INFO PROFIL

Foto saya
JENTREK ROJOIMO WONOSOBO, jawa tengah indonesia, Indonesia
Ya Allah jadikan kami manusia yang bisa keluar dari belenggu “kemunafikan”. Bimbing kami untuk tidak mengoreksi orang lain sebelum diri ini terkoreksi ya Rabb. Jadikan kami manusia yang jujur dan tidak pernah membohongi diri sendiri apalagi orang lain. kepadaMulah kami berserah ya Allah, kepadaMulah kami bermohon karena tanpa kehendakMu kami tidak bisa berbuat apa-apa Affannur Jentrek rojoimo wonosobo . lahir13 Agustus 1989

Minggu, 27 Oktober 2013

BAB I
PENDAHULUAN
Persoalan pendidikan merupakan masalah manusia yang berhubungan dengan kehidupan. Selama  manusia ada, maka selama itu pula persoalan pendidikan ditelaah dan direkonstruksi dari waktu ke waktu. Sebagai makhluk yang paling sempurna antara makhluk-makhluk yang lain, manusia dituntut untuk menggunakan akalnya dalam memikirkan segala sesuatu, baik yang berkaitan dengan agama, hablum minannas maupun hablum minallah. Adapun cara untuk melatih berpikir adalah dengan pengetahuan (ilmu), dan ilmu itu wajib dipelajari oleh setiap muslim, terutama ilmu yang berkaitan dengan agama.
Al-Zarnuji adalah salah satu tokoh pendidikan Islam dengan karyanya yang terkenal “Ta’liim al-Muta’allim Thariiq al-Ta’allum”. Konsep pendidikan Islam Al-Zarnuji dirangkum dalam buku tersebut kedalam tiga belas pasal yang singkat-singkat. Sebuah analisa yang diajukan Abdul Muidh Khan dalam bukunya The Muslim Theories of Education During the Middle Ages, menyimpulkan bahwa inti kitab ini mencakup tiga hal, yaitu The Division of Knowledge, The Purpose of Learning, and The Method of Study.
Al-Zarnuji telah memberikan solusi tentang bagaimana menciptakan pendidikan yang tidak hanya berorientasi pada keduniawian saja, tetapi juga berorientasi keakhiratan. Sebagaimana tujuan sentral pendidikan menurut Al-Zarnuji adalah mencari ridha Allah SWT. serta kebahagiaan di akhirat.








BAB II
PEMBAHASAN
A.    BIOGRAFI
Al-Zarnuji mempunyai nama lengkap Burhanuddin al-Islam Al-Zarnuji. Di kalangan ulama belum ada kepastian mengenai tanggal kelahirannya. Adapun mengenai kewafatannya, ada dua pendapat. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa Burhanuddin Al-Zarnuji wafat pada tahun 591 H./1195 M. Sedangkan pendapat yang kedua mengatakan bahwa ia wafat pada tahun 840 H./1243 M. Sementara itu ada pula pendapat yang mengatakan bahwa Burhanuddin hidup semasa dengan Rida ad-Din an-Naisaburi yang hidup antara tahun 500-600 H. Grunebaum dan Abel mengatakan bahwa Burhanuddin al-Zarnuji adalah toward the end of 12th and beginning of 13th century AD. Tidak ada keterangan pasti mengenai daerah tempat kelahirannya. Namun jika dilihat dari nisbahnya, yaitu Al-Zarnuji, maka sebagian peneliti mengatakan bahwa ia berasal dari Zaradj. Dalam hubungan ini Mochtar Affandi mengatakan: it is a city in Persia which was formally a capital and city of Sadjistan to the south of earth (now Afghanistan). Pendapat senada juga dikemukakan Abd al-Qadir Ahmad yang mengatakan bahwa Al-Zarnuji berasal dari sutau daerah yang kini dikenal dengan nama Afghanistan. [1]  

Mengenai riwayat pendidikannya dapat diketahui dari keterangan yang dikemukakan para peneliti. Djudi misalnya mengatakan bahwa Al-Zarnuji menuntut ilmu di Bukhara dan Samarkand. Yaitu kota yang menjadi pusat kegiatan keilmuan, pengajaran dan lain-lain. Masjid-masjid di kedua kota tersebut dijadikan sebagai lembaga pendidikan dan ta’lim yang diasuh antara lain oleh Burhanuddin al-Marginani, Syamsuddin Abd al-Wajdi Muhammad bin Muhammad bin ‘Abd as-Sattar al-Amidi dan lain-lain. Selain itu, Burhanuddin Al-Zarnuji juga belajar kepada Rukmanuddin al-Firgiani, seorang ahli Fiqih, sastrawan dan penyair (w.594 H / 1196 M); Hammad bin Ibrahim, seorang ahli ilmu kalam di sampan sebagai sastrawan dan penyair (w. 564 H / 1170 M); dan Rukn al-Islam Muhammad bin Abi Bakar yang dikenal dengan nama Khawahir Zada, seorang mufti Bukhara dan ahli dalam bidang fiqih, sastra dan syair (w.573 H / 1177 M).[2]

Berdasarkan informasi tersebut, ada kemungkinan besar bahwa Al-Zarnuji selain ahli dalam bidang pendidikan dan tasawuf, juga menguasi bidang-bidang lain, seperti sastra, fiqih, ilmu kalam, dan lain sebagainya, sekalipun belum diketahui dengan pasti bahwa untuk bidang tasawuf ia memiliki seorang guru tasawuf yang masyhur. Namun dapat diduga bahwa dengan memilki pengetahuan yang luas dalam bidang fiqih dan ilmu kalam disertai jiwa sastra yang halus dan mendalam, seseorang telah memperoleh akses (peluang) yang tinggi untuk masuk ke dalam dunia tasawuf.[3]

B.     CORAK PEMIKIRAN
Pemikiran Al-Zarnuji berpusat pada pendidikan Islam. Adapun konsep pendidikan yang dikemukakan Al-Zarnuji dituangkan dalam bukunya Ta’lim al-Muta’allim Thuruq al-Ta’allum. Dalam karyanya ini, Al-Zarnujji mengemukakan tiga belas pasal mengenai konsep pendidikan Islam, yaitu; (1) Pengertian ilmu dan keutamaannya; (2) Niat di kala belajar; (3) Memilih ilmu, guru dan teman serta ketabahan dalam belajar; (4) Menghormati ilmu dan ulama; (5) Ketekunan, kontinuitas dan cita-cita luhur; (6) Permulaan dan intensitas belajar serta tata tertibnya; (7) Tawakkal kepada Allah; (8) Masa belajar; (9) Kasih sayang dan memberi nasihat; (10) Mengambil pelajaran; (11) Wara’ (menjaga diri dari yang haram dan syubhat); (12) Penyebab hafal dan lupa; dan (13) Masalah rezeki dan umur.[4]
1.      Pengertian ilmu dan keutamaannya
      Ilmu adalah suatu sifat yang dengannya dapat menjadi jelas pengertian suatu hal yang disebut.[5] Pentingnya ilmu pengetahuan tidak diragukan lagi, sebab ilmu merupakan sesuatu khusus (ciri khas) bagi manusia. Sebab segala hal selain ilmu bisa dimiliki manusia dan juga binatang, seperti keberanian, kekuatan, kasih sayang, dan lain sebagainya.[6] Keutamaan ilmu adalah sebagai perantara (sarana) menuju ketakwaan yang akan menyebabkan seseorang berhak mendapatkan kemuliaan di sisi Allah SWT. dan kebahagiaan yang abadi.[7]


2.      Niat di kala belajar
      Setiap pelajar harus menata niatnya ketika akan belajar, karena niat merupakan pokok  dalam segala hal.[8] Dalam menuntut ilmu seorang pelajar seharusnya berniat untuk mencari ridha Allah, mengharap kebahagiaan di akhirat, menghilangkan kebodohan dari dirinya sendiri dan dari segenap orang-orang bodoh, menghidupkan agama dan melestarikan Islam, karena sesungguhnya kelestarian Islam hanya dapat dipertahankan dalam ilmu dan perilaku zuhud serta takwa tidaklah sah dengan kebodohan.[9]
3.      Memilih ilmu, guru dan teman serta ketabahan dalam belajar
      Para pelajar hendaknya memilih ilmu yang terbaik baginya dan ilmu yang dibutuhkannya dalam urusan agama pada masa sekarang, serta ilmu yang dibutuhkannya pada masa mendatang. Sebaiknya seorang pelajar memprioritaskan pada ilmu tauhid dan mengenal Allah dengan dalil-dalilnya.[10] Adapun dalam memilih guru sebaiknya memilih orang yang lebih alim (pandai), yang bersifat wara’ (menjaga harga diri) dan lebih tua.[11] Kemudian dalam memilih teman atau sahabat, sebaiknya memilih orang yang tekun belajar, bersifat wara’ dan berwatak istiqamah (lurus) dan mudah paham (tanggap). Hindarilah orang yang malas, penganggur, pembual, suka berbuat onar dan suka memfitnah.[12] Disamping itu, ketahuilah bahwa kesabaran dan ketekunan adalah modal yang besar dari segala urusan. Tetapi jarang sekali orang yang mempunyai sifat-sifat tersebut. Oleh karena itu, seorang pelajar harus berani bertahan dan bersabar dalam belajar kepada seorang guru dan mempelajari sebuah kitab, jangan sampai meninggalkannya sebelum tamat (selesai).[13]
4.      Menghormati ilmu dan ulama
      Seorang pelajar tidak dapat meraih ilmu dan memanfaatkan ilmunya kecuali dengan menghormati ilmu dan ulama.[14] Cara menghormati ilmu adalah menghormati guru dan memuliakan kitab. Adapun cara menghormati guru antara lain; tidak berjalan kencang di depannya, tidak duduk di tempatnya, tidak mulai percakapan dengannya kecuali atas izinnya, tidak banyak bicara di hadapan guru, dan lain sebagainya. Sedangkan cara memuliakan kitab , sebaiknya tidak memegang kitab kecuali dalam keadaan suci dari hadas. Dikisahkan dari Syekh al-Imam Syamsul Aimma Al-Khulwani, ia berkata: “Sesungguhnya aku dapat memperoleh ilmu karena aku mengagungkannya, aku tidak pernah mengambil kertas belajarku kecuali dalam keadaan suci.”[15]
5.      Ketekunan, kontinuitas dan cita-cita luhur
Para pelajar harus tekun dan bersungguh-sungguh dalam belajar. Pelajar harus berjaga (tidak banyak tidur) pada malam hari.[16] Kemudian, adalah suatu keharusan bagi pelajar untuk kontinue atau rutin dalam belajar serta mengulang pelajarannya pada setiap awal dan akhir malam, karena antara waktu maghrib dan isya serta waktu sahur adalah waktu yang penuh berkah.[17] Pelajar juga harus memiliki cita-cita luhur dalam berilmu. Sebab modal paling pokok untuk mencapai segala sesuatu adalah kerja keras dan cita-cita luhur.[18]
6.      Permulaan dan intensitas belajar serta tata tertibnya
      Syaikh Burhanuddin memulai belajar pada hari Rabu. Beliau melakukan hal itu berdasarkan hadis Nabi sebagai berikut:
“Tidak ada sesuatu yang dimulai pada hari Rabu kecuali akan berakhir sempurna.”[19]
      Hari Rabu merupakan hari diciptakannya cahaya (nur) oleh Allah dan hari naas (hari sial) bagi orang-orang kafir. Dengan demikian hari Rabu merupakan hari yang penuh berkah orang-orang mukmin. Adapun intensitas (ukuran) belajar bagi orang yang baru memulai (tahap awal), Abu Hanifah berpendapat sesuai yang didengarnya dari Syaikh al-Qadhi al-Imam Umar bin Abi Bakar Az-Zanji: “Guru-guru kami berpendapat bahwa sebaiknya ukuran pelajaran bagi tingkat dasar adalah sesuatu yang kira-kira dapat dikuasai dengan mengulanginya dua kali, kemudian setiap hari ditambahkan kalimat demi kalimat, sehingga bila pelajaran sudah banyak, ia bias menguasainya dengan hanya mengulangnya dua kali. Begitulah terus ditambah tahap demi tahap. Adapun bila tahap awal langsung diberikan pelajaran yang panjang, dimana ia harus mengulanginya sepuluh kali untuk bias menguasai, maka sampai pelajaran terakhir akan tetap begitu, sehingga menjadi kebiasaan yang sulit dan tidak dapat ditinggalkan kecuali dengan usaha yang berat.”[20]
      Sebaiknya murid membuat catatan sendiri mengenai pelajaran yang telah dipahaminnya dan mengulanginya berkali-kali, hal ini sangat berguna sekali. Jangan mencatat sesuatu yang belum dipahami, sebab hal ini akan membuat bosan, menghilangkan kecerdasan dan membang-buang waktu. Murid hendaknya berusaha memahami pelajaran dari guru dan menganalisa, memikirkan dan sering mengulanginya. Disamping bersungguh-sungguh sebaiknya disertai dengan bersungguh-sungguh kepada Allah dan merendahkan diri dihadapan-Nya. Sesungguhnya Allah akan mengabulkan orang yang berdo’a kepada-Nya dan tidak menolak orang yang berharap kepada-Nya.[21]
7.      Tawakkal kepada Allah
      Seorang pelajar diharuskan bertawakkal (berserah diri kepada Allah) di dalam menuntut ilmu.[22]
8.      Masa belajar
      Masa terbaik untuk belajar adalah ketika muda. Waktu paling baik untuk belajar yaitu saat-saat menjelang Subuh dan waktu antara Maghrib dan IIsya. Yang terbaik adalah menghabiskan seluruh waktu untuk belajar. Apabila merasa jenuh menghadapi satu ilmu untuk dipelajari, maka beralihlah kepada ilmu yang lain.[23]
9.      Kasih sayang dan memberi nasihat
      Sebagai ahli ilmu hendaklah memiliki kasih sayang, bersedia memberi nasehat tanpa disertai rasa hasud (dengki), karena hasud tidak ada manfaatnya bahkan membawa bahaya.[24]
10.  Mengambil pelajaran
      Mengambil pelajaran bagi pelajar haruslah dilakukan di setiap saat hingga memperoleh kemuliaan, dengan cara selalu menyediakan alat tulis untuk mencatat segala pengetahuan yang baru didapatkan.[25]


11.  Wara’ (menjaga diri dari haram dan syubhat)
      Termasuk perbuatan wara’ yaitu mejauhkan diri dari golongan yang berbuat kerusakan, maksiat dan penganggur, karena perkumpulan itu pengaruhnya sangat besar.[26]
12.  Penyebab hafal dan lupa
      Hal-hal yang berperan menunjang hafalan adalah kesungguhan, terus menerus, sedikit makan dan shalat di malam hari. Membaca Al-Quran adalah termasuk sebab-sebab mudah menghafal.[27] Adapun yang dapat menyebabkan lupa antara lain: banyak berbuat maksiat, banyak dosa, khawatir dan disibukkan oleh urusan dunia.[28]
13.  Masalah rezeki dan umur
      Di antara yang dapat menghambat rezeki ialah, meyapu rumah pada malam hari, membiarkan sampah di dalam rumah, memanggil orang tua dengan namanya, duduk diambang pintu, dan lain sebagainya.[29] Sedangkan yang dapat mendatangkan rezeki antara lain: bangun di waktu pagi, berwajah ramah, berkata baik, menegakkan shalat dengan penuh hormat, dan lainnya.[30] Adapun yang dapat menyebabkan umur panjang, yaitu takwa, tidak menyakiti, hormat kepada orang yang tua dan bersilaturrahmi.[31]

C.    KARYA ILMIAH
      Karya Al-Zarnuji yang terkenal adalah kitab “Ta’liim al-Muta’allim Thuruq al-Ta’allum”. Kitab ini banyak dijadikan sebagai bahan penelitian dan rujukan dalam penulisan karya ilmiah, terutama dalam bidang pendidikan. Kitab ini tidak hanya dipergunakan di kalangan ilmuan Muslim, tetapi juga oleh para orientalis dan para penulis Barat.[32]
      Keistimewaan lainnya dari kitab Ta’liim al-Muta’allim Thuruq al-Ta’allum adalah terletak pada materi dan kandungannya. Sekalipun kecil dan judul yang seakan-akan hanya membicarakan tentang metode belajar, namun sebenarnya membahas tentang tujuan belajar, strategi belajar dan lain sebagainya yang secara keseluruhan didasarkan pada moral religius. Keterkenalan kitab Ta’liim al-Muta’allim Thuruq al-Ta’allum terlihat dari tersebarnya kitab ini hampir ke seluruh penjuru dunia. Kitab ini telah dicetak dan diterjemahkan serta dikaji di berbagai Negara, baik di Timur maupun di Barat. Kitab ini juga menarik perhatian beberapa ilmuan untuk memberikan komentar atau syarah terhadapnya. Di Indonesia, kitab Ta’liim al-Muta’allim Thuruq al-Ta’allum dikaji dan dipelajari hampir di setiap lembaga pendidikan Islam, terutama lembaga pendidika klasik tradisional seperti pesantren, bahkan di pondok pesantren modern sekalipun, seperti di pondok Pesantren Gontor Ponorogo, Jawa Timur.[33]

D.    PEMIKIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN
1.      Pengertian dan Tujuan Pendidikan                           
      Pendidikan merupakan sesuatu yang bernilai ibadah dan menghantarkan seseorang untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Tujuan pendidikan menurut Al-Zarnuji adalah untuk mencari keridhaan Allah, memperoleh kebahagiaan di akhirat, berusaha memerangi kebodohan pada diri sendiri dan orang lain, mengembangkan dan melestarikan ajaran Islam, serta mensyukuri nikmat Allah.[34]
      Menurut al-Syaibani bahwa ada tiga bidang perubahan yang diinginkan dari tujuan pendidikan yaitu tujuan-tujuan yang bersifat individual; tujuan-tujuan sosial dan tujuan-tujuan professional.[35] Kalau dilihat dari tujuan-tujuan pembelajar dalam konsep al-Zarnuji, maka menghilangkan kebodohan dari diri pembelajar, mencerdaskan akal, mensyukuri nikmat, merupakan tujuan-tujuan yang bersifat individual. Tujuan pembelajar mencari ilmu untuk menghilangkan kebodohan pada orang lain (mencerdaskan masyarakat), dan melestarikan Ajaran Islam adalah merupakan tujuan-tujuan social. Sedangkan tujuan professional, berhubungan dengan tujuan seseorang mencapai ilmu itu ialah menguasai ilmu yang berimplikasi pada pencapaian kedudukan. Namun kedudukan yang telah dicapai itu adalah dengan tujuan-tujuan kemaslahatan umat secara keseluruhan. Ketiga tujuan tersebut haruslah atas dasar memperoleh keridhaan Allah dan kebahagiaan akhirat.



2.      Materi dan Kurikulum
      Al-Zarnuji membagi ilmu pengetahuan ke dalam dua kategori. Pertama ilmu fardhu ‘ain, yaitu ilmu yang setiap Muslim secara individual wajib mempelajarinya, seperti ilmu fiqih dan ilmu ushul (dasar-dasar agama). Kedua ilmu fardhu kifayah, yaitu ilmu dimana setiap umat Islam sebagai suatu komunitas, bukan sebagai individu diharuskan menguasainya, seperti ilmu pengobatan, ilmu astronomi dan lain sebagainya.[36]

3.      Metode Pendidikan
      Berdasarkan analisa Mochtar Affandi, bahwa dari segi metode pembelajaran yang dimuat Al-Zarnuji dalam kitabnya meliputi dua kategori. Metode yang bersifat etik, dan metode yang bersifat strategi. Metode yang bersifat etik antara lain mencakup niat dalam belajar; sedangkan metode yang bersifat strategi meliputi cara memilih pelajaran, memilih guru, memilih teman dan langkah-langkah dalam belajar. [37]











BAB III
PENUTUP
      Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Al-Zarnuji adalah salah seorang tokoh pendidikan yang telah memberikan solusi tentang bagaimana menciptakan pendidikan yang tidak hanya berorientasi pada keduniawian saja, tetapi juga berorientasi pada keakhiratan. Perhatiannya terhadap pendidikan sangatlah besar. Hal ini dapat dilihat dari karyanya Ta’liimul Ta’lim Thuruq al-Ta’allum yang merupakan hasil pemikirannya mengenai pendidikan Islam, seperti tujuan belajar, strategi belajar, prinsip belajar, dan lain sebagainya, yang tidak terpisahkan dari moral religius. Adapun tujuan sentral dari pendidikan menurut Al-Zarnuji adalah mencari ridha Allah dan kebahagiaan di akhirat. Namun tujuan pendidikan menurut Al-Zarnuji sebenarnya tidak hanya untuk akhirat (ideal), tetapi juga tujuan keduniaan (praktis), asalkan tujuan keduniaan ini sebagai instrumen pendukung tujuan-tujuan keagamaan.













DAFTAR PUSTAKA
·         Al-Zarnuji. 2005. Ta’lim al-Muta’allim Thuruq al-Ta’allum, terj. Abu Shofia dan Ibnu Sanusi, Jakarta: Pustaka Amani
·         Nata, Abuddin. 2003. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
·         Syaibani al, Omar Mohammad al-Taumy. 1979. Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung, Bandung: Bulan Bintang



[1] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), cet. III, hlm. 103.
[2] Ibid., hlm.104
[3] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), cet. III, hlm. 104-105.
[4] Ibid., hlm. 108.
[5] Syekh Al-Zarnuji, Terjemah Ta’liimul Muta’allim, terj. Abu Shofia dan Ibnu Sanusi, (Jakarta: Pustaka Amani, 2005), cet. I, hlm. 11.
[6] Ibid., hlm. 6.
[7] Ibid., hlm. 7.
[8] Syekh Al-Zarnuji, Terjemah Ta’liimul Muta’allim, terj. Abu Shofia dan Ibnu Sanusi, (Jakarta: Pustaka Amani, 2005), cet. I, hlm. 13.
[9] Ibid., hlm. 14.
[10] Ibid., hlm. 21.
[11] Ibid., hlm. 22.
[12] Ibid., hlm. 27.
[13] Ibid., hlm. 25.
[14] Ibid., hlm. 31.
[15] Syekh Al-Zarnuji, Terjemah Ta’liimul Muta’allim, terj. Abu Shofia dan Ibnu Sanusi, (Jakarta: Pustaka Amani, 2005), cet. I, hlm. 37.
[16] Ibid., hlm. 8
[17] Ibid., hlm. 51.
[18] Ibid., hlm. 53.
[19] Ibid., hlm. 69.
[20] Syekh Al-Zarnuji, Terjemah Ta’liimul Muta’allim, terj. Abu Shofia dan Ibnu Sanusi, (Jakarta: Pustaka Amani, 2005), cet. I, hlm.
[21] Ibid., hlm. 86
[22] Ibid., hlm. 89.
[23] Ibid., hlm. 95.
[24] Ibid., hlm. 98.
[25] Ibid., hlm. 105.
[26]Syekh Al-Zarnuji, Terjemah Ta’liimul Muta’allim, terj. Abu Shofia dan Ibnu Sanusi, (Jakarta: Pustaka Amani, 2005), cet. I, hlm. 113.
[27] Ibid., hlm. 118.
[28] Ibid., hlm. 121.
[29] Ibid., hlm. 127.
[30] Ibid., hlm. 129.
[31] Ibid., hlm. 135.
[32] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), cet. III, hlm. 107
[33] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), cet. III, hlm. 108.
[34] Ibid., hlm. 109.
[35] Omar Mohammad al-Taumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung, (Bandung: Bulan Bintang, 1979), hlm. 399.
[36] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), cet. III, hlm. 109.
[37] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar