Access to Information Law in Indonesia [1]
Oleh:
A. Background
Tuntutan masyarakat sipil untuk
memiliki UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) merupakan bagian dari upaya perwujudan open government di
Indonesia .
Konsep pemerintahan yang terbuka mensyaratkan beberapa jaminan hak publik,
yaitu (1) hak publik untuk memantau atau mengamati perilaku pejabat publik
dalam menjalankan fungsi publiknya (right
to observe) sebagai bagian dari pengaktualisasian prisip transparansi; (2)
hak publik untuk mendapatkan/mengakses informasi (public access to information); (3) hak setiap warga negara untuk
terlibat dalam proses pengambilan keputusan-keputusan publik (right to
participate), (4) kebebasan
berekspresi yang salah satunya diwujudkan dalam kebebasan pers; dan (5)
hak setiap warga negara untuk mengajukan
keberatan/banding apabila hak di atas tersebut tidak terpenuhi (right to
appeal).[3]
Adanya pemerintahan yang terbuka
sampai saat ini dipercaya merupakan salah satu jawaban sistemik utama atas
berbagai persoalan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia . Oleh karenanya berbagai
kalangan dalam masyarakat sipil bergabung untuk menyatukan visi dalam konteks
keterbukaan dan membentuk Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kebebasan Informasi
pada bulan Desember tahun 2002.
Tak kurang dari 46 CSO yang bergerak
di berbagai isu menjadi anggota dari Koalisi ini dengan keyakinan akan
pentingnya transparansi di sector yang diperjuangkannya. CSO di bidang
lingkungan hidup menganggap jaminan akses informasi merupakan salah satu
prasyarat dasar bagi pengelolaan lingkungan hidup yang efektif; CSO di kalangan
pers menganggap akses informasi merupakan prasyarakat dasar bagi kebebasan pers
yang bertanggungjawab; CSO di kalangan pemberantasan korupsi jelas mensyaratkan
transparansi sebagai basis pencegahan dan pemberantasan korupsi; CSO di
kalangan otonomi daerah menganggap akses informasi merupakan prasyarat bagi
otonomi daerah yang berkualitas; demikian juga dengan penggerak di bidang
pendidikan, perlindungan konsumen, perlindungan hak anak dan perempuan, serta
berbagai unsur masyarakat sipil lainnya termasuk lembaga Negara, yaitu Komisi
Hukum Nasional.
Sebenarnya, sejak berbagai elemen
masyarat sipil menyatukan aksi untuk mendorong pengundangan RUU KIP pada bulan
Desember 2000, sudah terdapat berbagai peraturan perundang-undangan yang baik
secara tersirat maupun tersurat menjamin akses atas informasi. Namun sayangnya
peraturan perundang-undangan yang sampai saat ini masih berlaku tersebut
bersifat sektoral dan belum menjamin akses informasi secara memadai (adequate).[4]
Sehingga dalam prakteknya masyarakt sipil sering mengalami hambatan dalam
mengakses informasi bahkan yang sudah secara jelas dijamin dalam sebuah peraturan
perundang-undangan.[5] Oleh
karena itu Koalisi untuk Kebebasan Informasi mendorong pengundangan RUU KIP
sebagai suatu UU yang secara menyeluruh dan lengkap mengatur tentang akses
publik atas informasi yang dikelola oleh badan publik.
Tulisan ini akan membahas
dua hal, yaitu existing regulatory
framework dan diikuti oleh status RUU KIP yang saat ini sedang dibahas di DPR RI .
B. Existing Regulatory Framework on Access to Information
Sejak diperjuangkan pada tahun
2000, pengakuan lebih tegas atas hak atas informasi sudah mengalami kemajuan
yang sangat berarti. Seiring dengan pengakuan Hak Asasi Manusia, hak atas
informasi pun merupakan salah satu bagian dari HAM yang dilindungi oleh
konstitusi Indonesia .
Pasal 28F Perubahan Kedua UUD 1945 menyebutkan bahwa:
“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh
informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak
untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan
informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”
Ketentuan tersebut memperlihatkan
bahwa hak atas informasi dilindungi dalam dua (2) konteks, yaitu (1) hak atas
informasi dilindungi sebagai suatu prasyarat bagi HAM yang lain, yaitu “………untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan
sosialnya” serta (2) sebagai hak itu sendiri dengan bunyi “………serta berhak untuk mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan
segala jenis saluran yang tersedia”. Oleh karenanya terlihat bahwa
konstitusi menjamin hak atas informasi secara lengkap baik sebagai (1) a means to an end maupun sebagai (2) an end itself. Konsekuensinya, hak atas informasi seharusnya
diterjemahkan secara operasional oleh peraturan perundang-undangan yang lebih
rendah. Akses informasi seharusnya dijamin agar bersifat mudah, murah dan
sederhana, agar setiap orang dapat memperolehnya untuk mengembangkan pribadi
dan lingkungannya.
Sayangnya sampai saat ini belum
ada kasus di tingkat Mahkamah Konstitusi yang menguji luasan dari jaminan
konstitusi atas hak atas informasi. Sehingga belum dapat dilihat apakah makna
tersebut ditafsirkan secara luas atau secara sempit dalam terjemahannya di
dalam suatu UU. Tampaknya semua pihak sebagaimana halnya koalisi menunggu
pengundangan RUU KIP daripada menghabiskan energi guna menguji peraturan perundang-undangan
yang secara negatif menghambat akses informasi publik.
Di tataran yang lebih
operasional, dalam era otonomi daerah pembahasan tentang peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang akses informasi dapat dibagi ke tingkat
nasional dan local.
B.1. Tingkat Nasional
Terdapat berbagai peraturan
perundang-undangan yang memberikan jaminan normative atas akses informasi
publik. Seperti UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No.
8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 28/1999 tentang Penyelenggara
Negara yang Bersih dan Bebas KKN, UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, UU No. 39/1999 tentang HAM, UU No. 40/1999 tentang Pers dan UU
No. 41/1999 tentang Kehutanan.
Namun keseluruhan UU berikut
peraturan pelaksananya tersebut tidak ada satupun yang bersifat operasional.
Dalam arti mengatur secara detail bagaimana publik dapat mengakses informasi
yang dimaksud, apa alasan yang dapat digunakan untuk menolak suatu permintaan,
bagaimana mekanisme penyelesaian sengketanya, serta mekanisme mendapatkan
keadilan bila ada akses informasi yang terhambat.[6]
Catatan khusus bagi Mahkamah Agung yang menarik bahwa saat ini telah
dikeluarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI No. 144/KMA/SK/VIII/2007
Tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan. Dalam SK tersebut diatur secara rinci tentang bagaimana public dapat
mengakses informasi di pengadilan.
Di sisi lain ada juga berbagai
peraturan perundang-undangan yang secara negatif mengatur akses atas informasi.
Peraturan tersebut biasanya terkait dengan peraturan mengenai kerahasiaan.
Perlu diingat bahwa peraturan mengenai kerahasiaan tidak serta merta menjadi
penghalang akses informasi. Peraturan tentang kerahasiaan yang bersifat ketat
dan terbatas sebenarnya merupakan pendukung bagi akses publik atas informasi
yang genuine.[7]
Sebab informasi yang dapat diakses oleh publik memang secara universal memiliki
batasan-batasan. Batasan-batasan tersebut harus secara jelas diatur oleh hukum
dan tidak bersifat eksesif melainkan limitatif.[8]
Pengaturan utama tentang
kerahasiaan di Indonesia
telah dikenal dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Dalam KUHP, yaitu
Pasal 112 tentang rahasia karena kepentingan negara, Pasal 124 tentang rahasia
militer, Pasal 322 tentang rahasia jabatan, Pasal 323 tentang rahasia
perusahaan, Pasal 398 tentang rahasia pribadi, Pasal 430-434 tentang rahasia
telekomunikasi. Selain itu diatur juga tentang rahasia perbankan dalam UU No.
10 tahun 1998 tentang Perbankan dan beberapa kerahasiaan yang terkait dengan
Hak Atas Kekayaan Intelektual serta Persaingan Usaha seperti dalam UU No. 30
tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, UU Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal,
UU Nomor 32 Tahun 2000 Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, UU Nomor 14 Tahun
2001 tentang Paten, UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.
Sayangnya, sebagian besar
pengaturan terkait kerahasiaan tersebut masih bersifat sumir. Selain itu
kewenangan mutlak untuk menentukan suatu informasi rahasia atau tidak berada di
tangan pejabat yang bersangkutan. Tidak ditentukan secara jelas pejabat mana
yang berhak mengambil keputusan tentang definisi kerahasiaan dan bagaimana
metode objektif untukmenentukan suatu informasi harus dirahasiakan atau dibuka.
Hal tersebut menyebabkan mudahnya bagi seorang pejabat publik untuk menetapkan suatu
dokumen bersifat rahasia dan terhadap keputusan penetapan tersebut tidak dapat
diuji secara obyektif oleh masyarakat.
Selain itu juga belum ada
ketentuan yang menjamin bahwa suatu informasi yang dikategorikan rahasia dapat
dibuka dengan pertimbangan kepentingan publik lain yang lebih besar untuk
membuka suatu informasi, sehingga kerahasiaan informasi bersifat mutlak.[9]
Hal-hal demikian menyebabkan peraturan kerahasiaan sering diterapkan secara
eksesif sehingga menimbulkan dampak buruk bagi pemberantasan korupsi serta
perlindungan HAM lainnya.
B.2. Tingkat Lokal
Dengan diberlakukannya UU No. 22
tahun 1999 yang kemudian diubah menjadi UU No. 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, maka era otonomi daerah efektif dimulai di Indonesia sejak
tahun 2001. Dengan UU tersebut, maka pemerintah daerah memiliki kewenangan
untuk mengatur urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat termasuk
kewenangan legislasi daerah berdasarkan aspirasi masyarakat. Dengan kewenangan
tersebut, maka beberapa daerah sudah berinisiasi mengundangkan Peraturan Daerah
(Perda) tentang Transparansi [10]
Dari beberapa PERDA yang
dianalisa[11] maka
terlihat beberapa kesamaan konsep, yaitu:
a.
Ruang lingkup badan publik: eksekutif,
legislatif, BUMN/D yang beroperasi di wilayah tersebut, ORNOP yang
mendapatkan dana dari anggaran negara, serta usaha swasta yang
menjalankan pekerjaan dari pemerintah daerah. Kecuali di Tanah Datar yang hanya
mencakup eksekutif dan lembaga masyarakat yang mengelola dana publik (lebih sempit
cakupannya di banding 3 daerah lainnya)
b.
Mereka yang dapat mengakses
informasi; dua daerah membatasi pada warga negara Indonesia (Kalbar dan Gorontalo)
sedanngkan dua daerah lainnya (Lebak dan Tanah Datar) tidak mengatur secara
spesifik sehinga dapat diartikan berlaku terhadap setiap orang termasuk Warga
Negara Asing.
c.
Ruang lingkup akses informasi
bersifat cukup lengkap, karena mencakup akses informasi pasif dan proaktif.
Bahkan di Gorontalo diatur secara lebih jauh akses publik terhadap pertemuan
publik. Misal Pasal 9 (2) PERDA tersebut mengatur bahwa seluruh RAPAT DPRD
bersifat terbuka dan jadwal rapat harus disampaikan dua bulan sebelumnya serta
disebarluaskan di media massa .
Diatur juga dalam Pasal yang sama kewajiban badan publik untuk membuat
pertimbangan tertulis dari setiap kebijakan yang diambil guna menjamin hak
publik atas informasi yang utuh.
d.
Prosedur bagi publik untuk
mengakses informasi cukup jelas dengan batas waktu pemenuhan tiga hari sampai
satu bulan dengan kemungkinan diperpanjang disertai dengan alasan perpanjangan
waktu. Di Lebak misalnya, prosedur untuk mendapatkan informasi pada umumnya
mengatur bagaimana cara masyarakat mengakses informasi dan kewajiban badan
publik untuk menjalankan kewajibannya memberikan pelayanan informasi. Untuk mendapatkan
informasi di kabupaten Lebak, masyarakat dapat mengajukan permintaan tertulis
baik langsung maupun tidak langsung kepada badan publik. Kemudian badan publik yang
bersangkutan wajib merespon permintaan tersebut hanya dalam jangka waktu tiga
(3) hari sejak permintaan tersebut diterima. Apabila dalam jangka waktu tiga
(3) hari permintaan tersebut tidak dapat dipenuhi maka badan publik wajib
menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada pemohon dengan mencantumkan
kesediaan pemenuhan selambat-lambatnya satu (1) minggu setelah pemberitahuan
tertulis diterima. (Pasal 15 Perda Kab. Lebak No.6/2004).
e.
Diatur juga kewajiban badan publik
untuk memiliki atau Pejabat Dokumentasi Informasi dan memiliki sistem informasi
dan dokumentasi. Namun saying tidak ada aturan yang mewajibkan badan public untuk
memiliki sistem peningkatan kapasitas yangg bersifat reguler.[12]
f.
Di beberapa PERDA biaya dibatasi
pada biaya penggandaan dan/atau pengiriman.[13]
g.
Untuk sistem penyelesaian sengketa
pada umumnya dibentuk badan baru yaitu Komisi Transparansi/Informasi. Di beberapa
daerah fungsi penyelesaian sengketa ini ditambah juga dengan fungsi pemantauan
kinerja badan public dalam menyediakan akses informasi.[14]
h.
Sanksi bagi setiap orang yang
menghalangi akses informasi pada umumnya diatur pula dalam Perda tersebut
kecuali di Kalimantan Barat. Kabupaten Lebak dan Gorontalo justru lebih tegas
mengatur sanksi pidana bagi penghambat akses informasi dan untuk mendukung
peran Komisi Transparansi/Informasi agar memiliki kekuatan dalam menjalankan fungsi
dan tugasnya sebagai lembaga penyelesai sengketa.[15]
Di Kabupaten Tanah Datar juga memuat sanksi administrasi dan pidana bila sanksi
administrasi tidak dikeluarkan.
Jika dikaji lebih jauh, berbagai
Perda juga memiliki beberapa kelemahan dalam konteks keterbukaan informasi,
misalnya:
-
Di Tanah Datar ada beberapa aturan
yang potensial untuk menimbulkan konflik. Misal dalam Pasal 3 dibatasi ruang
lingkup informasi publik sedangkan Pasal 1 huruf J secara luas mengartikan
informasi publik adalah seluruh informasi yang berada di badan publik.
-
Pengecualian tidak bersifat
konsekuensial seperti di Perda Kabupaten Tanah Datar dan Lebak sehingga dapat
diartikan secara luas.[16]
Pengecualian di Gorontalo dan Kalbar bersifat konsekuensial tapi tidak ada balancing public interest test.
-
Tidak ada perlindungan terhadap
pejabat publik yang beritikad baik kecuali di Gorontalo.[17]
Secara umum, dinamika di daerah
terlihat menarik karena setidaknya di beberapa daerah jaminan hukum terhadap
akses informasi bagi masyarakat berjalan lebih maju daripada di pusat. Jika di
pusat hingga saat ini belum juga diundangkan RUU KIP, di beberapa daerah telah
muncul berbagai peraturan daerah tentang informasi. Jika dilihat dari inisiasi
berbagai daerah terhadap Perda KMIP dan berbagai diskusi yang diselenggarakan
di beberapa daerah oleh Koalisi Kebebasan Memperoleh Informasi terlihat
antusiasme daerah dalam menyambut RUU KMIP. Terlepas dari kesiapan aparatur
maupun infrastruktur yang dimiliki daerah, antusiasme tersebut merupakan
cerminan adanya good political will daerah
dalam menyikapi kebutuhan transparansi dan partisipasi masyarakat. [18]
Namun demikian yang perlu diantisipasi terkait dengan permasalahan regulasi di
daerah antara lain:
1)
Apakah berbagai regulasi daerah
tersebut telah mencerminkan jaminan hukum yang kuat berdasarkan prinsip-prinsip
keterbukaan informasi mengingat beragamnya jaminan hukum yang ada di beberapa
daerah;
2)
Apakah tidak terjadi konflik
peraturan perundang-undangan dalam implementasi keterbukaan informasi. Misalnya
tentang klasifikasi informasi yang dikategorikan rahasia antara peraturan
daerah dengan perundang-undangan. Bisa jadi peraturan daerah lebih bagus dalam
mengklasifiaksikan suatu informasi termasuk rahasia, namun jika hingga saat ini
belum ada perundang-undangan yang mengharmonisasikan permasalahan ini, maka
akan terjadi konflik peraturan antara pusat dan daerah. Hal ini juga berpeluang
memandulkan beberapa Perda yang telah memiliki klasifikasi informasi rahasia
yang lebih baik daripada undang-undang.
3)
Apakah dalam implementasinya Perda
tersebut diikuti oleh keberadaan sistem pengelolaan dan pelayanan informasi
serta peningkatan kapasitas bagi penjabat publik maupun masyarakat (supply
and demand)? Bukankah jaminan hukum yang baik apabila tidak didukung
oleh sistem dan kapasitas pejabat publik selaku pelaksana peraturan
perundang-undangan dalam prakteknya akan melemahkan jaminan akses masyarakat
terhadap informasi? Demikian pula jika masyarakat kurang memiliki kapasitas dalam
mengakses informasi, apakah keterbukaan informasi tersebut dapat berjalan
dengan baik? dan apakah keterbukaan informasi tersebut dapat berperan optimal bagi
masyarakat dalam meningkatkan pemenuhan hak-haknya dan kepentingannya yang
telah dijamin oleh konstitusi jika masyarakat tidak memiliki kapasitas untuk
mendapatkan informasi?
C. Status of Freedom of Information Law
Koalisi membuat
RUU KIP yang didasarkan pada beberapa prinsip berikut:
- UU KMI sebagai perangkat koordinasi
dan harmonisasi;
- Permintaan informasi tidak perlu
disertai alasan;
- Akses yang bersifat sederhana, murah,
cepat dan tepat waktu;
- Informasi harus bersifat utuh,
akurat, benar dan dapat dipercaya;
- Maximum access and limited exemption;
- Informasi proaktif;
- Penyelesaian sengketa secara cepat,
murah, kompeten dan independen;
- Ancaman hukuman bagi mereka yang
menghambat akses informasi publik;
- Perlindungan terhadap informan dan
pejabat publik yg beritikad baik;
Sampai saat ini, Indonesia belum memiliki sebuah UU Kebebasan Informasi. Saat
ini, RUU Kebebasan Informasi Publik yang digagas oleh Koalisi Masyarakt Sipil
untuk Kebebasan Informasi pada tahun 2000 dan kemudian menjadi usul resmi DPR sudah
memasuki tahap akhir proses pengundangan. Pembahasan sedang dilakukan di
tingkat Tim Perumus yang bertugas untuk
merumuskan RUU KIP.
1.
Kategori informasi publik adalah
informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola dan/atau dikirim/diterima oleh
badan publik yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara
dan penyelenggaraan badan publik lainnya sesuai dengan Undang-Undang serta
informasi lainnya yang berkaitan dengan kepentingan publik;
2.
Dalam hal penyelesaian
sengketa disepakati untuk membentuk Komisi Informasi baik pusat maupun daerah yang
akan menyelesaikan sengketa informasi melalui mediasi dan adjudikasi selain lembaga
pengadilan.
3.
Pihak yang berhak adalah
setiap orang perorangan, kelompok, atau badan hukum.
4.
Akses informasi harus cepat
dan tepat waktu, biaya ringan, dan cara sederhana
5.
Badan publik wajib membuat
pertimbangan secara tertulis setiap kebijakan yang diambil untuk memenuhi hak
setiap orang atas informasi publik.
6.
Klasifikasi informasi
(wajib dimumkan secara berkala, wajib dimumkan serta merta, wajib tersedia
setiap saat, dan yang dikecualikan)
7.
Prinsip informasi publik
yang dikecualikan bersifat ketat dan terbatas
8.
Informasi yang dibuka dan
dikecualikan harus didasarkan pada uji konsekuensi (qonsequential harm test)
dan uji kepentingan publik (balancing public interst test)
Sedangkan beberapa isu yang
masih belum disepakati sampai tahap ini dan sedang dalam proses pembahasan
di tingkat Tim Perumus (Timus) adalah:
- Isu terkait ruang lingkup Badan Publik;
- Isu terkait prinsip permintaan harus menyertakan alasan;
- Isu
terkait dengan pengecualian informasi (pertahanan
dan keamanan nasional serta intelijen, kekayaan alam, ketahanan ekonomi
dan kepentingan hubungan luar negeri, memorandum atau surat antar dan
intra badan publik)
- Isu terkait sanksi pidana;
- Isu terkait masa peralihan (kapan UU ini akan mulai berlaku) dan penetapan PP.
D. Posisi Koalisi
Terhadap perdebatan substansi RUU
KIP, Koalisi mempunyai posisi yang kemudian diadvokasi sebagi masukan. Beberapa
masukan terkait dengan perdebatan yang muncul dalam penyusunan RUU KIP adalah:
- Isu Badan
Publik dan BUMN
Rumusan berikut bersumber pada
usulan Pak Arief Mudatsir Mandan saat Rapat Panja 3 September 2007. Usulan yang
kurang lebih sama juga disampaikan oleh Pak Untung Wahono. Usulan ini lebih
netral namun mencakup seluruh concern dan
alasan-alasan pendefinisian ruang lingkup badan publik. Rumusan tersebut
adalah sebagai berikut:
Badan publik adalah
penyelenggara negara yang meliputi lembaga eksekutif, legislatif, dan
yudikatif, baik di tingkat pusat maupun daerah dan/atau lembaga-lembaga lain
yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan/atau
lembaga lain yang dimiliki oleh negara berdasarkan peraturan
perundang-undangan, termasuk di dalamnya lembaga, organisasi non pemerintah
atau badan usaha yang menerima dana atau dibiayai oleh negara baik sebagian
maupun seluruhnya, dan/atau yang sebagian atau seluruh kegiatannya dijalankan
berdasarkan perjanjian pemberian pekerjaan dari badan publik untuk menjalankan
sebagian fungsi pelayanan publik, dan/atau yang mengumpulkan dana secara
langsung dari masyarakat.
Rumusan ini lebih mengakomodasi
concern pemerintah yang keberatan BUMN/BUMD dieksplisitkan dalam definsi Badan
Publik, serta untuk mengakomodasi
concern pemerintah terhadap aspek competitiveness BUMN terhadap
perusahaan-perusahaan.
Concern pemerintah
terhadap aspek competitiveness
BUMN/BUMD sudah diakomodir dalam pasal Pengecualian Informasi, yang menegaskan
bahwa “informasi yang apabila dibuka dan diberikan kepada pengguna informasi
dapat mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan
perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat”.
Pasal ini bukan hanya melindungi
BUMN/BUMD tetapi juga perusahaan swasta lain yang karena satu dan lain hal
informasinya dipegang oleh negara/badan publik.
Apabila ketentuan ini dianggap
masih kurang melindungi competitiveness
BUMN/BUMD dapat ditambahkan dalam pasal pengecualian, sebagai berikut: “informasi yang apabila dibuka dan diberikan
kepada pengguna informasi dapat mengganggu kepentingan perlindungan hak atas
kekayaan intelektual dan perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat,
termasuk untuk melindungi kemampuan bersaing BUMN/BUMD”.
Jika pembahasan masalah ini di
tingkat Timus tidak memadai, disarankan pembahasannya dikembalikan pada forum
Panja.
- Isu
Pengecualian Informasi
Secara keseluruhan, klausul yang
mengatur tentang pengecualian informasi sudah disepakati Panja. Tinggal
beberapa hal saja yang perlu diberikan penjelasan, yakni:
- pengecualian
informasi dalam sektor pertahanan dan keamanan nasional serta intelijen.
Informasi yang
apabila dibuka dan diberikan kepada pengguna informasi publik dapat merugikan
sistem penyelenggaraan pertahanan negara dan keamanan nasional, termasuk tetapi
tidak terbatas pada:
1.
informasi tentang strategi,
intelijen, operasi, teknik dan taktik yang berkaitan dengan penyelenggaraan sistem
pertahanan negara dan keamanan nasional, meliputi tahap perencanaan,
pelaksanaan dan pengakhiran atau evaluasi terkait dengan ancaman yang berasal
dari dalam maupun luar negeri.
2.
dokumen yang memuat tentang
strategi, intelijen, operasi, teknik dan taktik yang berkaitan dengan
penyelenggaraan sistem pertahanan negara dan kemanan nasional, meliputi
tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengakhiran atau evaluasi terkait dengan ancaman
yang berasal dari dalam maupun luar negeri.
3.
jumlah, komposisi dan
disposisi/dislokasi kekuatan serta kemampuan dalam penyelenggaraan sistem
pertahanan negara dan keamanan nasional serta rencana pengembangannya.
4.
gambar dan data tentang situasi
dan keadaan pangkalan-pangkalan militer;
5.
data perkiraan kemampuan militer
negara lain;
6.
sistem persandian negara; dan
7.
sistem Intelijen negara.
Usulan Penjelasan:
Yang dimaksud
dengan informasi yang terkait dengan sistem pertahanan negara adalah
informasi tentang:
(i)
infrastruktur pertahanan yang
terbatas pada pada kerawanan sistem komunikasi strategis pertahanan, kerawanan
sistem pendukung strategis pertahanan, kerawanan pusat pemandu dan pengendali
operasi militer;
(ii)
gelar operasi militer yang
terbatas pada perencanaan operasi militer, komando dan kendali operasi militer,
kemampuan operasi satuan militer yang digelar, misi taktis operasi militer,
gelar taktis operasi militer, tahapan dan waktu gelar taktis operasi militer,
titik-titik kerawanan gelar militer dan kemampuan, kerawanan, lokasi, serta
analisa kondisi fisik dan moral musuh;
(iii)
sistem persenjataan terbatas pada
spesifikasi teknis operasional alat persenjataan militer, kinerja dan
kapabilitas teknis operasional alat persenjataan militer, kerawanan sistem persenjataan
militer, rancang bangun dan purwarupa persenjataan militer;
Yang dimaksud
dengan sistem intelijen negara adalah informasi yang dapat mengungkap:
(i)
aktivititas intelijen yang
terbatas pada operasi kontra intelijen dan operasi intelijen tertutup;
(ii)
sumber intelijen yang terbatas
pada identitias agen intelijen dan identitas informan atau narasumber
intelijen;
(iii)
metode kerja intelijen yang
terbatas pada metode khusus untuk memperoleh informasi intelijen, metode
perekrutan dan pelatihan agen intelijen, struktur, cara kerja, dan kendali operasi satuan tugas intelijen,
metoda penggunaan dan pengamanan teknologi intelijen, teknik pengumpulan,
analisa dan penyampaian intelijen;
(iv)
infrastruktur intelijen yang
terbatas pada instalasi perlindungan dan pengamanan intelijen; dan
(v)
produk intelijen yang terbatas
pada informasi strategis yang ditujukan kepada presiden terkait kemungkinan
terjadinya pendadakan strategis terhadap sistem keamanan nasional, informasi
strategis tentang kapabilitas dan intensi musuh.
Yang dimaksud
dengan informasi terkait sistem persandian negara terbatas pada informasi
tentang kriptologi, kriptografi, dan perlindungan serta pengamanan
infrastruktur persandian negara.
b. informasi yang dapat mengungkapkan kekayaan alam Indonesia .
Usulan
Penjelasan:
Yang dimaksud
dengan informasi yang dapat mengungkap kekayaan alam adalah peta atau informasi
lain yang menunjukkan lokasi kekayaan alam yang vital;
c. informasi yang dapat merugikan ketahanan ekonomi nasional dan
kepentingan hubungan luar negeri.
Usulan Penjelasan:
Yang dimaksud
dengan informasi tentang ketahanan ekonomi nasional adalah:
(i)
rencana awal pembelian dan
penjualan mata uang nasional atau asing, saham dan aset vital milik negara;
(ii)
rencana awal perubahan nilai
tukar, suku bunga, model operasi institusi keuangan,
(iii)
rencana awal perubahan suku bunga
bank, pinjaman pemerintah, perubahan pajak, tarif, atau pendapatan
negara/daerah lainnya
(iv)
rencana awal penjualan atau
pembelian tanah atau properti.
(v)
rencana awal investasi asing
(vi)
proses dan hasil pengawasan
perbankan, asuransi, atau lembaga keuangan lainnya.
(vii)
hal-hal yang berkaitan dengan
proses pencetakan uang.
Dasar Argumentasi:
Pengecualian ini penting karena
kepentingan ekonomi nasional dapat terancam apabila suatu informasi yang
bersifat prematur terhadap tindakan yang akan diambil atau tidak diambil oleh
pemerintah atau parlemen diakses oleh publik. Informasi dimaksud dapat
mengakibatkan seseorang atau sekelompok orang mendapat keuntungan tidak sah
(misalnya insider trading dalam
proses penjualan saham).
Usulan Penjelasan tentang Kepentingan Hubungan Luar Negeri:
Yang
dimaksud dengan informasi yang dapat merugikan kepentingan hubungan luar negeri
adalah:
(i)
posisi, daya tawar dan strategi
yang akan dan telah diambil oleh negara dalam hubungannya dengan negosiasi
internasional;
(ii)
korespondensi diplomatik antar
negara;
(iii) sistem komunikasi dan persandian yang dipergunakan dalam
menjalankan hubungan internasional;
(iv) isi perjanjian dengan negara lain yang ditetapkan sebagai
klausul rahasia;
(v)
perlindungan dan pengamanan
infrastruktur strategis Indonesia
di luar negeri.
d. Memorandum atau surat-surat antar badan publik atau intra
badan publik yang menurut sifatnya tidak disediakan untuk pihak selain instansi
yang sedang melakukan hubungan dengan instansi tersebut.
Usulan Penjelasan:
Memorandum atau
surat-surat antar badan publik atau intra badan publik yang mengandung
informasi yang apabila dibuka dapat secara serius merugikan proses penyusunan
kebijakan, yakni dapat:
(i)
mengurangi kebebasan, keberanian
dan kejujuran dalam pengajuan usul, komunikasi atau pertukaran gagasan
sehubungan dengan proses pengambilan keputusan;
(ii)
menghambat kesuksesan kebijakan
karena adanya pengungkapan secara prematur;
(iii)
mengganggu keberhasilan dalam
suatu proses negosiasi yang akan atau sedang dilakukan.
Dasar Argumentasi:
1.
Rumusan yang diusulkan pemerintah (memo internal) ini bersifat
kategorikal. Tidak dilihat dampak dari info dimaksud terhadap public interest. Sehingga info apapun
apabila dicap memo internal tidak dapat diakses oleh publik. Ada banyak contoh pentingnya memo atau surat menyurat antar
instansi dalam proses pengambilan kebijakan yang sangat penting bagi publik
untuk tahu.
2.
Sebenarnya dirahasiakannya surat
menyurat antar/intra instansi perlu ada karena bisa jadi surat-surat tersebut
berisi tentang informasi pribadi, rahasia negara, kebebasan berkomunikasi, dll.
Tetapi sebaiknya format surat
antar/intra instansi ini tidak dikecualikan begitu saja, harus dilihat dampak
dari suatu surat
tersebut terlebih dahulu (consequential
harm test).
3.
meskipun penjelasan ketentuan pengecualian ini tidak mencantumkan soal
informasi pribadi atau rahasia negara, tetapi hal itu sudah diatur dalam
pengecialian yang lain. Sehingga pengecualian yang lain berlaku juga terhadap
memo internal dan tidak perlu diulang dalam penjelasan ini.
- Isu
Ketentuan Sanksi
Secara umum, RUU KIP memberikan
sanksi pidana untuk tindakan berikut:
- menggunakan informasi secara melawan hukum (DIM 344)
- menghambat akses informasi:
-
dengan sengaja tidak memberikan
informasi proaktif (DIM 346)
-
dengan sengaja tidak memberikan
informasi secara berkala (DIM 347)
-
dengan sengaja tidak memberikan
informasi secara serta merta (DIM 348)
-
dengan sengaja tidak memberikan
informasi setiap saat (DIM 348)
-
dengan sengaja merusak atau
menghancurkan informasi (DIM 350)
-
dengan sengaja membuat informasi
publik yang tidak benar atau menyesatkan (DIM 352)
c. Membuka
informasi yang bersifat rahasia (DIM 351)
Rumusan yang tadinya berada di
DIM 344 yang berbunyi sebagai berikut:”Setiap
orang yang menggunakan informasi secara melawan hukum dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda paling banyak lima ratus juta rupiah”.
Berdasarkan rapat Panja tanggal 10 September 2007 sudah klausul ini sudah
didrop. Dengan alasan yang dikemukakan oleh anggota DPR yang kemudian
disepakati oleh pemerintah, yaitu:
- RUU KIP adalah RUU tentang akses bagi publik untuk mendapatkan informasi sehingga adanya kriminalisasi bagi pengguna informasi akan memberikan atmosfer negatif bagi pengakses informasi.
- RUU KIP mengatur tentang informasi yang sudah terbuka bagi publik, sehingga pemerintah juga menemukan kesulitan untuk memberikan contoh tentang penggunaan informasi secara melawan hukum sebagaimana didalilkan.
Catatan umum terhadap DIM 346-349:
- Pidana Sebagai upaya Terakhir (menghindari kriminalisasi dalam RUU KIP): Pendapat bahwa sanksi pidana haruslah bersifat Ultimatum Remedium (asas subsidiaritas), yaitu sanksi pidana sebagai upaya terakhir, seharusnya tidak berlaku untuk kejahatan terhadap hak asasi manusia (dalam hal ini adalah hak atas informasi). Karena kejahatan terhadap hak asasi adalah kejahatan yang tergolong berat, sehingga pidana harusnya menjadi garda depan penegakan hukum yang menjamin hak asasi (Premium Remedium). Selain itu sanksi pidana dan sanksi administrasi memiliki tujuan yang berbeda seperti yang akan dibahas di poin berikut.
- Tujuan Pidana: Sanksi hukum administratif lebih ditujukan kepada perbuatannya sedangkan sanksi pidana lebih ditujukan kepada orangnya atau orang lain yang potensial untuk melakukan tindakan yang sama. Dengan kata lain, sanksi administratif ditujukan agar suatu keadaan yang timbul akibat suatu pelanggaran hukum dapat diperbaiki atau kembali seperti semula. Sedangkan salah satu tujuan sanksi pidana adalah memulihkan rasa keadilan di masyarakat dan mencegah agar tidak terjadi kembali tindakan yang sama di kemudian hari, sehingga pidana haruslah menimbulkan efek jera.
- Tentang Delik Materi: pemerintah mengusulkan agar jenis delik pidana dalam DIM 346-350 berupa delik materiil, yang dalam hal ini berarti seseorang baru dapat dihukum bila memenuhi dua unsur. (1) unsur menghambat akses informasi, dan (2) unsur kerugian yang timbul akibat tidak dapat diaksesnya suatu informasi. Jenis delik yang seperti ini sebaiknya tidak dipertahankan dalam rumusan akhir UU KIP, dengan alasan: (1) jenis delik materil seperti ini menyulitkan dalam pembuktiannya, sebab secara hukum orang yang dihambat akses informasinya harus membukitkan bahwa ketiadaan akses informasi menimbulkan kerugian bagi dirinya atau masyarakat secara umum. Padahal kerugian yang timbul atas tidak adanya hak atas informasi mungkin tidak timbul seketika dan mungkin tidak berhubungan langsung dengan akses informasinya. (2) padahal yang diatur dalam RUU ini adalah soal akses informasi, dan sekali lagi bukan tentang pemanfaatn informasi. Sehingga yang harus diancam pidana adalah mereka yang dengan sengaja menghambat hak atas informasi saja dan tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu kerugian yang ditimbulkan.
- Tentang sanksi Pidana bagi badan publik:
saat ini yang ada barulah sebatas sanksi denda bagi badan publik. Kami
menganggap jenis sanksi seperti ini tidak akan menimbulkan efek jera yang
cukup bagi badan publik. Seharusnya pejabat publik yang dengan sengaja
menghambat akses informasi diancam pidana penjara atau kurungan juga.
Alasannya adalah, karena kejahatan tidak memenuhi hak asasi atas informasi
dimungkinkan untuk terjadi akbiat adanya kewenangan si pejabat publik
terkait. Kejahatan tidak mungkin dilakukan oleh orang yang tidak memeiliki
kewenangan. Karenanya si pemilik wewenang harus diancam hukuman pidana.
Dalam hal ini harus dilihat siapa yang memiliki kewenangan secara de facto dan de jure soal akses informasi di suatu badan publik. Jenis
pidana ini sudah dikenal dalam hukum lingkungan (UU No 23/97) mengenai corporate liability.
- Tentang Denda: terkait dengan denda seharusnya ada klausul yang menyebutkan bahwa “uang denda tidak boleh dibebankan atau dialihkan sebagian atau seluruhnya kepada kas negara” sehingga badan publik tidak membebankan dendanya kepada APBN/APBD.
RUU ini hanya mengatur ancaman
pidana bagi mereka yang membuka informasi yang dikecualikan maupun yang
menerimanya (DIM 351) tetapi tidak mengatur mengenai perlindungan bagi mereka
yang dengan itikad baik membuka informasi yang dikecualikan (misal untuk
membongkar korupsi melalui investigative
journalism). Seharusnya RUU ini juga mengatur hal berikut:
- Setiap orang yang memberikan informasi mengenai pelanggaran ketentuan dalam UU ini wajib dilidungi dari tuntutuan hukum apapun;
- Setiap orang yang dengan itikad baik membuka suatu informasi yang dikecualikan wajib dilindungi dari tuntutuan hukum apapun;
- Setiap orang yang termasuk kategori huruf a dan b diatas memilik hak-hak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan saksi dan korban.
- Isu
tentang Masa Peralihan dan Penetapan PP
Masa peralihan menunjukkan
kemauan politik untuk menjamin hak atas informasi, sehingga koalisi masyarakat
sipil menghendaki pemberlakuan UU KIP secara cepat. Masa pemberlakuan hingga 3
tahun dirasa sangat lama.
Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah, tidak perlu PP untuk mengatur tentang penetapan pemberian sanksi
denda oleh badan publik. Karena seharusnya denda tidak ditanggung oleh negara
lewat APBN/APBD, tetapi ditanggung oleh mereka yang dengan sengaja melakukan
kejahatan atas hak asasi berupa hak atas informasi. Dengan demikian seharusnya
ditambahkan pasal yang menyebutkan “uang
denda tidak boleh dibebankan atau dialihkan sebagian atau seluruhnya kepada kas
negara”.
- Isu
tentang permintaan harus menyertakan alasan
Prinsip bahwa permintaan tidak memerlukan alasan sebenarnya bertujuan
untuk mempermudah akses masyarakat dalam mendapatkan informasi. Namun dalam RUU
KIP bagi masyarakat yg melakukan permintaan harus menyertakan alasan. Hal ini
dalam prakteknya akan mempersulit bagi peminta informasi dan membuka peluang
bagi pejabat publik untuk tidak memberikan informasi karena alasan yang
dikemukakan oleh peminta.
Di sisi kemauan politik,
setidaknya DPR sudah terlihat memiliki kemauan yang kuat untuk secepatnya
mengundangkan RUU KIP. Hal ini terlihat dari Pidato Ketua DPR RI, Agung Laksono
pada Penutupan Masa Sidang I (2007-2008) yang disampaikan pada tanggal 10
Oktober 2007 di Gedung DPR RI . Dalam pidato tersebut dinyatakan secara
tegas bahwa RUU Kebebasan Memperoleh
Informasi Publik merupakan salah satu RUU yang mendesak untuk diundangkan. Mudah-mudahan Indonesia segera memiliki salah
satu UU yang penting untuk membangun dasar-dasar bagi demokrasi yang
berkualitas.
D. Rekomendasi: Strategi
ICEL dalam Mendorong Terwujudnya Good
Governance Melalui Penguatan Jaminan Akses Masyarakat Terhadap Informasi di
Indonesia
Berangkat dari berbagai identifikasi permasalahan baik yang
didapat dari pengalaman melakukan advokasi kebijakan dan hukum serta berbagai
advokasi kasus yang dilakukan ICEL, untuk mendorong terwujudnya good governance melalui penguatan
jaminan akses masyarakat terhadap informasi perlu ditawarkan alternatif solusi
yang diarahkan pada: 1) Penguatan Jaminan Hukum; 2) Pengembangan Sistem
Pengelolaan Informasi dan Kapasitas Pejabat Publik (supply); dan 3)
Perubahan Kultur Publik Untuk Mendorong Permintaan Informasi (demand).
Penguatan jaminan hokum merupakan instrument penting untuk
membangun atmosfir yang jelas antara sisi supply (pemerintah/badan
publik) dengan sisi demand (masyarakat sipil). Penguatan institusi dan
perubahan kultur publik juga merupakan prasyarat penting bagi akses informasi
sebab hasil kajian ICEL memperlihatkan salah satu persoalan akses informasi ada
di kelemahan di tingkat institusi maupun kelemahan public dalam mendesakkan
akses informasi secara regular.[19]
1)
Penguatan
Jaminan Hukum (Legal Guarantee)
Penguatan jaminan hukum diarahkan untuk menciptakan dan membarui
hukum secara komprehensif untuk mewujudkan jaminan hukum yang kuat.
Internalisasi prinsip-prinsip akses informasi diperlukan dalam rangka
pengauatan jaminan hukum. Beberapa langkah yang dapat dilakukan dalam rangka
penguatan jaminan hukum adalah:
a)
Menganalisa problem-problem terkait dengan jaminan
informasi
b)
Mengidentifikasi prinsip-prinsip akses informasi yang perlu
diinternalisasikan dalam produk hukum
c)
Mengidentifikasi permasalahan substansi hukum
d) Harmonisasi
hukum terkait dengan konflik norma (inter dan antar) peraturan
perundang-undangan
e)
Menyiapkan naskah akademik bagi institusi atau daerah yang
memiliki keinginan untuk membentuk kebijakan/peraturan tentang transparansi di
daerahnya.
f) Pembuatan draft kebijakan/peraturan legal drafting dan
penguatan kapasitas legislator dalam legal drafting.
2) Pengembangan
Sistem Pengelolaan Informasi dan Kapasitas Publik (Supply)
Pengembangan sistem pengelolaan informasi diarahkan untuk
menyediakan sistem yang komprehensif untuk mendorong implementasi pelayanan
informasi. Dalam pengembangan sistem pengelolaan perlu dikedepankan agar
prinsip-prinsip informasi terinternalisasi dalam sistem tersebut. Adapun
beberapa langkah yang dapat dilakukan adalah:
a)
Melakukan identifikasi prinsip-prinsip akses informasi yang
perlu diinternalisasikan dalam sistem pengelolaan informasi
b)
Identifikasi sistem internal badan publik dan permasalahan
yang ada
c)
Menyusun blue print sistem
pengelolaan informasi. Blue print ini
terdiri dari: 1) Klasifikasi Informasi; 2) Pemetaan jenis informasi yang
dimiliki termasuk tempat informasi; 3) Tata laksana kelembagaan dalam
pengelolaan informasi termasuk sistem pendokumentasian informasi; 4) Saran dan
prasarana yang dibutuhkan; 5) Mekanisme pelayanan informasi; 6) Mekanisme
penyelesaian sengketa informasi; dan 7) Rencana alokasi anggaran yang
dibutuhkan
d) Uji
coba sistem pengelolaan informasi
e)
Menyusun Rencana Aksi Implementasi
3) Perubahan
Kultur Publik Untuk Mendorong Permintaan Informasi (Demand)
Perubahan kultur publik diarahkan untuk mendorong kesadaran
dan kapasitas publik (public awareness) dalam
mengakses hak atas informasi. Strategi perubahan kultur dapat didorong melalui
pengembangan Civil Society Organizations-CSO/(dynamic groups) yang solid dan berkapasitas. Dengan adanya CSO
atau dynamic groups yang solid dan
berkapasitas diharapkan dapat memunculkan benih-benih penyadaran melalui
pendidikan masyarakat (civil education) terhadap
penyadaran bahwa masyarakat mempunyai hak atas informasi, bagaimana cara
mendapatkannya, dan bagaimana cara memperoleh keadilan jika hak tersebut
dilanggar. Adapun beberapa langkah yang perlu dilakukan adalah:
a)
Melakukan peningkatan kapasitas masyarakat dalam mengakses
informasi. Pemberian pemahaman terhadap hak atas informasi dan bagaimana cara
mendapatkannya perlu diberikan untuk mendorong kapsitas masyarakat dalam
mendapatkan informasi. Bentuk kegiatan yang dapat dilakukan adalah melalui
training pemahaman hak atas informasi dan cara mendapatkannya. Peningkatan
kapasitas masyarakat juga perlu dilakukan melalui diseminasi berbagai perangkat
kampanye yang mengarah pada pedoman untuk mengakses informasi termasuk
penyelesaian sengketa informasi yang dapat ditempuh dan penyadaran bahwa
masyarakat mempunyai hak atas informasi.
b)
Peningkatan kapasitas penyelesaian sengketa informasi.
Kapasitas masyarakat untuk melakukan upaya-upaya penyelesaian sengketa
informasi perlu ditingkatkan sebagai bagian dari penguatan masyarakat sipil
agar dapat memperoleh akses keadilan jika terdapat sengketa atau pelanggaran
hak-haknya, khususnya hak atas informasi. Kapasitas untuk menyelesaikan
sengketa yang diberikan meliputi penyelesaian sengketa diluar pengadilan,
misalnya Metode Alternatif Penyelesaian Sengketa (MAPS) / Alternative Dispute Resolution (ADR) maupun pemahaman penyelesaian
sengketa melalui pengadilan yang dapat ditempuh terkait dengan pelanggaran hak
atas informasi.
Berikut ini Roadmap implementasi
jaminan akses informasi bagi public
BIBLIOGRAFI
Makalah/Buku
Hanif Suranto et.al. Dari Lokal Mengepung
Nasional: Dinamika Proses Legislasi Kebebasan Memperoleh Informasi Publik di
Indonesia, Koalisi Kebebasan Untuk Memperoleh Informasi Publik, Jakarta , 2007, hal 74
ICEL, Membuka Ruang Menjembatani
Kesenjangan; Gambaran Akses Informasi, Partisipasi, dan Keadilan Lingkugan di
Indonesia, Indonesian Center for Enviromental Law (ICEL), 2006, hal
136-137
Koalisi
untuk Kebebasan Informasi, Melawan Tirani Informasi!, Koalisi untuk Kebebasan
Informasi, Jakarta: 2003
Mas
Achmad Santosa, Aktualisasi
Kebebasan Informasi di Indonesia; sebuah perjalanan panjang dan mendaki, dalam
Melawan Ketertutupan Informasi; menuju pemerintahan terbuka, Koalisi
Untuk Kebebasan Informasi, Jakarta: 2003
Paulus
Widiyanto (Mantan Ketua
Pansus RUU KIP DPR-RI periode 1999-2004, Rancangan Undang-undang Rahasia
Negara, Urgenkah Sekarang?, Jakarta 25 Mei 2007
Toby
Mendel, Kebebasan
Memperoleh Informasi: Sebuah Survei Perbandingan Hukum, UNESCO Jakarta,
2004.
Indikator versi 2.0 di www.theaccessinitiative.org.
Peraturan
International
Covenant on Civil and Political Rights
PERDA No. 03/2002 tentang Transparansi Penyelenggaraan
Pemerintahan Kota Gorontalo
PERDA NO. 6/2004 tentang Transparansi dan Partisipasi
dalam Penyelenggaraan Pemerintah dan Pengelolaan Pembangunan di Kabupaten Lebak
PERDA No. 4/2005 tentang Transparansi Penyelenggaraan
Pemerintahan Provinsi Kalimantan Barat, serta
PERDA No. 2/2005 tentang Transparansi dan Partisipasi
di Kabupaten Tanah Datar.
[1] Tulisan
ini sampaikan pada acara ”Challenges and Opportunities for Freedom of
Expression; an exploration of the networked communications environment in Asia ”, Yogyakarta , 6 November 2007
[2] Josi Khatarina adalah Koordinator
Koalisi untuk Kebebasan Informasi, 2000 – 2003, Tim Perumus Koalisi 2000 –
present. Saat ini penulis adalah Deputi Direktur
Indonesian Center for Environmental Law (ICEL). Henri
Subagiyo adalah Tim Perumus Koalisi 2005 – present. Saat ini staff Pembaruan
Hukum dan Kebijakan ICEL.
[3] Mas Achmad Santosa, Aktualisasi Kebebasan Informasi di Indonesia; sebuah perjalanan
panjang dan mendaki, dalam Melawan Ketertutupan
Informasi; menuju pemerintahan terbuka, Koalisi Untuk Kebebasan
Informasi, Jakarta: 2003
[4] Membuka
Ruang Menjembatani Kesenjangan; Gambaran Akses Informasi, Partisipasi, dan
Keadilan Lingkugan di Indonesia, Indonesian Center for Enviromental Law (ICEL),
2006, hal 136-137
[5] Melawan Tirani Informasi!, Koalisi untuk Kebebasan Informasi, Jakarta. Banyak kasus ditemui
adanya hambatan dalam mendapatkan dokumen publik meskipun peraturan
perundang-undangan di Indonesia telah mengakui hak atas informasi secara umum.
Kondisi tersebut mengakibakan
ketidakpastian jaminan informasi bagi masyarakat untuk mempertahankan haknya
apabila ditolak. Sebagai contoh kasus dimana LBH Medan bermaksud untuk
mendapatkan dokumen Amdal. Dokumen Amdal merupakan dokumen publik berdasarkan
PP No.27/1999 tentang Amdal. Namun
karena belum ada jaminan hukum terhadap penolakan akses informasi atas dokumen
publik, maka hak tersebut sulit untk dipertahankan.
[6] Melawan Tirani Informasi, hal 27-54.
[7] Toby Mendel, Kebebasan Memperoleh Informasi: Sebuah Survei Perbandingan
Hukum, UNESCO Jakarta, 2004. Lihat pula indikator versi 2.0 di www.theaccessinitiative.org.
[8] Pasal 19
International Covenant on Civil and
Political Rights
[9] Paulus
Widiyanto (Mantan Ketua Pansus RUU KIP DPR-RI periode 1999-2004, Rancangan
Undang-undang Rahasia Negara, Urgenkah Sekarang?, Jakarta 25 Mei 2007
[10] Berdasarkan data Koalisi, daerah yang telah memiliki
regulasi dibidang transparansi antara lain adalah Tanah Datar, Solok, Lebak,
Bandung, Majalengka, Kebumen, Magelang, Bantul, Ngawi, Lamongan,
Boalemo, Bolaang Mangondow, Gowa, Takalar, Bulukumba, Kendari, Gorontalo,
Pontianak, dan Manado.
[11] PERDA
No. 03/2002 tentang Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan Kota Gorontalo,
PERDA NO. 6/2004 tentang Transparansi dan Partisipasi dalam Penyelenggaraan
Pemerintah dan Pengelolaan Pembangunan di Kabupaten Lebak, PERDA No. 4/2005
tentang Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan Provinsi Kalimantan Barat,
serta PERDA No. 2/2005 tentang Transparansi dan Partisipasi di Kabupaten Tanah
Datar.
[12] Pasal 7
PERDA Gorontalo
[14] Pasal
6, Pasal 22&23 PERDA Gorontalo
[15] Pasal
33 – 35 PERDA Gorontalo
[16] Pasal 4
PERDA Tanah Datar
[17] pasal
38 PERDA Gorontalo
[18] Hanif
Suranto et.al. Dari Lokal Mengepung Nasional: Dinamika Proses
Legislasi Kebebasan Memperoleh Informasi Publik di Indonesia, Koalisi
Kebebasan Untuk Memperoleh Informasi Publik, Jakarta , 2007, hal 74
[19] Op cit,
ICEL, 135 – 139.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar