Pandangan Ulama tentang Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW
Affannur Jentrek Rojoimo
Al Hafizh Abu al Khair as Sakhawi mengatakan bahwa peringatan maulid Nabi yang mulia itu tidak dilakukan atau dinukil dari salaf pada masa abad ke 3 Hijriyah, dimulai peringatan maulid tersebut setelah abad ke 3 Hijriyah. Pada acara tersebut diadakan berbagai amal kebajikan, membaca kitab maulid dan menampakkan kegembiraan atas kelahiran Nabi. Sehingga tampaklah keberkahan pada mereka.
Dari kalangan pembesar-pembesar negara, yang mula-mula mengadakan perayaan untuk memperingatinya tercatatlah nama Raja Mudhaffar Abu Sa’id penguasa Irbil, Irak. Demikian menurut pendapat Imam as-Sakhawi.
Menurut keterangan Imam Ibnu al Jauzi, pada upacara ini pujangga terkenal Hafizh Ibnu Dihyah menyusun suatu naskah yang dinamakan dengan At-Tanwir fi Maulidil Basyir an-Nadzir, yang isinya memuat riwayat singkat perjuangan Nabi Muhammad saw. Untuk ini Raja Mudhaffar Abu Sa’id memberinya 1000 dinar. Beliau terkenal seorang yang gagah perkasa, pintar dan bijaksana. Ketika wafat, beliau sedang dalam penyerangan mengepung pasukan Eropa di kota Aka, tahun 630 H.
Dalam kitab I’anatuth Thalibin , Syaikh Abu Bakar bin Muhammad Syatha Ad Dimyathi menyatakan bahwa Imam Ibnu Jauzi dalam kitab Mir-at Az Zaman menceritakan tentang peringatan Maulid yang diadakan Raja Mudhaffar Abu Sa’id itu. Dikatakan dalam upacara itu disembelih sebanyak 5.000 ekor kambing, 10.000 ekor ayam, 100.000 roti mentega dan 30.000 piring kue-kue. Hadir pada upacara itu, pemuka-pemuka, alim ulama, ahli-ahli tasawuf dan orang-orang besar lainnya. Biaya seluruhnya mencapai 300.000 dinar. Mulai saat itu hingga kini ramai umat Islam di seluruh dunia memperingati Mauild Nabi.
Imam Abu Syamah (guru Imam An Nawawi) lebih jauh menegaskan bahwa diantara bid’ah yang baik dilakukan pada masa kita sekarang ini, adalah pertemuan pada tanggal 12 Rabiul Awal dengan bersedekah, berbuat baik, berdandan rapi dan menghias diri, sebagai tanda kegembiraan hati atas kelahiran Nabi Muhammad SAW. Semua perbuatan itu termasuk menyantuni anak-anak yatim dan fakir miskin, merupakan lambang atau syiar pernyataan sikap kecintaan kita kepada Nabi Muhammad SAW, dan menunjukkan peghormatan kita terhadap kebesaran Nabi serta tanda syukur dan terima kasih kepada Allah SWT yang telah mengutus Nabi Muhammad SAW ke permukaan bumi untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Banyak ulama dan fuqaha yang telah menulis buku-buku tentang anjuran merayakan peringatan maulid Nabi Saw yang mulia. Mereka menjelaskan dalil-dalil yang shahih tentang sunnahnya kegiatan ini. Semua itu tidak menyisakan ruang bagi orang yang memiliki akal, pemahaman, dan pikiran yang sempurna untuk mengingkari apa yang telah ditempuh dan dilakukan oleh kalangan salafussaleh berupa perayaan maulid Nabi Saw
Dalam kitab Al-Madkhal, Ibnu Hajj menjelaskan dengan panjang lebar tentang keutamaan-keutamaan yang berkaitan dengan perayaan ini dan dia mengemukakan uraian penuh manfaat yang membuat lapang hati orangorang yang beriman.
Perlu diketahui bahwa Ibnu Hajj sendiri menulis kitab al-Madkhal dengan tema mencela perkara-perkara bid’ah yang diada-adakan yang tidak tersentuh oleh dalil syariat.
Sang Penutup para hafizh, Jalaluddin As-Suyuthi, di dalam bukunya “Husnul Maqshid fi ‘Amalil Maulid” memberikan penjelasan tentang maulid Nabi Saw dalam rangka menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya tentang kegiatan maulid Nabi Saw pada bulan Rabi’ul Awwal: Apa hukumnya dalam pandangan syariah? Apakah kegiatan itu terpuji atau tercela? Dan apakah pelakunya mendapatkan pahala? Dia berkata, “Jawabannya, menurutku, bahwa hukum dasar kegiatan maulid -yang herupa berkumpulnya orang-orang yang banyak; membaca beberapa ayat-ayat Al Quran; menyampaikan ‘khabar-khabar’ yang diriwayatkan tentang awal perjalanan hidup Nabi Saw dan tanda-tanda kebesaran yang terjadi pada waktu kelahiran Beliau; kemudian dihidangkan makanan untuk mereka dan mereka pun makan bersama; lalu mereka heranjak pulang, tanpa ada tambahan kegiatan lain- adalah termasuk bid’ah hasanah (bid’ah baik) dan diberikan pahala hagi orang yang melakukannya. Karena dalam kegiatan itu terkandung makna mengagungkan peran dan kedudukan Nabi Saw serta menunjukkan suka cita dan kegembiraan terhadap kelahiran beliau.”
Imam Suyuthi membantah orang yang berkata, “Aku tidak mengetahui dasar hukum perayaan maulid ini di dalam Al Quran maupun di dalam Sunnah,” dengan mengatakan, “Ketidaktahuan terhadap sesuatu tidak lalu herarti tidak adanya sesuatu itu,”. Beliau juga menjelaskan bahwa Imam para hafizh, Abu Fadhl Ibnu Hajar -semoga Allah merahmatinya-, telah menjelaskan dasar hukumnya dari Sunnah. Imam Suyuthi sendiri juga mengemukakan dasar hukumnya yang kedua dan menjelaskan bahwa bid’ah tercela adalah perkara baru yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan dalil syariat. Adapun jika ada hubungan yang kuat dengan dalil syariat yang memujinya, maka perkara itu tidak tercela.
Al Baihaqi meriwayatkan dari Imam Syafi’i Ra bahwa dia berkata, “Perkara-perkara baru itu ada dua macam, yaitu: pertama, perkara baru yang diada-adakan yang bertentangan dengan Al Quran, Sunnah, atsar, atau ijma’. Maka, ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua, perkara-perkara baru yang baik; tidak ada pertentangan dengan satu pun (dari rujukan-rujukan hukum di atas). Dan, ini adalah perkara baru yang tidak tercela. Umar bin Khaththab Ra berkata tentang pelaksanaan shalat tarawih pada bulan Ramadhan, “Alangkah baiknya bid’ah ini”
Yakni ini adalah perkara baru yang belum dilaksanakan sebelumnya. Namun apabila dilakukan maka kita juga tidak akan menemukannya bertentangan dengan perkara yang dahulu (terjadi di zaman Nabi)”. Demikian akhir kutipan dari pendapat Imam Syafi’i.
Imam Suyuthi berkata, “Kegiatan merayakan maulid Nabi Saw tidak bertentangan dengan Al Quran, Sunnah, atsar, maupun ijma’. Maka ini bukan perbuatan tercela sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Syafi’i. Justru kegiatan itu merupakan perbuatan baik yang belum dikenal pada masa-masa awal Islam. Kegiatan memberi makan yang terlepas dari perbuatan dosa adalah perbuatan baik. Dengan demikian, kegiatan maulid termasuk perkara baru yang dianjurkan sebagaimana diungkapkan oleh Sultannya para Ulama, Izzuddin bin Abdissalam.”
Dan hukum dasar berkumpul untuk menyemarakkan syiar maulid adalah sunnah dan qurbah (ibadah mendekatkan diri kepada Allah). Sebab kelahiran Nabi Saw merupakan nikmat terbesar untuk kita, dan syariat memerintahkan kita untuk mengungkapkan rasa syukur atas nikmat yang kita peroleh.
Inilah yang dinyatakan kuat (rajih) oleh Ibnu Hajj di dalam kitab Al-Madkhal. Beliau berkata, “Karena pada bulan ini Allah Swt menganugerahkan kepada manusia di bumi tokoh junjungan untuk orang-orang terdahulu dan sekarang, maka wajib untuk ditingkatkan pada hari itu ibadah-ibadah, kebaikan, dan syukur kepada Allah atas nikmat besar yang dilimpahkan-Nya kepada kita.”
Dasar hukum yang dikeluarkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar tentang kegiatan maulid Nabi Saw adalah hadits yang terdapat di dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim bahwa Nabi Saw tiba ke Madinah dan menemukan orang-orang Yahudi sedang berpuasa pada hari Asyu Ra, maka beliau menanyakan hal itu kepada mereka. Mereka pun menjawab, “Ini adalah hari yang Fir’aun ditenggelamkan dan Musa diselamatkan oleh Allah. Maka kami berpuasa padanya sebagai ungkapan syukur kepada Allah Swt”
Ibnu Hajar berkata, “Jadi, diambil faidah yang terkandung di dalam hadits ini yaitu melaksanakan syukur kepada Allah Swt atas anugerah yang Dia berikan pada hari tertentu, pemberian nikmat atau pencegahan dari bencana. Dan, kegiatan itu diulangi pada hari yang sama setiap tahun. Kegiatan syukur itu tercapai dengan berbagai bentuk ibadah seperti sujud (shalat), puasa, sedekah, dan membaca Al Quran. Dan, nikmat manakah yang lebih hesar daripada nikmat munculnya Nabi Saw ini, Nabi rahmat, pada hari itu?”
Al-Hafizh Ibnu Hajar menegaskan bentuk-bentuk kegiatan di dalam perayaan tersebut dan berkata, “Maka semestinya kita batasi bentuk-bentuk kegiatan itu pada hal-hal yang dipahami sebagai ungkapan syukur kepada Allah Swt seperti yang telah disebutkan: membaca Al Quran, memberi makan, melantunkan puisi-puisi pujian bagi Nabi Saw dan puisi-puisi yang menggerakkan hati untuk melakukan kebajikan dan amal akhirat. Perkara-perkara mubah yang mengandung nilai suka cita dan kegembiraan terhadap hari kelahiran itu tidak mengapa untuk disertakan dengannya.”
Imam Suyuthi mengutip penjelasan Imam tokoh-tokoh qira’at, Al-Hafizh Syamsuddin Ibnu Jauzi dari kitabnya ‘Urf Al-Ta’rif bi Al-Maulid Al-Syarif ‘, “Jelas disebutkan dalam hadits shahih bahwa Abu Lahab mendapatkan keringanan dari siksa neraka pada setiap malam Senin karena ia memerdekakan Tsuwaibah setelah mendengarkan berita gembira kelahiran Nabi Saw yang disampaikannya. Jika Abu Lahab yang kafir dan dicela dengan nyata di dalam Al Quran mendapatkan keringanan di dalam neraka karena suka cita dan kegembiraannya pada malam kelahiran Nabi Saw, maka bagaimana lagi dengan seorang muslim dan bertauhid dari umat Nabi Saw yang bergembira dengan kelahiran beliau dan berusaha sekuat tenaga yang ia mampu untuk mencintainya? sungguh balasannya dari Allah Swt adalah Dia memasukkannya ke dalam surga yang penuh kenikmatan dengan karunia-Nya.”
Selain dasar-dasar hukum dan argumentasi yang disebutkan, bisa juga berdalil dengan umumnya firman Allah Swt : “…dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah,” (QS. Ibrahim : 5)
Tidak ragu lagi bahwa kelahiran Nabi Saw termasuk hari-hari Allah, sehingga memperingatinya berarti melaksanakan perintah Allah. Perkara yang demikian bukanlah bid’ah, tetapi merupakan sunnah hasanah (tradisi baik), sekalipun tidak pernah ada pada masa Rasulullah Saw
Kita merayakan kelahiran Nabi Muhammad Saw karena kita mencintainya. Dan bagaimana kita tidak mencintainya, sedangkan seluruh alam semesta mengenal dan mencintainya. Ingatlah hadits tentang sebatang pohon karma yang tak bernyawa, betapa ia menyayangi dan mencintai Nabi Saw serta rindu untuk selalu dekat dengan Nabi Saw yang mulia, bahkan menangis sejadi-jadinya karena rindu kepada Nabi Saw
Sumber Madinaul Madinatul Ilmi oleh Majlis Ta’lim Wad Da’wah Lil Ustadz Al Habib Sholeh Al Aydrus
Dari kalangan pembesar-pembesar negara, yang mula-mula mengadakan perayaan untuk memperingatinya tercatatlah nama Raja Mudhaffar Abu Sa’id penguasa Irbil, Irak. Demikian menurut pendapat Imam as-Sakhawi.
Menurut keterangan Imam Ibnu al Jauzi, pada upacara ini pujangga terkenal Hafizh Ibnu Dihyah menyusun suatu naskah yang dinamakan dengan At-Tanwir fi Maulidil Basyir an-Nadzir, yang isinya memuat riwayat singkat perjuangan Nabi Muhammad saw. Untuk ini Raja Mudhaffar Abu Sa’id memberinya 1000 dinar. Beliau terkenal seorang yang gagah perkasa, pintar dan bijaksana. Ketika wafat, beliau sedang dalam penyerangan mengepung pasukan Eropa di kota Aka, tahun 630 H.
Dalam kitab I’anatuth Thalibin , Syaikh Abu Bakar bin Muhammad Syatha Ad Dimyathi menyatakan bahwa Imam Ibnu Jauzi dalam kitab Mir-at Az Zaman menceritakan tentang peringatan Maulid yang diadakan Raja Mudhaffar Abu Sa’id itu. Dikatakan dalam upacara itu disembelih sebanyak 5.000 ekor kambing, 10.000 ekor ayam, 100.000 roti mentega dan 30.000 piring kue-kue. Hadir pada upacara itu, pemuka-pemuka, alim ulama, ahli-ahli tasawuf dan orang-orang besar lainnya. Biaya seluruhnya mencapai 300.000 dinar. Mulai saat itu hingga kini ramai umat Islam di seluruh dunia memperingati Mauild Nabi.
Imam Abu Syamah (guru Imam An Nawawi) lebih jauh menegaskan bahwa diantara bid’ah yang baik dilakukan pada masa kita sekarang ini, adalah pertemuan pada tanggal 12 Rabiul Awal dengan bersedekah, berbuat baik, berdandan rapi dan menghias diri, sebagai tanda kegembiraan hati atas kelahiran Nabi Muhammad SAW. Semua perbuatan itu termasuk menyantuni anak-anak yatim dan fakir miskin, merupakan lambang atau syiar pernyataan sikap kecintaan kita kepada Nabi Muhammad SAW, dan menunjukkan peghormatan kita terhadap kebesaran Nabi serta tanda syukur dan terima kasih kepada Allah SWT yang telah mengutus Nabi Muhammad SAW ke permukaan bumi untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Banyak ulama dan fuqaha yang telah menulis buku-buku tentang anjuran merayakan peringatan maulid Nabi Saw yang mulia. Mereka menjelaskan dalil-dalil yang shahih tentang sunnahnya kegiatan ini. Semua itu tidak menyisakan ruang bagi orang yang memiliki akal, pemahaman, dan pikiran yang sempurna untuk mengingkari apa yang telah ditempuh dan dilakukan oleh kalangan salafussaleh berupa perayaan maulid Nabi Saw
Dalam kitab Al-Madkhal, Ibnu Hajj menjelaskan dengan panjang lebar tentang keutamaan-keutamaan yang berkaitan dengan perayaan ini dan dia mengemukakan uraian penuh manfaat yang membuat lapang hati orangorang yang beriman.
Perlu diketahui bahwa Ibnu Hajj sendiri menulis kitab al-Madkhal dengan tema mencela perkara-perkara bid’ah yang diada-adakan yang tidak tersentuh oleh dalil syariat.
Sang Penutup para hafizh, Jalaluddin As-Suyuthi, di dalam bukunya “Husnul Maqshid fi ‘Amalil Maulid” memberikan penjelasan tentang maulid Nabi Saw dalam rangka menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya tentang kegiatan maulid Nabi Saw pada bulan Rabi’ul Awwal: Apa hukumnya dalam pandangan syariah? Apakah kegiatan itu terpuji atau tercela? Dan apakah pelakunya mendapatkan pahala? Dia berkata, “Jawabannya, menurutku, bahwa hukum dasar kegiatan maulid -yang herupa berkumpulnya orang-orang yang banyak; membaca beberapa ayat-ayat Al Quran; menyampaikan ‘khabar-khabar’ yang diriwayatkan tentang awal perjalanan hidup Nabi Saw dan tanda-tanda kebesaran yang terjadi pada waktu kelahiran Beliau; kemudian dihidangkan makanan untuk mereka dan mereka pun makan bersama; lalu mereka heranjak pulang, tanpa ada tambahan kegiatan lain- adalah termasuk bid’ah hasanah (bid’ah baik) dan diberikan pahala hagi orang yang melakukannya. Karena dalam kegiatan itu terkandung makna mengagungkan peran dan kedudukan Nabi Saw serta menunjukkan suka cita dan kegembiraan terhadap kelahiran beliau.”
Imam Suyuthi membantah orang yang berkata, “Aku tidak mengetahui dasar hukum perayaan maulid ini di dalam Al Quran maupun di dalam Sunnah,” dengan mengatakan, “Ketidaktahuan terhadap sesuatu tidak lalu herarti tidak adanya sesuatu itu,”. Beliau juga menjelaskan bahwa Imam para hafizh, Abu Fadhl Ibnu Hajar -semoga Allah merahmatinya-, telah menjelaskan dasar hukumnya dari Sunnah. Imam Suyuthi sendiri juga mengemukakan dasar hukumnya yang kedua dan menjelaskan bahwa bid’ah tercela adalah perkara baru yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan dalil syariat. Adapun jika ada hubungan yang kuat dengan dalil syariat yang memujinya, maka perkara itu tidak tercela.
Al Baihaqi meriwayatkan dari Imam Syafi’i Ra bahwa dia berkata, “Perkara-perkara baru itu ada dua macam, yaitu: pertama, perkara baru yang diada-adakan yang bertentangan dengan Al Quran, Sunnah, atsar, atau ijma’. Maka, ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua, perkara-perkara baru yang baik; tidak ada pertentangan dengan satu pun (dari rujukan-rujukan hukum di atas). Dan, ini adalah perkara baru yang tidak tercela. Umar bin Khaththab Ra berkata tentang pelaksanaan shalat tarawih pada bulan Ramadhan, “Alangkah baiknya bid’ah ini”
Yakni ini adalah perkara baru yang belum dilaksanakan sebelumnya. Namun apabila dilakukan maka kita juga tidak akan menemukannya bertentangan dengan perkara yang dahulu (terjadi di zaman Nabi)”. Demikian akhir kutipan dari pendapat Imam Syafi’i.
Imam Suyuthi berkata, “Kegiatan merayakan maulid Nabi Saw tidak bertentangan dengan Al Quran, Sunnah, atsar, maupun ijma’. Maka ini bukan perbuatan tercela sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Syafi’i. Justru kegiatan itu merupakan perbuatan baik yang belum dikenal pada masa-masa awal Islam. Kegiatan memberi makan yang terlepas dari perbuatan dosa adalah perbuatan baik. Dengan demikian, kegiatan maulid termasuk perkara baru yang dianjurkan sebagaimana diungkapkan oleh Sultannya para Ulama, Izzuddin bin Abdissalam.”
Dan hukum dasar berkumpul untuk menyemarakkan syiar maulid adalah sunnah dan qurbah (ibadah mendekatkan diri kepada Allah). Sebab kelahiran Nabi Saw merupakan nikmat terbesar untuk kita, dan syariat memerintahkan kita untuk mengungkapkan rasa syukur atas nikmat yang kita peroleh.
Inilah yang dinyatakan kuat (rajih) oleh Ibnu Hajj di dalam kitab Al-Madkhal. Beliau berkata, “Karena pada bulan ini Allah Swt menganugerahkan kepada manusia di bumi tokoh junjungan untuk orang-orang terdahulu dan sekarang, maka wajib untuk ditingkatkan pada hari itu ibadah-ibadah, kebaikan, dan syukur kepada Allah atas nikmat besar yang dilimpahkan-Nya kepada kita.”
Dasar hukum yang dikeluarkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar tentang kegiatan maulid Nabi Saw adalah hadits yang terdapat di dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim bahwa Nabi Saw tiba ke Madinah dan menemukan orang-orang Yahudi sedang berpuasa pada hari Asyu Ra, maka beliau menanyakan hal itu kepada mereka. Mereka pun menjawab, “Ini adalah hari yang Fir’aun ditenggelamkan dan Musa diselamatkan oleh Allah. Maka kami berpuasa padanya sebagai ungkapan syukur kepada Allah Swt”
Ibnu Hajar berkata, “Jadi, diambil faidah yang terkandung di dalam hadits ini yaitu melaksanakan syukur kepada Allah Swt atas anugerah yang Dia berikan pada hari tertentu, pemberian nikmat atau pencegahan dari bencana. Dan, kegiatan itu diulangi pada hari yang sama setiap tahun. Kegiatan syukur itu tercapai dengan berbagai bentuk ibadah seperti sujud (shalat), puasa, sedekah, dan membaca Al Quran. Dan, nikmat manakah yang lebih hesar daripada nikmat munculnya Nabi Saw ini, Nabi rahmat, pada hari itu?”
Al-Hafizh Ibnu Hajar menegaskan bentuk-bentuk kegiatan di dalam perayaan tersebut dan berkata, “Maka semestinya kita batasi bentuk-bentuk kegiatan itu pada hal-hal yang dipahami sebagai ungkapan syukur kepada Allah Swt seperti yang telah disebutkan: membaca Al Quran, memberi makan, melantunkan puisi-puisi pujian bagi Nabi Saw dan puisi-puisi yang menggerakkan hati untuk melakukan kebajikan dan amal akhirat. Perkara-perkara mubah yang mengandung nilai suka cita dan kegembiraan terhadap hari kelahiran itu tidak mengapa untuk disertakan dengannya.”
Imam Suyuthi mengutip penjelasan Imam tokoh-tokoh qira’at, Al-Hafizh Syamsuddin Ibnu Jauzi dari kitabnya ‘Urf Al-Ta’rif bi Al-Maulid Al-Syarif ‘, “Jelas disebutkan dalam hadits shahih bahwa Abu Lahab mendapatkan keringanan dari siksa neraka pada setiap malam Senin karena ia memerdekakan Tsuwaibah setelah mendengarkan berita gembira kelahiran Nabi Saw yang disampaikannya. Jika Abu Lahab yang kafir dan dicela dengan nyata di dalam Al Quran mendapatkan keringanan di dalam neraka karena suka cita dan kegembiraannya pada malam kelahiran Nabi Saw, maka bagaimana lagi dengan seorang muslim dan bertauhid dari umat Nabi Saw yang bergembira dengan kelahiran beliau dan berusaha sekuat tenaga yang ia mampu untuk mencintainya? sungguh balasannya dari Allah Swt adalah Dia memasukkannya ke dalam surga yang penuh kenikmatan dengan karunia-Nya.”
Selain dasar-dasar hukum dan argumentasi yang disebutkan, bisa juga berdalil dengan umumnya firman Allah Swt : “…dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah,” (QS. Ibrahim : 5)
Tidak ragu lagi bahwa kelahiran Nabi Saw termasuk hari-hari Allah, sehingga memperingatinya berarti melaksanakan perintah Allah. Perkara yang demikian bukanlah bid’ah, tetapi merupakan sunnah hasanah (tradisi baik), sekalipun tidak pernah ada pada masa Rasulullah Saw
Kita merayakan kelahiran Nabi Muhammad Saw karena kita mencintainya. Dan bagaimana kita tidak mencintainya, sedangkan seluruh alam semesta mengenal dan mencintainya. Ingatlah hadits tentang sebatang pohon karma yang tak bernyawa, betapa ia menyayangi dan mencintai Nabi Saw serta rindu untuk selalu dekat dengan Nabi Saw yang mulia, bahkan menangis sejadi-jadinya karena rindu kepada Nabi Saw
Sumber Madinaul Madinatul Ilmi oleh Majlis Ta’lim Wad Da’wah Lil Ustadz Al Habib Sholeh Al Aydrus
Oleh Prince of Jihad pada Ahad 22 Maret 2009, 02:44 AM
Print Comments
Jajaran Ulama dari kalangan Habaib menyerukan Ahlul Bait Rasulullah untuk tidak memperturuti hawa nafsu mereka. Karena Perayaan yang mereka sebut dengan “Maulid Nabi” dengan dalih “Cinta Rasul”, dan berbagai acara yang menyelisih syari’at, yang secara khusus dimeriahkan/ diperingati oleh sebagian anak keturunan Nabi yang mulia ini jelas merupakan sebuah penyimpangan, dan tidak sesuai dengan “Maqasidu asy-Syar’I al-Muthahhar” (tujuan-tujuan syariat yang suci) untuk menjadikan ittiba’ (mengikuti) kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai standar utama yang dijadikan rujukan oleh seluruh manusia dalam segala sikap dan perbuatan (ibadah) mereka.
Dalam sebuah pernyataan yang dilansir “Islam Today,” para Habaib berkata, “Bahwa Kewajiban Ahlul Bait (Keturunan Rasulullah) adalah hendaklah mereka menjadi orang yang paling yang mulia dalam mengikuti Sunnah Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam, mengikuti petunjuknya, dan wajib atas mereka untuk merealisasikan cinta yang sebenarnya (terhadap beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, red.), serta menjadi manusia yang paling menjauhi hawa nafsu. Karena Syari’at Islam datang untuk menyelisihi penyeru hawa nafsu, sedangkan cinta yang hakiki pasti akan menyeru “Ittiba’ yang benar”.
Mereka (Para Habaib) menambahkan, “Di antara fenomena yang menyakitkan adalah terlibatnya sebagian anak-cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang mulia (Ahlul Bait) dalam berbagai macam penyimpangan syari’at, dan pengagungan terhadap syi’ar-syi’ar yang tidak pernah dibawa oleh al-Habib al-Mushtafa Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan di antara syi’ar-syi’ar tersebut adalah bid’ah peringatan Maulid Nabi dengan dalih cinta.
Para Habaib menekankan dalam pernyataannya, bahwa yang membuat perayaan tersebut sangat jauh dari petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah karena hal itu dapat menyebabkan pengkultusan terhadap beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam yang beliau sendiri tidak membolehkannya, bahkan tidak ridho dengan hal itu. Dan lainnya adalah bahwa peringatan tersebut dibangun di atas Hadits-hadits yang bathil dan aqidah-aqidah yang rusak. Telah valid dari Rasulullahu shallallahu ‘alaihi wasallam akan pengingkaran terhadap sikap-sikap yang berlebihin seperti ini, dengan sabdanya,
لَا ُتطْرُونِي كَمَا َأطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ (رواه البخاري)
“Janganlah kalian mengkultuskan aku seperti pengkultusan orang-orang nasrani terhadap putra maryam.” (HR. al-Bukhari)
Sedangkan seputar adanya preseden untuk perayaan-perayaan seperti itu pada as-Salafu ash-Shalih, Para Habaib tersebut mengatakan, “Bahwa perayaan Maulid Nabi merupakan ibadah/ amalan yang tidak pernah dilakukan dan diperintahkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak pernah pula dilakukan oleh seorangpun dari kalangan Ahlul Bait yang mulia, seperti ‘Ali bin Abi Thalib, Hasan dan Husein, Ali Zainal Abidin, Ja’far ash-Shadiq, serta tidak pernah pula diamalkan oleh para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam –Radhiyallahu ‘anhum ‘ajma’in- begitu pula tidak pernah diamalkan oleh seorang pun dari para tabi’in.
Para Habaib tersebut mengatakan kepada Ahlul Bait, “Wahai Tuan-tuanYang terhormat! Wahai sebaik-baiknya keturunan di muka bumi, sesungguhnya kemulian Asal usul (Nasab) merupakan kemulian yang diikuti dengan taklif (pembebanan), yakni melaksanakan sunnah Rasululullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan berusaha untuk menyempurnakan amanahnya setelah sepeninggalnya dengan menjaga agama dan menyebarkan dakwah yang dibawanya. Dan karena mengikuti apa yang tidak dibolehkan oleh syari’at tidak mendatangkangkan kebenaran sedikitpun, bahkan merupakan amalan yang ditolak oleh Allah swt, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاري ومسلم)
“Barangsiapa mengada-adakan sesuatu yang baru di dalam urusan (agama) kami ini yang bukan termasuk di dalamnya, maka ia tertolak.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Berikut ini adalah teks pernyataannya:
Risalah untuk Ahlul Bait (Anak-Cucu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam) tentang Peringatan/ perayaan Maulid Nabi.
الحمد لله رب العالمين، الهادي من شاء من عباده إلى صراطه المستقيم، والصلاة والسلام على أزكى البشرية، المبعوث رحمة للعالمين، وعلى آله وصحبه أجمعين .. أما بعد:
Di antara Prinsip-prinsip yang agung yang berpadu di atasnya hati-hati para ulama dan kaum Mukminin adalah meyakini (mengimani) bahwa petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah petunjuk yang paling sempurna, dan syariat yang beliau bawa adalah syariat yang paling sempurna, Allah Ta’ala berfirman,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلامَ دِينًا (المائدة:3)
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu.” (QS. 5:3)
Dan meyakini (mengimani) bahwa mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan keyakinan atau tanda kesempurnaan iman seorang Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ، وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِين (رواه البخاري ومسلم)
“Tidak sempurna iman salah seorang di antara kamu sehingga aku lebih dia cintai dari ayahnya, anaknya, dan semua manusia.” (HR. al-Bukhari & Muslim)
Beliau adalah penutup para nabi, Imam orang-orang yang bertaqwa, Raja anak-cucu Adam, Imam Para Nabi jika mereka dikumpulkan, dan Khatib mereka jika mereka diutus, si empu Tempat yang Mulia, Telaga yang akan dikerumuni (oleh manusia), si empu bendera pujian, pemberi syafa’at manusia pada hari kiamat, dan orang yang telah menjadikan umatnya menjadi umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia, Allah Ta’ala berfirman,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا [الأحزاب:21]
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. al-Ahzab: 21)
Dan di antara kecintaan kepada beliau adalah mencintai keluarga beliau (Ahlul Bait/ Habaib), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أُذَكِّرُكُمُ اللهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي (رواه مسلم)
“Aku mengingatkan kalian kepada Allah pada Ahlu Bait (keluarga)ku.” (HR. Muslim).
Maka Kewajiban keluarga Rasulullah (Ahlul Bait/ Habaib) adalah hendaklah mereka menjadi orang yang paling yang mulia dalam mengikuti Sunnah Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam, mengikuti petunjuknya, dan wajib atas mereka untuk merealisasikan cinta yang sebenarnya (terhadap beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, red.), serta menjadi manusia yang paling menjauhi hawa nafsu. Karena Syari’at datang untuk menyelisihi penyeru hawa nafsu, Allah Ta’ala berfirman,
فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا [النساء:65]
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisa’: 65)
Sedangkan cinta yang hakiki pastilah akan menyeru “Ittiba’ yang benar”. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ.. [آل عمران:31]
“Katakanlah:”Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran: 31)
Tidak cukup hanya sekedar berafiliasi kepada beliau secara nasab, tetapi keluarga beliau (Ahlul bait) haruslah sesuai dengan al-haq (kebenaran yang beliau bawa) dalam segala hal, dan tidak menyalahi atau menyelisinya.
Dan di antara fenomena menyakitkan adalah orang yang diterangi oleh Allah Ta’alA pandangannya dengan cahaya ilmu, dan mengisi hatinya dengan cinta dan kasih sayang kepada keluarga NabiNya (ahlul bait), khususya jika dia termasuk keluarga beliau pula dari keturunan beliau yang mulia adalah terlibatnya sebagian anak-cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang mulia (Ahlul Bait/ Habaib) dalam berbagai macam penyimpangan syari’at, dan pengagungan terhadap syi’ar-syi’ar yang tidak pernah dibawa oleh al-Habib al-Mushtafa Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dan di antara syi’ar-syi’ar yang diagungkan yang tidak berdasarkan petunjuk moyang kami Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut adalah bid’ah peringatan Mahulid Nabi dengan dalih cinta. Dan ini jelas merupakan sebuah penyimpangan terhadap prinsip yang agung, dan tidak sesuai dengan “Maqasidu asy-Syar’I al-Muthahhar” (tujuan-tujuan syariat yang suci) untuk menjadikan ittiba’ (mengikuti) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai standar utama yang dijadikan rujukan oleh seluruh manusia dalam segala sikap dan perbuatan (ibadah) mereka.
Karena kecintaan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengharuskan ittiba’ (mengikuti) beliau Shallalllahu ‘alaihi wasallam secara lahir dan batin. Dan tidak ada pertentangan antara mencintai beliau dengan mengikuti beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, bahkan mengikuti (ittiba) kepada beliau merupakan inti/ puncak kecintaan kepadanya. Dan orang yang mengikuti beliau secara benar (Ahlul ittiba’) adalah komitmen dengan sunnahnya, mengikuti petunjuknya, membaca sirah (perjalanan hidup)nya, mengharumi majlis-majlis mereka dengan pujian-pujian terhadapnya tanpa membatasi hari, berlebihan dalam menyifatinya serta menentukan tata cara yang tidak berdasar dalam syariat Islam.
Dan di antara yang membuat perayaan tersebut sangat jauh dari petunjuk Nabi adalah karena dapat menyebabkan pengkultusan terhadap beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam yang beliau sendiri tidak membolehkannya, bahkan beliau tidak ridho dengan hal itu. Dan hal lainnya adalah bahwa peringatan tersebut dibangun di atas Hadits-hadits yang bathil dan aqidah-aqidah yang rusak. Telah valid dari Rasulullahu shallallahu ‘alaihi wasallam pengingkaran terhadap sikap-sikap yang berlebihin seperti ini, dengan sabdanya,
لَا ُتطْرُونِي كَمَا َأطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ (رواه البخاري)
“Janganlah kalian mengkultuskan aku seperti pengkultusan orang-orang nasrani terhadap putra maryam.” (HR. al-Bukhari)
Maka bagaimana dengan faktanya, sebagian majlis dan puji-pujian dipenuhi dengan lafazh-lafazh bid’ah, dan istighatsah-istighatsah syirik.
Dan perayaan Maulid Nabi merupakan ibadah/ amalan yang tidak pernah dilakukan dan diperintahkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak pernah pula dilakukan oleh seorangpun dari kalangan Ahlul Bait yang mulia, seperti ‘Ali bin Abi Thalib, Hasan dan Husein, Ali Zainal Abidin, Ja’far ash-Shadiq, serta tidak pernah pula diamalkan oleh para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam –Radhiyallahu ‘anhum ‘ajma’in- begitu tidak pernah diamalkan oleh seorang pun dari para tabi’in, dan tidak pula Imam Madzhab yang empat, serta tidak seorangpun dari kaum muslimin pada periode-periode pertama yang diutamakan.
Jika ini tidak dikatakan bid’ah, lalu apa bid’ah itu sebenarnya? Dan Bagaimana pula apabila mereka bersenandung dengan memainkan rebana?, dan terkadang dilakukan di dalam masjid-masjid? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hal ini secara gamblang dan tanpa pengecualian di dalamnya,
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ (رواه مسلم)
“Semua bid’ah itu sesat.” (HR. Muslim).
“Wahai Tuan-tuanYang terhormat! Wahai sebaik-baiknya keturunan di muka bumi, sesungguhnya kemulian Asal usul/ nasab merupakan kemulian yang diikuti dengan taklif (pembebanan), yakni melaksanakan sunnah Rasululullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan berusaha untuk menyempurnakan amanahnya setelah sepeninggalnya, dengan menjaga agama, menyebarkan dakwah yang dibawanya. Dan karena mengikuti apa yang tidak dibolehkan oleh syari’at tidak mendatangkangkan kebenaran sedikitpun, dan merupakan amalan yang ditolak oleh Allah swt, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاري ومسلم)
“Barangsiapa mengada-adakan sesuatu yang baru di dalam urusan (agama) kami ini yang bukan termasuk di dalamnya, maka ia tertolak.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Demi Allah, demi Allah, wahai para habaib (Ahlu bait Nabi)! Jangan kalian diperdayakan oleh kesalahan orang yang melakukan kesalahan, dan kesesatan orang yang sesat, dan menjadi pemimpin- pemimpin yang tidak mengajarkan petunjuk beliau! Demi Allah, tidak seorangpun di muka bumi ini lebih kami cintai petunjuknya dari kalian, semata-mata karena kedekatan kalian dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ini merupakan seruan dari hati-hati yang mencintai dan menginginkan kebaikan bagi kalian, dan menyeru kalian untuk selalu mengikuti sunnah lelulur kalian dengan meninggalkan bid’ah dan seluruh yang tidak diketahui oleh seseorang dengan yakin bahwa itu merupakan sunnah dan agama yang dibawanya, maka bersegeralah, Beliau bersabda,
مَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ (رواه مسلم)
“Barang siapa yang lambat dalam amalnya, niscaya nasabnya tidak mempercepat amalnya tersebut.” (HR. Muslim).
والحمد لله رب العالمين،،
Yang menanda tangan risalah di atas:
1. Habib Syaikh Abu Bakar bin Haddar al-Haddar (Ketua Yayasan Sosial “Adhdhamir al-Khairiyah” di Traim)
2. Habib Syaikh Aiman bin Salim al-Aththos (Guru Ilmu Syari’ah di SMP dan Khatib di Abu ‘Uraisy)
3. Habib Syaikh Hasan bin Ali al-Bar (Dosen Kebudayaan Islam Fakultas Teknologi di Damam dan Imam serta khatib di Zhahran.
4. Habib Syaikh Husain bin Alawi al-Habsyi (Bendahara Umum “Muntada al-Ghail ats-Tsaqafi al-Ijtima’I di Ghail Bawazir)
5. Habib Syaikh Shalih bin Bukhait Maula ad-Duwailah (Pembimbing al-Maktab at-Ta’awuni Li ad-Da’wah wal Irsyad wa Taujih al-Jaliyat, dan Imam serta Khatib di Kharj).
6. Habib Syaikh Abdullah bin Faishal al-Ahdal (Ketua Yayasan ar-Rahmah al-Khairiyah, dan Imam serta Khatib Jami’ ar-Rahmah di Syahr).
7. Habib Syaikh DR. ‘Ishom bin Hasyim al-Jufri (Act. Profesor Fakultas Syari’ah Jurusan Ekonomi Islam di Universitas Ummu al-Qurra’, Imam dan Khotib di Mekkah).
8. Habib Syaikh ‘Alawi bin Abdul Qadir as-Segaf (Pembina Umum Mauqi’ ad-Durar as-Saniyah)
9. Habib Syaikh Muhammad bin Abdullah al-Maqdi (Pembina Umum Mauqi’ ash-Shufiyah, Imam dan Khotib di Damam).
10. Habib Syaikh Muhammad bin Muhsi al-Baiti (Ketua Yayasan al-Fajri al-Khoiriyah, Imam dan Khotib Jami’ ar-Rahman di al-Mukala
11. Habib Syaikh Muhammad Sami bin Abdullah Syihab (Dosen di LIPIA Jakarta)
12. Habib Syaikh DR. Hasyim bin ‘Ali al-Ahdal (Prof di Universitas Ummul Qurra’ di Mekkah al-Mukarramah Pondok Ta’limu al-Lughah al-‘Arabiyah Li Ghairi an-Nathiqin Biha).