INFO PROFIL

Foto saya
JENTREK ROJOIMO WONOSOBO, jawa tengah indonesia, Indonesia
Ya Allah jadikan kami manusia yang bisa keluar dari belenggu “kemunafikan”. Bimbing kami untuk tidak mengoreksi orang lain sebelum diri ini terkoreksi ya Rabb. Jadikan kami manusia yang jujur dan tidak pernah membohongi diri sendiri apalagi orang lain. kepadaMulah kami berserah ya Allah, kepadaMulah kami bermohon karena tanpa kehendakMu kami tidak bisa berbuat apa-apa Affannur Jentrek rojoimo wonosobo . lahir13 Agustus 1989

Minggu, 27 Oktober 2013

masa iddah

Ada dua istilah untuk perceraian yang dilakukan atas dasar permintaan cerai atau biasa disebut gugatan cerai dari pihak istri. Pertama, fasakh atau pengajuan cerai oleh istri tanpa adanya kompensasi yang diberikan istri kepada suami dalam kondisi:
1. Suami tidak memberikan nafkah lahir dan batin selama enam bulan berturut-turut;
2. Suami meninggalkan istrinya selama empat tahun berturut-turut tanpa ada kabar berita ( meskipun terdapat kontroversi tentang batas waktunya );
3. Suami tidak melunasi mahar ( mas kawin ) yang telah disebutkan dalam akad nikah, baik sebagian ataupun seluruhnya ( sebelum terjadinya hubungan suami istri ); atau
4. Adanya perlakuan buruk oleh suami seperti penganiayaan, penghinaan, dan tindakan-tindakan lain yang membahayakan keselamatan dan keamanan istri.
Kedua, khulu’ atau perceraian antara suami-istri dengan keridhoan dari keduanya dan atas permintaan istri dengan pembayaran ( imbalan ) sejumlah harta yang diserahkan istri kepada suaminya serta menggunakan kata khulu’ ( gugat cerai ). Besarnya kompensasi (iwadh) bergantung kesepakatan keduanya dan disunatkan tidak melebihi jumlah mahar yang telah diberikan kepada istri. Yang berhak menjatuhkan dan mengucapkan lafazh talak adalah suami, baik dengan sepengetahuan hakim ataupun tidak.
Khulu’ dan fasakh merupakan cerai yang hukumnya halal tapi dibenci. Artinya, selama masih mungkin dipertahankan, sebaiknya bersabar dulu dan mempertimbangkan dengan masak serta berdoa agar diberi jalan yang terbaik. Jika ternyata tiada pilihan lain, maka konsekuensi hukumnya adalah pemberlakuan talak ba’in bagi istri. Talak ba’in artinya talak yang menghilangkan kesempatan rujuk, kecuali sang istri tersebut terlebih dahulu menikah dengan yang lain dan telah dukhul ( berhubungan suami-istri ). Ini menunjukkan bahwa fasakh atau khulu’ sama artinya dengan talak tiga yang berarti talak ba’in.

Namun, sebagian ulama mengatakan bahwa gugatan cerai itu berakibat pada talak ba’in shugra saja dan bukan talak ba’in kubra seperti yang telah dijelaskan tersebut. Talak ba’in shugra yaitu hilangnya hak rujuk pada suami selama masa ‘iddah. Artinya, mantan suami ingin kembali kepada mantan istrinya, maka dia diharuskan melamar dan menikah kembali dengan perempuan tersebut.  Sementara itu, istri wajib menunggu sampai masa ‘iddahnya berakhir apabila ingin menikah dengan laki-laki yang lain.
Dalam hal ini, saya lebih cenderung pada pendapat kedua karena talak yang datang dari suami atau istri pada prinsipnya sama, yaitu jatuhnya talak. Ketika gugatan cerai itu terjadi untuk yang pertama, maka yang terjadi adalah talak satu, bukan talak tiga. Sementara itu, masa ‘iddah karena talak yang datang baik dari suami atau istri adalah sama yaitu tiga kali suci dari haid atau tiga bulan jika belum atau sudah tidak haid.
Iddah adalah masa di mana seorang wanita yang diceraikan suaminya menunggu. Pada masa itu ia tidak diperbolehkan menikah atau menawarkan diri kepada laki-laki lain untuk menikahinya. ‘Iddah ini juga sudah dikenal pada masa jahiliyah.
Setelah datangnya Islam, ‘iddah tetap diakui sebagai salah satu dari ajaran syari‘at karena banyak mengandung manfaat. Para ulama telah sepakat mewajibkan iddah ini yang didasarkan pada firman Allah Ta‘ala:
Wanita-wanita yang dithalak hendaklah menahan dini (menunggu) selama tiga masa quru’. (Al—Baqarah: 228)
Lama masa quru` diada dua pendapat. Pertama, masa suci dari haidh. Kedua, masa haid sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW
“Dia (isteri) ber’iddah (menunggu) selama tiga kali masa haid. “(HR Ibnu Majah)
Demikian pula sabda beliau yang lain:
“Dia menunggu selama hari-hari quru’nya. “(HR Abu Dawud dan Nasa’i)
Hukum ‘Iddah
‘Iddah wajib bagi seorang isteri yang dicerai oleh suaminya, baik cerai karena kernatian maupun cerai karena faktor lain. Dalil yang menjadi landasan nya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan mening galkan isteri-isteri, maka hendaklah para isteri itu menangguhkan diri nya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari.“(Al-Baqarah: 234)
Dan firman-Nya yang lain:
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian menikahi wanita- wanita yang beriman, kemudian kalian hendak menceraikan mereka sebelum kalian mencampurinya, maka sekali-kali tidak Wajib atas mere ka ‘iddah bagi kalian yang kalian minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.“ (A1-Ahzab: 49)
Yang dimaksud dengan “mut’ah” di sini adalah pemberian untuk menyenangkan hati isteri yang diceraikan sebelum dicampuri.
Hikmah Disyari‘atkannya ‘Iddah
  1. Memberikan kesempatan kepada suami isteri untuk kembali kepada kehidupan rumah tangga, apabila keduanya masih melihat adanya kebaikan di dalam hal itu.
  2. Untuk mengetahui adanya kehamilan atau tidak pada isteri yang dicerai kan. Untuk selanjutnya memelihara jika terdapat bayi di dalam kandungannya, agar menjadi jelas siapa ayah dan bayi tersebut.
  3. Agar isteri yang diceraikan dapat ikut merasakan kesedihan yang dialami keluarga suaminya dan juga anak-anak mereka serta menepati permintaan suami. Hal ini jika ‘iddah tersebut di karenakan oleh kematian suami.
Larangan Bagi Wanita Yang Sedang Menjalani Masa ‘Iddah.
Di antara yang tidak boleh dilakukan oleh wanita yang sedang ber`iddah adalah:
  1. Tidak boleh menerima khitbah (lamaran) dari laki-laki lain kecuali dalam bentuk sindiran.
  2. Tidak boleh menikah
  3. Tidak boleh keluar rumah
  4. Tidak Berhias (Al-Hidad/Al-Ihtidad)
    Seorang wanita yang sedang dalam masa iddah dilarang untuk berhias atau bercantik-cantik. Dan di antara kategori berhias itu antara lain adalah:
    • Menggunakan alat perhiasan seperti emas, perak atau sutera
    • Menggunakan parfum atau wewangian
    • Menggunakan celak mata, kecuali ada sebagian ulama yang membolehkannya memakai untuk malam hari karena darurat.
    • Memakai pewarna kuku seperti pacar kuku (hinna‘) dan bentuk-bentuk pewarna lainnya.
    • Memakai pakaian yang berparfum atau dicelup dengan warna-warna seperti merah dan kuning.
Di dalam kitab Fiqhus-Sunnah, As-Sayyid Sabiq mengatakan:
“Isteri yang sedang menjalani masa ‘iddah berkewajiban untuk menetap di rumahyang ia dahulu tinggal bersama sang suami, hingga selesai masa ‘iddahnya. Dan tidak diperbolehkan baginya keluar dan rumah tensebut. Sedangkan suaminya juga tidak diperbolehkan untuk mengeluarkannya dari rumahnya. Seandainya terjadi perceraian di antara mereka berdua, sedang isterlnya tidak berada di rumah di mana mereka berdua menjalani kehidupan rumah tangga, maka si isteri wajib kembali kepada suaminya untuk sekedar suaminya mengetahuinya di mana ia berada.”
Sebagaimana disebutkan di dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala pada surat Ath-Thalaq ayat pertama.
Apabila isteri yang dithalak itu melakukan perbuatan keji secara terang- terangan memperlihatkan sesuatu yang tidak baik bagi keluarga suaminya, maka dibolehkan bagi suami untuk mengusirnya dari rumah tersebut, demikian menurut Ibnu Abbas.
Pendapat Sayyid Sabiq di atas juga ditentang oleh Aisyah Radhiyallahu Anha, Ibnu Abbas, Jabir bin Zaid, Hasan, Atha’, dan diriwayatkan dan Ali dan Jabir; di mana Aisyah sendiri pernah mengeluarkan fatwa kepada isteri yang ditinggal mati suaminya untuk keluar dan rumah pada saat menjalani masa ‘iddahnya. Lalu isteri tersebut keluar rumah bersama dengan saudara perempuannya, Ummu Kultsum berangkat ke Makkah untuk menjalankan ibadah umrah, yaitu ketika Thalhah bin Ubaid terbunuh.
.    IDDAH   (العدة)
Putusnya ikatan perkawinan, baik karena talak, khulu', fasakh ataupun karena kematian suami, tidak serta merta mantan isteri boleh menikah lagi dengan laki-laki lain, melainkan ia harus melewati suatu masa yang pada saat itu ia tidak boleh kawin dengan laki-laki lain. Dalam hukum Islam masa yang harus dilewati tersebut disebut iddah (العدة).
Secara etimologi, 'iddah merupakan masdar dari kata: عدّ – يعدّ  artinya menghitung, sehingga kata ”iddah" artinya hitungan, perhitungan. Kata ini digunakan untuk maksud iddah karena pada masa itu perempuan yang ber-iddah menghitung-hitung hari dan menunggu berlalunya waktu.  Dalam rumusan yang singkat iddah itu ialah        مدة تتربص فيها المراة masa tunggu yang dilalui seorang perempuan.  (mantan isteri). Apa yang ditunggu dan mengapa ia menunggu? dapat diketahui dari rumusan lain, di antaranya as-Sayyid Sabiq, dalam kitabnya Fiqhu as-Sunnah, II: 277, mengartikan 'iddah  dengan :
إِسْمٌ للِْمُدَّةِ الَّتىِ  تَنْتَظرُ فَيْهَا المَرْاَتُ وَتَمْتَنعُ عَنِ التَّزْوِيِْجِ بَعْدَ وَفَاةِ زَوْجهاَ اَوْ فِرَاقِهِ لَهَا
"Nama bagi suatu masa yang pada masa tersebut mantan isteri menunggu dan tidak boleh kawin setelah ditinggal mati suaminya atau setelah bercerai dari suaminya".
Menurut as-San'aniy dalam kitabnya Subul as-Salam, III: 96, 'iddah ialah:
إِسْمٌ لِمُدَّةِ تَتَرَبُّصُ بِهَا الْمَرْاَةُ  عَنِ التَّزْوِيْـجِ بَعْدَ وَفَاةِ زَوْجِهَا وَفِرَاقِهِ لهَا إِمَا  بِالْوِلاَدَةِ اَوِ الاَْقْرَاءِ اَوِالاَْشْهُرِ
"Nama bagi suatu masa yang seorang wanita menunggu dalam masa itu kesempatan  untuk kawin lagi setelah kematian suaminya atau bercerai dengan suaminya, baik dengan melahirkan anak, atau dengan beberapa kali haid, atau beberapa bulan tertentu" .
Untuk apa ia menunggu? dapat diketahui dari rumusan  Muhammad Abu Zahrah:
اَجَلٌ ضُرِبَ لا ِنـْقِضَاءِ مَا بَقِىَ مِنْ أَثَارِ النِّكاَحِ   (الاحوال الشخصيّة,ص: 435)     
"Suatu masa yang ditetapkan untuk mengakhiri pengaruh-pengaruh perkawinan" .
Ada juga yang merumuskan selain untuk mengetahui pengaruh dari perkawinan sebelumnya (hamil atau tidak),  iddah juga dilakukan dalam makna ibadah:
  (مدة تتربص فيها المراة لتعرف برائة رحمها أو للتعبد)
Hukum Melakukan Iddah
Hukum Islam mewajibkan mantan isteri yang bercerai dari suaminya atau ditinggal mati suaminya untuk menjalani iddah. Kewajiban menjalani iddah bagi seorang perempuan disebutkan dalam al-Qur'an dan al-hadis, antara lain dalam surat al-Baqarah 228:
والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء ولا يحل لهن أن يكتمن ما خلق الله في أرحامهن إن كن يؤمن بالله واليوم الآخر
Artinya : "Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat".

Hikmah 'Iddah
Ditetapkannya iddah bagi isteri karena ditinggal mati suami atau karena bercerai dari suaminya mengandung beberapa hilkmah, di antaranya:
1.      Secara umum iddah dimaksudkan untuk mengetahui kebersihan kandunga/rahim isteri dari benih yang ditinggalkan dari mantan suaminya, sehingga dapat dijaga kemurnian nasab.
2.      Dalam talak raj'I, iddah memberikan kesempatan kepada mantan suami dan mantan isteri untuk bisa ruju'.
3.      Iddah bagi isteri yang ditinggal mati oleh suaminya adalah dalam rangka berbela sungkawa.
4.      Lita'abudi, yaitu untuk beribadah melaksanakan perintah Allah.

Macam-macam Iddah
Penentuan masa dan macam iddah dalam hukum Islam ditetapkan dengan memperhatikan keadaan isteri pada saat terjadi putusnya perkawinan, seperti putusnya perkawinan karena kematian atau karena perceraian, apakah pada waktu putusnya perkawinan, suami isteri sudah pernah bergaul atau belum;  apakah isteri masih haid atau sudah tidak haid. Atas dasar ini macam dan cara  iddah dibedakan kepada: 
1. Isteri yang ditinggal mati dan  tidak dalam keadaan hamil,  iddahnya ialah empat bulan sepuluh hari. Ketentuan ini berlaku bagi isteri apakah sudah pernah dukhul  atau belum, masih haid atau tidak. Dasar hukumnya, al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 234: 
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
2. Isteri yang bercerai dengan suaminya dan ia dalam keadaan hamil, iddahnya ialah melahirkan anak. Dasar hukumnya,  al-Qur'an surat at-Talaq ayat 4: 
... وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
3. Isteri yang bercerai dengan suaminya, sudah pernah dukhul dan ia masih menstruasi, iddahnya ialah tiga kali quru', sebagaimana disebutkan dalam al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 228:
 والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء
Ulama Hanafiyah mengartikan quru' dengan haid, sedangkan ulama Syafi'iyah, Malikiyah, Zahiriyah, mengartikan quru' degan suci.
4. Isteri yang bercerai dengan suaminya, sudah pernah dukhul dan ia belum pernah haid atau sudah tidak haid lagi, iddahnya ialah tiga bulan. Dasar hukumnya,  al-Qur'an surat at-Talaq ayat 4: 
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ
5. Isteri yang bercerai dengan suaminya dan antara keduanya belum pernah berkumpul (dukhul), tidak ada iddah bagi isteri tersebut. Dasar hukumnya,  al-Qur'an surat al-Ahzab ayat 49:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا(49)
6. Isteri yang ditinggal mati suaminya dan dalam keadaan hamil. Kondisi demikian memunculkan problem. Dilihat dari kedaan bahwa isteri sedang hamil maka iddahnya ialah melahirkan kandungan, sebagaimana diatur dalam surat at-Talaq ayat 4,  akan tetapi ia juga dalam keadaan ditinggal mati suaminya dan menurut ketentuan    ayat 234 surat al-Baqarah iddahnya ialah empat bulan sepuluh hari. Dari dua ketentuan iddah ini yang mana yang berlaku? Apakah dipilih salah satunya atau keduanya harus digabungkan, setelah melahirkan lalu ditambah 4 bulan 10 hari.  Dalam hal ini ulama berbeda pendapat. Menurut jumhur ulama, kepada perempuan tersebut diberlakukan  iddah melahirkan anak, sesuai dengan ketentuan al-Qur'an yang secara khusus mengaturnya. Di samping itu juga diperkuat oleh hadis Nabi.
      Dalam pada itu Ibnu Abbas berpendapat bahwa iddah wanita tersebut ialah masa yang terpanjang antara melahirkan dengan empat bulan sepuluh hari. Apabila setelah melahirkan waktunya belum mencapai empat bulan sepuluh hari maka yang diberlakukan ialah empat bulan sepuluh hari. Akan tetapi apabila setelah empat bulan sepuluh hari dia belum melahirkan, maka yang diberlakukan ialah iddah melahirkan.

Hak Isteri dalam Masa Iddah
  Pada masa menjalani idah, isteri masih mendapatkan hak nafkah dari mantan suaminya, karena pada masa itu ia tidak boleh kawin dengan laki-laki lain. Bentuk hak yang diterima tergantung pada bentuk perceraian yang dialaminya.
1. Isteri yang dicerai dengan  talak raj'i, ia berhak nafkah penuh seperti sebelum dicerai meliputi kebutuhan makan, pakaian dan tempat tinggal. Isteri yang beriddah menjalani iddahnya di rumah mantan suaminya, seperti disebutkan dalam surat at-Talak ayat 1:
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ ...
2. Isteri yang dicerai dengan talak ba'in, baik bain sugra maupun ba'in kubra dan ia sedang hamil, ulama sepakat ia berhak nafkah dan tempat tinggal. Hal ini sebagaimana diatur dalam surat at-Talak ayat 6:
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
Akan tetapi apabila tidak sedang hamil, ulama berbeda pendapat. Umar, Ibu Umar, Ibnu Mas'ud Ibnu Abbas, Imam Malik, Imam asy-Syafi'i berpendapat mantan isteri hanya berhak atas tempat tinggal (sukna), tetapi tidak berhak   nafkah (makan dan pakaian).
Menurut Ali, Jabir, Atha', Dawud ad-Dhahiri, mantan isteri tidak berhak nafkah maupun tempat tinggal. Alasannya karena perkawinan sudah terputusa sama sekali
Menurut Abu Hanifah, as-Sauri, al_Hasan, Ibnu Syubrumah, bahwa mantan isteri berhak atas nafkah dan tempat tinggal.
3. Isteri yang ditinggal mati suaminya dan dalam keadan hamil, ulama sepakat bahwa  ia berhak nafkah dan tempat tinggal. Tetapi apabila tidak dalam keadaan hamil, para ulama berbeda pendapat. Imam Abu Hanifah, Malik dan asy-Syafi'i berpendapat bahwa isteri  dalam iddah wafat berhak atas tempat tinggal atas dasar keumuman surat al-Baqarah ayat 240 yang menyuruh isteri beriddah di rumah suami:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لِأَزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ
Imam Ahmad berpendapat bahwa isteri dalam iddah wafat dan tidak sedang hamil, tidak berhak atas nafkah dan tempat tinggal, karena Allah telah menentukan isteri berhak mendapat peninggalan dalam bentuk  warisan.
 Ada dua istilah untuk perceraian yang dilakukan atas dasar permintaan cerai atau biasa disebut gugatan cerai dari pihak istri. Pertama, fasakh atau pengajuan cerai oleh istri tanpa adanya kompensasi yang diberikan istri kepada suami dalam kondisi:
1. Suami tidak memberikan nafkah lahir dan batin selama enam bulan berturut-turut;
2. Suami meninggalkan istrinya selama empat tahun berturut-turut tanpa ada kabar berita ( meskipun terdapat kontroversi tentang batas waktunya );
3. Suami tidak melunasi mahar ( mas kawin ) yang telah disebutkan dalam akad nikah, baik sebagian ataupun seluruhnya ( sebelum terjadinya hubungan suami istri ); atau
4. Adanya perlakuan buruk oleh suami seperti penganiayaan, penghinaan, dan tindakan-tindakan lain yang membahayakan keselamatan dan keamanan istri.
Kedua, khulu’ atau perceraian antara suami-istri dengan keridhoan dari keduanya dan atas permintaan istri dengan pembayaran ( imbalan ) sejumlah harta yang diserahkan istri kepada suaminya serta menggunakan kata khulu’ ( gugat cerai ). Besarnya kompensasi (iwadh) bergantung kesepakatan keduanya dan disunatkan tidak melebihi jumlah mahar yang telah diberikan kepada istri. Yang berhak menjatuhkan dan mengucapkan lafazh talak adalah suami, baik dengan sepengetahuan hakim ataupun tidak.
Khulu’ dan fasakh merupakan cerai yang hukumnya halal tapi dibenci. Artinya, selama masih mungkin dipertahankan, sebaiknya bersabar dulu dan mempertimbangkan dengan masak serta berdoa agar diberi jalan yang terbaik. Jika ternyata tiada pilihan lain, maka konsekuensi hukumnya adalah pemberlakuan talak ba’in bagi istri. Talak ba’in artinya talak yang menghilangkan kesempatan rujuk, kecuali sang istri tersebut terlebih dahulu menikah dengan yang lain dan telah dukhul ( berhubungan suami-istri ). Ini menunjukkan bahwa fasakh atau khulu’ sama artinya dengan talak tiga yang berarti talak ba’in.

Namun, sebagian ulama mengatakan bahwa gugatan cerai itu berakibat pada talak ba’in shugra saja dan bukan talak ba’in kubra seperti yang telah dijelaskan tersebut. Talak ba’in shugra yaitu hilangnya hak rujuk pada suami selama masa ‘iddah. Artinya, mantan suami ingin kembali kepada mantan istrinya, maka dia diharuskan melamar dan menikah kembali dengan perempuan tersebut.  Sementara itu, istri wajib menunggu sampai masa ‘iddahnya berakhir apabila ingin menikah dengan laki-laki yang lain.
Dalam hal ini, saya lebih cenderung pada pendapat kedua karena talak yang datang dari suami atau istri pada prinsipnya sama, yaitu jatuhnya talak. Ketika gugatan cerai itu terjadi untuk yang pertama, maka yang terjadi adalah talak satu, bukan talak tiga. Sementara itu, masa ‘iddah karena talak yang datang baik dari suami atau istri adalah sama yaitu tiga kali suci dari haid atau tiga bulan jika belum atau sudah tidak haid.
Iddah adalah masa di mana seorang wanita yang diceraikan suaminya menunggu. Pada masa itu ia tidak diperbolehkan menikah atau menawarkan diri kepada laki-laki lain untuk menikahinya. ‘Iddah ini juga sudah dikenal pada masa jahiliyah.
Setelah datangnya Islam, ‘iddah tetap diakui sebagai salah satu dari ajaran syari‘at karena banyak mengandung manfaat. Para ulama telah sepakat mewajibkan iddah ini yang didasarkan pada firman Allah Ta‘ala:
Wanita-wanita yang dithalak hendaklah menahan dini (menunggu) selama tiga masa quru’. (Al—Baqarah: 228)
Lama masa quru` diada dua pendapat. Pertama, masa suci dari haidh. Kedua, masa haid sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW
“Dia (isteri) ber’iddah (menunggu) selama tiga kali masa haid. “(HR Ibnu Majah)
Demikian pula sabda beliau yang lain:
“Dia menunggu selama hari-hari quru’nya. “(HR Abu Dawud dan Nasa’i)
Hukum ‘Iddah
‘Iddah wajib bagi seorang isteri yang dicerai oleh suaminya, baik cerai karena kernatian maupun cerai karena faktor lain. Dalil yang menjadi landasan nya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan mening galkan isteri-isteri, maka hendaklah para isteri itu menangguhkan diri nya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari.“(Al-Baqarah: 234)
Dan firman-Nya yang lain:
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian menikahi wanita- wanita yang beriman, kemudian kalian hendak menceraikan mereka sebelum kalian mencampurinya, maka sekali-kali tidak Wajib atas mere ka ‘iddah bagi kalian yang kalian minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.“ (A1-Ahzab: 49)
Yang dimaksud dengan “mut’ah” di sini adalah pemberian untuk menyenangkan hati isteri yang diceraikan sebelum dicampuri.
Hikmah Disyari‘atkannya ‘Iddah
  1. Memberikan kesempatan kepada suami isteri untuk kembali kepada kehidupan rumah tangga, apabila keduanya masih melihat adanya kebaikan di dalam hal itu.
  2. Untuk mengetahui adanya kehamilan atau tidak pada isteri yang dicerai kan. Untuk selanjutnya memelihara jika terdapat bayi di dalam kandungannya, agar menjadi jelas siapa ayah dan bayi tersebut.
  3. Agar isteri yang diceraikan dapat ikut merasakan kesedihan yang dialami keluarga suaminya dan juga anak-anak mereka serta menepati permintaan suami. Hal ini jika ‘iddah tersebut di karenakan oleh kematian suami.
Larangan Bagi Wanita Yang Sedang Menjalani Masa ‘Iddah.
Di antara yang tidak boleh dilakukan oleh wanita yang sedang ber`iddah adalah:
  1. Tidak boleh menerima khitbah (lamaran) dari laki-laki lain kecuali dalam bentuk sindiran.
  2. Tidak boleh menikah
  3. Tidak boleh keluar rumah
  4. Tidak Berhias (Al-Hidad/Al-Ihtidad)
    Seorang wanita yang sedang dalam masa iddah dilarang untuk berhias atau bercantik-cantik. Dan di antara kategori berhias itu antara lain adalah:
    • Menggunakan alat perhiasan seperti emas, perak atau sutera
    • Menggunakan parfum atau wewangian
    • Menggunakan celak mata, kecuali ada sebagian ulama yang membolehkannya memakai untuk malam hari karena darurat.
    • Memakai pewarna kuku seperti pacar kuku (hinna‘) dan bentuk-bentuk pewarna lainnya.
    • Memakai pakaian yang berparfum atau dicelup dengan warna-warna seperti merah dan kuning.
Di dalam kitab Fiqhus-Sunnah, As-Sayyid Sabiq mengatakan:
“Isteri yang sedang menjalani masa ‘iddah berkewajiban untuk menetap di rumahyang ia dahulu tinggal bersama sang suami, hingga selesai masa ‘iddahnya. Dan tidak diperbolehkan baginya keluar dan rumah tensebut. Sedangkan suaminya juga tidak diperbolehkan untuk mengeluarkannya dari rumahnya. Seandainya terjadi perceraian di antara mereka berdua, sedang isterlnya tidak berada di rumah di mana mereka berdua menjalani kehidupan rumah tangga, maka si isteri wajib kembali kepada suaminya untuk sekedar suaminya mengetahuinya di mana ia berada.”
Sebagaimana disebutkan di dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala pada surat Ath-Thalaq ayat pertama.
Apabila isteri yang dithalak itu melakukan perbuatan keji secara terang- terangan memperlihatkan sesuatu yang tidak baik bagi keluarga suaminya, maka dibolehkan bagi suami untuk mengusirnya dari rumah tersebut, demikian menurut Ibnu Abbas.
Pendapat Sayyid Sabiq di atas juga ditentang oleh Aisyah Radhiyallahu Anha, Ibnu Abbas, Jabir bin Zaid, Hasan, Atha’, dan diriwayatkan dan Ali dan Jabir; di mana Aisyah sendiri pernah mengeluarkan fatwa kepada isteri yang ditinggal mati suaminya untuk keluar dan rumah pada saat menjalani masa ‘iddahnya. Lalu isteri tersebut keluar rumah bersama dengan saudara perempuannya, Ummu Kultsum berangkat ke Makkah untuk menjalankan ibadah umrah, yaitu ketika Thalhah bin Ubaid terbunuh.
.    IDDAH   (العدة)
Putusnya ikatan perkawinan, baik karena talak, khulu', fasakh ataupun karena kematian suami, tidak serta merta mantan isteri boleh menikah lagi dengan laki-laki lain, melainkan ia harus melewati suatu masa yang pada saat itu ia tidak boleh kawin dengan laki-laki lain. Dalam hukum Islam masa yang harus dilewati tersebut disebut iddah (العدة).
Secara etimologi, 'iddah merupakan masdar dari kata: عدّ – يعدّ  artinya menghitung, sehingga kata ”iddah" artinya hitungan, perhitungan. Kata ini digunakan untuk maksud iddah karena pada masa itu perempuan yang ber-iddah menghitung-hitung hari dan menunggu berlalunya waktu.  Dalam rumusan yang singkat iddah itu ialah        مدة تتربص فيها المراة masa tunggu yang dilalui seorang perempuan.  (mantan isteri). Apa yang ditunggu dan mengapa ia menunggu? dapat diketahui dari rumusan lain, di antaranya as-Sayyid Sabiq, dalam kitabnya Fiqhu as-Sunnah, II: 277, mengartikan 'iddah  dengan :
إِسْمٌ للِْمُدَّةِ الَّتىِ  تَنْتَظرُ فَيْهَا المَرْاَتُ وَتَمْتَنعُ عَنِ التَّزْوِيِْجِ بَعْدَ وَفَاةِ زَوْجهاَ اَوْ فِرَاقِهِ لَهَا
"Nama bagi suatu masa yang pada masa tersebut mantan isteri menunggu dan tidak boleh kawin setelah ditinggal mati suaminya atau setelah bercerai dari suaminya".
Menurut as-San'aniy dalam kitabnya Subul as-Salam, III: 96, 'iddah ialah:
إِسْمٌ لِمُدَّةِ تَتَرَبُّصُ بِهَا الْمَرْاَةُ  عَنِ التَّزْوِيْـجِ بَعْدَ وَفَاةِ زَوْجِهَا وَفِرَاقِهِ لهَا إِمَا  بِالْوِلاَدَةِ اَوِ الاَْقْرَاءِ اَوِالاَْشْهُرِ
"Nama bagi suatu masa yang seorang wanita menunggu dalam masa itu kesempatan  untuk kawin lagi setelah kematian suaminya atau bercerai dengan suaminya, baik dengan melahirkan anak, atau dengan beberapa kali haid, atau beberapa bulan tertentu" .
Untuk apa ia menunggu? dapat diketahui dari rumusan  Muhammad Abu Zahrah:
اَجَلٌ ضُرِبَ لا ِنـْقِضَاءِ مَا بَقِىَ مِنْ أَثَارِ النِّكاَحِ   (الاحوال الشخصيّة,ص: 435)     
"Suatu masa yang ditetapkan untuk mengakhiri pengaruh-pengaruh perkawinan" .
Ada juga yang merumuskan selain untuk mengetahui pengaruh dari perkawinan sebelumnya (hamil atau tidak),  iddah juga dilakukan dalam makna ibadah:
  (مدة تتربص فيها المراة لتعرف برائة رحمها أو للتعبد)
Hukum Melakukan Iddah
Hukum Islam mewajibkan mantan isteri yang bercerai dari suaminya atau ditinggal mati suaminya untuk menjalani iddah. Kewajiban menjalani iddah bagi seorang perempuan disebutkan dalam al-Qur'an dan al-hadis, antara lain dalam surat al-Baqarah 228:
والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء ولا يحل لهن أن يكتمن ما خلق الله في أرحامهن إن كن يؤمن بالله واليوم الآخر
Artinya : "Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat".

Hikmah 'Iddah
Ditetapkannya iddah bagi isteri karena ditinggal mati suami atau karena bercerai dari suaminya mengandung beberapa hilkmah, di antaranya:
1.      Secara umum iddah dimaksudkan untuk mengetahui kebersihan kandunga/rahim isteri dari benih yang ditinggalkan dari mantan suaminya, sehingga dapat dijaga kemurnian nasab.
2.      Dalam talak raj'I, iddah memberikan kesempatan kepada mantan suami dan mantan isteri untuk bisa ruju'.
3.      Iddah bagi isteri yang ditinggal mati oleh suaminya adalah dalam rangka berbela sungkawa.
4.      Lita'abudi, yaitu untuk beribadah melaksanakan perintah Allah.

Macam-macam Iddah
Penentuan masa dan macam iddah dalam hukum Islam ditetapkan dengan memperhatikan keadaan isteri pada saat terjadi putusnya perkawinan, seperti putusnya perkawinan karena kematian atau karena perceraian, apakah pada waktu putusnya perkawinan, suami isteri sudah pernah bergaul atau belum;  apakah isteri masih haid atau sudah tidak haid. Atas dasar ini macam dan cara  iddah dibedakan kepada: 
1. Isteri yang ditinggal mati dan  tidak dalam keadaan hamil,  iddahnya ialah empat bulan sepuluh hari. Ketentuan ini berlaku bagi isteri apakah sudah pernah dukhul  atau belum, masih haid atau tidak. Dasar hukumnya, al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 234: 
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
2. Isteri yang bercerai dengan suaminya dan ia dalam keadaan hamil, iddahnya ialah melahirkan anak. Dasar hukumnya,  al-Qur'an surat at-Talaq ayat 4: 
... وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
3. Isteri yang bercerai dengan suaminya, sudah pernah dukhul dan ia masih menstruasi, iddahnya ialah tiga kali quru', sebagaimana disebutkan dalam al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 228:
 والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء
Ulama Hanafiyah mengartikan quru' dengan haid, sedangkan ulama Syafi'iyah, Malikiyah, Zahiriyah, mengartikan quru' degan suci.
4. Isteri yang bercerai dengan suaminya, sudah pernah dukhul dan ia belum pernah haid atau sudah tidak haid lagi, iddahnya ialah tiga bulan. Dasar hukumnya,  al-Qur'an surat at-Talaq ayat 4: 
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ
5. Isteri yang bercerai dengan suaminya dan antara keduanya belum pernah berkumpul (dukhul), tidak ada iddah bagi isteri tersebut. Dasar hukumnya,  al-Qur'an surat al-Ahzab ayat 49:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا(49)
6. Isteri yang ditinggal mati suaminya dan dalam keadaan hamil. Kondisi demikian memunculkan problem. Dilihat dari kedaan bahwa isteri sedang hamil maka iddahnya ialah melahirkan kandungan, sebagaimana diatur dalam surat at-Talaq ayat 4,  akan tetapi ia juga dalam keadaan ditinggal mati suaminya dan menurut ketentuan    ayat 234 surat al-Baqarah iddahnya ialah empat bulan sepuluh hari. Dari dua ketentuan iddah ini yang mana yang berlaku? Apakah dipilih salah satunya atau keduanya harus digabungkan, setelah melahirkan lalu ditambah 4 bulan 10 hari.  Dalam hal ini ulama berbeda pendapat. Menurut jumhur ulama, kepada perempuan tersebut diberlakukan  iddah melahirkan anak, sesuai dengan ketentuan al-Qur'an yang secara khusus mengaturnya. Di samping itu juga diperkuat oleh hadis Nabi.
      Dalam pada itu Ibnu Abbas berpendapat bahwa iddah wanita tersebut ialah masa yang terpanjang antara melahirkan dengan empat bulan sepuluh hari. Apabila setelah melahirkan waktunya belum mencapai empat bulan sepuluh hari maka yang diberlakukan ialah empat bulan sepuluh hari. Akan tetapi apabila setelah empat bulan sepuluh hari dia belum melahirkan, maka yang diberlakukan ialah iddah melahirkan.

Hak Isteri dalam Masa Iddah
  Pada masa menjalani idah, isteri masih mendapatkan hak nafkah dari mantan suaminya, karena pada masa itu ia tidak boleh kawin dengan laki-laki lain. Bentuk hak yang diterima tergantung pada bentuk perceraian yang dialaminya.
1. Isteri yang dicerai dengan  talak raj'i, ia berhak nafkah penuh seperti sebelum dicerai meliputi kebutuhan makan, pakaian dan tempat tinggal. Isteri yang beriddah menjalani iddahnya di rumah mantan suaminya, seperti disebutkan dalam surat at-Talak ayat 1:
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ ...
2. Isteri yang dicerai dengan talak ba'in, baik bain sugra maupun ba'in kubra dan ia sedang hamil, ulama sepakat ia berhak nafkah dan tempat tinggal. Hal ini sebagaimana diatur dalam surat at-Talak ayat 6:
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
Akan tetapi apabila tidak sedang hamil, ulama berbeda pendapat. Umar, Ibu Umar, Ibnu Mas'ud Ibnu Abbas, Imam Malik, Imam asy-Syafi'i berpendapat mantan isteri hanya berhak atas tempat tinggal (sukna), tetapi tidak berhak   nafkah (makan dan pakaian).
Menurut Ali, Jabir, Atha', Dawud ad-Dhahiri, mantan isteri tidak berhak nafkah maupun tempat tinggal. Alasannya karena perkawinan sudah terputusa sama sekali
Menurut Abu Hanifah, as-Sauri, al_Hasan, Ibnu Syubrumah, bahwa mantan isteri berhak atas nafkah dan tempat tinggal.
3. Isteri yang ditinggal mati suaminya dan dalam keadan hamil, ulama sepakat bahwa  ia berhak nafkah dan tempat tinggal. Tetapi apabila tidak dalam keadaan hamil, para ulama berbeda pendapat. Imam Abu Hanifah, Malik dan asy-Syafi'i berpendapat bahwa isteri  dalam iddah wafat berhak atas tempat tinggal atas dasar keumuman surat al-Baqarah ayat 240 yang menyuruh isteri beriddah di rumah suami:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لِأَزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ
Imam Ahmad berpendapat bahwa isteri dalam iddah wafat dan tidak sedang hamil, tidak berhak atas nafkah dan tempat tinggal, karena Allah telah menentukan isteri berhak mendapat peninggalan dalam bentuk  warisan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar