INFO PROFIL

Foto saya
JENTREK ROJOIMO WONOSOBO, jawa tengah indonesia, Indonesia
Ya Allah jadikan kami manusia yang bisa keluar dari belenggu “kemunafikan”. Bimbing kami untuk tidak mengoreksi orang lain sebelum diri ini terkoreksi ya Rabb. Jadikan kami manusia yang jujur dan tidak pernah membohongi diri sendiri apalagi orang lain. kepadaMulah kami berserah ya Allah, kepadaMulah kami bermohon karena tanpa kehendakMu kami tidak bisa berbuat apa-apa Affannur Jentrek rojoimo wonosobo . lahir13 Agustus 1989

Rabu, 16 Februari 2011


Pendidikan Anti-Korupsi
February 5th, 2009 · 42 Comments

PENDIDIKAN  ANTI KORUPSI
Oleh : Hujair AH. Sanaky[1]

Lembaga-lembaga pendidikan
selalu diidolakan dengan lembaga yang bebas dari praktik korupsi. 
Harapan dibebankan kedunia pendidikan untuk membangun sikap anti korupsi, membangun sikap amanah (trust).  
Tuntutannya,
sistem pendidikan harus dibenahi agar dapat menjawab permintaan tersebut.  Pertanyaannya apakah pendidikan di Indonesia siap untuk itu?  
Baca tulisan ini lebih lanjut.  


Pendidikan suatu proses belajar dan penyesuaian individu-individu secara terus menerus terhadap nilai-nilai budaya dan cita-cita masyarakat; suatu proses dimana suatu bangsa mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan dan untuk memenuhi tujuan hidup secara efektif dan efisien.  Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intellect) dan jasmani anak-anak, selaras dengan alam dan masyarakatnya.[2] Mohammad Natsir dalam tulisannya Idiologi Didikan Islam, menyatakan pendidikan satu pimpinan jasmani dan ruhani menuju kepada kesempurnaan dan kelengkapan arti kemanusiaan dalam arti sesungguhnya.[3]  Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional  Nomor 20 Tahun 2003, pasal 3 bahwa pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.[4]    
Dalam teori pendidikan terdapat tiga ranah dalam taksonomi tujuan pendidikan. Pertama, ranah kognitif yang menekankan aspek untuk mengingat dan mereproduksi informasi yang telah dipelajari, yaitu untuk mengkombinasikan cara-cara kreatif dan mensintesakan ide-ide dan materi baru. Kedua, ranah afektif yang menekankan aspek emosi, sikap, apresiasi, nilai atau tingkat kemampuan menerima atau menolak sesuatu. Ketiga, ranah psikomotorik yang menekankan pada tujuan untuk melatih keterampilan seperti menulis, teknik mengajar, berdagang, dan lain-lain.  Dari ketiga ranah pendidikan tersebut idealnya harus selaras dan saling melengkapi.  Tetapi kenyataannya hubungan antara perubahan sikap (afektif) dan meningkatnya ilmu pengetahuan (kognitif) secara statistik cenderung berdiri sendiri.  Maka dari ketiga unsur pencapaian pendidikan itu, idealnya harus dilakukan secara terpadu (integral) sehingga tercapai tujuan proses pendidikan yang diinginkan dan akan jelas ke mana pendidikan itu akan diarahkan. Namun kenyataanya kecenderungan dan pencapaian pendidikan sudah jauh bergeser dari tujuan idealnya.[5]
Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan dan mengembangkan kreatifitas.[6]  Maka untuk mewujudkan pendidikan anti korupsi, harus menjadi tanggungjawab bersama antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah, karena itu pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan di dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Pendidikan kita terdiri atas tiga bagian, yaitu pendidikan informal (keluarga), formal (sekolah) dan nonformal (masyarakat),[7] yang dapat saling melengkapi dan memperkaya.  Oleh karena itu, sasaran yang ingin dicapai dari pendidikan adalah pembentukan aspek kognitif (intelektual), afektif (sikap mental atau moral) dan psikomotorik (skill/keterampilan). Maka idealnya, pembentukan aspek kognitif menjadi tugas dan tanggung jawab para pendidik (guru) di sekolah, pembentukan aspek efektif menjadi tugas dan tanggung jawab orangtua, dengan membangun kepribadian dan kebiasaan. Sedangkan, pembentukan aspek psikomotorik menjadi tugas dan tanggung jawab masyarakat (lembaga-lembaga kursus, dan sejenisnya).   Dengan adanya pembagian tugas seperti ini,  maka masalah pendidikan anti korupsi sebenarnya menjadi tanggung jawab semua pihak: orangtua, pendidik (guru), dan masyarakat.[8]
  Dalam pendidikan keluarga, mengupayakan pendidikan moral seperti agama, budi pekerti, etika, dan sejenisnya, menjadi tugas dan tanggung jawab orangtua.  Ayah maupun ibu harus melatih anak-anaknya untuk jujur dalam melakukan berbagai hal, khususnya yang menyangkut dengan uang.  Kejujuran merupakan prinsip dasar dalam pendidikan anti korupsi.  Katakan saja, kalau seorang ayah atau ibu  menyuruh anaknya untuk belanja sesuatu ke warung, dia harus diajarkan mengembalikan uang sisa belanja tersebut dan tidak boleh mengantongi uang sisa belanja tersebut untuk dirinya sendiri.  Intinya kita sebagai orangtua harus menanamkan kejujuran pada anak. Hal ini dikatakan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (Menneg PP) Meutia Hatta kepada wartawan di sela-sela bakti sosial menyambut Hari Ibu ke-80, di Jakarta.[9]
Kita harus dan berani membentuk sikap anti korupsi sejak dini dan dimulai dari pendidikan keluarga.  Hal ini jelas merupakan tindakan yang patut dan harus didukung, sebab internalisasi sikap dan kebiasaan anti korupsi dapat saja lewat penegakan hukum maupun pendidikan yang bernilai  preventif dan edukatif.  Maka arah dari semua langkah itu adalah membangun kultur perlawanan terhadap budaya korupsi yang dimulai dari pendidikan keluarga,  dengan sifat menciptakan efek jera, menebarkan budaya malu, menciptakan budaya kejujuran, budaya tanggung jawab dan berupaya untuk mencegah agar para calon pelaku korupsi takut untuk berbuat serupa.
Pendidikan di sekolah, mengembangkan pendidikan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) menjadi tugas dan tanggung jawab para pendidik (guru) di sekolah.  Maka untuk mewujudkan pendidikan anti korupsi,  pendidikan di sekolah harus diorientasikan pada tataran moral action, agar peserta didik tidak hanya berhenti pada kompetensi (competence) saja, tetapi sampai memiliki kemauan (will), dan kebiasaan (habit) dalam mewujudkan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari.  Lickona (1991), menyatakan bahwa untuk mendidik moral anak sampai pada tataran moral action diperlukan tiga proses pembinaan yang berkelanjutan mulai dari proses moral knowing, moral feeling, hingga sampai pada moral action.  Ketiganya harus dikembangkan secara terpadu dan seimbang.[10]   Dengan demikian diharapkan potensi peserta didik dapat berkembang secara optimal, baik pada aspek kecerdasan intelektual, yaitu memiliki kecerdasan, pintar, kemampuan membedakan yang baik dan buruk, benar dan salah, serta menentukan mana yang bermanfaat.  Kecerdasan emosional, berupa kemampuan mengendalikan emosi, menghargai dan mengerti perasaan orang lain, dan mampu bekerja dengan orang lain.  Keecerdasan sosial,  yaitu memiliki kemampuan berkomunikasi, senang menolong, berteman, senang bekerja sama, senang berbuat untuk menyenangkan orang lain. Kecerdasan spritual, yaitu memiliki kemampuan iman yang anggun, merasa selalu diawasi oleh Allah, gemar berbuat baik karena lillahi ta’alah, disiplin beribadah, sabar, ikhtiar, jujur, pandai bersyukur dan berterima kasih. Sedangkan kecerdasan kinestetik,  adalah menciptakan keperdulian terhadap dirinya dengan menjaga kesehatan jasmani, tumbuh dari rizki yang hahal, dan sebagainya.  Maka sosok manusia yang mengembangkan berbagai kecerdasan tersebut,  diharapkan siap menghadapi dan memberantas perbuatan korupsi atau bersikap anti korupsi.
Pendidikan di sekolah harus dilakukan secara berkelanjutan mulai dari proses moral knowing, moral feeling, hingga moral action.  Kenapa, karena pendidikan memiliki peran yang strategis dalam mendukung dan bahkan mempercepat pembentukan masyarakat berkeadaban,[11] memiliki kemampuan, keterampilan, etos, dan motivasi untuk berpartisifasi aktif secara jujur dalam masyarakat.   Dalam konteks ini, menurut penulis dalam pendidikan di sekolah,  perlu membangun ”kantin kejujuran”  di sekolah-sekolah, tidak hanya  berkesan simbolik, atau bersifat basah basih,  tetapi harus dirancang dengan muatan sifat edukasi yang dikemukan di atas.    Mungkin saja,  eksistensinya mungkin terlalu kecil di tengah gelombang ”budaya korupsi” dan ”erosi kejujuran” yang melanda dan mendera bangsa ini.  Tapi  bila semua proses pendidikan dan pengajaran sekolah-sekolah di seluruh Indonesia membudayakan gerakan yang sama, maka lamban atau cepat  manfaat besar dari proses pendidikan ini akan sama-sama dirasakan.   Secara teknis, pada ”kantin kejururan” di sekolah, tiap pembeli atau siswa boleh mengambil barang apa pun di kantin tersebut, membayarnya, dan mengambil sendiri uang pengembaliannya.  Tidak ada penjual atau penjaga yang mengawasi, sehingga kalau seseorang mau bersikap tidak jujur dengan mengambil tanpa membayar atau membayar semaunya saja, tidak akan ada orang yang tahu. Yang dibutuhkan adalah mendengarkan suara atau kata hati nurani, dengan merasa tanpa diawasi oleh siapapun, maka hati dan tindakannya tetap harus mewujudkan sikap jujur.   Dengan demikian ukuran sukses atau tidaknya tujuan kantin tersebut akan terlihat dari neraca keuangannya, apakah secara bisnis bisa berjalan terus atau bangkrut. [12]  Hal ini sebagai salah satu upaya untuk menanamkan dan membentuk perilaku anti korupsi sejak dini.  Maka melalui kebiasaan dan pemberian contoh, para siswa akan belajar untuk bersikap jujur, kerja keras, disiplin, berani, tanggung jawab, mandiri, sederhana, adil, dan peduli, sehingga diharapkan  akan terbentuk karakter anti korupsi.
Proses percepatan pemberantasan korupsi bukan seperti membalik telapak tangan. Artinya, lebih dari itu harus ada kerja-kerja keras yang spartan dan simultan antara aparat penegak hukum dan masyarakat.  Harus dibangun kesadaran yang mengartikulasikan kejujuran dan budaya malu melakukan korupsi.   Maka munculnya wacana dan kesadaran moral untuk memberantas korupsi yang sudah menggurita ke segala lini kehidupan masyarakat Indonesia, selain melalui mekanisme hukum, juga membangun filosofi baru berupa penyamaan nalar dan nilia-nilai baru yang bebas korupsi melalui pendidikan formal, nonformal, dan informal.  Hal itu dilakukan karena pendidikan memiliki posisi sangat vital dalam upaya membangun sikap anti korupsi.  Karena, hakekat pendidikan adalah suatu proses menumbuhkembangkan eksistensi peserta-didik yang memasyarakat, membudaya, dalam tata kehidupan bermasyarakat.[13]
Kata  Antasari Azhar,  bahwa kebiasaan korupsi sepertinya telah mendarah daging di Indonesia.   Agar tak ikut arus, pendidikan anti korupsi harus diberikan sejak dini.  Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi pun berniat akan mengundang anak-anak yang duduk di sekolah dasar untuk belajar anti korupsi di kantornya. Menurutnya  pendidikan anti korupsi sejak dini ini penting.   Kita akan undang ke KPK untuk diberi pendidikan itu,  katanya.   Hal itu dikatakannya  di hadapan siswa-siswi Sekolah Darurat Kartini di kawasan Jakarta Utara, Kamis (6/11/2008).  Rencana ini, katanya akan menjadi salah satu program KPK ke depan. Anak-anak yang diundang, tidak hanya mereka yang menempuh pendidikan formal saja, tapi juga pendidikan informal.   Korupsi dapat berdampak ke banyak bidang termasuk pendidikan.  Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun miris ketika masuk dan melihat Sekolah Darurat Kartini dan menyatakan apa ini akibat korupsi? [14]
Pendidikan anti korupsi harus diberikan melalui pembelajaran sikap mental dan nilai-nilai moral bebas korupsi di sekolah, sehingga generasi baru Indonesia diharapkan dapat memiliki pandangan dan sikap yang keras terhadap segala bentuk praktik korupsi.  Ketua MPR Hidayat Nurwahid, menyatakan bahwa pendidikan perlu dielaborasi dan diinternalisasikan dengan nilai-nilai anti korupsi sejak dini.  Pendidikan anti korupsi yang diberikan di sekolah diharapkan dapat menyelamatkan generasi muda agar tidak menjadi penerus tindakan-tindakan korup generasi sebelumnya.  Tapi hanya saja memberikan pendidikan anti korupsi bukan hal mudah.  Sebab,  bahkan lahirnya fenomena praktik korupsi juga berawal dari dunia pendidikan  yang cenderung tidak pernah memberikan sebuah mainstream atau paradigma  berperilaku jujur dalam berkata dan berbuat. Termasuk sekolah-sekolah di  negeri ini.  Misalnya guru menerangkan hal-hal idealis dalam memberikan pelajaran, menabung pangkal kaya, tetapi realitanya banyak guru yang korupsi, seperti korupsi waktu, korupsi materi pelajaran yang diberikan,.  korupsi berupa absen mengajar tanpa izin kelas. Hal-hal yang dilakukan itu, juga dapat memicu praktik korupsi yang lebih buruk di dunia pendidikan.[15]
Demikianlah tradisi korupsi yang kronis di negeri ini. Marilah kita berbuat, meskipun masih dalam batas yang kecil-kecilan, tapi yang penting memang itulah yang baru mampu kita lakukan.  Maka langkah untuk menangani korupsi melalui sistem pendidikan yang akan berdampak besar dalam kehidupan manusia Indonesia.  Dengan pendidikan anti korupsi, diharapkan dapat menghasilkan manusia-manusia yang memiliki kecintaan terhadap bangsa dan negara, memiliki prilaku yang baik, bermoral, berakhlakul karimah dan memiliki keimanan yang kuat.  Sejak dini para murid mulai diperkenalkan dan mempelajari betapa menarik dan buruknya dunia perkorupsian di Indonesia dalam mata pelajaran Anti-Korupsi. Maka,  dalam mata pelajaran Anti-Korupsi, para murid dapat membahas tentang bahaya korupsi, isu-isu terkini seputar korupsi, siapa saja pejabat yang terlibat dalam kasus korupsi, dan siapa saja yang sudah diputuskan bersalah.  Maka dari pendidikan Anti-Korupsi, target yang diharapkan adalah bagaimana menanamkan sebuah pola pikir dan sikap kepada masyarakat Indonesia terutama para pelajar sebagai calon-calon pemimpin untuk ”mengharamkan”  dan bahkan pada sikap ”membenci” suatu perbuatan atau perilaku yang dinamakan dengan tindakan korupsi.[16]
Selain itu, dalam proses pembelajaran sikap pengajar harus terbuka, jujur, tidak melakukan tindakan-tindakan pengurangan waktu, tidak korupsi materi pelajaran yang diberikan, tidak korupsi absen mengajar tanpa izin kelas, dan sebagainya  Bangunlah sistem pendidikan sebagai proses penyadaran potensi kejujuran, pendidikan hendaknya sebagai media penyadaran dari negara dan masyarakat yang memiliki kemampuan lebih.  Sehingga munculkan peserta didik dari proses penyadaran itu. Tapi janganlah jadikan proses pendidikan sebagai media investasi dari peserta didik, apa lagi para penyelenggara pendidikan mendapatkan keuntungan finansial dari investasi peserta didik.  Maka apabila sumber daya manusia yang lahir dari proses pendidikan seperti itu, setelah mendapatkan peluang kerja ia pun akan bekerja untuk mencari keuntungan demi mengembalikan investasi yang telah ia keluarkan selama dalam proses pendidikan.  Bahkan investasi yang ia telah keluarkan itu harus mendapatkan keuntungan yang lebih.  Jika sumber daya manusia itu tidak memiliki fondasi iman, akhlak, dan mental yang kuat, maka korupsi pun akan dilakukan,  karena mengais atau mencari rezeki secara benar, halal, dan wajar untuk mengembalikan investasi yang telah ia keluarkan dalam proses pendidikan  tidak didapatkannya.[17]
Lahirlah manusia yang tidak amanah (trust), tidak dapat dipercaya dari prodak pendidikan yang mengkodisikannya seperti itu. Jika prodak pendidikan, rakyat dan atau masyarakat yang tidak amanah, sulit dipercaya, tidak jujur, negara akan hancur.  Analog di atas diberikan untuk menggambarkan ”kantin” sebagai sebuah negara.  Jika pembelinya tidak membayar sesuai kewajibannya, maka modal yang dimiliki tentu akan tergerogoti. Maka kekayaan dalam bangunan sebuah negara akan habis jika ketidakjujuran yang merupakan basis sikap korup terjadi merajalela.  Bermacam jalan telah ditempuh untuk membangun kejujuran yang bertaut dengan menebar budaya malu.  Di antara beragam kreasi elemen rakyat yang peduli, maka ”kantin kejujuran”  merupakan ungkapan perlawanan terhadap korupsi secara edukatif.  Maka sebenarnya para pelaku korupsi, atau mereka yang berada dalam lingkaran kekuasaan mestinya tersentuh ketika anak-anak muda sekarang ini telah mengembangkan penalarannya sendiri untuk membangun budaya jujur, budaya malu, dan budaya anti korupsi.  Mereka tengah mengasah bahasa hati, bahasa nurani, dan bahasa kejujuran. Maka disadari atau tidak,  itulah sumbangsih para remaja untuk menyelamatkan Indonesia,[18] dari kebungkrutan karena ulah para koruptor.
Harapan mulai dibebankan kedunia pendidikan untuk membangun sikap anti korupsi, membangun sikap amanah (trust). Tuntutannya, sistem pendidikan harus dibenahi agar dapat menjawab permintaan tersebut. Pertanyaannya apakah pendidikan di Indonesia siap untuk itu?  Sebab realitas dalam dunia pendidikan di Indonesia, masih banyak terjadi tindak penyimpangan dalam proses yang dapat dikatakan sebagai indikator rendahnya sikap amanah (trust) atau tindak korupsi.   Katakan saja dalam dunia pendidikan, muncul dan terjadi tindak pemalsuan ijazah, penjualan ijazah,  pembocoran soal, penjualan soal, terjadi penjualan nilai, terjadi manipulasi nilai, tradisi nyontek di kalangan siswa/mahasiswa,  plagiasi makalah atau tugas-tugas mahasiswa, skripsi,[19] tesis, disertasi, dan lain-lain, juga merupakan beberapa indikator lainnya dari rendahnya sikap amanah (trust).   Kasus di Yogyakarta beberapa bulan yang lalu, kita mendengar beribu ”ijazah aspal” (asli tapi palsu) yang dikeluarka beberapa institusi pendidikan.   Fenomena semacam ini sangat memilukan dan menyedihkan dunia pendidikan dan merupakan tantangan yang perlu segera dijawab oleh lembaga pendidikan itu sendiri,  sehingga dapat membangun masyarakat yang memiliki sikap amanah (trust)  yang tinggi.[20]
Pendidikan di masyarakat, mengembangkan pendidikan keterampilan (skills), perilaku (behavior), pembentukan kebiasaan (habit formation), pemberian contoh atau pemodelan (social learning) dalam kehidupan di masyarakat.  Cara-cara inilah  yang harus dibiasakan dan di internalisasikan dalam kehidupan di lingkungan masyarakat, dilembaga-lembaga sosial masyarakat, lembaga-lembaga sosial keagama, di rumah-rumah ibadah, sehingga terbangun social-capital yang kokoh. Inti dari social-capital adalah trust (sikap amanah), atau masyarakat yang saling percaya dan dapat dipercaya,[21] karena  memiliki sikap jujur dan bertanggung jawab.  Menurut pengamatan sementara ahli, bahwa dalam bidang social capital bangsa Indonesia ini hampir mencapai titik zero trust society, atau masyarakat yang sulit dipercaya, artinya sikap amanah (trust) sangat lemah.  Sebagai salah satu indikatornya, hasil survey the Political and Economic Risk Consultancy (PERC) tahun 2004, indeks korupsi di Indonesia sudah mencapai 9,25 atau ranking pertama se Asia, bahkan pada tahun 2005 indeksnya meningkat sampai 9,4. Memang setelah diteliti, ternyata benar bahwa telah terjadi tindak korupsi bermiliar-miliar atau bahkan trilyunan rupiah di berbagai instansi dan institusi[22]
Pendidikan anti-korupsi bagi masyarakat, untuk membrantas korupsi membutuhkan waktu beberapa generasi. Itu pun kalau ada program yang dilakukan secara konsisten.  Katakan saja, untuk menghentikan kebiasaan merokok saja  tidak gampang, apalagi korupsi.  Korupsi sudah sedemikian ”menggurita” dalam birokrasi negara dan telah membudaya dalam kehidupan masyarakat. Paling dirugikan adalah rakyat banyak dan  di antara lapisan masyarakat yang paling dirugikan adalah mereka yang jauh dari akses kekuasaan.  Oleh sebab itu rakyat atau masyarakat berhak dan berkewajiban melakukan kontrol untuk menghentikan atau minimal menekan segala bentuk tindakan korup. Kontrol masyarakat (kontrol publik) merupakan senjata ampuh untuk terjun ke medan pertempuran melawan wabah korupsi. Tetapi untuk memenangkan pertempuran melawan korupsi, kontrol publik saja tidaklah memadai. Perlu senjata lain, yaitu partisipasi publik. Fuad Hassan, menyebut kontrol publik dan partisipasi publik sebagai dwitunggal. Dengan kontrol dan partisipasi publik, tindak korupsi bisa ditekan.[23]
Maka untuk mewujudkan pendidikan anti-korupsi bagi masyarakat, diperlukan partisipasi publik sendiri yang merupakan syarat mutlak agar kontrol publik bisa dilakukan secara efektif.  Partisipasi publik akan terwujud bila publik memperoleh cukup informasi.  Lantas apa yang terjadi bila informasinya sengaja ditutupi?  Ini berarti tidak ada keterbukaan.  Bila tidak ada keterbukaan, tidak akan ada partisipasi publik, apalagi kontrol publik. Dan jika tidak ada kontrol publik, kekuasaan akan menjadi semakin kuat tak terkontrol. Dan ini artinya parktek-praktek korupsi makin menjadi-jadi. Sebagaimana dikatakan Lord Acton; “Power tends to corrupt, absolut power corrupt absolutly”. Karena itu memberikan informasi dan pendidikan bagi publik agar melek informasi, khususnya terkait dengan korupsi bukan hanya perlu tetapi sesuatu yang mendesak dilakukan.  Apalagi dalam kehidupan politik kontemporer, korupsi tidak jarang dijadikan isu dan komoditas politik, sehingga korupsi dikonstruksi menjadi masalah politik, bukan lagi masalah hukum apalagi moral kejujuran.
Dalam keadaan seperti ini, kesadaran politik tentang bahaya korupsi harus dibangkitkan dan dididik agar mempunyai ghirah memberantas korupsi.  Upaya mendidik dan menyadarkan masyarakat ini penting, sebab masyarakat yang sadar jelas lebih baik daripada masyarakat yang apatis, yang tidak menyadari atau tidak tahu hak-haknya dan bersikap masa bodoh atau ”tepoliro” terhadap segala bentuk penyelewengan dan penyalahgunaan yang dilakukan pejabat publik atau siapa saja yang melakukan korupsi.   Sebab sikap masa bodoh dan ”teposliro” ini adalah lahan subur bagi tumbuhnya wabah korupsi dan dianggap sebagai perbuatan biasa saja. Oleh karena itu,  upaya mendidik, memberdayakan, dan membangkitkan kesadaran mengenai betapa krusialnya persoalan korupsi jelas merupakan sesuatu yang mendesak dilakukan. Karena warga masyarakat yang sadar dan memiliki pemahaman yang cukup tentang korupsi adalah landasan yang sangat pengting bagi usaha menekan derasnya arus korupsi.  Dengan demikian kuncinya adalah perlunya pendidikan anti-korupsi bagi siswa, mahasiswa, dan masyarakat umumnya, agar ”melek”  terhadap korupsi.[24]  Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa  pendidikan atau pembelajaran anti-korupsi yang dilaksanakan secara terencana dan sistematis, mulai dari pendidikan informal keluarga dirumah, pendidikan formal di sekolah, dan pendidikan nonformal di masyarakat, dapat mencegah, mengurangi, dan bahkan memberantas korupsi di Indonesia sampai ke akar-akarnya.


DAFTAR  KEPUSTAKAAN

Azhar, Antasari, Beri Pendidikan Anti Korupsi, Antasari Undang Anak-anak ke KPK, Kamis, 06/11/2008 12:40 WIB http://www.detiknews.com/read/ 2008/11/06/124015/1032322/10/beri-pendidikan-anti-korupsi-antasari-undang-anak-anak-ke-kpk, access, sabtu,30/1/2009,jam.23.00 wib.
Azra, Azyumardi, 2002, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Rekonstruksi dan Demokratisasi, Penerbit Kompas, Jakarta.
Bayu. An, Pendidikan Anti Korupsi ? Wajib itu….,  http://bayuadhitya.wordpress. com/2008/05/28/pendidikan-anti-korupsi-wajib-itu/,access,kamis,29/1/ 2009, jam. 23.30 wib.
Dewantara, Ki Hajar, 1977, Pendidikan, Majelis Luhur Persatuan Tamaan Siswa, Yogyakarta.
Elisabeth, Stevani, Pendidikan Antikorupsi Dimulai dari Rumah Tangga, http://www.sinarharapan.co. id/ berita/ 0812/ 12/kesra01.html,access, 30/1/2009, jam. 23.00 wib.
Lickona, Thomas, 1991, Educating for Character How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility, New York: Bantam Books.
Muhaimin, 2006, Nuansa Baru Pendidikan Islam, Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan, RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Mimbar Agama Hindu, Pendidikan Mengatasi Korupsi http://www. balipost. co.id/ balipostcetak/2005/4/26/o3.htm., access, kamis, 29/1/2009, jam. 23.00
Mursyid, Ali, Pendidikan Anti-Korupsi Berbasis Masyarakat, http:// kangalimursyid.blogspot.com/2007/05/pendidikan-anti-korupsi-berbasis. html, access, kamis, 29/1/2009, jam. 23.30
Nugroho, Tjahjadi, 2007, Kata Sambutan, dalam buku: Syamsul Ma’arif, Revitalisasi Pendidikan Islam, Graha Ilmu, Yogyakarta.
Tilaar, HAR., 1998. Beeberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21,  Tera Indonesia, Magelang. 
____,1999, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, Startegi Reformasi Pendidikan Nasional, Remaja Rosdakarya, Bandung.
Pendidikan Anti Korupsi di UIN/IAIN/STAIN: Membangun Budaya Anti Korupsi, http://www.csrc.or.id/ berita/index. php?detail=051212063548, access, kamis, 29/1/2009, jam 23.00.
Rosi Sugiarto, Pendidikan Anti Korupsi Sejak Dini, http://news.okezone.com/ read/2008/12/10/ 220/172280/220/ pendidikan-anti-korupsi-sejak-dini, access, jum’at, 30/1/2009, jam. 23.00.
Rusli, Korupsi Di Indonesia, http://www.bangrusli.net/index.php?option= com_content&task=view&id=317&Itemid=38, access, kamis, 29/1/2009, jam. 23.15.
Sanaky, Hujair AH., 2003, Paradigma Pendidikan Islam: Membangun Masyaraakat Madani Indonesia, Safiria Insania Press dan MSI, Yogyakarta.
____, 2008, Academics Undergound (Studi Terhadap Layanan Biro-biro Bimbingan Skripsi di Daerah Istimewa Yogyakarta),  Hasil penelitian ini telah dimuat di Jurnal  Millah, Jurnal Studi Agama, ISSN 1412-0992, Terakreditasi SK Dirjen Dikti Diknas RI No. 167/DIKTI/Kep./2007, Vol.VII,No.2 Februari 2008. Magister Studi Islam (MSI), Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
Syarif S, Sabiqul Khair, Pendidikan Antikorupsi di Sekolah, http://www. freelists. org/post/list_indonesia/ppiindia-Pendidikan-Antikorupsi-di-Sekolah,8, acces, sabtu, 30/1/2009, jam. 20.40 wib.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional,  Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Jakarta.
Wiryana, Made, Penyelesaian Problem Sosial Melalui Optimalisasi Fungsi Tri Pusat Pendidikan (sebuah paper yang idenya tercetus ketika banyak melihat problem sosial di kampung-kampung miskin di perkotaan) http://wiryana-holistic.blogspot.com/2008/05/problem-sosial-dan-tri-pusat-pendidikan.html, achttp://wiryana-holistic.blogspot. com/ 2008/05/problem-sosial-dan-tri-pusat-pendidikan.html, access, sabtu, 31/1/2009, jam. 16.45.




Formal Anti-Korupsi
Masih ada yang menggelitik ketika Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi (Dikmenti) DKI Jakarta mendirikan sekolah anti-korupsi. Karena ada pertanyaan, sudah terkikiskah aspek moralitas dalam dunia pendidikan selama ini, sehingga untuk menciptakan generasi bermoral, yang antara lain anti-korupsi, diperlukan sekolah anti-korupsi?
Seperti dikabarkan, beberapa bulan lalu Dikmenti DKI Jakarta mendirikan Sekolah Anti-Korupsi Pangeran Diponegoro yang berlokasi di SMA Negeri 3 Setiabudi, Jakarta Selatan. Tak tanggung-tanggung, sekolah itu diresmikan Jaksa Agung Hendarman Supandji. Sebelumnya, telah diterbitkan pula serial modul Pendidikan Anti-Korupsi (PAK).
Buku pembelajaran yang didanai Danish Intl. Dev Agency itu, diserahkan sendiri oleh Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Antasari Azhar kepada Mendiknas Bambang Sudibyo di kantor KPK.
Disadari, untuk mencegah terjadinya korupsi, perlu dilakukan pendidikan antikorupsi sejak dini. Untuk itu bekerjasama dengan Depdiknas, KPK membuat modul pembelajaran anti-korupsi. “Dengan menjalankan modul pendidikan ini, kita harapkan anak-anak kelak tidak melakukan korupsi,” ujar Antasari.
Modul tersebut berupa buku-buku yang berisi materi tentang anti-korupsi. Di dalamnya terdapat pelajaran agama, nilai sosial, dan budaya yang berhubungan dengan pencegahan korupsi. Dan buku ini akan dimasukkan sebagai tambahan dalam pelajaran di sekolah.
Menurut Mendiknas Bambang Soedibyo, penyebaran buku akan diprioritaskan pada sekolah-sekolah bertaraf internasional. Alasannya, ia ingin menghasilkan cerita sukses dari program anti-korupsi ini.
Sepintas, pendirian sekolah anti-korupsi dan penerbitan modul PAK itu mungkin dipandang sebagai terobosan baru dalam upaya pemberantasan korupsi. Apalagi korupsi di negeri ini, seperti kerap disindir para pakar hukum, telah menjadi semacam tradisi yang diwariskan.
Sehingga untuk memberantasnya tak cukup hanya dengan mengadili dan memenjarakan para koruptor, tapi juga sejak dini anak-anak perlu diimunisasi dengan serum anti-korupsi, supaya mereka menjadi kebal terhadap serangan penyakit korupsi. Caranya, seperti dilakukan Dikmenti DKI Jakarta, dengan mendirikan sekolah antikorupsi.
Tapi di balik itu, dengan adanya sekolah anti-korupsi, timbul keraguan, apa hasil dunia pendidikan kita selama ini? ”Pendidikan tak sebatas menyangkut sejauh mana murid-murid dapat menimba ilmu pengetahuan, tapi juga sejauh mana mereka dapat mengadopsi perilaku berbudi pekerti luhur,” ungkap Asep R. Rasyid, pengamat masalah sosial dan pendidikan.
Sekretaris Yayasan al-Kalam, Cianjur, Jawa Barat itu mempertanyakan, bukankah selama ini murid-murid sekolah sudah memperlajari pendidikan moral atau akhlak? Lalu apa kegunaannya?
Memang belakangan ini marak, pendidikan atau pelajaran anti-korupsi dipopulerkan di sejumlah sekolah umum, seiring dipopulerkanya pembukaan kantin kejujuran. Intinya, pendidikan antikorupsi bertujuan untuk mencetak generasi muda mengerti apa itu korupsi dan bagaimana harus mencegahnya.
Bukan Hal Baru
Namun Asmadji AS Muchtar, Direktur The Religions to Peace Institute menegaskan, banyak pihak lupa bahwa pendidikan atau pelajaran anti-korupsi yang dipopulerkan di sejumlah sekolah umum itu bukanlah hal baru. Sejak berabad-abad lalu, pendidikan atau pelajaran antikorupsi telah ada di madrasah-madrasah, termasuk pondok-pondok pesantren.
Misalnya, kata Asmadji, semua madrasah dan pondok pesantren sejak jenjang Ibtidaiyah (tingkat dasar) hingga Aliyah (menengah atas), selalu memberi mata pelajaran Fikih dan Adab. Dalam Fikih, semua hukum yang berdasarkan syariat Islam diajarkan kepada siswa secara bertahap dan sistematis. Berbagai hukum agama, khususnya mana yang haram dan mana yang halal dijelaskan. Semua perbuatan haram dibeberkan, termasuk mencuri dengan berbagai modus. Dan, korupsi tergolong perbuatan mencuri yang diharamkan.
Demikian detailnya, kata Asmadji, sehingga pelajaran Fikih sangat penting bagi semua murid untuk menjadi bekal dan pedoman hidupnya. Dan, biasanya agar murid bisa mengerti dan mengingat pelajaran Fikih, bab demi bab harus dihapalkan. Bahkan, sejumlah kitab fikih sengaja disusun dengan tipografi syair, sehingga bisa dilantunkan menjadi tembang, agar mudah dihapal oleh anak-anak.
Sedangkan pelajaran Adab, diajarkan juga secara tertib. Asmadji mengibaratkan, mulai tata krama kepada orangtua, tetangga, dan pemimpin, hingga seluruh makhluk. Intinya, pelajaran Adab berisi berbagai tata krama yang harus dilakukan terhadap semua pihak (subjek dan objek) yang ada di muka bumi ini, juga terhadap Tuhan lewat ibadah.
Dalam kondisi bangsa dan negara yang semakin dicemari kasus-kasus berbagai modus korupsi, pelajaran Fikih dan Adab layak dipopulerkan. Dalam hal ini, pihak-pihak yang selalu mengklaim dirinya sebagai pelopor pendidikan anti-korupsi di sejumlah sekolah umum, di mata alumni madrasah tentunya mereka bagai pahlawan kesiangan.
”Pasalnya, pendidikan anti-korupsi di sekolah-sekolah umum belakangan ini bukan hal baru lagi. Bahkan bisa dikatakan termasuk sudah kuno, karena sudah diajarkan sejak beradab-abad lalu di madrasah-madrasah dan pondok-pondok pesantren,” tegas Asmadji.
Meski demikian, pendidikan anti-korupsi tetap relevan, sebagaimana Fikih dan Adab. Dan, relevansinya akan semakin signifikan, jika calon anggota legislatif (Caleg), semua calon pegawai negeri sipil (PNS), dan para pejabat juga mau mempelajarinya.
Oleh karena itu, imbuh Asmadji, ada baiknya pemerintah pusat maupun daerah, segera mewajibkan semua pihak yang ikut mengelola bangsa dan negara dalam semua level, baik yang memegang jabatan maupun tidak, untuk belajar Fikih dan Adab. Tujuannya, untuk mencegah mereka melakukan korupsi dalam berbagai bentuk.
Asmadji menegaskan, khusus untuk konteks masa kini, pelajaran fikih dan adab sangat relevan, karena belakangan muncul kasus-kasus buruk, seperti korupsi, judi, miras, narkoba, dan kriminal lain, yang melibatkan oknum-oknum pejabat dan anggota wakil rakyat. ”Berbagai kasus buruk bisa saja terjadi, karena pelakunya belum memahami tata krama sebagai pribadi dan public figure dalam berbangsa dan bernegara,” katanya.
http://susub.blogspot.com/feeds/posts/default?orderby=updated - Kembali ke Reportase -

Implementsinya ?
 

Secara konsepsional, pendidikan etika lingkungan adalah bagian integral dari pendidikan budi pekerti luhur, sebagai pendidikan etika yang lainnya.  Hanya, akhir-akhir ini terdapat problematika implementasi pendidikan budi pekerti luhur. Apakah berupa pengajaran budi pekerti atau dengan cara yang lain ? Terlebih sejak dicanangkan gerakan pendidikan berkarakter sejak Mei 2010 lalu. Banyak pihak menjadi sedikit kebingungan mempraktikan pendidikan budi pekerti luhur.
 

Sebenarnya Ki Hadjar Dewantara tidak pernah menyelenggarakan pendidikan budi pekerti luhur dalam bentuk pengajaran. Hal ini atas pertimbangan agar tidak terjadi kesalahan persepsi. Jika pendidikan budi pekerti diajarkan sebagai pengajaran, maka harus ada guru matapelajaran, kurikulum, sistem penilaian, dsb. Hal ini bisa berakibat pendidikan budi pekerti mekanistik-intelektualistik. Pembentukan budi pekerti luhur seolah-olah dapat diciptakan dalam sekejap. Tanggungjawab mendidik budi pekerti hanya tertumpu pada seorang guru.
 

Sebelum pemerintah melakukan penyeragaman kurikulum secara nasional, Tamansiswa menyelenggarakan pendidikan budi pekerti dengan strategi dan caranya sendiri. Implementasinya bertumpu pada keteladanan. Semua pamong Tamansiswa adalah figur teladan. Semua pamong bertanggungjawab atas implementasi pendidikan budi pekerti.
 

Sejak tahun 1969, saat pemerintah menetapkan kurikulum secara nasional, menyebabkan pendidikan budi pekerti dengan strategi keteladanan lambat laun hilang dan akhirnya terjebak dalam pengajaran budi pekerti yang mekanistik.  Dalam perkembangan yang terakhir, melalui konsep pendidikan  karakter, pendidikan budi pekerti diformulasikan dalam pengajaran secara kurikuler. Setiap matapelajaran dimuati konsep-konsep pendidikan budi pekerti dalam tataran pengetahuan.
 

Jika pendidikan budi pekerti sudah menjadi pengajaran, kiranya perlu diperhatikan pesan Ki Hadjar Dewantara. Secara prinsip pengajaran budi pekerti hanyalah bagian dari pendidikan budi pekerti. Oleh sebab itu pengajaran budi pekerti tidak boleh dianggap lebih penting daripada pendidikan budi pekerti. 
 

Selain itu, pengajaran budi pekerti hendaknya  disesuaikan dan dihubungkan dengan tingkatan-tingkatan perkembangan yang ada di dalam jiwa peserta didik. Tingkatan-tingkatan tersebut analog dengan metode tradisi pembelajaran agama Islam, yang sejak lama telah dikenal, ialah syariat, hakikat, tarikat, dan makrifat.
 

Pengajaran syariat dipakai untuk pengajaran anak-anak kecil dan harus diartikan sebagai pembiasaan untuk bersikap dan bertingkah laku menurut kelaziman dan peraturan yang berlaku. Guru berperan memberikan contoh, anjuran, perintah dimana perlu. Jika anak berbuat kesalahan, Guru harus menegur untuk memperbaiki.
 

Tingkatan hakikat dimaknai sebagai kenyataan atau kebenaran, yang mengandung maksud untuk memberikan pengertian dan kesadaran akan kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan. Pengajaran hakikat diperuntukkan bagi anak-anak usia “akil baliq”. Karena pada usia ini anak-anak telah berkembang akal pikirannya, maka memberi keinsyafan kesadaran atas kebaikan harus didasarkan pada pengetahuan, kenyataan, dan kebenaran. Alasan-alasan logis dan latar belakang yang masuk akal adalah landasan penjelasnya. Hal ini untuk mengantisipasi jangan sampai anak-anak terus terikat pada pembiasaan yang tidak mengetahui akan maksud dan tujuan pembiasaan itu.  “Syariat tanpa hakikat adalah kosong, dan hakikat tanpa syariat adalah batal”. Artinya untuk melakukan sesuatu harus tahu maksud hal itu dilakukan, di lain pihak untuk menghasilkan sesuatu yang lebih baik harus didasari oleh pengetahuan cukup.
 

Tingkatan tarikat merupakan “laku”, ialah perbuatan yang sengaja dilakukan dengan maksud supaya melatih diri untuk melakukan kebaikan, bagaimanapun berat dan sukarnya perbuatan itu. Inilah latihan bagi anak-anak yang mulai dewasa. Ada kalanya perbuatan kebaikan itu harus dengan memaksa, menekan, memerintah untuk menguasai diri pribadi. Dalam pendidikan, latihan-latihan inilah yang pada gilirannya akan menghasilkan sikap dan perilaku swa-disiplin.
 

Jika anak-anak sudah dewasa benar, maka tingkatan makrifat harus diterapkan.  Makrifat berarti faham benar-benar. Disinilah waktunya, agar anak-anak yang sudah benar-benar dewasa tidak terombang-ambing oleh keadaan yang belum pernah dialaminya sebelumnya. Keragu-raguan melangkah oleh karena kekosongan jiwa sering menimpa seseorang yang tidak mampu mencapai makrifat. Jika makrifat sempurna, maka anak-anak akan mengerti hubungan antara tertibnya lahir dan damainya batin. Faham terhadap resiko atas pilihan-pilihan yang diambilnya, adalah kesediaan dalam mengambil tanggungjawab.
 

Substansi pendidikan budi pekerti pada saatnya harus dikembalikan pada dasar-dasar filosofis idealismenya. Jika saat ini pendidikan budi pekerti dioperasionalisasikan sebatas pengajaran budi pekerti hendaklah difahami semata-mata sebagai langkah darurat untuk membendung kemerosotan moral yang sedang terjadi. Sampai kapanpun guru harus “ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, dan tutwuri handayani”. Inilah makna hakiki pendidikan budi pekerti yang dibangun dasar-dasarnya oleh Ki Hadjar Dewantara.
 

Oleh karenanya penanaman etika lingkungan sebagai bagian dari pendidikan budi pekerti luhur memerlukan sinergitas antara keluarga, sekolah, dan masyarakat dalam hal tersedianya figur teladan sebagai panutan. Hal ini agar pemahaman etika lingkungan tidak terjebak dalam “Syariat tanpa hakikat adalah kosong, dan hakikat tanpa syariat adalah batal”.
 


 
 


 
 

Ki Sugeng Subagya,
 

Pamong Ibu Pawiyatan Tamansiswa dan Konsultan Pendidikan.-
 


Artikel dimuat Majalah SISWA edisi September 2010.
 


 

    
Pendidikan Multikultural
Sunday, November 28, 2010 2:41 AM
 

Nasionalisme dan Pendidikan Multikultur 
 

Oleh : Ki Sugeng Subagya
 

Wakil Ketua Majelis Ibu Pawiyatan Tamansiswa di Yogyakarta
 


 

Dari cara terbentuknya, Indonesia adalah state-nation bukan  nation-state. Ialah, negara ada terlebih dahulu baru kemudian bangsa.  Dalam  state-nation Indonesia, persatuan muncul dilatar-belakangi perlawanan terhadap colonial-state. Kehendak untuk bersatu kemudian diformulasi sebagai kehendak berbangsa.
 

Rasa kebangsaan Indonesia dibangun oleh  kontrak sosial dilandasi hukum.  Tidak dibangun atas dasar kesamaan agama, etnis, suku, bahasa, budaya, persamaan sejarah, kelas sosial atau bahkan kesatuan wilayah.  Jika kemudian hukum menjadi panglima dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, hal itu adalah keharusan. Secara ideologis, rasa kebangsaan dipertautkan oleh kesamaan kehendak dan cita-cita dalam kesetaraan derajat dibawah kepemimpinan gagasan.
 

Kuatnya rasa kebangsaan yang dibentuk atas  kepentingan bersama menghadapi kolonial, sukses mengantar bangsa Indonesia memasuki gerbang Proklamasi 17 Agustus 1945. Namun setelahnya kepentingan bersama itu berlalu pula. Gagasan baru pemicu rasa kebangsaan yang dimunculkan kemudian, misalnya memerangi kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan, tidak menunjukkan keterandalan sebagai  moral baru yang mempersatukan masyarakat. Bukan gagasannya yang salah, tetapi pengingkaran dalam praktik oleh berbagai pihak-lah yang telah mencederai tema baru rasa kebangsaan itu sehingga tidak efektif. Secara kasatmata, kesenjangan sosial yang semakin lebar,  kemiskinan yang tak kunjung teratasi, ketertinggalan dari bangsa lain yang semakin jauh, korupsi yang menggurita, dan pelayanan umum yang terabaikan, adalah bukti-bukti yang tak terbantahkan.
 

Dalam perkembangan terakhir, kelangsungan Indonesia dipertaruhkan pada kemampuan negara menjalankan kontrak sosial. Konsistensi dan komitmen negara atas tegaknya rule of the law dipertaruhkan untuk rasa kebangsaan. Jika dimensi-dimensi penegakkan hukum tidak berjalan, bukan tidak mungkin rasa kebangsaan melemah sampai titik yang paling kritis. Gejala radikalisme, fundamentalisme, dan ekslusifisme adalah indikasi awal mulai melemahnya rasa kebangsaan. Belajar dari beberapa peristiwa kererasan, sejak kasus kerusuhan Pekalongan(1995),   sampai dengan Tarakan (2010), menjadi bukti bahwa rasa kebangsaan  mulai terkikis.
 

Tidak kurang kasus-kasus yang mencuat atas dasar frustasi sosial, seperti misalnya bentrok massa di Jalan Ampera Jakarta dan bom bunuh diri di Kalimalang beberapa waktu lalu melengkapi bukti yang lainnya. Kemiskinan, lemahnya penegakkan hukum, dan krisis keteladanan para pemimpin yang terjadi di depan mata masyarakat memicu munculnya frustasi sosial tersebut.
 

Peran Pendidikan
 

Negara tidak boleh gagal dalam mengelola state-nation. Untuk itu dibutuhkan pendidikan multikultur yang tidak lagi cukup hanya diwacanakan, tetapi harus diimplementasikan. Pendidikan multikultural harus menjadi filosofi pendidikan nasional yang implementatif aplikatif.
 

Sebagai sebuah gagasan, pendidikan multikultural  adalah suatu filsafat yang menekankan legitimasi, vitalitas dan pentingnya keragaman kelas sosial, etnis, ras, gender, anak berkebutuhan khusus, agama, bahasa, dan usia dalam membentuk kehidupan individu, kelompok, dan bangsa. Mengutip Sizemore (1981), pendidikan multikultural harus mengenalkan pengetahuan tentang berbagai kelompok dan organisasi yang menentang penindasan dan eksploitasi dengan mempelajari hasil karya dan ide yang mendasari karyanya .
 

Secara implementatif operasional, pengembangan pendidikan multikultural adalah pemasukan bahan ajar yang berisi gagasan dari berbagai kelompok etnis dan budaya. Diperlukan adanya pendidikan yang leluasa untuk mengeksplorasi perspektif dan budaya orang lain. Dengan mengeksplorasi itu akan diperoleh inspirasi sehingga membuat peserta didik menjadi sensitif terhadap pluralitas cara hidup berbangsa dan bernegara. 
 

Sebagai proses, pendidikan multikultural bermaksud untuk mengubah struktur lembaga pendidikan yang memungkinkan suatu proses  terus menerus dengan investasi waktu  panjang dan terpantau. Praktiknya berhubungan dengan konsep humanistik yang di dasarkan pada kekuatan dari keragaman. Sekat-sekat diskrit keragaman, dominasi mayoritas terhadap minoritas, dan keangkuhan ethnocentrisme yang menghalangi merekatnya keragaman dalam bingkai toleransi, kesederajatan, dan kebersamaan harus dikikis.
 

Kini, pendidikan multikultural harus dipandang sebagai reformasi pendidikan nasional. Bukan sekadar penambah materi dan pemahaman sudut pandang budaya lain, melainkan didesain sebagai wujud dalam hubungan interpersonal yang menentang semua bentuk diskriminasi dengan menonjolkan prinsip demokrasi dan keadilan sosial.  Satuan pendidikan dan lingkungan belajar harus memberi pengalaman belajar budaya masyarakat multikultur.
 

Pertaruhan kegagalan pendidikan multikultural adalah lenyapnya bangsa Indonesia dari bumi ini oleh karena tercabik-cabik keragamannya sendiri. Oleh karena itu tugas pendidikan multikultural adalah  mewujudkan tatanan masyarakat Indonesia baru yang lebih toleran dan dapat menerima dan memberi di dalam perbedaan budaya (multikulturalism), demokratis dalam perikehidupannya (democratization), mampu menegakkan keadilan dan hukum (law enforcement), memiliki kebanggaan diri baik secara individual maupun kolektif (human dignity),  dan mendasarkan diri pada kehidupan beragama dalam pergaulannya (religionism).


Artikel dimuat Harian Jogja Yogyakarta, Rabu 24 November 2010
Pendidikan Karakter
Sunday, November 28, 2010 2:34 AM
 

Pendidik dalam Pendidikan Karakter
 

Ki Sugeng Subagya
 

Pendidikan karakter itu bukan pengajaran karakter. Pendidik dalam pendidikan karakter tidak sekadar transfer of knowledge, tetapi harus transfer of values. Pendidiklah model pendidikan karakter yang sesungguhnya.
 

Pentingnya pendidikan karakter telah disadari sejak lama. Orde Lama dan Orde Baru sudah memiliki pendidikan karakter, tetapi mandek. Zaman Orde Lama, nation character building hebat dikampanyekan. Namun, dalam perjalanannya dihancurkan oleh doktrin-doktrin yang melemahkan. Akibatnya pendidikan karakter tidak sempat mewujud.
 

Orde Baru juga memulai pendidikan karakter dengan bagus melalui  pembangunan manusia seutuhnya dan Pancasila. Tetapi dalam perjalanan Pancasila ditunggangi untuk memenangkan salah satu golongan. Akibatnya pendidikan karakter selalu kandas dalam formalitas dan implementasi semu.
 

Kegagalan pendidikan karakter membawa bangsa ini tumbuh dan berkembang  lebih karena mengejar kesejahteraan duniawi. Konsumerisme, hedonisme, dan individualisme tinggi. Secara perlahan tetapi pasti bangsa ini mulai kehilangan jati diri.  Korupsi merajalela, kekerasan di mana-mana, hedonisme dan materialisme diagung-agungkan, mafia hukum tumbuh subur.
 

Di negara-negara Barat, pendidikan karakter dianggap penting tatkala telah terjadi   ketimpangan sasaran pendidikan. Pendidikan naturalis dan instrumentalis dianggap tak mencukupi lagi bagi formulasi intelektual dan kultural seorang pribadi. Determinasi pendidikan cenderung pada aspek kognitif dan mengabaikan aspek afektif dan psikomotorik melengkapi ketimpangan sasaran pendidikan itu. Akhirnya, pengagungan intelektulisme telah mengesampingkan humanisme, inklusifisme, spiritualisme, dan religious.
 

Peristiwa ini terjadi lebih dari satu abad yang lalu. Kini, di Indonesia, tampaknya peristiwa serupa sedang terjadi. Setidaknya, indikasi ketimpangan sasaran pendidikan nampak dalam kelulusan dan kenaikan kelas yang diukur dari capaian angka-angka kognitif semata dan mengabaikan sikap, perilaku, budi pekerti apalagi kecakapan motorik peserta didik. Pengajaran yang seharusnya hanya menjadi bagian dari pendidikan malah mengambil peran lebih dominan.
 

Jika kemudian tamatan sekolah tidak mampu berkarya di masyarakat, merupakan konsekuensi logis dari berkuasanya pengajaran terhadap pendidikan. Seharusnya pendidikan  bertugas membimbing insan yang memiliki kepandaian dan kecakapan yang berguna bukan hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk kepentingan masyarakat.
 

Bukan bermaksud menafikkan  intelektualisme, tetapi ketika intelektualisme telah mendominasi pendidikan kita, dipastikan aspek kognitiflah pemenangnya, sedangkan aspek afektif dan psikomotorik tidak kebagian tempat. Pengetahuan itu penting, tetapi lebih dari itu karakter jauh lebih penting bagi bangsa  yang sedang mengalami degradasi jati diri.
 

Revitalisasi Pendidikan Karakter
 

Pendidikan karakter harus dimulai dari pendidik. Pendidik harus mampu menempa dirinya menjadi berkarakter. Anak bukan obyek  yang dapat diperdaya dengan diberi berbagai contoh baik, tetapi pendidik tidak melakukan hal itu. Pendidikan karakter memerlukan model, dan model utamanya ialah para pendidik sendiri.
 

Dengan kata lain, pendidikan karakter dalam keluarga hanya dapat diselenggarakan oleh orangtua yang berkarakter. Pendidikan karakter di sekolah hanya dapat diselenggarakan oleh guru yang berkarakter.  Pendidikan karakter di masyarakat hanya dapat diselenggarakan oleh tokoh-tokoh masyarakat yang berkarakter.
 

Orangtua, guru, dan tokoh-tokoh masyarakat harus benar-benar memiliki sikap yang jelas dalam menjalani kesehariannya karena itulah hakikat karakter. Sikap dan perilaku yang tegas dan jelas didasarkan pada kebenaran moral tentu menjadi acuan anak dalam bersikap dan berperilaku. 
 

Sekadar tips menjadi pendidik yang berkarakter ialah berhamba kepada Sang Anak. Terimalah anak apa adanya. Pendidik tidak meminta hak atas anak, tetapi mencintainya tanpa syarat dan mendorong anak untuk melakukan yang terbaik pada dirinya. Penampilan yang penuh cinta adalah dengan senyum, selalu tampak bahagia, menyenangkan dan memandang sesuatu sebagai positif. Pendidik yang baik selalu bersahabat dengan anak-anak tanpa ada rasa kikuk lebih-lebih angkuh. 
 

Tidak ada pekerjaan yang sulit kalau kita mau belajar. Kemauan individu untuk belajar itu akan mendukung kesuksesan dalam melakoni profesi, termasuk mendidik. Kerenanya selama hayat masih dikandung badan, orang yang mau menjadi pendidik berkarakter tidak boleh berhenti belajar.
 

Akhirnya, pendidikan karakter harus meaningfull learning  yaitu ketika tranformasi nilai-nilai kebaikan (good values) terjadi secara berkelanjutan (continue). Oleh karenanya tidak pada tempatnya menuding sekolah sebagai satu-satunya pihak yang bertanggungjawab dalam pendidikan karakter. Pendidikan karakter memerlukan sinergitas tripusat pendidikan, ialah keluarga, sekolah, dan masyarakat.
 
 


 


 
 


 
·         Ki Sugeng Subagya
 
Pamong Tamansiswa, Pemerhati Pendidikan dan Kebudayaan
Artikel dimuat Harian PIKIRAN RAKYAT Bandung, Jumat 26 November 2010.
Catatan Budaya
Sunday, November 28, 2010 2:25 AM
 

Sepi ing Pamrih Rame ing Gawe
 

Ki Sugeng Subagya
 

Ekacakra menjadi negeri aman dan tenteram atas pengorbanan Werkudara yang telah berhasil membunuh Bakasura.  Bakasura adalah raksasa yang selalu meminta persembahan segerobak makanan enak dan “manusia” untuk menjadi santapannya. Ketika  wilayah Ekacakra mendapat giliran menyediakan persembahan, rakyat ketakutan luar biasa. 
 

Atas seijin Dewi Kunti, Werkudara yang sedang “ngulandara” menyediakan diri sebagai persembahan. Pada hari yang telah ditentukan, Werkudara membawa segerobak makanan kehadapan Bakasura. Di depan gapura tempat tinggal Bakasura makanan yang dibawa dimakan sampai habis. Bakasura yang merasa terhina, marah lalu menerjang Werkudara. Seketika terjadilah pertarungan sengit. Setelah berlangsung lama,  Bakasura mati.
 

Berita kematian Bakasura menggoncang Ekacakra. Rakyat ingin tahu siapa gerangan yang berhasil membunuh Bakasura. Berduyun-duyun mereka ke suatu tempat untuk memperoleh jawaban. Tetapi, sampai kapanpun jawaban itu tidak akan pernah mereka dapat. Seketika setelah Bakasura tewas, Werkudara dan Dewi Kunti pergi melanjutkan pengembaraannya. Pengorbanan Werkudara tidak dalamrangka pamrih, kecuali didorong kemauan tulus ikhlas untuk melindungi rakyat banyak yang sedang menderita.
 

Demikianlah keluhuran budi ksatriyatama. Jasa dan pengabdian yang diperbuat bukan untuk kemashuran, melainkan dipenuhi untuk memenuhi dharma. Pujian dan penghargaan tidak diperlukan jika pengorbanannya dilandasi oleh keikhlasan. 
 

Bantuan Bencana Merapi
 

Sejak Gunung Merapi dinaikkan ke level AWAS, barak pengungsian mulai dipenuhi pengungsi. Bantuan dari berbagai pihak mulai mengalir. Terlebih setelah erupsi terjadi, bantuan semakin banyak. Bersamaan dengan itu spanduk dan bendera bertebaran di sekitar barak pengungsian. Sejumlah bendera dan spanduk yang dipasang berukuran besar dan dalam jumlah banyak. 
 

Selain organisasi masyarakat, spanduk-spanduk yang terpasang bertuliskan nama partai politik, provider telepon seluler, merk sepeda motor, serta berbagai produk makanan dan minuman. Beberapa spanduk terpasang di badan-badan jalan bahkan sebagian tidak disertai pembangunan posko maupun aktivitas memadai dari pihak pemasangnya.
 

Dalam kacamata manajemen pemasaran memang tidak salah mamasang bendera dan spanduk dalamrangka promosi produk. Namun ketika bendera dan spanduk promosi itu di pasang pada tempat pengungsian, dimana sebagian besar diantara penghuninya diliputi perasaan was-was dan ketakutan,  maka bisa dianggap tidak etis. Setidaknya para pemasang bendera dan spanduk itu tidak peka terhadap kesulitan yang dihadapi para pengungsi.
 

Pemasangan bendera dan spanduk yang dikaitkan dengan pemberian bantuan kepada pengungsi   seolah-olah parpol,  ormas dan perusahaan itu membantu dengan berharap pamrih. Meskipun bantuan yang diberikan pantas diapresiasi, tetapi jangan  niat mulia itu dikotori oleh hal-hal yang berbau politik. Bukan tidak mungkin pemasangan bendera dan spanduk yang berlebihan malah menimbulkan persepsi negatif di mata masyarakat.
 

Memaknai Pamrih
 

Sesungguhnya masyarakat Indonesia memiliki falsafah budaya yang tinggi untuk dijadikan pedoman dalam hal berbuat untuk kepentingan orang banyak. Ialah sepi ing pamrih rame ing gawe.
 

Dalam masyarakat Jawa, pamrih dimaknai sebagai kepentingan diri yang dilekatkan dalam ego pribadi. Pamrih memiliki tiga dimensi, ialah (1) keinginan untuk menang sendiri atau golek menange dhewe, (2) menganggap dirinya paling benar atau nggugu benere dhewe, dan (3) tamak memenuhi ketuhannya sendiri atau mburu butuhe dhewe. Jika ketiga dimensi pamrih ini masih melekat, maka yang mewujud adalah ego pribadi. Karenanya, membantu dan menolong orang lain sekalipun kepentingan diri tetap muncul dalam wujud tampilannya. Jika sepi ing pamrih ingin diimplementasikan dalam kehidupan, maka ego yang melekat harus dilepaskan terlebih dahulu.
 

Rame ing gawe dalam implementasi seharusnya dilakukan sebagai kewajiban yang didorong oleh tanggungjawab. Tanpa melakukan kewajiban itu serasa ada sesuatu yang kurang pada diri. Pada saatnya, jika kewajiban yang didorong tanggungjawab dilakukan selalu berulang dalam pembiasaan maka akan menjadi kebutuhan.
 

Sepi ing pamrih rame ing gawe adalah formula filosofis menuju kesejahteraan bersama.  Formula filosofis itu akan menemukan esensi yang lebih dalam sebagai  sepi pamrih tebih ajrih manakala  landasan keikhlasan dibarengi oleh pemahaman atas konsekuensi yang harus ditanggungnya.
 

Marilah kita lakukan instropeksi. Tanpa bendera, spanduk dan umbul-umbul sekalipun kebaikan yang dilakukan pasti dicatat sebagai kebaikan oleh karena Tuhan Maha Tahu
 
 


 
 

Ki Sugeng Subagya,
 

Pamong Tamansiswa, Pemerhati Pendidikan dan Kebudayaan. 

Artikel Dimuat SKH Kedaulatan Rakyat, Minggu 7 November 2010.
Berjuang Menjadi Lebih Baik
Tuesday, September 07, 2010 3:16 PM
“Ngenthung”; Berjuang dalam Diam

Oleh : Ki Sugeng Subagya

Memasuki bulan Agustus tahun 2010 terasa sangat istimewa. Nuansa patriotik sangat terasa begitu masuk kampung dan dusun-dusun. Disana-sini banyak orang bekerja bakti membersihkan lingkungan, memasang berbagai atribut memperindah wajah lingkungan. Berbagai kegiatan pertandingan dan perlombaan menambah riuhnya suasana. Semua terlibat. Anak-anak, ibu-ibu, bapak-bapak tidak ada yang ketinggalan. Pendek kata semua warga terlibat menyemarakkan peringatan Hari Ulang Tahun ke-65 Republik Indonesia.

Bertepatan dengan itu, memasuki minggu kedua bulan Agustus 2010, umat muslim di seluruh dunia memulai ibadah wajib menunaikan puasa Ramadhan. Kegiatan masyarakat menjelang datangnya bulan Ramadhan tidak kalah gempitanya. Tidak kurang kegiatan-kegiatan berdasar syariah, tradisi, kelaziman, kebiasaan, seolah menjadi satu prosesi menyambut datangnya tamu agung, puasa ramadhan.

Dengan menyandingkan dua kegiatan, ialah hiruk pikuk memperingati proklamasi kemerdekaan dan menyambut datangnya puasa ramadhan, ada satu benang merah hikmah. Ialah, keduanya bermakna perjuangan. Disatu pihak bermakna nilai-nilai perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari cengkeraman kuku-kuku penjajahan. Sedang di pihak lain perjuangan melawan hawa nafsu yang dapat membatalkan puasa.
Memaknai hikmah berjuang melawan penjajahan dan melawan hawa nafsu, terdapat ajaran Ki Hadjar Dewantara yang pantas direkonstruksi kembali. Ialah “ngenthung”.

Ngenthung kedengaranya asing di telinga, namun begitulah enaknya bikin suatu topik tulisan, yang asing buat pembacanya tetapi memiliki makna mendalam setelah diurai. Ngenthung itu salah satu kata kerja dalam bahasa Jawa. Berasal dari kata dasar  enthung, atau kepompong, yang  mendapat awalan “nga” atau “hang”.  Kalau digabungkan menjadi “hang-enthung”, atau  ngenthung. Dengan demikian “ngenthung” dapat diartikan sebagai bertindak atau berlaku seperti enthung atau kepompong. Demikianlah “ngenthung”, yang bermakna berjuang meskipun tampak dalam keadaan diam.

Sebagai Alat Perjuangan

Ki Hadjar Dewantara mekakukan “ngenthung” sebagai alat perjuangan melawan penjajahan. Tepatnya sebagai strategi perjuangan. Strategi ini diterapkan Ki Hadjar Dewantara pada saat menghadapi tekanan penjajahan Jepang.

Pemerintah kolonial Jepang sangat khawatir berkembangnya sekolah-sekolah partikelir (swasta) yang sangat pesat. Sekolah-sekolah ini diperuntukkan mencerdaskan rakyat pribumi dengan muatan semangat kebangsaan atau nasionalisme. Bukan tidak mungkin jika rakyat memiliki pengetahuan cukup karena mengenyam pendidikan yang memadai, pada saatnya akan tumbuh kehendak untuk melawan pemerintah kolonial. Ujung-ujungnya, mereka akan berjuang untuk meraih kemerdekaan.

Upaya pemerintah kolonial Jepang menghentikan “pemintaran” rakyat dilakukan dengan kebijakan yang tidak tanggung-tanggung. Ditutuplah semua sekolah yang didirikan dan diusahakan oleh pribumi. Hanya sekolah-sekolah milik pemerintah kolonial yang diijinkan beroperasi. Hal ini jelas tidak memadai untuk kepentingan rakyat yang sedang berjuang menggapai kemerdekaan bangsanya. Demikianlah memang tujuan ditutupnya sekolah-sekolah pribumi agar rakyat tetap dalam keadaan bodoh, miskin, dan terbelakang sehingga mudah diatur oleh penjajah.

Tidak kurang, saat itu sekolah-sekolah Tamansiswa juga harus ditutup. Atas kehendak kuat memerdekakan bangsanya, celah sekecil apapun dimanfaatkan Ki Hadjar Dewantara. Ketika sekolah-sekolah ditutup dan ada kemungkinan diijinkan menyelenggarakan kursus pertanian, maka diselenggarakan kursus pertanian oleh Ki Hadjar Dewantara dengan nama “Taman Tani”. Meskipun bentuknya kursus, muatan-muatan pendidikan dan pengetahuan umum diberikan pula secara diam-diam. Dengan “Taman Tani”, di permukaan yang tampak adalah diam tanpa gerakan, tetapi di dalamnya sesungguhnya itu adalah konsolidasi perjuangan menggapai kemerdekaan.

Falsafah “ngenthung” sebagai strategi perjuangan Ki Hadjar Dewantara dilandasi oleh Neng, Ning, Nung, Nang. Ialah, Meneng-Wening-Hanung-Menang atau Wenang. Meneng atau diam, ialah  tercapainya ketenteraman lahir yang dapat dirasakan oleh suasana fisik antara lain tidak gaduh, tidak emosi, tidak membentak, tidak judes, tidak ngambek, tidak mencoret-coret tulisan di tembok, tidak melampiaskan dendam. Apabila suasana Neng ini bisa dicapai, maka orang sekeliling akan simpati dengan kita. Sebaliknya dengan bersikap gaduh misalnya membentak, teriak, emosi, ketus, demonstrasi hingga jalanan macet, maka orang tidak akan simpati kepada kita. Menghadapi persoalan dengan mengedepankan Neng berarti dalam keadaan  tenang, wajar selanjutnya tidak pula menyulut emosi pihak lain yang tidak perlu.

Wening atau jernih, ialah tercapainya ketenteraman batin yang dirasakan oleh rasa kalbu dan nurani yang jernih. Untuk mencapai rasa wening di hati orang sering beriktifar “astagfirullah” atau “puji Tuhan”. Kemudian berupayalah berpikir yang rasional tidak emosional, cara menyampaikan masalah dengan bahasa yang logik dan runtut sehingga akan menarik simpati orang lain. Suasana wening ini juga lebih kondusif memberi ide-ide penyelesaian masalah sesuai dengan nurani kemanusiaan dalam ajaran agama.

Hanung atau agung, ialah  kebesaran jiwa dan luasnya wawasan, namun dapat pula dengan konotasi kebesaran/kekuatan raga (fisik). Kebesaran jiwa tercermin dengan sikap ikhlas  menerima kritik orang lain, tidak berpandangan sempit, tidak fanatik, tidak apatis, tidak apriori, tidak mengadu domba, tidak temperamental. Sikap hanung juga berkonotasi bersikap optimis tidak pesimis, yaitu selalu memandang hari depan dengan penuh harapan dan jiwa besar. Sikap hanung mementingkan tujuan hari depan dengan lebih visioner daripada  mengungkit aib masa lalu yang tidak perlu.

Menang, ialah  kemenangan moral dan atau kemenangan fisik. Kemenangan yang dicapai setelah Neng, Ning, dan Nung tidak menyakitkan hati pihak seberang. Menang dengan tidak mengalahkan,  “menang tanpo ngasorake” ialah kemenangan yang tidak dengan menghinakan pihak lain atau setidaknya pihak lain merasa kalah atau dikalahkan. Dalam bahasa manajemen, inilah yang disebut sebagai win-win-solution. Menang dapat berarti mampu menghadapi kesulitan, ujian, penindasan, penyelewengan, penghinaan, kebodohan, kemiskinan, godaan, kemusrikan, kemungkaran, kebatilan, kezaliman ataupun mengungguli taktik lawan.  Dalam kontosai yang seperti ini, lalu Nang diberi makda Wenang, ialah kuasa yang tidak untuk menguasai.

Belajar dari Metamorfosis

Enthung atau kepompong dapat dikatakan jelmaan dari ulat. Ulat, pada umumnya memiliki bentuk yang tidak menarik, jelek, bahkan tidak sedikit yang menakutkan. Jangankan memegang atau menyentuhnya, banyak orang yang baru melihat saja sudah merasa gatal-gatal di sekujur tubuh.

Bukan saja rupanya yang buruk, ulat ternyata juga mempunyai perangai tidak terpuji. Salah satunya ialah rakus. Apapun dilahapnya sampai habis tidak tersisa. Oleh sebab itu kaum tani mengkategorikan ulat sebagai hama yang harus dibasmi.

Melalui proses metamorphosis, kepompong “ngenthung” untuk menjadi makhluk yang lebih baik. Selama 41 hari prihatin dengan laku puasa memohon ridha Illahi sekaligus melakukan pertobatan atas kelakuannya ketika menjadi ulat. Tingkah polah kepompong dalam laku prihatin dengan menutup diri dalam balutan daun-daun kering ala kadarnya dan hanya bisa menggerakan kepalanya.

Menjalankan ibadah puasa ramadhan dapat dianalogikan dengan “ngenthung”. Dengan mendekatkan diri semata-mata meminta ridha Illahi, niscaya kaum muslimin dan muslimah mampu menjauhkan diri dari hal-hal yang dapat membatalkan puasa. Jika selama sebulan penuh manusia mampu menemukan jati dirinya dalam hubungan antara manusia sebagai makhluk dengan Penciptanya, manusia akan mengalami masa metamorfosis dalam kehidupan jiwa yang lebih menyejukkan. Jika sebelum puasa ramadhan sikap dan perilakunya seperti ulat, maka selepas puasa serta merta akan menyerupai kupu-kupu. Jika semula menakutkan, kemudian menjadi menarik hati. Jika semula apapun dimakannya dengan rakusnya, maka selepas puasa hanya makan makanan yang halal. Kebaikan hatinya diwujudkan dalam hal  dimana dia berada selalu memberikan bantuan kepada yang mendekatinya. Dimana dia berada selalu menebar pesona kebaikan dan keindahan.

Atas ijin Illahi, ulat yang menakutkan bisa menjadi kupu-kupu yang menarik hati jika lulus dalam pertapaan “ngenthung”-nya. Dari ulat menjadi kupu-kupu, memerlukan suatu proses yang disebut ‘Metamorfosis”. Apa itu metamorfosis ?.  Metamorfosis melibatkan perubahan radikal dari hewan muda menjadi hewan dewasa. Hewan muda, dikenal sebagai larva, hidup dalam cara yang berbeda dengan hewan dewasa.
Ada dua peristiwa metamorphosis, ialah (1) metamorfosis tak sempurna, seperti yang kita lihat pada transformasi kecobong menjadi katak, melibatkan sejumlah perubahan bertahap tetapi tidak sempurna. (2) metamorfosis sempurna, seperti pada perubahan ulat menjadi kupu-kupu, berlangsung dalam kepongpong dan menyusun ulang bagian tubuh secara total. Kupu-kupu memulai hidup sebagai telur.

Ulat merayap keluar dari telur, makan dengan lahap, dan menyelongsong (melepaskan kulit) sewaktu bertambah besar. Setelah sekitar empat minggu, ulat melekatkan dirinya sendiri dengan benang sutra ke cabang pohon. Ulat menggeliat keluar dari kulitnya, menampakkan kepongpong lunak yang kemudian mengeras. Beberapa minggu kemudian kepongpong pecah dan kupu-kupu dewasa keluar.


Hikmah

Untuk berhasil atau sukses, tidak jarang orang harus mekakukan perjuangan dengan tantangan yang luar biasa beratnya. Adakalanya tantangan itu berupa hambatan dimana tidak ada celah lagi bagi orang untuk mengaktualisasi kekuatannya. Dalam tataran itulah, upaya terakhir harus ditempuh, ialah berjuang dalam diam sebagaimana “ngenthung” yang diajarkan Ki Hadjar Dewantara.

Disamping itu, saatnya kita melakukan evaluasi diri. Apakah banyak orang mau bergaul dengan kita? Ataukah sebaliknya banyak orang merasa "alergi" dengan kita? Apakah kita pribadi yang dibenci ataukah kita pribadi yang dicintai? Apakah hidup kita hanya menjadi sandungan, atau hidup kita menjadi berkat? Apakah kita seekor ulat ataukah kita sudah berubah menjadi seekor kupu-kupu?

Jika ingin menjadi pribadi yang menarik, disukai banyak orang, sekaligus menjadi berkat bagi banyak orang, maka tidak ada pilihan lain bagi kita kecuali berubah. Kabar baiknya, setiap ulat yang menjijikan memiliki kesempatan untuk menjadi kupu-kupu yang indah jika mau berubah.

Akhirnnya, Dirgahayu Republik Indonesia. Selamat Memperingati Hari Ulang Tahun ke-65 Republik Indonesia. Selamat Menunaikan Ibadah Puasa Ramdhan 1431 H., bagi yang menjalankannya.


Ki Sugeng Subagya
Pamong Ibu Pawiyatan Tamansiswa dan Konsultan Pendidikan.
Dakwah Kultural Muhammadiyah
Saturday, August 21, 2010 1:26 PM
   

Seni Tradisi dan Dakwah Kultural Muhammadiyah

   

Oleh : Ki Sugeng Subagya



   

Ada catatan tersisa dari Muktamar 1 abad Muhammadiyah di Yogyakarta. Hiruk pikuk pelaksanaan Muktamar terselip dakwah kultural. Selasa (6/7/2010) malam, Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta menjadi ajang dakwah kultural.



 


     

Pentas ketoprak dan seni tradisi  di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta sudah biasa terjadi. Tetapi malam itu  terasa sangat istimewa. Bukan hanya karena pucuk pimpinan Muhammadiyah,  Din Syamsudin dan banyak tokoh lain tampil “ngetoprak”. Nuansa dakwah yang dikemas dalam pentas seni tradisi seperti mengingatkan bahwa Muhammadiyah memiliki banyak cara menyampaikan dakwah. Seni tradisi dapat menjadi sarana menyampaikan ajaran Islam secara damai, tidak menjemukan, dan sekaligus menghibur.



Pada dimensi yang lain, melalui pentas seni tradisi, secara kultural menyumbangkan akulturtasi budaya dan sekaligus meneguhkah hakikat Islam sebagai agama yang rahmatan lil’alamin. Islam adalah agama penebar damai dan keselamatan, rahmat bagi alam semesta.



 

Membalik Citra

   

Adalah pilihan cerdas bagi para seniman dan budayawan Muhammadiyah menggagas pentas ketoprak dengan lakon “Pletheking Surya Ndadari” malam itu. Pada saat ada sekelompok orang yang mengatasnamakan Islam melakukan tindak kekerasan dalam berdakwah, Muhammadiyah memberikan suri tauladan dakwah dengan cara damai.



   

Ketika wajah Islam sebagai agama rahmat  sedang babak-belur akibat ulah segelintir kelompok orang yang melakukan aksi-aksi kekerasan dan terorisme atas nama jihad Islam, Muhammadiyah tampil dengan dakwah damai melalui media seni tradisi. Ketika makna suci jihad tercemari  dengan terorisme, Muhammadiyah mengangkat kembali jihad kultural sebagai tuntunan.



   

Dakwah kultural dengan media pentas seni tradisi, mudah-mudahan mampu membuka pandangan dunia yang selama ini melihat Islam bukan dalam wajah Islam yang sebenarnya. Penilaian yang selama ini dipelihara dunia (Barat) bahwa Islam identik dengan kekerasan dan teorisme dalam dakwahnya tertepis oleh upaya-upaya kultural. 



Akulturasi
     

Dakwah kultural di Indonesia sesungguhnya bukan hal yang baru. Pada awal perkembangan Islam di tanah Jawa, dakwah kultural dilakukan para wali. Ternyata berhasil. Tidak hanya penyebaran ajaran agama Islam, tetapi juga meneguhkan Islam sebagai agama yang tidak mentolerir kekerasan. Dari sinilah akulturasi kebudayaan terjadi.



   

Dalam kajian ilmu sejarah, Islam masuk ke Indonesia  dengan jalan damai. Mula-mula, sebagai pemegang peran adalah bangsa Arab, bangsa Persia, dan bangsa India (Gujarat) melalui jalur perdagangan lintas bangsa. Selanjutnya, perkembangannya menjadi sangat pesat oleh karena dipicu perkawinan, pendidikan, dakwah dan kesenian.
   



Sebelum Islam masuk, Indonesia sudah memiliki corak kebudayaan yang dipengaruhi oleh agama Hindu dan Budha, bahkan animisme dan dinamisme.  Dengan masuknya Islam, terjadi akulturasi budaya yang lebih dahsyat. Ialah proses percampuran  dua atau  lebih kebudayaan yang saling mempengaruhi sehingga melahirkan kebudayaan baru. Ialah kebudayaan Indonesia yang islami. 



   

Di Jawa, penyebaran Islam berpusat di Kerajaan Demak. Sebagai pusat agama Islam, Demak dikenal memiliki “wali sanga”.  Para wali  memiliki peranan yang penting menyebarkan agama Islam dalam konteks akulturasi. Sunan Kalijaga misalnya, beliau meninggalkan karya akulturasi monumental. Masjid Demak dan upacara tradisional sekaten adalah contohnya.



   

Masjid Demak terkenal dengan bangunan Masjid dengan satu tiangnya terbuat dari  pecahan-pecahan kayu yang disebut dengan  Saka Tatal. Di serambi depan Masjid Demak inilah Sunan Kalijaga meletakkan dasar-dasar perayaan Sekaten dalamrangka peringatan Maulud Nabi. Hingga kini upacara perayaan sekaten masih berlangsung setiap bulan Mulud (Jawa) di Kraton Yogyakarta, Surakarta, dan Cirebon.



   

Esensi upacara sekaten sesungguhnya adalah dakwah kultural. Hal ini dapat dirujuk dari sejarah sekaten itu sendiri. Pada tahun 1939 Caka atau 1477 Masehi, Raden Patah selaku Adipati Kabupaten Demak Bintara dengan dukungan para wali membangun Masjid Demak. Selanjutnya berdasar hasil musyawarah para wali, digelarlah kegiatan syiar Islam secara terus-menerus selama 7 hari menjelang hari kelahiran Nabi Muhammad, Saw. Agar kegiatan tersebut menarik perhatian rakyat, dibunyikanlah dua perangkat gamelan buah karya Sunan Giri membawakan gending-gending ciptaan para wali, terutama Sunan Kalijaga.



   

Menyandingkan sejarah sekaten dengan pentas ketoprak “Pletheking Surya Ndadari” dari sisi monumentalnya tentu tidak sebanding. Tetapi dari cara pandang hakekat, keduanya tidak berbeda. Pindha suruh lemah kurepe, yen ginigit padha rasane. Meski daun sirih permukaan depan dan belakangnya beda rupa, tetapi jika digigit rasanya sama. Ialah Pencerahan.



   

Pencerahan yang diadaptasi dalam dakwah melalui pentas ketoprak. Ajaran kebaikan harus disampaikan dengan cara yang baik. Dialog santai dengan canda tawa bukan berarti nihil dari muatan ajaran moral agama. Dari cara yang demikianlah sebuah ide dan konsep kebaikan dapat diajarkan.



   

Dialog-dialog yang muncul dalam pentas malam itu, sesungguhnya memiliki pesan moral yang tinggi tetapi sekaligus autocritic terhadap umat Islam sendiri.  Umat Islam saat ini masih belum sepenuhnya mampu menunjukkan   perilaku dan akhlak Islami. Masjid banyak, tapi yang shalat berjamaah sedikit. Umat Islam juga memiliki kelemahan di berbagai lini kehidupan. Kemiskinan dan kebodohan telah menjadikan umat yang lemah. Demikian pula dengan akhakul karimah yang masih jauh panggang daripada api.



   

Cara-cara dakwah kultural dengan berbagai media ternyata tidak sepi peminat. Televisi misalnya. Mengemas siraman rohani dalam bentuk dialog interaktif yang sedikit teatrikal, ternyata digemari pemirsa. Disamping jutaan pasang mata mengikuti melalui layar kaca, tidak sedikit kelompok-kelompok yang mengajukan untuk hadir di studio “live show”. Saking banyaknya peminat, ada yang rela mengantri sangat lama. Sejak permohonan diajukan, baru 2 tahun kemudian mendapat giliran.



Ketika dakwah konvensional selalu disampaikan dengan cara serius cenderung membosankan, seni tradisi dapat dijadikan alternatif sebagai dakwah kultural yang menyegarkan.   Dan, Muhammadiyah telah memulainya kembali.
 
 


 


 
 

Ki Sugeng Subagya,
 

Pamong Tamansiswa tinggal di Yogyakarta.
 







Artikel ini dimuat Majalah SUARA MUHAMMADIYAH

No. 16/Tahun Ke-95 tanggal 16-31 Agustus 2010.

 
Pendidikan Nasional
Monday, August 16, 2010 7:47 AM
Merdeka, Mandiri, dan "Makarya"

Oleh Ki Sugeng Subagya

Ada persoalan mendasar memaknai kemerdekaan politik tanpa dilandasi oleh kepemilikan "jiwa merdeka" pada setiap anak bangsa. Untuk itu, perlu dilakukan pengembangan jiwa merdeka melalui pendidikan kemandirian.

Ki Hadjar Dewantara memberikan panduan bangsa merdeka melalui tembang "Wasita Rini". Penggalan pupuh ketiga tembang itu berbunyi "mardika iku jarwanya, nora mung lepas ing pangreh, nging uga kuwat kuwasa, amandhiri priyangga". Maknanya kurang lebih, bahwa merdeka itu artinya tidak hanya lepas dari perintah orang lain. Akan tetapi, harus kuat dan mampu mengatur diri sendiri atau mandiri.

Satu dasawarsa kemudian, Pemimpin Besar Revolusi Dr. Ir. Soekarno mengumandangkan "Trisakti". Bangsa Indonesia harus (1) berdaulat secara politik, (2) berdikari secara ekonomi, dan (3) berkepribadian secara kebudayaan.

Kini, faktanya bangsa Indonesia semakin jauh dari cita-cita bangsa mandiri. Ketergantungan, lebih dari sekadar bantuan, dalam menyelesaikan berbagai persoalan, berakibat bangsa ini terjerat ketidakmandirian.

Insan mandiri

Ki Sarino Mangunpranoto, merumuskan jiwa mandiri sebagai pribadi ksatria yang tidak mengharap bantuan orang lain dengan ikatan apa pun. Ia mampu bekerja tanpa perintah orang lain. Ia mampu mengatur diri sendiri dan berkuasa atas dirinya sendiri. Jiwa mandiri hanya dapat dibangun dengan pendidikan merdeka.

Pendidikan merdeka akan mampu mengantarkan peserta didik menjadi insan mandiri. Dalam hal ini tiadalah mungkin orang dapat merdeka jika tidak mandiri. Untuk dapat mandiri maka harus makarya. Sebab dengan makarya orang akan mampu memperoleh penghasilan untuk mencukupi kebutuhan dirinya sendiri, keluarga, dan mengambil peran dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Melihat gerak langkah pembangunan pendidikan kita dewasa ini, harus diakui sudah banyak kemajuan yang dicapai. Berbagai prestasi regional dan internasional banyak didapat anak-anak bangsa Indonesia. Akan tetapi, jika dikaitkan dengan tujuan akhir pendidikan merdeka menuju kemandirian, kita masih harus terus bekerja keras untuk mewujudkannya.

Tidak sedikit lulusan sekolah yang terpaksa menganggur. Keluar masuk kantor menenteng map berisi lamaran kerja. Hal ini merupakan indikasi gagalnya pendidikan menghasilkan insan mandiri. Mereka tidak mampu menciptakan lapangan pekerjaan. Jangankan lapangan pekerjaan untuk orang lain, untuk dirinya sendiri saja tidak ada kemampuan. Tidak mampu berinisiatif dan bekerja tanpa diperintah orang lain. Sekolah lebih banyak mengajarkan muatan intelektualisme dalam batasan-batasan ketat teoritik dengan mengesampingkan implementasi praktik dalam dunia nyata.

Benarlah olok-olok Ki Hadjar Dewantara, lihatlah itu cecak. Dia tidak sekolah. Dia tidak mempunyai ijazah. Tetapi dia tidak pernah menganggur. Dia tahu di mana harus mencari makan. Dia tahu, di mana ada lampu, di sana banyak datang nyamuk. Dan di sanalah cecak mencari makan menangkap nyamuk makanannya.

Kegagalan mendidik insan mandiri tampak jelas dari tidak dimilikinya rasa percaya diri. Bukan hanya setelah lulus, para siswa tidak percaya diri sejak di bangku sekolah. Fenomena menyontek sampai dengan kecurangan-kecurangan lain dalam penyelanggaraan ujian adalah bukti tidak percaya diri. Hal ini diperparah oleh sikap beberapa oknum pendidik yang tidak responsif menanggulangi kecurangan, tetapi tidak sedikit di antara mereka malah terlibat dalam praktik kecurangan itu.

Lihatlah, betapa sibuknya orang tua murid mengintervensi sekolah anak-anaknya. Antrean panjang di loket pendaftaran murid tidak hanya dijejali calon murid, tetapi malah didominasi orang tua murid. Belum lagi keinginan-keinginan setengah memaksakan kehendak orang tua untuk pendidikan anak-anaknya. Dari memilih sekolah, memasukkan sekolah sebelum usianya, memaksa anak harus naik kelas meski kemampuannya belum cukup, dan sebagainya.

Sistem among

Hanya pendidikan yang memerdekakan yang mampu membangun insan-insan mandiri menuju terwujudnya bangsa mandiri yang makarya, sebagaimana harapan para pendiri bangsa ini.

Bukankah slogan pendidikan nasional kita masih Tut Wuri Handayani? Makna esensialnya adalah, berilah kemerdekaan seluas-luasnya kepada anak-anak kita untuk memperoleh pengetahuan yang penting dan berguna. Guru jangan melepaskan perhatian dan pengawasan, tetaplah memberi pengaruh yang baik dari belakang.

Tut Wuri Handayani sesungguhnya adalah inti dari sistem among. Sistem among adalah sistem pendidikan yang diterapkan pada lingkungan Perguruan Tamansiswa. Mulanya, sistem among dimaksudkan sebagai perlawanan atas sistem pendidikan Barat yang dibawa pemerintah kolonial yang tidak sesuai dengan kepribadian dan kebutuhan bangsa Indonesia.

Pendidikan Barat didasari oleh regering, tucht, and orde, atau perintah, hukuman, dan ketertiban atau paksaan. Dalam praktiknya, pendidikan yang demikian akan merusak kehidupan batin anak-anak. Budi pekertinya rusak karena hidup di bawah paksaan dan hukuman. Jika kelak dewasa, anak-anak yang telah rusak batinnya tidak dapat bekerja tanpa diperintah dan dipaksa.

Sistem among diimplementasi dengan orde and vrede, ialah tertib dan damai atau tata tentrem. Pamong tidak boleh memaksa, meskipun sekadar memimpin. Ia juga tidak dalam rangka "nguja" atau membiar-liarkan. Mencampuri kehidupan anak diperbolehkan ketika anak ternyata sudah berada di jalan yang salah.***



Penulis, Pamong Tamansiswa di Yogyakarta.

Artikel ini dimuat Harian PIKIRAN RAKYAT Bandung, Senin 16 Agustus 2010 Halaman 26.
Cakepan Sekar Macapat
Monday, August 16, 2010 7:39 AM
 
“Duh Gusti Katampiya Tobat Kawula”
 

Karipta dening :
 

Ki Sugeng Subagya
 


 


 

Duh Gusti kang maha kwasa,
 

Maha mirah welas asih sayekti,
 

Luber ing kadarman tuhu,
 

Kawula anglenggana,
 

Mungkur saking pitedah sinartan kufur,
 

Laku nistha kebak dosa,
 

Nerak awisan wis mesthi,
 


 

Duh Gusti kula mertobat,
 

Tampi panguji tan kuwawi nyanggi,
 

Estu awrat sakelangkung,
 

Pemut kersa paduka,
 

Tinebihna walat ing salajengipun, 
 

Punika sambat kula,
 

Mugi Gusti ngijabahi,
 


 

Duh Gusti enggal binuka,
 

Lawang tobat  pangapura katampi,
 

Kori jahanam tinutup,
 

Swarga loka ingajab,
 

Pasrah lan sumarah ing pepadanipun,
 

Hidayah kaparingna,
 

Tumrap kula ingkang ringkih,
 


 

Duh Gusti Pangeran kula,
 

Paduka sesembahan mung sawiji,
 

Datan wonten sanesipun,
 

Kang saged mangapura,
 

Sedaya dosa lawan lepat ulun,
 

Sampun pasrah sumarah,
 

Ing pangajab wangsul fitri, 
 


 
 

Ngayogyakarta, 1 Oktober 2006

Dipun tembangaken Ki Ngabdul ing Giyaran Pangkur Jenggleng TVRI Yogyakarta, Senin 16 Agustus 2010.

 
 
Sistem Evaluasi Pendidikan
Wednesday, August 04, 2010 12:55 PM
UN versus SNMPTN
Oleh : Ki Sugeng Subagya

Fenomena pendidikan di Indonesia semakin menarik diikuti. Setelah  hasil ujian nasional (UN) dan kejujuran berbanding terbalik. Kini yang terbaru, hasil UN berbanding terbalik pula dengan hasil Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).

Berita yang dilansir media massa menyebutkan, nilai hasil SNMPTN tahun 2010 peserta di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terbaik dan tertinggi secara nasional. Hal ini berbanding terbalik dengan hasil UN tahun 2010 yang beberapa waktu lalu disorot karena berada pada peringkat bawah secara nasional.  Provinsi Bali yang dalam UN menempati posisi terbaik, tetapi dalam SNMPTN sangat rendah siswanya masuk perguruan tinggi negeri (PTN).

Hal ini menunjukkan masih banyaknya persoalan yang melilit sistem evaluasi pendidikan di Indonesia. Setidaknya memperkuat alasan banyak pihak yang mengusulkan agar UN dievaluasi secara menyeluruh. Di lain pihak memperkuat pula alasan PTN menolak hasil UN dijadikan satu-satunya alat seleksi masuk PTN.

Kemandirian Semu
Jika dikaitkan dengan obyektifitas proses evaluasi, tampaknya SNMPTN lebih obyektif dari UN. Dari sisi penyelenggaraan SNMPTN  jauh lebih mandiri. Tidak ada kepentingan apapun bagi penyelenggara SNMPTN kecuali memperoleh in-put calon mahasiswa baru yang memiliki potensi akademik yang sesuai dengan standar yang ditetapkan.

Tidak demikian dengan UN. Meskipun Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) sebagai penyelenggara UN adalah badan mandiri, namun dalam operasionalnya  tidak memiliki organ yang cukup sampai pada tataran bawah. Akibatnya, aparat birokrasi pendidikan dan satuan pendidikan tetap dilibatkan dalam penyelenggaraan maupun pengawasan. Benarlah olok-olok sebagian pengamat, dalam UN “bagai jeruk minum jeruk”.

Dengan tidak bermaksud menuduh, kepentingan menjaga citra bagi pejabat dan birokrat, dari Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota, Kepala Dinas Pendidikan sampai dengan Kepala Satuan Pendidikan dapat menurunkan kadar kemandirian BNSP.

Meskipun banyak pejabat dan birokrat yang legawa menerima hasil UN apa adanya, tetapi tidak sedikit yang merasa kehilangan muka jika hasil UN di wilayahnya buruk. Upaya menyiasati agar hasil UN lebih baik harus diapresiasi. Tetapi, jika upaya itu kemudian dilakukan dengan menghalalkan kecurangan dan mengabaikan kejujuran, maka yang demikianlah yang menggambarkan hasil UN tidak obyektif.

Dimensi Teoritik
Membandingkan hasil UN dengan hasil SNMPTN dari sisi potensi akademik bisa jadi sejalan. Tetapi secara teori evaluasi pendidikan, model atau pola evaluasinya dapat dibedakan berdasarkan fungsinya. Soal UN lebih banyak bersifat menguji hasil belajar siswa. Sedangkan soal SNMPTN lebih cenderung berupa tes prediktif untuk memprediksi keberhasilan seseorang ketika belajar di perguruan tinggi. Bahkan dalam konteks tertentu, soal SNMPTN hanya merupakan alat seleksi untuk menjaring peserta didik terbaik dari yang ada.

Kriteria tes dalam UN adalah achievement effectivity, ialah sejauhmana tes dapat menggambarkan secara tepat kemampuan riil atas hasil belajar. Dengan kata lain siswa yang memiliki hasil belajar tinggi maka nilainya akan tinggi, sedangkan siswa yang hasil belajarnya rendah nilainya akan rendah. Sedangkan kriteria tes dalam SNMPTN adalah prediction effectivity, ialah sejauhmana tes dapat menggambarkan secara tepat potensi calon mahasiswa. Dengan kata lain, siswa yang nilainya tinggi berarti potensinya tinggi, sedangkan yang nilainya rendah potensinya rendah.

Berdasar orientasi waktu pelaksanaannya, UN sebagai tes hasil belajar harus selalu dilakukan pada akhir program kegiatan belajar. Sedangkan SNMPTN sebagai tes prediksi, maka harus dilakukan sebelum pelaksanaan program kegiatan belajar. Momentum yang jauh dari tepat jika tes hasil belajar difungsikan sebagai tes prediksi.

Karena memang pola evaluasi UN berbeda dengan pola SNMPTN, maka tidak ada alasan teoritik yang mendukung maksud pemerintah menggunakan hasil UN sebagai satu-satunya syarat masuk PTN. Kecuali keduanya sangat sulit diintegralkan (fit in), lebih dari itu kaitan tes hasil belajar yang melekat dengan UN dan tes prediksi yang melekat dengan SNMPTN hampir tidak ada.

Terlebih ketika UN belum bersih benar dari kecurangan yang mengabaikan kejujuran sehingga obyektifitasnya diragukan. Menjadikan nilai hasil UN sebagai salah satu pertimbangan masuk PTN-pun dapat dikategorikan sebagai “mengotori” obyektifitas SNMPTN. Tidak ada alasan untuk tidak segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap ujian nasional.-

Ki Sugeng Subagya,
Pamong Tamansiswa di Yogyakarta.-

Artikel ini dimuat harian KOMPAS Rabu, 4 Agustus 2010 halaman D.
Cakepan Sekar Macapat
Wednesday, August 04, 2010 12:46 PM


 

Sugih
 

Cakepan sekar pangkur rinipta dening :

Ki Sugeng Subagya
 


 


 

Dunungipun darbe bandha,
 

Aja sira rumangsa sampun sugih,
 

Senadyan bandha tinumpuk,
 

Durung sugih winastan,
 

Temenipun sugihira kang satuhu,
 

Sepira amal jariyah,
 

Binage dhateng sesami,
 


 

Bisa sugih tanpa bandha,
 

Sugihipun den wilang mawi pakerti,
 

Pakertine budi luhur,
 

Ngudi gesang sekeca,
 

Sekecane sesarengan wekasipun,
 

Datan kenging suminggah,
 

Pasrah paringipun Gusti.
 


 


 

Sinerat sangajenging Monumen 1 Maret Yogyakarta.
 

27 Juni 2010.



Dipun tembangaken dening Ki Ngabdul ing hadicara Pangkur Jenggleng TVRI Yogyakarta ingkang kagiyaraken dinten Senin surya kaping 19 lan 26 Juli 2010.

 
Nama Kecil Orang Besar
Wednesday, August 04, 2010 12:34 PM

MUHAMMAD DARWISY DAN SUWARDI SOERJANINGRAT


Oleh : Ki Sugeng Subagya


Di Yogyakarta, bulan Juli 2010 menjadi pusat perhatian masyarakat. Sebagaimana setiap tahun terjadi, bertepatan dengan liburan sekolah,   rombongan wisatawan domestik banyak berkunjung ke Yogyakarta. Kawasan Malioboro, Parangtritis, Kraton Yogyakarta, dan obyek wisata lainnya dipenuhi wisatawan. Saat itu juga bertepatan dengan masih berlangsungnya Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) yang digelar sebulan penuh. Pusat kegiatan FKY yang tepat di jantung kota Yogyakarta, menambah riuhnya kesibukan kota pelajar dan kota budaya ini.

Tidak kalah hiruk pikuknya, pada tanggal 3 sampai dengan 8 Juli 2010 digelar muktamar 1 abad Muhammadiyah.  Pembukaan muktamar dilakukan dengan gegap gempita. Stadion Mandala Krida Yogyakarta, sebagai tempat pembukaan dijubeli ratusan ribu orang. Di luar stadion sampai radius lebih dari tiga kilometer orang masih hiruk-pikuk lalu-lalang. Hampir semua jalanan dalam kota Yogyakarta macet total. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuka muktamar dengan pidato secara teleconfrence dari Jedah Arab Saudi.

Bertepatan dengan pembukaan muktamar 1 abad Muhammadiyah, keluarga besar Persatuan Tamansiswa memperingati hari lahir Tamansiswa. Sejak tanggal 3 Juli 1922 sampai 3 Juli 2010 Tamansiswa telah mencapai hitungan tahun yang ke-88. Ulang tahun Tamansiswa kali ini terasa istimewa, karena bertepatan dengan usia 11 windu atau 88 tahun.

Begitupun, tulisan ini tidak akan membahas lebih lanjut tentang kemeriahan Muktamar 1 abad Muhammadiyah dan 11 windu peringatan hari lahir Tamansiswa. Perhatian penulis, justeru kepada pendiri Muhammadiyah dan Tamansiswa. Ialah, Muhammad Darwisy dan Suwardi Soerjaningrat. Muhammad Darwiys adalah nama kecil KH Achmad Dahlan, pendiri dan pemimpin Muhammadiyah. Sedangkan Suwardi Soerjaningrat adalah nama kecil Ki Hadjar Dewantara, pendiri dan pemimpin Tamansiswa.

Nama ketika kanak-kanak tokoh besar ini sengaja dijadikan judul tulisan ini bukan tanpa maksud. Keduanya adalah ”Anak Yogya” masa lampau yang kebesarannya hingga kini masih dikenang. Meskipun mereka tokoh besar, tetapi kedekatan dan upayanya mengangkat ”wong cilik” agar lebih sejahtera adalah perhatian utama perjuangannya. Keduanya menggunakan pendidikan sebagai sarana meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Muhammad Darwisy
Muhammad Darwisy  dilahirkan dari kedua orang tuanya, yaitu KH. Abu Bakar (seorang ulama dan Khatib terkemuka di Mesjid Besar Kesultanan Yogyakarta) dan Nyai Abu Bakar (puteri dari H. Ibrahim yang menjabat sebagai penghulu kesultanan juga). Ia merupakan anak ke-empat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhanya saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Dalam silsilah ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka diantara Wali Songo, yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa.

Muhammad Darwisy dididik dalam lingkungan pesantren sejak kecil yang mengajarinya pengetahuan agama dan bahasa Arab. Ia menunaikan ibadah haji ketika berusia 15 tahun (1883), lalu dilanjutkan dengan menuntut ilmu agama dan bahasa arab di Makkah selama lima tahun. Di sinilah ia berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh, al-Afghani, Rasyid Ridha, dan ibn Taimiyah. Buah pemikiran tokoh-tokoh Islam ini mempunyai pengaruh yang besar pada Darwisy. Jiwa dan pemikirannya penuh disemangati oleh aliran pembaharuan ini yang kelak kemudian hari menampilkan corak keagamaan yang sama, yaitu melalui Muhammadiyah, yang bertujuan untuk memperbaharui pemahaman keagamaan (ke-Islaman) di sebagian besar dunia Islam saat itu yang masih bersifat ortodoks (kolot). Ortodoksi ini dipandang menimbulkan kebekuan ajaran Islam, serta stagnasi dan dekadensi (keterbelakangan) ummat Islam. Oleh karena itu, pemahaman keagamaan yang statis ini harus dirubah dan diperbaharui, dengan gerakan purifikasi atau pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada al-Qur'an dan al-Hadits.

Pada usia 20 tahun, Muhammad Darwisy berganti nama menjadi KH Ahmad Dahlan.

Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai gagasan-gagasan cemerlang, dengan mudah diterima dan dihormati di tengah kalangan masyarakat, sehingga ia juga dengan cepat mendapatkan tempat di organisasi Jam'iyatul Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam, dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad.

Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaharuan Islam di bumi nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. Ia ingin mengajak ummat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur'an dan al-Hadits.

Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga mendapatkan resistensi, baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. Ia dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kiai palsu, karena sudah meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen dan macam-macam tuduhan lain. Bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun rintangan-rintangan tersebut dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hatinya untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaharuan Islam di tanah air bisa mengatasi semua rintangan tersebut.

Kelak, Persyarikatan Muhammadiyah yang didirikannya menjadi besar dan mashur.

Suwardi Soerjaningrat
Suwardi adalah seorang bangsawan. Ia putera Pangeran Soerjaningrat yang lahir pada tanggal 2 mei 1989. Pangeran Soerjaningrat adalah putera KGPAA Paku Alam III. Sedang KGPAA Paku Alam III adalah putera Sri Sultan Hamengku Buwono II. Dengan demikian, Suwardi adalah cucu KGPAA Paku Alam III dan cicit Sri Sultan Hamengku Buwono II.

Sejak kecil Suwardi memperoleh pendidikan agama Islam secara privat di rumah dengan memanggil guru mengaji. Tahun 1904,  tamat Euroeesche Lagere School (ELS) dan meneruskan ke Kweekschool atau Sekolah Guru di Yogyakarta selama satu tahun. Pelajarannya diteruskan ke sekolah dokter Jawa atau School tot Opleiding voor Inlandche Arsten (STOVIA) di Jakarta. Namun sayang, tidak sempat menamatkan sekolahnya.

Selama menjadi mahasiswa STOVIA, Suwardi banyak berkjenalan dengan tokoh-tokoh Boedi Oetomo. Melalui para tokoh yang dikenalnya itu, Suwardi menimba banyak pengalaman berorganisasi.

Jurnalistik adalah lapangan yang digelutinya kemudian. Aktif mengurus dan menulis di surat kabar Sedyotomo dan Midden Java adalah awal kiprahnya. Selanjutnya, pada tahun 1912 diminta Deuwes Dekker pindah ke Bandung untuk mengurus surat kabar De Expres. Selain itu, juga menjadi anggota redaksi harian Kaum Muda, Utusan Hindia, Tjahaja Timur, dan Het Tijdscrift. Kegiatan jurnalistik akhirnya dijadikan sebagai alat perjuangan. Puncaknya, atas nama Komite Boemi Poetra, Suwardi menulis brosur dengan judul “Als ik eens Nederlander was ……” (Seandainya aku seorang belanda ……). Isi brosur itu adalah kritik sangat tajam terhadap pemerintah Belanda yang akan merayakan kemerdekaannya, sedangkan ia sendiri masih menjajah tanah Indonesia.

Tulisan brosur Suwardi memicu tulisan-tulisan tajam selanjutnya. Tak pelak pemerintah segera melakukan tindakan menangkap para penulisnya. Tjipto Mangunkusumo, Deuwes Dekker, dan Soewardi akhirnya diasingkan ke Negeri Belanda. Dalam pengasingan, Suwardi belajar dan tetap berjuang untuk Indonesia Merdeka.

Sekembalinya di tanah air, perjuangan Suwardi untuk Indonesia tidak semakin surut. Melalui pers dan organisasi politik kegigihannya semakin menggebu. Akibatnya ruang penjara menjadi langganannya sebagai tahanan politik.

Dalam suatu kesempatan, timbul sebuah gagasan dalam suatu diksusi kaum intelektual. Ternyata untuk melanjutkan perjuangan kemerdekaan tidak cukup hanya dengan kekuatan politik. Tetapi harus ditopang dengan gerakan pendidikan rakyat untuk menebar benih jiwa merdeka. Untuk itulah maka Suwardi ditugasi menyelenggarakan pendidikan menebar benih jiwa merdeka pada anak-anak. Dan kemudian didirikanlah Perguruan Nasional Tamansiswa pada 3 Juli 1922.

Perguruan Nasional Tamansiswa berkembang pesat. Semula hanya ada di Yogyakarta, dalam kurun waktu 10 tahun telah berkembang menjadi lebih dari 42 cabang baik di Jawa maupun di luar Jawa. Keadaan yang demikian dianggap membahayakan bagi pemerintah kolonial. Untuk melumpuhkan semangat sekolah-sekolah Tamansiswa diterbitkan Onderwijs Ordonantie, ialah Undang-undang tentang sekolah liar. Tamansiswa menentang Undang-undang itu. Perjuangan Tamansiswa ternyata berhasil. Pada tahun 1933 Onderwijs Ordonantie dicabut.

Pada usia 40 tahun atau 4 windum, Suwardi berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Kelak nama ini menjadi sangat mashur dan dikenal banyak orang.

Hikmah
Apa yang dapat dipetik dari uraian singkat di atas ? Tentu sangat banyak suri tauladan yang dapat diambil. Setidaknya, ada pelajaran berharga, bahwa untuk menjadi besar bukan berarti tanpa hambatan. Untuk sukses bukan berarti tidak ada tantangannya. Niat dan keinginan tulus nan mulia belum tentu dipersepsikan tulus dan mulia oleh orang lain. Jika ada pihak yang dirugikan, tentu mereka akan menyusun kekuatan untuk melakukan perlawanan.

Jika para orangtua memberikan nama kepada anak-anaknya, sesederhana apapun nama itu akan memiliki makna yang dahsyat apabila yang memiliki nama tersebut mempunyai sikap dan perilaku terpuji. Sikap dan perilaku terpuji akan semakin lengkap apabila disertai dengan pengorbanan untuk kemaslahatan orang banyak, terlebih orang-orang yang dalam kesulitan. Sebagus apapun nama diberikan, jika ternyata yang memiliki nama tidak mampu menjaga sikap perilaku terpujinya, niscaya nama itu tidak akan bermakna apa-apa.

“Apalah arti sebuah nama”, ujar sang pujangga, William Shakespeare. Tentu saja, nama sebaik apapun tidak akan membuat sang empunya nama menjadi baik pula. Setidaknya, tidak secara langsung. Jika dikemudian hari namanya menjadi sangat mashur, tentu karena budi mulianya yang dikenang.

_______________________

Artikel ini dimuat Majalah SISWA NUSANTARA edisi Juli 2010.
Pendidikan Ketamansiswaan
Saturday, June 19, 2010 2:37 PM
 

PERINGATAN HARI LAHIR PANCASILA : 
 

Peran Ki Hadjar Dewantara dan Rekonsiliasi Nasional
 


 

Oleh : Ki Sugeng Subagya



 


 

Banyak orang mengatakan bahwa bulan Juni adalah bulan-nya Bung Karno. Itu lho, Bapak proklamasi dan presiden pertama Republik Indonesia, DR. Ir. Soekarno. Betapa tidak, coba kita perhatikan: tanggal 6 Juni (1901) Bung Karno dilahirkan, tanggal 2 Juni (1970) beliau wafat. Dan yang tidak boleh dilupakan, pada tanggal 1 Juni (1945) Bung Karno menyampaikan pidato tentang Pancasila, di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).



 


 



Hakikat isi pidato itulah yang sampai sekarang dikenal sebagai Pancasila dasar Negara Republik Indonesia. Ternyata, ada peran yang tidak kecil dari Ki Hadjar Dewantara atas rumusan pidato Bung Karno tersebut, terkait dengan lahirnya Pancasila. Untuk itu, sembari bermaksud memperingati hari lahir Pancasila, ada baiknya diungkap kembali peran Ki Hadjar Dewantara atas lahirnya Pancasila dan hikmah apa yang dapat dipetik dari peringatan tersebut

.
 


 

Cuplikan Sejarah
 

Perjuangan bangsa Indonesia dalam mengusir penjajah, sampai dengan tahun 1908 boleh dikatakan selalu mengalami kegagalan. Meskipun penjajahan Belanda berakhir pada tahun 1942, tetapi sejak saat itu pula  Indonesia diduduki oleh bala tentara Jepang.
 


 

Masa penjajahan  Jepang tidak terlalu lama, oleh karena pada tahun  1944, tentara Jepang mulai kalah dalam perang melawan Sekutu. Untuk menarik simpati bangsa Indonesia agar bersedia membantu Jepang dalam melawan tentara Sekutu, Jepang memberikan janji kemerdekaan di kelak kemudian hari. Janji ini diucapkan oleh Perdana Menteri Kaiso pada tanggal 7 September 1944.
 



Oleh karena terus menerus terdesak, maka pada tanggal 29 April 1945 Jepang memberikan janji kemerdekaan yang kedua kepada bangsa Indonesia, yaitu janji kemerdekaan tanpa syarat yang dituangkan dalam Maklumat Gunseikan (Pembesar Tertinggi Sipil dari Pemerintah Militer Jepang di Jawa dan Madura)



Dalam maklumat itu sekaligus dimuat dasar pembentukan  BPUPKI. Tugas badan ini adalah menyelidiki dan mengumpulkan usul-usul untuk selanjutnya dikemukakan kepada pemerintah Jepang untuk dapat dipertimbangkan bagi kemerdekaan Indonesia.
 



Dalam sidang BPUPKI pertama, yang dibicarakan khusus mengenai calon dasar Negara. Bung Karno mengusulkan calon dasar negara untuk Indonesia merdeka dalam pidatonya, yang terdiri atas lima hal, ialah :
 

1.       Nasionalisme (Kebangsaan Indonesia)
 

2.      Internasionalisme (Perikemanusiaan)
 

3.      Mufakat atau Demokrasi
 

4.      Kesejahteraan Sosial
 

5.      Ketuhanan yang Berkebudayaan
 


 

Kelima hal ini oleh Bung Karno diberi nama Pancasila.
 


 

BPUPKI terdiri dari sekitar 60 tokoh penting bangsa Indonesia dari berbagai lapisan masyarakat. Di antaranya terdapat nama-nama Dr. Radjiman Wediodiningrat, Ki Hadjar Dewantara, Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Wahid Hasyim, dan K.H. Masykur.
 


 

Usulan Bung Karno mengenai dasar negara itu mendapat sambutan hangat dari para anggota BPUPKI. Setelah Bung Karno usai berpidato, Ki Hadjar Dewantara minta bicara dan beliau menganjurkan kepada seluruh sidang: "Saudara-saudara sekalian, mari kita terima seluruhnya apa yang diusulkan oleh Bung Karno ini." Padahal Ki Hadjar Dewantara sebelumnya mengusulkan beberapa dasar negara yang lain.
 


 

Usulan Bung Karno tentang dasar negara ini, setelah melalui beberapa kali pembahasan, akhirnya melalui sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau PPKI (Dokuritu Zyunbi Iin Kai) tanggal 18 Agustus 1945 disahkan menjadi dasar negara Republik Indonesia. Kalau ditinjau secara hukum, pengesahan ini dilakukan karena dicantumkan di dalam Pembukaan Undang - Undang Dasar Tahun 1945 (UUD-1945) sebagai konstitusi negara pada aleinea IV.



 


 

Istilah Lahirnya Pancasila
 

Istilah Hari “Lahirnya Pancasila” timbul karena Ki Hadjar Dewantara pada tahun 1946 mengusulkan kepada Bung Karno agar pidato beliau tanggal 1 Juni 1945 ditulis dalam sebuah teks yang lengkap dan diterbitkan menjadi buku. Setelah langkah itu final beliau bertanya kepada Bung Karno, buku ini sebaiknya diberi judul apa? Bung Karno Menjawab “beri saja judul Lahirnya Pancasila”! Sejak masa itulah tanggal 1 Juni diberi arti sebagai Hari “Lahirnya Pancasila”.
 


 

Dari nukilan sejarah di atas, jelaslah bahwa Ki Hadjar Dewantara memiliki peran besar dan sangat penting atas terwujudnya Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia. Hal itu setidaknya tampak dalam menyikapi pidato Bung Karno yang bersisi substansi Pancasila, dan istilah lahirnya Pancasila serta penetapan 1 Juni 1945 sebagai hari lahirnya Pancasila. Tidak salah kiranya jika setiap tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari lahir Pancasila.







 


 

Momentum Rekonsiliasi
 

Setiap peristiwa pasti ada hikmah yang dapat dipetik. Demikian halnya dengan Peringatan Hari Lahir Pancasila tahun 2010 ini. Seorang jurnalis surat kabar bahkan menggambarkannya dengan sangat dramatis. “Peringatan hari lahir Pancasila ke-65 pada 1 Juni 2010 , berlangsung sungguh hikmah dan perlu untuk diacungi jempol karena ditandai dua momentum yaitu, dalam bidang pemerintahan dan politik”.
 


 

Dalam bidang pemerintahan satu langkah maju yang di tempuh oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menyampaikan pidato khusus untuk memperingati hari lahir Pancasila dasar negara Republik Indonesia tersebut. Inilah untuk  pertama kali seorang presiden Republik Indonesia memberikan pidato khusus Peringatan Hari Lahir Pancasila sejak pemerintahan orde baru tumbang.
 


 

Dalam dimensi politik, peringatan hari lahirnya Pancasila menjadi momentum rekonsiliasi antar tokoh-tokoh nasional pemimpin bangsa. Betapa tidak, dalam pidatonya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono langsung menyapa dan mengucapkan terimakasih kepada mantan Presdien ke-5 Republik Indonesia, Megawati Soekarno Putri. Selama ini kedua tokoh nasional ini selalu berseberangan bahkan cenderung mengarah ke “perang dingin.” Jarang, sebuah acara dihadiri oleh kedua tokoh ini. Meski acara upacara kenegaraan peringtan detik-detik proklamasi sekalipun misalnya.
 


 

Bagi rakyat kebanyakan, peristiwa tersebut adalah sesuatu yang sangat baik, setidaknya sebagai suri tauladan hidup untuk saling menghormati dan saling menghargai. Meski beda pendapat sekalipun, hendaknya sikap saling menghargai dan saling menghormati tidak terhalang olehnya. Cara-cara hidup yang demikian tentu akan berdampak timbulnya rasa tenteram dan damai sebagai digambarkan oleh Ki Hadjar Dewantara sebagai masyarakat yang tertib damai atau tata tentrem.
 


 

Hikmah lain yang dapat dipetik, hendaknya seluruh bangsa Indonesia benar-benar memperhatikan himbauan Presiden dalam pidatonya. “Sudah cukup kiranya mempermasalahkan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara Republik Indonesia”. Hal ini berarti bahwa mempersoalkan Pancasila sebagai

ideologi dan dasar Negara adalah perbuatan percuma yang tidak berarti. Faktanya Pancasila adalah kontrak sosial sebuah bangsa yang bersifat final.
 



Di lingkungan satuan pendidikan, tugas selanjutnya ialah memantapkan penanaman nilai-nilai Pancasila kepada peserta didik. Paling tidak setiap hari Senin dalam upacara bendera di Sekolah akan terdengar peserta upacara menirukan pembacaan teks Pancasila oleh Pembina Upacara.
 


 

Demikianlah, tidak sia-sia memiliki Pancasila sebagai ideologi dan dasar Negara bagi bangsa Indonesia. Sudah sepantasnya disyukuri dan tidak diingkari. Semoga.-
 
Pendidikan Kemandirian
Wednesday, June 16, 2010 10:39 PM
Pendidikan Nasional yang Memandirikan
Oleh  : Ki Sugeng Subagya


Tanggal 2 Mei ditetapkan sebagai hari pendidikan nasional dengan maksud memberikan penghargaan atas jasa dan pengabdian Ki Hadjar Dewantara (2 Mei 1889-26 April 1959) yang telah meletakkan dasar-dasar sistem pendidikan nasional di Indonesia. Pendidikan merdeka yang memandirikan adalah konsep dasar pendidikan nasional yang dirancang Ki Hadjar Dewantara.

Pendidikan Merdeka
Menentang kolonialisme dan feodalisme dengan perjuangan politik hanya akan mampu mengantarkan bangsa ini ke depan pintu gerbang kemerdekaan. Menanamkan jiwa merdeka melalui pendidikan nasional, disamping akan mampu mengantar ke depan pintu gerbang merdeka, sekaligus memberi modal mengisi kemerdekaan

Pendidikan mempunyai tugas menanamkan jiwa merdeka. Pada gilirannya, jiwa merdeka yang tertanam adalah basis pembangunan bangsa. Hanya pendidikan yang memerdekakan yang mampu menanamkan jiwa merdeka.

Arah pembangunan jiwa merdeka telah jelas. Sebagaimana pesan Bung Karno, bangsa Indonesia harus (1) berdaulat secara politik, (2) berdikari secara ekonomi, dan (3) berkepribadian secara kebudayaan. Satu dasawarsa sebelumnya, Ki Hadjar Dewantara memberikan panduan bangsa merdeka melalui tembang “Wasita Rini”. Penggalan pupuh ketiga tembang itu berbunyi “mardika iku jarwanya, nora mung lepas ing pangreh, nging uga kuwat kuwasa, amandhiri priyangga”. Maknanya kurang lebih, merdeka itu artinya tidak hanya lepas dari perintah orang lain. Tetapi harus kuat dan mampu mengatur diri sendiri atau mandiri.

Dalam hal ini, tiadalah mungkin merdeka hakiki direngkuh jika tidak mandiri. Untuk dapat mandiri maka harus makarya. Sebab dengan makarya orang akan mampu memperoleh penghasilan untuk mencukupi kebutuhan dirinya sendiri, keluarga dan mengambil peran dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Intelektualisme Pengajaran
Diakui atau tidak, kini pendidikan nasional kita masih didominasi oleh pengajaran. Ketika pendidikan terkungkung oleh pengajaran, maka intelektualisme tidak dapat lagi dihindari.

Setidaknya, indikasi intelektualisme nampak dalam kelulusan dan kenaikan kelas yang diukur dari capaian angka-angka kognitif semata dan mengabaikan sikap, perilaku, budi pekerti apalagi kecakapan motorik peserta didik. Pengajaran yang seharusnya hanya menjadi bagian dari pendidikan malah mengambil peran lebih dominan.

Jika kemudian tamatan sekolah tidak mampu berkarya di masyarakat, merupakan konsekuensi logis dari berkuasanya pengajaran terhadap pendidikan. Seharusnya pendidikan nasional bertugas membimbing insan yang memiliki kepandaian dan kecakapan yang berguna bukan hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk kepentingan masyarakat.

Melihat gerak langkah pembangunan pendidikan kita dewasa ini, harus diakui bahwa sudah banyak kemajuan yang dicapai. Berbagai prestasi regional dan internasional banyak didapat oleh anak-anak bangsa Indonesia. Tetapi, jika dikaitkan dengan tujuan akhir pendidikan merdeka menuju kemandirian, kita masih harus terus bekerja keras untuk mewujudkannya. .

Tidak sedikit lulusan sekolah yang terpaksa menganggur. Keluar masuk kantor menenteng map berisi lamaran kerja. Mereka tidak mampu menciptakan lapangan pekerjaan. Jangankan lapangan pekerjaan untuk orang lain, untuk dirinya sendiri saja tidak ada kemampuan. Dalam kenyataan, mereka menggantungkan diri kepada “pemerintah”. Tidak mampu bernisiatif dan bekerja tanpa diperintah orang lain.

Kegagalan mendidik insan mandiri nampak jelas dari tidak dimilikinya rasa percaya diri. Bukan hanya setelah lulus para siswa tidak percaya diri. Sejak di bangku sekolah mereka sangat tergantung orang lain. Fenomena menyontek sampai dengan kecurangan-kecurangan lain dalam peneyelanggaraan ujian adalah bukti tidak percaya diri. Hal ini diperparah oleh sikap beberapa oknum pendidik yang tidak responsif menanggulangi kecurangan, tetapi tidak sedikit diantara mereka malah terlibat dalam praktik kecurangan itu.

Lihatlah, betapa sibuknya orangtua murid mengintervensi sekolah anak-anaknya. Antrean panjang di loket Pendaftaran Siswa Baru bukan dijejali oleh para calon murid, tetapi didominasi orangtua murid. Belum lagi keinginan-keinginan setengah memaksakan kehendak orangtua untuk pendidikan anak-anaknya. Dari memilih sekolah, memasukkan sekolah sebelum usianya, memaksa anak harus naik kelas meski kemampuannya belum cukup, dan sebagainya.

Di samping itu, kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan akhir-akhir ini kental nuansa otoritas. Seolah-olah pemerintahlah yang paling tahu dan mampu menyelenggarakan sistem pendidikan nasional. Salah satu akibatnya semua hal tentang pendidikan serba diatur tanpa memberikan peluang otonomi. Penyelenggaraan pendidikan mengarah pada konformitas. Konformitas itulah yang berbahaya, sebab dapat mematikan identitas diri. .

Akhirnya, dalam peringatan hari pendidikan nasional ini, kiranya perlu diingat pesan Ki Hadjar Dewantara “pengaruh pengajaran itu umumnya memerdekakan manusia atas hidup lahir, sedangkan merdekanya batin didapat dari pendidikan.” Dirgahayu Pendidikan Nasional.

Penulis adalah Pamong Tamansiswa tinggal di Yogyakarta

Artikel ini dimuat Kantor Berita Indonesia GEMARI bulan Mei 2010
http://kbi.gemari.or.id/beritadetail.php?id=5655
Etika Berlalulintas
Wednesday, June 16, 2010 10:26 PM
Pembelajaran Etika Berlalulintas
Ki Sugeng Subagya

Kementerian Pendidikan Nasional bersama dengan Kepolisian Republik Indonesia segera merealisasikan  pendidikan berlalulintas dalam pendidikan nasional. Nota kesepahaman tentang hal itu telah ditandatangani Mendiknas dengan Kapolri di Jakarta beberapa waktu lalu.


Latar Belakang
Perilaku berlalulintas masyarakat kita buruk.  Cara menggunakan jalan dalam berlalulintas adalah cermin dari budaya bangsa. Kesantunan  dalam berlalu lintas yang dilakukan adalah potret kepribadian diri yang sekaligus menggambarkan budaya bangsa. Kalau buruk cara kita berlalulintas maka buruklah kepribadian kita dan secara kolektif keburukan ini menggambarkan buruknya budaya bangsa.

Salah satu indikator buruknya perilaku berlalulintas adalah tingginya pelanggaran terhadap norma-norma berlalulintas yang ditunjukkan oleh perilaku berlalu lintas yang tidak aman dan mengabaikan sopan santun menggunakan jalan raya. Sebagai akibat lanjutannya, angka korban kecelakaan lalulintas dari tahun ketahun meningkat seiring dengan tingginya angka kecelakaan lalu lintas itu sendiri.

Menurut Kapolri, pada tahun 2007 terdapat 20.000 orang korban kecelakaan lalulintas. Angka itu naik menjadi 20.188 orang pada tahun 2008. Tahun 2009, lebih tinggi lagi angkanya, mendekati 21.000 orang. Lima persen dari jumlah korban kecelakaan lalu lintas adalah pelajar dan mahasiswa.

Untuk itu pendidikan berlalulintas perlu diberikan kepada para pelajar, terutama tentang etika berlalulintas. Hal ini tidak semata untuk mengurangi angka korban kecelakaan semata, tetapi yang lebih penting adalah membangun karakter peserta didik.

Strategi Pembelajaran
Di negara yang menganut azas tertib berbangsa dan bernegara, cara berlalulintas yang baik dan benar diajarkan di sekolah sejak dini. Pendidikan berlalu lintas adalah proses untuk melatih diri menghargai hak-hak orang lain, dan etika pergaulan memanfaatkan fasilitas publik yang baik.

Kalau sejak kecil sudah tidak menghargai hak-hak orang lain, dan tidak berpegang pada etika dalam memperlakukan orang lain, maka bukan tidak mungkin akan menimbulkan perilaku yang biasa mengambil hak-hak orang lain atau korup kelak kemudian hari.

Meskipun anak-anak usia dini belum tahu bahaya di jalan raya. Tetapi paling tidak, ia faham betapa sakitnya terjatuh di jalan.  Lebih dari itu,   menanamkan tingkah laku tertib di jalan, sekaligus menanamkan nilai tenggang rasa. Tidak hanya demi keselamatan pribadi tetapi juga orang lain.

Memberi pengetahuan tentang etika berlalu lintas sudah baik, tetapi belum cukup untuk membenahi perilaku buruk berlalu lintas. Oleh karena itu wujud pendidikan etika berlalu lintas harus diperjelas. Implementasinya  bukan hanya pada ranah kognitif saja, melainkan harus berdampak positif terhadap ranah afektif dan psikomotorik yang berupa sikap dan perilaku peserta didik dalam kehidupan sehari-hari.

Ada baiknya, pembelajaran etika berlalulintas dirujukkan kepada hakikat belajar. Menurut Ki Hadjar Dewantara, hakikat belajar sebagai proses adalah niteni, nirokke, dan nambahi. Sedangkan hakikat belajar sebagai hasil adalah ngerti, ngrasa, dan nglakoni.  Untuk itu diperlukan figur teladan yang tidak hanya dapat memberi contoh, tetapi lebih dari itu harus dapat menjadi contoh. Menjadi contoh menuntut konsekuensi yang lebih berat daripada sekadar memberi contoh. Oleh karena itu, peran orangtua, guru, pemimpin formal dan non-formal dituntut menjadi teladan dalam perilaku berlalulintas.

Sesungguhnya, pembelajaran etika berlalulintas adalah bagian dari pendidikan watak. Pendidikan watak, kerangka besarnya adalah membangun karakter. Dengan demikian pembelajaran etika berlalulintas harus berbasis pendidikan karakter.

Di antara banyak pendekatan pendidikan berbasis karakter, setidaknya dapat dipilih dua macam strategi pembelajaran. Pertama, pengintegrasian dalam kegiatan sehari-hari, yang dilakukan melalui keteladanan, kegiatan spontan, pengondisian lingkungan, dan kegiatan rutin. Dengan demikian materi pembelajarannya tidak harus diintegralkan dalam matepalejaran dan/atau dituang dalam matepelajaran tersendiri. Nilai-nilai etika berlalulintas ditanamkan menyatu dengan aktifitas peserta didik sehari-hari.

Kedua, pengintegrasian dalam kegiatan yang diprogramkan. Hal ini dilakukan oleh guru manakala guru menganggap perlu memberikan pengetahuan prinsip-prinsip etika berlalu lintas. Dalam hal ini meteri pelajaran dapat disisipkan pada berbagai matapelajaran yang sudah ada.

Keduanya terdapat kelebihan dan kelemahannya. Salah satu kelemahan jika diintegrasikan pada matapelajaran yang sudah ada yang sudah sangat sarat muatan, bukan tidak mungkin pembelajaran etika berlalulintas akan menambah beban belajar peserta didik dan kesulitan guru dalam mengimplementasi pembelajaran. Jika hal itu yang terjadi, bukan hanya pembelajaran etika berlalulintasnya yang gagal, tetapi proses pembelajaran justeru tidak efekif karena tidak fokus.

Perlu direnungkan, sebagai bagian dari upaya membangun karakter, pendidikan berlalulintas seharusnya tidak hanya transfer of knowledge, tetapi lebih dari itu harus didominasi oleh transfer of values. Oleh larena itu pendidikan berlalulintas ditekankan dalam upaya membangun karakter dan budaya berlalulintas.-

Artikel ini dimuat Majalah GEMARI Edisi Bulan Mei 2010
http://www.gemari.or.id/artikel/file/edisi112/gemari11232.pdf
Adiluhung
Wednesday, June 16, 2010 2:42 AM
 

 Serat Trilaksita, wiji lan panggulawenthah
 

Dening : Ki Sugeng Subagya
 


 



Senadyan mboten kondhang kados dene Ranggawarsita, Jasadipura, punapa dene pujangga-pujangga sanesipun, duk ing uni, Kraton Surakarta gadhah abdi dalem ingkang ugi baut nyerat. Inggih punika Mas Ngabehi Mangunwijaya.  Ing taun 1916, penjenenganipun nganggit serat ”Trilaksita” ingkang dipun terbitaken dening Volkslectuur, Weltevreden. Serat punika namung awujud karangan fiksi ingkang mboten wonten kedadosan yektinipun, semantena ngemot piwulang luhur tumraping bebrayan utaminipun panggulawenthah wulang wuruk.



 


 

Dipun cariyosaken ing serat punika, kawontenaning gesang saha panggesanganipun paraga tiga ingkang nama Raden Hardaka, Jaka Madyana, saha Jaka Mulyana. Tetiga taruna punika makarya ing bebadan peprentahan kabupaten ingkang sami. Semantena gesang saha panggesanganipun mboten sami ing antawisipun setungal lan setunggalipun. Sedaya wau kedadosan karana sanguning gesang ingkang benten saha watak wantu budi pekerti ingkang mboten tuwuh nalika ginulawenthah. Wusana,  paraga ingkang setunggal kejeblos ing comberan kanisthan, paraga ingkang angka kalih  gesang limrah sakmadya, lan paraga ingkang pungkasan  saged mancik ing tataran kautaman gesang.



 


 

Kacariyos Raden Hardaka, pinangka paraga sepisan, putranipun Raden Tumenggung Setianegara, sanget dipun ugung dening ramanipun ingkang anjawat bupati. Gesang sarwa sarwi sekeca, sedaya ingkang dipun kersakaken tansah wonten. Pungkasanipun dados lare ingkang keset sinau saha patrapipun klelat-klelet njuwarehi. Ugungan ndadosaken patrapipun Raden Hardaka deksura, kumingsun, saha ugal-ugalan.



 


 

Sak surutipun ingkang rama, kalenggahan bupati dipun asta raka pembayunipun.  Sewaunipun Raden Hardaka ndherek ingkang raka. Amit saking raos pekewuh, Raden Hardaka sedya misah saking ingkang raka, suwita dhateng ingkang paman  ingkang ugi anjawat bupati, asma Raden Tumenggung Kartipradja.



 


 

Paraga ingkang angka kalih inggih Jaka Madyana. Wiranem saking padesan anakipun setunggaling guru ngaji. Sareng sampun ngancik yusma kalih windu, ndherek bapa pamanipun ingkang anjawat wedana, asma Gunasaraya. Sedyanipun Gunasaraya, tembe Jaka Madyana dipun dherekaken magang supados dados priyayi. Sedya wau saged kasembadan karana piyambakipun ginulang ing kawruh tata kaprajan lan pepentrahan. Emanipun, Jaka Madyana sok kalimput, kekudhung dhumateng kalenggahanipun wedana Gunasaraya. Kejawi punika karemenanipun tetanen saha nyinau ngelmu agami mboten saged dipun uwalaken saking gesang padintenanipun.



 


 

Paraga ingkang angka tiga inggih Jaka Mulyana. Wiranem punika senadyan dedunung ing padesan ananging temenipun putra satunggaling bupati saking garwa selir. Wiwit timur,  gesang saha panggesanganipun lumampah kanthi prihatos. Adrenging manah, ing tembe sedya gesang ingkang langkung sekeca. Pambudidaya nggegulang ngelmu katuranggan lan kawaskithan dipun sengkut. Sinengkuyung dening ingkang ibu, pangertosan saha kawegiganipun langkung pinunjul tinimbang lare-lare sanes ingkang sami yuswanipun. Seni tari, tembang, sastra Jawa, basa Melayu, basa Walandi, lan nabuh gangsa dipun pratitisaken. Kepara kedah lumampah tebih saking papan dunungipun namung sedya tumut kursus. Serat-serat ajipamasa, panitisastra, panitisruti, wulang reh, sana sunu, lan wedharaga dipun sinau saestu.



 


 

Ringkesing cariyos, tetiga wiranem kalawau saksampunipun ngancik yuswa diwasa sedya suwita dhateng Bupati Kartipradja.  Pasuwitanipun tinampi. Tetiga dados magang.



 


   

Bidhalipun wiranem tetiga saking papan dunungipun piyambak-piyambak tumuju ing kabupaten, dipun sangoni wejangan dening tiyang sepuhipun. Raden Hardaka dipun wejang dening ingkang raka. Jaka Madyana dipun wejang dening ingkang paman. Jaka Minulya dipun wejang dening ingkang ibu.
 


 

Mesthi kemawon isi lan cara mejangipun ing antawis setunggal lan setunggalipun mboten sami. Namung wos ingkang dipun wejangaken wonten emperipun. Umpaminipun, tiyang ingkang suwita ing peprentahan sampun ngantos gadhah penganggep bilih piyambakipun pinangka priyagung, senadyan suwitanipun dhateng sedherek piyambak. Kejawi punika, suwita mekaten kedah dipun tegesi ngawula ingkang kumawula. Sikep kumawula linambaran dening guna, sarana, sekti, wani, lan miturut. Patrapiun linambaran taberi, setiti, ngati-ati, sregep, temen, lan tumemen.



 


   


   

Patrap ingkang kedah dipun awisi dening tiyang ingkang suwita inggih punika, nistha, dustha, culika, dora, drengki, srengkara, lan candhala. Kejawi punika kedah ugi ngawisi kebluk, lebuh, blubuh, kethuh, bariwah, wuru, ulah mbandrek, lan anjejamah. Nilaraken  madat, minum, main, madon, lan maling saestu pakarti ingkang sakalangkung minulya.



Wangsul dhateng lajering cariyos serat Trilaksana. Gancaring cariyos, anggenipun sami magang sampun purna. Pramila lajeng katetepaken dados abdi dalem ing kabupaten kartipradjan.



 


 

Jaka Mulyana, karana sangu kawegigan, kesagedan, lan bontos ing kawruh, pramila laju inggahing pangkatipun lumintir. Kawiwitan dados mantri, lajeng asisten wedana, wedana, patih, ngantos dados bupati.



 


 

Wondene Raden Hardaka lan Jaka Madyana ugi minggah pangkatipun ngantos asisten wedana. Parandene, karana raden Hardaka gesang lan panggesanganipun ingkang ugal-ugalan, patrapipun kumingsun, deksura, lan nglampahi main, madat, minum, madon, lan maling, wusana kalenggahan asisten wedana kapocot.



 


 

Jaka Madyana, ingkang wiwit sekawit estu nggegulang ing babagan tetanen lan ngelmu agami, pramila lajeng rumaos mboten trep ngasta ing peprentahan. Wusana lajeng nyuwun lereh saking asisten wedana, wangsul dhateng ndhusun oleh tetanen lan mucal ngaji.



 


 

Kautaman ingkang saged dipun pethik saking cariyos serat Trilaksita, bilih tiyang punika minulya gesang lan panggesanganipun karana patrapipun. Tiyang padhe kajen keringan menawi patrapipun sae saha luhur budipekertinipun. Patrap lan luhuring budi gumantung dhumateng kalih prekawis, inggih punika wiji saha panggulawenthah.



 


 

Miterat Ki Hadjar Dewantara, wiji sinebat pinangka “dhasar”, wondene panggulawenthah sinebat pinangka “ajar”. Kekalihipun mboten ngawisi setunggal lan setunggalipun. Tegesipun “dhasar” mboten langkung wigati tinimbang “ajar”, semanten ugi kasakwangsulipun.  Wijinipun sae, parandene mboten dipun gulawenthah kanthi sae, tangeh lamun badhe sae kedadosanipun. Semanten ugi, panggulawenthah ingkang sae, nanging wijinipun mboten sae, mboten saged dipun pesthekaken badhe sae pungkasanipun. Badhe langkung sampurna bilih “dhasar”-ipun sae, “ajar”-ipun inggih sae.



 


 

Kridha njagi wiji saha panggulawenthah supados tetep sae punika yektinipun kewajiban ingkang kedah dipun sangkul dening tiyang sepuh, guru, punapa dene pngarsaning bebrayan.
 
Pendidikan Karakter
Wednesday, June 16, 2010 2:11 AM
 

Esensi Pendidikan Karakter
 

Ki Sugeng Subagya
 


 



Pendidikan karakter sebagai tema pokok peringatan Hari Pendidikan Nasional 2010 menginspirasi banyak pihak untuk merevitalisasi pendidikan karakter. Pendidikan karakter diangkat sebagai isu utama pembangunan pendidikan nasional dewasa ini. Ini adalah hal yang sangat baik, setidaknya ada kesadaran bahwa disengaja atau tidak, selama ini pendidikan karakter telah terabaikan.



 


 

Merevitalisasi pendidikan karakter tentu bukan pekerjaan mudah. Terlebih ketika perjalanan pendidikan nasional telah sampai pada lintasan yang kental muatan intelektualisme. Bukan bermaksud menafikkan pendidikan intelektual, tetapi ketika intelektualisme  telah mendominasi pendidikan kita, dipastikan aspek kognitiflah pemenangnya, sedang aspek afektif dan psikomotorik tidak kebagian tempat.



 


 

Penting kiranya merevitalisasi pendidikan karakter dikaji dari konsep dasarnya untuk diketahui karakteristiknya.
 


 



Pada awalnya, pendidikan karakter muncul sebagai respon atas ketimpangan pendidikan naturalis dan instrumentalis ala JJ. Rousseau dan John Dewey. Pendidikan naturalis dan instrumentalis dianggap tak mencukupi lagi bagi formasi intelektual dan kultural seorang pribadi. Pendidikan karakter adalah upaya menghidupkan pendidikan ideal-spiritual yang saat itu telah lenyap oleh pendidikan yang intelektualistis. Dimensi pendidikan karakter harus bergerak dari determinasi natural ke pendidikan personal dengan pendekatan psiko-sosial yang humaniter dan integral. Barangkali inilah yang disebut oleh Ki Hadjar Dewantara sebagai pendidikan yang membangun watak melalui proses niteni, nirokke, dan nambahi, untuk ngerti, ngrasa, dan nglakoni.



 


 

Oleh karena itu hakikat pendidikan karakter adalah  pembentukan pribadi yang utuh esensial dalam sikap dan perilaku peserta didik. Karakter menjadi identitas bagi individu dalam kapasitas subyek. Kematangan karakter merupakan manifestasi kualitas pribadi seseorang.



 


 

Untuk mengukur kematangan karakter seseorang, seorang ahli didik bangsa Jerman FW Foerster (1869-1966), mengemukakan empat ciri dasar, ialah (1) setiap tindakan diukur berdasar tataran hirarki nilai, (2) keberanian memegang teguh prinsip dan tidak lari atas resiko, (3) internalisasi nilai-nilai dan norma-norma di luar diri sehingga integral dengan kepribadiannya, dan (4) keteguhan dan kesetiaan dalam memegang teguh cita-cita kebaikan dan  penghormatan atas pilihan yang telah ditetapkan.



 


 

Nilai merupakan pedoman normatif setiap sikap dan tindakan. Keteguhan dalam memegang prinsip menjadikan seseorang “jejeg” dan “kukuh” untuk tidak mudah terombang-ambing oleh keadaan apapun. Internalisasi atas nilai-nilai dan norma-norma memberikan kemampuan menilai dalam pengambilan keputusan tanpa intervensi pihak lain. Sedangkan  keteguhan merupakan daya tahan untuk meyakini apa yang dipandang baik dan komitmen yang kuat untuk keputusan yang telah dipilih.



 


 

Pendidikan di Indonesia yang sedang berlangsung belum dapat dikatakan memiliki karakteristik pendidikan karakter. Dalam tataran praksis, pengajaran belum sampai kepada pembelajaran. Rata-rata para guru sebatas mengajarkan hafalan yang tidak lebih hanya menghasilkan peserta didik yang meng-copy paste pelajaran. Ujian tidak mampu mengeksplorasi pemikiran kritis, argumentatif berbasis logika yang kuat. Apalagi untuk sampai kepada pendidikan sebagai kinerja budaya yang religius dalam kehidupan masyarakat, tentu masih jauh dari harapan.



 


 

Jika revitalisasi pendidikan karakter dilakukan dengan sungguh-sungguh, maka pendidikan berbasis kompetensi yang dikembangkan harus tidak mengesampingkan  kompetensi pribadi dan komptetensi sosial yang religious. Kompetensi IPA, matematika, kimia, fisika, biologi, geografi, teknologi informasi, dan sejenisnya, harus seiring dengan kompetensi karakter dan kompetensi keterampilan.



 


 

Tampaknya, taksonomi Benjamin S. Bloom dengan dimensi cognitive, afektif, dan psikomotorik, dan/atau trisakti jiwa Ki Hadjar Dewantara dengan dimensi daya cipta, rasa, dan karsa, perlu digali kembali sebagai pijakan pendidikan karakter yang memiliki karakteristik pengembangan potensi humanities yang serasi, selaras, dan seimbang.




 


 

Lebih dari itu, meskipun dukungan lingkungan diperlukan dalam pendidikan karakter, namun bukan berarti tanpa dukungan lingkungan, pendidikan karakter harus terabaikan. Logika yang demikian harus dibalik, melalui pendidikan karakter lingkungan harus dipaksa berubah menjadi wahana perwujudan kesalehan pribadi menjadi kesalehan publik. Semoga.-



Catatan :

Artikel ini dimuat Harian Pikiran Rakyat Bandung, Senin 14 Juni 2010

 
 
Pendidikan Ketamansiswaan
Wednesday, June 16, 2010 1:58 AM
REFLEKSI HARI PENDIDIKAN NASIONAL DAN  HARI KEBANGKITAN NASIONAL DI ERA REFORMASI
Meneladani Ki Hadjar Dewantara
Oleh : Ki Sugeng Subagya

Bulan Mei memiliki arti penting bagi sejarah bangsa Indonesia. Bulan Mei dapat kita sebut sebagai bulan perjuangan, pergerakan dan reformasi. Karaena pada bulan Mei bangsa Indonesia memperingati dua peristiwa bersejarah, yang akhirnya membawa  Indonesia sebagai bangsa yang merdeka bangsa yang memiliki martabat. Peristiwa penting yang setiap bulan Mei kita peringati adalah Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada tanggal 2 Mei, karena pada tanggal itulah lahir seorang pejuang besar bernama Ki Hadjar Dewantara.

Masih pada bulan yang sama tepatnya tanggal 20 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Kebangkitan Nasional. karena pada tanggal itulah lahir sebuah organisasi atau perkumpulan yang bernama Budi Utomo. Organisasi ini lahir karena didorong oleh kesadaran yang tinggi dari kaum muda terpelajar yang ingin membebaskan diri dari belenggu penjajah. Walaupun disana sini masih sangat kental akan sifat-sifat kedaerahan, namun kelahiran Budi Utomo menandai babak baru bangkitnya kesadaran nasional.

Tidak hanya pada masa pra-kemerdekaan saja yang menjadikan bulan Mei sebagai bulan perjuangan, pergerakan dan reformasi. Pasca kemerdekaan, bulan Mei juga diisi oleh peristiwa bersejarah lain, yang tak lain dan lagi-lagi melibatkan pemuda di dalamya. Tentu masih sangat jelas dalam ingatan kita, terjadinya tragedi 1998 yang menuntut pemerintahan Orde Baru agar melakukan reformasi total di bidang politik, ekonomi dan hukum.

Dalamrangka menyongsong bulan Mei dan dengan maksud pula untuk memperingati tiga peristiwa bersejarah sekaligus, sehari sebelum bulan April 2010 berakhir, penulis hadir sebagai pembicara dalam sebuah forum sarasehan pemerhati pendidikan dan kebudayaan. Tema besar yang diangkat dalam forum sarasehan itu, ialah Meneladani Ki Hadjar Dewantara dan Menyongsong Kebangkitan Kembali Pendidikan Nasional Dalam Era Revormasi.

Ada baiknya jika, butir-butir sarasehan itu dirangkum dalam tulisan untuk diterbitkan Majalah SISWA yang kita cintai ini. Disamping untuk dipetik manfaatnya, sekaligus menggali mutiara-mutiara pemikiran Ki Hadjar Dewantara untuk diangkat kembali di permukaan. Tidak sedikit mutiara-mutiara pemikiran beliau yang sampai saat ini masih sangat relevan.

Dasar berpijak tulisan ini sesungguhnya merespon pertanyaan seorang peserta sarasehan. “Apa yang dapat diteladani dari Ki Hadjar Dewantara untuk mengatasi berbagai persoalan bangsa sekarang ini ? Misalnya kasus penggelapan pajak, mafia hukum, korupsi, dll. ?”

Pertanyaannya mudah, tetapi susah menjawabnya. Oleh karenanya untuk menjawab pertanyaan yang susah dijawab itu penulis mencoba memulainya dari menempatkan Ki Hadjar Dewantara sebagai sosok teladan, pelopor, dan penyemangat mengatasi persoalan aman. Penulis mencoba membalik ceritera riwayat hidup sebagaimana lazimnya ketika dilahirkan. Tetapi dikisahkan dari penghargaan yang diterima Ki Hadjar Dewantara sesaat setelah beliau wafat.

Satriya Pinandhita
Sesaat setelah Ki Hadjar Dewantara wafat pada tanggal 26 April 1959, penghargaan dari masyarakat sungguh luar biasa. Penghargaan itu berupa pernyataan, sikap, dan perilaku dalam berbagai bentuknya. Tidak hanya perorangan, lembaga, kantor, perusahaan, bahkan sampai dengan negara memberikannya. Satu hal yang sangat berkesan, ialah perwujudan duka cita mendalam dari ratusan ribu pelayat yang memenuhi rumah duka di Muja Muju, kompleks Pendopo Agung Tamansiswa, sepanjang jalan dari Wirogunan sampai Taman Makam Wijayabrata di Celeban. Mereka memberikan penghormatan terakhir dengan iklas tanpa paksa.

Perhatian yang sangat besar dari seluruh lapisan masyarakat terhadap wafatnya Ki Hadjar Dewantara oleh karena jasa-jasa beliau yang sangat besar terhadap bangsa dan negara Republik Indonesia.

Setidaknya,  jasa besar Ki Hadjar Dewantara yang paling menonjol ialah gigih berjuang “memintarkan” rakyat Indonesia, dan sekaligus “mengenyahkan” penjajahan dari tanah Indonesia. Kebesaran jasanya tergambarkan  sebagai   satriya pinandhita.

Sebagai satriya pinandhita, perjuangan Ki Hadjar Dewantara melawan penjajah tidak diaktualisasikan dengan memanggul senjata bertempur di medan perang. Alat perjuangannya adalah kedewasaan berpikirnya berdasar logika dan panduan rasa. Alat yang demikian bukan didapat di pabrik messiu atau di gudang senjata, melainkan dalam wahana pendidikan.

Kesewenang-wenangan penguasa kolonial dalam bentuk pembatasan hak-hak rakyat tiadalah mungkin dilawan dengan senjata berpeluru. Hanya dengan kedewasaan berpikir logis dipandu oleh rasa, maka kesewenang-wenangan itu dapat diruntuhkan. Pemberlakuan Onderwijs Ordonantie 1932 (OO ‘32) sebagai contohnya.

OO ’32 adalah upaya mempersempit gerak langkah sekolah-sekolah partikelir yang saat itu sedang berkembang pesat untuk memintarkan rakyat pribumi. Jika tetap diberlakukan, bukan tidak mungkin upaya mencerdaskan rakyat untuk melawan penjajahan akan gagal. Ki Hadjar Dewantara dan Perguruan Tamansiswa memelopori penentangan terhadap pemberlakukan OO’32 itu. Tentu tidak sendirian, di belakangnya berbaris rapi segenap organisasi kegamaan, kebudayaan dan politik memberikan dukungan.

Dalam pandangan filosofis Ki Mohammad Said Reksohadiprodjo, sifat satriya pinandhita digambarkan sebagai sifat seorang pemimpin utama. Ialah sifat seorang pemimpin yang tidak menyalahgunakan kekuasaan dan wewenangnya. Betapa tinggipun kedudukannya, ia tidak akan menggunakan aji mumpung berbuat menguntungkan diri sendiri, keluarga, dan kelompoknya di atas penderitaan orang lain.

Sebagai satriya, ia adalah pemimpin yang berdiri tegak dalam topangan keadilan sejati. Berlaku adil sekaligus menegakkan keadilan, menegakkan keadilan dengan berlandaskan kebenaran. Itu semua dimaksudkan untuk tertib-damainya kehidupan bersama dan aman-sejahteranya kehidupan masyarakat.

Sebagai pandhita, ia adalah pemimpin yang tidak menggantungkan kebahagiaan hidupnya dari ukuran semat (harta), derajat (tahta atau kedudukan), kramat (kuasa), dan apalagi asma (nama). Ia memelihara gairah hidupnya tanpa ambisius, mengabdi dengan sepi pamrih rame ing gawe, dan memahami bahwa pengabdiannya adalah sesuatu hal yang memang harus dilakukan dengan tanpa mempertimbangkan untuk menjadi hebat, istimewa, terpuji, dah bahkan dikagumi.

Demikianlah Ki Hadjar Dewantara. Beliau adalah sosok yang melebihkan usaha daripada bicara. Menempatkan harga dirinya atas rasa percaya akan kekuatannya sendiri. Sebagai perwira yang berani dan bijaksana, sebagai prajurit yang berani dan setia. Menanggalkan gelar kebangsawanannya, jika ternyata gelarnya itu dirasa dapat menghalanginya berbaur dengan rakyat. Semuanya itu dipersembahkan untuk kepentingan rakyat dengan tidak mengambil keuntungan sedikitpun untuk diri dan keluarganya.

Refleksi
Akhir-akhir ini bangsa Indonesia tampak sedang dalam kekosongan kepercayaan atas tegaknya keadilan berlandaskan kebenaran. Putusan hukum yang seharusnya sebagai intrumen penegakkan keadilan telah dianggap sepi oleh karena landasan kebenarannya telah diingkari. Meskipun rumusan instrumen hukumnya sama, namun jika penafsirannya tidak lagi berlandaskan kebenaran, maka pengambil keputusan sebagai pengadil tidak lagi dapat berlaku satriya pinandhita.  Salah satu contoh mutakhir adalah kerusuhan Koja. Kepentingan bermuatan pamrih telah menenggelamkan keampuhan hukum sebagai instrumen penegak keadilan.

Seorang satriya pinandhita, tidak sama sekali meremehkan kehidupan jasmaniah lahiriah, namun ia juga tidak pula mengejar kekayaan, kekuasaan, kedudukan, dan kemashuran. Kebahagiaannya tidak tergantung kepada orang dan benda, keadaan dan kejadian, namun diukur dari cara menilai atas keadaan yang dihadapi.  Kekayaan bukan diukur dari seberapa banyak yang ia miliki, tetapi diukur dari seberapa besar yang ia bisa berikan secara iklas tanpa pamrih.

Kekuasaan, kedudukan, dan harta kekayaannya akan dilepaskannya daripada harus menjadi pengkhianat bangsa,  integritas pribadinya menjadi korban, dan  harga dirinya jatuh di mata masyarakat. Dalam hal yang demikian ini yang oleh Ki Hadjar Dewantara dirumus sebagai ing ngarsa sung tuladha. Memimpin di depan dengan keteladanan yang bebas dari korupsi, kolusi, nepotisme, dan penyelewengan.

Keteladanan jauh lebih efektif untuk memberantas korupsi daripada tindakan preventif (misalnya : renumerasi) dan represif (misalnya : proses hukum). Tindakan preventif dan represif semacam itu tanpa keteladanan dari para pemimpinnya, maka tidak lebih hanya akan menjadi lelucon belaka.
Ujian Nasional
Wednesday, June 16, 2010 1:42 AM
 Kelulusan vs Kejujuran
 

Oleh : Ki Sugeng Subagya
 


 

Setelah hasil UN diumumkan, diketahui kelulusan UN di DIY turun drastis. SMA/MA dan MA/MAK dari 93.30 persen pada tahun 2008/2009 menjadi 76.30 persen di tahun 2009/2010. Tingkat SMP/MTs dari 93.46 persen pada tahun 2008/2009 menjadi 78.01 persen di tahun 2009/2010. Banyak pihak curiga hasil buruk karena jujur. 
 


 





Tidak bijak menyikapi hasil UN yang demikian dengan cara yang berlebihan. Tetapi juga tidak keliru kiranya jika banyak pihak merasa jengah dan kemudian mengutarakan kekagetannya dengan mengajukan pertanyaan, sudah seburuk itukah pendidikan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang konon menyandang predikat daerah tujuan pendidikan terkemuka ?
 


 

Jika hasil UN dianggap menggambarkan kualitas pendidikan yang sesungguhnya, maka sepantasnya seluruh stackholder pendidikan di DIY melakukan introspeksi dan evaluasi diri.
 


 



Jika hasil UN dianggap tidak menggambarkan kualitas pendidikan yang sesungguhnya, lalu apa yang terjadi dengan penyelenggaraan UN yang selama ini masih menjadi bahan perdebatan panjang itu ? Banyak kecurigaan muncul, setidaknya faktor kejujuran yang selama ini selalu meningkat untuk Provinsi DIY telah menjadi bumerang.
 


 

Dalam teori pendidikan sistematis, kualitas out-put pendidikan akan sangat tergantung kepada kualitas in-put dan proses. Jika komponen in-put dan proses pendidikan di DIY dirasakan telah berfungsi optimal,  maka hasil yang buruk tentu disebabkan oleh faktor lain.




 


 

Menurut Menteri Pendidikan Nasional,  diduga turunnya hasil UN diduga oleh karena semakin ditekannya kecurangan penyelenggaraan UN. Data pada Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional menunjukkan bahwa  tingkat kejujuran penyelenggaraan UN di DIY paling baik. Maka berdasarkan dua hal tersebut dapat diasumsikan, tingginya tingkat kejujuran penyelenggaraan UN berbanding terbalik dengan persentase kelulusan.  Jika asumsi ini benar, maka DIY seharusnya tetap berbangga hati. Bukankah kejujuran adalah ruh pendidikan yang paling esensial ?



 


 

Dengan tidak bermaksud menuding pihak lain melakukan kecurangan, perlu dikaji apakah daerah-daerah yang tingkat kelulusannya tinggi berbanding lurus dengan tingkat kejujuran penyelenggaraannya. Jika benar, maka terbantahkan asumsi yang menyatakan rendahnya hasil UN karena tingginya tingkat kejujuran.  Dan untuk itu, mereka yang berhasil mencapai angka kelulusan yang tinggi patut diberikan apresiasi. Tetapi jika tidak,  ini semua adalah “musibah” bagi DIY,  amenangi jaman edan, uwong jujur malah ajur mumur.
 


   

Bukan yang Pertama

“Jeblok”nya hasil UN di Daerah Istimewa Yogyakarta sesungguhnya bukan untuk yang pertama. Berdasar catatan penulis, pada tahun 2004/2005 hasil UN di DIY pernah mencatat kelulusan hanya 77.40 persen untuk SMA/MA, MA/MAK dan 86.47 untuk SMP/MTs pada tahun 2005/2006. Meskipun rendah, masih sedikit lebih tinggi daripada tahun 2009/2010 ini.



 


 

Ada perbedaan fenomena antara kelulusan tahun 2004/2005 dan 2005/2006 dengan 2009/2010.  Salah satu diantaranya adalah persebaran siswa tidak lulus. Pada tahun 2004/2005 dan 2005/2006 jumlah peserta tidak lulus didominasi oleh sekolah-sekolah swasta dan sekolah negeri pinggiran. Sedangkan sekolah-sekolah negeri dalam kota dan sekolah-sekolah negeri favorit lainnya rata-rata meluluskan siswanya 100 persen. Pada tahun 2009/2010 ini siswa yang tidak lulus merata hampir di setiap sekolah baik negeri maupun swasta. Tidak terkecuali sekolah berstatus RSBI sekalipun  ada siswanya yang tidak lulus UN. Perbedaan fenomena ini perlu mendapat kajian lebih mendalam untuk diketahui sebab musababnya.



 


 

Upaya bangkit dari keterpurukan atas hasil UN tahun 2004/2005 dilakukan dengan sangat baik.  Sekolah, bersama dengan pihak terkait saat itu bahu membahu memberikan dorongan dan dukungan persiapan UN. Intensifikasi pembelajaran, menyelenggarakan pembelajaran tambahan dan ujicoba UN adalah bentuk-bentuk upaya yang dilakukan saat itu. Gerakan ,menyusun bank soal dan sistematisasi koreksi hasil ujicoba dengan teknologi scanner adalah contoh upaya strategis. Ada banyak sekolah yang tidak mampu dalam pengadaaan bank soal dan scanner difasilitasi sekolah yang telah memilikinya. Dalam konteks ini sistem syster school dalam arti yang sebenarnya telah terimplementasi dengan baik.



 


 

Mengingat hasil UN tahun ini tidak sesuai harapan, mungkinkah strategi yang pernah dilakukan itu tidak tepat lagi, sehingga perlu dibuat strategi baru ? Itulah pekerjaan besar seluruh pemangku kepentingan pendidikan di DIY saat ini.



 
 


 

Fenomena lain yang juga menarik ialah, mulai bergesernya dominasi perolehan rata-rata nilai hasil UN. Jika biasanya Kota Yogyakarta selalu berada di papan atas, sejak 3 tahun lalu telah digeser oleh Kabupaten Bantul. Lebih mengejutkan lagi pada tingkat SMP/MTs, ternyata Kabupaten Gunungkidul yang biasanya berada pada juru kunci, sejak 2 tahun lalu menyodok ke peringkat ke-3, bahkan pada tahun 2009/2010 ini mampu berada pada posisi ke-2.



 


 

Ada hikmah yang dapat dipetik dari fenomena ini. Dapat diansumsikan bahwa pemerataan kualitas pendidikan, jika hasil UN dianggap sebagai tolok ukur mutu pendidikan, telah terjadi di DIY. Hal ini sangat baik untuk pemetaan, sebab potensi daerah akan dimanfaatkan secara maksimal oleh daerah yang bersangkutan untuk memberikan jaminan mutu pendidikan bagi masyarakat. Hanya, yang perlu diperhatikan, pemerataan mutu pendidikan harus diupayakan sekaligus dengan peningkatan. Pemerataan tidak akan berarti apapun apabila bukan karena peningkatan, melainkan karena pesaingnya mengalami penurunan. Semoga.-
 
Adiluhung
Wednesday, June 16, 2010 1:26 AM
  

Kautaman ing Serat Trilaksita
 

Dening : Ki Sugeng Subagya



 


 

Duk ing uni, senadyan mboten kondhang kados dene Ranggawarsita, Jasadipura, punapa dene pujangga-pujangga sanesipun,  Kraton Surakarta gadhah abdi dalem ingkang ugi wasis nyerat. Inggih punika Mas Ngabehi Mangunwijaya.  Ing taun 1916, penjenenganipun nganggit serat ”Trilaksita” ingkang dipun terbitaken dening Volkslectuur, Weltevreden. Serat punika namung awujud karangan fiksi ingkang mboten wonten kedadosan yektinipun, semantena ngemot piwulang luhur tumraping bebrayan utaminipun panggulawenthah wulang wuruk.



 


 

Dipun cariyosaken ing serat punika, kawontenaning gesang saha panggesanganipun paraga tiga ingkang nama Raden Hardaka, Jaka Madyana, saha Jaka Mulyana. Tetiga taruna punika makarya ing bebadan peprentahan kabupaten ingkang sami. Semantena gesang saha panggesanganipun mboten sami ing antawisipun setungal lan setunggalipun. Sedaya wau kedadosan karana sanguning gesang ingkang benten saha watak wantu budi pekerti ingkang mboten tuwuh. Wusana,  paraga ingkang setunggal kejeblos ing comberan kanisthan, paraga ingkang angka kalih  gesang limrah sakmadya, lan paraga ingkang pungkasan  saged mancik ing tataran kautaman gesang saha panggesanganipun.



 


 

Kacariyos Raden Hardaka, pinangka paraga sepisan, putranipun Raden Tumenggung Setianegara, sanget dipun ugung dening ramanipun ingkang anjawat bupati. Gesang sarwa sarwi sekeca, ingkang dipun kersakaken tansah wonten, mahani dados lare ingkang keset sinau saha patrapipun klelat-klelet njuwarehi. Ugungan ndadosaken patrapipun Raden Hardaka deksura, kumingsun, saha ugal-ugalan. Sak surutipun ingkang rama, kalenggahan bupati dipun asta raka pembayunipun.  Sewaunipun Raden Hardaka ndherek ingkang raka. Amit saking raos pekewuh, Raden Hardaka sedya misah saking ingkang raka, suwita dhateng ingkang paman  ingkang ugi anjawat bupati, asma Raden Tumenggung Kartipradja.



 


 

Paraga ingkang angka kalih inggih Jaka Madyana. Wiranem saking padesan anakipun setunggaling guru ngaji. Sareng sampun ngancik yusma kalih windu, ndherek bapa pamanipun ingkang anjawat wedana, asma Gunasaraya. Sedyanipun Gunasaraya, tembe Jaka Madyana dipun dherekaken magang supados dados priyayi. Sedya wau saged kasembadan karana ingkang piyambakipun ginulang ing kawruh tata kaprajan lan pepentrahan. Emanipun, Jaka Madyana sok kalimput, kekudhung dhumateng kalenggahanipun wedana Gunasaraya. Kejawi punika karemenanipun tetanen saha nyinau ngelmu agami mboten saged dipun uwalaken.



 


  

Paraga ingkang angka tiga inggih Jaka Mulyana. Wiranem punika senadyan dedunung ing padesan ananging temenipun putra satunggaling bupati saking garwa selir. Wiwit timur,  gesang saha panggesanganipun lumampah kanthi prihatos. Adrenging manah, ing tembe sedya gesang ingkang langkung sekeca. Pambudidaya nggegulang ngelmu katuranggan lan kawaskithan dipun sengkut. Sinengkuyung dening ingkang ibu, pangertosan saha kawegiganipun langkung pinunjul tinimbang lare-lare sanes ingkang sami yuswanipun. Seni tari, tembang, sastra Jawa, basa Melayu, basa Walandi, lan nabuh gangsa dipun pratitisaken. Kepara lumampah tebih saking papan dunungipun namung sedya tumut kursus. Serat-serat ajipamasa, panitisastra, panitisruti, wulang reh, sana sunu, lan wedharaga dipun sinau saestu.



 


 

Ringkesing cariyos, tetiga wiranem kalawau saksampunipun ngancik yuswa diwasa sedya suwita dhateng Bupati Kartipradja. Tinampi pasuwitanipun pinurwakan dados magang.



 


 

Wejangan
 

Bidhalipun wiranem tetiga saking papan dunungipun piyambak-piyambak tumuju ing kabupaten, dipun sangoni wejangan dening tiyang sepuhipun. Raden Hardaka dipun wejang dening ingkang raka. Jaka Madyana dipun wejang dening ingkang paman. Jaka Minulya dipun wejang dening ingkang ibu.
 


 

Mesthi kemawon isi lan cara mejangipun ing antawis setunggal lan setunggalipun mboten sami. Namung wos ingkang dipun wejangaken wonten emperipun. Umpaminipun, tiyang ingkang suwita ing peprentahan sampun ngantos gadhah penganggep bilih piyambakipun pinangka priyagung, senadyan suwitanipun dhateng sedherek piyambak. Kejawi punika, suwita mekaten kedah dipun tegesi ngawula ingkang kumawula. Sikep kumawula linambaran dening guna, sarana, sekti, wani, lan miturut. Patrapiun linambaran taberi, setiti, ngati-ati, sregep, temen, lan tumemen.
 


 

Patrap ingkang kedah dipun awisi dening tiyang ingkang suwita inggih punika, nistha, dustha, culika, dora, drengki, srengkara, lan candhala. Kejawi punika kedah ugi ngawisi kebluk, lebuh, blubuh, kethuh, bariwah, wuru, ulah mbandrek, lan anjejamah. Nilaraken  madat, minum, main, madon, lan maling saestu pakarti ingkang sakalangkung minulya.



 


 

Kautaman
 

Wangsul dhateng lajering cariyos serat Trilaksana. Gancaring cariyos, anggenipun sami magang sampun purna. Pramila lajeng katetepaken dados abdi dalem ing kabupaten kartipradjan.



 


 

Jaka Mulyana, karana sangu kawegigan, kesagedan, lan bontos ing kawruh, pramila laju inggahing pangkatipun lumintir. Kawiwitan dados mantri, lajeng asisten wedana, wedana, patih, ngantos dados bupati.
 


 

Wondene Raden Hardaka lan Jaka Madyana ugi minggah pangkatipun ngantos asisten wedana. Parandene, karana raden Hardaka gesang lan panggesanganipun ingkang ugal-ugalan, patrapipun kumingsun, deksura, lan nglampahi main, madat, minum, madon, lan maling, wusana kalenggahan asisten wedana kapocot.
 


 

Jaka Madyana, ingkang wiwit sekawit estu nggegulang ing babagan tetanen lan ngelmu agami, pramila lajeng rumaos mboten trep ngasta ing peprentahan. Wusana lajeng nyuwun lereh saking asisten wedana, wangsul dhateng ndhusun oleh tetanen lan mucal ngaji.



  


 

Kautaman ingkang saged dipun pethik saking cariyos serat Trilaksita, bilih tiyang punika minulya gesang lan panggesanganipun karana patrapipun. Tiyang padhe kajen keringan menawi patrapipun sae saha luhur budipekertinipun. Patrap lan luhuring budi gumantung dhumateng kalih prekawis, inggih punika “dhasar” utami wiji, lan “ajar” utawi panggulawenthah. Kekalihipun mboten ngawisi setunggal lan setunggalipun. Tegesipun “dhasar” mboten langkung wigati tinimbang “ajar”, semanten ugi kasakwangsulipun.  Wijinipun sae, parandene mboten dipun gulawenthah kanthi sae, tangeh lamun badhe sae kedadosanipun. Semanten ugi, panggulawenthah ingkang sae, nanging wijinipun mboten sae, mboten saged dipun pesthekaken badhe sae pungkasanipun. Sumangga.
   
Pendidikan Ketamansiswaan
Wednesday, June 16, 2010 1:10 AM
PENDIDIKAN BERBASIS PROSES :
Albert Einstein dan Ki Hadjar Dewantara

Oleh : Ki Sugeng Subagya

Apa  persamaan antara Albert Einstein dan Ki Hadjar Dewantara ? Pertanyaan itu disampaikan oleh seorang akademisi bergelar Ph.D lulusan USA kepada penulis dalam sebuah forum diskusi terbatas sesaat setelah UN SMP tahun 2010 berakhir beberapa hari lalu.

Untuk menjawab pertanyaan itu, penulis agak kesulitan. Tentang Ki Hadjar Dewantara, penulis sedikit banyak tahu riwayat hidup dan kiprahnya dari membaca berbagai sumber dan informasi dari para sesepuh Tamansiswa. Nah, tentang Albert Einstein yang ilmuwan IPA hebat itu ? Penulis hanya tahu bahwa ia penemu Teori Relativitas dari pelajaran IPA ketika di SMP dulu. Atas keterbatasan pengetahuan itu, penulis mencoba berpikir keras (dalam Bahasa Jawanya ngulir budi). Berhasilkah menemukan jawaban ? Tidak.

Awal bulan April 2010, bertepatan dengan libur Paskah, secara tidak sengaja, penulis bertemu kembali dengan akademisi itu. Meskipun dengan nada yang lebih ringan, ditanyakan kembali apa persamaan Ki Hadjar Dewantara dan Albert Einstein. Kalimat pertanyaannya begini : “Mas, nggak usahlah ngaku jadi orang Tamansiswa jika belum mampu menjawab pertanyaan saya yang tempo hari itu ? Untuk membantu Mas Sugeng menemukan jawabannya, nih tak kasih tulisan tentang riwayat hidup Einstein dan pandangannya terhadap pendidikan.”

Didorong oleh kesungguhan untuk menemukan jawaban, penulis dalam waktu tidak lebih dari 2 kali 45 menit telah dapat membaca keseluruhan teks yang diberikan dan tentu isinya telah difahami. Dari situlah, penulis tahu bahwa Albert Einstein lahir di Ulm, Jerman pada tanggal 14 Maret 1879. Di kala muda tidak termasuk anak pintar, bahkan cenderung agak lambat dalam memahami matapelajaran Matematika. Tidak salah jika dikategorikan dalam kelompok anak bandel cenderung nakal. Memasuki dunia kerja tidak begitu serius. Di kantor lebih suka lonthang-lanthung bergaya sok intelek.

Keadaannya bagai berputar terbalik 180 derajat ketika menginjak usia dewasa. Bakatnya mulai tampak teraktualisasi. Kecerdasan dan kemampuannya mencuat seiring dengan kegemarannya merenung filsafat dan berpikir ilmiah. Dalam waktu yang tidak terlalu lama namanya dikenal luas di kalangan akademis oleh karena karya-karyanya. Tidak mengherankan jika pada tahun 1921, Albert Einstein memperoleh hadiah Nobel dalam bidang Riset.

Dari catatan itu pula penulis tahu, bahwa sesusungguhnya tidak hanya teori relativitas yang dikembangkan Alber Einstein. Ia juga menelaah secara mendalam teori efek fotolistrik, teori kuantum cahaya, mekanika kuntum, dan banyak lagi teori-teori fisika lainnya. Menakjubkan. Ternyata ia juga menulis tentang kebudayaan,  kemanusiaan, seni, dan religi. Tentang kebudayaan, kemanusiaan, seni, dan religi inilah yang membawa Albert Einstein ke dalam suatu pemahaman bahwa hidup itu bersama dengan sesama, baik manusia maupun alam semesta.

Albert Einstein mengembangkan ilmu kimia, terutama energi nuklir. Berkat Einstein, energi nuklir merupakan kekuatan yang sangat dahsyat. Meskipun demikian, kekuatan yang dahsyat itu akan menghancurkan hidup dan kehidupan alam semesta jika tidak dikelola dengan bijak. Oleh karena itu Einstein berada dalam barisan yang paling depan sigap tiada henti-hentinya tak kenal lelah mengecam pemakaian teknologi nuklir dalam  perang. Kedahsyatan energi nuklir tidak pada tempatnya untuk instrumen pembunuh dan penghancuran kehidupan. Energi nuklir justeru akan bermanfaat jika dipergunakan untuk tujuan damai dan kesejahteraan umat manusia.

Meskipun  ia seorang intelektual, tetapi ternyata tidak intelektualistis. Meskipun ia seorang ilmuwan besar dunia, tetapi juga suka membaca puisi dan mengamalkan do’a-do’a. Sikap dan perilakunya selalu rendah hati, jika marah hanya tampak dalam diam. Menegur orang jarang menyakiti, sebab lebih memilih kata-kata sindiran daripada menohok di depan mata. Meja dan kamar kerjanya penuh kertas berserakan, itulah cara mengekspresikan kreatifitas dan inovasinya. Di balik itu semua, sesungguhnya Einstein adalah sosok yang hatinya lembut dan luwes penampilannya.

Karya besar yang monumental ditinggalkan Albert Einstein ketika pada tanggal 18 April 1955 meninggal dunia. Meski ilmuwan besar dunia, ia meninggal tidak di negeri tanah kelahirannya, Jerman. Sebagai akibat kekejaman rezim penguasa Hitler, Albert Einstein terpaksa “hijrah” ke USA.

Satu hal, secara khusus Albert Einstein memandang pendidikan bukan sebagai produk semata. Ia lebih suka jika pendidikan didominasi oleh proses, karena dengan demikian jika prosesnya baik maka hasilnya dapat diharapkan lebih baik.

Pembelajaran sebagai bagian pendidikan tidak bisa dipatok kaku. Terlebih jika orientasinya adalah kebenaran yang tak terbantahkan. Sesungguhnya, kebenaran dalam pendidikan itu dibangun dalam kerangka dialektika keilmuan. Satu kebenaran akan terbantahkan oleh kebenaran yang lainnya. Demikian selanjutnya, sehingga kebenaran yang hakiki itu tidak terletak pada hasil, melainkan pada proses.

Sekolah, bagi Albert Einstein tridak sekadar mekanik penyampai segumpal pengetahuan. Pengetahuan itu barang mati, jika diterima apa adanya, maka akan terus matilah ia. Agar pengetahuan tidak terus mati, maka sekolah harus mampu memekarkan diri peserta didik untuk berpikir dialektis. Manusia yang sedang belajar itu bukan sedang menjalankan fungsinya seperti “baut” yang bertugas mengaitkan dua buah komponen atau lebih. Tetapi ia adalah pribadi. Ia adalah subyek atau pelaku.

Sebagai subyek, secara lahiriah ia berbuat. Secara batiniah, ia merenung, berpikir, menggagas, dan merasakan sesuatu. Itulah sesungguhnya aktifitas subyek yang nampak dalam interpretasi terhadap berbagai soal kehidupan dan masyarakat. Karena itu, dengan alasan apapun, jangan dicabut pribadi-pribadi peserta didik dari akar budayanya.

Secara tegas di tahun 1950, Albert Einstein mewajibkan sekolah harus mampu menghidupkan peserta didik. Oleh sebab pribadi peserta didik tidak dapat diukir oleh kata yang terucap dan didengar, tetapi juga dengan perbuatan. Demikian halnya, cita-cita luhur tidak dapat dicapai hanya dengan ungkapan kata-kata atau tulisan, tetapi berbuat untuk mencapai cita-cita itu lebih realistis.

Ketemu Jawabannya
Nah, dari membaca riwayat hidup dan pandangan Albert Einstein tentang pendidikan di atas, penulis dapat temukan jawaban pertanyaan tentang apa persamaan Albert Einstein dan Ki Hadjar Dewantara. Ialah, pandangannya tentang pendidikan berbasis proses.

Sekadar mengingatkan kita semua, menurut Ki Hadjar Dewantara, hakikat belajar sebagai proses itu adalah niteni, nirokke, dan nambahi. Oleh sebab itu, sekolah tidak boleh mengajarkan pengetahuan semata, tetapi harus membelajarkan siswa untuk mengembangkan dirinya. Guru seharusnya meninggalkan aktifitas mengajar, tetapi tugasnya adalah membelajarkan peserta didik. Peserta didik didorong untuk belajar menemukan sendiri atas hal-hal yang berfaedah bagi hidup dan kehidupannya. Itulah makna hakiki dari statemen Ki Hadjar Dewantara yang mengakatan; “pengaruh pengajaran itu umumnya memerdekakan manusia atas hidup lahir, sedangkan merdekanya batin didapat dari pendidikan”

Entah secara kebetulan atau tidak, ternyata antara Albert Einstein dan Ki Hadjar Dewantara juga memiliki persamaan yang lain. Diantaranya, ialah :
1. Beliau hidup sebagai generasi satu angkatan, kelahirannya hanya terpaut satu dasawarsa. Albert Einstein lahir pada tanggal 14 Maret 1879, sedangkan Ki Hadjar Dewantara lahir pada tanggal 2 Mai 1889.
2. Semasa hidupnya merasa tidak nyaman atas keadaan negerinya sendiri oleh karena kekuasaan pemerintahan yang otoriter. Albert Einstein ditekan oleh kekuasaan Hitler dan kemudian hengkang ke USA, Ki Hadjar Dewantara ditekan oleh kekuasaan kolonial Belanda dan pernah dibuang ke negeri Belanda.
3. Keduanya meninggal pada bulan April. Albert Einstein meninggal pada tanggal 18 April 1955 sedangkan Ki Hadjar Dewantara meninggal pada tanggal 26 April 1959.

Jika pada saat ini, kita sedang membaca Majalah SISWA kesayangan kita ini, sekadar mengingat dan mengenang kembali kedua tokoh besar ini tepat pada bulan meninggalnya, dengan maksud memetik suri tauladannya. Selain itu, tentu mengenang orang besar tidak ada salahnya, terlebih jika kita memiliki kemauan yang keras untuk meneruskan cita-citanya. Semoga.-
Ujian Nasional dan Perencanaan Pendidikan
Thursday, March 25, 2010 3:42 PM









 

Kekuatan atau Ketakutan ?

Oleh : Ki Sugeng Subagya

MOMEN ujian nasional (UN) diakui atau tidak, telah membuat banyak pihak cemas dan khawatir. Tidak hanya siswa peserta UN yang mengalaminya, tetapi juga guru, kepala sekolah, orangtua siswa, birokrat pendidikan, bahkan para pejabat penguasa wilayah. Semua itu bersumber dari apa yang disebut sebagai pemetaan mutu pendidikan yang disalahtafsirkan.
 

Sesungguhnya, pemetaan mutu pendidikan bukanlah hal yang negatif. Ia malah akan membantu pengambil kebijakan menyusun tata kelola pendidikan. Setidaknya, dengan mengetahui peta mutu pendidikan akan tersusun rencana pengembangan pendidikan yang lebih realistis.
 

Salah satu substansi diselenggarakannya UN ialah dalamrangka pemetaan mutu pendidikan. Sayang, konsep pemetaan mutu sebagaimana dimaksud tidak jelas. Akibatnya, pada level bawah, pemetaan difahami tidak lebih sebagai pemeringkatan. Sekolah A berada pada peringkat sekian di tingkat kabupaten/kota, dan sekian di tingkat provinsi serta sekian di tingkat nasional, berdasarkan rata-rata nilai UN yang diperoleh para siswamya. Pada umumnya, pemeringkatan itu dimaknai sebagai sebuah pengumuman. Untuk apa dan bagaimana tindak lanjutnya hampir tidak pernah difahami.
 

Celakanya, pengumuman yang demikian itu pada gilirannya tidak berdampak positif. Karena malu dan gengsinya bisa turun jika sekolah atau daerahnya berada pada peringkat rendah, maka segala daya upaya ditempuh. Guru, Kepala Sekolah, Dinas Pendidikkan, dan Penguasa Wilayah,  akan melakukan tindakan apa pun agar sekolah atau daerahnya tidak berada pada peringkat papan bawah. Jika tindakan itu terpuji, tidak menjadi masalah dan itu hal yang baik dan patut diapresiasi. Sebaliknya jika tindakannya tidak terpuji, moral pendidikan akan menjadi taruhannya.
 

Guru mencari dan mengembangkan sebanyak-banyak trik dan taktik terbaik untuk menyiasati dalam menjawab soal UN. Orang tua pontang-panting memberikan ruang dan waktu kepada putra-putrinya untuk ikut bimbingan belajar dengan biaya yang tidak murah. Siswa dengan segala keunggulan dan sekaligus keterbatasannya dipaksa dirinya berhadapan dengan tingginya atmosfer persaingan. Pejabat pun tak kalah sibuk berkoordinasi dan mengeluarkan sejumlah kebijakan agar lembaga dan daerahnya bisa terangkat citranya lewat hasil UN. Pendek kata, UN telah menciptakan situasi yang memaksa para pemangku kepentinganpendidikan beradu strategi untuk mendapatkan hasil terbaik.
 

Tampaknya, inilah salah satu sebab UN dari tahun ke tahun selalu diwarnai kecurangan. Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pendidikan Nasional membuktikan hal itu. Sebagai illustrasi, tingkat kejujuran penyelenggaraan UN dapat dikategorikan dalam wilayah hitam dan putih. Wilayah  putih untuk menggambarkan tingkat kejujuran yang tinggi, dan wilayah hitam untuk menggambarkan tingkat kejujuran yang rendah. Sedangkan diantara kedua wilayah ada yang abu-abu, untuk menggambarkan ambivalensi antara jujur dan tidak jujur. Secara nasional baru sekitar 50 persen sekolah berada di wilayah putih, 20 persen di wilayah hitam, dan sisanya (kurang lebih 30 persen) berada dalam wilayah abu-abu.
 

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan Provinsi dengan peringkat kejujuran terbaik secara nasional. Sekitar 65 sampai 75 persen menempati wilayah putih, dan hanya 5 persen yang berada di wilayah hitam. Ini berarti ada sekitar 20 sampai 30 persen yang berada di wilayah abu-abu. Dengan kondisi yang seperti ini dipastikan tingkat kejujuran penyelenggaraan UN di provinsi lain lebih rendah persentasenya. 
 

Pemetaan mutu pendidikan yang tidak sekadar pemeringkatan jauh lebih bermakna. Dengan pemetaan yang berbasis kejujuran maka akan dikenali kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangan bagi suatu lembaga, utamanya satuan pendidikan. Tanpa kejujuran kekuatan, kelemahan, peluang, dan hambatan yang teridentifikasi dari sebuah lembaga malah menyesatkan. Dengan demikian teknik analisis SWOT yang disarankan Albert Humphrey, untuk mengimplementasi metode perencanaan strategis tidak dapat digunakan. Tanpa kejujuran, ternyata UN tidak mampu menunjukkan potensi kekuatan, tetapi malah menimbulkan ketakutan.
 
 

Untuk itu marilah kita renungkan, bisakah perencanaan pendidikan dianalisis potensinya hanya dari kepura-puraan. Jika ini yang terjadi sampai kapanpun niscaya kualitas pendidikan kita tidak akan pernah baik sebagaimana yang kita harapkan. Tanpa didasari kejujuran, UN tidak akan ada gunanya. Hal itu berarti kita telah menghambur-hamburkan banyak sekali sumberdaya dan sumber dana. Mubazir !!
 


 
 

Ki Sugeng Subagya,

Pamong Tamansiswa, Pemerhati Pendidikan dan Kebudayaan
 




Pendidikan Ketamansiswaan
Monday, March 22, 2010 2:13 PM
Hakikat Belajar :

Ngerti, Ngrasa, dan Nglakoni

oleh : Ki Sugeng Subagya

 


 

Apa yang diperoleh seseorang setelah belajar ? Jawaban dari pertanyaan ini pada umumnya, seseorang setelah belajar akan mendapat ilmu dan pengetahuan. Ilmu dan pengetahuan sesungguhnya bukan sesuatu yang dapat dikonkretkan. Bagi sebagaian peserta didik,   bentuk konkret hasil belajar adalah nilai. Misalnya, siswa kelas I Taman Muda (SD) yang mampu menulis angka 0 sampai dengan 9 di buku tulisnya dibubuhkan nilai 10 oleh pamong atau gurunya. Demikian pula seorang siswa Taman Dewasa (SMP) atau Taman Madya (SMA) dan Taman Karya Madya (SMK) mengerjakan ulangan matematika benar semua, maka pamong akan memberikan nilai 100. Demikian halnya seorang mahasiswa yang mampu menjawab soal ujian dari dosennya dengan sempurna, maka akan diberikan nilai A.


Bentuk-bentuk konkret berupa nilai tersebut hanya berlaku jika seseorang belajar di sekolah. Pada hal, sesungguhnya belajar di sekolah hanyalah satu dari tiga pusat belajar. Menurut Ki Hadjar Dewantara belajar dapat berlangsung di tiga lingkungan yang disebut dengan “tri-centra”. Ialah lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, dan lingkungan sekolah. Nilai 10, 100, atau A, pasti tidak akan berlaku jika orang tidak belajar di sekolah. Seorang anak yang perilakunya berubah menjadi semakin sopan, ibadahnya semakin rajin, dan mampu memesona orangtuanya sebagai akibat belajar dari lingkungan keluarga, tentu tidak akan memperoleh nilai 10, 100, atau A.
 


 


Untuk membahas lebih dalam tentang hasil belajar, tepat kiranya jika kita merujuk kembali kepada hakikat belajar. Kita tinggalkan sejenak nilai, rapor, ijazah, dan lain-lain yang kita anggap sebagai hasil belajar selama ini. Sebab itu semua sesungguhnya bukan hasil belajar yang esensial.
 


 


Belajar merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dan berperan penting dalam pembentukan pribadi dan perilaku individu. Kata kunci dari belajar adalah perubahan perilaku.
 


 


Mengapa orang berubah perilakunya ? Ya, ia berubah perilakunya karena memiliki pengetahuan baru yang dihayatinya untuk diamalkan. Nah, perubahan perilaku akibat pengetahuan baru yang dihayatinya kemudian diamalkannya itu oleh Ki Hadjar Dewantara disebut sebagai “ngerti, ngrasa, dan nglakoni”.
 


 


Perubahan perilaku yang terjadi merupakan usaha sadar dan disengaja dari individu yang bersangkutan. Begitu juga dengan hasil-hasilnya, individu yang bersangkutan menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi perubahan, misalnya pengetahuannya semakin bertambah atau keterampilannya semakin meningkat, dibandingkan sebelum dia mengikuti suatu proses belajar. 
 


 


Bertambahnya pengetahuan atau keterampilan yang dimiliki pada dasarnya merupakan kelanjutan dari pengetahuan dan keterampilan yang telah diperoleh sebelumnya. Begitu juga, pengetahuan, sikap dan keterampilan yang telah diperoleh itu, akan menjadi dasar bagi pengembangan pengetahuan, sikap dan keterampilan berikutnya. 
 


 


Setiap perubahan perilaku yang terjadi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup individu yang bersangkutan, baik untuk kepentingan masa sekarang maupun masa mendatang.  Perubahan perilaku yang diperoleh dari proses belajar cenderung menetap dan menjadi bagian yang melekat dalam dirinya. 
 


 


Individu melakukan kegiatan belajar pasti ada tujuan yang ingin dicapai, baik tujuan jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang. Misalnya, seorang siswa belajar matematika, tujuan yang ingin dicapai dalam jangka pendek mungkin dia ingin memperoleh pengetahuan, sikap dan keterampilan tentang matematika yang diwujudkan dalam bentuk memperoleh nilai baik. Sedangkan tujuan jangka panjangnya dia ingin memanfaatkan ilmu matematika yang diperolehnya itu untuk kemudahan hidupnya di kelak kemudian hari. 
 


 


Perubahan perilaku belajar bukan hanya sekedar memperoleh pengetahuan semata (ngerti), tetapi termasuk memperoleh pula perubahan dalam sikap (ngrasa) dan keterampilannya (nglakoni). Misalnya, siswa belajar tentang “sopan santun”, disamping memperoleh informasi atau pengetahuan tentang “sopan santun”, dia juga memperoleh sikap tentang pentingnya seseorang  berperilaku “sopan santun”. Begitu juga, dia memperoleh keterampilan dalam menerapkan “sopan santun” dalam pergaulan.
 


 


Dalam tataran ngerti, perubahan  yang merupakan hasil belajar dapat berbentuk :informasi verbal; yaitu penguasaan informasi dalam bentuk verbal, baik secara tertulis maupun tulisan, misalnya pemberian nama-nama terhadap suatu benda, definisi, konsep dan sebagainya. 
 


   


Dalam tataran ngrasa, diperlukan strategi kognitif sekaligus afektif; ialah kecakapan individu untuk melakukan pengendalian dan pengelolaan keseluruhan aktivitasnya. Dalam konteks proses pembelajaran, strategi kognitif dan afektif yaitu kemampuan mengendalikan ingatan dan cara – cara berfikir agar terjadi aktivitas yang efektif.  
 


Di samping itu,  hasil pembelajaran yang dihayati berupa kecakapan individu untuk memilih macam tindakan yang akan dilakukan. Dengan kata lain. Sikap adalah keadaan dalam diri individu yang akan memberikan kecenderungan bertindak dalam menghadapi suatu obyek atau peristiwa, didalamnya terdapat unsur pemikiran, perasaan yang menyertai pemikiran dan kesiapan untuk bertindak. 
 


 


Dalam tataran nglakoni diperlukan kecakapan motorik; ialah hasil belajar yang berupa kecakapan pergerakan yang dikontrol oleh otot dan fisik. Dalam hal ini akan muncul dalam perilaku yang berupa kebiasaan, keterampinan, pengamatan, berfikir asosiatif, berfikir rasional, sikap, inhibisi, apresiasi, termasuk di dalamnya perilaku afektif.
 


 


Peserta didik belajar bahasa berkali-kali menghindari kecenderungan penggunaan kata atau struktur yang keliru, sehingga akhirnya ia terbiasa dengan penggunaan bahasa secara baik dan benar. Itulah yang disebut sebagai kebiasaan. Sedangkan dalam keterampilan; teraktualisasi dalam sebuah aktifitas fisik. Misalnya; menulis dan berolah raga yang meskipun sifatnya motorik, keterampilan-keterampilan itu memerlukan koordinasi gerak yang teliti dan kesadaran yang tinggi.
 


 


Pengamatan juga merupakan aktifitas nglakoni, ialah proses menerima, menafsirkan, dan memberi arti rangsangan yang masuk melalui indera-indera secara obyektif sehingga peserta didik mampu mencapai pengertian yang benar. Dalam hal ini diperlukan proses berfikir asosiatif; yakni berfikir dengan cara mengasosiasikan sesuatu dengan lainnya dengan menggunakan daya ingat.
 


 


Demikianlah, sesungguhnya dalam tataran nglakoni termasuk pula berfikir rasional dan kritis yakni menggunakan prinsip-prinsip dan dasar-dasar pengertian dalam menjawab pertanyaan kritis seperti “bagaimana” (how) dan “mengapa” (why).


Dengan memahami hakikat belajar sebagai ngerti, ngrasa, dan nglakoni, jika diimplementasikan secara integral maka akan dapat menghidari hal yang mubazir atau inhibisi.  Di samping itu akan dengan mudah peserta didik melakukan apresiasi, ialah menghargai karya-karya bermutu. Jika hal itu yang terjadi maka sempurnalah perilaku afektifnya, misalnya mampu mengidentifikasi  perasaan takut, marah, sedih, gembira, kecewa, senang, benci, was-was, iba, kecewa, dan sebagainya.

Ki Sugeng Subagya,
   

Pamong Ibu Pawiyatan Tamansiswa dan Konsultan Pendidikan
 


 


Cakepan Sekar Macapat
Monday, March 15, 2010 5:52 PM

Cakepan Sekar Pangkur :
“Ngimpi Dadi Ratu”
Karipta dening  Ki Sugeng Subagya

Sinten wonge mboten gela,
Nembe ngimpi jroning tilem hanglilir,
Ing pangimpen dados ratu,
Ratugung binathara,
Sugih bandha sugih bandhu mubra mubru,
Sinuyudan kawula,
Kanan kering para putri,

Emane amung nyumpena,
Mendah eba yen kelakon sayekti,
Dados ratu bathara gung,
Kumbul ing panguwasa,
Tebih tumiyung ingkang  celak tumungkul,
Tanpa ginebag perang,
Gesang mulya pejah mukti,

Dipun tembangaken Ki Ngabdul, Nyi Purwanti, lan Nyi Endah Laras ing Giyaran Pangkur Jenggleng TVRI Yogyakarta, Senin 15 Maret 2010.
Pendidikan Ketamansiswaan
Monday, March 15, 2010 5:38 PM




 

Hakikat Belajar :
  

Niteni, Nirokke, dan Nambahi
   

Oleh : Ki Sugeng Subagya



 


 

Seringkali kita mendengar pertanyaan di sekitar kita. Mengajar apa bu ? Mengajar di mana Pak ? Jawabnya; Ibu mengajar Bahasa Indonesia. Bapak mengajar di SMP Tamansiswa Jakarta.
 


 



Jika dicermati, antara pertanyaan dan jawaban tentang mengajar di atas, konotasinya tugas guru adalah mengajar. Sedangkan siswa diajar. Dalam hal ini berarti guru berkedudukan sebagai subyek, sedang siswa sebagai obyek.
 


 



Sebagai subyek, aktifitas guru lebih dominan dibandingkan siswa. Akibatnya komunikasi dalam pembelajaran kebanyakan terjadi hanya satu arah, ialah dari guru ke siswa.  Guru mengajar, bukan membelajarkan siswa. Materi pelajaran berupa “bahan jadi” yang disiapkan guru, siswa tinggal menerimanya. Pendek kata, dalam pembelajaran guru aktif, sedang siswa pasif.
 


 



Sesungguhnya, belajar itu hakikatnya dapat ditelusur dari dua aspek. Ialah belajar sebagai proses, dan belajar sebagai produk atau hasil. Menurut Ki Hadjar Dewantara, dalam proses belajar siswa harus mengimplementasikan potensi dengan cara “niteni”, “nirokke”, dan “nambahi”. Niteni adalah upaya mencari kejelasan dari suatu peristiwa atau keadaan melalui pengamatan secara jeli dan mendalam. Nirokke adalah aktifitas menirukan dari apa yang dilihat, didengar, dirasakan dalam bentuk contoh atau teladan yang baik. Sedangkan nambahi adalah suatu aktifitas melengkapi melalui inovasi dan kreatifitas sehingga menimbulkan hal-hal yang baru.
 


 



Konsep niteni, nirokke, dan nambahi dalam implementasinya bukan merupakan hal yang dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Satu hal tidak mendahukui hal yang lain. Melainkan ketiganya integral dalam satu aktifitas sehingga menghasilkan pengetahuan dan keterampilan yang utuh.
 


 



Jika cara niteni, nirokke dan nambahi diimplementasikan dalam pembelajaran, maka instruksional dalam pengertian penagajaran harus ditinggalkan dan beralih pada pembelajaran. Artinya guru harus membelajarkan siswa, sehingga siswa sendiri yang harus belajar.
 


 



Dalam pembelajaran, kelas tidak boleh didominasi oleh guru. Siswa harus aktif mempelajari sesuatu bukan atas bahan jadi yang dipersiapkan guru, melainkan mencari sendiri apa yang ingin diketahui dan dikuasainya.
 


 



Bagaimana Penerapannya ?
 

Berikut adalah beberapa hal yang harus ditinggalkan agar pembelajaran kreatif inovatif sebagaimana konsepsi niteni, nirokke, dan nambahi berhasil efektif. Cara-cara pembelajaran berikut ini dilakukan sekarang ini.
 

1.      Jarang sekali guru bertanya yang sifatnya pengembangan kreativitas, soal jarang sekali menggunakan kata mengapa, bagaimana, darimana, selidiki, temukan, atau generalisasikan. Jadi sekolah tak ubahnya seperti tempat pelatihan.
 

2.      Untuk mengikuti pelajaran di sekolah, kebanyakan siswa tidak siap terlebih dulu dengan membaca bahan yang akan dipelajari, siswa datang tanpa bekal pengetahuan. 
 

3.      Siswa dan bahkan guru,  tidak menyadari tujuan belajar yang sebenarnya, tidak mengetahui manfaat belajar bagi masa depannya. Mereka hanya memandang bahwa belajar adalah suatu kewajiban yang dipikul atas perintah orang tua, guru, dan lingkungannya. Belum memandang belajar sebagai suatu kebutuhan.
 

4.      Pelaksanan kegiatan di kelas guru masih melaksanakan proses pengajaran secara klasikal. Istilah klasikal bisa diartikan sebagai secara klasik yang menyatakan bahwa kondisi yang sudah lama terjadi, bisa juga diartikan sebagai bersifat kelas. Jadi pembelajaran klasikal berarti pembelajaran konvensional yang biasa dilakukan di kelas selama ini, yaitu pembelajaran yang memandang siswa berkemampuan tidak berbeda sehingga mereka mendapat pelajaran secara bersama, dengan cara yang sama dalam satu kelas sekaligus. Ibarat murid memakai pakain seragam dengan ukuran yang sama. Model yang digunakan adalah pembelajaran langsung (direct learning). Pembelajaran klasikal tidak berarti jelek, tergantung proses kegiatan yang dilaksanakan, yaitu apakah semua siswa berartisipasi secara aktif terlibat dalam pembelajaran, atau pasif tidak terlibat, atau hanya mendengar, menonton, dan mencatat.  
 

5.      Siswa masih jarang berkesempatan untuk berdiskusi, presentasi, berkreasi, bernalar, berkomunikasi, memecahkan masalah, dan berkolaborasi. Hal ini disebabkan pola yang dipakai masih mengajar bukan membelajarkan siswa. Pola mengajar yang diterapkan oleh guru bisa cocok bagi siswa yang terbiasa pasif, untuk membentuk generasi penerus yang penurut dan menjadi tukang, yaitu orang-orang yang tinggal menunggu tugas dari dunungan (atasan), misalnya tukang sapu dan tukang kuli. Di lain pihak, banyak siswa yang masih belum berani dan terbiasa beraktivitas, kebanyakan masih takut salah untuk bertanya, menjawab, berkomentar, mencoba, atau mengemukakan ide.
 

6.      Mereka masih sangsi apakah keberanian akan melanggar etika hormat kepada guru, karena di lingkungan keluargapun banyak bicara itu bisa dimarahi. Mereka masih takut akan kesalahan karena biasanya akan mendapat teguran atau bentakan, ada rasa tidak aman dalam belajar. Pada pihak guru pun, masih banyak guru yang merasa kurang nyaman jika siswa banyak bicara, merasa kuang senang bila siswa banyak bertanya dan berkomentar, memandang kurang sopan jika siswa banyak bertingkah, dan semacamnya. Apalagi jika siswa berbuat salah (bertanya, menjawab, mengerjakan) biasanya lansung divonis tidak menyenangkan.
 

7.      Masih banyak guru yang belum menyadari bahwa kesalahan adalah bagian yang tak terpisahkan dari belajar, kesalahan sebagai indikasi bahwa siswa berpartisipasi, antusias, perhatian, motivasi, berpikir, mencoba, menggali (eksplorasi), tetapi karena kemampuan dan pemahaman siswa masih kurang dan terbatas maka muncullah kesalahan itu. Guru belum menghargai kesalahan siswa tersebut karena belum bisa membelajarkan siswa dengan suasana nyaman dan menyenangkan.
 


 


 


 


 


 


 
 

 
  
 

·        Ki Sugeng Subagya,
 

Pamong Ibu Pawiyatan Tamansiswa



Artikel ini dimuat Majalah SISWA Nusantara, Edisi Februari 2010.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar