Ada
dua istilah untuk perceraian yang dilakukan atas dasar permintaan cerai atau
biasa disebut gugatan cerai dari pihak istri. Pertama, fasakh atau pengajuan
cerai oleh istri tanpa adanya kompensasi yang diberikan istri kepada suami
dalam kondisi:
1. Suami tidak memberikan nafkah lahir dan batin selama enam bulan berturut-turut;
2. Suami meninggalkan istrinya selama empat tahun berturut-turut tanpa ada kabar berita ( meskipun terdapat kontroversi tentang batas waktunya );
3. Suami tidak melunasi mahar ( mas kawin ) yang telah disebutkan dalam akad nikah, baik sebagian ataupun seluruhnya ( sebelum terjadinya hubungan suami istri ); atau
4. Adanya perlakuan buruk oleh suami seperti penganiayaan, penghinaan, dan tindakan-tindakan lain yang membahayakan keselamatan dan keamanan istri.
1. Suami tidak memberikan nafkah lahir dan batin selama enam bulan berturut-turut;
2. Suami meninggalkan istrinya selama empat tahun berturut-turut tanpa ada kabar berita ( meskipun terdapat kontroversi tentang batas waktunya );
3. Suami tidak melunasi mahar ( mas kawin ) yang telah disebutkan dalam akad nikah, baik sebagian ataupun seluruhnya ( sebelum terjadinya hubungan suami istri ); atau
4. Adanya perlakuan buruk oleh suami seperti penganiayaan, penghinaan, dan tindakan-tindakan lain yang membahayakan keselamatan dan keamanan istri.
Kedua,
khulu’ atau
perceraian antara suami-istri dengan keridhoan dari keduanya dan atas
permintaan istri dengan pembayaran ( imbalan ) sejumlah harta yang diserahkan
istri kepada suaminya serta menggunakan kata khulu’
( gugat cerai ). Besarnya kompensasi (iwadh)
bergantung kesepakatan keduanya dan disunatkan tidak melebihi jumlah mahar yang
telah diberikan kepada istri. Yang berhak menjatuhkan dan mengucapkan lafazh
talak adalah suami, baik dengan sepengetahuan hakim ataupun tidak.
Khulu’
dan fasakh merupakan cerai
yang hukumnya halal tapi dibenci. Artinya, selama masih mungkin dipertahankan,
sebaiknya bersabar dulu dan mempertimbangkan dengan masak serta berdoa agar
diberi jalan yang terbaik. Jika ternyata tiada pilihan lain, maka konsekuensi
hukumnya adalah pemberlakuan talak ba’in
bagi istri. Talak ba’in
artinya talak yang menghilangkan kesempatan rujuk, kecuali sang istri tersebut
terlebih dahulu menikah dengan yang lain dan telah dukhul ( berhubungan suami-istri ). Ini
menunjukkan bahwa fasakh atau
khulu’ sama
artinya dengan talak tiga yang berarti talak
ba’in.
Namun, sebagian ulama mengatakan bahwa gugatan cerai itu berakibat pada talak ba’in shugra saja dan bukan talak ba’in kubra seperti yang telah dijelaskan tersebut. Talak ba’in shugra yaitu hilangnya hak rujuk pada suami selama masa ‘iddah. Artinya, mantan suami ingin kembali kepada mantan istrinya, maka dia diharuskan melamar dan menikah kembali dengan perempuan tersebut. Sementara itu, istri wajib menunggu sampai masa ‘iddahnya berakhir apabila ingin menikah dengan laki-laki yang lain.
Namun, sebagian ulama mengatakan bahwa gugatan cerai itu berakibat pada talak ba’in shugra saja dan bukan talak ba’in kubra seperti yang telah dijelaskan tersebut. Talak ba’in shugra yaitu hilangnya hak rujuk pada suami selama masa ‘iddah. Artinya, mantan suami ingin kembali kepada mantan istrinya, maka dia diharuskan melamar dan menikah kembali dengan perempuan tersebut. Sementara itu, istri wajib menunggu sampai masa ‘iddahnya berakhir apabila ingin menikah dengan laki-laki yang lain.
Dalam
hal ini, saya lebih cenderung pada pendapat kedua karena talak yang datang dari
suami atau istri pada prinsipnya sama, yaitu jatuhnya talak. Ketika gugatan
cerai itu terjadi untuk yang pertama, maka yang terjadi adalah talak satu,
bukan talak tiga. Sementara itu, masa ‘iddah karena talak yang datang baik dari
suami atau istri adalah sama yaitu tiga kali suci dari haid atau tiga bulan
jika belum atau sudah tidak haid.
Iddah adalah masa di mana seorang
wanita yang diceraikan suaminya menunggu. Pada masa itu ia tidak diperbolehkan
menikah atau menawarkan diri kepada laki-laki lain untuk menikahinya. ‘Iddah
ini juga sudah dikenal pada masa jahiliyah.
Setelah datangnya Islam, ‘iddah tetap
diakui sebagai salah satu dari ajaran syari‘at karena banyak mengandung
manfaat. Para ulama telah sepakat mewajibkan iddah ini yang didasarkan pada
firman Allah Ta‘ala:
Wanita-wanita yang dithalak
hendaklah menahan dini (menunggu) selama tiga masa quru’. (Al—Baqarah: 228)
Lama masa quru` diada dua
pendapat. Pertama, masa suci dari haidh. Kedua, masa haid sebagaimana yang
disabdakan Rasulullah SAW
“Dia (isteri) ber’iddah (menunggu)
selama tiga kali masa haid. “(HR Ibnu
Majah)
Demikian pula sabda beliau yang
lain:
“Dia menunggu selama hari-hari
quru’nya. “(HR Abu Dawud dan Nasa’i)
Hukum ‘Iddah
‘Iddah wajib bagi seorang isteri
yang dicerai oleh suaminya, baik cerai karena kernatian maupun cerai karena
faktor lain. Dalil yang menjadi landasan nya adalah firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala:
“Orang-orang yang meninggal dunia di
antara kalian dengan mening galkan isteri-isteri, maka hendaklah para isteri
itu menangguhkan diri nya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari.“(Al-Baqarah: 234)
Dan firman-Nya yang lain:
“Wahai orang-orang yang beriman,
apabila kalian menikahi wanita- wanita yang beriman, kemudian kalian hendak
menceraikan mereka sebelum kalian mencampurinya, maka sekali-kali tidak Wajib
atas mere ka ‘iddah bagi kalian yang kalian minta menyempurnakannya. Maka berilah
mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.“ (A1-Ahzab: 49)
Yang dimaksud dengan “mut’ah”
di sini adalah pemberian untuk menyenangkan hati isteri yang diceraikan sebelum
dicampuri.
Hikmah Disyari‘atkannya ‘Iddah
- Memberikan kesempatan kepada suami isteri untuk kembali
kepada kehidupan rumah tangga, apabila keduanya masih melihat adanya
kebaikan di dalam hal itu.
- Untuk mengetahui adanya kehamilan atau tidak pada
isteri yang dicerai kan. Untuk selanjutnya memelihara jika terdapat bayi
di dalam kandungannya, agar menjadi jelas siapa ayah dan bayi tersebut.
- Agar isteri yang diceraikan dapat ikut merasakan
kesedihan yang dialami keluarga suaminya dan juga anak-anak mereka serta
menepati permintaan suami. Hal ini jika ‘iddah tersebut di karenakan oleh
kematian suami.
Larangan Bagi Wanita Yang Sedang
Menjalani Masa ‘Iddah.
Di antara yang tidak boleh dilakukan
oleh wanita yang sedang ber`iddah adalah:
- Tidak boleh menerima khitbah (lamaran) dari laki-laki
lain kecuali dalam bentuk sindiran.
- Tidak boleh menikah
- Tidak boleh keluar rumah
- Tidak Berhias (Al-Hidad/Al-Ihtidad)
Seorang wanita yang sedang dalam masa iddah dilarang untuk berhias atau bercantik-cantik. Dan di antara kategori berhias itu antara lain adalah: - Menggunakan alat perhiasan seperti emas, perak atau
sutera
- Menggunakan parfum atau wewangian
- Menggunakan celak mata, kecuali ada sebagian ulama
yang membolehkannya memakai untuk malam hari karena darurat.
- Memakai pewarna kuku seperti pacar kuku (hinna‘)
dan bentuk-bentuk pewarna lainnya.
- Memakai pakaian yang berparfum atau dicelup dengan
warna-warna seperti merah dan kuning.
Di dalam kitab Fiqhus-Sunnah, As-Sayyid
Sabiq mengatakan:
“Isteri yang sedang menjalani masa
‘iddah berkewajiban untuk menetap di rumahyang ia dahulu tinggal bersama sang
suami, hingga selesai masa ‘iddahnya. Dan tidak diperbolehkan baginya keluar
dan rumah tensebut. Sedangkan suaminya juga tidak diperbolehkan untuk
mengeluarkannya dari rumahnya. Seandainya terjadi perceraian di antara mereka
berdua, sedang isterlnya tidak berada di rumah di mana mereka berdua menjalani
kehidupan rumah tangga, maka si isteri wajib kembali kepada suaminya untuk
sekedar suaminya mengetahuinya di mana ia berada.”
Sebagaimana disebutkan di dalam
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala pada surat Ath-Thalaq ayat pertama.
Apabila isteri yang dithalak itu
melakukan perbuatan keji secara terang- terangan memperlihatkan sesuatu yang
tidak baik bagi keluarga suaminya, maka dibolehkan bagi suami untuk mengusirnya
dari rumah tersebut, demikian menurut Ibnu Abbas.
Pendapat Sayyid Sabiq di atas juga
ditentang oleh Aisyah Radhiyallahu Anha, Ibnu Abbas, Jabir bin Zaid, Hasan,
Atha’, dan diriwayatkan dan Ali dan Jabir; di mana Aisyah sendiri pernah
mengeluarkan fatwa kepada isteri yang ditinggal mati suaminya untuk keluar dan
rumah pada saat menjalani masa ‘iddahnya. Lalu isteri tersebut keluar rumah
bersama dengan saudara perempuannya, Ummu Kultsum berangkat ke Makkah untuk
menjalankan ibadah umrah, yaitu ketika Thalhah bin Ubaid terbunuh.
.
IDDAH
(العدة)
Putusnya ikatan
perkawinan, baik karena talak, khulu', fasakh ataupun karena kematian suami,
tidak serta merta mantan isteri boleh menikah lagi dengan laki-laki lain,
melainkan ia harus melewati suatu masa yang pada saat itu ia tidak boleh kawin
dengan laki-laki lain. Dalam hukum Islam masa yang harus dilewati tersebut
disebut iddah (العدة).
Secara etimologi,
'iddah merupakan masdar dari kata: عدّ
– يعدّ artinya menghitung,
sehingga kata ”iddah" artinya hitungan, perhitungan. Kata ini digunakan
untuk maksud iddah karena pada masa itu perempuan yang ber-iddah
menghitung-hitung hari dan menunggu berlalunya waktu. Dalam rumusan yang
singkat iddah itu ialah مدة تتربص فيها المراة masa tunggu yang dilalui seorang
perempuan. (mantan isteri). Apa yang ditunggu dan mengapa ia menunggu?
dapat diketahui dari rumusan lain, di antaranya as-Sayyid Sabiq, dalam kitabnya
Fiqhu as-Sunnah, II: 277, mengartikan 'iddah dengan :
إِسْمٌ
للِْمُدَّةِ الَّتىِ تَنْتَظرُ فَيْهَا المَرْاَتُ وَتَمْتَنعُ عَنِ
التَّزْوِيِْجِ بَعْدَ وَفَاةِ زَوْجهاَ اَوْ فِرَاقِهِ لَهَا
"Nama bagi suatu
masa yang pada masa tersebut mantan isteri menunggu dan tidak boleh kawin
setelah ditinggal mati suaminya atau setelah bercerai dari suaminya".
Menurut as-San'aniy
dalam kitabnya Subul as-Salam, III: 96, 'iddah ialah:
إِسْمٌ
لِمُدَّةِ تَتَرَبُّصُ بِهَا الْمَرْاَةُ عَنِ التَّزْوِيْـجِ بَعْدَ
وَفَاةِ زَوْجِهَا وَفِرَاقِهِ لهَا إِمَا بِالْوِلاَدَةِ اَوِ الاَْقْرَاءِ
اَوِالاَْشْهُرِ
"Nama bagi suatu
masa yang seorang wanita menunggu dalam masa itu kesempatan untuk kawin
lagi setelah kematian suaminya atau bercerai dengan suaminya, baik dengan
melahirkan anak, atau dengan beberapa kali haid, atau beberapa bulan
tertentu" .
Untuk apa ia
menunggu? dapat diketahui dari rumusan Muhammad Abu Zahrah:
اَجَلٌ
ضُرِبَ لا ِنـْقِضَاءِ مَا بَقِىَ مِنْ أَثَارِ النِّكاَحِ (الاحوال
الشخصيّة,ص: 435)
"Suatu masa yang
ditetapkan untuk mengakhiri pengaruh-pengaruh perkawinan" .
Ada juga yang
merumuskan selain untuk mengetahui pengaruh dari perkawinan sebelumnya (hamil
atau tidak), iddah juga dilakukan dalam makna ibadah:
(مدة تتربص فيها المراة لتعرف برائة رحمها أو للتعبد)
Hukum Melakukan Iddah
Hukum Islam
mewajibkan mantan isteri yang bercerai dari suaminya atau ditinggal mati
suaminya untuk menjalani iddah. Kewajiban menjalani iddah bagi seorang
perempuan disebutkan dalam al-Qur'an dan al-hadis, antara lain dalam
surat al-Baqarah 228:
والمطلقات
يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء ولا يحل لهن أن يكتمن ما خلق الله في أرحامهن إن كن
يؤمن بالله واليوم الآخر
Artinya :
"Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam
rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat".
Hikmah 'Iddah
Ditetapkannya iddah
bagi isteri karena ditinggal mati suami atau karena bercerai dari suaminya
mengandung beberapa hilkmah, di antaranya:
1.
Secara umum iddah
dimaksudkan untuk mengetahui kebersihan kandunga/rahim isteri dari benih yang
ditinggalkan dari mantan suaminya, sehingga dapat dijaga kemurnian nasab.
2.
Dalam talak raj'I,
iddah memberikan kesempatan kepada mantan suami dan mantan isteri untuk bisa
ruju'.
3.
Iddah bagi isteri
yang ditinggal mati oleh suaminya adalah dalam rangka berbela sungkawa.
4.
Lita'abudi,
yaitu
untuk beribadah melaksanakan perintah Allah.
Macam-macam Iddah
Penentuan masa dan
macam iddah dalam hukum Islam ditetapkan dengan memperhatikan keadaan isteri
pada saat terjadi putusnya perkawinan, seperti putusnya perkawinan karena
kematian atau karena perceraian, apakah pada waktu putusnya perkawinan, suami
isteri sudah pernah bergaul atau belum; apakah isteri masih haid atau
sudah tidak haid. Atas dasar ini macam dan cara iddah dibedakan
kepada:
1. Isteri yang
ditinggal mati dan tidak dalam keadaan hamil, iddahnya ialah empat
bulan sepuluh hari. Ketentuan ini berlaku bagi isteri apakah sudah pernah
dukhul atau belum, masih haid atau tidak. Dasar hukumnya, al-Qur'an surat
al-Baqarah ayat 234:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ
أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا
بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ
بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
2. Isteri yang
bercerai dengan suaminya dan ia dalam keadaan hamil, iddahnya ialah melahirkan
anak. Dasar hukumnya, al-Qur'an surat at-Talaq ayat 4:
...
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ
اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
3. Isteri yang
bercerai dengan suaminya, sudah pernah dukhul dan ia masih menstruasi, iddahnya
ialah tiga kali quru', sebagaimana disebutkan dalam al-Qur'an surat al-Baqarah
ayat 228:
والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثة
قروء
Ulama Hanafiyah
mengartikan quru' dengan haid, sedangkan ulama Syafi'iyah, Malikiyah,
Zahiriyah, mengartikan quru' degan suci.
4.
Isteri yang bercerai dengan suaminya, sudah pernah dukhul dan ia belum pernah
haid atau sudah tidak haid lagi, iddahnya ialah tiga bulan. Dasar
hukumnya, al-Qur'an surat at-Talaq ayat 4:
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ
نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ
يَحِضْنَ
5. Isteri yang
bercerai dengan suaminya dan antara keduanya belum pernah berkumpul (dukhul), tidak
ada iddah bagi isteri tersebut. Dasar hukumnya, al-Qur'an surat al-Ahzab
ayat 49:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ
الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا
لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ
سَرَاحًا جَمِيلًا(49)
6. Isteri yang
ditinggal mati suaminya dan dalam keadaan hamil. Kondisi demikian memunculkan
problem. Dilihat dari kedaan bahwa isteri sedang hamil maka iddahnya ialah
melahirkan kandungan, sebagaimana diatur dalam surat at-Talaq ayat 4,
akan tetapi ia juga dalam keadaan ditinggal mati suaminya dan menurut
ketentuan ayat 234 surat al-Baqarah iddahnya ialah empat
bulan sepuluh hari. Dari dua ketentuan iddah ini yang mana yang berlaku? Apakah
dipilih salah satunya atau keduanya harus digabungkan, setelah melahirkan lalu
ditambah 4 bulan 10 hari. Dalam hal ini ulama berbeda pendapat. Menurut
jumhur ulama, kepada perempuan tersebut diberlakukan iddah melahirkan
anak, sesuai dengan ketentuan al-Qur'an yang secara khusus mengaturnya. Di
samping itu juga diperkuat oleh hadis Nabi.
Dalam pada itu Ibnu Abbas berpendapat bahwa iddah wanita tersebut ialah masa
yang terpanjang antara melahirkan dengan empat bulan sepuluh hari. Apabila setelah
melahirkan waktunya belum mencapai empat bulan sepuluh hari maka yang
diberlakukan ialah empat bulan sepuluh hari. Akan tetapi apabila setelah empat
bulan sepuluh hari dia belum melahirkan, maka yang diberlakukan ialah iddah
melahirkan.
Hak
Isteri dalam Masa Iddah
Pada masa
menjalani idah, isteri masih mendapatkan hak nafkah dari mantan suaminya,
karena pada masa itu ia tidak boleh kawin dengan laki-laki lain. Bentuk hak
yang diterima tergantung pada bentuk perceraian yang dialaminya.
1. Isteri yang
dicerai dengan talak raj'i, ia berhak nafkah penuh seperti sebelum
dicerai meliputi kebutuhan makan, pakaian dan tempat tinggal. Isteri yang
beriddah menjalani iddahnya di rumah mantan suaminya, seperti disebutkan dalam
surat at-Talak ayat 1:
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ
النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا
اللَّهَ رَبَّكُمْ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا
أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يَتَعَدَّ
حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ ...
2. Isteri yang
dicerai dengan talak ba'in, baik bain sugra maupun ba'in kubra dan ia sedang
hamil, ulama sepakat ia berhak nafkah dan tempat tinggal. Hal ini sebagaimana
diatur dalam surat at-Talak ayat 6:
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ
وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ
حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ
لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
Akan tetapi apabila tidak
sedang hamil, ulama berbeda pendapat. Umar, Ibu Umar, Ibnu Mas'ud Ibnu Abbas,
Imam Malik, Imam asy-Syafi'i berpendapat mantan isteri hanya berhak atas tempat
tinggal (sukna), tetapi tidak berhak nafkah (makan dan pakaian).
Menurut Ali, Jabir,
Atha', Dawud ad-Dhahiri, mantan isteri tidak berhak nafkah maupun tempat
tinggal. Alasannya karena perkawinan sudah terputusa sama sekali
Menurut Abu Hanifah,
as-Sauri, al_Hasan, Ibnu Syubrumah, bahwa mantan isteri berhak atas nafkah dan
tempat tinggal.
3. Isteri yang
ditinggal mati suaminya dan dalam keadan hamil, ulama sepakat bahwa ia
berhak nafkah dan tempat tinggal. Tetapi apabila tidak dalam keadaan hamil,
para ulama berbeda pendapat. Imam Abu Hanifah, Malik dan asy-Syafi'i
berpendapat bahwa isteri dalam iddah wafat berhak atas tempat tinggal
atas dasar keumuman surat al-Baqarah ayat 240 yang menyuruh isteri beriddah di
rumah suami:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ
مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لِأَزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى
الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ
Imam Ahmad
berpendapat bahwa isteri dalam iddah wafat dan tidak sedang hamil, tidak berhak
atas nafkah dan tempat tinggal, karena Allah telah menentukan isteri berhak
mendapat peninggalan dalam bentuk warisan.
1. Suami tidak memberikan nafkah lahir dan batin selama enam bulan
berturut-turut;
2. Suami meninggalkan istrinya selama empat tahun berturut-turut tanpa ada kabar berita ( meskipun terdapat kontroversi tentang batas waktunya );
3. Suami tidak melunasi mahar ( mas kawin ) yang telah disebutkan dalam akad nikah, baik sebagian ataupun seluruhnya ( sebelum terjadinya hubungan suami istri ); atau
4. Adanya perlakuan buruk oleh suami seperti penganiayaan, penghinaan, dan tindakan-tindakan lain yang membahayakan keselamatan dan keamanan istri.
2. Suami meninggalkan istrinya selama empat tahun berturut-turut tanpa ada kabar berita ( meskipun terdapat kontroversi tentang batas waktunya );
3. Suami tidak melunasi mahar ( mas kawin ) yang telah disebutkan dalam akad nikah, baik sebagian ataupun seluruhnya ( sebelum terjadinya hubungan suami istri ); atau
4. Adanya perlakuan buruk oleh suami seperti penganiayaan, penghinaan, dan tindakan-tindakan lain yang membahayakan keselamatan dan keamanan istri.
Kedua,
khulu’ atau
perceraian antara suami-istri dengan keridhoan dari keduanya dan atas
permintaan istri dengan pembayaran ( imbalan ) sejumlah harta yang diserahkan
istri kepada suaminya serta menggunakan kata khulu’
( gugat cerai ). Besarnya kompensasi (iwadh)
bergantung kesepakatan keduanya dan disunatkan tidak melebihi jumlah mahar yang
telah diberikan kepada istri. Yang berhak menjatuhkan dan mengucapkan lafazh
talak adalah suami, baik dengan sepengetahuan hakim ataupun tidak.
Khulu’
dan fasakh merupakan cerai
yang hukumnya halal tapi dibenci. Artinya, selama masih mungkin dipertahankan,
sebaiknya bersabar dulu dan mempertimbangkan dengan masak serta berdoa agar
diberi jalan yang terbaik. Jika ternyata tiada pilihan lain, maka konsekuensi
hukumnya adalah pemberlakuan talak ba’in
bagi istri. Talak ba’in
artinya talak yang menghilangkan kesempatan rujuk, kecuali sang istri tersebut
terlebih dahulu menikah dengan yang lain dan telah dukhul ( berhubungan suami-istri ). Ini
menunjukkan bahwa fasakh atau
khulu’ sama
artinya dengan talak tiga yang berarti talak
ba’in.
Namun, sebagian ulama mengatakan bahwa gugatan cerai itu berakibat pada talak ba’in shugra saja dan bukan talak ba’in kubra seperti yang telah dijelaskan tersebut. Talak ba’in shugra yaitu hilangnya hak rujuk pada suami selama masa ‘iddah. Artinya, mantan suami ingin kembali kepada mantan istrinya, maka dia diharuskan melamar dan menikah kembali dengan perempuan tersebut. Sementara itu, istri wajib menunggu sampai masa ‘iddahnya berakhir apabila ingin menikah dengan laki-laki yang lain.
Namun, sebagian ulama mengatakan bahwa gugatan cerai itu berakibat pada talak ba’in shugra saja dan bukan talak ba’in kubra seperti yang telah dijelaskan tersebut. Talak ba’in shugra yaitu hilangnya hak rujuk pada suami selama masa ‘iddah. Artinya, mantan suami ingin kembali kepada mantan istrinya, maka dia diharuskan melamar dan menikah kembali dengan perempuan tersebut. Sementara itu, istri wajib menunggu sampai masa ‘iddahnya berakhir apabila ingin menikah dengan laki-laki yang lain.
Dalam
hal ini, saya lebih cenderung pada pendapat kedua karena talak yang datang dari
suami atau istri pada prinsipnya sama, yaitu jatuhnya talak. Ketika gugatan
cerai itu terjadi untuk yang pertama, maka yang terjadi adalah talak satu,
bukan talak tiga. Sementara itu, masa ‘iddah karena talak yang datang baik dari
suami atau istri adalah sama yaitu tiga kali suci dari haid atau tiga bulan
jika belum atau sudah tidak haid.
Iddah adalah masa di mana seorang
wanita yang diceraikan suaminya menunggu. Pada masa itu ia tidak diperbolehkan
menikah atau menawarkan diri kepada laki-laki lain untuk menikahinya. ‘Iddah
ini juga sudah dikenal pada masa jahiliyah.
Setelah datangnya Islam, ‘iddah tetap
diakui sebagai salah satu dari ajaran syari‘at karena banyak mengandung
manfaat. Para ulama telah sepakat mewajibkan iddah ini yang didasarkan pada
firman Allah Ta‘ala:
Wanita-wanita yang dithalak
hendaklah menahan dini (menunggu) selama tiga masa quru’. (Al—Baqarah: 228)
Lama masa quru` diada dua
pendapat. Pertama, masa suci dari haidh. Kedua, masa haid sebagaimana yang
disabdakan Rasulullah SAW
“Dia (isteri) ber’iddah (menunggu)
selama tiga kali masa haid. “(HR Ibnu
Majah)
Demikian pula sabda beliau yang
lain:
“Dia menunggu selama hari-hari
quru’nya. “(HR Abu Dawud dan Nasa’i)
Hukum ‘Iddah
‘Iddah wajib bagi seorang isteri
yang dicerai oleh suaminya, baik cerai karena kernatian maupun cerai karena
faktor lain. Dalil yang menjadi landasan nya adalah firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala:
“Orang-orang yang meninggal dunia di
antara kalian dengan mening galkan isteri-isteri, maka hendaklah para isteri
itu menangguhkan diri nya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari.“(Al-Baqarah: 234)
Dan firman-Nya yang lain:
“Wahai orang-orang yang beriman,
apabila kalian menikahi wanita- wanita yang beriman, kemudian kalian hendak
menceraikan mereka sebelum kalian mencampurinya, maka sekali-kali tidak Wajib
atas mere ka ‘iddah bagi kalian yang kalian minta menyempurnakannya. Maka berilah
mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.“ (A1-Ahzab: 49)
Yang dimaksud dengan “mut’ah”
di sini adalah pemberian untuk menyenangkan hati isteri yang diceraikan sebelum
dicampuri.
Hikmah Disyari‘atkannya ‘Iddah
- Memberikan kesempatan kepada suami isteri untuk kembali
kepada kehidupan rumah tangga, apabila keduanya masih melihat adanya
kebaikan di dalam hal itu.
- Untuk mengetahui adanya kehamilan atau tidak pada
isteri yang dicerai kan. Untuk selanjutnya memelihara jika terdapat bayi
di dalam kandungannya, agar menjadi jelas siapa ayah dan bayi tersebut.
- Agar isteri yang diceraikan dapat ikut merasakan
kesedihan yang dialami keluarga suaminya dan juga anak-anak mereka serta
menepati permintaan suami. Hal ini jika ‘iddah tersebut di karenakan oleh
kematian suami.
Larangan Bagi Wanita Yang Sedang
Menjalani Masa ‘Iddah.
Di antara yang tidak boleh dilakukan
oleh wanita yang sedang ber`iddah adalah:
- Tidak boleh menerima khitbah (lamaran) dari laki-laki
lain kecuali dalam bentuk sindiran.
- Tidak boleh menikah
- Tidak boleh keluar rumah
- Tidak Berhias (Al-Hidad/Al-Ihtidad)
Seorang wanita yang sedang dalam masa iddah dilarang untuk berhias atau bercantik-cantik. Dan di antara kategori berhias itu antara lain adalah: - Menggunakan alat perhiasan seperti emas, perak atau
sutera
- Menggunakan parfum atau wewangian
- Menggunakan celak mata, kecuali ada sebagian ulama
yang membolehkannya memakai untuk malam hari karena darurat.
- Memakai pewarna kuku seperti pacar kuku (hinna‘)
dan bentuk-bentuk pewarna lainnya.
- Memakai pakaian yang berparfum atau dicelup dengan
warna-warna seperti merah dan kuning.
Di dalam kitab Fiqhus-Sunnah, As-Sayyid
Sabiq mengatakan:
“Isteri yang sedang menjalani masa
‘iddah berkewajiban untuk menetap di rumahyang ia dahulu tinggal bersama sang
suami, hingga selesai masa ‘iddahnya. Dan tidak diperbolehkan baginya keluar
dan rumah tensebut. Sedangkan suaminya juga tidak diperbolehkan untuk
mengeluarkannya dari rumahnya. Seandainya terjadi perceraian di antara mereka
berdua, sedang isterlnya tidak berada di rumah di mana mereka berdua menjalani
kehidupan rumah tangga, maka si isteri wajib kembali kepada suaminya untuk
sekedar suaminya mengetahuinya di mana ia berada.”
Sebagaimana disebutkan di dalam
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala pada surat Ath-Thalaq ayat pertama.
Apabila isteri yang dithalak itu
melakukan perbuatan keji secara terang- terangan memperlihatkan sesuatu yang
tidak baik bagi keluarga suaminya, maka dibolehkan bagi suami untuk mengusirnya
dari rumah tersebut, demikian menurut Ibnu Abbas.
Pendapat Sayyid Sabiq di atas juga
ditentang oleh Aisyah Radhiyallahu Anha, Ibnu Abbas, Jabir bin Zaid, Hasan,
Atha’, dan diriwayatkan dan Ali dan Jabir; di mana Aisyah sendiri pernah
mengeluarkan fatwa kepada isteri yang ditinggal mati suaminya untuk keluar dan
rumah pada saat menjalani masa ‘iddahnya. Lalu isteri tersebut keluar rumah
bersama dengan saudara perempuannya, Ummu Kultsum berangkat ke Makkah untuk
menjalankan ibadah umrah, yaitu ketika Thalhah bin Ubaid terbunuh.
.
IDDAH
(العدة)
Putusnya ikatan
perkawinan, baik karena talak, khulu', fasakh ataupun karena kematian suami,
tidak serta merta mantan isteri boleh menikah lagi dengan laki-laki lain,
melainkan ia harus melewati suatu masa yang pada saat itu ia tidak boleh kawin
dengan laki-laki lain. Dalam hukum Islam masa yang harus dilewati tersebut
disebut iddah (العدة).
Secara etimologi,
'iddah merupakan masdar dari kata: عدّ
– يعدّ artinya menghitung,
sehingga kata ”iddah" artinya hitungan, perhitungan. Kata ini digunakan
untuk maksud iddah karena pada masa itu perempuan yang ber-iddah
menghitung-hitung hari dan menunggu berlalunya waktu. Dalam rumusan yang
singkat iddah itu ialah مدة تتربص فيها المراة masa tunggu yang dilalui seorang
perempuan. (mantan isteri). Apa yang ditunggu dan mengapa ia menunggu?
dapat diketahui dari rumusan lain, di antaranya as-Sayyid Sabiq, dalam kitabnya
Fiqhu as-Sunnah, II: 277, mengartikan 'iddah dengan :
إِسْمٌ
للِْمُدَّةِ الَّتىِ تَنْتَظرُ فَيْهَا المَرْاَتُ وَتَمْتَنعُ عَنِ
التَّزْوِيِْجِ بَعْدَ وَفَاةِ زَوْجهاَ اَوْ فِرَاقِهِ لَهَا
"Nama bagi suatu
masa yang pada masa tersebut mantan isteri menunggu dan tidak boleh kawin
setelah ditinggal mati suaminya atau setelah bercerai dari suaminya".
Menurut as-San'aniy
dalam kitabnya Subul as-Salam, III: 96, 'iddah ialah:
إِسْمٌ
لِمُدَّةِ تَتَرَبُّصُ بِهَا الْمَرْاَةُ عَنِ التَّزْوِيْـجِ بَعْدَ
وَفَاةِ زَوْجِهَا وَفِرَاقِهِ لهَا إِمَا بِالْوِلاَدَةِ اَوِ الاَْقْرَاءِ
اَوِالاَْشْهُرِ
"Nama bagi suatu
masa yang seorang wanita menunggu dalam masa itu kesempatan untuk kawin
lagi setelah kematian suaminya atau bercerai dengan suaminya, baik dengan
melahirkan anak, atau dengan beberapa kali haid, atau beberapa bulan
tertentu" .
Untuk apa ia
menunggu? dapat diketahui dari rumusan Muhammad Abu Zahrah:
اَجَلٌ
ضُرِبَ لا ِنـْقِضَاءِ مَا بَقِىَ مِنْ أَثَارِ النِّكاَحِ (الاحوال
الشخصيّة,ص: 435)
"Suatu masa yang
ditetapkan untuk mengakhiri pengaruh-pengaruh perkawinan" .
Ada juga yang
merumuskan selain untuk mengetahui pengaruh dari perkawinan sebelumnya (hamil
atau tidak), iddah juga dilakukan dalam makna ibadah:
(مدة تتربص فيها المراة لتعرف برائة رحمها أو للتعبد)
Hukum Melakukan Iddah
Hukum Islam
mewajibkan mantan isteri yang bercerai dari suaminya atau ditinggal mati
suaminya untuk menjalani iddah. Kewajiban menjalani iddah bagi seorang
perempuan disebutkan dalam al-Qur'an dan al-hadis, antara lain dalam
surat al-Baqarah 228:
والمطلقات
يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء ولا يحل لهن أن يكتمن ما خلق الله في أرحامهن إن كن
يؤمن بالله واليوم الآخر
Artinya :
"Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam
rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat".
Hikmah 'Iddah
Ditetapkannya iddah
bagi isteri karena ditinggal mati suami atau karena bercerai dari suaminya
mengandung beberapa hilkmah, di antaranya:
1.
Secara umum iddah
dimaksudkan untuk mengetahui kebersihan kandunga/rahim isteri dari benih yang
ditinggalkan dari mantan suaminya, sehingga dapat dijaga kemurnian nasab.
2.
Dalam talak raj'I,
iddah memberikan kesempatan kepada mantan suami dan mantan isteri untuk bisa
ruju'.
3.
Iddah bagi isteri
yang ditinggal mati oleh suaminya adalah dalam rangka berbela sungkawa.
4.
Lita'abudi,
yaitu
untuk beribadah melaksanakan perintah Allah.
Macam-macam Iddah
Penentuan masa dan
macam iddah dalam hukum Islam ditetapkan dengan memperhatikan keadaan isteri
pada saat terjadi putusnya perkawinan, seperti putusnya perkawinan karena
kematian atau karena perceraian, apakah pada waktu putusnya perkawinan, suami
isteri sudah pernah bergaul atau belum; apakah isteri masih haid atau
sudah tidak haid. Atas dasar ini macam dan cara iddah dibedakan
kepada:
1. Isteri yang
ditinggal mati dan tidak dalam keadaan hamil, iddahnya ialah empat
bulan sepuluh hari. Ketentuan ini berlaku bagi isteri apakah sudah pernah
dukhul atau belum, masih haid atau tidak. Dasar hukumnya, al-Qur'an surat
al-Baqarah ayat 234:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ
أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا
بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ
بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
2. Isteri yang
bercerai dengan suaminya dan ia dalam keadaan hamil, iddahnya ialah melahirkan
anak. Dasar hukumnya, al-Qur'an surat at-Talaq ayat 4:
...
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ
اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
3. Isteri yang
bercerai dengan suaminya, sudah pernah dukhul dan ia masih menstruasi, iddahnya
ialah tiga kali quru', sebagaimana disebutkan dalam al-Qur'an surat al-Baqarah
ayat 228:
والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثة
قروء
Ulama Hanafiyah
mengartikan quru' dengan haid, sedangkan ulama Syafi'iyah, Malikiyah,
Zahiriyah, mengartikan quru' degan suci.
4.
Isteri yang bercerai dengan suaminya, sudah pernah dukhul dan ia belum pernah
haid atau sudah tidak haid lagi, iddahnya ialah tiga bulan. Dasar
hukumnya, al-Qur'an surat at-Talaq ayat 4:
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ
نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ
يَحِضْنَ
5. Isteri yang
bercerai dengan suaminya dan antara keduanya belum pernah berkumpul (dukhul), tidak
ada iddah bagi isteri tersebut. Dasar hukumnya, al-Qur'an surat al-Ahzab
ayat 49:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ
الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا
لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ
سَرَاحًا جَمِيلًا(49)
6. Isteri yang
ditinggal mati suaminya dan dalam keadaan hamil. Kondisi demikian memunculkan
problem. Dilihat dari kedaan bahwa isteri sedang hamil maka iddahnya ialah
melahirkan kandungan, sebagaimana diatur dalam surat at-Talaq ayat 4,
akan tetapi ia juga dalam keadaan ditinggal mati suaminya dan menurut
ketentuan ayat 234 surat al-Baqarah iddahnya ialah empat
bulan sepuluh hari. Dari dua ketentuan iddah ini yang mana yang berlaku? Apakah
dipilih salah satunya atau keduanya harus digabungkan, setelah melahirkan lalu
ditambah 4 bulan 10 hari. Dalam hal ini ulama berbeda pendapat. Menurut
jumhur ulama, kepada perempuan tersebut diberlakukan iddah melahirkan
anak, sesuai dengan ketentuan al-Qur'an yang secara khusus mengaturnya. Di
samping itu juga diperkuat oleh hadis Nabi.
Dalam pada itu Ibnu Abbas berpendapat bahwa iddah wanita tersebut ialah masa
yang terpanjang antara melahirkan dengan empat bulan sepuluh hari. Apabila setelah
melahirkan waktunya belum mencapai empat bulan sepuluh hari maka yang
diberlakukan ialah empat bulan sepuluh hari. Akan tetapi apabila setelah empat
bulan sepuluh hari dia belum melahirkan, maka yang diberlakukan ialah iddah
melahirkan.
Hak
Isteri dalam Masa Iddah
Pada masa
menjalani idah, isteri masih mendapatkan hak nafkah dari mantan suaminya,
karena pada masa itu ia tidak boleh kawin dengan laki-laki lain. Bentuk hak
yang diterima tergantung pada bentuk perceraian yang dialaminya.
1. Isteri yang
dicerai dengan talak raj'i, ia berhak nafkah penuh seperti sebelum
dicerai meliputi kebutuhan makan, pakaian dan tempat tinggal. Isteri yang
beriddah menjalani iddahnya di rumah mantan suaminya, seperti disebutkan dalam
surat at-Talak ayat 1:
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ
النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا
اللَّهَ رَبَّكُمْ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا
أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يَتَعَدَّ
حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ ...
2. Isteri yang
dicerai dengan talak ba'in, baik bain sugra maupun ba'in kubra dan ia sedang
hamil, ulama sepakat ia berhak nafkah dan tempat tinggal. Hal ini sebagaimana
diatur dalam surat at-Talak ayat 6:
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ
وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ
حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ
لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
Akan tetapi apabila tidak
sedang hamil, ulama berbeda pendapat. Umar, Ibu Umar, Ibnu Mas'ud Ibnu Abbas,
Imam Malik, Imam asy-Syafi'i berpendapat mantan isteri hanya berhak atas tempat
tinggal (sukna), tetapi tidak berhak nafkah (makan dan pakaian).
Menurut Ali, Jabir,
Atha', Dawud ad-Dhahiri, mantan isteri tidak berhak nafkah maupun tempat
tinggal. Alasannya karena perkawinan sudah terputusa sama sekali
Menurut Abu Hanifah,
as-Sauri, al_Hasan, Ibnu Syubrumah, bahwa mantan isteri berhak atas nafkah dan
tempat tinggal.
3. Isteri yang
ditinggal mati suaminya dan dalam keadan hamil, ulama sepakat bahwa ia
berhak nafkah dan tempat tinggal. Tetapi apabila tidak dalam keadaan hamil,
para ulama berbeda pendapat. Imam Abu Hanifah, Malik dan asy-Syafi'i
berpendapat bahwa isteri dalam iddah wafat berhak atas tempat tinggal
atas dasar keumuman surat al-Baqarah ayat 240 yang menyuruh isteri beriddah di
rumah suami:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ
مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لِأَزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى
الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ
Imam Ahmad
berpendapat bahwa isteri dalam iddah wafat dan tidak sedang hamil, tidak berhak
atas nafkah dan tempat tinggal, karena Allah telah menentukan isteri berhak
mendapat peninggalan dalam bentuk warisan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar