Sunnah yang Terabaikan Bagi Seseorang yang Mau Berqurban
Affannur jentrek rojoimo Wonosobo
Sunnah yang Terabaikan Bagi Seseorang yang Mau Berqurban
Penulis : Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلاَ يَمَسَّ مِنْ شَعْرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا
Dari Ummu Salamah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabada: ”Apabila telah masuk sepuluh (hari pertama bulan Dzulhijjah), salah seorang di antara kalian ingin berqurban, maka janganlah sedikit pun ia menyentuh (memotong) rambut (bulu)nya dan mengupas kulitnya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya no. 25269, Al-Imam Muslim no. 1977, Al-Imam An-Nasa`i, 7 hal. 212, Al-Imam Abu Dawud 3/2793, Al-Imam At-Tirmidzi 3/1523, Al-Imam Ibnu Majah 2/3149, Al-Imam Ad-Darimi no. 1866. (CD Program, Syarh An-Nawawi cet. Darul Hadits)
Jalur Periwayatan Hadits
Hadits tersebut diriwayatkan dari jalan Sa’id bin Musayyib dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha. Dalam riwayat hadits ini terdapat seorang rawi yang diperselisihkan penyebutan namanya, yaitu ‘Umar bin Muslim Al-Junda’i. Ada yang menyebutnya ‘Umar bin Muslim dan ada pula yang menyebutnya ‘Amr bin Muslim.
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menerangkan, riwayat ‘Umar bin Muslim dari Sa’id bin Musayyab, pada nama عمر kebanyakan riwayat menyebutnya dengan mendhammah ‘ain (عُمر) ‘Umar, kecuali riwayat dari jalan Hasan bin ‘Ali Al-Hulwani, menyebutkan dengan memfathah ‘ain (عَمرو) ‘Amr. Dan ulama menyatakan bahwa keduanya ada penukilannya. (lihat Syarh Al-Imam An-Nawawi, 7/155)
Sebaliknya, Al-Imam Abu Dawud rahimahullahu menyatakan, telah terjadi perselisihan dalam penyebutan ‘Amr bin Muslim. Sebagian menyatakan ‘Umar dan kebanyakan menyatakan ‘Amr. Beliau sendiri menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa dia adalah ‘Amr bin Muslim bin Ukaimah Al-Laitsi Al-Junda’i. (lihat ‘Aunul Ma’bud, 5/224, cet. Darul Hadits)
Al-Hafizh Syamsuddin Ibnul Qayyim rahimahullahu mengatakan: “Telah terjadi perselisihan pendapat di kalangan manusia terhadap hadits ini, baik dari sisi riwayat maupun dirayah (kandungan maknanya). Sebagian berkata: Tidak benar kalau hadits ini kedudukannya marfu’ (sampai kepada nabi), yang benar ialah mauquf (hanya sampai kepada shahabat).
Ad-Daruquthni rahimahullahu berkata dalam kitab Al-‘Ilal: Telah meriwayatkan secara mauquf Abdullah bin ‘Amir Al-Aslami, Yahya Al-Qathan, Abu Dhamrah, semuanya dari Abdurrahman bin Humaid, dari Sa’id. ‘Uqail meriwayatkan secara mauquf sebagai ucapan Sa’id. Yazid bin Abdillah dari Sa’id dari Ummu Salamah, sebagai ucapan Ummu Salamah. Demikian pula Ibnu Abi Dzi`b meriwayatkan dari jalan Al-Harts bin Abdurrahman, dari Abu Salamah, dari Ummu Salamah, sebagai ucapannya. Abdurrahman bin Harmalah, Qatadah, Shalih bin Hassan, semuanya meriwayatkan dari Sa’id, sebagai ucapannya. Riwayat yang kuat dari Al-Imam Malik, menyatakan mauquf. Dan Al-Imam Ad-Daruquthni berkata: “Yang benar menurut saya adalah pendapat yang menyatakan mauquf.”
Pendapat kedua menyatakan yang benar adalah marfu’. Di antara yang menguatkan pendapat ini adalah Al-Imam Muslim ibn Hajjaj rahimahullahu, seperti yang beliau sebutkan dalam kitab Shahih-nya. Demikian pula Abu ‘Isa At-Tirmidzi rahimahullahu berkata: “Hadits ini hasan shahih.” Ibnu Hibban rahimahullahu juga meriwayatkan dalam Shahih-nya.
Abu Bakr Al-Baihaqi rahimahullahu berkata: “Hadits ini telah tetap/kuat sebagai hadits yang marfu’ ditinjau dari beberapa sisi. Di antaranya: Tidak mungkin orang yang seperti mereka (para ulama yang menshahihkan) salah. Al-Imam Muslim rahimahullahu telah menyebutkan dalam kitabnya. Selain mereka juga masih ada yang menshahihkannya. Telah meriwayatkan secara marfu’ Sufyan bin Uyainah dari Abdurahman bin Humaid dari Sa’id dari Ummu Salamah dari Nabi, dan Syu’bah dari Malik dari ‘Amr bin Muslim dari Sa’id dari Ummu Salamah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan tidaklah kedudukan Sufyan dan Syu’bah di bawah mereka yang meriwayatkan secara mauquf. Tidaklah lafadz/ucapan hadits seperti ini merupakan ucapan dari para shahabat, bahkan terhitung sebagai bagian dari sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti sabda beliau (لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ) Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian dan yang semisalnya.” (lihat ‘Aunul Ma’bud, 5/225 cet. Darul Hadits, Mesir)
Penjelasan Hadits
(إِذَا دَخَلَتْ الْعَشْرُ) artinya, apabila telah masuk sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.
Makna ini dipahami dari riwayat lain yang menyebutkan:
إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِي الْحِجَّةِ
”Apabila kalian telah melihat hilal di bulan Dzulhijah.”
atau:
فَإِذَا أُهِلَّ هِلاَلُ ذِي الْحِجَّةِ
”Apabila telah terlihat hilal bulan Dzulhijjah.”
(وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ) artinya, salah seorang di antara kalian ingin berqurban.
Pada sebagian riwayat terdapat tambahan lafadz (وَعِنْدَهُ أُضْحِيَّةٌ), di sisinya (punya) hewan sembelihan. Pada lafadz yang lain (مَنْ كَانَ لَهُ ذِبْحٌ يَذْبَحُهُ), barangsiapa punya hewan sembelihan yang akan dia sembelih.
(فَلاَ يَمَسَّ مِنْ شَعْرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا) artinya, janganlah sedikitpun ia menyentuh (memotong) rambut (bulu) nya dan mengupas kulitnya.
Pada riwayat yang lain terdapat lafadz (فَلاَ يَأْخُذَنَّ شَعْرًا وَلاَ يَقْلِمَنَّ ظُفْرًا), Janganlah sekali-kali ia mengambil rambut dan memotong kuku.
Pada lafadz yang lain:
(فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ) Hendaknya ia menahan dari memotong rambut dan kukunya.
Dalam lafadz yang lain:
فَلاَ يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّيَ
Janganlah sekali-kali ia mengambil rambut dan memotong kukunya sedikitpun, hingga ia menyembelih.
Sunnah yang Terabaikan
Termasuk sunnah yang terabaikan bagi seorang yang telah memiliki hewan qurban yang akan ia sembelih adalah tidak ada pengetahuan tentang apa yang harus ia perbuat apabila telah masuk tanggal 1 hingga 10 Dzulhijjah (hari raya qurban tiba)! Tidak/belum sampainya suatu ilmu seringkali menjadi penyebab terabaikannya sekian banyak sunnah (kebaikan) baik berupa perintah atau larangan. Oleh sebab itu, sepantasnya bahkan wajib bagi setiap muslim, laki-laki maupun wanita untuk membekali kehidupan ini dengan ilmu agama yang benar, hingga tidak berujung penyesalan hidup di kemudian hari.
Hadits yang tersebut di atas membimbing kita, terutama bagi seorang muslim yang telah mempersiapkan hewan qurban untuk disembelih pada hari raya qurban atau setelahnya pada hari-hari Tasyriq (tanggal 11,12,13 Dzulhijjah). Apabila telah masuk tanggal 1 Dzulhijjah, hendaknya ia menahan diri untuk tidak mencukur atau mencabut rambut/bulu apapun yang ada pada dirinya (baik rambut kepala, ketiak, tangan, kaki, dan yang lainnya). Demikian pula tidak boleh memotong kuku (tangan maupun kaki) serta tidak boleh mengupas kulit badannya (baik pada telapak tangan maupun kaki, ujung jari, tumit, atau yang lainnya). Larangan ini berlaku bagi yang memiliki hewan qurban dan akan berqurban, bukan bagi seluruh anggota keluarga seseorang yang akan berqurban. Larangan ini berakhir hingga seseorang telah menyembelih hewan qurbannya. Jika ia menyembelih pada hari yang kesepuluh Dzulhijjah (hari raya qurban), di hari itu boleh baginya mencukur rambut/memotong kuku. Jika ia menyembelih pada hari yang kesebelas, keduabelas, atau yang ketigabelas, maka di hari yang ia telah menyembelih hewan qurban itulah diperbolehkan baginya untuk mencukur rambut atau memotong kuku.
Dalam sebuah riwayat yang terdapat dalam Shahih Muslim, ‘Amr bin Muslim pernah mendapati seseorang di kamar mandi sedang mencabuti bulu ketiaknya menggunakan kapur sebelum hari raya qurban. Sebagian mereka ada yang berkata: “Sesungguhnya Sa’id bin Musayyib tidak menyukai perkara ini.”
Ketika ‘Amr bin Muslim bertemu dengan Sa’id bin Musayyib, ia pun menceritakannya. Sa’id pun berkata: “Wahai anak saudaraku, hadits ini telah dilupakan dan ditinggalkan. Ummu Salamah radhiyallahu 'anha, istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan kepadaku, ia berkata: Nabi telah bersabda, seperti hadits di atas.”
Kalau manusia di zaman beliau demikian keadaannya, bagaimana dengan di zaman kita sekarang?!
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kita sebagai hamba-hamba-Nya yang menghidupkan Sunnah Nabi-Nya dan bukan menjadikan sebagai orang yang memadamkan/mematikannya.
Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi larangan dalam perkara ini. Ada yang memahami sesuai dengan apa yang nampak dari lafadz hadits tersebut, sehingga mereka berpendapat haram bagi seseorang untuk melakukannya (wajib untuk meninggalkannya). Di antara mereka adalah Sa’id bin Musayyib, Rabi’ah bin Abi Abdirrahman, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, dan sebagian dari pengikut Al-Imam Asy-Syafi’i. Adapun Al-Imam Asy-Syafi’i dan pengikutnya berpendapat makruh (tidak dikerjakan lebih utama), bukan diharamkam. Dan yang berpendapat semisal ini adalah Al-Imam Malik dan sebagian pengikut Al-Imam Ahmad seperti Abu Ya’la dan yang lainnya.
Pendapat lain dalam hal ini adalah mubah (tidak mengapa melakukannya). Pendapat ini dianut oleh Abu Hanifah dan pengikutnya.
Peringatan
Sebagian orang ada yang memahami bahwa larangan mencukur rambut/bulu, memotong kuku, dan mengupas/mengambil kulit, kata ganti dalam hadits di atas (-nya - bulunya, kukunya, kulitnya) kembali kepada hewan yang akan disembelih.
Jika demikian, hadits di atas akan bermakna: “Apabila telah masuk 10 hari awal Dzulhijjah, dan salah seorang di antara kalian akan berqurban, maka janganlah ia mencukur bulu (hewan yang akan dia sembelih), memotong kuku (hewan qurban), dan jangan mengupas kulit (hewan qurban).”
Tentunya bukanlah demikian maknanya. Makna ini juga tidak selaras dengan hikmah yang terkandung di dalam hadits itu sendiri.
Hikmah yang Terkandung
Di samping sebagai salah satu bentuk ketaatan dan mengikuti apa yang diajarkan oleh Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hikmah dari larangan tersebut adalah agar seseorang tetap utuh anggota badannya kala ia akan dibebaskan dari panasnya api neraka.
Sebagian ada yang berpendapat, hikmahnya adalah agar seorang merasakan apa yang dirasakan oleh orang-orang yang sedang menunaikan ibadah haji atau diserupakan dengan seorang yang telah berihram, sehingga mereka juga dilarang dari mencukur rambut, memotong kuku, mengupas kulit, dan sebagainya.
Namun pendapat terakhir ini ada yang tidak menyetujuinya, dengan alasan, bagaimana diserupakan dengan seorang yang menunaikan haji, sementara ia (orang yang akan berqurban) tidak dilarang dari menggauli istrinya, memakai wewangian, mengenakan pakaian dan yang lainnya. (lihat ‘Aunul Ma’bud 5/224-226, cet. Darul Hadits, Syarh An-Nawawi 7/152-155, cet. Darul Hadits)
Hadits-hadits Lemah dalam Berqurban
1. Kesempurnaan sembelihan
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أُمِرْتُ بِيَوْمِ اْلأَضْحَى عِيْدًا جَعَلَهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ لِهَذِهِ اْلأُمَّةِ. قَالَ الرَّجُلُ: أَرَأَيْتَ إِنْ لَمْ أَجِدْ إِلاَّ أُضْحِيَّةً أُنْثَى أَفَأُضَحِّي بِهَا؟ قَالَ: لاَ، وَلَكِنْ تَأْخُذُ مِنْ شَعْرِكَ وَأَظْفَارِكَ وَتَقُصُّ شَارِبَكَ وَتَحْلِقُ عَانَتَكَ فَتِلْكَ تَمَامُ أُضْحِيَّتِكَ عِنْدَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku diperintahkan pada hari Adha sebagai hari raya. Allah Subhanahu wa Ta'ala menghadiahkannya untuk umat ini.” Seorang sahabat bertanya: “Bagaimana pendapatmu (kabarkan kepada saya) jika aku tidak mendapatkan kecuali sembelihan hewan betina, apakah aku menyembelihnya?” Beliau menjawab: “Jangan. Akan tetapi ambillah dari rambut dan kukumu, cukur kumis serta bulu kemaluanmu. Itu semua sebagai kesempurnaan sembelihanmu di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Abu Dawud no. 2786)
Al-Mundziri rahimahullahu menjelaskan: “Hadits ini juga diriwayatkan oleh An-Nasa`i. Sanad hadits ini lemah di dalamnya terdapat seorang rawi yang bernama ‘Isa bin Hilal Ash-Shadafi. Tidak ada yang menguatkan kecuali Ibnu Hibban.”
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu mendhaifkannya dalam Dha’if Abi Dawud. (lihat ‘Aunul Ma’bud 5/222)
2. Sembelihan dikhususkan untuk orang yang sudah meninggal
عَنْ حَنَشٍ قَالَ: رَأَيْتُ عَلِيًّا يُضَحِّي بِكَبْشَيْنِ فَقُلْتُ لَهُ: مَا هَذَا؟ فَقَالَ: إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْصَانِي أَنْ أُضَحِّيَ عَنْهُ فَأَنَا أُضَحِّي عَنْهُ
Dari Hanasy ia berkata: “Aku melihat ‘Ali bin Abi Thalib sedang menyembelih dua ekor domba. Kemudian aku bertanya: ‘Apa ini?’ Ali pun menjawab: ‘Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan kepadaku agar aku menyembelih hewan qurban untuknya, dan akupun menyembelihkan untuknya.” (HR. Abu Dawud no. 2786, At-Tirmidzi no. 1495)
Sanad hadits ini lemah, terdapat di dalamnya seorang rawi yang bernama Abul Hasna`, yang dia tidak dikenal. (lihat ‘Aunul Ma’bud 5/222)
3. Pahala bagi orang yang berqurban
فِي اْلأُضْحِيَّةِ لِصَاحِبِهَا بِكُلِّ شَعْرَةٍ حَسَنَةٌ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Pada setiap hewan qurban, terdapat kebaikan di setiap rambut bagi pemiliknya.” (HR. At-Tirmidzi. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata: “Hadits ini maudhu’ (palsu).”)
4. Hewan qurban adalah tunggangan di atas shirath
اسْتَفْرِهُوْا ضَحَايَاكُمْ، فَإِنَّهَا مَطَايَاكُمْ عَلىَ الصِّرَاطِ
“Perbaguslah hewan qurban kalian, karena dia adalah tunggangan kalian di atas shirath.”
Hadits ini lemah sekali (dha’if jiddan). Dalam sanadnya ada Yahya bin Ubaidullah bin Abdullah bin Mauhab Al-Madani, dia bukanlah rawi yang tsiqah, bahkan matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan oleh para ulama). Juga ayahnya, Ubaidullah bin Abdullah, adalah seorang yang majhul. Lihat Adh-Dha’ifah karya Al-Albani rahimahullahu (2/14, no. hadits 527, dan 3/114, no. hadits 1255), Dha’iful Jami’ (no. 824). (Ahkamul Udh-hiyyah hal. 60 dan 62, karya Abu Sa’id Bal’id bin Ahmad)
عَظِّمُوا ضَحَايَاكُمْ فِإِنَّهَا عَلَى الصِّرَاطِ مَطَايَاكُمْ
“Gemukkanlah hewan qurban kalian, karena dia adalah tunggangan kalian di atas shirath.”
Hadits dengan lafadz ini tidak ada asalnya. Ibnu Shalah rahimahullahu berkata: “Hadits ini tidak dikenal, tidak pula tsabit (benar datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam).” (Ahkamul Udh-hiyyah hal. 64, karya Abu Sa’id Bal’id bin Ahmad)
5. Darah sembelihan jatuh di tempat penyimpanan Allah Subhanahu wa Ta'ala
أَيُّهَا النَّاسُ، ضَحُّوْا وَاحْتَسِبُوْا بِدِمَائِهَا، فَإِنَّ الدَّمَ وَإِنْ وَقَعَ فِي اْلأَرْضِ فَإِنَّهُ يَقَعُ فِي حِرْزِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Wahai sekalian manusia, berqurbanlah dan harapkanlah pahala dari darahnya. Karena meskipun darahnya jatuh ke bumi namun sesungguhnya dia jatuh ke tempat penyimpanan Allah Subhanahu wa Ta'ala.” (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jamul Ausath)
Hadits ini maudhu’ (palsu). Dalam sanadnya ada ‘Amr bin Al-Hushain Al-’Uqaili, dia matrukul hadits, sebagaimana dinyatakan Al-Haitsami rahimahullahu. Lihat Adh-Dha’ifah karya Al-Albani rahimahullahu (2/16, no. hadits 530). (Ahkamul Udh-hiyyah hal. 62, karya Abu Sa’id Bal’id bin Ahmad)
Wallahu ta’ala a’lam.
Penulis : Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلاَ يَمَسَّ مِنْ شَعْرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا
Dari Ummu Salamah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabada: ”Apabila telah masuk sepuluh (hari pertama bulan Dzulhijjah), salah seorang di antara kalian ingin berqurban, maka janganlah sedikit pun ia menyentuh (memotong) rambut (bulu)nya dan mengupas kulitnya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya no. 25269, Al-Imam Muslim no. 1977, Al-Imam An-Nasa`i, 7 hal. 212, Al-Imam Abu Dawud 3/2793, Al-Imam At-Tirmidzi 3/1523, Al-Imam Ibnu Majah 2/3149, Al-Imam Ad-Darimi no. 1866. (CD Program, Syarh An-Nawawi cet. Darul Hadits)
Jalur Periwayatan Hadits
Hadits tersebut diriwayatkan dari jalan Sa’id bin Musayyib dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha. Dalam riwayat hadits ini terdapat seorang rawi yang diperselisihkan penyebutan namanya, yaitu ‘Umar bin Muslim Al-Junda’i. Ada yang menyebutnya ‘Umar bin Muslim dan ada pula yang menyebutnya ‘Amr bin Muslim.
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menerangkan, riwayat ‘Umar bin Muslim dari Sa’id bin Musayyab, pada nama عمر kebanyakan riwayat menyebutnya dengan mendhammah ‘ain (عُمر) ‘Umar, kecuali riwayat dari jalan Hasan bin ‘Ali Al-Hulwani, menyebutkan dengan memfathah ‘ain (عَمرو) ‘Amr. Dan ulama menyatakan bahwa keduanya ada penukilannya. (lihat Syarh Al-Imam An-Nawawi, 7/155)
Sebaliknya, Al-Imam Abu Dawud rahimahullahu menyatakan, telah terjadi perselisihan dalam penyebutan ‘Amr bin Muslim. Sebagian menyatakan ‘Umar dan kebanyakan menyatakan ‘Amr. Beliau sendiri menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa dia adalah ‘Amr bin Muslim bin Ukaimah Al-Laitsi Al-Junda’i. (lihat ‘Aunul Ma’bud, 5/224, cet. Darul Hadits)
Al-Hafizh Syamsuddin Ibnul Qayyim rahimahullahu mengatakan: “Telah terjadi perselisihan pendapat di kalangan manusia terhadap hadits ini, baik dari sisi riwayat maupun dirayah (kandungan maknanya). Sebagian berkata: Tidak benar kalau hadits ini kedudukannya marfu’ (sampai kepada nabi), yang benar ialah mauquf (hanya sampai kepada shahabat).
Ad-Daruquthni rahimahullahu berkata dalam kitab Al-‘Ilal: Telah meriwayatkan secara mauquf Abdullah bin ‘Amir Al-Aslami, Yahya Al-Qathan, Abu Dhamrah, semuanya dari Abdurrahman bin Humaid, dari Sa’id. ‘Uqail meriwayatkan secara mauquf sebagai ucapan Sa’id. Yazid bin Abdillah dari Sa’id dari Ummu Salamah, sebagai ucapan Ummu Salamah. Demikian pula Ibnu Abi Dzi`b meriwayatkan dari jalan Al-Harts bin Abdurrahman, dari Abu Salamah, dari Ummu Salamah, sebagai ucapannya. Abdurrahman bin Harmalah, Qatadah, Shalih bin Hassan, semuanya meriwayatkan dari Sa’id, sebagai ucapannya. Riwayat yang kuat dari Al-Imam Malik, menyatakan mauquf. Dan Al-Imam Ad-Daruquthni berkata: “Yang benar menurut saya adalah pendapat yang menyatakan mauquf.”
Pendapat kedua menyatakan yang benar adalah marfu’. Di antara yang menguatkan pendapat ini adalah Al-Imam Muslim ibn Hajjaj rahimahullahu, seperti yang beliau sebutkan dalam kitab Shahih-nya. Demikian pula Abu ‘Isa At-Tirmidzi rahimahullahu berkata: “Hadits ini hasan shahih.” Ibnu Hibban rahimahullahu juga meriwayatkan dalam Shahih-nya.
Abu Bakr Al-Baihaqi rahimahullahu berkata: “Hadits ini telah tetap/kuat sebagai hadits yang marfu’ ditinjau dari beberapa sisi. Di antaranya: Tidak mungkin orang yang seperti mereka (para ulama yang menshahihkan) salah. Al-Imam Muslim rahimahullahu telah menyebutkan dalam kitabnya. Selain mereka juga masih ada yang menshahihkannya. Telah meriwayatkan secara marfu’ Sufyan bin Uyainah dari Abdurahman bin Humaid dari Sa’id dari Ummu Salamah dari Nabi, dan Syu’bah dari Malik dari ‘Amr bin Muslim dari Sa’id dari Ummu Salamah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan tidaklah kedudukan Sufyan dan Syu’bah di bawah mereka yang meriwayatkan secara mauquf. Tidaklah lafadz/ucapan hadits seperti ini merupakan ucapan dari para shahabat, bahkan terhitung sebagai bagian dari sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti sabda beliau (لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ) Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian dan yang semisalnya.” (lihat ‘Aunul Ma’bud, 5/225 cet. Darul Hadits, Mesir)
Penjelasan Hadits
(إِذَا دَخَلَتْ الْعَشْرُ) artinya, apabila telah masuk sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.
Makna ini dipahami dari riwayat lain yang menyebutkan:
إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِي الْحِجَّةِ
”Apabila kalian telah melihat hilal di bulan Dzulhijah.”
atau:
فَإِذَا أُهِلَّ هِلاَلُ ذِي الْحِجَّةِ
”Apabila telah terlihat hilal bulan Dzulhijjah.”
(وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ) artinya, salah seorang di antara kalian ingin berqurban.
Pada sebagian riwayat terdapat tambahan lafadz (وَعِنْدَهُ أُضْحِيَّةٌ), di sisinya (punya) hewan sembelihan. Pada lafadz yang lain (مَنْ كَانَ لَهُ ذِبْحٌ يَذْبَحُهُ), barangsiapa punya hewan sembelihan yang akan dia sembelih.
(فَلاَ يَمَسَّ مِنْ شَعْرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا) artinya, janganlah sedikitpun ia menyentuh (memotong) rambut (bulu) nya dan mengupas kulitnya.
Pada riwayat yang lain terdapat lafadz (فَلاَ يَأْخُذَنَّ شَعْرًا وَلاَ يَقْلِمَنَّ ظُفْرًا), Janganlah sekali-kali ia mengambil rambut dan memotong kuku.
Pada lafadz yang lain:
(فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ) Hendaknya ia menahan dari memotong rambut dan kukunya.
Dalam lafadz yang lain:
فَلاَ يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّيَ
Janganlah sekali-kali ia mengambil rambut dan memotong kukunya sedikitpun, hingga ia menyembelih.
Sunnah yang Terabaikan
Termasuk sunnah yang terabaikan bagi seorang yang telah memiliki hewan qurban yang akan ia sembelih adalah tidak ada pengetahuan tentang apa yang harus ia perbuat apabila telah masuk tanggal 1 hingga 10 Dzulhijjah (hari raya qurban tiba)! Tidak/belum sampainya suatu ilmu seringkali menjadi penyebab terabaikannya sekian banyak sunnah (kebaikan) baik berupa perintah atau larangan. Oleh sebab itu, sepantasnya bahkan wajib bagi setiap muslim, laki-laki maupun wanita untuk membekali kehidupan ini dengan ilmu agama yang benar, hingga tidak berujung penyesalan hidup di kemudian hari.
Hadits yang tersebut di atas membimbing kita, terutama bagi seorang muslim yang telah mempersiapkan hewan qurban untuk disembelih pada hari raya qurban atau setelahnya pada hari-hari Tasyriq (tanggal 11,12,13 Dzulhijjah). Apabila telah masuk tanggal 1 Dzulhijjah, hendaknya ia menahan diri untuk tidak mencukur atau mencabut rambut/bulu apapun yang ada pada dirinya (baik rambut kepala, ketiak, tangan, kaki, dan yang lainnya). Demikian pula tidak boleh memotong kuku (tangan maupun kaki) serta tidak boleh mengupas kulit badannya (baik pada telapak tangan maupun kaki, ujung jari, tumit, atau yang lainnya). Larangan ini berlaku bagi yang memiliki hewan qurban dan akan berqurban, bukan bagi seluruh anggota keluarga seseorang yang akan berqurban. Larangan ini berakhir hingga seseorang telah menyembelih hewan qurbannya. Jika ia menyembelih pada hari yang kesepuluh Dzulhijjah (hari raya qurban), di hari itu boleh baginya mencukur rambut/memotong kuku. Jika ia menyembelih pada hari yang kesebelas, keduabelas, atau yang ketigabelas, maka di hari yang ia telah menyembelih hewan qurban itulah diperbolehkan baginya untuk mencukur rambut atau memotong kuku.
Dalam sebuah riwayat yang terdapat dalam Shahih Muslim, ‘Amr bin Muslim pernah mendapati seseorang di kamar mandi sedang mencabuti bulu ketiaknya menggunakan kapur sebelum hari raya qurban. Sebagian mereka ada yang berkata: “Sesungguhnya Sa’id bin Musayyib tidak menyukai perkara ini.”
Ketika ‘Amr bin Muslim bertemu dengan Sa’id bin Musayyib, ia pun menceritakannya. Sa’id pun berkata: “Wahai anak saudaraku, hadits ini telah dilupakan dan ditinggalkan. Ummu Salamah radhiyallahu 'anha, istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan kepadaku, ia berkata: Nabi telah bersabda, seperti hadits di atas.”
Kalau manusia di zaman beliau demikian keadaannya, bagaimana dengan di zaman kita sekarang?!
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kita sebagai hamba-hamba-Nya yang menghidupkan Sunnah Nabi-Nya dan bukan menjadikan sebagai orang yang memadamkan/mematikannya.
Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi larangan dalam perkara ini. Ada yang memahami sesuai dengan apa yang nampak dari lafadz hadits tersebut, sehingga mereka berpendapat haram bagi seseorang untuk melakukannya (wajib untuk meninggalkannya). Di antara mereka adalah Sa’id bin Musayyib, Rabi’ah bin Abi Abdirrahman, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, dan sebagian dari pengikut Al-Imam Asy-Syafi’i. Adapun Al-Imam Asy-Syafi’i dan pengikutnya berpendapat makruh (tidak dikerjakan lebih utama), bukan diharamkam. Dan yang berpendapat semisal ini adalah Al-Imam Malik dan sebagian pengikut Al-Imam Ahmad seperti Abu Ya’la dan yang lainnya.
Pendapat lain dalam hal ini adalah mubah (tidak mengapa melakukannya). Pendapat ini dianut oleh Abu Hanifah dan pengikutnya.
Peringatan
Sebagian orang ada yang memahami bahwa larangan mencukur rambut/bulu, memotong kuku, dan mengupas/mengambil kulit, kata ganti dalam hadits di atas (-nya - bulunya, kukunya, kulitnya) kembali kepada hewan yang akan disembelih.
Jika demikian, hadits di atas akan bermakna: “Apabila telah masuk 10 hari awal Dzulhijjah, dan salah seorang di antara kalian akan berqurban, maka janganlah ia mencukur bulu (hewan yang akan dia sembelih), memotong kuku (hewan qurban), dan jangan mengupas kulit (hewan qurban).”
Tentunya bukanlah demikian maknanya. Makna ini juga tidak selaras dengan hikmah yang terkandung di dalam hadits itu sendiri.
Hikmah yang Terkandung
Di samping sebagai salah satu bentuk ketaatan dan mengikuti apa yang diajarkan oleh Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hikmah dari larangan tersebut adalah agar seseorang tetap utuh anggota badannya kala ia akan dibebaskan dari panasnya api neraka.
Sebagian ada yang berpendapat, hikmahnya adalah agar seorang merasakan apa yang dirasakan oleh orang-orang yang sedang menunaikan ibadah haji atau diserupakan dengan seorang yang telah berihram, sehingga mereka juga dilarang dari mencukur rambut, memotong kuku, mengupas kulit, dan sebagainya.
Namun pendapat terakhir ini ada yang tidak menyetujuinya, dengan alasan, bagaimana diserupakan dengan seorang yang menunaikan haji, sementara ia (orang yang akan berqurban) tidak dilarang dari menggauli istrinya, memakai wewangian, mengenakan pakaian dan yang lainnya. (lihat ‘Aunul Ma’bud 5/224-226, cet. Darul Hadits, Syarh An-Nawawi 7/152-155, cet. Darul Hadits)
Hadits-hadits Lemah dalam Berqurban
1. Kesempurnaan sembelihan
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أُمِرْتُ بِيَوْمِ اْلأَضْحَى عِيْدًا جَعَلَهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ لِهَذِهِ اْلأُمَّةِ. قَالَ الرَّجُلُ: أَرَأَيْتَ إِنْ لَمْ أَجِدْ إِلاَّ أُضْحِيَّةً أُنْثَى أَفَأُضَحِّي بِهَا؟ قَالَ: لاَ، وَلَكِنْ تَأْخُذُ مِنْ شَعْرِكَ وَأَظْفَارِكَ وَتَقُصُّ شَارِبَكَ وَتَحْلِقُ عَانَتَكَ فَتِلْكَ تَمَامُ أُضْحِيَّتِكَ عِنْدَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku diperintahkan pada hari Adha sebagai hari raya. Allah Subhanahu wa Ta'ala menghadiahkannya untuk umat ini.” Seorang sahabat bertanya: “Bagaimana pendapatmu (kabarkan kepada saya) jika aku tidak mendapatkan kecuali sembelihan hewan betina, apakah aku menyembelihnya?” Beliau menjawab: “Jangan. Akan tetapi ambillah dari rambut dan kukumu, cukur kumis serta bulu kemaluanmu. Itu semua sebagai kesempurnaan sembelihanmu di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Abu Dawud no. 2786)
Al-Mundziri rahimahullahu menjelaskan: “Hadits ini juga diriwayatkan oleh An-Nasa`i. Sanad hadits ini lemah di dalamnya terdapat seorang rawi yang bernama ‘Isa bin Hilal Ash-Shadafi. Tidak ada yang menguatkan kecuali Ibnu Hibban.”
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu mendhaifkannya dalam Dha’if Abi Dawud. (lihat ‘Aunul Ma’bud 5/222)
2. Sembelihan dikhususkan untuk orang yang sudah meninggal
عَنْ حَنَشٍ قَالَ: رَأَيْتُ عَلِيًّا يُضَحِّي بِكَبْشَيْنِ فَقُلْتُ لَهُ: مَا هَذَا؟ فَقَالَ: إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْصَانِي أَنْ أُضَحِّيَ عَنْهُ فَأَنَا أُضَحِّي عَنْهُ
Dari Hanasy ia berkata: “Aku melihat ‘Ali bin Abi Thalib sedang menyembelih dua ekor domba. Kemudian aku bertanya: ‘Apa ini?’ Ali pun menjawab: ‘Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan kepadaku agar aku menyembelih hewan qurban untuknya, dan akupun menyembelihkan untuknya.” (HR. Abu Dawud no. 2786, At-Tirmidzi no. 1495)
Sanad hadits ini lemah, terdapat di dalamnya seorang rawi yang bernama Abul Hasna`, yang dia tidak dikenal. (lihat ‘Aunul Ma’bud 5/222)
3. Pahala bagi orang yang berqurban
فِي اْلأُضْحِيَّةِ لِصَاحِبِهَا بِكُلِّ شَعْرَةٍ حَسَنَةٌ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Pada setiap hewan qurban, terdapat kebaikan di setiap rambut bagi pemiliknya.” (HR. At-Tirmidzi. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata: “Hadits ini maudhu’ (palsu).”)
4. Hewan qurban adalah tunggangan di atas shirath
اسْتَفْرِهُوْا ضَحَايَاكُمْ، فَإِنَّهَا مَطَايَاكُمْ عَلىَ الصِّرَاطِ
“Perbaguslah hewan qurban kalian, karena dia adalah tunggangan kalian di atas shirath.”
Hadits ini lemah sekali (dha’if jiddan). Dalam sanadnya ada Yahya bin Ubaidullah bin Abdullah bin Mauhab Al-Madani, dia bukanlah rawi yang tsiqah, bahkan matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan oleh para ulama). Juga ayahnya, Ubaidullah bin Abdullah, adalah seorang yang majhul. Lihat Adh-Dha’ifah karya Al-Albani rahimahullahu (2/14, no. hadits 527, dan 3/114, no. hadits 1255), Dha’iful Jami’ (no. 824). (Ahkamul Udh-hiyyah hal. 60 dan 62, karya Abu Sa’id Bal’id bin Ahmad)
عَظِّمُوا ضَحَايَاكُمْ فِإِنَّهَا عَلَى الصِّرَاطِ مَطَايَاكُمْ
“Gemukkanlah hewan qurban kalian, karena dia adalah tunggangan kalian di atas shirath.”
Hadits dengan lafadz ini tidak ada asalnya. Ibnu Shalah rahimahullahu berkata: “Hadits ini tidak dikenal, tidak pula tsabit (benar datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam).” (Ahkamul Udh-hiyyah hal. 64, karya Abu Sa’id Bal’id bin Ahmad)
5. Darah sembelihan jatuh di tempat penyimpanan Allah Subhanahu wa Ta'ala
أَيُّهَا النَّاسُ، ضَحُّوْا وَاحْتَسِبُوْا بِدِمَائِهَا، فَإِنَّ الدَّمَ وَإِنْ وَقَعَ فِي اْلأَرْضِ فَإِنَّهُ يَقَعُ فِي حِرْزِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Wahai sekalian manusia, berqurbanlah dan harapkanlah pahala dari darahnya. Karena meskipun darahnya jatuh ke bumi namun sesungguhnya dia jatuh ke tempat penyimpanan Allah Subhanahu wa Ta'ala.” (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jamul Ausath)
Hadits ini maudhu’ (palsu). Dalam sanadnya ada ‘Amr bin Al-Hushain Al-’Uqaili, dia matrukul hadits, sebagaimana dinyatakan Al-Haitsami rahimahullahu. Lihat Adh-Dha’ifah karya Al-Albani rahimahullahu (2/16, no. hadits 530). (Ahkamul Udh-hiyyah hal. 62, karya Abu Sa’id Bal’id bin Ahmad)
Wallahu ta’ala a’lam.
SIHIR, DOSA BESAR!
SIHIR, DOSA BESAR!
Disusun oleh Muslim Atsari
Sihir termasuk perbuatan dosa besar dengan ijma’ (kesepakatan) ulama. Baik mempelajari, mengajarkan, melakukan, atau minta disihirkan, semua terlarang.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ
Dari Abu Huroiroh, dari Nabi n , beliau bersabda: “Jauhilah tujuh (dosa) yang membinasakan!” Mereka (para sahabat) bertanya: “Wahai Rosululloh, apakah itu?” Beliau menjawab: “Syirik kepada Alloh; sihir; membunuh jiwa yang Alloh haromkan kecuali dengan haq; memakan riba; memakan harta anak yatim; berpaling dari perang yang berkecamuk; menuduh zina terhadap wanita-wanita merdeka yang menjaga kehormatan, yang beriman, dan yang bersih dari zina”. (Hadits Shohih Riwayat Bukhari, no: 3456; Muslim, no: 2669)
Namun, apakah hakekat sihir itu?
MAKNA SIHIR
Secara bahasa Arab, sihir artinya: sesuatu yang samar atau tersembunyi sebabnya. Sedangkan secara istilah syara’, maka para ulama memberikan definisi yang berbeda-beda, namun hakekatnya sama. Definisi paling lengkap yang kami dapatkan yaitu penjelasan imam ahli tafsir, imam Al-Aluusi -semoga Alloh merahmatinya-. Beliau berkata: “Yang dimaksudkan dengan sihir adalah perkara aneh yang menyerupai perkara luar biasa, padahal bukan perkara luar biasa karena dapat dipelajari, untuk mendapatkannya dengan mendekatkan diri kepada syaithon, dengan cara melakukan perkara-perkara buruk, yang berupa perkataan: seperti mantra-mantra yang di dalamnya terdapat kata-kata syirik, pujian kepada syaithon, dan kekuasaan syaithon, dan berupa perbuatan, seperti: beribadah kepada bintang-bintang, menekuni kejahatan, dan seluruh kefasikan, dan berupa keyakinan, seperti: anggapan baik terhadap apa-apa yang mendekatkan diri kepada syaithon, kecintaannya kepada syaithon.
Sihir itu tidaklah berjalan dengan baik kecuali dengan apa yang mencocoki syaithon di dalam keburukan dan kekejian jiwa, karena kesesuaian merupakan syarat saling mendekat dan membantu. Sebagaimana para malaikat tidak akan membantu kecuali kepada orang-orang yang baik, yang menyerupai para malaikat di dalam menekuni ibadah dan mendekatkan diri kepada Alloh Ta’ala dengan perkataan dan perbuatan, demikian pula syaithon tidak akan membantu kecuali kepada orang-orang yang jahat, yang menyerupai mereka di dalam kekejian dan keburukan, yang berupa perkataan, perbuatan, dan keyakinan. Dengan ini tukang sihir berbeda dengan Nabi dan wali”. (Ruhul Ma’ani 1/338; dinukil dari ‘Alamus Sihri was Sya’wadzah, hlm: 152-153)
APAKAH SIHIR ADA HAKEKATNYA?
Para ulama Ahli Sunnah sepakat bahwa sihir ada hakekatnya dan kenyataannya. Walaupun kelompok Mu’tazilah dan orang-orang yang terpengaruh dengan mereka mengingkari hakekat sihir, namun pengingkaran mereka tidak ada nilainya. Di antara dalil-dalilnya adalah:
1-Berita Alloh tentang adanya sihir, sedangkan berita Alloh adalah haq. (QS. Al-Baqoroh (2):102)
2-Perintah Alloh untuk berlindung dari kejahatan tukang sihir. (QS. Al-Falaq: 4)
3-Larangan dari Nabi untuk mempelajari sihir dan mengamalkannya.
4-Ijma’ sahabat. Al-Qorofi berkata: “Sihir dan berita tentang sihir telah diketahui oleh para sahabat –semoga Alloh meridhoi mereka semua- , mereka sepakat atas adanya sebelum munculnya kelompok Qodariyah (Mu’tazilah)”. Al-Furuuq, karya Al-Qorofi, juz 4, hlm: 150; dinukil dari ‘Alamus Sihri was Sya’wadzah, hlm: 92)
Imam Ibnul Qoyyim membantah pendapat Mu’tazilah yang mengatakan: “Sesungguhnya seluruh sihir hanyalah takh-yiil (membuat khayalan)”, beliau berkata: “Ini menyelisihi riwayat-riwayat mutawatir dari para sahabat dan Salaf (orang-orang zaman dahulu yang sholih), dan telah disepakati oleh ahli fiqih, ahli tafsir, dan ahli hadits. Dan yang dikenal oleh kebanyakn ahli fiqih”. (Tafsir Al-Qoyyim, hlm: 571; dinukil dari ‘Alamus Sihri was Sya’wadzah, hlm: 92)
5-Kejadian Nabi n pernah disihir. (Hadits Shohih Riwayat Bukhari, no:5766; Muslim, no: 2189)
6-Kenyataan sihir di zaman Nabi Musa, dari tukang-tukang sihir yang dikumpulkan oleh Fir’aun (QS. Al-A’rof, ayat: 116)
7-Kenyataan di setiap zaman dan tempat. Disebutkan di dalam kitab Sihir, hlm: 11, karya Muhammad Muhammad Ja’far bahwa sihir merupakan kenyataan yang terjadi, benar-benar ada, tidak ada keraguan tentangnya. Sihir ini telah disebutkan seluruh kitab dari langit. Sihir diwarisi oleh orang-orang Babilonia, Mesir, India, Cina, dan lainnya di dalam tulisan-tulisan, lukisan-lukisan, patung-patung, dan peninggalan-peninggalan mereka. Sihir juga dimuat di dalam catatan-catatan dan data-data pengadilan-pengadilan di Inggris, Perancis, Itali, Belanda, Rusia, dan Portugis, dan lainnya. Dan disebutkan di dalam pengakuan-pengakuan tukang-tukang sihir laki-laki dan perempuan pada waktu pengadilan mereka. Juga ada di dalam warisan para tukang sihir itu, yang berupa alat-alat, bahan-bahan, dan perjanjian-perjanjian dengan syaithon. Itu masih tersimpan di dalam perpustakaan-perpustakaan umum atau museum-museum”. (Dinukil dari ‘Alamus Sihri was Sya’wadzah, hlm: 93-94)
MACAM-MACAM SIHIR
Untuk melengkapi masalah sihir ini, kita juga perlu mengetahui macam-macam sihir yang ada:
1-Sihir hakiki: yaitu sihir yang ada kenyataannya, seperti sihir yang mempengaruhi badan, sehingga menjadikan sakit, atau membunuh (inilah yang disebut dengan tenung, santet, teluh, dan semacamnya-pen) atau memisahkan dua orang yang saling mencintai (ini disebut shor-f), atau mengumpulkan dua orang yang saling membenci (ini disebut dengan ‘ath-f, aji pengasihan, pelet, dan semacamnya).
Sihir hakiki ini ada dua macam: sihir yang terjadi dengan niat tukang sihir; dan sihir yang terjadi dengan alat (semacam benda-benda yang telah diberi mantra atau rajah).
2-Sihir takh-yili: yaitu tukang sihir menggunakan kekuatan daya khayalnya, lalu dia menggambarkan khayalan-khayalan, atau tiruan-tiruan, atau bentuk-bentuk, lalu dia tampilkan kepada indra orang-orang yang melihat, sehingga orang-orang yang melihat seolah-olah melihatnya ada pada kenyataan, padahal itu tidak ada. Inilah yang disebut dengan hipnotis, atau semacamnya. Seperti tukang sihir yang memperlihatkan taman-taman, sungai-sungai, istana-istana, padahal itu semua tidak ada, itu hanyalah khayalan pada pandangan mata. Atau seperti tukang sihir yang menikam dirinya dengan pedang, atau memakan api, atau berjalan di atas api, namun hal itu tidak berbekas padanya. Ini semua hanyalah khayalan. Atau seseorang datang dengan membawa kertas biasa, lalu dia menyihir orang lain, sehingga dia melihatnya sebagai uang kertas. Atau dia membawa besi, tetapi orang yang disihir melihatnya sebagai emas. Atau dia membawa belalang, tetapi orang yang disihir melihatnya sebagai kambing. Dan setelah orang itu pergi, barang-barang itu kembali seperti semula. Ini semua merupakan sihir takh-yili.
3-Sihir majazi, yaitu kejadian yang samar sebabnya karena dilakukan dengan kecepatan gerakan tangan, atau muslihat ilmiyah, atau kedustaan, atau penemuan-penemuan yang diketahui oleh tukang sihir itu sebelum orang-orang lain. Inilah yang disebut dengan sulap, atau semacamnya. Demikian juga namimah, bayan (penjelasan), dan semacamnya termasuk sihir majazi. Yakni disebut sihir karena pengaruhnya seperti sihir tetapi bukan sihir. Wallahu a’lam.
CATATAN:
Kemudian yang perlu diketahui, bahwa istilah sihir di dalam syari’at adalah sihir yang pelakunya minta tolong kepada syaithon.
Syaikh Umar Sulaiman Al-Asyqor –hafizhohulloh- berkata: “Sesungguhnya sihir hakiki adalah sihir yang pelakunya minta tolong kepada syaithon. Robb kita -Yang ilmuNya meliputi segala sesuatu- telah memberitakan bahwa syaithon-syaithon itu yang mengajarkan sihir...(surat Al-Baqoroh; 102)
Dan telah mutawatir berita-berita dari orang-orang yang menyelidiki keadaan-keadaan sihir dan tukang sihir yang menetapkan hubungan tukang-tukang sihir dengan syaithon.
Para tukang sihir mendekatkan diri kepada syaithon dengan apa yang mereka sukai, yang berupa kepercayaan-kepercayaan yang rusak, perbuatan-perbuatan yang sesat, memakan barang-barang haram dan buruk.
Lalu syaithon menolong mereka terhadap tujuan-tujuan mereka. Oleh karena itulah para cerdik dari ulama kita mendefinisikan sihir dengan: “perbuatan untuk mendekatkan diri kepada syithon dan (terjadi) dengan pertolongan syaithon. Perkara itu semua merupakan hakekat sihir”. (Kitab ‘Alamus Sihri was Sya’wadzah, hlm: 152) Wallahul Musta’an.
Rujukan:
1-Kitab ‘Alamus Sihri was Sya’wadzah, karya Syaikh Umar Sulaiman Al-Asyqor.
2-Sihru was Sya’wadzah wa Atsaruhuma ‘alal Fardi wal Mujtama’, karya Syaikh Sholih bin Fauzan Al-Fauzan. Dll
Disusun oleh Muslim Atsari
Sihir termasuk perbuatan dosa besar dengan ijma’ (kesepakatan) ulama. Baik mempelajari, mengajarkan, melakukan, atau minta disihirkan, semua terlarang.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ
Dari Abu Huroiroh, dari Nabi n , beliau bersabda: “Jauhilah tujuh (dosa) yang membinasakan!” Mereka (para sahabat) bertanya: “Wahai Rosululloh, apakah itu?” Beliau menjawab: “Syirik kepada Alloh; sihir; membunuh jiwa yang Alloh haromkan kecuali dengan haq; memakan riba; memakan harta anak yatim; berpaling dari perang yang berkecamuk; menuduh zina terhadap wanita-wanita merdeka yang menjaga kehormatan, yang beriman, dan yang bersih dari zina”. (Hadits Shohih Riwayat Bukhari, no: 3456; Muslim, no: 2669)
Namun, apakah hakekat sihir itu?
MAKNA SIHIR
Secara bahasa Arab, sihir artinya: sesuatu yang samar atau tersembunyi sebabnya. Sedangkan secara istilah syara’, maka para ulama memberikan definisi yang berbeda-beda, namun hakekatnya sama. Definisi paling lengkap yang kami dapatkan yaitu penjelasan imam ahli tafsir, imam Al-Aluusi -semoga Alloh merahmatinya-. Beliau berkata: “Yang dimaksudkan dengan sihir adalah perkara aneh yang menyerupai perkara luar biasa, padahal bukan perkara luar biasa karena dapat dipelajari, untuk mendapatkannya dengan mendekatkan diri kepada syaithon, dengan cara melakukan perkara-perkara buruk, yang berupa perkataan: seperti mantra-mantra yang di dalamnya terdapat kata-kata syirik, pujian kepada syaithon, dan kekuasaan syaithon, dan berupa perbuatan, seperti: beribadah kepada bintang-bintang, menekuni kejahatan, dan seluruh kefasikan, dan berupa keyakinan, seperti: anggapan baik terhadap apa-apa yang mendekatkan diri kepada syaithon, kecintaannya kepada syaithon.
Sihir itu tidaklah berjalan dengan baik kecuali dengan apa yang mencocoki syaithon di dalam keburukan dan kekejian jiwa, karena kesesuaian merupakan syarat saling mendekat dan membantu. Sebagaimana para malaikat tidak akan membantu kecuali kepada orang-orang yang baik, yang menyerupai para malaikat di dalam menekuni ibadah dan mendekatkan diri kepada Alloh Ta’ala dengan perkataan dan perbuatan, demikian pula syaithon tidak akan membantu kecuali kepada orang-orang yang jahat, yang menyerupai mereka di dalam kekejian dan keburukan, yang berupa perkataan, perbuatan, dan keyakinan. Dengan ini tukang sihir berbeda dengan Nabi dan wali”. (Ruhul Ma’ani 1/338; dinukil dari ‘Alamus Sihri was Sya’wadzah, hlm: 152-153)
APAKAH SIHIR ADA HAKEKATNYA?
Para ulama Ahli Sunnah sepakat bahwa sihir ada hakekatnya dan kenyataannya. Walaupun kelompok Mu’tazilah dan orang-orang yang terpengaruh dengan mereka mengingkari hakekat sihir, namun pengingkaran mereka tidak ada nilainya. Di antara dalil-dalilnya adalah:
1-Berita Alloh tentang adanya sihir, sedangkan berita Alloh adalah haq. (QS. Al-Baqoroh (2):102)
2-Perintah Alloh untuk berlindung dari kejahatan tukang sihir. (QS. Al-Falaq: 4)
3-Larangan dari Nabi untuk mempelajari sihir dan mengamalkannya.
4-Ijma’ sahabat. Al-Qorofi berkata: “Sihir dan berita tentang sihir telah diketahui oleh para sahabat –semoga Alloh meridhoi mereka semua- , mereka sepakat atas adanya sebelum munculnya kelompok Qodariyah (Mu’tazilah)”. Al-Furuuq, karya Al-Qorofi, juz 4, hlm: 150; dinukil dari ‘Alamus Sihri was Sya’wadzah, hlm: 92)
Imam Ibnul Qoyyim membantah pendapat Mu’tazilah yang mengatakan: “Sesungguhnya seluruh sihir hanyalah takh-yiil (membuat khayalan)”, beliau berkata: “Ini menyelisihi riwayat-riwayat mutawatir dari para sahabat dan Salaf (orang-orang zaman dahulu yang sholih), dan telah disepakati oleh ahli fiqih, ahli tafsir, dan ahli hadits. Dan yang dikenal oleh kebanyakn ahli fiqih”. (Tafsir Al-Qoyyim, hlm: 571; dinukil dari ‘Alamus Sihri was Sya’wadzah, hlm: 92)
5-Kejadian Nabi n pernah disihir. (Hadits Shohih Riwayat Bukhari, no:5766; Muslim, no: 2189)
6-Kenyataan sihir di zaman Nabi Musa, dari tukang-tukang sihir yang dikumpulkan oleh Fir’aun (QS. Al-A’rof, ayat: 116)
7-Kenyataan di setiap zaman dan tempat. Disebutkan di dalam kitab Sihir, hlm: 11, karya Muhammad Muhammad Ja’far bahwa sihir merupakan kenyataan yang terjadi, benar-benar ada, tidak ada keraguan tentangnya. Sihir ini telah disebutkan seluruh kitab dari langit. Sihir diwarisi oleh orang-orang Babilonia, Mesir, India, Cina, dan lainnya di dalam tulisan-tulisan, lukisan-lukisan, patung-patung, dan peninggalan-peninggalan mereka. Sihir juga dimuat di dalam catatan-catatan dan data-data pengadilan-pengadilan di Inggris, Perancis, Itali, Belanda, Rusia, dan Portugis, dan lainnya. Dan disebutkan di dalam pengakuan-pengakuan tukang-tukang sihir laki-laki dan perempuan pada waktu pengadilan mereka. Juga ada di dalam warisan para tukang sihir itu, yang berupa alat-alat, bahan-bahan, dan perjanjian-perjanjian dengan syaithon. Itu masih tersimpan di dalam perpustakaan-perpustakaan umum atau museum-museum”. (Dinukil dari ‘Alamus Sihri was Sya’wadzah, hlm: 93-94)
MACAM-MACAM SIHIR
Untuk melengkapi masalah sihir ini, kita juga perlu mengetahui macam-macam sihir yang ada:
1-Sihir hakiki: yaitu sihir yang ada kenyataannya, seperti sihir yang mempengaruhi badan, sehingga menjadikan sakit, atau membunuh (inilah yang disebut dengan tenung, santet, teluh, dan semacamnya-pen) atau memisahkan dua orang yang saling mencintai (ini disebut shor-f), atau mengumpulkan dua orang yang saling membenci (ini disebut dengan ‘ath-f, aji pengasihan, pelet, dan semacamnya).
Sihir hakiki ini ada dua macam: sihir yang terjadi dengan niat tukang sihir; dan sihir yang terjadi dengan alat (semacam benda-benda yang telah diberi mantra atau rajah).
2-Sihir takh-yili: yaitu tukang sihir menggunakan kekuatan daya khayalnya, lalu dia menggambarkan khayalan-khayalan, atau tiruan-tiruan, atau bentuk-bentuk, lalu dia tampilkan kepada indra orang-orang yang melihat, sehingga orang-orang yang melihat seolah-olah melihatnya ada pada kenyataan, padahal itu tidak ada. Inilah yang disebut dengan hipnotis, atau semacamnya. Seperti tukang sihir yang memperlihatkan taman-taman, sungai-sungai, istana-istana, padahal itu semua tidak ada, itu hanyalah khayalan pada pandangan mata. Atau seperti tukang sihir yang menikam dirinya dengan pedang, atau memakan api, atau berjalan di atas api, namun hal itu tidak berbekas padanya. Ini semua hanyalah khayalan. Atau seseorang datang dengan membawa kertas biasa, lalu dia menyihir orang lain, sehingga dia melihatnya sebagai uang kertas. Atau dia membawa besi, tetapi orang yang disihir melihatnya sebagai emas. Atau dia membawa belalang, tetapi orang yang disihir melihatnya sebagai kambing. Dan setelah orang itu pergi, barang-barang itu kembali seperti semula. Ini semua merupakan sihir takh-yili.
3-Sihir majazi, yaitu kejadian yang samar sebabnya karena dilakukan dengan kecepatan gerakan tangan, atau muslihat ilmiyah, atau kedustaan, atau penemuan-penemuan yang diketahui oleh tukang sihir itu sebelum orang-orang lain. Inilah yang disebut dengan sulap, atau semacamnya. Demikian juga namimah, bayan (penjelasan), dan semacamnya termasuk sihir majazi. Yakni disebut sihir karena pengaruhnya seperti sihir tetapi bukan sihir. Wallahu a’lam.
CATATAN:
Kemudian yang perlu diketahui, bahwa istilah sihir di dalam syari’at adalah sihir yang pelakunya minta tolong kepada syaithon.
Syaikh Umar Sulaiman Al-Asyqor –hafizhohulloh- berkata: “Sesungguhnya sihir hakiki adalah sihir yang pelakunya minta tolong kepada syaithon. Robb kita -Yang ilmuNya meliputi segala sesuatu- telah memberitakan bahwa syaithon-syaithon itu yang mengajarkan sihir...(surat Al-Baqoroh; 102)
Dan telah mutawatir berita-berita dari orang-orang yang menyelidiki keadaan-keadaan sihir dan tukang sihir yang menetapkan hubungan tukang-tukang sihir dengan syaithon.
Para tukang sihir mendekatkan diri kepada syaithon dengan apa yang mereka sukai, yang berupa kepercayaan-kepercayaan yang rusak, perbuatan-perbuatan yang sesat, memakan barang-barang haram dan buruk.
Lalu syaithon menolong mereka terhadap tujuan-tujuan mereka. Oleh karena itulah para cerdik dari ulama kita mendefinisikan sihir dengan: “perbuatan untuk mendekatkan diri kepada syithon dan (terjadi) dengan pertolongan syaithon. Perkara itu semua merupakan hakekat sihir”. (Kitab ‘Alamus Sihri was Sya’wadzah, hlm: 152) Wallahul Musta’an.
Rujukan:
1-Kitab ‘Alamus Sihri was Sya’wadzah, karya Syaikh Umar Sulaiman Al-Asyqor.
2-Sihru was Sya’wadzah wa Atsaruhuma ‘alal Fardi wal Mujtama’, karya Syaikh Sholih bin Fauzan Al-Fauzan. Dll
TUJUH DOSA BESAR
TUJUH DOSA BESAR
Disusun oleh Muslim Atsari
Sesungguhnya Alloh Ta’ala mengutus rasul-rasul sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, agar supaya tidak alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan di antara peringatan dan larangan yang telah disampaikan oleh Nabi Muhammad n adalah tujuh dosa yang membinasakan! Apakah tujuh dosa tersebut? Marilah kita perhatikan bersama hadits yang mulia di bawah ini:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ
Dari Abu Huroiroh, dari Nabi n , beliau bersabda: “Jauhilah tujuh (dosa) yang membinasakan!” Mereka (para sahabat) bertanya: “Wahai Rosululloh, apakah itu?” Beliau menjawab: “Syirik kepada Alloh; sihir; membunuh jiwa yang Alloh haromkan kecuali dengan haq; memakan riba; memakan harta anak yatim; berpaling dari perang yang berkecamuk; menuduh zina terhadap wanita-wanita merdeka yang menjaga kehormatan, yang beriman, dan yang bersih dari zina”. (Hadits Shohih Riwayat Bukhari, no: 3456; Muslim, no: 2669)
KETERANGAN DAN FAEDAH-FAEDAH HADITS:
Dari hadits ini kita dapat mengambil beberapa faedah antara lain:
1.Sabda Nabi n “Tujuh (dosa) yang membinasakan”, karena tujuh perkara ini akan membinasakan pelakuknya di dunia dengan hukuman-hukuman yang mengiringinya, dan di akhirat dengan siksaan. (Fathul Majid, hlm: 255, penerbit: Dar Ibni Hazm) Ini juga menunjukkan bahwa dosa itu tidak sama besarnya, bahkan ada dosa kecil, dosa besar, dan dosa besar yang paling besar. Alloh Ta’ala berfirman:
إِن تَجْتَنِبُوا كَبَآئِرَ مَاتُنْهَوْنَ عَنْهَ نُكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُم مُّدْخَلاً كَرِيماً
Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang kamu dilarang mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga). (QS. 4:31)
2.Disebutkannya tujuh (dosa besar) ini bukan berarti dosa besar hanya tujuh, karena dalil-dalil lain menunjukkan lebih dari tujuh. Namun pada waktu itu beliau n memberitahukan tujuh dosa ini, kemudian setelah itu beliau memberitahukan yang lainnya, maka wajib menerima berita tambahan tersebut. Atau beliau mencukupkan menyebutkan tujuh dosa itu karena sesuai dengan keadaan orang yang bertanya. (Fathul Majid, hlm: 255)
Nabi n bersabda:
أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ , وَكَانَ مُتَّكِئًا فَجَلَسَ فَقَالَ أَلَا وَقَوْلُ الزُّورِ فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا لَيْتَهُ سَكَتَ
“Tidakkah kuberitahukan kepada kamu dengan dosa-dosa besar yang paling besar?” Mereka menjawab: “Ya, wahai Rosululloh”. Beliau menjawab: “Syirik kepada Alloh dan durhaka kepada orang tua”. Pada waktu itu beliau berbaring, lalu beliau duduk sambil berkata: “Ketahuilah, dan perkataan palsu”, beliau selalu mengulang-ulangnya sampai kami mengatakan: “semoga beliau diam”. (HR. Bukhari, no: 6273; Muslim, no: 87; dari sahabat Abu Bakroh)
3.Para ulama berbeda pendapat tentang ta’rif dosa besar, ta’rif -yang paling tepat, wallohu a’lam- adalah: “dosa yang disertai dengan had (hukuman dunia yang ditetapkan syari’at), atau ancaman neraka, atau laknat, atau kemurkaan Alloh. (Lihat: Tahdzib Syarh Thohawiyah, hlm: 162)
4.Syirik merupakan dosa terbesar, karena itulah disebutkan pertama kali. Dalilnya antara lain hadits di atas.
Syirik (kemusyrikan) adalah: menjadikan sekutu atau tandingan bagi Alloh Ta’ala di dalam rububiyah (perbuatanNya), uluhiyah (hakNya untuk ditaati secara mutlak dengan penuh kecintaan dan pengagungan), dan asma’ dan sifat (nama-namaNya yang indah dan sifat-sifatNya yang sempurna). (Kitab Muqorror Tauhid lish Shoff ats-Tsalits al-‘Ali fil Ma’ahid al-Islamiyah, juz 3, hlm: 10)
5.Sihir termasuk dosa besar, bahkan kekafiran. Alloh Ta’ala berfirman:
وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُوا الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَاكَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِّنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَآأُنزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولآ إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلاَ تَكْفُرْ {102}
Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Merek mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaiu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan:"Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir". (QS. 2:102)
6.Diharamkan membunuh jiwa yang Alloh haromkan untuk dibunuh, yaitu jiwa orang muslim, orang kafir dzimmi, mu’ahad, dan musta’man. Hal ini dijelaskan oleh para ulama. Nabi n bersabda:
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا
Barangsiapa membunuh mu’ahad (orang kafir yang ada perjanjian damai dengan umat Islam), dia tidak akan mendapati bau sorga, padahal sesungguhnya bau sorga itu dari jarak 40 tahun perjalanan”. (HR. Bukhori, no: 3166; dari Abdulloh bin ‘Amr)
7.Sabda Nabi n “kecuali dengan haq”, yaitu pembunuhan yang dilakukan oleh pemerintah muslim dengan sebab kemurtadan, qishoh, dan rojam.
8.Diharamkan “memakan riba”, yaitu mengambil riba dengan bentuk apa saja. Disebut dengan memakan, karena makan adalah bentuk pemanfaatan yang paling umum. Alloh berfirman:
يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَابَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. (QS. 2: 278)
9.Diharamkan “Memakan harta anak yatim”, yaitu melanggar hak harta anak yatim. Alloh Ta’ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا {10}
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (QS. 4:10)
10.Diharamkan “berpaling dari perang yang berkecamuk”, yaitu mundur dari orang-orang kafir pada waktu berkecamuknya perang. Ini merupakan dosa besar, kecuali jika dia mundur untuk bergabung dengan kelompok pasukan Islam lainnya atau untuk mengatur siasat. (Lihat Al-Qur’an surat Al-Anfal:15-16)
11.Sabda Nabi n “Menuduh zina terhadap wanita-wanita merdeka yang menjaga kehormatan, yang beriman, dan yang bersih dari zina”. Ini berarti menuduh zina terhadap wanita-wanita kafir tidak termasuk tujuh dosa besar ini. Namun bukan berarti dibolehkan, karena itu termasuk kezholiman dan ketidak adilan yang dilarang oleh Alloh Ta’ala.
وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَئَانُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيرُُ بِمَا تَعْمَلُونَ
Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang akamu kerjakan. (QS. 5:8)
Setelah kita mengetahui hadits ini dan sedikit penjelasannya, maka marilah kita jauhi semua dosa-dosa ini dan yang lainya.
Disusun oleh Muslim Atsari
Sesungguhnya Alloh Ta’ala mengutus rasul-rasul sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, agar supaya tidak alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan di antara peringatan dan larangan yang telah disampaikan oleh Nabi Muhammad n adalah tujuh dosa yang membinasakan! Apakah tujuh dosa tersebut? Marilah kita perhatikan bersama hadits yang mulia di bawah ini:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ
Dari Abu Huroiroh, dari Nabi n , beliau bersabda: “Jauhilah tujuh (dosa) yang membinasakan!” Mereka (para sahabat) bertanya: “Wahai Rosululloh, apakah itu?” Beliau menjawab: “Syirik kepada Alloh; sihir; membunuh jiwa yang Alloh haromkan kecuali dengan haq; memakan riba; memakan harta anak yatim; berpaling dari perang yang berkecamuk; menuduh zina terhadap wanita-wanita merdeka yang menjaga kehormatan, yang beriman, dan yang bersih dari zina”. (Hadits Shohih Riwayat Bukhari, no: 3456; Muslim, no: 2669)
KETERANGAN DAN FAEDAH-FAEDAH HADITS:
Dari hadits ini kita dapat mengambil beberapa faedah antara lain:
1.Sabda Nabi n “Tujuh (dosa) yang membinasakan”, karena tujuh perkara ini akan membinasakan pelakuknya di dunia dengan hukuman-hukuman yang mengiringinya, dan di akhirat dengan siksaan. (Fathul Majid, hlm: 255, penerbit: Dar Ibni Hazm) Ini juga menunjukkan bahwa dosa itu tidak sama besarnya, bahkan ada dosa kecil, dosa besar, dan dosa besar yang paling besar. Alloh Ta’ala berfirman:
إِن تَجْتَنِبُوا كَبَآئِرَ مَاتُنْهَوْنَ عَنْهَ نُكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُم مُّدْخَلاً كَرِيماً
Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang kamu dilarang mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga). (QS. 4:31)
2.Disebutkannya tujuh (dosa besar) ini bukan berarti dosa besar hanya tujuh, karena dalil-dalil lain menunjukkan lebih dari tujuh. Namun pada waktu itu beliau n memberitahukan tujuh dosa ini, kemudian setelah itu beliau memberitahukan yang lainnya, maka wajib menerima berita tambahan tersebut. Atau beliau mencukupkan menyebutkan tujuh dosa itu karena sesuai dengan keadaan orang yang bertanya. (Fathul Majid, hlm: 255)
Nabi n bersabda:
أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ , وَكَانَ مُتَّكِئًا فَجَلَسَ فَقَالَ أَلَا وَقَوْلُ الزُّورِ فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا لَيْتَهُ سَكَتَ
“Tidakkah kuberitahukan kepada kamu dengan dosa-dosa besar yang paling besar?” Mereka menjawab: “Ya, wahai Rosululloh”. Beliau menjawab: “Syirik kepada Alloh dan durhaka kepada orang tua”. Pada waktu itu beliau berbaring, lalu beliau duduk sambil berkata: “Ketahuilah, dan perkataan palsu”, beliau selalu mengulang-ulangnya sampai kami mengatakan: “semoga beliau diam”. (HR. Bukhari, no: 6273; Muslim, no: 87; dari sahabat Abu Bakroh)
3.Para ulama berbeda pendapat tentang ta’rif dosa besar, ta’rif -yang paling tepat, wallohu a’lam- adalah: “dosa yang disertai dengan had (hukuman dunia yang ditetapkan syari’at), atau ancaman neraka, atau laknat, atau kemurkaan Alloh. (Lihat: Tahdzib Syarh Thohawiyah, hlm: 162)
4.Syirik merupakan dosa terbesar, karena itulah disebutkan pertama kali. Dalilnya antara lain hadits di atas.
Syirik (kemusyrikan) adalah: menjadikan sekutu atau tandingan bagi Alloh Ta’ala di dalam rububiyah (perbuatanNya), uluhiyah (hakNya untuk ditaati secara mutlak dengan penuh kecintaan dan pengagungan), dan asma’ dan sifat (nama-namaNya yang indah dan sifat-sifatNya yang sempurna). (Kitab Muqorror Tauhid lish Shoff ats-Tsalits al-‘Ali fil Ma’ahid al-Islamiyah, juz 3, hlm: 10)
5.Sihir termasuk dosa besar, bahkan kekafiran. Alloh Ta’ala berfirman:
وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُوا الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَاكَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِّنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَآأُنزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولآ إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلاَ تَكْفُرْ {102}
Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Merek mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaiu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan:"Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir". (QS. 2:102)
6.Diharamkan membunuh jiwa yang Alloh haromkan untuk dibunuh, yaitu jiwa orang muslim, orang kafir dzimmi, mu’ahad, dan musta’man. Hal ini dijelaskan oleh para ulama. Nabi n bersabda:
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا
Barangsiapa membunuh mu’ahad (orang kafir yang ada perjanjian damai dengan umat Islam), dia tidak akan mendapati bau sorga, padahal sesungguhnya bau sorga itu dari jarak 40 tahun perjalanan”. (HR. Bukhori, no: 3166; dari Abdulloh bin ‘Amr)
7.Sabda Nabi n “kecuali dengan haq”, yaitu pembunuhan yang dilakukan oleh pemerintah muslim dengan sebab kemurtadan, qishoh, dan rojam.
8.Diharamkan “memakan riba”, yaitu mengambil riba dengan bentuk apa saja. Disebut dengan memakan, karena makan adalah bentuk pemanfaatan yang paling umum. Alloh berfirman:
يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَابَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. (QS. 2: 278)
9.Diharamkan “Memakan harta anak yatim”, yaitu melanggar hak harta anak yatim. Alloh Ta’ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا {10}
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (QS. 4:10)
10.Diharamkan “berpaling dari perang yang berkecamuk”, yaitu mundur dari orang-orang kafir pada waktu berkecamuknya perang. Ini merupakan dosa besar, kecuali jika dia mundur untuk bergabung dengan kelompok pasukan Islam lainnya atau untuk mengatur siasat. (Lihat Al-Qur’an surat Al-Anfal:15-16)
11.Sabda Nabi n “Menuduh zina terhadap wanita-wanita merdeka yang menjaga kehormatan, yang beriman, dan yang bersih dari zina”. Ini berarti menuduh zina terhadap wanita-wanita kafir tidak termasuk tujuh dosa besar ini. Namun bukan berarti dibolehkan, karena itu termasuk kezholiman dan ketidak adilan yang dilarang oleh Alloh Ta’ala.
وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَئَانُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيرُُ بِمَا تَعْمَلُونَ
Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang akamu kerjakan. (QS. 5:8)
Setelah kita mengetahui hadits ini dan sedikit penjelasannya, maka marilah kita jauhi semua dosa-dosa ini dan yang lainya.
JANGAN SEMBAH MALAIKAT!
JANGAN SEMBAH MALAIKAT!
Disusun oleh Muslim Atsari
Sesungguhnya ibadah hanyalah hak Alloh semata. Namun sebagian manusia menyekutukanNya dengan selainNya. Ada yang menyekutukan Alloh dengan manusia, jin, binatang, pohon, batu, kuburan, dan lainnya. Demikian juga sebagian manusia beribadah kepada malaikat. Maka hadits di bawah ini memberikan penjelasan kepada kita semua bahwa malaikat, yang merupakan makhluk yang dekat dengan Alloh, tidak berhak diibadahi, maka apalagi makhluk-makhluk yang lainnya. Inilah hadits agung dari sabda Nabi n dan sebagian dari faedah-faedah yang dapat kita ambil darinya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ يَبْلُغُ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا قَضَى اللَّهُ الْأَمْرَ فِي السَّمَاءِ ضَرَبَتْ الْمَلَائِكَةُ بِأَجْنِحَتِهَا خُضْعَانًا لِقَوْلِهِ كَالسِّلْسِلَةِ عَلَى صَفْوَانٍ -قَالَ عَلِيٌّ وَقَالَ غَيْرُهُ صَفْوَانٍ يَنْفُذُهُمْ ذَلِكَ- فَإِذَا فُزِّعَ عَنْ قُلُوبِهِمْ قَالُوا مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ قَالُوا لِلَّذِي قَالَ الْحَقَّ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ فَيَسْمَعُهَا مُسْتَرِقُو السَّمْعِ وَمُسْتَرِقُو السَّمْعِ هَكَذَا وَاحِدٌ فَوْقَ آخَرَ وَوَصَفَ سُفْيَانُ بِيَدِهِ وَفَرَّجَ بَيْنَ أَصَابِعِ يَدِهِ الْيُمْنَى نَصَبَهَا بَعْضَهَا فَوْقَ بَعْضٍ- فَرُبَّمَا أَدْرَكَ الشِّهَابُ الْمُسْتَمِعَ قَبْلَ أَنْ يَرْمِيَ بِهَا إِلَى صَاحِبِهِ فَيُحْرِقَهُ وَرُبَّمَا لَمْ يُدْرِكْهُ حَتَّى يَرْمِيَ بِهَا إِلَى الَّذِي يَلِيهِ إِلَى الَّذِي هُوَ أَسْفَلَ مِنْهُ حَتَّى يُلْقُوهَا إِلَى الْأَرْضِ وَرُبَّمَا قَالَ سُفْيَانُ حَتَّى تَنْتَهِيَ إِلَى الْأَرْضِ فَتُلْقَى عَلَى فَمْ السَّاحِرِ-وَ فِيْ رِوَايَةٍ: وَالْكَاهِنِ - فَيَكْذِبُ مَعَهَا مِائَةَ كَذْبَةٍ فَيُصَدَّقُ فَيَقُولُونَ أَلَمْ يُخْبِرْنَا يَوْمَ كَذَا وَكَذَا يَكُونُ كَذَا وَكَذَا فَوَجَدْنَاهُ حَقًّا لِلْكَلِمَةِ الَّتِي سُمِعَتْ مِنْ السَّمَاءِ
Dari Abu Huroiroh, Nabi r bersabda: “Jika Alloh memutuskan urusan di atas langit, para malaikat memukulkan sayap-sayapnya karena tunduk kepada perkataanNya. (Suara yang didengar) itu seperti rantai di atas batu yang licin, -seorang perawi bernama ‘Ali dan lainnya mengatakan: “perkataan itu merasuki para malaikat”. Setelah rasa takut hilang dari hati para malaikat, mereka berkata (kepada malaikat lainnya): “Apakah yang telah dikatakan oleh Robb kamu?” Mereka menjawab kepada (malaikat) yang bertanya: “Alloh berkata kebenaran, dan Dia Maha Tinggi lagi Maha Besar”. Kemudian para pencuri pendengaran (yakni para syaithon dari bangsa jin) mendengar (kalimat) itu. Sedangkan para pencuri pendengaran itu begini, satu orang di atas yang lain. Sufyan (seorang perawi) menggambarkannya dengan satu tangannya, dia merenggangkan antara jari-jari tangan kanannya, dia menegakkannya, sebagiannya di atas sebagian yang lain. Kemudian terkadang meteor (bintang) mengenai pencuri pendengaran itu sebelum dia memberikannya kepada kawannya, sehingga meteor itu membakarnya. Dan terkadang meteor (bintang) belum mengenai pencuri pendengaran itu sehingga dia memberikannya kepada jin yang di dekatnya, kepada yang di bawahnya, sehingga sampai di bumi. Kemudian kalimat (curian itu) diberikan pada mulut tukang sihir –di dalam riwayat lain: dan kahin. Kemudian kahin itu berdusta seratus kedustaan bersama satu kalimat, sehingga kahin itu dipercayai, yaitu masyarakat mengatakan: “Tidakkah kahin itu memberitakan kepada kita pada hari anu akan terjadi begini, kemudian kita mendapatinya sebagai kebenaran?”, (kahin itu dibenarkan) karena satu kalimat yang telah didengar dari langit. (Hadits Shohih Riwayat Bukhori, no: 4701, 4800; Tirmidzi, no: 3223; Ibnu Majah, no: 194; Lafazh hadits ini milik Imam Bukhori)
KETERANGAN:
Sabda Nabi n : “Jika Alloh memutuskan urusan di atas langit”, maksudnya jika Alloh berbicara, yaitu memberikan wahyuNya, sebagaimana disebutkan di dalam hadits yang lain.
Sabda Nabi n : “Kemudian para pencuri pendengaran mendengar (kalimat) itu", yang dimaksudkan yaitu para syaithon dari bangsa jin.
Syaikh Sholih Al-Fauzan berkata: “Kuhhaan bentuk jama’ (banyak) dari kahin, yaitu orang yang memberitakan perkara-perkara yang ghoib (tidak dapat dijangkau dengan panca indra) tentang apa yang akan terjadi, dengan bersandarkan permintaan tolong kepada syaithon-syaithon”. (Al-Mulakhos fii Syarh Kitab At-Tauhid, hlm: 174)
Kahin ini dalam bahasa kita semakna dengan dukun, walaupun sebagian mereka di masyarakat dikenal dengan sebutan kyai, orang pintar, orang tua, atau semacamnya.
FAEDAH-FAEDAH HADITS DI ATAS:
Jika Alloh memutuskan urusan di atas langit, Alloh berbicara kepada Jibril dengan wahyuNya, kemudian Jibril menyampaikan kepada para malaikat lainnya.
Kewajiban meyakini sifat kalam (berbicara) bagi Alloh, dan sifat-sifat lainnya yang diberitakan oleh Alloh di dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits yang shohih, tanpa menyerupakan dengan makhluk, dan tanpa merobah-robahnya.
Kalam (pembicaraan) Alloh memiliki suara yang didengar oleh sebagian makhluk yang dikehendaki oleh Alloh.
Para malaikat adalah makhluk Alloh, mereka memiliki sayap-sayap, sebagaimana Alloh beritakan di dalam surat Al-Fathir ayat 1. Dengan demikian malaikat itu berjisim, bukan hanya ruh semata-mata, dan bukan pula khayalan seperti anggapan orang-orang filsafat.
Sifat malaikat adalah taat dan tunduk kepada Alloh Ta’ala, sebagaimana firman Alloh di dalam surat At-Tahrim ayat 6.
Malaikat memiliki sifat takut kepada Alloh, sebagaimana firman Alloh di dalam surat An-Nahl ayat 50.
Bantahan terhadap kemusyrikan. Karena ada orang-orang yang berkeyakinan bahwa malaikat memiliki kekuasaan, kemudian menyembah mereka.
Malaikat bisa pingsan, maka tidak mustahil juga bisa mati pada hari kiamat.
Para malaikat memiliki hati, berfikir, dan berbicara.
Di antara malaikat ada yang merupakan utusan Alloh di kalangan malaikat. Oleh Karena itulah sebagian mereka bertanya kepada lainnya tentang apa yang Alloh katakan.
Malaikat tinggal di langit, sedangkan manusia dan jin tinggal di bumi.
Jibril merupakan utusan Alloh di kalangan malaikat.
Jibril memiliki sifat amanah, ini bantahan terhadap Syi’ah Rofidhoh yang menuduh Jibril berkhianat dalam menyampaikan wahyu.
Perkataan Alloh adalah haq, sesuai dengan kenyataan dan mengandung hikmah.
Salah satu nama Alloh adalah Al-‘Ali (Maha Tinggi), sehingga di antara sifat dzatiyah Alloh adalah ketinggian. Ketinggian Alloh ini meliputi tiga hal: ketinggian dzat, kekuasaan, dan kedudukan.
Salah satu nama Alloh adalah Al-Kabiir (Maha Besar), sehingga di antara sifat dzatiyah Alloh adalah kebesaran, yaitu bahwa Alloh adalah Yang Paling Besar dan segala sesuatu lebih kecil daripada Alloh Ta’ala.
Usaha para syaithon dari bangsa jin untuk mencuri pendengaran dari pembicaraan malaikat. (QS. 72:8)
Metode para syaithon dari bangsa jin untuk mencuri pendengaran, yaitu dengan cara saling menaiki sampai mendekati awan.
Di antara hikmah Alloh menciptakan bintang-bintang adalah sebagai penjagaan langit dari para syaithon.
Meteor terkadang membakar syaithon yang mencuri pendengaran sebelum dia memberikannya kepada yang lain, atau sesudahnya. Hal itu sebagai cobaan bagi manusia. Karena jika Alloh berkehendak, Dia mampu menghalangi pencurian itu sama sekali.
Syaithon dari kalangan jin memiliki wali (kekasih) dari kalangan manusia, yaitu kahin.
Kahin terkadang menceritakan sesuatu yang menjadi kenyataan.
Jika kahin berkata benar, maka itu adalah satu kalimat dari jin hasil copetan dari malaikat, kemudian dibisikkan pada telinganya.
Kahin itu berdusta dengan seratus kedustaan bersama satu kalimat yang benar. Sehingga kahin adalah manusia yang paling pendusta.
Syubhat masyarakat yang mempercayai kahin. Yaitu perkataan mereka mengatakan: “Tidakkah kahin itu memberitakan kepada kita pada hari anu akan terjadi begini, kemudian kita mendapatinya sebagai kebenaran?”.
Mereka mengambil syubhat tersebut, menghafalnya, dan berdalil dengannya.
Kahin itu dibenarkan oleh sebagian masyarakat karena satu kalimat yang telah didengar dari langit.
Jiwa sebagian manusia sangat mudah menerima kebatilan. Mereka berpegang dengan satu kebenaran, tetapi tidak menilai seratus kedustaan.
Rosululloh n memanfaatkan kejadian-kejadian untuk memberi pelajaran kepada para sahabat.
Memberikan pelajaran dengan metode bertanya.
Orang-orang jahiliyah memiliki kepercayaan dan kebiasaan yang tidak berdasarkan ilmu.
Adab para sahabat ketika ditanya oleh Rosululloh n , yaitu dengan menjawab: “Alloh dan RosulNya lebih tahu”.
Termasuk kepercayaan jahiliyah bahwa bintang-bintang berpengaruh kepada nasib kehidupan manusia, seperti kelahiran dan kematian, dan lainnya.
Rosululloh n mengoreksi kepercayaan jahiliyah. Antara lain dengan sabda beliau: “Sesungguhnya bintang itu tidaklah dilemparkan karena kematian seseorang, dan bukan karena hidupnya seseorang”.
Menunjukkan kekuatan, kekuasaan, keagungan Alloh Ta’ala.
Dengan hadits ini nampak jelas bahwa para malaikat itu merupakan hamba-hamba Alloh yang taat. Mereka tidak memiliki hak rububiyah (berkuasa terhadap alam semesta) dan hak uluhiyah (diibadahi/disembah), karena kedua hak itu hanyalah bagi Alloh semata. Semoga keterangan ini menambah ilmu bagi kita semua.
(Rujukan: Kitab At-Tauhid dengan Syarah-Syarahnya)
Disusun oleh Muslim Atsari
Sesungguhnya ibadah hanyalah hak Alloh semata. Namun sebagian manusia menyekutukanNya dengan selainNya. Ada yang menyekutukan Alloh dengan manusia, jin, binatang, pohon, batu, kuburan, dan lainnya. Demikian juga sebagian manusia beribadah kepada malaikat. Maka hadits di bawah ini memberikan penjelasan kepada kita semua bahwa malaikat, yang merupakan makhluk yang dekat dengan Alloh, tidak berhak diibadahi, maka apalagi makhluk-makhluk yang lainnya. Inilah hadits agung dari sabda Nabi n dan sebagian dari faedah-faedah yang dapat kita ambil darinya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ يَبْلُغُ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا قَضَى اللَّهُ الْأَمْرَ فِي السَّمَاءِ ضَرَبَتْ الْمَلَائِكَةُ بِأَجْنِحَتِهَا خُضْعَانًا لِقَوْلِهِ كَالسِّلْسِلَةِ عَلَى صَفْوَانٍ -قَالَ عَلِيٌّ وَقَالَ غَيْرُهُ صَفْوَانٍ يَنْفُذُهُمْ ذَلِكَ- فَإِذَا فُزِّعَ عَنْ قُلُوبِهِمْ قَالُوا مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ قَالُوا لِلَّذِي قَالَ الْحَقَّ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ فَيَسْمَعُهَا مُسْتَرِقُو السَّمْعِ وَمُسْتَرِقُو السَّمْعِ هَكَذَا وَاحِدٌ فَوْقَ آخَرَ وَوَصَفَ سُفْيَانُ بِيَدِهِ وَفَرَّجَ بَيْنَ أَصَابِعِ يَدِهِ الْيُمْنَى نَصَبَهَا بَعْضَهَا فَوْقَ بَعْضٍ- فَرُبَّمَا أَدْرَكَ الشِّهَابُ الْمُسْتَمِعَ قَبْلَ أَنْ يَرْمِيَ بِهَا إِلَى صَاحِبِهِ فَيُحْرِقَهُ وَرُبَّمَا لَمْ يُدْرِكْهُ حَتَّى يَرْمِيَ بِهَا إِلَى الَّذِي يَلِيهِ إِلَى الَّذِي هُوَ أَسْفَلَ مِنْهُ حَتَّى يُلْقُوهَا إِلَى الْأَرْضِ وَرُبَّمَا قَالَ سُفْيَانُ حَتَّى تَنْتَهِيَ إِلَى الْأَرْضِ فَتُلْقَى عَلَى فَمْ السَّاحِرِ-وَ فِيْ رِوَايَةٍ: وَالْكَاهِنِ - فَيَكْذِبُ مَعَهَا مِائَةَ كَذْبَةٍ فَيُصَدَّقُ فَيَقُولُونَ أَلَمْ يُخْبِرْنَا يَوْمَ كَذَا وَكَذَا يَكُونُ كَذَا وَكَذَا فَوَجَدْنَاهُ حَقًّا لِلْكَلِمَةِ الَّتِي سُمِعَتْ مِنْ السَّمَاءِ
Dari Abu Huroiroh, Nabi r bersabda: “Jika Alloh memutuskan urusan di atas langit, para malaikat memukulkan sayap-sayapnya karena tunduk kepada perkataanNya. (Suara yang didengar) itu seperti rantai di atas batu yang licin, -seorang perawi bernama ‘Ali dan lainnya mengatakan: “perkataan itu merasuki para malaikat”. Setelah rasa takut hilang dari hati para malaikat, mereka berkata (kepada malaikat lainnya): “Apakah yang telah dikatakan oleh Robb kamu?” Mereka menjawab kepada (malaikat) yang bertanya: “Alloh berkata kebenaran, dan Dia Maha Tinggi lagi Maha Besar”. Kemudian para pencuri pendengaran (yakni para syaithon dari bangsa jin) mendengar (kalimat) itu. Sedangkan para pencuri pendengaran itu begini, satu orang di atas yang lain. Sufyan (seorang perawi) menggambarkannya dengan satu tangannya, dia merenggangkan antara jari-jari tangan kanannya, dia menegakkannya, sebagiannya di atas sebagian yang lain. Kemudian terkadang meteor (bintang) mengenai pencuri pendengaran itu sebelum dia memberikannya kepada kawannya, sehingga meteor itu membakarnya. Dan terkadang meteor (bintang) belum mengenai pencuri pendengaran itu sehingga dia memberikannya kepada jin yang di dekatnya, kepada yang di bawahnya, sehingga sampai di bumi. Kemudian kalimat (curian itu) diberikan pada mulut tukang sihir –di dalam riwayat lain: dan kahin. Kemudian kahin itu berdusta seratus kedustaan bersama satu kalimat, sehingga kahin itu dipercayai, yaitu masyarakat mengatakan: “Tidakkah kahin itu memberitakan kepada kita pada hari anu akan terjadi begini, kemudian kita mendapatinya sebagai kebenaran?”, (kahin itu dibenarkan) karena satu kalimat yang telah didengar dari langit. (Hadits Shohih Riwayat Bukhori, no: 4701, 4800; Tirmidzi, no: 3223; Ibnu Majah, no: 194; Lafazh hadits ini milik Imam Bukhori)
KETERANGAN:
Sabda Nabi n : “Jika Alloh memutuskan urusan di atas langit”, maksudnya jika Alloh berbicara, yaitu memberikan wahyuNya, sebagaimana disebutkan di dalam hadits yang lain.
Sabda Nabi n : “Kemudian para pencuri pendengaran mendengar (kalimat) itu", yang dimaksudkan yaitu para syaithon dari bangsa jin.
Syaikh Sholih Al-Fauzan berkata: “Kuhhaan bentuk jama’ (banyak) dari kahin, yaitu orang yang memberitakan perkara-perkara yang ghoib (tidak dapat dijangkau dengan panca indra) tentang apa yang akan terjadi, dengan bersandarkan permintaan tolong kepada syaithon-syaithon”. (Al-Mulakhos fii Syarh Kitab At-Tauhid, hlm: 174)
Kahin ini dalam bahasa kita semakna dengan dukun, walaupun sebagian mereka di masyarakat dikenal dengan sebutan kyai, orang pintar, orang tua, atau semacamnya.
FAEDAH-FAEDAH HADITS DI ATAS:
Jika Alloh memutuskan urusan di atas langit, Alloh berbicara kepada Jibril dengan wahyuNya, kemudian Jibril menyampaikan kepada para malaikat lainnya.
Kewajiban meyakini sifat kalam (berbicara) bagi Alloh, dan sifat-sifat lainnya yang diberitakan oleh Alloh di dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits yang shohih, tanpa menyerupakan dengan makhluk, dan tanpa merobah-robahnya.
Kalam (pembicaraan) Alloh memiliki suara yang didengar oleh sebagian makhluk yang dikehendaki oleh Alloh.
Para malaikat adalah makhluk Alloh, mereka memiliki sayap-sayap, sebagaimana Alloh beritakan di dalam surat Al-Fathir ayat 1. Dengan demikian malaikat itu berjisim, bukan hanya ruh semata-mata, dan bukan pula khayalan seperti anggapan orang-orang filsafat.
Sifat malaikat adalah taat dan tunduk kepada Alloh Ta’ala, sebagaimana firman Alloh di dalam surat At-Tahrim ayat 6.
Malaikat memiliki sifat takut kepada Alloh, sebagaimana firman Alloh di dalam surat An-Nahl ayat 50.
Bantahan terhadap kemusyrikan. Karena ada orang-orang yang berkeyakinan bahwa malaikat memiliki kekuasaan, kemudian menyembah mereka.
Malaikat bisa pingsan, maka tidak mustahil juga bisa mati pada hari kiamat.
Para malaikat memiliki hati, berfikir, dan berbicara.
Di antara malaikat ada yang merupakan utusan Alloh di kalangan malaikat. Oleh Karena itulah sebagian mereka bertanya kepada lainnya tentang apa yang Alloh katakan.
Malaikat tinggal di langit, sedangkan manusia dan jin tinggal di bumi.
Jibril merupakan utusan Alloh di kalangan malaikat.
Jibril memiliki sifat amanah, ini bantahan terhadap Syi’ah Rofidhoh yang menuduh Jibril berkhianat dalam menyampaikan wahyu.
Perkataan Alloh adalah haq, sesuai dengan kenyataan dan mengandung hikmah.
Salah satu nama Alloh adalah Al-‘Ali (Maha Tinggi), sehingga di antara sifat dzatiyah Alloh adalah ketinggian. Ketinggian Alloh ini meliputi tiga hal: ketinggian dzat, kekuasaan, dan kedudukan.
Salah satu nama Alloh adalah Al-Kabiir (Maha Besar), sehingga di antara sifat dzatiyah Alloh adalah kebesaran, yaitu bahwa Alloh adalah Yang Paling Besar dan segala sesuatu lebih kecil daripada Alloh Ta’ala.
Usaha para syaithon dari bangsa jin untuk mencuri pendengaran dari pembicaraan malaikat. (QS. 72:8)
Metode para syaithon dari bangsa jin untuk mencuri pendengaran, yaitu dengan cara saling menaiki sampai mendekati awan.
Di antara hikmah Alloh menciptakan bintang-bintang adalah sebagai penjagaan langit dari para syaithon.
Meteor terkadang membakar syaithon yang mencuri pendengaran sebelum dia memberikannya kepada yang lain, atau sesudahnya. Hal itu sebagai cobaan bagi manusia. Karena jika Alloh berkehendak, Dia mampu menghalangi pencurian itu sama sekali.
Syaithon dari kalangan jin memiliki wali (kekasih) dari kalangan manusia, yaitu kahin.
Kahin terkadang menceritakan sesuatu yang menjadi kenyataan.
Jika kahin berkata benar, maka itu adalah satu kalimat dari jin hasil copetan dari malaikat, kemudian dibisikkan pada telinganya.
Kahin itu berdusta dengan seratus kedustaan bersama satu kalimat yang benar. Sehingga kahin adalah manusia yang paling pendusta.
Syubhat masyarakat yang mempercayai kahin. Yaitu perkataan mereka mengatakan: “Tidakkah kahin itu memberitakan kepada kita pada hari anu akan terjadi begini, kemudian kita mendapatinya sebagai kebenaran?”.
Mereka mengambil syubhat tersebut, menghafalnya, dan berdalil dengannya.
Kahin itu dibenarkan oleh sebagian masyarakat karena satu kalimat yang telah didengar dari langit.
Jiwa sebagian manusia sangat mudah menerima kebatilan. Mereka berpegang dengan satu kebenaran, tetapi tidak menilai seratus kedustaan.
Rosululloh n memanfaatkan kejadian-kejadian untuk memberi pelajaran kepada para sahabat.
Memberikan pelajaran dengan metode bertanya.
Orang-orang jahiliyah memiliki kepercayaan dan kebiasaan yang tidak berdasarkan ilmu.
Adab para sahabat ketika ditanya oleh Rosululloh n , yaitu dengan menjawab: “Alloh dan RosulNya lebih tahu”.
Termasuk kepercayaan jahiliyah bahwa bintang-bintang berpengaruh kepada nasib kehidupan manusia, seperti kelahiran dan kematian, dan lainnya.
Rosululloh n mengoreksi kepercayaan jahiliyah. Antara lain dengan sabda beliau: “Sesungguhnya bintang itu tidaklah dilemparkan karena kematian seseorang, dan bukan karena hidupnya seseorang”.
Menunjukkan kekuatan, kekuasaan, keagungan Alloh Ta’ala.
Dengan hadits ini nampak jelas bahwa para malaikat itu merupakan hamba-hamba Alloh yang taat. Mereka tidak memiliki hak rububiyah (berkuasa terhadap alam semesta) dan hak uluhiyah (diibadahi/disembah), karena kedua hak itu hanyalah bagi Alloh semata. Semoga keterangan ini menambah ilmu bagi kita semua.
(Rujukan: Kitab At-Tauhid dengan Syarah-Syarahnya)
EMPAT KEADAAN MANUSIA DI DUNIA
EMPAT KEADAAN MANUSIA DI DUNIA
Disusun oleh Muslim Atsari
Pada edisi kali ini, kami akan menyampaikan sebuah hadits Nabi yang sangat bagus kita perhatikan. Kemudian, kami akan sebutkan berbagai pelajaran dan faedah yang dapat diambil dari hadits yang mulia ini.
عَنْ أَبِي كَبْشَةَ اْلأَنْمَارِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: ثَلاَثَةٌ أُقْسِمُ عَلَيْهِنَّ وَأُحَدِّثُكُمْ حَدِيثًا فَاحْفَظُوهُ: قَالَ مَا نَقَصَ مَالُ عَبْدٍ مِنْ صَدَقَةٍ, وَلاَ ظُلِمَ عَبْدٌ مَظْلَمَةً فَصَبَرَ عَلَيْهَا إِلاَّ زَادَهُ اللَّهُ عِزًّا, وَلاَ فَتَحَ عَبْدٌ بَابَ مَسْأَلَةٍ إِلاَّ فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِ بَابَ فَقْرٍ أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا
وَأُحَدِّثُكُمْ حَدِيثًا فَاحْفَظُوهُ: قَالَ إِنَّمَا الدُّنْيَا لأَِرْبَعَةِ نَفَرٍ:
عَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالاً وَعِلْمًا فَهُوَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ وَيَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَيَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْمَنَازِلِ
وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالاً فَهُوَ صَادِقُ النِّيَّةِ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِي مَالاً لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلاَنٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ
وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالاً وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لاَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ وَلاَ يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَلاَ يَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ
وَعَبْدٍ لَمْ يَرْزُقْهُ اللَّهُ مَالاً وَلَا عِلْمًا فَهُوَ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ فِيهِ بِعَمَلِ فُلَانٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ
(ت 2325, حم 17570و هذا لفظهما , جة 4228 بدون أوله)
Dari Abu Kabsyah Al-Anmari rodhiyallohu ‘anhu, bahwa dia mendengar Rasululloh sholallohu ‘alaihi wassallam bersabda: “Tiga (perkara) aku bersumpah terhadap ketiganya, dan aku akan mengatakan satu perkataan kepada kamu, maka hafalkanlah! Beliau bersabda:
•Harta seorang hamba tidak akan berkurang karena shodaqoh.
•Tidaklah seorang hamba dizholimi dengan kezholiman, lalu dia bersabar terhadap kezholiman itu kecuali Alloh menambahkan kemuliaan kepadanya.
•Tidaklah seorang hamba membuka pintu permintaan, kecuali Alloh membukakan pintu kefakiran, atau kalimat seperti itu.
Dan aku akan mengatakan satu perkataan kepada kamu, maka hafalkanlah! Beliau bersabda:
Sesungguhnya dunia itu untuk 4 orang:
•Hamba yang Alloh berikan rizqi kepadanya berupa harta (dari jalan yang halal) dan ilmu (agama Islam), kemudian dia bertaqwa kepada Robbnya pada rizqi itu (harta dan ilmu), dia berbuat baik kepada kerabatnya dengan rizqinya, dan dia mengetahui hak bagi Alloh padanya. Maka hamba ini berada pada kedudukan yang paling utama (di sisi Alloh).
•Hamba yang Alloh berikan rizqi kepadanya berupa ilmu, namun Dia tidak memberikan rizqi berupa harta, dia memiliki niat yang baik. Dia mengatakan: “Seandainya aku memiliki harta aku akan berbuat seperti perbuatan Si Fulan (orang pertama yang melakukan kebaikan itu)”. Maka dia (dibalas) dengan niatnya (yang baik), pahala keduanya (orang pertama dan kedua) sama.
•Hamba yang Alloh berikan rizqi kepadanya berupa harta, namun Dia tidak memberikan rizqi kepadanya berupa ilmu, kemudian dia berbuat sembarangan dengan hartanya dengan tanpa ilmu. Dia tidak bertaqwa kepada Robbnya padanya, dia tidak berbuat baik kepada kerabatnya dengan hartanya, dan dia tidak mengetahui hak bagi Alloh padanya. Maka hamba ini berada pada kedudukan yang paling buruk (di sisi Alloh).
•Hamba yang Alloh tidak memberikan rizqi kepadanya berupa harta dan ilmu, kemudian dia mengatakan: “Seandainya aku memiliki harta aku akan berbuat seperti perbuatan Si Fulan (dengan orang ketiga yang melakukan keburukan itu)”. Maka dia (dibalas) dengan niatnya, dosa keduanya sama.
(Hadits Shohih Riwayat Tirmidzi, no: 2325; Ahmad 4/230-231, no: 17570; Ibnu Majah, no: 4228; dan lainnya. Dishohihkan Syeikh Al-Albani di dalam Shohih Sunan Ibni Majah, no: 3406 dan Syeikh Salim Al-Hilali di dalam Bahjatun Nazhirin Syarah Riyadhus Sholihin 1/607-609, no: 557; Lihat juga: Al-Ilmu Fadhluhu Wa Syarafuhu, hal: 252-253)
PENJELASAN KALIMAT:
1-Sabda Nabi: “Tiga (perkara) aku bersumpah terhadap ketiganya, dan aku akan mengatakan satu hadits (berita; perkataan) kepada kamu”, maknanya: Aku akan memberitakan kepada kamu tiga perkara, yang aku menguatkan tiga perkara itu dengan sumpah. Dan aku akan memberitakan kepada kamu dengan hadits (berita) yang agung atau yang lain dari yang tiga itu. (Tuhfatul Ahwadzi Syarh Tirmidzi)
2-Sabda Nabi: “maka hafalkanlah!”, yaitu yang terakhir atau semuanya.
3-Sabda Nabi: “Harta seorang hamba tidak akan berkurang karena shodaqoh”, yaitu shodaqoh yang dia lakukan, bahkan dia mendapatkan berkah pada hartanya yang akan menambah kekurangannya secara lahiriyah.
4-Sabda Nabi: “lalu dia bersabar terhadap kezholiman itu”, yakni walaupun dia menanggung semacam kehinaan.
5-Sabda Nabi: “kecuali Alloh menambahkan kemuliaan kepadanya”, yaitu di dunia dan di akhirat.
6-Sabda Nabi: “membuka pintu permintaan”, yaitu kepada manusia.
7-Sabda Nabi: “kecuali Alloh membukakan pintu kefakiran”, yaitu pintu membutuhkan yang lain, begitu seterusnya. Atau: nikmat yang ada padanya dicabut sehingga dia terjatuh di dalam puncak siksaan/kebencian sebagaimana hal itu dapat disaksikan (dalam kenyataan).
8-Sabda Nabi: “Alloh berikan rizqi kepadanya berupa harta”, yaitu dari jalan yang halal, “ dan ilmu” yaitu ilmu agama Islam, ilmu yang bermanfaat.
9-Sabda Nabi: “dia mengetahui hak Alloh padanya”, yaitu dengan waqaf (harta), membacakan (ilmu), berfatwa, dan mengajar.
10-Sabda Nabi: “berbuat sembarangan dengan hartanya dengan tanpa ilmu”, yaitu dia mempergunakannya menuruti keinginan-keinginan nafsunya. Syaikh Ali Al-Qori mengatakan: “Yaitu dia tidak menggunakan (tuntunan) ilmu. Terkadang dia menahan harta karena ketamakan dan cinta dunia, dan terkadang membelanjakan harta karena sum’ah (didengar orang), riya’ (dilihat orang), kebanggaan, dan kesombongan”. (Tuhfatul Ahwadzi)
11-Sabda Nabi: “Dia tidak bertaqwa kepada Robbnya padanya”, karena tidak ada ilmu agama di dalam mencari harta dan menyalurkannya.
12-Sabda Nabi: “dia tidak berbuat baik kepada kerabatnya dengan hartanya”, karena sedikit kasih-sayangnya dan kedermawanannya serta banyak kerakusan dan kebakhilannya.
13-Sabda Nabi: “dan dia tidak mengetahui hak bagi Alloh padanya”, Syaikh Ali Al-Qori mengatakan: yaitu dengan jenis hak-hak yang berkaitan dengan Alloh dan hamba-hambaNya.
FAEDAH-FAEDAH HADITS:
1-Bolehnya sumpah untuk menguatkan sesuatu atau menghilangkan kesamaran, walaupun tidak diminta sumpah.
2-Anjuran menghafalkan hadits-hadits nabi.
3-Anjuran shodaqoh dan infaq pada jalan-jalan kebaikan, dan hal itu tidak mengurangi harta pelakunya, karena Alloh akan memberkahinya.
4-Anjuran bersabar dan memaafkan terhadap kezholiman yang dialami, baik berkaitan dengan darah, harta, atau kehormatan, dan hal itu akan menambahkan kemuliaan pelakunya di dunia dan akhirat.
5-Peringatan/larangan dari minta-minta tanpa keperluan, dan itu akan membuka kefakiran.
6-Penjelasan macam-macam penduduk dunia.
7-Rizqi yang Alloh berikan kepada hamba, dapat berupa ilmu agama atau harta.
8-Keutamaan ilmu.
9-Anjuran terhadap ilmu dan amal disertai ikhlas.
10-Harta dan ilmu agama merupakan sarana ketaatan untuk meraih derajat tinggi di sisi Alloh.
11-Ketaatan dengan harta antara lain: zakat, infaq, menjamu tamu, membantu kerabat, dan lainnya.
12-Ketaatan dengan ilmu agama antara lain: mengajar, berfatwa, dan lainnya.
13-Anjuran silatur rohmi (berbuat baik kepada kerabat), baik dengan harta atau lainnya.
14-Keutamaan niat yang baik, dan keburukan niat yang jelek.
15-Harta tanpa ilmu agama akan menyebabkan kehancuran, ilmu agama tanpa rasa takut (kepada Alloh) akan menyebabkan kemurkaan Alloh.
16-Seseorang akan mendapatkan pahala atau siksa atas kehendak/niat yang kuat, walaupun tidak mampu melakukan dengan perbuatan, namun orang mampu berangan-angan dan berkeinginan.
17-Penduduk dunia yang paling baik adalah orang yang diberi ilmu agama dan harta, kemudian dia berbuat baik kepada manusia dan kepada dirinya dengan ilmunya dan hartanya.
18-Orang yang paling buruk adalah orang yang diberi harta, namun tidak diberi ilmu agama, sehingga hartanya menjadi sarana kehancurannya, seandainya dia tidak berharta, itu lebih baik baginya. Karena seharusnya harta itu menjadi bekal menuju sorga, namun dia menjadikannya sebagai bekal menuju neraka.
19-Orang-orang yang berbahagia ada dua kelompok, sebab kebahagiannya adalah ilmu agama Islam dan mengamalkan ilmunya.
20-Orang-orang yang celaka ada dua kelompok, sebab kecelakaannya adalah karena kebodohan dan karena akibat kebodohan.
MAROJI’:
1-Bahjatun Nazhirin Syarah Riyadhus Sholihin 1/607-609, no: 557, karya Syeikh Salim Al-Hilali
2-Tuhfatul Ahwadzi Syarah Sunan Tirmidzi, no: 2325, karya Mubarokfuri
3-Al-Ilmu Fadhluhu Wa Syarofuhu, hal: 252-253, karya Syaikh Ali Al-Halabi
Disusun oleh Muslim Atsari
Pada edisi kali ini, kami akan menyampaikan sebuah hadits Nabi yang sangat bagus kita perhatikan. Kemudian, kami akan sebutkan berbagai pelajaran dan faedah yang dapat diambil dari hadits yang mulia ini.
عَنْ أَبِي كَبْشَةَ اْلأَنْمَارِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: ثَلاَثَةٌ أُقْسِمُ عَلَيْهِنَّ وَأُحَدِّثُكُمْ حَدِيثًا فَاحْفَظُوهُ: قَالَ مَا نَقَصَ مَالُ عَبْدٍ مِنْ صَدَقَةٍ, وَلاَ ظُلِمَ عَبْدٌ مَظْلَمَةً فَصَبَرَ عَلَيْهَا إِلاَّ زَادَهُ اللَّهُ عِزًّا, وَلاَ فَتَحَ عَبْدٌ بَابَ مَسْأَلَةٍ إِلاَّ فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِ بَابَ فَقْرٍ أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا
وَأُحَدِّثُكُمْ حَدِيثًا فَاحْفَظُوهُ: قَالَ إِنَّمَا الدُّنْيَا لأَِرْبَعَةِ نَفَرٍ:
عَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالاً وَعِلْمًا فَهُوَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ وَيَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَيَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْمَنَازِلِ
وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالاً فَهُوَ صَادِقُ النِّيَّةِ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِي مَالاً لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلاَنٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ
وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالاً وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لاَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ وَلاَ يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَلاَ يَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ
وَعَبْدٍ لَمْ يَرْزُقْهُ اللَّهُ مَالاً وَلَا عِلْمًا فَهُوَ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ فِيهِ بِعَمَلِ فُلَانٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ
(ت 2325, حم 17570و هذا لفظهما , جة 4228 بدون أوله)
Dari Abu Kabsyah Al-Anmari rodhiyallohu ‘anhu, bahwa dia mendengar Rasululloh sholallohu ‘alaihi wassallam bersabda: “Tiga (perkara) aku bersumpah terhadap ketiganya, dan aku akan mengatakan satu perkataan kepada kamu, maka hafalkanlah! Beliau bersabda:
•Harta seorang hamba tidak akan berkurang karena shodaqoh.
•Tidaklah seorang hamba dizholimi dengan kezholiman, lalu dia bersabar terhadap kezholiman itu kecuali Alloh menambahkan kemuliaan kepadanya.
•Tidaklah seorang hamba membuka pintu permintaan, kecuali Alloh membukakan pintu kefakiran, atau kalimat seperti itu.
Dan aku akan mengatakan satu perkataan kepada kamu, maka hafalkanlah! Beliau bersabda:
Sesungguhnya dunia itu untuk 4 orang:
•Hamba yang Alloh berikan rizqi kepadanya berupa harta (dari jalan yang halal) dan ilmu (agama Islam), kemudian dia bertaqwa kepada Robbnya pada rizqi itu (harta dan ilmu), dia berbuat baik kepada kerabatnya dengan rizqinya, dan dia mengetahui hak bagi Alloh padanya. Maka hamba ini berada pada kedudukan yang paling utama (di sisi Alloh).
•Hamba yang Alloh berikan rizqi kepadanya berupa ilmu, namun Dia tidak memberikan rizqi berupa harta, dia memiliki niat yang baik. Dia mengatakan: “Seandainya aku memiliki harta aku akan berbuat seperti perbuatan Si Fulan (orang pertama yang melakukan kebaikan itu)”. Maka dia (dibalas) dengan niatnya (yang baik), pahala keduanya (orang pertama dan kedua) sama.
•Hamba yang Alloh berikan rizqi kepadanya berupa harta, namun Dia tidak memberikan rizqi kepadanya berupa ilmu, kemudian dia berbuat sembarangan dengan hartanya dengan tanpa ilmu. Dia tidak bertaqwa kepada Robbnya padanya, dia tidak berbuat baik kepada kerabatnya dengan hartanya, dan dia tidak mengetahui hak bagi Alloh padanya. Maka hamba ini berada pada kedudukan yang paling buruk (di sisi Alloh).
•Hamba yang Alloh tidak memberikan rizqi kepadanya berupa harta dan ilmu, kemudian dia mengatakan: “Seandainya aku memiliki harta aku akan berbuat seperti perbuatan Si Fulan (dengan orang ketiga yang melakukan keburukan itu)”. Maka dia (dibalas) dengan niatnya, dosa keduanya sama.
(Hadits Shohih Riwayat Tirmidzi, no: 2325; Ahmad 4/230-231, no: 17570; Ibnu Majah, no: 4228; dan lainnya. Dishohihkan Syeikh Al-Albani di dalam Shohih Sunan Ibni Majah, no: 3406 dan Syeikh Salim Al-Hilali di dalam Bahjatun Nazhirin Syarah Riyadhus Sholihin 1/607-609, no: 557; Lihat juga: Al-Ilmu Fadhluhu Wa Syarafuhu, hal: 252-253)
PENJELASAN KALIMAT:
1-Sabda Nabi: “Tiga (perkara) aku bersumpah terhadap ketiganya, dan aku akan mengatakan satu hadits (berita; perkataan) kepada kamu”, maknanya: Aku akan memberitakan kepada kamu tiga perkara, yang aku menguatkan tiga perkara itu dengan sumpah. Dan aku akan memberitakan kepada kamu dengan hadits (berita) yang agung atau yang lain dari yang tiga itu. (Tuhfatul Ahwadzi Syarh Tirmidzi)
2-Sabda Nabi: “maka hafalkanlah!”, yaitu yang terakhir atau semuanya.
3-Sabda Nabi: “Harta seorang hamba tidak akan berkurang karena shodaqoh”, yaitu shodaqoh yang dia lakukan, bahkan dia mendapatkan berkah pada hartanya yang akan menambah kekurangannya secara lahiriyah.
4-Sabda Nabi: “lalu dia bersabar terhadap kezholiman itu”, yakni walaupun dia menanggung semacam kehinaan.
5-Sabda Nabi: “kecuali Alloh menambahkan kemuliaan kepadanya”, yaitu di dunia dan di akhirat.
6-Sabda Nabi: “membuka pintu permintaan”, yaitu kepada manusia.
7-Sabda Nabi: “kecuali Alloh membukakan pintu kefakiran”, yaitu pintu membutuhkan yang lain, begitu seterusnya. Atau: nikmat yang ada padanya dicabut sehingga dia terjatuh di dalam puncak siksaan/kebencian sebagaimana hal itu dapat disaksikan (dalam kenyataan).
8-Sabda Nabi: “Alloh berikan rizqi kepadanya berupa harta”, yaitu dari jalan yang halal, “ dan ilmu” yaitu ilmu agama Islam, ilmu yang bermanfaat.
9-Sabda Nabi: “dia mengetahui hak Alloh padanya”, yaitu dengan waqaf (harta), membacakan (ilmu), berfatwa, dan mengajar.
10-Sabda Nabi: “berbuat sembarangan dengan hartanya dengan tanpa ilmu”, yaitu dia mempergunakannya menuruti keinginan-keinginan nafsunya. Syaikh Ali Al-Qori mengatakan: “Yaitu dia tidak menggunakan (tuntunan) ilmu. Terkadang dia menahan harta karena ketamakan dan cinta dunia, dan terkadang membelanjakan harta karena sum’ah (didengar orang), riya’ (dilihat orang), kebanggaan, dan kesombongan”. (Tuhfatul Ahwadzi)
11-Sabda Nabi: “Dia tidak bertaqwa kepada Robbnya padanya”, karena tidak ada ilmu agama di dalam mencari harta dan menyalurkannya.
12-Sabda Nabi: “dia tidak berbuat baik kepada kerabatnya dengan hartanya”, karena sedikit kasih-sayangnya dan kedermawanannya serta banyak kerakusan dan kebakhilannya.
13-Sabda Nabi: “dan dia tidak mengetahui hak bagi Alloh padanya”, Syaikh Ali Al-Qori mengatakan: yaitu dengan jenis hak-hak yang berkaitan dengan Alloh dan hamba-hambaNya.
FAEDAH-FAEDAH HADITS:
1-Bolehnya sumpah untuk menguatkan sesuatu atau menghilangkan kesamaran, walaupun tidak diminta sumpah.
2-Anjuran menghafalkan hadits-hadits nabi.
3-Anjuran shodaqoh dan infaq pada jalan-jalan kebaikan, dan hal itu tidak mengurangi harta pelakunya, karena Alloh akan memberkahinya.
4-Anjuran bersabar dan memaafkan terhadap kezholiman yang dialami, baik berkaitan dengan darah, harta, atau kehormatan, dan hal itu akan menambahkan kemuliaan pelakunya di dunia dan akhirat.
5-Peringatan/larangan dari minta-minta tanpa keperluan, dan itu akan membuka kefakiran.
6-Penjelasan macam-macam penduduk dunia.
7-Rizqi yang Alloh berikan kepada hamba, dapat berupa ilmu agama atau harta.
8-Keutamaan ilmu.
9-Anjuran terhadap ilmu dan amal disertai ikhlas.
10-Harta dan ilmu agama merupakan sarana ketaatan untuk meraih derajat tinggi di sisi Alloh.
11-Ketaatan dengan harta antara lain: zakat, infaq, menjamu tamu, membantu kerabat, dan lainnya.
12-Ketaatan dengan ilmu agama antara lain: mengajar, berfatwa, dan lainnya.
13-Anjuran silatur rohmi (berbuat baik kepada kerabat), baik dengan harta atau lainnya.
14-Keutamaan niat yang baik, dan keburukan niat yang jelek.
15-Harta tanpa ilmu agama akan menyebabkan kehancuran, ilmu agama tanpa rasa takut (kepada Alloh) akan menyebabkan kemurkaan Alloh.
16-Seseorang akan mendapatkan pahala atau siksa atas kehendak/niat yang kuat, walaupun tidak mampu melakukan dengan perbuatan, namun orang mampu berangan-angan dan berkeinginan.
17-Penduduk dunia yang paling baik adalah orang yang diberi ilmu agama dan harta, kemudian dia berbuat baik kepada manusia dan kepada dirinya dengan ilmunya dan hartanya.
18-Orang yang paling buruk adalah orang yang diberi harta, namun tidak diberi ilmu agama, sehingga hartanya menjadi sarana kehancurannya, seandainya dia tidak berharta, itu lebih baik baginya. Karena seharusnya harta itu menjadi bekal menuju sorga, namun dia menjadikannya sebagai bekal menuju neraka.
19-Orang-orang yang berbahagia ada dua kelompok, sebab kebahagiannya adalah ilmu agama Islam dan mengamalkan ilmunya.
20-Orang-orang yang celaka ada dua kelompok, sebab kecelakaannya adalah karena kebodohan dan karena akibat kebodohan.
MAROJI’:
1-Bahjatun Nazhirin Syarah Riyadhus Sholihin 1/607-609, no: 557, karya Syeikh Salim Al-Hilali
2-Tuhfatul Ahwadzi Syarah Sunan Tirmidzi, no: 2325, karya Mubarokfuri
3-Al-Ilmu Fadhluhu Wa Syarofuhu, hal: 252-253, karya Syaikh Ali Al-Halabi
MENGENAL HAK ALLOH DAN HAK HAMBA
MENGENAL HAK ALLOH DAN HAK HAMBA
Disusun oleh Muslim Atsari
Sesungguhnya Alloh Ta’ala telah mengutus Nabi Muhammad n sebagai rahmat untuk seluruh manusia. Di antara tugas beliau adalah mengajarkan dan menyampaikan agama yang haq ini kepada umatnya. Dan beliau telah melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Beliau menggunakan kesempatan untuk mengajar di setiap waktu yang sesuai dan setiap tempat yang memungkinkan. Beliau mengajarkan agama di masjid, di rumah, di perjalanan, dan lainnya. Inilah di antara hadits-hadits yang menunjukkan kesungguhan Nabi n di dalam mengajarkan agama, beliau mengajar seorang sahabat di saat memboncengkannya di atas keledai!
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ قَالَ كُنْتُ رِدْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (عَلَى حِمَارٍ يُقَالُ لَهُ عُفَيْرٌ) لَيْسَ بَيْنِي وَبَيْنَهُ إِلَّا مُؤْخِرَةُ الرَّحْلِ فَقَالَ يَا مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ قُلْتُ لَبَّيْكَ رَسُولَ اللَّهِ وَسَعْدَيْكَ ثُمَّ سَارَ سَاعَةً ثُمَّ قَالَ يَا مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ قُلْتُ لَبَّيْكَ رَسُولَ اللَّهِ وَسَعْدَيْكَ ثُمَّ سَارَ سَاعَةً ثُمَّ قَالَ يَا مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ قُلْتُ لَبَّيْكَ رَسُولَ اللَّهِ وَسَعْدَيْكَ قَالَ هَلْ تَدْرِي مَا حَقُّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ قَالَ قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ فَإِنَّ حَقَّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ثُمَّ سَارَ سَاعَةً قَالَ يَا مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ قُلْتُ لَبَّيْكَ رَسُولَ اللَّهِ وَسَعْدَيْكَ قَالَ هَلْ تَدْرِي مَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ إِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ قَالَ قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ أَنْ لَا يُعَذِّبَهُمْ (فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا أُبَشِّرُ بِهِ النَّاسَ قَالَ لَا تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوا)
Dari Mu’adz bin Jabal –semoga Alloh meridhoinya-, dia berkata: “Aku membonceng Rasulullah n (di atas keledai yang namanya ‘Ufair), tidak ada sesuatu di antara aku dengan beliau kecuali kayu pelana.
Lalu beliau bersabda: “Wahai Mu’adz bin Jabal”, aku menjawab: “Aku memenuhi panggilanmu dengan segera wahai Rasulullah”.
Kemudian beliau berjalan sebentar, lalu beliau bersabda lagi: “Wahai Mu’adz bin Jabal”, aku menjawab: “Aku memenuhi panggilanmu dengan segera wahai Rasulullah”.
Kemudian beliau berjalan sebentar, lalu beliau bersabda lagi: “Wahai Mu’adz bin Jabal”, aku menjawab: “Aku memenuhi panggilanmu dengan segera wahai Rasulullah”.
Beliau bersabda: “Tahukah engkau, apakah hak Alloh yang menjadi kewajiban seluruh hamba?”. Mu’adz berkata: Aku menjawab: “Alloh dan RosulNya lebih tahu”. Beliau bersabda: “Sesungguhnya hak Allah yang menjadi kewajiban seluruh hamba adalah agar mereka beribadah kepadaNya, dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun.”
Kemudian beliau berjalan sebentar, lalu beliau bersabda: “Wahai Mu’adz bin Jabal”, aku menjawab: “Aku memenuhi panggilanmu dengan segera wahai Rasulullah”.
Beliau bersabda: “Tahukah engkau apakah hak hamba yang menjadi kewajiban Alloh, jika mereka telah melakukannya (kewajiban mereka)?”. Mu’adz berkata: Aku menjawab: “Alloh dan RosulNya lebih tahu”. Beliau bersabda: “Alloh tidak akan menyiksa mereka”.
(Aku berkata: “Wahai Rasulullah, tidakkah aku beritakan kabar gembira kepada orang banyak?”. Beliau bersabda: “Jangan engkau beritakan kabar gembira kepada mereka, sehingga mereka akan bersandar (dengan itu)”.
(Hadits Shohih Riwayat Bukhori, no: 6019 ; Muslim, no: 30; dll; Tambahan dalam kurung riwayat Bukhori, no: 2856 dan satu riwayat Muslim)
FAEDAH-FAEDAH HADITS:
Hadits yang mulia ini memiliki banyak faedah-faedah, antara lain:
1-Keutamaan sahabat Mu’adz bin Jabal –semoga Alloh meridhoinya-, karena Rosululloh n mengajarkan kepadanya pengetahuan yang tidak diajarkan kepada sahabat-sahabat lainnya.
2-Bolehnya membonceng di atas keledai.
3-Bolehnya memberi nama pada binatang.
4-Tawadhu’ Rosulullah n , karena beliau mau naik keledai dan memboncengkan sahabatnya.
5-Kesungguhan Nabi di dalam pengajaran ilmu agama. Yang mana hal itu dilakukan di perjalanan, ketika naik kendaraan.
6-Memanggil nama orang yang diajak bicara. Dilakukannya hal ini sebelum pengajaran akan menjadikannya konsentrasi terhadap apa yang akan diajarkan dan sekaligus menggembirakan hatinya.
7-Mengulangi kalimat untuk menarik perhatian orang yang diajak bicara. Di dalam hadits ini, Nabi mengulangi panggilan terhadap Mu’adz tiga kali sebelum mengajarkan ilmu kepadanya.
8-Adab Sahabat Mu’adz bin Jabal kepada Nabi n , yaitu dengan dengan jawabannya kepada beliau: “Aku memenuhi panggilanmu dengan segera wahai Rasulullah”.
9-Berhentinya pembicaraan Nabi n setiap selesai memanggil nama sahabat Mu’adz. Hal ini membangkitkan kerinduan Mu’adz untuk mendengarkan apa yang akan disampaikankepadanya.
10-Nabi n menggunakan metode pertanyaan untuk menyampaikan ilmu. Hal ini membangkitkan perhatian orang yang diajak bicara.
11-Seorang guru boleh bertanya kepada murid tentang suatu hukum untuk mengujinya, dan menjelaskan apa yang dia kesulitan
12-Haramnya berbicara tanpa ilmu. Maka Mu’adz menjawab pertanyaan Nabi n dengan mengatakan: “Alloh dan RosulNya lebih tahu”. Maka orang yang ditanya suatu masalah yang tidak dia ketahui hendaklah mengatakan “Allohu ‘alam (Alloh lebih tahu)”, atau “Aku tidak tahu”.
13-Hak Allah yang menjadi kewajiban seluruh hamba adalah agar mereka beribadah kepadaNya, dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun. Ini merupakan kewajiban pertama atas hamba.
14-Diterimanya ibadah hamba oleh Alloh disyaratkan dengan meninggalkan syirik. Karena syirik itu menggugurkan seluruh amal sholih.
15-Tafsir kalimat tauhid, Laa ilaaha illa Alloh, yaitu “Tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Alloh”.
16-Hak hamba yang menjadi kewajiban Alloh, jika mereka telah melakukan kewajiban mereka adalah bahwa Alloh tidak akan menyiksa mereka.
17-Yang dimaksudkan dengan “kewajiban Alloh yang menjadi hak hamba” adalah apa yang Alloh wajibkan atas diriNya sendiri sebagai pemberian karunia dan perbuatan keutamaan dariNya. Jadi bukan perbuatan hamba yang mewajibkan hal tersebut, karena tidak ada seorangpun dari makhluk yang memberikan kewajiban terhadap Alloh Ta’ala.
18-Keutamaan tauhid, yaitu sebagai sarana menjaga diri dari siksa Alloh Ta’ala.
19-Disukai memberitakan kabar gembira kepada orang Islam, kecuali jika akan menimbulkan perkara yang tidak baik. Seperti meninggalkan perlombaan di dalam amal sholih.
20-Bolehnya mengkhususkan ilmu keutamaan sesuatu kepada sebagian orang tanpa yang lain, yang mana ilmu itu tidak wajib dikeahui oleh setiap orang.
21-Bolehnya menyembunyikan ilmu sebagaimana di atas karena mashlahat.
22-Larangan Nabi n kepada Mu’adz untuk menyampaikan hadits di atas bukanlah larangan haram. Karena Nabi n sendiri menyampaikan kepada Mu’adz, dan Mu’adzpun menyampaikan kepada orang lain di akhir hidup beliau karena khawatir dosa menyembunyikan ilmu.
23-Janganlah seseorang bersandar kepada rahmat Alloh yang sangat luas sehingga meninggalkan berlomba di dalam kebaikan dan berani menerjang larangan.
24-Sesungguhnya mewujudkan tauhid mengharuskan meninggalkan seluruh kemaksiatan, karena kemaksiatan itu munculnya dari hawa nafsu, dan ini termasuk syirik kecil.
25-Al-Wazir Abul Muzhoffar –semoga Alloh merahmatinya mengatakan: “Beliau tidaklah menyembunyikannya kecuali dari orang yang bodoh. Karena kebodohannya akan membawanya kepada adab yang buruk dengan meninggalkan ketaatan. Adapaun orang-orang yang pandai, yang mendengar semisal ini, mereka akan menambah ketaatan. Mereka memandang bahwa bertambahnya kenikmatan mendorong kepada tambahan ketaatan. Sehingga tidak ada alasan menyembunyikan itu dari mereka”. (Kitab Fathul Majid)
Rujukan: Syarah-Syarah Kitab Tauhid.
Disusun oleh Muslim Atsari
Sesungguhnya Alloh Ta’ala telah mengutus Nabi Muhammad n sebagai rahmat untuk seluruh manusia. Di antara tugas beliau adalah mengajarkan dan menyampaikan agama yang haq ini kepada umatnya. Dan beliau telah melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Beliau menggunakan kesempatan untuk mengajar di setiap waktu yang sesuai dan setiap tempat yang memungkinkan. Beliau mengajarkan agama di masjid, di rumah, di perjalanan, dan lainnya. Inilah di antara hadits-hadits yang menunjukkan kesungguhan Nabi n di dalam mengajarkan agama, beliau mengajar seorang sahabat di saat memboncengkannya di atas keledai!
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ قَالَ كُنْتُ رِدْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (عَلَى حِمَارٍ يُقَالُ لَهُ عُفَيْرٌ) لَيْسَ بَيْنِي وَبَيْنَهُ إِلَّا مُؤْخِرَةُ الرَّحْلِ فَقَالَ يَا مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ قُلْتُ لَبَّيْكَ رَسُولَ اللَّهِ وَسَعْدَيْكَ ثُمَّ سَارَ سَاعَةً ثُمَّ قَالَ يَا مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ قُلْتُ لَبَّيْكَ رَسُولَ اللَّهِ وَسَعْدَيْكَ ثُمَّ سَارَ سَاعَةً ثُمَّ قَالَ يَا مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ قُلْتُ لَبَّيْكَ رَسُولَ اللَّهِ وَسَعْدَيْكَ قَالَ هَلْ تَدْرِي مَا حَقُّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ قَالَ قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ فَإِنَّ حَقَّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ثُمَّ سَارَ سَاعَةً قَالَ يَا مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ قُلْتُ لَبَّيْكَ رَسُولَ اللَّهِ وَسَعْدَيْكَ قَالَ هَلْ تَدْرِي مَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ إِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ قَالَ قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ أَنْ لَا يُعَذِّبَهُمْ (فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا أُبَشِّرُ بِهِ النَّاسَ قَالَ لَا تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوا)
Dari Mu’adz bin Jabal –semoga Alloh meridhoinya-, dia berkata: “Aku membonceng Rasulullah n (di atas keledai yang namanya ‘Ufair), tidak ada sesuatu di antara aku dengan beliau kecuali kayu pelana.
Lalu beliau bersabda: “Wahai Mu’adz bin Jabal”, aku menjawab: “Aku memenuhi panggilanmu dengan segera wahai Rasulullah”.
Kemudian beliau berjalan sebentar, lalu beliau bersabda lagi: “Wahai Mu’adz bin Jabal”, aku menjawab: “Aku memenuhi panggilanmu dengan segera wahai Rasulullah”.
Kemudian beliau berjalan sebentar, lalu beliau bersabda lagi: “Wahai Mu’adz bin Jabal”, aku menjawab: “Aku memenuhi panggilanmu dengan segera wahai Rasulullah”.
Beliau bersabda: “Tahukah engkau, apakah hak Alloh yang menjadi kewajiban seluruh hamba?”. Mu’adz berkata: Aku menjawab: “Alloh dan RosulNya lebih tahu”. Beliau bersabda: “Sesungguhnya hak Allah yang menjadi kewajiban seluruh hamba adalah agar mereka beribadah kepadaNya, dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun.”
Kemudian beliau berjalan sebentar, lalu beliau bersabda: “Wahai Mu’adz bin Jabal”, aku menjawab: “Aku memenuhi panggilanmu dengan segera wahai Rasulullah”.
Beliau bersabda: “Tahukah engkau apakah hak hamba yang menjadi kewajiban Alloh, jika mereka telah melakukannya (kewajiban mereka)?”. Mu’adz berkata: Aku menjawab: “Alloh dan RosulNya lebih tahu”. Beliau bersabda: “Alloh tidak akan menyiksa mereka”.
(Aku berkata: “Wahai Rasulullah, tidakkah aku beritakan kabar gembira kepada orang banyak?”. Beliau bersabda: “Jangan engkau beritakan kabar gembira kepada mereka, sehingga mereka akan bersandar (dengan itu)”.
(Hadits Shohih Riwayat Bukhori, no: 6019 ; Muslim, no: 30; dll; Tambahan dalam kurung riwayat Bukhori, no: 2856 dan satu riwayat Muslim)
FAEDAH-FAEDAH HADITS:
Hadits yang mulia ini memiliki banyak faedah-faedah, antara lain:
1-Keutamaan sahabat Mu’adz bin Jabal –semoga Alloh meridhoinya-, karena Rosululloh n mengajarkan kepadanya pengetahuan yang tidak diajarkan kepada sahabat-sahabat lainnya.
2-Bolehnya membonceng di atas keledai.
3-Bolehnya memberi nama pada binatang.
4-Tawadhu’ Rosulullah n , karena beliau mau naik keledai dan memboncengkan sahabatnya.
5-Kesungguhan Nabi di dalam pengajaran ilmu agama. Yang mana hal itu dilakukan di perjalanan, ketika naik kendaraan.
6-Memanggil nama orang yang diajak bicara. Dilakukannya hal ini sebelum pengajaran akan menjadikannya konsentrasi terhadap apa yang akan diajarkan dan sekaligus menggembirakan hatinya.
7-Mengulangi kalimat untuk menarik perhatian orang yang diajak bicara. Di dalam hadits ini, Nabi mengulangi panggilan terhadap Mu’adz tiga kali sebelum mengajarkan ilmu kepadanya.
8-Adab Sahabat Mu’adz bin Jabal kepada Nabi n , yaitu dengan dengan jawabannya kepada beliau: “Aku memenuhi panggilanmu dengan segera wahai Rasulullah”.
9-Berhentinya pembicaraan Nabi n setiap selesai memanggil nama sahabat Mu’adz. Hal ini membangkitkan kerinduan Mu’adz untuk mendengarkan apa yang akan disampaikankepadanya.
10-Nabi n menggunakan metode pertanyaan untuk menyampaikan ilmu. Hal ini membangkitkan perhatian orang yang diajak bicara.
11-Seorang guru boleh bertanya kepada murid tentang suatu hukum untuk mengujinya, dan menjelaskan apa yang dia kesulitan
12-Haramnya berbicara tanpa ilmu. Maka Mu’adz menjawab pertanyaan Nabi n dengan mengatakan: “Alloh dan RosulNya lebih tahu”. Maka orang yang ditanya suatu masalah yang tidak dia ketahui hendaklah mengatakan “Allohu ‘alam (Alloh lebih tahu)”, atau “Aku tidak tahu”.
13-Hak Allah yang menjadi kewajiban seluruh hamba adalah agar mereka beribadah kepadaNya, dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun. Ini merupakan kewajiban pertama atas hamba.
14-Diterimanya ibadah hamba oleh Alloh disyaratkan dengan meninggalkan syirik. Karena syirik itu menggugurkan seluruh amal sholih.
15-Tafsir kalimat tauhid, Laa ilaaha illa Alloh, yaitu “Tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Alloh”.
16-Hak hamba yang menjadi kewajiban Alloh, jika mereka telah melakukan kewajiban mereka adalah bahwa Alloh tidak akan menyiksa mereka.
17-Yang dimaksudkan dengan “kewajiban Alloh yang menjadi hak hamba” adalah apa yang Alloh wajibkan atas diriNya sendiri sebagai pemberian karunia dan perbuatan keutamaan dariNya. Jadi bukan perbuatan hamba yang mewajibkan hal tersebut, karena tidak ada seorangpun dari makhluk yang memberikan kewajiban terhadap Alloh Ta’ala.
18-Keutamaan tauhid, yaitu sebagai sarana menjaga diri dari siksa Alloh Ta’ala.
19-Disukai memberitakan kabar gembira kepada orang Islam, kecuali jika akan menimbulkan perkara yang tidak baik. Seperti meninggalkan perlombaan di dalam amal sholih.
20-Bolehnya mengkhususkan ilmu keutamaan sesuatu kepada sebagian orang tanpa yang lain, yang mana ilmu itu tidak wajib dikeahui oleh setiap orang.
21-Bolehnya menyembunyikan ilmu sebagaimana di atas karena mashlahat.
22-Larangan Nabi n kepada Mu’adz untuk menyampaikan hadits di atas bukanlah larangan haram. Karena Nabi n sendiri menyampaikan kepada Mu’adz, dan Mu’adzpun menyampaikan kepada orang lain di akhir hidup beliau karena khawatir dosa menyembunyikan ilmu.
23-Janganlah seseorang bersandar kepada rahmat Alloh yang sangat luas sehingga meninggalkan berlomba di dalam kebaikan dan berani menerjang larangan.
24-Sesungguhnya mewujudkan tauhid mengharuskan meninggalkan seluruh kemaksiatan, karena kemaksiatan itu munculnya dari hawa nafsu, dan ini termasuk syirik kecil.
25-Al-Wazir Abul Muzhoffar –semoga Alloh merahmatinya mengatakan: “Beliau tidaklah menyembunyikannya kecuali dari orang yang bodoh. Karena kebodohannya akan membawanya kepada adab yang buruk dengan meninggalkan ketaatan. Adapaun orang-orang yang pandai, yang mendengar semisal ini, mereka akan menambah ketaatan. Mereka memandang bahwa bertambahnya kenikmatan mendorong kepada tambahan ketaatan. Sehingga tidak ada alasan menyembunyikan itu dari mereka”. (Kitab Fathul Majid)
Rujukan: Syarah-Syarah Kitab Tauhid.
MENGENAL HAK ALLOH DAN HAK HAMBA
MENGENAL HAK ALLOH DAN HAK HAMBA
Disusun oleh Muslim Atsari
Sesungguhnya Alloh Ta’ala telah mengutus Nabi Muhammad n sebagai rahmat untuk seluruh manusia. Di antara tugas beliau adalah mengajarkan dan menyampaikan agama yang haq ini kepada umatnya. Dan beliau telah melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Beliau menggunakan kesempatan untuk mengajar di setiap waktu yang sesuai dan setiap tempat yang memungkinkan. Beliau mengajarkan agama di masjid, di rumah, di perjalanan, dan lainnya. Inilah di antara hadits-hadits yang menunjukkan kesungguhan Nabi n di dalam mengajarkan agama, beliau mengajar seorang sahabat di saat memboncengkannya di atas keledai!
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ قَالَ كُنْتُ رِدْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (عَلَى حِمَارٍ يُقَالُ لَهُ عُفَيْرٌ) لَيْسَ بَيْنِي وَبَيْنَهُ إِلَّا مُؤْخِرَةُ الرَّحْلِ فَقَالَ يَا مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ قُلْتُ لَبَّيْكَ رَسُولَ اللَّهِ وَسَعْدَيْكَ ثُمَّ سَارَ سَاعَةً ثُمَّ قَالَ يَا مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ قُلْتُ لَبَّيْكَ رَسُولَ اللَّهِ وَسَعْدَيْكَ ثُمَّ سَارَ سَاعَةً ثُمَّ قَالَ يَا مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ قُلْتُ لَبَّيْكَ رَسُولَ اللَّهِ وَسَعْدَيْكَ قَالَ هَلْ تَدْرِي مَا حَقُّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ قَالَ قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ فَإِنَّ حَقَّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ثُمَّ سَارَ سَاعَةً قَالَ يَا مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ قُلْتُ لَبَّيْكَ رَسُولَ اللَّهِ وَسَعْدَيْكَ قَالَ هَلْ تَدْرِي مَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ إِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ قَالَ قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ أَنْ لَا يُعَذِّبَهُمْ (فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا أُبَشِّرُ بِهِ النَّاسَ قَالَ لَا تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوا)
Dari Mu’adz bin Jabal –semoga Alloh meridhoinya-, dia berkata: “Aku membonceng Rasulullah n (di atas keledai yang namanya ‘Ufair), tidak ada sesuatu di antara aku dengan beliau kecuali kayu pelana.
Lalu beliau bersabda: “Wahai Mu’adz bin Jabal”, aku menjawab: “Aku memenuhi panggilanmu dengan segera wahai Rasulullah”.
Kemudian beliau berjalan sebentar, lalu beliau bersabda lagi: “Wahai Mu’adz bin Jabal”, aku menjawab: “Aku memenuhi panggilanmu dengan segera wahai Rasulullah”.
Kemudian beliau berjalan sebentar, lalu beliau bersabda lagi: “Wahai Mu’adz bin Jabal”, aku menjawab: “Aku memenuhi panggilanmu dengan segera wahai Rasulullah”.
Beliau bersabda: “Tahukah engkau, apakah hak Alloh yang menjadi kewajiban seluruh hamba?”. Mu’adz berkata: Aku menjawab: “Alloh dan RosulNya lebih tahu”. Beliau bersabda: “Sesungguhnya hak Allah yang menjadi kewajiban seluruh hamba adalah agar mereka beribadah kepadaNya, dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun.”
Kemudian beliau berjalan sebentar, lalu beliau bersabda: “Wahai Mu’adz bin Jabal”, aku menjawab: “Aku memenuhi panggilanmu dengan segera wahai Rasulullah”.
Beliau bersabda: “Tahukah engkau apakah hak hamba yang menjadi kewajiban Alloh, jika mereka telah melakukannya (kewajiban mereka)?”. Mu’adz berkata: Aku menjawab: “Alloh dan RosulNya lebih tahu”. Beliau bersabda: “Alloh tidak akan menyiksa mereka”.
(Aku berkata: “Wahai Rasulullah, tidakkah aku beritakan kabar gembira kepada orang banyak?”. Beliau bersabda: “Jangan engkau beritakan kabar gembira kepada mereka, sehingga mereka akan bersandar (dengan itu)”.
(Hadits Shohih Riwayat Bukhori, no: 6019 ; Muslim, no: 30; dll; Tambahan dalam kurung riwayat Bukhori, no: 2856 dan satu riwayat Muslim)
FAEDAH-FAEDAH HADITS:
Hadits yang mulia ini memiliki banyak faedah-faedah, antara lain:
1-Keutamaan sahabat Mu’adz bin Jabal –semoga Alloh meridhoinya-, karena Rosululloh n mengajarkan kepadanya pengetahuan yang tidak diajarkan kepada sahabat-sahabat lainnya.
2-Bolehnya membonceng di atas keledai.
3-Bolehnya memberi nama pada binatang.
4-Tawadhu’ Rosulullah n , karena beliau mau naik keledai dan memboncengkan sahabatnya.
5-Kesungguhan Nabi di dalam pengajaran ilmu agama. Yang mana hal itu dilakukan di perjalanan, ketika naik kendaraan.
6-Memanggil nama orang yang diajak bicara. Dilakukannya hal ini sebelum pengajaran akan menjadikannya konsentrasi terhadap apa yang akan diajarkan dan sekaligus menggembirakan hatinya.
7-Mengulangi kalimat untuk menarik perhatian orang yang diajak bicara. Di dalam hadits ini, Nabi mengulangi panggilan terhadap Mu’adz tiga kali sebelum mengajarkan ilmu kepadanya.
8-Adab Sahabat Mu’adz bin Jabal kepada Nabi n , yaitu dengan dengan jawabannya kepada beliau: “Aku memenuhi panggilanmu dengan segera wahai Rasulullah”.
9-Berhentinya pembicaraan Nabi n setiap selesai memanggil nama sahabat Mu’adz. Hal ini membangkitkan kerinduan Mu’adz untuk mendengarkan apa yang akan disampaikankepadanya.
10-Nabi n menggunakan metode pertanyaan untuk menyampaikan ilmu. Hal ini membangkitkan perhatian orang yang diajak bicara.
11-Seorang guru boleh bertanya kepada murid tentang suatu hukum untuk mengujinya, dan menjelaskan apa yang dia kesulitan
12-Haramnya berbicara tanpa ilmu. Maka Mu’adz menjawab pertanyaan Nabi n dengan mengatakan: “Alloh dan RosulNya lebih tahu”. Maka orang yang ditanya suatu masalah yang tidak dia ketahui hendaklah mengatakan “Allohu ‘alam (Alloh lebih tahu)”, atau “Aku tidak tahu”.
13-Hak Allah yang menjadi kewajiban seluruh hamba adalah agar mereka beribadah kepadaNya, dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun. Ini merupakan kewajiban pertama atas hamba.
14-Diterimanya ibadah hamba oleh Alloh disyaratkan dengan meninggalkan syirik. Karena syirik itu menggugurkan seluruh amal sholih.
15-Tafsir kalimat tauhid, Laa ilaaha illa Alloh, yaitu “Tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Alloh”.
16-Hak hamba yang menjadi kewajiban Alloh, jika mereka telah melakukan kewajiban mereka adalah bahwa Alloh tidak akan menyiksa mereka.
17-Yang dimaksudkan dengan “kewajiban Alloh yang menjadi hak hamba” adalah apa yang Alloh wajibkan atas diriNya sendiri sebagai pemberian karunia dan perbuatan keutamaan dariNya. Jadi bukan perbuatan hamba yang mewajibkan hal tersebut, karena tidak ada seorangpun dari makhluk yang memberikan kewajiban terhadap Alloh Ta’ala.
18-Keutamaan tauhid, yaitu sebagai sarana menjaga diri dari siksa Alloh Ta’ala.
19-Disukai memberitakan kabar gembira kepada orang Islam, kecuali jika akan menimbulkan perkara yang tidak baik. Seperti meninggalkan perlombaan di dalam amal sholih.
20-Bolehnya mengkhususkan ilmu keutamaan sesuatu kepada sebagian orang tanpa yang lain, yang mana ilmu itu tidak wajib dikeahui oleh setiap orang.
21-Bolehnya menyembunyikan ilmu sebagaimana di atas karena mashlahat.
22-Larangan Nabi n kepada Mu’adz untuk menyampaikan hadits di atas bukanlah larangan haram. Karena Nabi n sendiri menyampaikan kepada Mu’adz, dan Mu’adzpun menyampaikan kepada orang lain di akhir hidup beliau karena khawatir dosa menyembunyikan ilmu.
23-Janganlah seseorang bersandar kepada rahmat Alloh yang sangat luas sehingga meninggalkan berlomba di dalam kebaikan dan berani menerjang larangan.
24-Sesungguhnya mewujudkan tauhid mengharuskan meninggalkan seluruh kemaksiatan, karena kemaksiatan itu munculnya dari hawa nafsu, dan ini termasuk syirik kecil.
25-Al-Wazir Abul Muzhoffar –semoga Alloh merahmatinya mengatakan: “Beliau tidaklah menyembunyikannya kecuali dari orang yang bodoh. Karena kebodohannya akan membawanya kepada adab yang buruk dengan meninggalkan ketaatan. Adapaun orang-orang yang pandai, yang mendengar semisal ini, mereka akan menambah ketaatan. Mereka memandang bahwa bertambahnya kenikmatan mendorong kepada tambahan ketaatan. Sehingga tidak ada alasan menyembunyikan itu dari mereka”. (Kitab Fathul Majid)
Rujukan: Syarah-Syarah Kitab Tauhid.
Disusun oleh Muslim Atsari
Sesungguhnya Alloh Ta’ala telah mengutus Nabi Muhammad n sebagai rahmat untuk seluruh manusia. Di antara tugas beliau adalah mengajarkan dan menyampaikan agama yang haq ini kepada umatnya. Dan beliau telah melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Beliau menggunakan kesempatan untuk mengajar di setiap waktu yang sesuai dan setiap tempat yang memungkinkan. Beliau mengajarkan agama di masjid, di rumah, di perjalanan, dan lainnya. Inilah di antara hadits-hadits yang menunjukkan kesungguhan Nabi n di dalam mengajarkan agama, beliau mengajar seorang sahabat di saat memboncengkannya di atas keledai!
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ قَالَ كُنْتُ رِدْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (عَلَى حِمَارٍ يُقَالُ لَهُ عُفَيْرٌ) لَيْسَ بَيْنِي وَبَيْنَهُ إِلَّا مُؤْخِرَةُ الرَّحْلِ فَقَالَ يَا مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ قُلْتُ لَبَّيْكَ رَسُولَ اللَّهِ وَسَعْدَيْكَ ثُمَّ سَارَ سَاعَةً ثُمَّ قَالَ يَا مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ قُلْتُ لَبَّيْكَ رَسُولَ اللَّهِ وَسَعْدَيْكَ ثُمَّ سَارَ سَاعَةً ثُمَّ قَالَ يَا مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ قُلْتُ لَبَّيْكَ رَسُولَ اللَّهِ وَسَعْدَيْكَ قَالَ هَلْ تَدْرِي مَا حَقُّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ قَالَ قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ فَإِنَّ حَقَّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ثُمَّ سَارَ سَاعَةً قَالَ يَا مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ قُلْتُ لَبَّيْكَ رَسُولَ اللَّهِ وَسَعْدَيْكَ قَالَ هَلْ تَدْرِي مَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ إِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ قَالَ قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ أَنْ لَا يُعَذِّبَهُمْ (فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا أُبَشِّرُ بِهِ النَّاسَ قَالَ لَا تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوا)
Dari Mu’adz bin Jabal –semoga Alloh meridhoinya-, dia berkata: “Aku membonceng Rasulullah n (di atas keledai yang namanya ‘Ufair), tidak ada sesuatu di antara aku dengan beliau kecuali kayu pelana.
Lalu beliau bersabda: “Wahai Mu’adz bin Jabal”, aku menjawab: “Aku memenuhi panggilanmu dengan segera wahai Rasulullah”.
Kemudian beliau berjalan sebentar, lalu beliau bersabda lagi: “Wahai Mu’adz bin Jabal”, aku menjawab: “Aku memenuhi panggilanmu dengan segera wahai Rasulullah”.
Kemudian beliau berjalan sebentar, lalu beliau bersabda lagi: “Wahai Mu’adz bin Jabal”, aku menjawab: “Aku memenuhi panggilanmu dengan segera wahai Rasulullah”.
Beliau bersabda: “Tahukah engkau, apakah hak Alloh yang menjadi kewajiban seluruh hamba?”. Mu’adz berkata: Aku menjawab: “Alloh dan RosulNya lebih tahu”. Beliau bersabda: “Sesungguhnya hak Allah yang menjadi kewajiban seluruh hamba adalah agar mereka beribadah kepadaNya, dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun.”
Kemudian beliau berjalan sebentar, lalu beliau bersabda: “Wahai Mu’adz bin Jabal”, aku menjawab: “Aku memenuhi panggilanmu dengan segera wahai Rasulullah”.
Beliau bersabda: “Tahukah engkau apakah hak hamba yang menjadi kewajiban Alloh, jika mereka telah melakukannya (kewajiban mereka)?”. Mu’adz berkata: Aku menjawab: “Alloh dan RosulNya lebih tahu”. Beliau bersabda: “Alloh tidak akan menyiksa mereka”.
(Aku berkata: “Wahai Rasulullah, tidakkah aku beritakan kabar gembira kepada orang banyak?”. Beliau bersabda: “Jangan engkau beritakan kabar gembira kepada mereka, sehingga mereka akan bersandar (dengan itu)”.
(Hadits Shohih Riwayat Bukhori, no: 6019 ; Muslim, no: 30; dll; Tambahan dalam kurung riwayat Bukhori, no: 2856 dan satu riwayat Muslim)
FAEDAH-FAEDAH HADITS:
Hadits yang mulia ini memiliki banyak faedah-faedah, antara lain:
1-Keutamaan sahabat Mu’adz bin Jabal –semoga Alloh meridhoinya-, karena Rosululloh n mengajarkan kepadanya pengetahuan yang tidak diajarkan kepada sahabat-sahabat lainnya.
2-Bolehnya membonceng di atas keledai.
3-Bolehnya memberi nama pada binatang.
4-Tawadhu’ Rosulullah n , karena beliau mau naik keledai dan memboncengkan sahabatnya.
5-Kesungguhan Nabi di dalam pengajaran ilmu agama. Yang mana hal itu dilakukan di perjalanan, ketika naik kendaraan.
6-Memanggil nama orang yang diajak bicara. Dilakukannya hal ini sebelum pengajaran akan menjadikannya konsentrasi terhadap apa yang akan diajarkan dan sekaligus menggembirakan hatinya.
7-Mengulangi kalimat untuk menarik perhatian orang yang diajak bicara. Di dalam hadits ini, Nabi mengulangi panggilan terhadap Mu’adz tiga kali sebelum mengajarkan ilmu kepadanya.
8-Adab Sahabat Mu’adz bin Jabal kepada Nabi n , yaitu dengan dengan jawabannya kepada beliau: “Aku memenuhi panggilanmu dengan segera wahai Rasulullah”.
9-Berhentinya pembicaraan Nabi n setiap selesai memanggil nama sahabat Mu’adz. Hal ini membangkitkan kerinduan Mu’adz untuk mendengarkan apa yang akan disampaikankepadanya.
10-Nabi n menggunakan metode pertanyaan untuk menyampaikan ilmu. Hal ini membangkitkan perhatian orang yang diajak bicara.
11-Seorang guru boleh bertanya kepada murid tentang suatu hukum untuk mengujinya, dan menjelaskan apa yang dia kesulitan
12-Haramnya berbicara tanpa ilmu. Maka Mu’adz menjawab pertanyaan Nabi n dengan mengatakan: “Alloh dan RosulNya lebih tahu”. Maka orang yang ditanya suatu masalah yang tidak dia ketahui hendaklah mengatakan “Allohu ‘alam (Alloh lebih tahu)”, atau “Aku tidak tahu”.
13-Hak Allah yang menjadi kewajiban seluruh hamba adalah agar mereka beribadah kepadaNya, dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun. Ini merupakan kewajiban pertama atas hamba.
14-Diterimanya ibadah hamba oleh Alloh disyaratkan dengan meninggalkan syirik. Karena syirik itu menggugurkan seluruh amal sholih.
15-Tafsir kalimat tauhid, Laa ilaaha illa Alloh, yaitu “Tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Alloh”.
16-Hak hamba yang menjadi kewajiban Alloh, jika mereka telah melakukan kewajiban mereka adalah bahwa Alloh tidak akan menyiksa mereka.
17-Yang dimaksudkan dengan “kewajiban Alloh yang menjadi hak hamba” adalah apa yang Alloh wajibkan atas diriNya sendiri sebagai pemberian karunia dan perbuatan keutamaan dariNya. Jadi bukan perbuatan hamba yang mewajibkan hal tersebut, karena tidak ada seorangpun dari makhluk yang memberikan kewajiban terhadap Alloh Ta’ala.
18-Keutamaan tauhid, yaitu sebagai sarana menjaga diri dari siksa Alloh Ta’ala.
19-Disukai memberitakan kabar gembira kepada orang Islam, kecuali jika akan menimbulkan perkara yang tidak baik. Seperti meninggalkan perlombaan di dalam amal sholih.
20-Bolehnya mengkhususkan ilmu keutamaan sesuatu kepada sebagian orang tanpa yang lain, yang mana ilmu itu tidak wajib dikeahui oleh setiap orang.
21-Bolehnya menyembunyikan ilmu sebagaimana di atas karena mashlahat.
22-Larangan Nabi n kepada Mu’adz untuk menyampaikan hadits di atas bukanlah larangan haram. Karena Nabi n sendiri menyampaikan kepada Mu’adz, dan Mu’adzpun menyampaikan kepada orang lain di akhir hidup beliau karena khawatir dosa menyembunyikan ilmu.
23-Janganlah seseorang bersandar kepada rahmat Alloh yang sangat luas sehingga meninggalkan berlomba di dalam kebaikan dan berani menerjang larangan.
24-Sesungguhnya mewujudkan tauhid mengharuskan meninggalkan seluruh kemaksiatan, karena kemaksiatan itu munculnya dari hawa nafsu, dan ini termasuk syirik kecil.
25-Al-Wazir Abul Muzhoffar –semoga Alloh merahmatinya mengatakan: “Beliau tidaklah menyembunyikannya kecuali dari orang yang bodoh. Karena kebodohannya akan membawanya kepada adab yang buruk dengan meninggalkan ketaatan. Adapaun orang-orang yang pandai, yang mendengar semisal ini, mereka akan menambah ketaatan. Mereka memandang bahwa bertambahnya kenikmatan mendorong kepada tambahan ketaatan. Sehingga tidak ada alasan menyembunyikan itu dari mereka”. (Kitab Fathul Majid)
Rujukan: Syarah-Syarah Kitab Tauhid.
FAEDAH HADITS FIRQOH NAJIYAH
FAEDAH HADITS FIRQOH NAJIYAH
Disusun oleh: Muslim Atsari
Barangsiapa memperhatikan keadaan umat Islam dewasa ini, pastilah dia akan keheranan. Bagaimana mungkin, suatu umat yang dinyatakan sebagai umat terbaik dibandingkan umat-umat yang lain, dalam keadaan terpuruk di dalam perpecahan, kelemahan, kehinaan, dan kekalahan.
Namun orang yang mengetahui keadaan sebenarnya umat Islam di zaman ini, yang mayoritas mereka jauh dari agama mereka, jauh dari Al-Kitab dan As-Sunnah, maka akan hilang keheranan di atas.
Sesungguhnya banyak kenyataan pada tubuh umat Islam yang bertentangan dengan ajaran agamanya sendiri. Tentulah kesalahan ini tidak ditujukan kepada agama Islam yang suci ini, tetapi kesalahan itu tertuju kepada orang-orang yang menyimpang dari agama yang haq ini.
Salah satu fenomena yang ada pada umat Islam adalah banyaknya golongan dan kelompok, padahal agama Islam hanyalah mengenal satu jama’ah. Agama Islam mengajarkan persatuan, bukan perpecahan. Maka kenyataan umat yang berpecah-belah dan saling fanatik serta berbangga dengan golongannya sendiri itu merupakan perkara yang tidak diridhoi oleh Alloh Ta’ala. Bahkan menjadikan kebingungan kepada orang-orang awam. Siapakah dan manakah di antara golongan-golongan itu yang benar?!
Agama Islam merupakan agama yang sempurna. Agama Islam telah menjelaskan itu semua. Yaitu apa yang telah disabdakan oleh Nabi Muhammad di dalam sebuah hadits yang dikenal oleh para ulama dengan nama hadits “Firqoh Najiyah” (Golongan yang selamat). Maka di daalam edisi ini, kami akan menampilkan hadits tersebut dan beberapa faedah yang dapat diambil darinya.
Hadits Pertama:
عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ افْتَرَقَتِ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً فَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً فَإِحْدَى وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقَنَّ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ هُمْ قَالَ الْجَمَاعَةُ
Dari Auf bin Malik rodhiyallohu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah sholallohu ‘alaihi was sallam bersabda: “Orang-orang Yahudi telah bercerai-berai menjadi 71 kelompok, satu di dalam sorga, 70 di dalam neraka. Orang-orang Nashoro telah bercerai-berai menjadi 72 kelompok, 71 di dalam neraka, satu di dalam sorga. Demi (Allah) Yang jiwa Muhammad di tanganNya, umatku benar-benar akan bercerai-berai menjadi 73 kelompok, satu di dalam sorga, 72 di dalam neraka”. Beliau ditanya: “Wahai Rasulullah! siapa mereka itu?”, beliau menjawab: “Al-Jama’ah”. (HR.Ibnu Majah no: 3992; Ibnu Abi Ashim, no: 63; Al-Lalikai 1/101. Hadits ini berderajat Hasan. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Ibni Majah, no: 3226)
Hadits Kedua:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيَأْتِيَنَّ عَلَى أُمَّتِي مَا أَتَى عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ حَذْوَ النَّعْلِ بِالنَّعْلِ حَتَّى إِنْ كَانَ مِنْهُمْ مَنْ أَتَى أُمَّهُ عَلَانِيَةً لَكَانَ فِي أُمَّتِي مَنْ يَصْنَعُ ذَلِكَ وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
Dari Abdullah bin ‘Amr rodhiyallohu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah sholallohu ‘alaihi was sallam bersabda: “Benar-benar akan datang terhadap umatku, apa yang telah datang pada Bani Israil, persis seperti sepasang sandal. Sehingga jika di antara mereka ada yang menzinahi ibunya terang-terangan, di kalangan umatku benar-benar ada yang akan melakukannya. Dan sesungguhnya Bani Isra’il telah bercerai-berai menjadi 72 agama, dan umatku akan bercerai-berai menjadi 73 agama, semuanya di dalam neraka kecuali satu agama”. Para sahabat bertanya: “Siapa yang satu itu wahai Rasulullah?”, beliau menjawab: “Apa yang saya dan para sahabatku berada di atasnya”.
(HR. Tirmidzi, Al-Hakim, dan lainnya. Sanad hadits ini dha’if, tetapi dikuatkan dengan hadits-hadits lainnya. Hadits ini dishahihkan Imam Ibnul Qayyim dan Asy-Syathibi, dihasankan oleh Al-Hafizh Al-‘Iroqi dan Syeikh Al-Albani. Syeikh Salim Al-Hilali menulis kitab khusus membela hadits ini dalam sebuah kitab yang bernama “Daf’ul Irtiyab ‘An Haditsi Maa Ana ‘Alaihi Wal Ash-hab”)
KETERANGAN:
Yang dimaksudkan perpecahan dalam hadits ini yaitu perpecahan yang disebabkan oleh perbuatan bid’ah yang membawa para pelakunya di dalam permusuhan dan kebencian. Bukan perpecahan dengan arti perselisihan dalam masalah-masalah ijtihadiyah yang telah terjadi semenjak zaman sahabat. (Lihat: Mukhtashor Al-I’tishom, hal: 122-123)
PELAJARAN HADITS:
Dari hadits-hadits di atas kita dapat mengambil beberapa faedah, antara lain:
1- Perpecahan merupakan takdir Alloh terhadap orang-orang yang menyimpang. Oleh karena itulah perpecahan tidak hanya menimpa umat Islam, bahkan telah menimpa umat-umat zaman dahulu.
2- Perpecahan umat Islam lebih banyak dari orang-orang sebelumnya. Hal ini dapat diketahui dari jumlah firqoh umat Islam yang melebihi jumlah yang ada pada Ahli Kitab.
3- Perpecahan umat Islam adalah perpecahan millah (agama). Sehingga perpecahan ini berkaitan dengan prinsip-prinsip pokok yang ada pada keyakinan masing-masing golongan.
4- Perpecahan millah mewujudkan firqoh-firqoh (kelompok-kelompok). Contoh: Khowarij, Syi’ah, Jahmiyah, Qodariyah, Jabariyah, Batiniyah, Rasionalisme (Mu’tazilah; Asy’ariyah; Madrosah Ishlahiyah), Tashowwuf, Fanatikus Madzhab, Sekulerisme, dan lain-lain.
5- Jalan kebinasaan atau kesesatan banyak, adapun jalan keselamatan hanya satu. Oleh karena itulah hanya satu dari 73 golongan itu yang selamat dari ancaman neraka.
6- Menyelisihi firqoh najiyah merupakan kebinasaan, siksaan, dan perpecahan. Keburukan akan menimpa golongan-golongan yang menyimpang, baik di dunia yang berupa kesesatan, maupun di akhirat yang berupa siksaan.
7- Apa yang ada pada Nabi dan para sahabat beliau adalah pembeda antara kebenaran dan kebatilan. Oleh karena itulah jika ada suatu masalah diperselisihkan oleh umat Islam di zaman ini, maka kita kembalikan kepada kaedah yang agung ini.
8- Apa yang ada pada Nabi dan para sahabat beliau adalah Sunnah dan Al-Jama’ah. Sehingga sunnah mencakup sunnah Nabi dan sunnah sahabat beliau. Dan Al-Jama’ah bukanlah semata-mata kumpulan manusia, tetapi kumpulan manusia yang mengikuti al-haq yang berada pada Nabi dan para sahabat beliau.
9- Apa yang ada pada Nabi dan para sahabat beliau adalah solusi dari fitnah (kebatilan, kesesatan, perpecahan, kehinaan).
10- Kewajiban menetapi al-jama’ah, yaitu berpegang kepada sunnah Rasulullah dan sunnah para sahabatnya.
11- Kewajiban memahami Al-Kitab dan As-Sunnah dengan pemahaman Salafush Sholih, dari kalangan sahabat, tabi’in, dan para ulama yang mengikuti jalan mereka.
12- Larangan bid’ah (perkara baru dalam agama), karena hal itu tidak ada di dalam sunnah Nabi dan sunnah Khulafaur Rosyidin. Dan seluruh bid’ah merupakan kesesatan, tidak ada bid’ah hasanah di dalam agama. Bid’ah hasanah ada dalam perkara duniawi.
13- Kabar gembira bagi orang yang mengikuti Sunnah. Bahwa mereka akan mendapatkan keselamatan.
14- Ancaman keras terhadap orang yang menyelisihi Sunnah, yaitu dengan neraka.
15- Al-Haq (kebenaran) itu satu, tidak berbilang. Maka apa-apa yang bertentangan dengan kebenaran merupakan kesesatan.
16- Jumlah banyak atau sedikit bukan ukuran kebenaran. Tetapi kebenaran adalah diukur dengan wahyu (Al-Kitab danAs-Sunnah) dengan pemahaman yang benar (Salafush Sholih).
17- Di antara sunatulloh, pengikut kebenaran sedikit jumlahnya. Hal ini umumnya demikian, walaupun di sebagian tempat atau sebagian waktu terkadang al-haq itu memiliki pengikut mayoritas.
18- Hadits-hadits Nabi saling menerangkan, sehingga tidak boleh mengambil sebagian hadits dan meninggalkan lainnya. Ada orang yang menggunakan istilah “jama’ah” dengan kelompoknya sendiri, padahal maksud al-jama’ah di dalam hadits-hadits ini adalah mengikuti sunnah Nabi dan para sahabatnya.
KESALAHAN-KESALAHAN:
Selain berbagai faedah yang telah kami sampaikan di atas, ada berbagai kesalahan yang berkaitan dengan makna hadits yang shohih tersebut. Sebagai peringatan, kami sampaikan di sini sehingga kita dapat menjauhinya.
1. Mengingkari adanya perpecahan umat Islam. Orang yang mengingkari adanya perpecahan di kalangan umat Islam, dia tidak memahami Al-Kitab dan As-Sunnah dengan sebenar-benarnya. Demikian juga, dia tidak mengetahui kenyataan yang ada pada umat.
2. Menganggap baik semua golongan dalam umat Islam. Sehingga tidak ada amar ma’ruf dan nahi mungkar, tidak boleh ada kritikan dan semacamnya.
3. Ridho dan tidak mencari solusi terhadap perpecahan umat. Sebagian orang beranggapan bahwa perpecahan umat merupakan takdir, sehingga harus diterima. Padahal sikap umat tidak boleh demikian. Bahkan kita diperintahkan oleh Alloh untuk mengikuti syari’atNya. Yaitu dengan bersatu di atas al-haq, meninggalkan perselisihan dan perpecahan.
4. Cepat memvonis orang lain sebagai orang kafir, fasiq, atau ahli bid’ah. Sesungguhnya vonis tersebut memiliki aturan-aturan yang semestinya diikuti, sehingga tidak menimbulkan kerusakan-kerusakan yang besar.
5. Tidak memahami jenis-jenis khilaf (perselisihan). Karena ada bentuk-bentuk perselisihan yang dibolehkan (seperti dalam perkara ijtihadiyah), dan ada bentuk-bentuk perselisihan yang terlarang (yaitu dalam perkara yang ada dalil nyata dari Al-Kitab, As-Sunnah atau ijma’). Sehingga jangan sampai seseorang beranggapan haram pada sesuatu yang halal atau sebaliknya.
Inilah sedikit kajian tentang hadits Firqoh Najiyah, semoga bermanfaat. Amiin.
ISTIQOMAH
ISTIQOMAH
Disusun oleh Muslim Atsari
Sesunguhnya nikmat Alloh Ta'ala kepada hamba-hambaNya tidak terbatas. Di antara nikmat yang paling besar adalah nikmat iman dan islam. Demikian juga nikmat istiqomah di atas iman. Hal ini ditunjukkan oleh hadits di bawah ini:
عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الثَّقَفِيِّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قُلْ لِي فِي الْإِسْلَامِ قَوْلًا لَا أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا بَعْدَكَ قَالَ قُلْ آمَنْتُ بِاللَّهِ فَاسْتَقِمْ
Dari Sufyan bin Abdulloh Ats-Tsaqofi, dia berkata: "Aku berkata, wahai Rosululloh, katakan kepadaku di dalam Islam satu perkataan yang aku tidak akan bertanya kepada seorangpun setelah anda!" Beliau menjawab: "Katakanlah, 'aku beriman', lalu istiqomahlah". (HR. Muslim, no. 38; Ahmad 3/413; Tirmidzi, no. 2410; Ibnu Majah, no. 3972)
Imam Ibnu Rojab Al-Hambali (wafat th 795 H) -semoga Alloh merohmatinya- berkata menjelaskan makna istiqomah dan kedudukan hadits ini dengan mengatakan: “Istiqomah adalah meniti jalan yang lurus, yaitu agama yang lurus, dengan tanpa membelok ke kanan atau ke kiri. Dan istiqomah mencakup melakukan semua ketaatan yang lahir dan yang batih dan meninggalkan semua perkara yang dilarang juga demikian. Maka wasiat ini mencakup seluruh ajaran agama". (Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam, juz: 1, hlm: 510, karya Imam Ibnu Rojab, dengan penelitian Syu’aib Al-Arnauth dan Ibrohim Bajis; penerbit Ar-Risalah; cet: 5; th: 1414 H/ 1994 M)
Dari penjelasan di atas kita mengetahui bahwa ukuran istiqomah adalah agama yang lurus ini, yaitu melakukan ketaatan sebagaimana diperintahkan dengan tanpa melewati batas, tanpa mengikuti hawa-nafsu, walaupun orang menganggapnya sebagai sikap berlebihan atau mengurangi. Alloh Ta'ala berfirman:
öNÉ)tGó™$$sù !$yJx. |Nö�ÏBé& `tBur z>$s? y7yètB Ÿwur (#öqtóôÜs? 4 ¼çm¯RÎ) $yJÎ/ šcqè=yJ÷ès? ׎�ÅÁt/ ÇÊÊËÈ
Maka istiqomahlah (tetaplah kamu pada jalan yang benar), sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Huud/11: 112)
Alloh Ta'ala juga berfirman:
Maka karena itu serulah mereka kepada agama ini) dan istiqomahlah (tetaplah dalam agama dan lanjutkanlah berdakwah) sebagai mana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka. Dan katakanlah: "Aku beriman kepada semua kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil di antara kamu. Allah-lah tuhan kami dan tuhan kamu. bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu, tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah akan mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah tempat kembali (kita)". (QS Syuuraa/42: 15)
ISTIQOMAH HATI DAN ANGGOTA BADAN
Iman Ibnu Rojab Al-Hanbali berkata: "Pokok istiqomah adalah istiqomah hati di atas tauhid, sebagaimana penjelasan Abu Bakar Ash-Shiddiiq dan lainnya terhadap firman Alloh:
"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka istiqomah (meneguhkan pendirian mereka".
Bahwa mereka tidak berpaling kepada selainNya.
Ketika hati telah istiqomah di atas ma'rifah (pengetahuan) terhadap Alloh, khosyah (takut) kepada Alloh, mengagungkan Alloh, menghormatiNya, mencintaiNya, menghendakiNya, berharap kepadaNya, berdoa kepadaNya, tawakal kepadaNya, dan berpaling dari selainNya; maka angota badan semua juga istiqomah di atas ketaatan kepadanya. Karena hati merupaka raja semua anggota badan, dan anggota badan semua merupakan tentara hati. Maka jika raja istiqomah, tentara dan rakyatnya juga istiqomah.
Demikian juga firman Alloh:
ditafsirkan dengan memurnikan niat dan kehendak bagi Alloh semata, tanpa sekutu bagiNya.
Setelah hati, perkara terbesar yang dijaga isitqomahnya adalah lisan, karena ia adalah penterjemah hati dan pengungkap (isi) hati. Oleh karena itulah setelah nabi r memerintahkan istiqomah, beliau mewasiatkan untuk menjaga lisan. Di dalam Musnad imam Ahmad dari Anas bin Malik , dari Nabi r , beliau bersabda:
لَا يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ وَلَا يَسْتَقِيمُ قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيمَ لِسَانُهُ وَلَا يَدْخُلُ رَجُلٌ الْجَنَّةَ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
Iman seorang hamba tidak akan istiqomah, sehingga hatinya istiqomah. Dan hati seorang hamba tidak akan istiqomah, sehingga lisannya istiqomah. Dan orang yang tetangganya tidak aman dari kejahatan-kejahatannya, tidak akan masuk sorga. (HR. Ahmad, no. 12636, dihasankan oleh syaikh Salim Al-Hilali di dalam Bahjatun Nazhirin 3/13)
Dan di dalam Tirmidzi (no. 2407) dari Abu Sa'id Al-Khudri secara marfuu' dan mauquuf:
إِذَا أَصْبَحَ ابْنُ آدَمَ فَإِنَّ الْأَعْضَاءَ كُلَّهَا تُكَفِّرُ اللِّسَانَ فَتَقُولُ اتَّقِ اللَّهَ فِينَا فَإِنَّمَا نَحْنُ بِكَ فَإِنْ اسْتَقَمْتَ اسْتَقَمْنَا وَإِنْ اعْوَجَجْتَ اعْوَجَجْنَا
Jika anak Adam memasuki pagi hari sesungguhnya semua anggota badannya berkata merendah kepada lesan: "Taqwalah kepada Alloh di dalam menjaga hak-hak kami, sesungguhnya kami ini tergantung kepadamu. Jika engkau istiqomah, maka kami juga istiqomah, jika engkau menyimpang (dari jalan petunjuk), kami juga menyimpang. (HR. Tirmidzi, no. 2407; dihasankan oleh syaikh Salim Al-Hilali di dalam Bahjatun Nazhirin 3/17, no. 1521) (Jami'ul 'Uluum wal Hikam, 1/511-512)
KEUTAMAAN
Istiqomah tidaklah mudah. Namun seorang hamba akan mendapatkan semangat di dalam istiqomah dengan mengetahui keutamaannya. Alloh Ta'ala berfirman memberitakan keutamaan besar yang akan diraih oleh orang-orang yang istiqomah:
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan Kami ialah Allah" kemudian mereka istiqomah (meneguhkan pendirian mereka), maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan bergembiralah dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu". (QS. Fush-shilat/41: 30)
Di dalam ayat yang lain Alloh Ta'ala berfirman:
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan Kami ialah Allah", kemudian mereka tetap istiqamah (teguh pendirian dalam tauhid dan tetap beramal yang saleh) maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita.
Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. (QS. Al-Ahqoof /46: 13-14)
ISTIGHFAR MELENGKAPI ISTIQOMAH
Manusia pasti memiliki kekurangan. Manusi tidak akan mampu melaksanakan agama ini secara menyeluruh dengan sempurna. Oleh karena itulah Alloh Ta'ala memerintahkan istighfar setelah memerintahkan istiqomah, Alloh berfirman:
Katakanlah: "Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan yang Maha Esa, maka istiqomahlah (tetaplah pada jalan yang lurus) menuju kepadaNya dan mohonlah ampun kepadaNya. dan kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-Nya. (QS. Fush-shilat/41: 6)
Iman Ibnu Rojab berkata: "Di dalam firman Alloh 'maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepadaNya dan mohonlah ampun kepadaNya', merupakan isyarat bahwa pasti terjadi kekuarangan di dalam (menjalankan) istiqomah yang diperintahkan, maka diperbaiki dengan istighfar yang mengharuskan taubat dan ruju' menuju istiqomah". (Jami'ul 'Uluum wal Hikam, 1/510)
SEBAB-SEBAB ISTIQOMAH
Sesungguhnya sebab-sebab istiqomah sangat banyak. Di sini kami akan menyampaikan sebab-sebab terpenting yang menjadikan seseorang istiqomah di jalan Alloh Ta'ala:
1- Merenungkan Al-Qur'an.
2- Mengamalkan agama Alloh
3- Doa
4- Dzikir
5- Pembinaan iman
6- Meneladani Salafush sholih dan ulama yang istiqomah
7- Mencintai Alloh dan RosulNya melebihi yang lainnya
8- Mencintai dan membenci sesuatu karena Alloh
9- Saling berwasiat dengan al-haq, kesabaran, dan kasih-sayang.
10- Meyakini masa depan bagi agama Islam
Inilah sedikit penjelasan tentang istiqomah, semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar