PERNIKAHAN MUSLIM DENGAN NON MUSLIM
DALAM TAFSIR TEMATIK AL-QUR'AN
Affanoer Jentrek ROjoimo
ABSTRAK
Pernikahan beda agama merupakan masalah yang serius dalam pergulatan
pemikiran bangsa Indonesia
antara yang pro dan kontra. Makalah ini menyoroti hukum pernikahan beda agama
menurut Muhammadiya dengan menggunakan Tafsir
Tematik al-Qur'an, setelah melakukan kajian ayat 221 al-Baqarah dan al-Mâidah
ayat 5 serta melihat konteks keindonesiaan, pada akhirnya berkesimpulan bahwa
haram hukumnya pernikahan orang Muslim dengan orang yang beda agama (di samping
Yahudi dan Nasrani juga agama lainnya), baik bagi pria Muslim maupun wanita
Muslim.
Pendahuluan
Hubungan antar umat
beragama telah lama menjadi isu yang populer di Indonesia. Popularitas isu ini
sebagai konsekuensi dari masyarakat Indonesia yang majmuk, khususnya
dari segi agama dan etnis. Karena itu, persoalan hubungan antar umat beragama
ini menjadi perhatian dari berbagai kalangan, tidak hanya pemerintah tetapi
juga komponen lain dari bangsa ini, sebut saja misalnya, LSM, lembaga
keagamaan, baik Islam maupun non Islam dan lain sebagainya.
Muhammadiyah
sebagai salah satu lembaga keagamaan yang berbasis Islam yang merupakan bagian
dari komponen bangsa ini tertarik juga untuk mencoba ikut mengurai gagasan
secara akademis hubungan antar umat beragama. Salah satu persoalan di dalam
hubungan antar agama ini adalah persoalan pernikahan Muslim dengan non-Muslim
(selanjutnya disebut: pernikahan beda agama). Sesuai dengan jargon Muhammadiyah
yang menjadikan al-Qur'an dan al-Sunnah sebagai dasar berpijak, maka perspektif
Muhammadiyah dalam melihat pernikahan beda agama ini juga didasarkan pada dua
sumber ajaran tersebut.
Ketertarikan
Muhammadiyah untuk terlibat dalam diskusi pernikahan beda agama, agaknya
merupakan bagian dari sensifitas Muhammadiyah dalam merespon persoalan
kewarganegaraan Indonesia yang multi agama dan etnis di satu sisi, dan fakta
Islam sebagai agama yang dianut oleh sebagian besar warga negara Indonesia di
pihak lain. Dua sisi tersebut dimungkinkan dapat berbenturan satu dengan
lainnya. Dengan mendiskusikan persoalan ini, tampaknya Muhammadiyah bermaksud
untuk dapat ikut menata problem kewarganegaraan Indonesia yang majemuk itu berjalan
tanpa harus berseberangan dengan ajaran agama yang dipahaminya yang agama itu
memang menjadi bagian dari sensifitas seorang Muslim.
Sebagaimana
diketahui bahwa di samping perintah agama, pernikahan merupakan bagian dari
kemanusiaan seseorang. Perwujudan pernikahan seorang Muslim misalnya, dalam
batas-batas tertentu memang melampaui batas agamanya ketika ia hidup dalam
kemajemukan warga dari aspek agama seperti di Indonesia ini. Dalam kondisi
kemajukan seperti itu, seorang Muslim hampir dipastikan sulit untuk menghindari
dari persentuhan dan pergaulan dengan orang yang beda agama. Pada posisi
seperti ini ketertarikan pria atau wanita Muslim dengan orang yang beda agama
dengannya atau sebaliknya, yang berujung pada pernikahan hampir pasti tidak
terelakkan. Dengan kata lain, persoalan pernikahan antar agama hampir pasti
terjadi pada setiap masyarakat yang majemuk.
Kajian yang
dilakukan oleh Muhammadiyah tentang pernikahan beda agama ini, misalnya dapat
dilihat dalam Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam (MTPPI) PP
Muhammadiyah, Tafsir al-Qur'an Tematik, diterbitkan oleh Pustaka Suara
Muhammadiyah, 2000. Buku tafsir ini dibagi menjadi empat bab. Bab pertama
membahas tentang prinsip-prinsip hubungan antar umat beragama. Bab kedua,
diberi topik menjaga hubungan baik dan kerjasama antar umat beragama. Bab
ketiga, mendeskripsikan tentang ahli kitab, sedangkan bab keempat
membahas pernikahan beda agama dalam al-Qur'an. Makalah yang singkat ini tidak
mencoba mendiskusikan semua topik seperti tertuang dalam buku tafsir tersebut,
namun mencoba untuk mendiskusikan bab keempat dari buku tafsir itu, khususnya
larangan pernikahan beda agama.
Menurut Tafsir
Tematik Al-Qur'an, pernikahan beda agama dapat ditemui dalam tiga surat,[1] yaitu surat al-Baqarah (2): 221[2]; surat al-Mumtahanah (60): 10[3]; dan surat al-Mâidah
(5): 5[4]. Surat al-Baqarah
(2): 221 berbicara tentang ketidakbolehan pria Muslim menikah dengan wanita
musyrik, begitu juga sebaliknya ketidakbolehan wanita Muslimah dinikahkan dengan
pria musyrik, sedangkan al-Mumtahanah (60): 10, menegaskan bahwa baik
pria Muslim maupun wanita Muslimah tidak diperkenankan menikah dengan orang
kafir.[5] Adapun surat al-Mâidah
(5): 5 membolehkan pria Muslim menikahi wanita ahli kitab tetapi tidak sebaliknya.
Dari tiga surat seperti disebutkan
di atas, setidaknya bisa dipilah menjadi dua, yaitu pertama, bagi wanita
Muslimah tidak boleh menikah, baik dengan pria musyrik maupun dengan ahli
kitab. Adapun kedua, bagi pria Muslim, diberikan pilihan, tidak diperbolehkan
menikahi wanita musyrik, sedangkan menikahi wanita ahli kitab diperbolehkan. Di
sini, wanita non Muslimah dibedakan antara wanita musyrik dengan ahli kitab.
Untuk
mendiskusikan hukum pernikahan beda agama ini, Tafsir Tematik al-Qur'an
membahas sosok wanita musyrik dan wanita ahli kitab seperti dikemukakan
al-Qur'an pada surat
al-Baqarah: 221 dan al-Mâidah: 5. Dua hal ini tampaknya menurut Tafsir
Tematik Al-Qur'an, menjadi kata kunci untuk masuk pada pembahasan hukum
pernikahan beda agama itu dibolehkan atau diharamkan.
Pernikahan dengan Wanita Musyrik
Membahas
pernikahan dengan wanita musyrik ini, Tafsir Tematik al-Qur'an, memuat
komentar mufassir kenamaan, yaitu al-Thabari. Al-Thabari, seorang mufassir
klasik ini dalam bukunya: Jâmi` al-Bayân fi Tafsîr al-Qur'an,[6] ketika
membahas surat al-Baqarah
(2): 221, menyebutkan ada tiga pendapat dalam menafsirkan wanita musyrik. Pertama,
yang dimaksudkan wanita musyrik di situ adalah mencakup wanita-wanita musyrik
dari bangsa Arab dan bangsa lainnya. Namun kemudian ketentuan hukumnya dihapus
oleh al-Mâidah (5): 5, yang membolehkan pria Muslim menikah dengan
wanita ahli kitab. Kedua, yang dimaksudkan dengan wanita muysrik dalam
ayat itu adalah wanita musyrik dari bangsa Arab yang tidak memiliki kitab suci dan
menyembah berhala. Ketiga, pendapat yang menyatakan bahwa wanita musyrik
dalam ayat ini mencakup semua perempuan yang menganut politheisme dalam segala
bentuknya, baik Yahudi, Kristen maupun Majusi. Dari tiga pendapat di atas,
al-Thabari sendiri berpendapat bahwa pendapat kedua lebih râjih.[7] Dengan
kata lain, kata al-Thabari, wanita dalam al-Baqarah(2): 221 itu harus
dibedakan dengan wanita ahli kitab.
Pendapat
al-Thabari di atas sesuai dengan asbâb al-nuzulnya. Dalam asbâb
al-nuzul dari al-Baqarah: 221 ini dikisahkan bahwa Abdullah b.
Rawahah menikah dengan seorang budak perempuan yang telah dimerdekakannya.
Perempuan yang dinikahi Ibn Ruwahah ini sebelumnya adalah seorang musyrik Arab.
Tindakan salah satu sahabat Nabi ini banyak menjadi pembicaraan di kalangan
para sahabat dengan tanggapan yang minor. Tindakan Abdullah ini memang agak
menentang arus umum pada waktu itu oleh karena banyak pria Muslim (para
sahabat) yang berbeda dengan apa yang dilakukan Abdullah. Namun, al-Qur'an
justru membela tindakan Abdullah ini, lalu turunlah ayat 221 surat al-Baqarah tersebut.[8]
Memperhatikan asbâb
nuzulnya, seperti dijelaskan di atas, menurut hemat penulis, agaknya ada
situasi yang menunjukkan adanya kekhawatiran Nabi atas realitas
sahabat-sahabatnya, dimana masih banyak yang menikah dengan wanita musyrik.
Dari asbâb al-nuzul ini dapat diketahui bahwa ayat ini agaknya merupakan
antisipasi preventif al-Qur'an setelah melihat realitas para sahabat Nabi.
Berdasarkan asbâb
al-nuzul ayat 221 surat
al-Baqarah di atas, wanita musyrik yang dimaksud dalam ayat tersebut
adalah wanita musyrik yang hidup pada zaman Nabi yang tidak beragama, yaitu
wanita penyembah berhala dan tidak memiliki kitab suci. Pelarangan ini
tampaknya dapat dipahami karena situasi waktu itu, khususnya bagi orang Islam
masih dalam situasi konsolidasi sebagai komunitas yang baru tumbuh dalam waktu
yang belum terlalu lama. Ayat ini turun ketika Nabi belum lama menjadi pemimpin
kota Madinah.
Tampaknya, Nabi sebagai pemegang otoritas merasa harus melakukan intervensi
terhadap persoalan pernikahan orang Islam menjadi bagian dari tugas
kekhalifannya. Di sini, Nabi menjalankan dua fungsi sekaligus, yaitu sebagai
pemimpin masyarakat Madinah dan tugas kenabian serta kerasulannya untuk
membimbing umat Islam dengan cara mempertahankan keutuhan umat Islam.
Melalui penegasan
seperti dijelaskan secara tekstual dalam surat
al-Baqarah: 221 di atas, pernikahan beda agama tidak begitu menjadi
masalah ketika Nabi masih hidup oleh karena ketaatan kepada Nabi sangat tinggi.
Namun, pemahaman ayat ini menjadi masalah ketika orang Islam telah berinteraksi
dengan berbagai komponen bangsa lain pasca perluasan wilayah yang terjadi di
dunia Islam, lebih-lebih masyarakat dewasa ini sebagai bentuk pergaulan yang
telah mengalami globalisasi, hampir dipastikan sulit untuk menghindari
interaksi dengan orang yang beda agama. Oleh karena itu, ada pertanyaan, apakah
wanita muysrik seperti yang disebut dalam surat
al-Baqarah: 221 itu bisa disamakan dengan wanita non Islam yang hidup
dewasa ini, yang situsasinya berbeda dengan masa Nabi? Dalam bebera kasus,
pernikahan beda agama terjadi karena murni faktor kemanusiaan dari kedua belah
pihak. Di sini, pemahaman ayat menjadi persoalan, dan dipihak lain, pemegang
otoritas penafsiran, dalam hal ini Nabi telah wafat. Oleh karena itu,
pluralitas pemahaman ayat tersebut menjadi sulit untuk dihindari kemunculannya.
Meski demikian, mayoritas ulama tidak memperkenankan seorang lelaki muslim
menikah dengan wanita musyrikah.
Pernikahan dengan Ahli Kitab
Pembahasan
pernikahan dengan ahli kitab disinggung dalam surat al-Mâidah (5) ayat 5. Ayat ini
turun 7 tahun setelah turunnya surat
al-Baqarah (2): 221. Berdasarkan pemahaman tekstual ayat ini, bagi pria
Muslim, pernikahan dengan wanita ahli kitab diperbolehkan. Al-Thabari, seperti
dikutip Tafsir Tematik al-Qur'an,[9]
mengatakan bahwa wanita ahli kitab tidak termasuk wanita musyrik sehingga al-Mâidah
ayat 5, seperti disinggung di muka tidak bertentangan dengan al-Baqarah:
221.[10]
Ibn Umar, salah
satu putra Umar b. Khattab, berpendapat bahwa ahli kitab itu sebagai penganut
kemusyrikan yang lebih besar daripada kemusyrikan yang dianut bangsa Arab.
Apakah statemen Ibn Umar ini berarti ia mengharamkan pernikahan dengan ahli
kitab? Mengomentari pernyataan Ibn b. Umar ini, al-Jashshas, salah seorang
mufassir kesohor bermazhab Hanafi, seperti dikutip Tafsir Tematik al-Qur'an,
menyatakan bahwa sebetulnya Ibn Umar tidak sampai mengharamkan, tetapi tidak
senang melihat orang Islam menikah dengan ahli kitab.[11]
Dalam satu
riwayat, Umar b. Khattab, ketika mendengar karibnya Huzaifah menikah
dengan seorang wanita Yahudi, Umar
meminta dengan hormat kepada Huzaifah untuk dengan ikhlas mau menceraikan
istrinya yang non Islam itu. Ketika ditanya, apakah permohonan Umar kepada
Huzaifah itu menunjukkan bahwa Umar berpendat bahwa menikah dengan wanita ahli
kitab itu haram? Saat itu, Umar b. Khattab, yang ketika memohon sedang memangku
jabatan sebagai khalifah yang kedua dari khulafa' rasyidun itu, menyatakan:
tidak, tetapi saya khawatir kalian akan meninggalkan wanita beriman dan lebih
memilih mereka.[12]
Permintaan Umar b. Khattab ini nampak ada unsur sosiologis dalam rangka
kepentingan wanita Muslimah. Seperti dilakukan oleh Nabi, Umar b. Khattab
memang memiliki sensifitas untuk melindungi umat Islam.
Wanita ahli kitab
yang boleh dinikahi seperti dijelaskan dalam ayat di atas, adalah wanita yang
menjaga kehormatan dan memiliki kitab, yaitu Yahudi dan Kristen. Dengan kata
lain, Muhammadiyah berkesimpulan bahwa ahli kitab seperti disinggung al-Qur'an itu
memang selalu terkait dengan umat Yahudi dan umat Kristen. Temuan ini sesuai
dengan temuan Muahammad Ghalib dalam disertasinya, bahwa ahli kitab yang
disinggung al-Qur'an itu adalah Yahudi dan Nasrani.[13]
Berdasarkan pada ciri ini, yaitu wanita ahli kitab itu adalah wanita non Muslim
yang memiliki kitab suci, dalam hal ini dari kalangan Yahudi dan Nasrani, maka
wanita non Islam selain Kristen dan Yahudi tidak boleh dinikahi.
Alasan
Larangan Pernikahan Beda Agama
Pada
paparan-paparan seperti dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa menurut Tafsir
Tematik al-Qur'an, al-Qur'an melarang seorang Muslim, baik pria maupun
wanita menikah dengan orang musyrik. Tafsir Tematik al-Qur'an
berpendapat bahwa surat
al-Baqarah (2): 221 telah menyebutkan apa yang biasa dikatakan sebagai alasan (`illah)
penetapan larangan pernikahan dengan orang musyrik, yaitu karena mengajak ke
neraka.
Kata musyrik dalam
ayat tersebut, menurut analisis Tafsir Tematik al-Qur'an, dengan
demikian, merujuk pada agama. Alasan kesimpulan ini didasarkan pada `iilah
penetapan pelarangan wanita dan pria musyrik tidak boleh dinikahi, menurut ayat
itu, karena akan mengajak pasangan hidupnya ke neraka, yang berupa kekafiran
kepada Allah dan Rasul-Nya. Ajakan mereka ini secara diametral bertentangan
dengan ajakan Allah yang mengajak kepada surga dan ampunan.[14]
Pernikahan, kata
Rasyid Ridha,[15]
seperti dikutip Tafsir Tematik al-Qur'an, merupakan faktor yang
memberikan ruang dan mendorong orang untuk bersikap toleran terhadap
pasangannya dalam banyak hal. Setiap sikap mempermudah dan toleran terhadap
pria dan wanita musyrik itu dilarang dan harus dihindari dampak buruknya,
meskipun pendapat Ridha ini tidak disetujui oleh al-Jashshas sebagai alasan
utama. Kata al-Jashshas, alasan seperti dikemukakan Ridha ini bukan `illah
mujibah tetapi `illah penyerta semata bagi haramnya pernikahan
dengan wanita dan pria musyrik. Menurutnya, sebab dilarangnya pernikahan itu
adalah kemusyrikannya yang dianut oleh orang musyrik sendiri. Sebab kalau
mengajak ke neraka itu dijadikan sebagai `illah, al-Qur'an sendiri
memperbolehkan pria Muslim menikahi wanita ahli kitab.[16] Dari
bantahan ini tampaknya al-Jashshash menyamakan antara wanita ahli kitab dengan
wanita musyrik.
Tafsir Tematik
al-Qur'an sendiri agaknya menerjemahkan mengajak ke neraka itu sebagai memiliki nuansa agama. Kesimpulan
ini, menurut analisis Tafsir Tematik al-Qur'an, karena orang-orang yang dilarang untuk
dinikahi itu dalam al-Qur'an disebut dengan menggunakan identitas agama. Di
samping itu, ketika menetapkan aturan larangan pernikahan dalam surat al-Baqarah:
221, kitab suci itu menggiringnya dengan pernyataan yang khas agama:
"mereka mengajak ke neraka", yang kemudian mereka dipahami sebagai
alasan penyebab dan penyerta, seperti telah dikemukakan di muka.
Meskipun
berdasarkan pemahaman tekstual atas al-Mâidah: 5 bahwa pria Muslim
diperbolehkan menikai wanita ahli kitab, namun karena al-Qur'an, disimpulkan Tafsir
Tematik al-Qur'an, menyebutkan larangan itu terkait sebagai motif
agama, maka dalam kontek Indonesia, menurut Tafsir Tematik al-Qur'an,
bila pernikahan beda agama diperbolehkan, akan mengakibatkan rusaknya kerukunan
antar agama yang telah diupayakan sedemikian rupa. Berdasarkan perspektif ini,
pelarangan oleh MUI dan hukum positif, dalam perspektif syari`ah dapat
dibenarkan. Tampaknya, Tafsir Tematik al-Qur'an berpendapat bahwa alasan
pelarangan bukan semata karena berangkat persoalan agama semata, tetapi juga
pernikahan itu sudah menjadi urusan publik.
Kesimpulan
Untuk menutup
tulisan yang singkat ini, perlu disampaikan kesimpulan hukum pernikahan beda
agama menurut Muhammadiyah. Seperti dikemukakan dalam uaraian-uraian di muka,
bahwa Tafsir Tematik al-Qur'an, setelah melakukan kajian ayat 221
al-Baqarah dan al-Mâidah ayat 5 serta melihat konteks keindonesiaan,
pada akhirnya berkesimpulan bahwa haram hukumnya pernikahan orang Muslim dengan
orang yang beda agama (di samping Yahudi dan Nasrani juga agama lainnya), baik
bagi pria Muslim maupun wanita Muslim. Analisis-analisis yang dikemukan untuk
memperkuat kesimpulannya, tafsir ini melakukan analisis secara mendalam atas
ayat yang melarang pernikahan beda agama, seperti telah dipaparkan di muka. Wallahu
A`lam bi al-Shawab.
Daftar Pustaka
Ismatu Ropi, "Wacana Inklusif Ahl al-Kitab",
dalam Paramadina: Jurnal Pemikiran Islam , Volume 1, Nomor 2 1999.
Al-Jashshash, Ahkâm al-Qur'an (Beirut: Dar al-Kitab
al-`Araby, 1335 H).
Muhammad Ghalib, Ahl al-Kitab: Makna dan Cakupannya
(Jakarta: Paramadina, 1998).
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, VI.
MTPPI, Tafsir Tematik al-Qur'an (Jogjakarta: Pustaka Suara
Muhammadiyah, 2000).
Nurcholish Madjid, dkk., Fiqih Lintas Agama:
Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2004).
Ruslani, Masyarakat Kitab dan Dialog Antar Agama
(Yogyakarta: Bentang Budaya, 2000).
Al-Tabari, Jâmi`
al-Bayân fi Tafsîr al-Qur'an (Beirut: Dar al-Fikr, 1978), II.
[1]Lihat,
MTPPI, Tafsir Tematik al-Qur'an (Yogyakarta:
Pustaka Suara Muhammadiyah, 2000), 159-162.
[2]ولا تنكحوا
المشركات حتى يؤمن ولامة مؤمنة خير من مشركة ولو أعجبتكم لا تنكحوا المشركين حتى
يؤمنوا ولعبد مؤمن خير من مشرك ولوا أعجبكم
أولئك يدعون الى النار والله يدعو الى الجنة والمغفرة بإذنه ويبين آيته
للناس لعلهم يتذكرون
[3] ياأيها
الذين آمنوا إذا جاءكم المؤمنات مهاجرات فامتحنوهن، الله اعلم بإيمانهن، فإن
علمتموهن مؤمنات فلا ترجعوهن الى الكفار، لا هن حل لهم ولا هم يحلون لهن وآتوهم ما
أنفقوا، ولا جناح عليكم أن تنكحوهن إذا آتيتموهن أجورهن...
[4] اليوم احل
لكم الطيبات، وطعام الذين أوتوا الكتاب حل لكم وطعامكم حل لهم، والمحصنات من
المؤمنات والمحصنات من الذين أوتوا الكتاب من قبلكم إذا آتيتموهن أجورهن محصنين
غير مسفحين ولا متخذى أخذان، ومن يكفر بالايمان فقد حبط عمله وهو فى الاخرة من
الخاسرين
[5]Surat al-Mumtahanah (60): 10 ini tidak banyak
diulas di dalam buku tafsir ini secara panjang lebar sebagaimana dua surat lainnya. Padahal
ayat ini memiliki relevansi tinggi terhadap pemahaman pernikahan beda agama
ini.
[6]Al-Tabari,
Jâmi` al-Bayân fi Tafsîr al-Qur'an (Beirut: Dar al-Fikr, 1978), II, 221;
PP Muhammadiyah, Tafsir Tematik, 170.
[7]Al-Thabari,
Jâmi` al-Bayân, 222.
[8]Ibid. 223.
[9]PP
Muhammadiyah, Tafsir Tematik, 176-177.
[10]Ibid.,
222.
[11]Al-Jashshash,
Ahkâm al-Qur'an (Beirut:
Dar al-Kitab al-`Araby, 1335 H), 332-3.
[12]Al-Thabari,
Jâmi` al-Bayân, II, 222.
[13]Lihat,
Muhammad Ghalib, Ahl al-Kitab: Makna dan Cakupannya (Jakarta:
Paramadina, 1998).
[14]MTPPI, Tafsir
al-Qur'an Tematik, 214.
[15]Muhammad
Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, VI, 193.
[16]Ibid.,
215.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar