Diantara Jalan Sufi Gusdur
Diantara Jalan Sufi Gusdur
Oleh: Affanoer
Kharisma Gus Dur, setelah wafatnya, ternyata melebihi realitas kehidupannya. Keharuman spiritual yang eksotis, begitu lekat dan fenomenal. Hal ini tentu berhubungan dengan kondisi sosiologis masyarakat NU yang seringkali membuat standar maqom spiritual seseorang diukur dengan kharisma dan keanehan yang luar biasa (khariqul ‘adat) berupa karomah-karomah, walau pun dalam perspektif Sufisme standar tersebut tidak baku.
Kharisma Gus Dur, setelah wafatnya, ternyata melebihi realitas kehidupannya. Keharuman spiritual yang eksotis, begitu lekat dan fenomenal. Hal ini tentu berhubungan dengan kondisi sosiologis masyarakat NU yang seringkali membuat standar maqom spiritual seseorang diukur dengan kharisma dan keanehan yang luar biasa (khariqul ‘adat) berupa karomah-karomah, walau pun dalam perspektif Sufisme standar tersebut tidak baku.
Dalam khazanah tasawuf, tradisi kewalian seseorang sangat ketat
dengan aturan-aturan gnostik (ma’rifatullah) yang teraksentuasi dalam
sikap ubudiyah. Ada dua model kewalian dalam sosiologi Tasawuf, di satu
sisi seorang wali ada yang sangat popular dengan hal-hal luar biasa di
luar jangkauan nalar, ada pula yang sangat tersembunyi, bahkan
kehebatan karomahnya tidak dikenal oleh public sama sekali.
Namun, Gus Dur memiliki fenomena spiritual yang langka dibanding
kiai-kai lain di Jawa, karena harus muncul dalam gebrakan sejarah yang
penuh warna. Dari sosoknya sebagai budayawan, seniman, kiai, politisi,
pemikir, pembaharu, dan seorang yang mampu mengangkat khazanah
tradisional dalam dialog cosmopolitan yang actual. Dan spirit yang
membawa sosoknya sedemikian kuat itu, dilandaskan pada spiritualitas
yang sangat kaya dengan kebebasan, kemerdekaan, penghargaan
kemanusiaan, sekaligus askestisme yang tersembunyi dalam jiwanya: Dunia
Sufi.
Sufisme Gus Dur yang selama ini hanya difahami oleh massanya,
melalui kebiasaan ziarah ke makam para wali, ungkapan-ungkapan yang
controversial, dan spontanitasnya yang inspiratif, serta garis
keturunan seorang Ulama dan wali yang terkenal, Hadhratusy Syeikh
Hasyim Asy’ari, pendiri NU. Namun, laku Sufistik Gus Dur justru
terletak pada sikap dan konsistensinya terhadap nilai-nilai tasawuf
yang sama sekali tidak terpaku pada simbolisme tasawuf sebagaimana
gerakan kaum Sufi modern saat ini.
Komunikasi Ilahiyah yang selama ini terjalin adalah “hubungan
rahasia” yang sunyi di tengah-tengah hiruk pikuk dunia, dan melakukan
gerakan terlibat dengan kehidupan nyata, dengan keberanian mengambil
resiko bahaya, demi mempertahankan prinsip utamanya. Namun di sisi
lain, ada konser kebahagiaan yang berirama indah dalam musikal
dzikrullah, saat Gus Dur sedang sendiri, menyepi (khalwat) dalam jedah
kesehariannya. Dua sisi hiburan spiritual yang boleh disebut sangat
langka: Ramai dalam sunyi, dan sunyi dalam ramai.
Pengaruh dari nuansa yang diyakini itu, Gus Dur justru mampu
melakukan terobosan yang luar biasa, begitu cepat. Dalam 20 tahun
gerakan Gusdurian, masyarakat NU yang jumlahnya begitu besar terbuka
lebar dalam dialog kemodernan, seperti sebuah gerakan konser musik yang
dinamik. Maka liberalitas tradisionalnya muncul dengan kuantum melebihi
zamannya. NU menjadi organisasi masyarakat muslim modern yang
mengejutkan, yang disebut oleh Nakamura sebagai organisasi Islam paling
demokratis di dunia.
Namun seluruh dinamika gerakan Gus Dur tidak lepas dari nilai-nilai
tradisional Sufistiknya yang transformative. Semisal Gus Dur yang
begitu kental dengan hikmah-hikmah Ibnu Athaillah as-Sakandary yang
tertuang dalam kitab Sufi Al-Hikam – bahkan hafal di luar kepala –
dalam membangun masyarakat Islam dalam konteks ke-Indonesiaan.
Kitab Al-Hikam sangat dikenal oleh para Ulama Sufi sejak abad tujuh
hijriyah, menjadi manual bagi “Sufisme Pesantren” tingkat tinggi,
sebagai kajian sufi paska Ihya’ Ulumaddin, Al-Ghazaly, Ar-Risalatul
Qusyairiyah karya Abul Qasim Al-Qusyairy, maupun Al-Luma’, karya Abu
Nashr as-Sarraj.
Kekentalan Gus Dur dengan Al-Hikam memberi warna kuat, terutama dua
wacana disana yang berbunyi: “Janganlah engkau bergabung atau berguru
dengan orang yang kata-kata dan perilaku ruhaninya tidak membangkitkan
dirimu dan menunjukkan padamu menuju Allah.” Konon, nama Nahdhatul
Ulama mendapatkan inspirasi dari hikmah tersebut, sekaligus menjadi
standar apakah Ulama NU kelak konsisten dengan kebangkitan menuju Allah
atau menuju dunia?
Kemudian, hikmah lain yang begitu kental, adalah, “Pendamlah dirimu
di tanah sunyi, karena biji yang tak pernah terpendam tidak akan tumbuh
dengan sempurna.” Sebuah wacana yang sangat kuat tekanannya dalam
menggugat kemunafikan beragama, dan segala gerakan industri ekonomi dan
politik atas nama agama, yang akhir-akhir ini begitu menguat beriringan
dengan gerakan formalisme keagamaan.
Menyembunyikan hubungan antara hamba dan Allah sebagai rahasia
kehambaan adalah mutiara Sufi yang agung. Sebaliknya pamer pengalaman
beragama, bahkan menjurus pada riya’ adalah bentuk syirik yang
tersembunyi. Karena itu, dalam Al-Hikam juga disebutkan, “Nafsu dibalik
maksiat itu nyata dan jelas, tetapi nafsu di balik taat itu, sangat
tersembunyi, dan terapi atas yang tersembunyi sangatlah sulit.”
Hal yang amat tidak disukai oleh Gus Dur manakala menjadikan agama
sebagai industri ekonomi maupun politik. Agama yang sacral, memang
harus dijaga oleh politik, tetapi politisasi, apalagi menciptakan agama
sebagai dagangan bisnis adalah melukai agama itu sendiri.
Agama menjadi murah, dan agama menjadi duniawi, bahkan agama ditukar dengan kepentingan nafsu yang sangat memuakkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar