan oleh koleganya Asy’ari, dan yang luarbiasa adalah walaupun kedua orang pendiri ini hidup pada satu masa yang sama dan melangkah pada satu jalan yang sama, akan tetapi mereka tidak saling mengenal satu dengan lainnya.
Wilayah timur dunia Islam saat itu adalah pusat pembahasan masalah-masalah teologi, seperti juga halnya Basrah yang merupakan tempat lahirnya Asy’ari adalah titik pertemuan pandangan-pandangan keyakinan yang berbeda-beda, dan begitu juga pemikiran-pemikiran asing yang masuk ke dalam Islam dari Negara-negara yang berbeda pada saat kemenangan-kemenangan yang diraih Islam sebagai pemikiran-pemikiran impor yang berpindah ke dunia Islam.
Dari sisi fikih, aliran Hanafi menyebar di daerah Khurasan secara sempurna, pada saat yang sama kebanyakan penduduk Basrah bermazhab Syafi’i, dari sudut pandang ini para pengikut mazhab Hanafi memiliki kecenderungan yang tinggi kepada aliran Maturidiyah, sedangkan para pengikut mazhab Syafi’i lebih dari yang lainnya memilih aliran Asy’ari. Sebagian dari pemikiran aliran Maturidiyah diperoleh dari Abu Hanifah dan terpengaruh oleh bukunya yang berjudul Fiqhul Akbar yang membahas permasalahan keyakinan. Oleh karena itu kebanyakan pengikut aliran Maturidiyah hidup di Khurasan dan dalam masalah fikih mereka adalah pengikut mazhab Hanafi, seperti:
1. Fakhrul Islam Muhammad bin Abdul Karim Bazwadi (493 Hijriah).
2. Abu Hafs Umar bin Muhammad Nasafi (573 Hijriah).
3. Sa’adudin Taftazani (791 Hijriah).
4. Kamaludin Ahmad Bayadzi (abad 11).
5. Kamaludin Muhammad bin Himamudin (861 Hijriah).
Dengan memperhatikan dengan seksama sejarah aliran Maturidiyah, secara jelas terbukti bahwa ia dan pemikiran-pemikiran teologisnya bersumber dari Abu Hanifah, karena sebelum terjun ke dalam pembahasan fikih, Abu Hanifah memiliki lingkaran pengkajian teologi, dan ketika ia berhubungan dengan Hamad bin Abi Sulaiman ia meninggalkan kajian teologinya dan masuk ke dalam pembahasan fikih.
Bukan hanya Maturidi saja yang keyakinan-keyakinan teologinya bersumber dari Abu Hanifah, akan tetapi orang yang sezaman dengannya, Abu Ja’far Thahawi (321 hirjiah) penulis buku Keyakinan-keyakinan Thahawiah, pemikiran-pemikiran teologinya juga bersumber dari Abu Hanifah, sampai-sampai di pendahuluan bukunya ia mengatakan: "risalah ini adalah keyakinan para ahli fikih umat Islam, selepas itu ia mengutip nama Abu Hanifah dan dua murid terkenalnya Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan Syaibani."[1] Abdul Qahir Baghdadi penulis buku Al Farqu baina Al Firaq dalam bukunya yang lain yang bertema Ushuludin mengingatkan bahwa Abu Hanifah memiliki sebuah buku berjudul Al Fiqhul Akbar yang di dalamnya ditulis sanggahan bagi aliran Qadariah, dan dalam karyanya yang lain membenarkan kayakinan Ahlu Sunnah dalam sebuah permasalahan.[2] Akan tetapi karya-karya yang diwariskan Abu Hanifah bukan hanya dua buku ini saja.
Dikarenakan permasalahan-permasalahan teologi di dalam buku Abu Hanifah tidak tersusun dengan tertib, Kamaludin Bayadzi di abad kesebelas Hijriah menertibkan masalah-masalah tersebut dan menulis buku bertajuk Isyaratul Maram min Ibaratil Imam, dan dalam buku tersebut dikatakan: "saya menyusun dan menertibkan masalah-masalah ini dengan bersandar kepada buku-buku: 1. Al Fiqhul Akbar 2. Ar Risalah 3. Al Fiqhul Absath 4. Kitabul Alim wal Mutaalim 5. Al Wasiat, yang kesemuanya itu dikutip dari Abu Hanifah dengan perantara Masyaikh."[3]
Dari semua yang telah kita saksikan, jelas bahwa akar dan pondasi aliran Maturidiyah secara khusus kembali kepada aliran ini sendiri dan dengan cara tertentu kembali kepada Abu Hanifah; dan seperti yang akan kita saksikan, aliran ini adalah aliran yang moderat yang tidak memihak Ahli Hadis maupun Mu’tazilah. Lebih dari itu, bahkan akan kita saksikan bahwa aliran ini dalam metode berpikir lebih dekat kepada Mu’tazilah ketimbang aliran Ahli Hadis.
Riwayat hidup Maturidi
Hasil penelaahan kitab-kitab Tarajim membawa kita kepada sebuah keyakinan bahwa pendiri aliran ini tidak memiliki popularitas yang sempurna di masa hidupnya dan di kemudian haripun para ahli Tarajim tidak banyak yang merekam kehidupannya, padahal semua penulis biografi menulis riwayat hidup Asy’ari dan mengingatnya dengan cara tertentu. Mungkin masalahnya adalah bahwa Maturidi tinggal jauh dari ibu kota Islam pada waktu itu yaitu Irak, sedangkan Asy’ari lahir di ibu kota Islam dan meniggal juga di tempat yang sama, dan teman-teman serta musuh-musuhnya mengingatnya dengan cara tertentu.
Ibnu Nadim (388 M) di dalam bukunya Al Fihrist tidak mengutip tentang Maturidi, sedangkan ia membawakan riwayat berkenaan dengan Asy’ari walaupun secara singkat. Buku Syeikh Thahawi pemimpin para pengikut mazhab Hanafi di Mesir banyak diminati dan banyak ditulis syarah untuknya, akan tetapi hal tersebut tidak terjadi pada buku-buku Maturidi, dari sudut pandang ini kita melihat bahwa para penerjemah seperti:
1. Ibnu Khalkan (681) penulis buku Wafayatul A’yan.
2. Sholahudin Shafdi (764) penulis buku Al Wafi bil Wafayat.
3. Taqiudin Islami (774) penulis buku Al Wafayat.
4. Ibnu Khaldun (808) penulis buku Muqadimah wa Tarikh.
5. Jalaludin Suyuthi (911) penulis buku Thabaqatul Mufasirin.
Demikian pula para penulis yang lain, tidak mengutip tentang Maturidi, padahal mereka mengutip orang-orang yang secara keilmuan lebih rendah darinya. Bahkan orang yang menerjemahkan masalah yang berkenaan dengannya, tidak mengutipnya secara terperinci, dan apa yang penulis bisa peroleh dari buku-buku yang berkenaan dengan kehidupannya adalah apa yang tertulis di sini.
Kelahiran
Para penulis riwayat hidup Maturidi mengatakan bahwa ia meninggal dunia pada tahun 333, sedangkan berkenaan dengan tahun kelahirannya mereka tidak menulis apapun. Akan tetapi dapat dikatakan bahwa ia lahir kira-kira pada tahun 248 atau 250, karena ia menukil hadis dari Nasir bin Yahya Balkhi dan ia meninggal pada tahun 268. Jika Maturidi pada waktu itu berumur 20 tahun, dapat dipastikan bahwa tahun kelahirannya adalah apa yang telah disebutkan.
Tempat kelahiran
Ia dilahirkan di sebuah tempat yang bernama Maturid yang merupakan salah satu bagian dari Samarqand di Mawara Al Nahr (wilayah yang termasuk Asia Tengah, yang sekarang kira-kira adalah wilayah Uzbekistan, sebagian dari Turkmenistan dan Kazakhstan), dan setelah itu ia dikenal dengan nama-nama seperti Maturidi Samarqandi atau Alamul Huda, dan secara nasab ada kemungkinan bersambung ke Abu Ayub Anshari, orang yang rumahnya menjadi tempat persinggahan Rasulullah Saw.[4]
Pendidikan
Dalam aqidah, teologi dan fikih ia mengikuti imam mazhabnya sendiri yaitu Abu Hanifah, dan belajar dari orang-orang seperti:
1. Abu Bakr Ahmad bin Ishaq Juzjani
2. Abu Nasr Ahmad bin Al Ayadz
3. Nasir bin Yahya muridnya Hafs bin Salim bapaknya Maqatil
4. Muhammad bin Maqatil[5]
Teologi Ahlu Sunnah adalah hasil rancangan dan bangunan dua orang, yang pertama bermazhab Hanafi dan yang kedua bermazhab Syafi’i, yang bermazhab Hanafi yaitu Abu Mansur Maturidi dan yang Syafi’i Abu Al Hasan Asy’ari.[6]
Muslihudin Qastilani mengatakan orang yang paling terkenal dalam masalah ilmu teologi di tanah Khurasan, Irak, Syam dan sebagian besar wilayah yang lain adalah Abu Al Hasan Asy’ari dan di Mawara Al Nahr adalah Abu Mansur Maturidi.[7]
Zubaidi mengatakan setiap kali kata Ahlu Sunnah diucapkan, yang dimaksud adalah Asy’ariah dan Maturidiyah.[8]
Murid-murid
Sekelompok teolog pernah mengecap pelajaran darinya, di antaranya adalah nama-nama ini:
1. Abu Al Qasim, Ishaq bin Muhammad dikenal dengan Hakim Samarqandi (340).
2. Imam Abu Al Laits Bukhari.
3. Abu Muhammad Abdul Karim bin Musa Bazdawi. Ia adalah kakek dari jalur bapak Muhammad bin Muhammad bin Al Husein bin Abdul Karim Bazdawi penulis buku Ushuludin, dalam buku ini ia berkata: aku telah membaca buku Tauhid Abu Mansur Maturidi Samarqandi dan itu sesuai dengan mazhab Ahlu Sunnah. Ayahku dari kakeknya Abdul Karim bin Musa menukil tentang keajaiban yang dimiliki Abu Mansur Maturidi, dan kakek kami belajar tentang maksud-maksud dari buku-buku Masyaikh, buku Tauhid dan buku Ta’wilat[9] dari Abu Mansur Maturidi. Apa yang ada adalah bahwa buku Tauhid Maturidi bukannya kosong dari ketertutupan, dan jika ia jauh dari ketertutupan, kita sudah mencukupkan diri dengan buku tersebut.
Karya-karya Maturidi
Abu Mansur mewariskan banyak karya dan yang ada sekarang tidak lebih dari tiga buku saja, dua di antaranya sudah dicetak dan yang lainnya masih berupa tulisan tangan.
1. Buku Tauhid, buku ini adalah buku sumber terbesar keyakinan dan aqidah aliran Maturidiyah. Dalam buku ini untuk membuktikan kebenaran pendapatnya, ia menggunakan Al Qur’an, hadis dan akal, dan terkadang memberikan keutamaan yang lebih besar kepada akal.
Buku ini pernah dicetak dengan tebal 412 halaman di Beirut dan Dr. Fathullah Khalif adalah orang yang meneliti keabsahan ayat dan riwayatnya. Dan begitu juga yang dikatakan Bazdawi penulis buku Ushuludin berkenaan dengan kosongnya buku ini dari ketertutupan.
2. Ta’wilat Ahli Sunnah, buku ini berkenaan dengan tafsir Al Qur’an dan di dalamnya dijelaskan tentang keyakinan-keyakinan Ahlu Sunnah dan pandangan-pandangan fikih imam mazhabnya yaitu Abu Hanifah, pada hakikatnya ini adalah buku aqidah dan fikih. Buku ini juga merupakan satu paket tafsir Al Qur’an dan buku tersebut mencakup juz terakhir Qur’an dari surat Munafiqin sampai akhir Qur’an. Dan buku tersebut diterbitkan oleh Dr. Ibrahim Iwadzain dengan bantuan yang lainnya di Kairo. Ketika dibandingkan, jelas terlihat bahwa kedua buku ini satu sama lain betul-betul memiliki kesamaan dalam hal pembahasan masalah-masalah aqidah dan keyakinan.
3. Al Maqalat, peneliti buku At Tauhid berkata bahwa naskah buku ini ada di beberapa perpustakaan Eropa. Akan tetapi karya-karya lainnya dan nama-namanya tercantum di buku-buku terjemahan di antaranya adalah:
4. Akhdzu Al Syara’i
5. Al Jadal fi Ushul Al Fiqh
6. Bayan wa Hum Al Mu’tazilah
7. Rad Kitab Al Ushul Al Khomsah lil Bahili
8. Rad Al Imamah li ba’dzi Al Rawafidz
9. Al Rad ala Ushu Al Qaramathah
10. Rad Tahdzib Al Jadal lil Ka’bi
11. Rad wa Aid Al Fisaq lil Ka’bi
12. Rad Awa’il Al Adilah lil Ka’bi
Hingga sekarang buku-buku ini tidak dapat diperoleh.

Penulis: Ayatullah Jakfar Subhani
_______________________________________
[1] Ruh Al Aqidah Al Thahawiah, hlmn. 25, karya Syeikh Abdul Ghani Meidani Dimisyqi, wafat tahun 1298.
[1] Maksudnya adalah bersamaannya kekuatan dan perbuatan, atau kekuatan yang lebih dulu ketimbang perbuatan dan Abu Hanifah dan kebanyakan Ahlu Sunnah mengatakan bahwa kekuatan bersamaan dengan perbuatan.
[1] Isyaratul Maram, hlmn. 21-22, buku ini adalah salah satu buku sumber aliran teologi Maturidi, dan sebelum ini semua buku-buku Maturidi sendiri seperti At Tauhid dan At Tafsir, dan setelah kedua buku ini buku Ushuludin Bazdawi.
[1] Bayadzi, Isyaratul Maram, hlmn. 23.
[1] Isyaratul Maram, hlmn. 23.
[1] Miftahu Saadah wa Misbahu Siyadah, jilid 2, hlmn. 22-23.
[1] Hasyiah Kasteli untuks syarah Al Aqa’id Al Nasafiah yang telah diterbitkan bersama dengan syarahnya, hlmn. 17.
[1] Itihafu Saadah Al Mutaqin bi syarhi Asrar Ihya Ulumudin, jilid 2, hlmn. 8, Kairo.
[1] Buku At Tauhid dan Ta’wilat Ahli Sunat adalah karya Abu Mansur yang merupakan kakek dari ayah Bazdawi, kedua buku tersebut dibacakan di hadapannya. Silahkan merujuk kepada buku Ushuludin Bazdawi.
Fiqhislam.com - Setelah wafatnya Khalifah Usman bin Affan dan tampilnya Ali bin Abu Thalib sebagai khalifah keempat, umat Islam terpecah dalam memberikan dukungan.

Ada yang meminta supaya diusut dulu penyebab wafatnya Usman dan siapa dalang di baliknya, sedangkan yang lain meminta ditegakkan dulu posisi khalifah untuk meredakan situasi yang genting.

Kondisi yang ‘mencekam’ itu membuat umat Islam terpecah dalam memberikan dukungan kepada Ali bin Abu Thalib. Ada yang mendukung dan ada pula yang menentangnya.

Akibatnya, bermunculan tuduhan saling menyesatkan di antara umat Islam. Bahkan, sampai ada kelompok yang mengafirkan kelompok lain. Inilah salah satu faktor yang menyebabkan munculnya paham atau aliran teologi (akidah) dalam Islam. Di antara aliran teologi itu, salah satunya adalah aliran Maturidiyah.

Aliran Maturidiyah merupakan aliran teologi yang bercorak rasional-tradisional. Aliran ini kali pertama muncul di Samarkand, pertengahan kedua abad kesembilan Masehi. Nama aliran itu dinisbahkan dari nama pendirinya, Abu Mansur Muhammad Al-Maturidi.

Al-Maturidi lahir dan hidup di tengah-tengah iklim keagamaan yang penuh dengan pertentangan pendapat antara Muktazilah dan Asy’ariyah mengenai kemampuan akal manusia.

Aliran ini disebut-sebut memiliki kemiripan dengan Asy’ariyah. Sebelum mendirikan aliran Maturidiyah ini, Abu Mansur Al-Maturidi adalah murid dari pendiri Asy’ariyah, yakni Abu Hasan Al-Asy’ari.
Dalam Ensiklopedia Islam terbitan Ichtiar Baru Van Hoeve, disebutkan, pada pertengahan abad ke-3 H terjadi pertentangan yang hebat antara golongan Muktazilah dan para ulama.

Sebab, pendapat Muktazilah dianggap menyesatkan umat Islam. Al-Maturidi yang hidup pada masa itu melibatkan diri dalam pertentangan tersebut dengan mengajukan pemikirannya.

Pemikiran-pemikiran Al-Maturidi dinilai bertujuan untuk membendung tidak hanya paham Muktazilah, tetapi juga aliran Asy’ariyah.

Banyak kalangan yang menilai, pemikirannya itu merupakan jalan tengah antara aliran Muktazilah dan Asy’ariyah. Karena itu, aliran Maturidiyah sering disebut “berada antara teolog Muktazilah dan Asy’ariyah”.

Namun, keduanya (Maturidi dan Asy’ari) secara tegas menentang aliran Muktazilah. Kaum Asy’ari berhadapan dengan Muktazilah di pusatnya, yakni Basrah, sedangkan Maturidi berhadapan di Uzbekistan, di daerah Maturid. Karena itulah, Maturidiyah dan Asy’ariyah dianggap memiliki kesamaan walaupun berbeda aliran.

Menurut Muhammad Abduh, sebagaimana dikutip Ahmad Hanafi dalam “Theology Islam (Ilmu Kalam)”, yang sering dipermasalahkan keduanya tidak lebih dari 10 soal dan semuanya tidak terlalu prinsip, kecuali hanya istilah.

Keduanya membela kepercayaan yang ada dalam Alquran. Dalam usahanya tersebut, keduanya mengikatkan diri pada kepercayaan itu.
Semasa hidupnya, Al-Maturidi dikenal sebagai pengikut setia Imam Hanafi yang terkenal ketat dengan keabsahan pendapat akal.

Al-Maturidi memang banyak menimba ilmu kepada para ulama dari Mazhab Hanafi, seperti Muhammad bin Muqatil Ar-Razi, Abu Bakar Ahmad bin Ishaq Al-Juzjani, Abu Nasr Al-Iyadi, dan Nusair bin Yahya.

Sebagai pengikut Imam Hanafi, tak mengherankan bila paham teologi yang disebarkan oleh Al-Maturidi memiliki banyak persamaan dengan paham-paham yang dipegang Imam Hanafi yang mengedepankan pertimbangan akal dalam memecahkan berbagai masalah keagamaan.

Hal ini pula yang menyebabkan paham Maturidiyah banyak dianut oleh kalangan ulama yang menganut Mazhab Hanafi di bidang fikih.

Terpecah dua
Namun, dalam perkembangannya, aliran Maturidiyah ini terpecah ke dalam dua kelompok, yaitu Maturidiyah Samarkand yang dipimpin oleh Al-Maturidi dan Maturidiyah Bukhara yang dipimpin oleh Abu Al-Yusr Muhammad Al-Bazdawi.

Al-Bazdawi merupakan pengikut Al-Maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam pemikirannya. Nenek Al-Bazdawi menjadi salah satu murid Al-Maturidi. Ia mempelajari ajaran Maturidiyah dari kedua orang tuanya.

Pengelompokan itu terjadi karena ada perbedaan pendirian mengenai wewenang akal. Bagi Maturidiyah Samarkand, akal manusia dapat mengetahui adanya Tuhan, baik dan buruk, serta mengetahui kewajiban bersyukur kepada Tuhan.

Sementara itu, aliran Maturidiyah Bukhara berpandangan bahwa akal manusia hanya dapat mengetahui adanya Tuhan serta baik dan buruk, sedangkan mengenai kewajiban manusia merupakan wewenang wahyu, bukan wewenang akal.
[yy/republika]


  Aliran Asy’ariah

A.    Sejarah lahirnya aliran Asy’ariah.
Aliran Al-Asy’ariyah dibentuk oleh Abu Al-Hasan ‘Ali Ibn Isma’il Al-Asy’ari. Sejak kecil ia berguru pada syech Al-Jubba’i seorang tokoh mu’tazilah yang sangat terkenal. Karena tidak sepaham dengan gurunya dan ketidak puasannya terhadap aliran Mu’tazilah, walaupun ia sudah menganut paham Mu’tazilah selama 40 tahun, maka ia membentuk aliran yang dikenal dengan namanya sendiri pada tahun 300 Hijriyah.
Menurut Ahmad Mahmud Subhi, ketidak puasan itu timbul karena ia menganut madzhab Syafi’i yang mempunyai pendapat berbeda dengan aliran Mu’tazilah, misalnya syafi’i berpendapat bahwa Al-Qur’an itu tidak diciptakan, tetapi bersifat qadim dan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat nanti. Sedangkan menurut paham Mu’tazilah, bahwa Al-Qur’an itu bukan qadim akan tetapi hadits dalam arti baru dan diciptakan Tuhan dan Tuhan bersifat rohani dan tidak dapat dilihat dengan mata.
Al-Asy’ari meninggalkan paham Mu’tazilah ketika golongan ini sedang berada dalam fase kemunduran dan kelemahan. Setelah Al-Mutawakkil membatalkan putusan Al-Ma’mun tentang penerimaan aliran Mu’tazilah sebagai madzhab Negara, kedudukan kaum Mu’tazilah mulai menurun, apalagi setelah Al-Mutawakkil mengunjukan sikap penghargaan dan penghormatan terhadap diri Ibn Hambal, lawan Mu’tazilah terbesar waktu itu.
Dalam suasana demikianlah Al-Asy’ari keluar dari golongan Mu’tazilah dan menyusun teologi baru yang sesuai dengan aliran orang yang berpegang kuat pada hadits. Dan pada waktu itu tidak ada aliran teologi lain yang teratur sebagai gantinya untuk menjadi pegangan mereka. Dengan kata lain, tidaklah mungkin bahwa Al-Asy’ari melihat bahayanya bagi umat Islam kalau mereka ditinggalkan tidak mempunyai pegangan teologi yang teratur. Rasanya hal inilah, ditambah dengan perasaan syak tersebut diatas yang mendorong Al-Asy’ari untuk meninggalkan ajaran-ajaran Mu’tazilah dan membentuk teologi baru setelah puluhan tahun ia menjadi penganut setia aliran Mu’tazilah
B.     Ajaran pokok aliran Asy’ariah

1.      Tuhan dan Sifat-sifat-Nya
Pendapatnya terletak di tengah – tengah antara mu’tazilah, hasywiah, dan mujassimah. Mu’tazilah tidak mengakui sifat – sifat wujud, qidam, baqo’, dan wahdaniyah. Sifat zat yang lain, seperti sama’, basyar, dan lain – lain tidak lain hanya Dzat Allah sendiri. Sedangkan hasywiah dan mujassimah mempersamakan sifat – sifat Allah dengan sifat makhluk. Al – Asy’ari dalam pada itu mengakui sifat – sifat tuhan yang tersebut sesuai dengan Dzat tuhan sendiri, dan sama sekali tidak menyerupai sifat – sifat makhluk. Allah mendengar, tetapi tidak seperti kita mendengar dan seterusnya.[1] 
2.      Kebebasan dalam berkehendak
Dalam kebebasan berkehendak, al-Asy’ary membedakan anta ra
khaliqdan kasb. Menurutnya, Allah adalah Khaliq (pencipta) perbuatan manusia, tetapi manusia lah yang mengupayakannaya (muktasib).
3.      Akal dan Wahyu dan Kriteria Baik-buruk
Al-Asy’ary mengutamakan wahyu dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontadiktif antara akal dan wahyu.
4.      Qadimnya al-Quran
Al-Asy’ary mengatakan bahwa walaupun al-Quran terdiri atas kata- kata, huruf, dan bunyi, semuanya tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim. Namun, bagi al-Asy’ary al-Quran tidaklah diciptakan.

5.      Melihat Allah
Al-Asy’ary yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan. Kemungkinan rukyat dapat terjadi manakala Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau bilamana dia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.
6.      Keadilan
Allah adalah penguasa mutlak, jadi Dia tidak memiliki keharusan apapun.
7.      Kedudukan orang yang berdosa
Al-Asy’ary berpendapat bahwa mukmin yang melakukan dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa kecuali kufur.[2]

C.     Tokoh-Tokoh Dan Ajaran-Ajarannya

1. Muhammad Ibn al-Thayyib Ibn Muhammad Abu Bakr al-Baqillani.
           Ia adalah tokoh Asy’ariyah yang mendapat ajaran-ajaran Al-Asy’ari dari dua murid Al-Asy’ari, yaitu Ibn Mujahid dan Abu Al-Hasan Al-Bahili.. beliau wafat di Bagdad pada tahun 1013 Masehi. Ajaran-ajaran yang disampaikannya tidak selalu selaras dengan ajaran Al-Asy’ari, misalnya bahwa sifat Allah itu bukan sifat melainkan hal. Selanjutanya ia juga tidak sepaham dengan Al-Asy’ari mengenai perbuatan manusia. Menurut Al-Asy’ari perbuatan manusia adalah diciftakan Tuhan seluruhnya, sedangkan menurut Al-Baqillani, manusia mempunyai sumbangan yang efektif dalam perwujudan perbuatannya. Yang diwujudkan Tuhan ialah gerak yang terdapat dalam diri manusia, adapun bentuk atau sifat dari gerak itu dihasilkan oleh manusia itu sendiri.

2. Abd al-Malik al-Juwaini
          Beliau lahir di Khurasan tahun 419 Hijriyah dan wafat pada tahun 478 Hijriyah. Namanya aslinya tidak begitu dikenal malah ia terkenal dengan nama Iman Al-Haramain. Hampir sama dengan Al-Baqillani, ajaran-ajaran yang disampaikannya banyak yang bertentangan dengan ajaran Al-Asy’ari. Misalnya Tangan Tuhan diartikan (ta’wil) kekuasaan Tuhan, mata Tuhan diartikan penglihatan Tuhan dan wajah Tuhan diartikan Wujud Tuhan, sedangkan mengenai Tuhan duduk diatas takhta kerajaan diartikan Tuhan berkuasa dan Maha Tinggi. Mengenai soal perbuatan manusia, ia mempunyai pendapat yang lebih jauh dari Al-Baqillani. Daya yang ada pada manusia itu mempunyai efek, tetapi efeknya serupa dengan efek yang terdapat antara sebab dan musabab. Wujud perbuatan manusia tergantung pada daya yang ada pada manusia, wujud daya itu bergantung pada sebab yang lain dan wujud sebab itu bergantung pula pada sebab yang lain dan demikianlah seterusnya hingga sampai pada sebab dari segala sebab yaitu Tuhan.
3. Abu Hamid al-Ghazali
         Beliau adalah murid dari Abd al-Malik al-Juwaini yang lahir pada tahu 1058-1111 Masehi. . Paham teologi yang dianutnya tidak jauh berbeda dengan paham-paham Al-Asy’ari. Al-Qur’an bersifat qadim dan tidak diciptakan. Selanjutnya ia-pun menyatakan bahwa Tuhan dapat dilihat, sebab setiap yang mempunyai wujud dapat dilihat. Selanjutnya ajaran yang disampaikannya adalah penolakan tentang paham keadilan yang diajarkan oleh Mu’tazilah. Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemashlahatan (al-salah wa al-ashlah) manusia, tidak wajib memberi upah atau ganjaran kepada manusia atas perbuatan-perbuatannya, bahkan Tuhan boleh memberi beban yang tidak mungkin dikerjakan manusia.

                 Aliran Maturidiyah 
                A.    Latar belakang lahirnya aliran Maturidiyah.

      Sejarah timbulnya aliran maturidiyah sama halnya dengan aliran – aliran yang lainya dalam teologi Islamyaitu merupakan rentetan dari aliran teologi sebelumnya. Aliran Mu’tazilah yang becorak rasionalisme telah mendapat tantangan keras dari golongan tradisional Islam, terutama dari golongan madzhab  Hambali, sehingga politik kekerasan yang dilakukan Mu’tazilah berkurang, apalagi setelah meninggalnya Al Ma’mun yaitu putra darikholifah Harun Ar –Rosyid yang telah menjadikan Mu’tazilah sebagai madzab resmi yang dianut Negara, sehingga Mu’tazilah dalam menyiarkan ajaranya bersifat memaksa.
      Aliran Mu’tazilah sebagai madzhab resmi dibatalkan oleh kholifah Al – Mutawawakil pada tahun 856 M, dengan pembatalan itu  Mu’tazilah kembali pada kedudukanya saat mendapat tantangan dari umat Islam. Yang diawali oleh Abu Hasan Al – Asy’ari ( 935 M ) dengan Aliranya yang disebut Asy’ariah. Sementara itu di Samarkand timbul pula Aliran yang didirikan oleh Abu Mansyur Muhammad Al – Maturidi yang lahir di desa Maturid sekitar pertengahan abad 3 Hijriyah dan meninggal di Samarkand Th. 332 H atau 944 M dan aliran ini dikenal dengan nama Al – Maturidiyah. Aliran Maturidiyah dalam pahamnya tidak se-tradisional Ays’ariah, akan tetapi juga tidak se-liberal Mu’tazilah, jelasnya Abu Hasan – Asy’ari dan Abu Mansyur Al – Maturidi sebagai aliran penantang terhadap aliran Mu’tazilah. Keduanya juga disebut dengan Ahlusunnah wal Jamaah. Aliran Maturidiyah banyak dianut umat Islam yang bermadzhab Hanafi, sedangkan Asy’ariah banyak dianut umat Islam Sunni lainya.[3]

B.     Pokok – pokok ajaran Maturidiyah

1.      Kewajiban mengetahui tuhan. Akal semata-mata sanggup mengetahui tuhan. Namun itu tidak sanggup dengan sendirinya hukum-hukum takliti (perintah-perintah Allah SWT)
2.      Kebaikan dan kerburukan dapat diketahui dengan akal.
3.      Hikmah dan tujuan perbuatan tuhan
      Perbuatan tuhan mengandung kebijaksanaan (hikmah). Baik dalam cipta-ciptaannya maupun perintah dan larang-larangannya, perbuatan manusia bukanlah merupakan paksaan dari Allah, karena itu tidak bisa dikatakan wajib, karena kewajiban itu mengandung suatu perlawanan dengan iradahNya.
C.     Golongan dalam aliran Maturidiyah
1.      Golongan Samarkand
      Yang menjadi golongan ini adalah pengikut-pengikut Al-Maturidi sendiri. Golongan ini cenderung ke arah faham Asy’ariyah, sebagaimana pendapatnya tentang sifat-sifat Tuhan. Dalam hal perbuatan manusia, maturidi sependapat dengan Mu’tazilah, bahwa manusialah yang sebenarnya mewujudkan perbuatannya. Al-Maturidi berpendapat bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu.
2.      Golongan Bukhara
      Golongan ini dipimpin oleh Abu Al-Yusr Muhammad Al-Bazdawi. Dia merupakan pengikut Maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam pemikirannya. Jadi yang dimaksud dengan golongan Bukhara adalah pengikut-pengikut Al-Bazdawi dalam aliran Al-Maturidiyah. Walaupun sebagai pengikut aliran ­Al-Maturidiyah, AL-Bazdawi tidak selalu sefaham dengan Maturidi. Ajaran teologinya banyak dianut oleh umat islam yang bermazhab  Hanafi. Dan hingga saat ini pemikiran-pemikiran Al-Maturidiyah masih hidup dan berkembang di kalangan umat islam.[4]
 DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Muhammad, Tauhid Ilmu Kalam, Bandung : CV. Pustaka Setia 1998.
Jurnal IQRA, Vol. 4, No. 2, Juli 2008
Rozak, Abdul  Ilmu Kalam. Bandung : Pustaka Setia. 2007
          Hanafi, A, Pengantar Teologi Islam, Jakarta : Pustaka Al Husna Baru. 2003

[1]               .A. Hanafi.  Pengantar Teologi Islam, hal : 133
[2]               . Abdul Rozak. Ilmu Kalam. Bandung : Pustaka Setia. 2007 hal. 121
[3]               . Jurnal IQRA, Vol. 4, No. 2, Juli 2008, hal 264 - 272
[4]               . Drs. H. Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, Bandung : CV. Pustaka Setia 1998. Hal 190 -191
Aswaja dan tantangan masa kini
Sebelum kelompok-kelompok teologis dalam Islam lahir, Ahlussunnah Wal Jamaah (selanjutnya disebut Aswaja) adalah umat Islam itu sendiri. Namun setelah kelompok-kelompok teologis muncul, Aswaja berarti para pengikut Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi. Dalam pengertian terakhir ini, Aswaja sepadan dengan kelompok-kelompok teologis semisal Mu’tazilah, Syiah, Khawarij dan lain-lain.
Dalam sejarahnya, kemunculan kelompok-kelompok ini dipicu oleh masalah politik tentang siapakah yang berhak menjadi pemimpin umat Islam (khalifah) setelah kewafatan Rasulullah, Muhammad SAW. Setelah perdebatan antara kelompok sahabat Muhajirin dan Anshor dituntaskan dengan kesepakatan memilih Abu Bakar sebagai khalifah pertama, kesatuan pemahaman keagamaan umat Islam bisa dijaga. Namun menyusul huru-hara politik yang mengakibatkan wafatnya khalifah ketiga, Utsman Bin Affan, yang disusul dengan perang antara pengikut Ali dan Muawiyah, umat Islam terpecah menjadi kelompok-kelompok Syiah, Khawarij, Ahlussunnah dan –disusul belakangan, terutama ketika perdebatan menjadi semakin teologis oleh—Mu’tazilah dan lain-lain.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar