TINJAUAN KONSEPTUAL YURIDIS TERHADAP KORUPSI
Oleh:
"Perilaku
pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar
dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya
dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka"
--Transparency
International --
A. Pendahuluan
Korupsi merupakan
permasalahan universal yang dihadapi oleh seluruh negara dan masalah yang pelik
yang sulit untuk diberantas, hal ini tidak lain karena masalah korupsi bukan
hanya berkaitan dengan permasalahan ekonomi semata melainkan juga terkait
dengan permasalahan politik, kekuasaan, dan penegakan hukum. Dilihat dari sudut
pandang sejarah, korupsi telah dilakukan sejak dulu hingga kini. Korupsi
dilakukan oleh seluruh tingkat usia (kecuali anak-anak). Bila dilihat dari
sudut manajemen maka korupsi terjadi mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan,
hingga tahap pengawasan kegiatan. Korupsi bila bersinggungan dengan penegakan
hukum maka akan sulit untuk diberantas karena secara otomatis akan
bersinggungan dengan orang-orang yang memiliki kekuasaan dan uang. Pada
dasarnya pelaku korupsi merupakan orang-orang yang berpendidikan dan yang
memiliki jabatan. Dengan demikian dengan mudah pelaku korupsi dapat mengerahkan
massa, membentuk opini, dan menyuap penegak hukum melalui kekuasaan dan uang.
Upaya pemberantasan korupsi
tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Di Indonesia upaya untuk
memberantas korupsi bukanlah merupakan
suatu program yang baru dimulai oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan
kebijakan pemberantasan korupsinya. Upaya pemberantasan korupsi telah mulai
dilakukan oleh pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya
peraturan yang dikeluarkan sehubungan dengan permasalahan korupsi. Selain
pembentukan peraturan perundang-undangan, pembentukan lembaga pengawasan baik
yang bersifat internal maupun eksternal telah banyak dibentuk dan dibubarkan.
Demikian pula halnya dengan kajian-kajian mengenai korupsi, oleh karena itu
tulisan ini lebih ditujukan kepada peninjauan secara yuridis konseptual
terhadap permasalahan korupsi. Peninjauan yuridis konseptual dalam konteks
tulisan ini adalah peninjauan dari sudut peraturan perundang-undangan, Undang-undang
No. 20 tahun 2001 tentang Peubahan Atas Undang-undang No. 31 tahun 1999 jo Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan
yang didasarkan pada hasil-hasil penelitian mengenai korupsi yang dilakukan
oleh World Bank, OECD (Organization for Economic Co-operation and
Development), dan Norad (The Norwegian Agency for Development
Cooperation).
B. Beberapa Tinjauan Terhadap Korupsi
1.
Definisi Korupsi
Pasal 1 butir 3 Undang-undang No.28 tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Kolusi, Korupsi, dan
Nepotisme menyatakan bahwa yang dimaksud dengan korupsi adalah sebagai berikut:
Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tindak pidana
korupsi.
Dewasa ini
peraturan yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi adalah Undang-undang No.
20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Peraturan tersebut tidak mendefinisikan
korupsi secara eksplisit. Undang-undang
No. 20 tahun 2001 hanya mengubah sebagian dari ketentuan-ketentuan dalam
Undang-undang No.31 tahun 1999. Definisi korupsi dapat ditafsirkan melalui
ketentuan yang termuat dalam Pasal 2 peraturan yang lama, yang menyatakan bahwa
setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, dipidana, …. Berdasarkan ketentuan tersebut
maka suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai korupsi apabila memenuhi
keseluruhan elemen-elemen sebagai berikut:
a. Perbuatan yang dilakukan untuk memperkaya diri sendiri, orang
lain, atau korporasi yang dilakukan secara melawan hukum;
b. Perbuatan tersebut menimbulkan kerugian terhadap keuangan negara
atau perekonomian negara;
c. Maka terhadap perbuatan tersebut dikenakan pidana
Menurut Wordnet Princeton
Education korupsi adalah lack of integrity or honesty (especially
susceptibility to bribery); use of a position of trust for dishonest gain). Colin Nye ( 1967:416) mendefinisikan korupsi sebagai
berikut:
corruption is “behaviour that deviates from
the formal duties of a public role (elective or appointive) because of
private-regarding (personal, close family, private clique) wealth or status
gains“.
Definisi terbaru dengan elemen-elemen yang sama diberikan oleh Mushtaq
Khan(1996:12):
corruption is “behaviour that deviates from
the formal rules of conduct governing the actions of someone in a position of
public authority because of private-regarding motives such as wealth, power, or
status”.
Ketiga definisi tersebut semuanya mengacu pada konsepsi yang
sama, yaitu bahwa korupsi merupakan perbuatan memperkaya diri atau orang-orang
yang memiliki kedekatan, yang dilakukan dengan mempergunakan kewenangan ataupun
kekuasaan yang ada padanya karena jabatan yang dimiliki olehnya dan perbuatan
tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
2.
Bentuk-bentuk Korupsi
Pengaturan mengenai kategorisasi perbuatan korupsi sebagaimana yang diatur
dalam Undang-undang No. 20 tahun 2001 ini bersifat lebih rinci dibandingkan
pengaturan yang ada dalam undang-undang sebelumnya. Berdasarkan penafsiran
terhadap ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-undang No. 20 tahun 2001 jo
Undang-undang No. 31 tahun 1999 maka tindak pidana korupsi dikategorisasikan
menjadi dua, yaitu tindak pidana korupsi
dan tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi.
Kategorisasi pertama tersebut dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 5 s/d 12 Undang-undang
No. 20 tahun 2001 jo Pasal 13 s/d 16 UU No. 31 tahun 1999. Kategorisasi kedua
dapat dilihat dalam 21 s/d 24 Undang-undang No. 31 tahun 1999.
Kategorisasi pertama ini lebih mengacu terhadap pelaku tindak pidana
korupsi, baik pelaku utama maupun pelaku yang sekedar memberikan bantuan
sehingga memungkinkan terjadinya korupsi. Perincian dari kategorisasi tersebut
adalah sebagai berikut:
a. Korupsi yang terjadi
antara pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan pihak non penyelenggara
negara berupa pemberian atau janji kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut
berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan
kewajiban, dilakukan berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan
kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya (vide Pasal 5 ayat
(1));
b.
Korupsi yang terjadi di lingkungan
peradilan yang dapat mempengaruhi putusan perkara, dengancara memberikan atau
menjanjikan sesuatu kepada hakim (vide Pasal 6 ayat (1));
c.
Korupsi yang terjadi di lingkungan
kegiatan pemborongan, pembangunan, dan pengadaan barang (vide Pasal 7 ayat
(1)).
d.
Penggelapan uang atau surat
berharga yang dilakukan oleh pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang
ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau sementara
waktu (vide Pasal 8);
e.
Pemalsuan yang dilakukan oleh
pegawai negeri atau orang lain selain pegawai
negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secra terus
menerus atau sementara waktu (vide Pasal 9);
f.
Gratifikasi (pemberian uang,
barang, rabat/diskon, komisi, pinjaman tanpa bungan, tiket perjalanan,
fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan lain
sebagainya) yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara
berkaitan dengan jabatan dan kewajibannya (vide Pasal 11 dan 12);
g.
Pemberian hadiah atau janji kepada
pegawai negeri karena jabatan atau kedudukannya (Pasal 13);
h.
Pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang lain baik secara
formal maupun materiil yang mengkategorikan perbuatan tersebut sebagai tindak
pidana korupsi (Pasal 14);
i.
Perbuatan percobaan pembantuan
atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 15);
j.
Perbuatan, yang terjadi di dalam
wilayah Republik Indonesia, memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau
keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi (Pasal 16).
Kategorisasi kedua menitikberatkan pada
perbuatan yang berkaitan dengan kategorisasi pertama, sebagai berikut:
a.
Perbuatan mencegah, merintangi,
atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan di sidang terdakwa maupun para saksi dalam perkara korupsi
(vide Pasal 21);
b.
Perbuatan tidak memberikan
keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar (vide Pasal 22);
c.
Pelanggaran terhadap ketentauan
dalam Pasal 220, Pasal 231, Pasal 421, Pasal 442, Pasal 429 atau Pasal 430
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (vide Pasal 23).
Sebagai bahan pembanding terhadap
kategorisasi menurut Undang-undang No. 20 tahun 2001 jo Undang-undang No. 31
tahun 1999, maka adalah sesuatu hal yang menarik bila melihat kepada kajian
yang dilakukan oleh The Norwegian Agency for Development Cooperation.
Pengkategorian tersebut ditujukan untuk mencegah timbulnya overlapping
dan tertukarnya pengertian-pengertian tersebut satu sama lainnya. Selain itu
pengkategorian korupsi ini juga memiliki tujuan untuk memudahkan
pengidentifikasian terhadap karakter-karakter dasar korupsi. Kategorisasi
tersebut adalah sebagai berikut (2004):
a.
Penyuapan adalah pembayaran
(baik dalam bentuk uang ataupun dalam bentuk lainnya) yang diberikan atau
diterima dalam suatu hubungan yang korup. Untuk membayar atau menerima suap
dapat digolongkan sebagai korupsi, dan harus dipahami sebagai inti dari
korupsi. Penyuapan adalah suatu jumlah tertentu, suatu persentase dari nilai
kontrak, atau bentuk-bentuk lain dari pemberian uang, yang biasanya dibayarkan
kepada pejabat negara yang dapat membuat kontrak atas nama negara atau
mendistribusikan keuntungan kepada negara, individu, pengusaha dan klien.
Suap sendiri dapat dibedakan atas pembayaran kembali, uang
pelicin, dan hadiah, yang diterima dari publik. Bentuk-bentuk pembayaran
tersebut ditujukan untuk mempercepat dan mempermudah berbagai urusan yang
berkaitan dengan birokrasi negara.
Pemberian tersebut dipergunakan untuk menghindari pajak,
peraturan-peraturan yang berkaitan dengan lingkungan hidup, atau bahkan untuk
memproteksi pasar dan monopoli, perizinan ekspor-impor, dan lain-lain.
Suap juga dapat berupa pajak tidak resmi, jika pejabat publik
membebankan “biaya tambahan” (under the table payment) kepada konsumen
(masyarakat/publik). Dapat pula
dikategorikan sebagai suap apabila seorang pejabat pemerintah atau orang-orang
partai yang melakukan kampanye dan kemudian oleh para pemilihnya diberikan
donasi ataupun bentuk-bentuk hadiah lainnya.
b.
Penggelapan merupakan
bentuk pencurian yang dilakukan oleh pejabat publik terhadap publik, merupakan
bentuk penyalahgunaan dana publik. Penggelapan terjadi bila pejabat negara
mencuri dari institusi publik yang dipimpinnya. Bagaimanapun, pegawai yang
tidak loyal dapat menggelapkan uang dan bentuk-bentuk lainnya dari tempat
mereka bekerja.
Dari sudut hukum, penggelapan tidak termasuk
dalam kategori korupsi. Menurut terminasi hukum korupsi merupakan transaksi
antara dua individu, yaitu pemerintah di satu sisi dan publik di sisi lainnya,
yaitu oknum pemerintah tersebut mempergunakan hukum dan peraturan untuk
melindungi dirinya dari bentuk suap. Penggelapan lebih tepat dikategorikan
sebagai bentuk pencurian karena perbuatan tersebut tidak melibatkan sisi publik
secara langsung. Berdasarkan hal
tersebut harus ada political will yang bertindak sebagai suatu kekuasaan
kehakiman yang bebas dan kemampuan hukum untuk mengawasi penggelapan. Penggelapan
merupakan bentuk dari korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Dapat dikategorikan
sebagai penggelapan adalah manakala pejabat publik melalui kekuasaan dan
kewenangan yang dimilikinya memperluas bisnis pribadi dan mendistribusikannya
kepada anggota-anggota keluarga mereka. Sejumlah bentuk perusahaan negara dan
badan usaha negara lainnya dipegang oleh orang-orang yang dekat dan keluarga
dari pihak yang berkuasa.
c.
Penipuan merupakan
kejahatan ekonomi yang melibatkan bentuk-bentuk tipuan. Hal ini merupakan perluasan
bentuk dari penggelapan dan suap. Sebagai contoh dari bentuk penipuan adalah
bila agen-agen negara dan perwakilan-perwakilan negara terikat dalam jaringan
perdagangan ilegal.
d.
Pemerasan adalah meminta
uang ataupun bentuk-bentuk lainnya yang mempergunakan kekerasan dan paksaan.
Yang dapat dikategorikan sebagai bentuk pemerasan dalam hal ini adalah
penarikan uang perlindungan atau uang keamanan yang biasa dilakukan oleh
“preman-preman”. Praktek korupsi pada bentuk ini dapat juga berasal dari atas,
jika negara sendiri yang bertindak
sebagai mafia.
e.
Kolusi merupakan
mekanisme penyalahgunaan wewenang dalam hal privatisasi dan distribusi yang bias dari sumber daya milik negara.
Kolusi merupakan perbuatan yang melibatkan orang-orang yang memiliki
kedekatan seperti misalnya keluarga, orang yang dipercayai ataupun kolega.
Kolusi berkaitan dengan korupsi yang berdampak terhadap tidak meratanya
distribusi sumber daya. Kolusi bukan hanya merupakan permasalahan hukum dan
prosedur melainkan juga menyangkut mengenai permasalahan kualifikasi, skill
dan inefisiensi.
f.
Nepotisme adalah bentuk
khusus dari kolusi, pemegang kekuasaan lebih menyenangi dalam berhubungan
dengan orang-orang tertentu seperti misalnya keluarga.
3.
Hubungan Antara Pemerintah,
Korporasi, dan Publik dalam Terjadinya Korupsi
Penyebab terjadinya korupsi dapat dilihat
dalam Pasal 3 Undang-undang No. 20 tahun 2001 jo Undang-undang No.31 tahun
1999:
setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang
ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara,...
Berdasarkan pasal tersebut maka korupsi dapat terjadi karena adanya
penyalahgunaan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan
atau kedudukan yang dapat menimbulkan kerugian terhadap keuangan negara atau
perekonomian negara.
Perbuatan korupsi terjadi bila seseorang menuntut atau
menerima uang atau dalam bentuk lainnya guna kepentingan dirinya sendiri atau
keluarga, teman dan kerabatnya. Korupsi terjadi di seluruh tingkatan
masyarakat, yaitu pada tataran (World Bank Policy Paper, 2000):
a.
Pada tataran institusi nasional,
korupsi terjadi antara pemerintah (eksekutif) dan administrasi serta institusi
birokrasi (pegawai negeri, kekuasaan kehakiman, legislatif, dan pemerintahan
daerah). Hubungan tersebut memungkinkan terjadinya korupsi, hal ini dikarenakan
adanya overlapping dan konflik kewenangan, persaingan antar partai
politik, dan hubungan antar personal sehubungan dengan kemandirian dan
loyalitas. Kontribusi faktor-faktor lain yang memperlemah pemisahan hubungan
antara pegawai negeri dan partisipan politik, lemahnya profesionalisme
birokrasi, kurangnya akuntabilitas dan transparansi administrasi, dan kurangnya
kontrol dan audit politik.
Penyalahgunaan diskresi oleh pejabat melalui penyalahgunaan peraturan
secara kompleks dan tidak transparan
memungkinkan terjadinya korupsi.
b.
Pada tataran masyarakat
nasional (publik), hubungan korupsi terjadi antara negara dan berbagai
aktor di luar negara. Di satu sisi pejabat negara yang menerima atau melakukan
korupsi (pada seluruh tingkatan); di sisi lain adalah koruptor yang memberikan
suap.
c. Pada tataran dunia usaha (korporasi), korupsi dapat menjadi
gejala dalam masyarakat ekonomi san pembangunan politik. Selain itu, seluruh
bentuk korupsi pada tataran korporasi dapat merusak moral publik dan mengurangi
kepercayaan publik dan kepercayaan terhadap hukum dan peraturan. Bagaimanapun,
dengan mempokuskan pada korupsi di sektor usaha (korporasi) semata maka elemen
inti dari korupsi akan hilang. Pada
umumnya definisi dari korupsi akan menekankan korupsi sebagai hubungan antara
negara dan masyarakat karena korupsi di sektor publik dipercayai sebagai masalah
fundamental dibandingkan korupsi di sektor usaha (korporasi), dan karena
pengawasan korupsi disektor publik merupakan prasyarat untuk mengontrol korupsi di sektor usaha (korporasi).
Menurut M.M. Khan
(2000) korupsi dapat terjadi bila sektor ekonomi dari suatu negara didominasi
oleh kelompok kecil korporasi atau tidak dikembangkannya institusi judisial
dari suatu negara atau dengan perkataan lain bergantung pada sistem politik
dari negara yang bersangkutan.
Berdasarkan pendapat Khan tersebut maka dalam kasus korupsi
ada keterkaitan yang erat antara dunia usaha, pemerintah, dan rakyat. Birokrat
merupakan pelaku utama korupsi, namun demikian birokrat bukanlah satu-satunya
pemain dalam panggung korupsi. Pengusaha turut memainkan perannya dalam menciptakan
korupsi di lingkungan birokrat. Pengusaha memainkan peran ganda, yaitu sebagai
pemain sekaligus korban dari adanya korupsi. Namun korban utama dari adanya
korupsi adalah rakyat. Rakyat sebagai korban dari korupsi sebenarnya dapat
memainkan andil dalam upaya pemberantasan korupsi.
Pada umumnya definisi mengenai korupsi dipahami sebagai hubungan yang terjadi antara negara dan
publik. Korupsi biasa diasosiasikan sebagai keterlibatan antara politisi dan
administrator publik yang korup. Korupsi seharusnya dipahami bila pegawai negeri sipil, pejabat, birokrasi
ataupun politisi menyalahgunakan posisi dan kewenangannya untuk kepentingan
pribadi, keluarga maupun kelompok.
4.
Pola Korupsi
a.
Pola Korupsi
Secara typology korupsi dapat dibedakan atas dua tipe
(World Bank Policy Paper, 2000), yaitu penguasaan oleh negara (state
capture) dan korupsi administrasi (administrative corruption).
Penguasaan oleh negara (State capture) mengacu kepada tindakan yang
dilakukan oleh individu-individu, kelompok-kelompok, atau bahkan
perusahaan-perusahaan baik dalam sektor publik maupun privat untuk mempengaruhi
formasi undang-undang, peraturan, keputusan dan kebijakan-kebijakan pemerintah
lainnya untuk kepentingan mereka dengan mempergunakan keuntungan privat yang
tidak transparan yang ditujukan kepada pejabat-pejabat publik.
Penguasaan oleh negara (State Capture) dapat dibedakan
atas tiga bentuk, yaitu:
1)
Berdasarkan institusi yang
dikuasai oleh negara, seperti misalnya legislatif, eksekutif, judikatif,
atau badan-badan pembentuk peraturan
2)
Berdasarkan objek yang dikuasai,
termasuk dalam kategori ini adalah korporasi, pemimpin-pemimpin politik atau
kelompok-kelompok kepentingan.
3)
berdasarkan jenis “pemberian “
kepada pejabat publik untuk “melakukan sesuatu”, misalnya penyuapan secara langsung,
penggelapan, pengawasan informal.
Dengan demikian penguasaan oleh negara lebih ditujukan kepada
keuntungan individu-individu atau kelompok yang ada dalam peraturan dasar,
korupsi administrasi mengacu penyalahgunaan peraturan perundang-undangan yang
berlaku untuk keuntungan tidak hanya negara tetapi juga di luar aktor-aktor
negara, hal ini terjadi akibat tidak tranparannya pembagian perolehan pejabat
publik.
C. Penutup
Pemerintah tidak mungkin
untuk memberantas korupsi yang terjadi di lingkungannya sendiri. Seperti yang
telah dipaparkan sebelumnya bahwa ada keterkaitan antara pemerintah, korporasi
dan publik dalam timbulnya korupsi. Untuk pemberantasan korupsi pemerintah
perlu memberdayakan peran korporasi dan juga masyarakat. Masing-masing pihak
perlu memiliki political capacity untuk mendorong pemberantasan korupsi.
Lembaga-lembaga negara yang
terlibat dalam pemberantasan korupsi memerlukan political will dalam
pemberantasan korupsi, disamping itu yang terjadi selama ini adalah tidak
terakomodasinya peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi.
Pemberantasan korupsi selama ini dilakukan secara parsial, tidak terpadu.
Lembaga-lembaga pengawasan keuangan yang banyak dibentuk lebih mengarah kepada overlapping
kewenangan yang berimplikasi terhadap
pengaburan tujuan dari pengawasan itu sendiri.
Selain masalah kelembagaan
yang mengatur mengenai pemberantasan korupsi, masalah pengaturan korupsi dalam
peraturan perundang-undangan pun perlu mendapatkan perhatian yang besar. Selama
ini pendefinisian mengenai korupsi tidak pernah dinyatakan secara eksplisit.
Maksud dari tidak diaturnya secara tegas mengenai definisi korupsi adalah untuk
dapat memberikan sifat kelenturan terhadap pemahaman korupsi sehingga setiap
perbuatan yang menimbulkan kerugian terhadap keuangan negara dapat digolongkan
kedalam korupsi. Namun demikian sifat kelenturan tersebut justru menimbulkan
kebimbangan di kalangan masyarakat mengenai korupsi. Pengkategorisasian
terhadap korupsi sebagaimana yang dilakukan oleh Norad setidaknya memberikan
pemahaman kepada masyarakat mengenai tindakan-tindakan yang dapat digolongkan
kedalam kategori korupsi.
Korupsi yang terjadi dewasa ini telah terakumulasi
sedemikian rupa hingga menimmbulkan
suatu pandangan bahwa korupsi adalah suatu budaya. Orang yang berkorupsi tidak
perlu merasa malu ataupun takut akan sanksi dari peraturan-peraturan yang telah
ada. Membudayanya korupsi dalam kehidupan bernegara tidak memungkinkan
pemberantasan terhadap hal tersebut dilakukan sekali waktu selesai. Korupsi
dapat dikikis secara berangsur-angsur sehingga akhirnya korupsi tersebut dapat
diberantas atau sekurang-kurangnya dapat ditekan sampai tingkat serendah
mungkin.
Berkaitan dengan upaya mengikis korupsi tersebut, berikut disampaikan
butir-butir pikiran mengenai upaya yang perlu dilakukan di Indonesia:
1.
Mereposisi peran pemerintah, dunia
usaha dan masyarakat, sebab korupsi di lingkungan pemerintah tidak akan terjadi
bila pemerintah menjalankan fungsi kepemerintahan dengan baik, sehingga setiap
tindakan pemerintah mulai dari tahap perencanaan sampai kepada tahap pengawasan
berada dalam kontrol yang tepat. Korupsi juga tidak akan terjadi bila pengusaha tidak memberikan suap kepada
pemerintah untuk memperoleh berbagai kemudahan. Masyarakat merupakan subyek
sekaligus obyek dalam kehidupan bernegara
perlu ditingkatkan perannya dalam mengawasi pemerintah. Peningkatan
peran tersebut diantaranya adalah dengan adanya dukungan akan kemudahan untuk
memperoleh informasi (terkait dengan permasalahan peraturan mengenai hak kebebasan
memperoleh informasi), perlindungan hukum atas diberikannya informasi mengenai
korupsi (terkait dengan permasalahan peraturan mengenai perlindungan saksi dan
korban/whisle blower act). Untuk tahap awal, sudah satnya korporasi dan
publik dilibatkan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan.
2.
Memulihkan tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap hukum terutama yang berkaitan dengan masalah korupsi.
Selama ini keadilan hanya dipahami sebatas kertas tidak menyentuh rasa keadilan
masyarakat (social justice). Selama ini yang terjadi adalah suatu
keputusan dianggap adil bila telah memenuhi ketentuan-ketentuan yang diatur
dalam peraturan. Sanksi yang diterima oleh pelaku pencuri ayam seringkali lebih
berat (masa penahanan lebih lama) dibandingkan sanksi yang diterima oleh pelaku
korupsi. Hukum dan keadilan selama ini telah diintervensi oleh kekuasaan dan
keadilan, yang terjadi adalah power and money supremacy.
3.
Memperbaiki mental kepemerintahan
dan korporasi yang baik dan bersih. Memperbaiki mental pemerintah dapat dimulai
dari tahap penerimaan pegawai negeri. Bila pada tahap awal telah dipengaruhi
oleh unsur-unsur KKN maka pada tahap berikutnya korupsi akan semakin
berkembang. Dirasakan perlu adanya peraturan yang mengatur kode etik mengenai
hubungan antara pemerintah dengan dunia usaha dan publik. Korporasi yang baik dan bersih dapat tercipta bila ada
iklim bersaing yang sehat (competitive private sector). Competitive private sector dapat
terwujud bila didukung dengan adanya reformasi kebijakan ekonomi, restrukturisasi
monopoli yang kompetitif, dan kemudahan dalam peraturan (pengajuan izin dan
sebagainya)
4.
Menyatukan lembaga-lembaga
pengawasan khususnya mengenai korupsi dalam satu atap, sehingga pemberantasan
korupsi mengarah kepada suatu upaya yang terpadu. Selama ini pemberantasan
korupsi tidak dilakukan secara padu. Lembaga-lembaga pengawasan banyak dibentuk
baik yang sifatnya independen dan mandiri (KPK), dibentuk berdasarkan amanat
konstitusi (BPK) maupun berdasarkan peraturan lainnya (misalnya kejaksaan dan
lain-lain). Di kalangan publik pun lembaga pengawasan terhadap korupsi telah
banyak dibentuk, sebutlah misalnya GOWA (Government Watch), Indonesian
Corruption Watch (ICW), MTI (Masyarakat Transparansi Indonesia), ITI (Indonesian
Transparancy Internasional). Alangkah baiknya bila keseluruhan
lembaga-lembaga pengawasan tersebut bersatu dan terpadu dalam satu atap dalam
memberantas korupsi di negara ini.
E. Referensi
Corruption Definition, http://wordnet.princeton.edu.com
Lambsdorff, Johann Graf, November, 1999, Working
Paper: Corruption in Empirical Research - A Review
M M Khan,2000, Political And
Administrative Corruption Annotated Bibliography, http://www.ti-bangladesh.org/docs/research/Khan.htm
Nye, J.S.: “Corruption and Political
Development: A Cost-Benefit Analysis” in American Political Science Review,
vil.61, no.2, June 1967.
Undang-undang
No. 28 Tahun 1999 tentang Pemerintahan yang Bersih dan Bebas dari Kolusi,
Korupsi, dan Nepotisme
Undang-undang No. 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
World Bank
Policy Paper, 2000, Anticorruption in
Transition A Contribution to The Policy Debate
Tidak ada komentar:
Posting Komentar