Imam Shadiq AS bersabda: “Beliau dinamakan Fathimah karena tidak ada keburukan dan kejahatan pada dirinya. Apabila tidak ada Ali AS, maka sampai hari Kiamat tidak akan ada seorangpun yang sepadan dengannya (untuk menjadi pasangannya)”.
Para Imam Ahlu-Bayt AS sangat memuliakan pemilik nama Fathimah tersebut. Salah satu pengikut Imam Jakfar as-Shadiq AS telah dikaruniai seorang anak perempuan, kemudian beliau bertanya kepadanya: “Engkau telah memberikan nama apa kepadanya?”. Ia menjawab: “Fathimah”. Mendengar itu Imam AS bersabda: “Fathimah, salam sejahtera atas Fathimah. Karena engkau telah menamainya Fathimah maka hati-hatilah. Jangan sampai engkau memukulnya, mengucapkan perkataan buruk kepadanya, dan muliakanlah ia.”
Wanita mulia nan agung yang menjadi kekasih Allah dan Rasul-Nya itu bernama Fathimah. Keagungannya telah dinyatakan oleh manusia termulia dan makhluk Allah teragung, Muhammad SAW yang segala pernyataannya tidak mungkin salah. Pada kesempatan ini, kita akan melihat beberapa sebutan mulia bagi wanita agung tersebut, disamping banyak nama dan sebutan lagi yang disematkan pada pribadi kekasih Allah dan Rasul-nya itu. Di antaranya ialah;
FATHIMAH
Syaikh Shaduq dalam kitab “I’lall Asy-Syara’i” dan Allamah al-Majlisi dalam kitab “Bihar al-Anwar” telah menukil riwayat dari Imam Jakfar bin Muhammad as-Shadiq AS, bahwasanya beliau bersabda: “Sewaktu Sayidah Fathimah Zahra AS terlahir, Allah SWT memerintahkan para malaikat untuk turun ke bumi dan memberitahukan nama ini kepada Rasulullah. Maka Rasulullah SAW pun memberi nama Fathimah kepadanya.” (Bihar al-Anwar jilid 43 halaman 13)
Dari segi bahasa ’fathama’ berarti “anak yang disapih dari susuan”. Dalam sebuah riwayat dari Imam Muhammad bin Ali al-Baqir AS telah dinyatakan bahwa, setelah kelahiran Fathimah Zahra AS, Allah SWT berfirman kepadanya: “Sesungguhnya aku telah menyapihmu dengan ilmu, dan menyapihmu dari kototan (Inni fathamtuki bil ilmi wa fathamtuki a’nith thomats)”. Hal ini seperti seorang bayi sewaktu disapih dari susu maka ia memerlukan makanan lain sebagai penggantinya. Dan Sayidah Fathimah Zahra AS setelah disapih, sedang makanan pertamanya berupa ilmu.” (Bihar al-Anwar jilid 43 halaman 13)
Imam Ali bin Musa ar-Ridho AS telah meriwayatkan hadis dari ayahnya, dimana ayahnya telah meriwayatkan dari para leluhurnya hingga sampai ke Rasulullah SAW, bahwasanya beliau bersabda: “Wahai Fathimah, tahukan engkau kenapa dinamakan Fathimah?”. Kemudian Imam Ali AS bertanya: “Kenapa wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Karena ia dan pengikutnya akan tercegah dari api neraka”. (Bihar al-Anwar jilid 43 halaman 14). Atau dalam riwayat lain beliau bersabda: “Karena terlarang api neraka baginya dan para pecintanya”.( Bihar al-Anwar jilid 43 halaman 15)
Imam Ali bin Abi Thalib AS bersabda, “Aku telah mendengar Rasulullah bersabda: “Ia dinamakan Fathimah karena Allah SWT akan menyingkirkan api neraka darinya dan dari keturunannya. Tentu keturunannya yang meninggal dalam keadaan beriman dan meyakini segala sesuatu yang diturunkan kepadaku.” (Bihar al-Anwar jilid 43 halaman 18-19)
Imam Shadiq AS bersabda: “Beliau dinamakan Fathimah karena tidak terdapat keburukan dan kejahatan pada dirinya. Apabila tidak ada Ali AS maka sampai hari Kiamat tidak akan ada seorangpun yang sepadan dengannya (untuk menjadi pasangannya)”. (Bihar al-Anwar jilid 43 halaman 10)
Dalam beberapa sumber telah dijelaskan bahwa nama Fathimah merupakan nama yang sangat disukai oleh para Maksumin (Ahlu-Bayt) AS. Para Imam Ahlu-Bayt AS sangat memuliakan pemilik nama tersebut. Salah satu pengikut Imam Shadiq AS telah dikaruniai seorang anak perempuan, kemudian beliau bertanya kepadanya: “Engkau telah memberikan nama apa kepadanya?”. Ia menjawab: “Fathimah”. Mendengar itu Imam AS bersabda: “Fathimah, salam sejahtera atas Fathimah. Karena engkau telah menamainya Fathimah, maka hati-hatilah jangan sampai memukulnya, mengucapkan perkataan buruk kepadanya, dan muliakanlah ia.”
Salah seorang pengikut Imam Shadiq AS berkata: “Pada suatu hari dengan raut muka sedih, aku telah menghadap Imam Shadiq AS. Beliau bertanya: “Kenapa engkau bersedih?”. Aku menjawab: anakku yang terlahir adalah perempuan. Beliau bertanya kembali: “Engkau beri nama apa ia?”. Aku menjawab: “Fathimah”. Beliau kembali berkata: “Ketahuilah jika engkau telah menamainya Fathimah, janganlah engkau berkata buruk kepadanya dan janganlah memukulnya”.”(Wasa’il as-Syi’ah jilid 15 halaman 200)
ZAHRA
Zahra, artinya ialah “yang bersinar” atau “yang memancarkan cahaya”. Imam Hasan bin Ali al-Askari (imam ke-11) bersabda: “Salah satu sebab Sayidah Fathimah dinamai az-Zahra karena tiga kali pada setiap hari beliau akan memancarkan cahaya bagi Imam Ali AS.” (Bihar al-Anwar jilid 43 halaman 11) Memancarkan cahaya bagaikan matahari pada waktu pagi, siang dan terbenam matahari.
Dalam riwayat lain Imam Shadiq AS bersabda: “Sebab Sayidah Fathimah dinamakan Zahra karena akan diberikan kepada beliau sebuah bangunan di surga yang terbuat dari yaqut merah. Dikarenakan kemegahan dan keagungan bangunan tersebut maka para penghuni surga melihatnya seakan sebuah bintang di langit yang memancarkan cahaya, dan mereka satu sama lain saling mengatakan bahwa bangunan megah bercahaya itu dikhususkan untuk Fathimah AS.”
Dalam riwayat lain dikatakan bahwa, orang-orang telah bertanya kepada Imam Shadiq AS: “Kenapa Fathimah AS dinamakan Zahra?” Beliau menjawab: “Karena sewaktu beliau berada di mihrab (untuk beribadah) cahaya memancar darinya untuk para penghuni langit, bagaikan pancaran cahaya bagi para penghuni bumi.” (Namha wa Alqaab Hadzrate Fathimah Zahra halaman: 22)
UMMU ABIHA
Panggilan kesayangan bagi Sayidah Fathimah. adalah Ummu Abiha (ibu dari ayahnya). Dia adalah puteri yang mulia dari pemimpin para makhluq, Rasulullah SAW, Abil Qasim, Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muththalib bin Hasyim.
Fatimah a.s. memperlakukan Rasul SAWW lebih dari perlakuan seorang ibu terhadap anaknya, sebagaimana Rasul SAWW mencintai dan menghormati Az-Zahra’ lebih dari penghormatan seorang anak terhadap ibunya. Sirah Nabawi mengingatkan kita akan sikap Rasul SAWW saat ditemui Az-Zahra’. Beliau berdiri menyambut, menyalami, mencium, dan mendudukkannya di sisi beliau, serta menemaninya dengan seluruh jiwa.
Ketika Nabi SAW terluka dalam Perang Uhud, Sayidah Fathimah keluar dari Madinah menyambutnya dan menghampiri ayahnya agar hatinya tenang. Ketika melihat luka-lukanya, Fathimah langsung memeluknya. Dia mengusap darah darinya, kemudian mengambil air dan membasuh mukanya. Betapa indah situasi di mana hati Muhammad SAW berdenyut menunjukkan cinta dan sayang kepada puterinya itu. Seakan-akan kulihat Az-Zahra’ a.s. berlinang air mata dan berdenyut hatinya dengan cinta dan kasih sayang.
MUHADDATSAH
Muhaddatsah, artinya ialah “orang yang malaikat berbicara dengannya”. Telah dijelaskan bahwasanya para malaikat dapat berbicara dengan selain para nabi atau para rasul. Dan orang-orang selain para nabi dan rasul itu dapat mendengar suara dan melihat para malaikat. Sebagaimana dalam al-Qur’an disebutkan bahwa Allah SWT telah menjelaskan bahwasanya Mariam bin Imran AS (bunda Maria) telah melihat malaikat dan berbicara dengannya. Hal ini telah disinyalir dalam surah al-Imran ayat 42, “Dan (Ingatlah) ketika malaikat (Jibril) berkata: “Hai Maryam, Sesungguhnya Allah Telah memilih kamu, mensucikan kamu dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia (yang semasa dengan kamu).”
Dalam sebuah riwayat Imam Shadiq AS bersabda: “Fathimah dijuluki muhaddatsah karena para malaikat selalu turun kepadanya, sebagaimana mereka memanggil Mariam AS, berbicara dengannya, dan mereka mengatakan: “Wahai Fathimah, sesungguhnya Allah SWT telah memilihmu, mensucikanmu dan memilihmu atas perempuan seluruh alam”. Para malaikatpun menyampaikan kepada Fathimah Zahra AS tentang hal-hal yang akan terjadi di masa mendatang, raja-raja yang akan berkuasa, dan hukum-hukum Allah SWT. Fathimah Zahra AS meminta kepada Imam Ali AS untuk menulis semua perkara yang telah disampaikan para malaikat kepadanya. Serta jadilah kumpulan tulisan tersebut dinamakan dengan mushaf Fathimah”. (Bihar al-Anwar jilid 43)
Imam Shadiq AS telah berkata kepada Abu Bashir: “Mushaf Fathimah berada pada kami. Dan tiada yang mengetahui tentang isi mushaf tersebut….mushaf tersebut berisikan hal-hal yang telah diwahyukan Allah SWT kepada ibu kami, Fathimah Zahra AS.” (Bihar al-Anwar jilid 43, Fathimah az-Wiladat to Syahadat halaman 111)
MARDHIYAH
Mardiyah, artinya ialah “orang yang segala perkataan dan perilakunya telah diridhoi Allah SWT”. Adapun sebab beliau dijuluki dengan julukan mardiyah karena bersumber pada beberapa hadis yang telah disampaikan Rasulullah SAW berkaitan dengan kedudukan Sayidah Fathimah Zahra AS, dimana beliau telah bersabda: “Sesungguhnya Allah SWT murka atas murka-mu dan ridho atas keridhoan-mu.” (Riwayat dengan kandungan seperti ini bisa didapati pada beberapa sumber seperti, Mustadrak ash-Shahihain jilid 3 halaman 153, Kanzul Ummal jilid 6 halaman 219, Mizan al-I’tidal jilid 2 halaman 72, Dzakhairu al-‘Uqba halaman 39)
Catatan: Tentunya hadis-hadis Rasulullah tentang Sayidah Fathimah Zahra AS itu bukanlah berasal dari hawa nafsu dan atas dasar nepotisme seorang ayah terhadap anaknya. Karena sebagaimana yang telah dijelaskan dalam al-Qur’an beliau tidak mengatakan sesuatu berdasarkan hawa nafsu sebagaimana yang telah dijelaskan dalam al-Qur’an: “ Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya.” (QS an-Najm:3). Maka hadis-hadis itu sebagai bukti akan keistimewaan Fathimah Zahra AS dimata Allah dan Rasul-Nya.
SIDDIQAH KUBRA
Shiddiqah, artinya ialah “seorang yang sangat jujur”, orang yang tidak pernah berbohong. Atau orang yang perkataannya membenarkan prilakunya. (Lisanul Arab dan Taajul Aruus)
Pada waktu menjelang kepergian (wafat) Rasulullah SAW, beliau berkata kepada Ali AS: “Aku telah menyampaikan berbagai masalah kepada Fathimah. Benarkan (percayailah) segala yang disampaikan Fathimah, karena ia sangat jujur.” (Bihar al-Anwar jilid 22 halaman 490)
Dalam sebuah hadis bahwasanya Ummulmukminin Aisyah berkata: “Tidak aku dapatkan seseorang yang lebih jujur dari Fathimah, selain ayahnya.” (Hilyatul Auliya’ jilid 2 halaman 41 dan atau Mustadrak as-Shahihain jilid 3 halaman 16)
Dan kedudukan ini (Shiddiqiin) berada pada tingkatan para nabi, syuhada dan shalihin sebagaimana yang telah disinyalir al-Qur’an: “Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh, dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS An-Nisa : 6
Rasulullah SAW berkata kepada Imam Ali AS: “Tiga hal berharga telah dihadiahkan kepadamu, dan tidak seorangpun yang mendapatkannya termasuk aku; Engkau memiliki mertua seorang rasul, sementara aku tidak memiliki mertua sepertimu. Engkau memiliki istri yang sangat jujur (shiddiqqah) seperti putriku, sementara aku tidak memiliki istri sepertinya. Engkau dikaruniai anak-anak seperti Hasan dan Husein, sementara aku tidak dikaruniai anak-anak seperti mereka. Namun demikian engkau berasal dariku dan aku berasal darimu.” (Ar-Riyadhu an-Nadrah jilid 2 halaman 202)
RAIHANAH
Dalam sebuah riwayat berkaitan dengan putrinya, Rasulullah SAW bersabda: “Fathimah merupakan wewangianku. Ketika aku merindukan bau surga maka aku akan mencium Fathimah”. (Bihar al-Anwar jilid 35 halaman 45, dan kandungan hadis semacam ini pun bisa didapati dalam tafsir Ad-Durrul Mansur Suyuthi)
BATHUL
Ibnu Atsir dalam karyanya yang berjudul “An-Nihayah” menyatakan: “Kenapa Fathimah dijuluki Al-Bathul? Karena beliau dari segi keutamaan, agama, dan kehormatan lebih dari para perempuan yang ada pada zamannya. Atau karena beliau telah memutuskan hubungannya dengan dunia dan hanyalah mencari kecintaan Allah SWT.” (Hadis dengan redaksi semacam ini juga dapat kita jumpai pada kitab-kitab seperti; Maanil Akhbar hal 54, Ilalu Asy-Syarai’ hal 181, Yanaabi’ al-Mawaddah hal 260)
Dalam kitab “al-Manaqib” pada jilid 3 halaman 133 dijelaskan bahwa seseorang telah bertanya kepada Rasulullah; “Kenapa seseorang dijuluki al-Bathul? Beliau menjawab: “Yaitu perempuan yang tidak keluar darinya darah haid. Sesungguhnya hal itu tidak layak bagi para putri para nabi (lain).” (Al-Manaqib jilid 3 halaman 133, Al-awalim jilid 6 halaman 16)
RASYIDAH
Rasyidah, artinya ialah “wanita yang telah dianugrahi petunjuk”, selalu berada dalam kebenaran dan pemberi petunjuk bagi yang lain. Rasulullah SAW telah memberikan julukan ini kepada putrinya, Fathimah AS. Dalam sebuah riwayat telah dijelaskan bahwasanya Imam Ali AS bersabda: “Beberapa saat sebelum kepergian Rasulullah (wafat), beliau telah memanggilku. Beliau bersabda kepadaku dan Fathimah: “Ini hanutku (ialah kapur barus yang dioleskan ke anggota sujud seorang jenazah, red) yang telah dibawakan Jibril dari surga untukku. Beliau telah menitip salam untuk kalian berdua dan berkata: “Engkau harus membagikan hanut ini, dan ambillah untukmu. Pada saat itu Fathimah AS berkata: “1/3-nya untuk engkau wahai ayahku. Sedang sisanya, biarlah Ali sendiri yang memutuskannya”. Mendengar itu Rasulullah menangis dan memeluk putrinya seraya bersabda: “Engkau adalah wanita yang telah dianugrahi taufiq (pertolongan khusus) dan rasyidah (petunjuk) yang telah mendapatkan ilham dari-Nya, dan mendapatkan petunjuk dari-Nya. Pada saat itu pula Rasulullah SAW bersabda: “Wahai Ali, katakan padaku tentang sisa hanut tersebut”. Aku (Ali) berkata: “Setengah dari yang tersisa ialah untuk Zahra (Fathimah). Dan berkaitan dengan sebagian lainnya apa perintahmu, ya Rasulullah?”. Rasulullah SAW bersabda: “Sisanya untukmu, maka peliharalah.” (Bihar al-Anwar jilid 22 halaman 492)
HAURA INSIYAH (bidadari berbentuk manusia)
Sebelum Rasul melakukan salah satu mi’rajnya(dari beberapa riwayat disebutkan Rasulullah tidak melakukan mi’raj sekali saja, bahkan berkali-kali red), Atas perintah Allah SWT, beliau tidak diperkenankan untuk menemui (mengumpuli) istrinya selama 40 hari. Dan pada hari terakhir beliau dalam mi’raj-nya memakan buah-buahan seperti; kurma dan apel yang berasal dari surga. Seusai beliau memakan buah-buahan yang berasal dari surga itu lantas beliau menemui (mengumpuli) istrinya Sayidah Khadijah AS. Dan dari nutfah (sperma) yang berasal dari buah-buahan surga itulah, Sayidah Khadijah AS mengandung janin Sayidah Fathimah Zahra AS. Oleh karena itu, Sayidah Fathimah Zahra AS dijuluki ‘haura Insiyah’ (bidadari berbentuk manusia). (Tafsir Furat Kufi halaman 119, Bihar al-Anwar jilid 43 halaman 18, riwayat-riwayat semacam inipun bisa didapati dalam sumber-sumber Ahlusunah seperti; Ad-Durrul Mansur, Mustadrak Shahihain, Dzakhairu al-Uqbah, Tarikh Bagdadi dsb)
Haura insiyah, artinya ialah “bidadari yang berbentuk manusia”, para wanita surga dinamakan bidadari karena putih dan hitam matanya sangat elok dan menarik sekali. Oleh karena itu, seorang wanita yang memiliki mata yang sangat elok seperti bidadari, dijuluki bidadari. (Bihar al-Anwar jilid 43 halaman 5)
THAHIRAH
Thahirah berarti yang “suci atau maksum dari dosa dan kesalahan”. Hal ini karena beliau telah disucikan dari salah dan dosa, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam al-Qur’an surah al-Ahzab ayat 33, “… Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”
Berdasarkan ayat di atas Allah SWT telah mensucikan Ahlu-Bayt Nabi SAW. Dan salah satu dari Ahlu-Bayt Nabi SAW tersebut adalah Sayidah Fathimah AS. Ayat di atas diturunkan berkaitan dengan “Ashhabul Kisa” (penghuni kain), yaitu Rasulullah, Imam Ali, Sayidah Fathimah Zahra, Imam Hasan dan Imam Husein. Hal ini dapat dirujuk dalam berbagai sumber seperti, Tafsir at-Thabari, Tafsir Ad-Durrul Mansur, Tarikh al-Bagdadi, Tafsir al-Kasyaf, Usudul Ghabah…
Sumber http://www.facebook.com/notes/abdurrahman-shahab/nama-dan-julukan-sayyidah-fatimah-az-zahra-as/322881755275
Para Imam Ahlu-Bayt AS sangat memuliakan pemilik nama Fathimah tersebut. Salah satu pengikut Imam Jakfar as-Shadiq AS telah dikaruniai seorang anak perempuan, kemudian beliau bertanya kepadanya: “Engkau telah memberikan nama apa kepadanya?”. Ia menjawab: “Fathimah”. Mendengar itu Imam AS bersabda: “Fathimah, salam sejahtera atas Fathimah. Karena engkau telah menamainya Fathimah maka hati-hatilah. Jangan sampai engkau memukulnya, mengucapkan perkataan buruk kepadanya, dan muliakanlah ia.”
Wanita mulia nan agung yang menjadi kekasih Allah dan Rasul-Nya itu bernama Fathimah. Keagungannya telah dinyatakan oleh manusia termulia dan makhluk Allah teragung, Muhammad SAW yang segala pernyataannya tidak mungkin salah. Pada kesempatan ini, kita akan melihat beberapa sebutan mulia bagi wanita agung tersebut, disamping banyak nama dan sebutan lagi yang disematkan pada pribadi kekasih Allah dan Rasul-nya itu. Di antaranya ialah;
FATHIMAH
Syaikh Shaduq dalam kitab “I’lall Asy-Syara’i” dan Allamah al-Majlisi dalam kitab “Bihar al-Anwar” telah menukil riwayat dari Imam Jakfar bin Muhammad as-Shadiq AS, bahwasanya beliau bersabda: “Sewaktu Sayidah Fathimah Zahra AS terlahir, Allah SWT memerintahkan para malaikat untuk turun ke bumi dan memberitahukan nama ini kepada Rasulullah. Maka Rasulullah SAW pun memberi nama Fathimah kepadanya.” (Bihar al-Anwar jilid 43 halaman 13)
Dari segi bahasa ’fathama’ berarti “anak yang disapih dari susuan”. Dalam sebuah riwayat dari Imam Muhammad bin Ali al-Baqir AS telah dinyatakan bahwa, setelah kelahiran Fathimah Zahra AS, Allah SWT berfirman kepadanya: “Sesungguhnya aku telah menyapihmu dengan ilmu, dan menyapihmu dari kototan (Inni fathamtuki bil ilmi wa fathamtuki a’nith thomats)”. Hal ini seperti seorang bayi sewaktu disapih dari susu maka ia memerlukan makanan lain sebagai penggantinya. Dan Sayidah Fathimah Zahra AS setelah disapih, sedang makanan pertamanya berupa ilmu.” (Bihar al-Anwar jilid 43 halaman 13)
Imam Ali bin Musa ar-Ridho AS telah meriwayatkan hadis dari ayahnya, dimana ayahnya telah meriwayatkan dari para leluhurnya hingga sampai ke Rasulullah SAW, bahwasanya beliau bersabda: “Wahai Fathimah, tahukan engkau kenapa dinamakan Fathimah?”. Kemudian Imam Ali AS bertanya: “Kenapa wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Karena ia dan pengikutnya akan tercegah dari api neraka”. (Bihar al-Anwar jilid 43 halaman 14). Atau dalam riwayat lain beliau bersabda: “Karena terlarang api neraka baginya dan para pecintanya”.( Bihar al-Anwar jilid 43 halaman 15)
Imam Ali bin Abi Thalib AS bersabda, “Aku telah mendengar Rasulullah bersabda: “Ia dinamakan Fathimah karena Allah SWT akan menyingkirkan api neraka darinya dan dari keturunannya. Tentu keturunannya yang meninggal dalam keadaan beriman dan meyakini segala sesuatu yang diturunkan kepadaku.” (Bihar al-Anwar jilid 43 halaman 18-19)
Imam Shadiq AS bersabda: “Beliau dinamakan Fathimah karena tidak terdapat keburukan dan kejahatan pada dirinya. Apabila tidak ada Ali AS maka sampai hari Kiamat tidak akan ada seorangpun yang sepadan dengannya (untuk menjadi pasangannya)”. (Bihar al-Anwar jilid 43 halaman 10)
Dalam beberapa sumber telah dijelaskan bahwa nama Fathimah merupakan nama yang sangat disukai oleh para Maksumin (Ahlu-Bayt) AS. Para Imam Ahlu-Bayt AS sangat memuliakan pemilik nama tersebut. Salah satu pengikut Imam Shadiq AS telah dikaruniai seorang anak perempuan, kemudian beliau bertanya kepadanya: “Engkau telah memberikan nama apa kepadanya?”. Ia menjawab: “Fathimah”. Mendengar itu Imam AS bersabda: “Fathimah, salam sejahtera atas Fathimah. Karena engkau telah menamainya Fathimah, maka hati-hatilah jangan sampai memukulnya, mengucapkan perkataan buruk kepadanya, dan muliakanlah ia.”
Salah seorang pengikut Imam Shadiq AS berkata: “Pada suatu hari dengan raut muka sedih, aku telah menghadap Imam Shadiq AS. Beliau bertanya: “Kenapa engkau bersedih?”. Aku menjawab: anakku yang terlahir adalah perempuan. Beliau bertanya kembali: “Engkau beri nama apa ia?”. Aku menjawab: “Fathimah”. Beliau kembali berkata: “Ketahuilah jika engkau telah menamainya Fathimah, janganlah engkau berkata buruk kepadanya dan janganlah memukulnya”.”(Wasa’il as-Syi’ah jilid 15 halaman 200)
ZAHRA
Zahra, artinya ialah “yang bersinar” atau “yang memancarkan cahaya”. Imam Hasan bin Ali al-Askari (imam ke-11) bersabda: “Salah satu sebab Sayidah Fathimah dinamai az-Zahra karena tiga kali pada setiap hari beliau akan memancarkan cahaya bagi Imam Ali AS.” (Bihar al-Anwar jilid 43 halaman 11) Memancarkan cahaya bagaikan matahari pada waktu pagi, siang dan terbenam matahari.
Dalam riwayat lain Imam Shadiq AS bersabda: “Sebab Sayidah Fathimah dinamakan Zahra karena akan diberikan kepada beliau sebuah bangunan di surga yang terbuat dari yaqut merah. Dikarenakan kemegahan dan keagungan bangunan tersebut maka para penghuni surga melihatnya seakan sebuah bintang di langit yang memancarkan cahaya, dan mereka satu sama lain saling mengatakan bahwa bangunan megah bercahaya itu dikhususkan untuk Fathimah AS.”
Dalam riwayat lain dikatakan bahwa, orang-orang telah bertanya kepada Imam Shadiq AS: “Kenapa Fathimah AS dinamakan Zahra?” Beliau menjawab: “Karena sewaktu beliau berada di mihrab (untuk beribadah) cahaya memancar darinya untuk para penghuni langit, bagaikan pancaran cahaya bagi para penghuni bumi.” (Namha wa Alqaab Hadzrate Fathimah Zahra halaman: 22)
UMMU ABIHA
Panggilan kesayangan bagi Sayidah Fathimah. adalah Ummu Abiha (ibu dari ayahnya). Dia adalah puteri yang mulia dari pemimpin para makhluq, Rasulullah SAW, Abil Qasim, Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muththalib bin Hasyim.
Fatimah a.s. memperlakukan Rasul SAWW lebih dari perlakuan seorang ibu terhadap anaknya, sebagaimana Rasul SAWW mencintai dan menghormati Az-Zahra’ lebih dari penghormatan seorang anak terhadap ibunya. Sirah Nabawi mengingatkan kita akan sikap Rasul SAWW saat ditemui Az-Zahra’. Beliau berdiri menyambut, menyalami, mencium, dan mendudukkannya di sisi beliau, serta menemaninya dengan seluruh jiwa.
Ketika Nabi SAW terluka dalam Perang Uhud, Sayidah Fathimah keluar dari Madinah menyambutnya dan menghampiri ayahnya agar hatinya tenang. Ketika melihat luka-lukanya, Fathimah langsung memeluknya. Dia mengusap darah darinya, kemudian mengambil air dan membasuh mukanya. Betapa indah situasi di mana hati Muhammad SAW berdenyut menunjukkan cinta dan sayang kepada puterinya itu. Seakan-akan kulihat Az-Zahra’ a.s. berlinang air mata dan berdenyut hatinya dengan cinta dan kasih sayang.
MUHADDATSAH
Muhaddatsah, artinya ialah “orang yang malaikat berbicara dengannya”. Telah dijelaskan bahwasanya para malaikat dapat berbicara dengan selain para nabi atau para rasul. Dan orang-orang selain para nabi dan rasul itu dapat mendengar suara dan melihat para malaikat. Sebagaimana dalam al-Qur’an disebutkan bahwa Allah SWT telah menjelaskan bahwasanya Mariam bin Imran AS (bunda Maria) telah melihat malaikat dan berbicara dengannya. Hal ini telah disinyalir dalam surah al-Imran ayat 42, “Dan (Ingatlah) ketika malaikat (Jibril) berkata: “Hai Maryam, Sesungguhnya Allah Telah memilih kamu, mensucikan kamu dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia (yang semasa dengan kamu).”
Dalam sebuah riwayat Imam Shadiq AS bersabda: “Fathimah dijuluki muhaddatsah karena para malaikat selalu turun kepadanya, sebagaimana mereka memanggil Mariam AS, berbicara dengannya, dan mereka mengatakan: “Wahai Fathimah, sesungguhnya Allah SWT telah memilihmu, mensucikanmu dan memilihmu atas perempuan seluruh alam”. Para malaikatpun menyampaikan kepada Fathimah Zahra AS tentang hal-hal yang akan terjadi di masa mendatang, raja-raja yang akan berkuasa, dan hukum-hukum Allah SWT. Fathimah Zahra AS meminta kepada Imam Ali AS untuk menulis semua perkara yang telah disampaikan para malaikat kepadanya. Serta jadilah kumpulan tulisan tersebut dinamakan dengan mushaf Fathimah”. (Bihar al-Anwar jilid 43)
Imam Shadiq AS telah berkata kepada Abu Bashir: “Mushaf Fathimah berada pada kami. Dan tiada yang mengetahui tentang isi mushaf tersebut….mushaf tersebut berisikan hal-hal yang telah diwahyukan Allah SWT kepada ibu kami, Fathimah Zahra AS.” (Bihar al-Anwar jilid 43, Fathimah az-Wiladat to Syahadat halaman 111)
MARDHIYAH
Mardiyah, artinya ialah “orang yang segala perkataan dan perilakunya telah diridhoi Allah SWT”. Adapun sebab beliau dijuluki dengan julukan mardiyah karena bersumber pada beberapa hadis yang telah disampaikan Rasulullah SAW berkaitan dengan kedudukan Sayidah Fathimah Zahra AS, dimana beliau telah bersabda: “Sesungguhnya Allah SWT murka atas murka-mu dan ridho atas keridhoan-mu.” (Riwayat dengan kandungan seperti ini bisa didapati pada beberapa sumber seperti, Mustadrak ash-Shahihain jilid 3 halaman 153, Kanzul Ummal jilid 6 halaman 219, Mizan al-I’tidal jilid 2 halaman 72, Dzakhairu al-‘Uqba halaman 39)
Catatan: Tentunya hadis-hadis Rasulullah tentang Sayidah Fathimah Zahra AS itu bukanlah berasal dari hawa nafsu dan atas dasar nepotisme seorang ayah terhadap anaknya. Karena sebagaimana yang telah dijelaskan dalam al-Qur’an beliau tidak mengatakan sesuatu berdasarkan hawa nafsu sebagaimana yang telah dijelaskan dalam al-Qur’an: “ Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya.” (QS an-Najm:3). Maka hadis-hadis itu sebagai bukti akan keistimewaan Fathimah Zahra AS dimata Allah dan Rasul-Nya.
SIDDIQAH KUBRA
Shiddiqah, artinya ialah “seorang yang sangat jujur”, orang yang tidak pernah berbohong. Atau orang yang perkataannya membenarkan prilakunya. (Lisanul Arab dan Taajul Aruus)
Pada waktu menjelang kepergian (wafat) Rasulullah SAW, beliau berkata kepada Ali AS: “Aku telah menyampaikan berbagai masalah kepada Fathimah. Benarkan (percayailah) segala yang disampaikan Fathimah, karena ia sangat jujur.” (Bihar al-Anwar jilid 22 halaman 490)
Dalam sebuah hadis bahwasanya Ummulmukminin Aisyah berkata: “Tidak aku dapatkan seseorang yang lebih jujur dari Fathimah, selain ayahnya.” (Hilyatul Auliya’ jilid 2 halaman 41 dan atau Mustadrak as-Shahihain jilid 3 halaman 16)
Dan kedudukan ini (Shiddiqiin) berada pada tingkatan para nabi, syuhada dan shalihin sebagaimana yang telah disinyalir al-Qur’an: “Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh, dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS An-Nisa : 6
Rasulullah SAW berkata kepada Imam Ali AS: “Tiga hal berharga telah dihadiahkan kepadamu, dan tidak seorangpun yang mendapatkannya termasuk aku; Engkau memiliki mertua seorang rasul, sementara aku tidak memiliki mertua sepertimu. Engkau memiliki istri yang sangat jujur (shiddiqqah) seperti putriku, sementara aku tidak memiliki istri sepertinya. Engkau dikaruniai anak-anak seperti Hasan dan Husein, sementara aku tidak dikaruniai anak-anak seperti mereka. Namun demikian engkau berasal dariku dan aku berasal darimu.” (Ar-Riyadhu an-Nadrah jilid 2 halaman 202)
RAIHANAH
Dalam sebuah riwayat berkaitan dengan putrinya, Rasulullah SAW bersabda: “Fathimah merupakan wewangianku. Ketika aku merindukan bau surga maka aku akan mencium Fathimah”. (Bihar al-Anwar jilid 35 halaman 45, dan kandungan hadis semacam ini pun bisa didapati dalam tafsir Ad-Durrul Mansur Suyuthi)
BATHUL
Ibnu Atsir dalam karyanya yang berjudul “An-Nihayah” menyatakan: “Kenapa Fathimah dijuluki Al-Bathul? Karena beliau dari segi keutamaan, agama, dan kehormatan lebih dari para perempuan yang ada pada zamannya. Atau karena beliau telah memutuskan hubungannya dengan dunia dan hanyalah mencari kecintaan Allah SWT.” (Hadis dengan redaksi semacam ini juga dapat kita jumpai pada kitab-kitab seperti; Maanil Akhbar hal 54, Ilalu Asy-Syarai’ hal 181, Yanaabi’ al-Mawaddah hal 260)
Dalam kitab “al-Manaqib” pada jilid 3 halaman 133 dijelaskan bahwa seseorang telah bertanya kepada Rasulullah; “Kenapa seseorang dijuluki al-Bathul? Beliau menjawab: “Yaitu perempuan yang tidak keluar darinya darah haid. Sesungguhnya hal itu tidak layak bagi para putri para nabi (lain).” (Al-Manaqib jilid 3 halaman 133, Al-awalim jilid 6 halaman 16)
RASYIDAH
Rasyidah, artinya ialah “wanita yang telah dianugrahi petunjuk”, selalu berada dalam kebenaran dan pemberi petunjuk bagi yang lain. Rasulullah SAW telah memberikan julukan ini kepada putrinya, Fathimah AS. Dalam sebuah riwayat telah dijelaskan bahwasanya Imam Ali AS bersabda: “Beberapa saat sebelum kepergian Rasulullah (wafat), beliau telah memanggilku. Beliau bersabda kepadaku dan Fathimah: “Ini hanutku (ialah kapur barus yang dioleskan ke anggota sujud seorang jenazah, red) yang telah dibawakan Jibril dari surga untukku. Beliau telah menitip salam untuk kalian berdua dan berkata: “Engkau harus membagikan hanut ini, dan ambillah untukmu. Pada saat itu Fathimah AS berkata: “1/3-nya untuk engkau wahai ayahku. Sedang sisanya, biarlah Ali sendiri yang memutuskannya”. Mendengar itu Rasulullah menangis dan memeluk putrinya seraya bersabda: “Engkau adalah wanita yang telah dianugrahi taufiq (pertolongan khusus) dan rasyidah (petunjuk) yang telah mendapatkan ilham dari-Nya, dan mendapatkan petunjuk dari-Nya. Pada saat itu pula Rasulullah SAW bersabda: “Wahai Ali, katakan padaku tentang sisa hanut tersebut”. Aku (Ali) berkata: “Setengah dari yang tersisa ialah untuk Zahra (Fathimah). Dan berkaitan dengan sebagian lainnya apa perintahmu, ya Rasulullah?”. Rasulullah SAW bersabda: “Sisanya untukmu, maka peliharalah.” (Bihar al-Anwar jilid 22 halaman 492)
HAURA INSIYAH (bidadari berbentuk manusia)
Sebelum Rasul melakukan salah satu mi’rajnya(dari beberapa riwayat disebutkan Rasulullah tidak melakukan mi’raj sekali saja, bahkan berkali-kali red), Atas perintah Allah SWT, beliau tidak diperkenankan untuk menemui (mengumpuli) istrinya selama 40 hari. Dan pada hari terakhir beliau dalam mi’raj-nya memakan buah-buahan seperti; kurma dan apel yang berasal dari surga. Seusai beliau memakan buah-buahan yang berasal dari surga itu lantas beliau menemui (mengumpuli) istrinya Sayidah Khadijah AS. Dan dari nutfah (sperma) yang berasal dari buah-buahan surga itulah, Sayidah Khadijah AS mengandung janin Sayidah Fathimah Zahra AS. Oleh karena itu, Sayidah Fathimah Zahra AS dijuluki ‘haura Insiyah’ (bidadari berbentuk manusia). (Tafsir Furat Kufi halaman 119, Bihar al-Anwar jilid 43 halaman 18, riwayat-riwayat semacam inipun bisa didapati dalam sumber-sumber Ahlusunah seperti; Ad-Durrul Mansur, Mustadrak Shahihain, Dzakhairu al-Uqbah, Tarikh Bagdadi dsb)
Haura insiyah, artinya ialah “bidadari yang berbentuk manusia”, para wanita surga dinamakan bidadari karena putih dan hitam matanya sangat elok dan menarik sekali. Oleh karena itu, seorang wanita yang memiliki mata yang sangat elok seperti bidadari, dijuluki bidadari. (Bihar al-Anwar jilid 43 halaman 5)
THAHIRAH
Thahirah berarti yang “suci atau maksum dari dosa dan kesalahan”. Hal ini karena beliau telah disucikan dari salah dan dosa, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam al-Qur’an surah al-Ahzab ayat 33, “… Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”
Berdasarkan ayat di atas Allah SWT telah mensucikan Ahlu-Bayt Nabi SAW. Dan salah satu dari Ahlu-Bayt Nabi SAW tersebut adalah Sayidah Fathimah AS. Ayat di atas diturunkan berkaitan dengan “Ashhabul Kisa” (penghuni kain), yaitu Rasulullah, Imam Ali, Sayidah Fathimah Zahra, Imam Hasan dan Imam Husein. Hal ini dapat dirujuk dalam berbagai sumber seperti, Tafsir at-Thabari, Tafsir Ad-Durrul Mansur, Tarikh al-Bagdadi, Tafsir al-Kasyaf, Usudul Ghabah…
Sumber http://www.facebook.com/notes/abdurrahman-shahab/nama-dan-julukan-sayyidah-fatimah-az-zahra-as/322881755275
Saya posting artikel ini karena ternyata Kh Mukhtar Syafaat mbahnya teman saya Habib Annas . Sebuah keluarga yang turun menurun diberkahi oleh Allah untuk menjadi pewaris Rasulullah SAW. Semoga Allah merahmati dengan kasih sayang NYA.
Ulama Panutan Umat
Salah satu ulama terkemuka di Banyuwangi ini terkenal dengan sikap dan perilaku yang menjadi panutan umat. Dialah KH Mukhtar Syafaat, pendiri sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Darussalam, BlokAgung, Jajag, Banyuwangi
Suatu waktu, Kyai Dimyati (putra KH Ibrahim) mengalami jadzab (“nyleneh”). Ia mengusir Syafa’at dan kedua sahabatnya yang bernama Mawardi dan Keling. Ketiganya adalah santri yang dibencinya. Saat Kyai Syafa’at sedang mengajar, Kyai Dimyati (Syarif) melemparinya dengan maksud agar Syafa’at meninggalkan pondok. Akhirnya Syafa’at meningalkan Pondok Pesantren Jalen Genteng yang diikuti oleh salah satu santri yang bernama Muhyidin, santri asal Pacitan ke kediaman kakak perempuannya Uminatun yang terletak di Blokagung.
Selama di Blokagung ini, ia mulai mengajar di Musala milik kakak perempuanya itu. Mula-mula ia Al-Qur’an dan beberapa kitab dasar kepada para pemuda masyarakat sekitar dan akhirnya para santri yang dahulu menetap di Pondok Pesantren Jalen Genteng turut belajar di Musala kecil itu. Beberapa bulan kemudian, musala itu sudah tidak dapat menampung lagi para santri yang ingin belajar kepadanya. Akhirnya, tempat belajar pindah ke masjid milik Kyai Hamid yang berada tidak jauh dari musala.
Itulah sekilas latar belakang KH Muktar Syafaat Abdul Ghafur seorang ulama dan guru panutan umat. Ia lahir di dusun Sumontoro, Desa Ploso Lor, Kec Ploso Wetan, Kediri, 6 Maret 1919. Ia adalah putra keempat dari pasangan suami-isteri KH Abdul Ghafur dan Nyai Sangkep. Kalau dilihat dari silsilah keturunan, KH Mukhtar Syafa’at merupakan salah seorang keturunan pejuang dan ulama, dari silsilah ayahnya, yakni KH Mukhtar Syafa’at putra dari Syafa’at bin Kyai Sobar Iman bin Sultan Diponegoro III (keturunan prajurit Pangeran Diponegoro) dan garis ibu, yaitu Nyai Sangkep binti Kyai Abdurrohman bin Kyai Abdullah (keturunan prajurit Untung Suropati).
Sejak usia kanak-kanak (4 tahun), Syafa’at telah menunjukkan sikap dan perilaku cinta terhadap ilmu pengetahuan dan berkemauan keras mendalami agama Islam. Setiap sore hari, ia tekun mengaji ke mushola terdekat yang saat itu diasuh oleh Ustadz H. Ghofur. Dari sinilah ia mulai belajar membaca Al-Qur’an, tajwid dan Sulam Safinah. Pada tahun 1925 (usia 6 tahun), Syafa’at kemudian mengaji ke Kyai Hasan Abdi selama 3 tahun di desa Blokagung, Tegalsari, Banyuwangi.
Selepas dikhitan pada tahun 1928, ia kemudian melanjutkan ke Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang yang saat itu diasuh oleh KH. Hasjim Asy’ari. Di pesantren ini, ia seperti umumnya santri-santri lain mendalami ilmu-ilmu agama Islam seperti Ilmu Nahwu, Shorof, Fiqih, Tafsir Al-Qur’an dan Akhlaq Tasawuf. Setelah 6 tahun menimba ilmu di Pondok Tebuireng, pada tahun 1936 ia diminta pulang oleh ayahnya agar saudaranya yang lain secara bergantian dapat mengenyam pendidikan pesantren.
Permintaan tersebut ditampiknya secara halus, karena ia ingin mendalami dan menguasai ilmu-ilmu pesantren. Atas saran salah satu kakaknya, yakni Uminatun (Hj. Fatimah) pada tahun 1937 ia akhirnya meneruskan studi ke Pondok Pesantren Minhajut Thulab, Sumber Beras, Muncar, Banyuwangi yang diasuh KH. Abdul Manan.
Selama menjadi santri di ponpes Minhajut Thulab, Syafa’at sering jatuh sakit. Setelah satu tahun, ia akhirnya pindah lagi ke Ponpes Tasmirit Tholabah yang diasuh oleh KH Ibrahim. Di pondok ini selain belajar, ia juga dipercaya oleh KH Ibrahim untuk mengajar ke santri lain. Di Pondok ini juga, Syafa’at mulai mengkaji ilmu-ilmu tasawuf, seperti belajar kitab Ihya Ulumiddin karya Syekh Imam Al-Ghozali.
Pemahaman ini tidak sebatas pelajaran teori saja, namun juga ia praktekan secara langsung seperti saat mandi, shalat fardhu, dan berhubungan dengan lain jenis. Saat mandi, ia tidak pernah menanggalkan seluruh pakaiannya, dan tidak pernah melihat auratnya. Selain itu, selama di Ponpes Tasmirit Tholabah ia senantiasa shalat berjamaah di masjid. Padahal, ia termasuk kriteria “santri kasab”, yaitu santri yang mondok sambil bekerja kepada masyarakat sekitar.
Selama masih menuntut ilmu dan merasa belum waktunya menikah, Mukhtar Syafa’at senantiasa memelihara diri dan menjaga jarak dengan hubungan lain jenis. Suatu hari, ia oleh teman-teman santri dijodoh-jodohkan dengan seorang gadis masyarakat sekitar Pondok Tasmirit Tholabah. Apa reaksinya? Ia justru bersikap dan berperilaku layaknya orang gila dengan cara memakai pakaian yang tidak wajar. Dengan demikian, gadis yang dijodoh-jodohkan tersebut beranggapan bahwa Syafa’at adalah benar-benar gila, dan praktis keberatan bila dijodohkan.
Pengembaraan kyai Syafaat dalam menuntut ilmu adalah perjalanan panjang yang menuntut perjuangan, ketabahan hati dan pengorbanan. Ia seringkali dalam situasi dan kondisi yang memprihatinkan. Salah seorang sahabatnya ketika belajar di Ponpes Tasmirit Tholabah, KH Mu’allim Syarkowi menuturkan keadaannya,”KH Syafa’at(Alm) ketika belajar di Pondok Tasmirit Tholabah, Jalan Genteng Banyuwangi, sangatlah menderita. Ia sering jatuh sakit, terutama penyakit kudis (gudik). Disamping itu, ia tidak mendapat kiriman dari orang tuanya sehingga harus belajar sambil bekerja. Apabila musim tanam dan musim panen tiba, kami harus mendatangi petani untuk bekerja. Pagi-pagi benar kami harus sudah berangkat dan menjelang Dzuhur kami baru pulang. Sedangkan malam hari kami gunakan untuk belajar mengaji.”
Walaupun dalam kondisi yang memprihatinkan, Kyai Syafa’at tetap bersikeras untuk mendalami ilmu-ilmu agama Islam. Semasa masa pendudukan Jepang antara tahun 1942-1945, ia juga turut berperan aktif dalam bela negara dan merebut kemerdekaan RI.Oleh teman-teman seperjuangan, ia diangkat sebagai juru fatwa dan sumber ide dalam penyerangan. Setiap akan melangkah, mereka meminta pertimbangan dahulu kepada Syafa’at.
Pada jaman pendudukan Jepang, Syafa’at tidak luput dari gerakan Dai Nippon Jepang yang bernama Hako Kotai, yaitu gerakan pemerasan terhadap harta, jiwa dan harta bangsa Indonesia demi kemenangan Perang Asia Timur Raya. dalam gerakan ini, Syafa’at diwajibkan mengikuti kerja paksa selama 7 hari di Tumpang Pitu (pesisir laut pantai selatan teluk Grajagan dan Lampon). Ia dipekerjakan sebagai penggali parit perlindungan tentara Jepang.
Saat Belanda mendarat di pelabuhan Meneng, Sukowati, Banyuwangi Syafa’at tidak tinggal diam. Ia bergabung dalam Barisan Keamanan Rakyat yang dipimpin Kapten Sudarmin. Syafa’at juga turut aktif melakukan penyerbuan ke kamp-kamp tentara Belanda saat perang gerilya dengan bergabung dalam Font Kayangan Alas Purwo dan Sukamande kecamatan Pesangaran yang dipimpin Kyai Muhammad dan Kyai Musaddad.
Lepas dari alam penjajahan Jepang dan Belanda, tepatnya pada tahun 1949 ia mulai merintis berdirinya Pesantren Darussalam. Setelah melalui perjuangan yang berat, pesantren Darussalam akhirnya berkembang dari waktu ke waktu dan jumlah santrinya pun semakin bertambah banyak. Ini tak lepas dari sosok pendiri dan pengasuh pesantren KH Syafa’at yang menjadi sosok teladan sekaligus panutan umat.
Ia juga kerap dimintai pertolongan untuk melakukan pengobatan masyarakat. Dengan cara menulis lafadz Ya’lamuuna, selepas itu pada huruf ‘Ain ditancapkan paku sambil dipukul palu. Sesekali KH Syafa’at menanyai pasien, apakah masih sakit atau tidak. Kalau masih sakit, dipukul lagi dan jika makin parah maka pada huruf Mim juga akan ditancapkan paku dan dipukul lagi sebagaimana huruf ‘Ain. Konon, pengobatan tradisional ini banyak melegakan pasien. Selain itu, ia juga sering dimintai untuk mengobati dan menangkal gangguan santet dan sejenisnya. Sehingga rumahnya kerap dikunjungi para tamu dari berbagai daerah. “Kalau kalian mengetahui ada tamu, maka beri tahu saya. Kalau saya tidak ada atau bepergian, silahkan tamu tersebut singgah ke rumah barang sejenak dan hormatilah mereka dengan baik. Kemudian, pintu rumah jangan ditutup sebelum jam 22.00,” demikian pesan KH. Syafa’at kepada keluarga dan para santri.
KH Syafaat juga dikenal sebagai pribadi yang penuh kesedehanaan, qanaah, teguh menjaga muru’ah (harga diri) dan luhur budinya. Ia tidak pernah merasa rendah di hadapan orang-orang yang kaya, apalagi sampai merendahkan diri pada mereka dan ia tidak malas beribadah karena kefakirannya. Bahkan jika disedekahi harta, ia tidak mau menerima. Sekalipun diterima itu pun hanya sebatas yang diperlukan saja, tidak tamak untuk mengumpulkannya.
Bahkan Kyai Sya’aat dikenal punya semangat memberi dan memuaskan setiap orang yang datang kepadanya. Pernah suatu saat Kyai Syafa’at akan berangkat Haji, terlebih dahulu ia berziarah ke makam Sunan Ampel di Surabaya. Lepas dari komplek makam, ia bertemu dengan ratusan pengemis dan ia memberikan shodaqah kepada para pengemis di sekitar makam sampai uangnya habis. Bahkan karena sebagian pengemis itu tidak kebagian, ia kemudian menyuruh salah satu santrinya untuk mencarikan hutangan sejumlah empat juta rupiah kepada Masyhuri di Surabaya untuk disedekahkan kepada para pengemis yang tidak kebagian.
Tidak hanya itu, sering uang bisyaroh selepas mengisi pengajian di banyak tempat di berikan langsung kepada orang-orang yang tidak dikenalnya, tanpa menghitung jumlah uang yang diterimanya. Selain dermawan akan harta dan ilmu, KH Syafa’at dikenal seorang ulama yang wira’i ( menjaga kehormatan).
Suatu ketika Kyai bepergian dengan ditemani oleh salah satu sopir, H Mudhofar, sampai di Karangdoro mobilnya rusak (mogok). Akhirnya mobil dibenahi dan oleh H. Mudhofar diambilkan batu bata untuk mengganjal mobil, di salah satu perumahan penduduk. Setelah selesai, mobil berjalan dan KH Syafa’at bertanya,”Batu bata itu milik siapa? Kalau punya orang, kembalikan!” Akhirnya mobil berhenti dan batu bata tersebut oleh H. Mudhofar dikembalikan ke tempatnya semula.
Selain aktif dalam kegiatan kemasyarakatan, KH. Syafa’at juga aktif dalam Jami’ah Keagamaan Nahdlatul Ulama. Tercatat, ia pernah menjadi pengurus dari tingkat ranting sampai cabang. Jabatan terakhirnya adalah sebagai salah satu Mustasyar wilayah Banyuwangi, Jawa Timur.
KH Syafaat pada hari Jumat malam, 1 Februari 1991 (17 Rajab 1411 H) dengan meninggalkan 14 anak (10 putra, 4 putri) dari perkawinannya dengan Nyai Siti Maryam dan 7 anak (4 putra, 3 putri) dari perkawinannya dengan Nyai Hj Musyarofah. Jenazah setelah disemayamkan di rumah duka dan dishalati oleh mu’aziyin sampai 17 kali kemudian dimakamkan komplek makam keluarga, sekitar 100 meter arah utara dari Pesantren Darussalam, Blokagung, Banyuwangi.
Sumber http://ajisetiawan.blogspot.com/2007/01/kh-mukhtar-syafaat.html
KH. Mukhtar Syafaat
Ulama Panutan Umat
Salah satu ulama terkemuka di Banyuwangi ini terkenal dengan sikap dan perilaku yang menjadi panutan umat. Dialah KH Mukhtar Syafaat, pendiri sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Darussalam, BlokAgung, Jajag, Banyuwangi
Suatu waktu, Kyai Dimyati (putra KH Ibrahim) mengalami jadzab (“nyleneh”). Ia mengusir Syafa’at dan kedua sahabatnya yang bernama Mawardi dan Keling. Ketiganya adalah santri yang dibencinya. Saat Kyai Syafa’at sedang mengajar, Kyai Dimyati (Syarif) melemparinya dengan maksud agar Syafa’at meninggalkan pondok. Akhirnya Syafa’at meningalkan Pondok Pesantren Jalen Genteng yang diikuti oleh salah satu santri yang bernama Muhyidin, santri asal Pacitan ke kediaman kakak perempuannya Uminatun yang terletak di Blokagung.
Selama di Blokagung ini, ia mulai mengajar di Musala milik kakak perempuanya itu. Mula-mula ia Al-Qur’an dan beberapa kitab dasar kepada para pemuda masyarakat sekitar dan akhirnya para santri yang dahulu menetap di Pondok Pesantren Jalen Genteng turut belajar di Musala kecil itu. Beberapa bulan kemudian, musala itu sudah tidak dapat menampung lagi para santri yang ingin belajar kepadanya. Akhirnya, tempat belajar pindah ke masjid milik Kyai Hamid yang berada tidak jauh dari musala.
Itulah sekilas latar belakang KH Muktar Syafaat Abdul Ghafur seorang ulama dan guru panutan umat. Ia lahir di dusun Sumontoro, Desa Ploso Lor, Kec Ploso Wetan, Kediri, 6 Maret 1919. Ia adalah putra keempat dari pasangan suami-isteri KH Abdul Ghafur dan Nyai Sangkep. Kalau dilihat dari silsilah keturunan, KH Mukhtar Syafa’at merupakan salah seorang keturunan pejuang dan ulama, dari silsilah ayahnya, yakni KH Mukhtar Syafa’at putra dari Syafa’at bin Kyai Sobar Iman bin Sultan Diponegoro III (keturunan prajurit Pangeran Diponegoro) dan garis ibu, yaitu Nyai Sangkep binti Kyai Abdurrohman bin Kyai Abdullah (keturunan prajurit Untung Suropati).
Sejak usia kanak-kanak (4 tahun), Syafa’at telah menunjukkan sikap dan perilaku cinta terhadap ilmu pengetahuan dan berkemauan keras mendalami agama Islam. Setiap sore hari, ia tekun mengaji ke mushola terdekat yang saat itu diasuh oleh Ustadz H. Ghofur. Dari sinilah ia mulai belajar membaca Al-Qur’an, tajwid dan Sulam Safinah. Pada tahun 1925 (usia 6 tahun), Syafa’at kemudian mengaji ke Kyai Hasan Abdi selama 3 tahun di desa Blokagung, Tegalsari, Banyuwangi.
Selepas dikhitan pada tahun 1928, ia kemudian melanjutkan ke Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang yang saat itu diasuh oleh KH. Hasjim Asy’ari. Di pesantren ini, ia seperti umumnya santri-santri lain mendalami ilmu-ilmu agama Islam seperti Ilmu Nahwu, Shorof, Fiqih, Tafsir Al-Qur’an dan Akhlaq Tasawuf. Setelah 6 tahun menimba ilmu di Pondok Tebuireng, pada tahun 1936 ia diminta pulang oleh ayahnya agar saudaranya yang lain secara bergantian dapat mengenyam pendidikan pesantren.
Permintaan tersebut ditampiknya secara halus, karena ia ingin mendalami dan menguasai ilmu-ilmu pesantren. Atas saran salah satu kakaknya, yakni Uminatun (Hj. Fatimah) pada tahun 1937 ia akhirnya meneruskan studi ke Pondok Pesantren Minhajut Thulab, Sumber Beras, Muncar, Banyuwangi yang diasuh KH. Abdul Manan.
Selama menjadi santri di ponpes Minhajut Thulab, Syafa’at sering jatuh sakit. Setelah satu tahun, ia akhirnya pindah lagi ke Ponpes Tasmirit Tholabah yang diasuh oleh KH Ibrahim. Di pondok ini selain belajar, ia juga dipercaya oleh KH Ibrahim untuk mengajar ke santri lain. Di Pondok ini juga, Syafa’at mulai mengkaji ilmu-ilmu tasawuf, seperti belajar kitab Ihya Ulumiddin karya Syekh Imam Al-Ghozali.
Pemahaman ini tidak sebatas pelajaran teori saja, namun juga ia praktekan secara langsung seperti saat mandi, shalat fardhu, dan berhubungan dengan lain jenis. Saat mandi, ia tidak pernah menanggalkan seluruh pakaiannya, dan tidak pernah melihat auratnya. Selain itu, selama di Ponpes Tasmirit Tholabah ia senantiasa shalat berjamaah di masjid. Padahal, ia termasuk kriteria “santri kasab”, yaitu santri yang mondok sambil bekerja kepada masyarakat sekitar.
Selama masih menuntut ilmu dan merasa belum waktunya menikah, Mukhtar Syafa’at senantiasa memelihara diri dan menjaga jarak dengan hubungan lain jenis. Suatu hari, ia oleh teman-teman santri dijodoh-jodohkan dengan seorang gadis masyarakat sekitar Pondok Tasmirit Tholabah. Apa reaksinya? Ia justru bersikap dan berperilaku layaknya orang gila dengan cara memakai pakaian yang tidak wajar. Dengan demikian, gadis yang dijodoh-jodohkan tersebut beranggapan bahwa Syafa’at adalah benar-benar gila, dan praktis keberatan bila dijodohkan.
Pengembaraan kyai Syafaat dalam menuntut ilmu adalah perjalanan panjang yang menuntut perjuangan, ketabahan hati dan pengorbanan. Ia seringkali dalam situasi dan kondisi yang memprihatinkan. Salah seorang sahabatnya ketika belajar di Ponpes Tasmirit Tholabah, KH Mu’allim Syarkowi menuturkan keadaannya,”KH Syafa’at(Alm) ketika belajar di Pondok Tasmirit Tholabah, Jalan Genteng Banyuwangi, sangatlah menderita. Ia sering jatuh sakit, terutama penyakit kudis (gudik). Disamping itu, ia tidak mendapat kiriman dari orang tuanya sehingga harus belajar sambil bekerja. Apabila musim tanam dan musim panen tiba, kami harus mendatangi petani untuk bekerja. Pagi-pagi benar kami harus sudah berangkat dan menjelang Dzuhur kami baru pulang. Sedangkan malam hari kami gunakan untuk belajar mengaji.”
Walaupun dalam kondisi yang memprihatinkan, Kyai Syafa’at tetap bersikeras untuk mendalami ilmu-ilmu agama Islam. Semasa masa pendudukan Jepang antara tahun 1942-1945, ia juga turut berperan aktif dalam bela negara dan merebut kemerdekaan RI.Oleh teman-teman seperjuangan, ia diangkat sebagai juru fatwa dan sumber ide dalam penyerangan. Setiap akan melangkah, mereka meminta pertimbangan dahulu kepada Syafa’at.
Pada jaman pendudukan Jepang, Syafa’at tidak luput dari gerakan Dai Nippon Jepang yang bernama Hako Kotai, yaitu gerakan pemerasan terhadap harta, jiwa dan harta bangsa Indonesia demi kemenangan Perang Asia Timur Raya. dalam gerakan ini, Syafa’at diwajibkan mengikuti kerja paksa selama 7 hari di Tumpang Pitu (pesisir laut pantai selatan teluk Grajagan dan Lampon). Ia dipekerjakan sebagai penggali parit perlindungan tentara Jepang.
Saat Belanda mendarat di pelabuhan Meneng, Sukowati, Banyuwangi Syafa’at tidak tinggal diam. Ia bergabung dalam Barisan Keamanan Rakyat yang dipimpin Kapten Sudarmin. Syafa’at juga turut aktif melakukan penyerbuan ke kamp-kamp tentara Belanda saat perang gerilya dengan bergabung dalam Font Kayangan Alas Purwo dan Sukamande kecamatan Pesangaran yang dipimpin Kyai Muhammad dan Kyai Musaddad.
Lepas dari alam penjajahan Jepang dan Belanda, tepatnya pada tahun 1949 ia mulai merintis berdirinya Pesantren Darussalam. Setelah melalui perjuangan yang berat, pesantren Darussalam akhirnya berkembang dari waktu ke waktu dan jumlah santrinya pun semakin bertambah banyak. Ini tak lepas dari sosok pendiri dan pengasuh pesantren KH Syafa’at yang menjadi sosok teladan sekaligus panutan umat.
Ia juga kerap dimintai pertolongan untuk melakukan pengobatan masyarakat. Dengan cara menulis lafadz Ya’lamuuna, selepas itu pada huruf ‘Ain ditancapkan paku sambil dipukul palu. Sesekali KH Syafa’at menanyai pasien, apakah masih sakit atau tidak. Kalau masih sakit, dipukul lagi dan jika makin parah maka pada huruf Mim juga akan ditancapkan paku dan dipukul lagi sebagaimana huruf ‘Ain. Konon, pengobatan tradisional ini banyak melegakan pasien. Selain itu, ia juga sering dimintai untuk mengobati dan menangkal gangguan santet dan sejenisnya. Sehingga rumahnya kerap dikunjungi para tamu dari berbagai daerah. “Kalau kalian mengetahui ada tamu, maka beri tahu saya. Kalau saya tidak ada atau bepergian, silahkan tamu tersebut singgah ke rumah barang sejenak dan hormatilah mereka dengan baik. Kemudian, pintu rumah jangan ditutup sebelum jam 22.00,” demikian pesan KH. Syafa’at kepada keluarga dan para santri.
KH Syafaat juga dikenal sebagai pribadi yang penuh kesedehanaan, qanaah, teguh menjaga muru’ah (harga diri) dan luhur budinya. Ia tidak pernah merasa rendah di hadapan orang-orang yang kaya, apalagi sampai merendahkan diri pada mereka dan ia tidak malas beribadah karena kefakirannya. Bahkan jika disedekahi harta, ia tidak mau menerima. Sekalipun diterima itu pun hanya sebatas yang diperlukan saja, tidak tamak untuk mengumpulkannya.
Bahkan Kyai Sya’aat dikenal punya semangat memberi dan memuaskan setiap orang yang datang kepadanya. Pernah suatu saat Kyai Syafa’at akan berangkat Haji, terlebih dahulu ia berziarah ke makam Sunan Ampel di Surabaya. Lepas dari komplek makam, ia bertemu dengan ratusan pengemis dan ia memberikan shodaqah kepada para pengemis di sekitar makam sampai uangnya habis. Bahkan karena sebagian pengemis itu tidak kebagian, ia kemudian menyuruh salah satu santrinya untuk mencarikan hutangan sejumlah empat juta rupiah kepada Masyhuri di Surabaya untuk disedekahkan kepada para pengemis yang tidak kebagian.
Tidak hanya itu, sering uang bisyaroh selepas mengisi pengajian di banyak tempat di berikan langsung kepada orang-orang yang tidak dikenalnya, tanpa menghitung jumlah uang yang diterimanya. Selain dermawan akan harta dan ilmu, KH Syafa’at dikenal seorang ulama yang wira’i ( menjaga kehormatan).
Suatu ketika Kyai bepergian dengan ditemani oleh salah satu sopir, H Mudhofar, sampai di Karangdoro mobilnya rusak (mogok). Akhirnya mobil dibenahi dan oleh H. Mudhofar diambilkan batu bata untuk mengganjal mobil, di salah satu perumahan penduduk. Setelah selesai, mobil berjalan dan KH Syafa’at bertanya,”Batu bata itu milik siapa? Kalau punya orang, kembalikan!” Akhirnya mobil berhenti dan batu bata tersebut oleh H. Mudhofar dikembalikan ke tempatnya semula.
Selain aktif dalam kegiatan kemasyarakatan, KH. Syafa’at juga aktif dalam Jami’ah Keagamaan Nahdlatul Ulama. Tercatat, ia pernah menjadi pengurus dari tingkat ranting sampai cabang. Jabatan terakhirnya adalah sebagai salah satu Mustasyar wilayah Banyuwangi, Jawa Timur.
KH Syafaat pada hari Jumat malam, 1 Februari 1991 (17 Rajab 1411 H) dengan meninggalkan 14 anak (10 putra, 4 putri) dari perkawinannya dengan Nyai Siti Maryam dan 7 anak (4 putra, 3 putri) dari perkawinannya dengan Nyai Hj Musyarofah. Jenazah setelah disemayamkan di rumah duka dan dishalati oleh mu’aziyin sampai 17 kali kemudian dimakamkan komplek makam keluarga, sekitar 100 meter arah utara dari Pesantren Darussalam, Blokagung, Banyuwangi.
Sumber http://ajisetiawan.blogspot.com/2007/01/kh-mukhtar-syafaat.html
Secara umum penggolongan Marga Arab Hadramaut itu dikategorikan dalam 4 golongan:
Di bawah ini adalah daftar nama marga orang Arab keturunan Yaman (suku Arab Hadramaut):
- Alawiyin (golongan yang mengaku keturunan Rasulullah via keturunan Ahmad bin Isa (AlMuhajir))
- Qabili / Qabail / Qabayl (golongan yang memegang senjata)
- Masaikh / Dhaif (gologang pedagang / petani / rakyat kebanyakan)
- Abid (golongan pembantu / hamba sahaya)
Latar Belakang
Alkisah, golongan Alawiyin karena desakan politik di persia (iran) terpaksa hijrah mencari penghidupan yang lebih baik ke daerah Hadramaut. Disana mereka menyampaikan kepada beberapa muqaddam (kepada suku) mengenai maksud untuk tinggal di Hadramaut dan juga menerangkan jati diri mereka (sebagai turunan Rasulullah). Sebelum secara resmi mereka diterima, muqaddam disaat itu mengirim utusan ke Hejaz untuk mengecek mengenai keberadaan mereka (terutama status turunan Rasul). Namun, setelah beberapa waktu, ada satu keluarga di Hadramout tersebut yang langsung menerima golongan Alawiyin ini untuk tinggal tanpa menunggu kepulangan utusan yang dikirim dan penerimaan secara resmi. Selanjutnya keluarga ini dikenal dengan nama keluarga Bafadhal, yaitu “golongan yang menerima”Di bawah ini adalah daftar nama marga orang Arab keturunan Yaman (suku Arab Hadramaut):
A
- Abbad, Abdul Aziz, Abudan, Aglag, Al Abd Baqi, Al Aidid, Al Ali Al Hajj, Al Amri, Al Amudi, Al As, Al As-Safi, Al Ba Abud, Al Ba Faraj, Al Ba Harun, Al Ba Raqbah, Al Baar, Al Bagdadi, Al Baiti, Al Bakri, Al Bal Faqih, Al Barak, Al Bargi, Al Barhim, Al Batati, Al Bawahab, Al Bin Jindan, Al Bin Sahal, Al Bin Semit, Al Bin Yahya, Al Bukkar, Al Fad’aq, Al Falugah, Al Gadri, Al Hadi, Al Hadi, Al Halagi, Al Hasani, Al Hasyim, Al Hilabi, Al Hinduan, Al Huraibi, Al Aydrus, Al Jabri, Al Jaidi, Al Jailani, Al Junaid, Al Kalali, Al Kalilah, Al Katiri, Al Khamis, Al Khatib, Al Kherid, Al Madhir, Al Mahdali, Al Mahfuzh, Al Matrif, Al Maula Dawilah, Al Maula Khailah, Al Munawwar, Al Musawa, Al Mutahhar, Al Qadri, Al Qaiti, Al Qannas, Al Rubaki, Al Waini, Al Yafi’ie, Al Yamani, AlMathori, AlMukarom, Ambadar, Arfan, Argubi, Askar, Assa’di, Assaili, Asy Syarfi, Attamimi, Attuwi, Azzagladi,al Dames
B
- Ba Abdullah, Ba Attiiyah, Ba Atwa, Ba Awath, Ba Dekuk, Ba’ Dib, Ba Faqih, Ba Sendit, Ba Siul, Ba Sya’ib Bin Ma’tuf Bin Suit, Ba Syaiban, Ba Tebah, Ba Zouw, Ba’asyir, Babadan, Babten, Badegel, Badeges, Ba’dokh, Bafana, Bafadual, Bagaramah, Bagarib, Bagges, Bagoats, Bahafdullah, Bahaj, Bahalwan, Bahanan, Baharmus, Baharthah, Bahfen, Bahmid, Bahroh, Bachrak, Bahsen, Bahwal, Bahweres, Baisa, Bajabir, Bajened, Bajerei, Bajrei, Bajruk, Bakarman, Baksir, Baktal, Baktir, Bal Afif, Baladraf, Balahjam, Balasga, Balaswad, Balfas, Baljun, Balweel, Bamakundu, Bamasri, Bamasak , Bamatraf, Bamatrus, Bamazro, Bamu’min, Banaemun, Banafe, Bana’mah, Banser, Baraba, Baraja, Barakwan, Barasy, Barawas, Bareyek, Baridwan, Barjib, Baruk, Basalamah, Basalim, Basalmah, Basgefan, Bashay, Ba’sin, Baslum, Basmeleh, Basofi, Basumbul, Baswel, Baswer, Basyarahil, Batarfi, Bathef, Bathog, Ba’Tuk, Bawazier, Baweel, Bayahayya, Bayasut, Bazandokh, Bazargan, Bazeid, Billahwal, Bin Abd Aziz, Bin Abd Samad, Bin Abdat, Bin Abri, Bin Addar, Bin Afif, Bin Ajaz, Bin Amri, Bin Amrun, Bin Anuz, Bin Bisir, Bin Bugri, Bin Coger, Bin Dawil, Bin Diab, Bin Duwais, Bin Faris, Bin Gannas, Bin Gasir, Bin Ghanim, Bin Ghozi, Bin Gozan, Bin Guddeh, Bin Guriyyib, Bin Hadzir, Bin Hafidz, Bin Halabi, Bin Hamid, Bin Hana, Bin Hatrash, Bin Hilabi,Bin Hizam, Bin Hud, Bin Humam, Bin Huwel, Bin Ibadi, Bin Isa, Bin Jaidi, Bin Jobah, Bin Juber, Bin Kartam, Bin Kartim, Bin Keleb, Bin Khalifa, Bin Khamis, Bin Khubran, Bin Mahri, Bin Mahfuzh, Bin Makki, Bin Maretan, Bin Marta, Bin Mattasy, Bin Mazham, Bin Muhammad, Bin Munif, Bin Mutahar, Bin Mutliq, Bin Nahdi, Bin Nahed, Bin Nub, Bin On, Bin Qarmus, Bin Sadi, Bin Said, Bin Sanad, Bin Seger, Bin Seif, Bin Syahbal, Bin Syaiban, Bin Syamil, Bin Syamlan, Bin Syirman, Bin Syuaib, Bin Tahar, Bin Ta’lab, Bin Sungkar, Bin Tebe, Bin Thahir, Bin Tsabit, Bin Ulus, Bin Usman, Bin Wizer, Bin Zagr, Bin Zaidan, Bin Zaidi, Bin Zimah, Bin Zoo, Bukkar,Badziher.
T
- Thalib
G
- Ghana’
H
- Haidrah, Hamde, Hamadah, Harhara, Hatrash, Hubeisy,Hayaze, Hasni, Humaid
J
- Jawas, Jibran, Jabli
K
- Karamah, Kurbi
M
- Magadh, Makarim, Marfadi, Martak, Mashabi, Mugezeh, Munabari, Mahdami,Machdan
N
- Nabhan
S
- Sallum, Shahabi, Shogun, Sungkar, Syaiban, Syammach, Syawik,Syagran.
U
- Ugbah, Ummayyer
Z
- Za’bal, Zaidan, jurhum, Zeban, Zubaidi
Yang pertama kali dijulukan (digelari) ” AI-Bafaraj ” adalah Waliyyullah Faraj bin Ahmad AI-Masrafah bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad bin Abdurrahman bin Alwi Ammil Faqih.
So’al gelar yang disandangnya karena ayah Beliau memberi nama Faraj (yang artinya Senang dan Berkat ) pada Beliau ; dengan pengharapan semoga Allah SWT akan menjadikan anaknya kelak seorang yang Shaleh mendapat penuh kesenangan dan keberkatan. Dan kenyataannya Faraj bin Ahmad Masrafah menjadi seorang Waliyyullah yang selalu berjuang Fi Sabilillah.
Waliyyullah Faraj bin Ahmad AI-Masrafah dilahirkan di kota Tarim. Dikaruniai 4 orang anak lelaki , masing-masing bernama : Abubakar ; Umar ; Abdullah dan Alwi. Beliau-Beliau yang melanjutkan keturunan Al-Bafaraj ; terutama yang kebanyakan berada di Indonesia.
Waliyyullah Faraj bin Ahmad Al-Masrafah pulang ke Rahmatullah di kota Tarim pada tahun 876 Hijriyyah.
Semoga Allah SWT memasukkan Beliau Beliau ke dalam Surga dan menghimpunkannya bersama-sama para Nabi, para Syuhada, para Auliya dan para Sholihin. Amin !.
So’al gelar yang disandangnya karena ayah Beliau memberi nama Faraj (yang artinya Senang dan Berkat ) pada Beliau ; dengan pengharapan semoga Allah SWT akan menjadikan anaknya kelak seorang yang Shaleh mendapat penuh kesenangan dan keberkatan. Dan kenyataannya Faraj bin Ahmad Masrafah menjadi seorang Waliyyullah yang selalu berjuang Fi Sabilillah.
Waliyyullah Faraj bin Ahmad AI-Masrafah dilahirkan di kota Tarim. Dikaruniai 4 orang anak lelaki , masing-masing bernama : Abubakar ; Umar ; Abdullah dan Alwi. Beliau-Beliau yang melanjutkan keturunan Al-Bafaraj ; terutama yang kebanyakan berada di Indonesia.
Waliyyullah Faraj bin Ahmad Al-Masrafah pulang ke Rahmatullah di kota Tarim pada tahun 876 Hijriyyah.
Semoga Allah SWT memasukkan Beliau Beliau ke dalam Surga dan menghimpunkannya bersama-sama para Nabi, para Syuhada, para Auliya dan para Sholihin. Amin !.
Yang pertama kali dijuluki (digelari) “BilFaqih” adalah waliyyullah Abdurrahman bin Muhammad bin Abdurrahman Al-Asgok bin Abdullah bin Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Al Faqih Al-Muqaddam.
So’al gelar yang disandangnya karena ayah Beliau adalah seorang ulama besar yang menguasai ilmu ilmu Agama Islam diantara ilmu yang banyak dikuasainya adalah ilmu “Fiqih”, ilmu syariat agama Islam, dengan sendirinya Beliau menjadi seorang ulama besar dan waliyyullah pula mengikuti jejak ayahnya.
Waliyyullah Abdurrahmari bin Muhammad Bil-Faqih dilahirkan di kota Tarim. Dikaruniai dua orang anak masing-masing Husein dan Ahmad yang keduanya menurunkan keturunannya.
Waliyyullah Abdurrahman bin Muhammad BilFaqih pulang ke Rahmatullah di kota Tarim pada tahun 966 Hijriyyah.
Semoga Allah SWT memasukkan Beliau-Beliau ke dalam Surga dan menghimpunkannya bersama-sama para Nabi, para syuhada, para Auliya dan para Sholihin. Amin !.
So’al gelar yang disandangnya karena ayah Beliau adalah seorang ulama besar yang menguasai ilmu ilmu Agama Islam diantara ilmu yang banyak dikuasainya adalah ilmu “Fiqih”, ilmu syariat agama Islam, dengan sendirinya Beliau menjadi seorang ulama besar dan waliyyullah pula mengikuti jejak ayahnya.
Waliyyullah Abdurrahmari bin Muhammad Bil-Faqih dilahirkan di kota Tarim. Dikaruniai dua orang anak masing-masing Husein dan Ahmad yang keduanya menurunkan keturunannya.
Waliyyullah Abdurrahman bin Muhammad BilFaqih pulang ke Rahmatullah di kota Tarim pada tahun 966 Hijriyyah.
Semoga Allah SWT memasukkan Beliau-Beliau ke dalam Surga dan menghimpunkannya bersama-sama para Nabi, para syuhada, para Auliya dan para Sholihin. Amin !.
FAD’AQ, arti dari nama sejenis harimau. Leluhur Alawiyyin yang mendapat gelar Fad’aq dikarenakan mempunyai sifat kuat dan berani seperti Harimau (macan). Sewaktu berdakwah (berjuang) fi Sabilillah.
Ada dua golongan Alawiyyin yang bergelar AI-Fad’aq. Masing masing disandang :
Ada dua golongan Alawiyyin yang bergelar AI-Fad’aq. Masing masing disandang :
- Oleh Waliyyullah Umar Fad’aq bin Abdullah Wathab bin Muhammad Al-Manfar
Beliau dilahirkan di Jami Gasam (Hadramaut). Dikaruniai 6 orang anak laki-laki. 4 diantaranya yang menurunkan keturunannya; masing-masing bernama:1. Muhammad, menurunkan Al-Fad’aq yang bergelar: Al-Bait Mahrus, keturunannya hanya berada di Misygoroh (Hadramaut).
2. Ali, menurunkan A!-Fad’xq yang disebut AI-Syatiri-Bunami, keturunannya hanya berada di Magad dan di Dhifar (Hadramaut).
3. Alwi, keturunannya hanya berada di India
4. Ibrahim, keturunannya hanya berada di Gasam; di Dhifar, di Magad (Hadramaut) dan di Jaman Utara - Waliyyullah Umar Fad’aq bin Abdullah Wathab berpulang ke Rahmatullah di Jami’ Gasam pada tahun 910 Hijriyyah.
- Disandang oleh Waliyyullah Fad’aq bin Muhammad bin Abdullah bin Mubarak bin Abdullah Wathab bin Muhammad Al-Manfar
Gelar yang disandangnya, kemungkinan ayah Beliau menamakan anaknya dengan Fad’aq dengan pengharapan semoga anaknya dapat keberkatan dan meneladani Waliyyullah Umar Fad’aq pendahulunya.
Beliau dilahirkan di: Baydlo’ (Hadramaut): Dikanuniai 5 orang anak laki-laki. 3 diantaranya yang melanjutkan keturunannya masing-masing yang bernama: Hasan, A’gil dan Abdullah. Keturunannya semuanya hanya disebut “Al-Fad’aq” saja, yang kebanyakan berada di Indonesia.
Beliau pulang ke Rahmatullah di Baydlo’ pada tahun 1000 Hijnyyah
Habib Jindan bin Novel bin Salim Jindan
Orator ulung ini rajin menyampaikan taushiah di sejumlah majelis taklimdi Indonesia. Dialah Habib Jindan bin Novel bin Salim Jindan, sangPengasuh Pondok Pesantren Al-Fakhriyah, Tangerang, Banten
Wajah dai yang satu ini tentu sudah banyak dikenal oleh kalangan habaib dan muhibbin yang ada di Indonesia. Usianya kini menginjak 30 tahun.
Tapi reputasinya sebagai ulama dan mubalig sudah diakui oleh kaum muslimin di Indonesia. Tidak saja di Jakarta, tapi juga di banyak majelis-majelis haul dan maulid yang digelar di berbagai tempat; seperti Gresik, Surabaya, Solo, Pekalongan, Tegal, Semarang, Bandung,Palembang, Pontianak, Kalimantan, hampir berbagai daerah di negeri ini sudah dirambahinya.
Bakatnya sebagai dai memang bukan tidak saja karena dia adalah cucudari Habib Salim bin Ahmad bin Jindan, “Singa Podium” dan seorang pejuang dakwah di Betawi pada tahun 1906 - 1969. Dai yang satu ini memang sedari kecil telah tertempa dalam lingkungan pendidikan yang sarat religius. Wajar, jika agamanya pun cukup mendalam.
Wajah ulama muda yang saleh ini tampak bersih, tutur katanya halus, dengan gaya berceramahnya enak didengar dan mengalir penuh untaian kalam salaf serta kata-kata mutiara yang menyejukan para pendengarnya. Seperti kebanyakan habib, ia pun memelihara jenggot, dibiarkannya terjurai.
Dialah Habib Jindan bin Novel bin Salim bin Jindan, putra Habib Novel bin Salim bin Jindan bin Syekh Abubakar, salah seorang ulama yang terkenal di Jakarta. Habib Jindan bin Novel juga dikenal sebagai penerjemah bahasa Arab ke bahasa Indonesia yang andal. “Ketika dia menerjemahkan taushiah gurunya, Habib Umar bin Hafidz, makna dan substansinya hampir sama persis dengan bahasa aslinya. Bahkan waktunya pun hampir sama dengan waktu yang digunakan oleh Habib Umar,” tutur seorang habib diJakarta.
Lahir di Sukabumi, pada hari Rabu 10 Muharram 1398 atau 21 Desember 1977, sejak kecil ia selalu berada di lingkungan majlis taklim dan sarat dengan pendidikan ilmu-ilmu agama. “Waktu kecil saya sering diajak ke berbagai majelis taklim di
Jakarta oleh saya punya Abah, yakni Habib Novel bin Salim bin Jindan. Dari situ saya mendapat banyak manfaat, antara lain berkah dari beberapa ulama dan habaib yang termasyhur,” kenang Bapak 5 anak (4 putri, 1 putri) ini kepada alKisah.
Bisa dimaklumi, sebab ayahandanya memang dikenal sebagai mubalig yangtermasyhur pula. Pengalaman masa kecil itu pula yang mendorongnya selalu memperdalam ilmu agama. Pada umur dua tahun, ia bersama keluarganya tinggal di Pasar Minggu bersebelahan dengan rumah keluarga Habib Salim bin Toha Al-Haddad (PasarMinggu).
Lepas itu, pada umur lima tahun ia juga pernah dititipkan untuk tinggal di rumah Habib Muhammad bin Husein Ba’bud dan putranya, yakni Habib Ali bin Muhammad
bin Husein Ba’abud, tepatnya di kompleks Pondok Pesantren Darun Nasyi’ien (Lawang, Malang). “Di Lawang, sehari-hari saya tidur di kamar Habib Muhammad Ba’bud. Selama disana dibilang mengaji, tidak juga. Tapi berkah dari tempat itu selama setahun saya tinggal, masih terasa sampai sekarang,” ujarnya dengan senyum khasnya.
Menginjak umur 6 tahun ia ikut orangtuanya pindah ke Senen Bungur, pria berkacamata ini mengawali belajar di SD Islam Meranti, Kalibaru Timur (Bungur, Jakarta Pusat). Ia juga belajar diniyah pada sebuah Madrasah yang diasuh oleh Ustadzah Nur Baiti di Bungur.
Ia kemudian melanjutkan ke tingkat Tsanawiyah di Madrasah Jami’atul
Kheir, Jakarta hingga tingkat Aliyah, tapi tidak tamat. Selama di Jami’atul Kheir, banyak guru-guru yang mendidiknya seperti Habib Rizieq Shihab, Habib Ali bin Ahmad Assegaf, KH. Sabillar Rosyad, KH.Fachrurazi Ibrahim, Ustadz Syaikhon Al-Gadri, Ustadz Fuad bin Syaikhon Al-Gadri, dan lain-lain.
Sejak muda, sepulang sekolah ia selalu belajar pada Habaib dan Ulama di Jakarta,seperti di Madrasah Tsagofah Islamiyah yang diasuh oleh Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf dan putranya Ust AbuBakar Assegaf. Habib Jindan juga pernah belajar bahasa Arab di Kwitang (Senin, Jakpus) di tempat Habib Muhammad bin Ali Al-Habsyi dengan ustadz-ustadz setempat.
Selain itu pada sore nya ia juga sering mengikuti rauhah yang digelar oleh Majelis Taklim Habib Muhammad Al-Habsyi. Di majlis itu, banyak habaib dan ulama yang menyampaikan pelajaran-pelajaran agama seperti Habib Abdullah Syami’ Alattas, Habib Muhammad Al-Habsyi, Ustadz Hadi Assegaf, Habib Muhammad Mulakhela Ustadz Hadi Jawwas dan lain-lain.
Beruntung, karena sering berada di lingkungan Kwitang, sehingga ia banyak berjumpa para ulama-ulama dari mancanegara yang datang ke Kwitang, seperti Sayid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, Habib Ja’far Al-Mukhdor, Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf dan masih banyak lainnya.
Pada setiap hari Minggu pagi, ia selalu hadir di Kwitang bersama Abahnya, Habib Novel bin Salim bin Jindan yang juga selalu didaulat berceramah. Sekitar tahun 1993, ia bertemu pertama kali dengan Habib Umar Hafidz di Majlis Taklim Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi (Kwitang) saat pengajian Minggu pagi.
Pertemuan kedua terjadi terjadi saat Habib Umar bin Salim Al-Hafidz berkunjung ke Jamiat Kheir. Saatitu yang mengantar rombongan Habib Umar adalah Habib Umar Mulakhela dan UstadzHadi Assegaf.
Uniknya, satu-satunya kelas yang dimasuki oleh Habib Umar adalah kelasnya, padahal di Jami’at Kheir saat itu ada belasan kelas. Begitu masuk kelas, Ustadz Hadi Assegaf dari depan kelas memperkenalkannya dengan Habib Umar bin Salim Al-Hafidz. Saat itu, Ustadz Hadi menunjuknya sambil mengatakan kepada Habib Umar, kalau dirinya juga bermarga bin Syekh Abu Bakar bin Salim, sama klannya dengan Habib Umar bin Salim Al-Hafidz.
Saat itulah Habib Umar tersenyum dengan khasnya sambil memandang Habib Jindan. Itulah perkenalan pertama Habib Jindan dengan Habib Umar Al-Hafidz di ruang kelas yang masih terkenangnya sampai sekarang.
Sejak itulah hatinya tergerak untuk belajar ke Hadramaut. Pernah suatu ketika ia akan berangkat ke Hadramaut, namun sayang, sang pembawa Habib Bagir bin Muhammad bin Salim Alattas (Kebon Nanas) meninggal. Pernah juga ia akan berangkat dengan salah satu saudaranya, tapi salah satu saudaranya sakit. Hingga akhirnya dalam keputusasaan tersebut, tiba-tiba Habib Abdul Qadir Al-Haddad (Al-Hawi, Condet) datang ke rumahnya mengabarkan kalau Habib Umar bin Hafidz menerimanya sebagai santri.
Lalu ia berangkat bersama rombongan pertama dari Indonesia yang jumlahnya 30 orang santri.
Diantaranya yakni Habib Munzir bin Fuad Al-Musawwa, Habib Qureisy Baharun, Habib Shodiq bin Hasan Baharun, Habib Abdullah bin Hasan Al-Haddad, Habib Jafar bin Bagir Alattas dan lain-lain. Ia kemudian belajar agama kepada Habib Umar bin Hafidz di Tarim, Hadramaut. “Ketika itu Habib Umar belum mendirikan Pesantren Darul Musthafa. Yang ada hanya Ribath Tarim, kami tinggal di rumah Habib Umar, ” tuturnya.
Baru dua minggu di Hadramaut, pecah perang antar saudara di Yaman berkecamuk. Memang, situasi perang tidak terasa di lingkungan Pondok, karena Habib Umar perang atau tidak perang, ia tetap mengajar murid-muridnya. Dampak perang saudara ini dirasakan oleh seluruh penduduk Yaman, dimana listrik mati, gas minim, bahan makanan langka. “Terpaksa kita masak dengan kayu bakar,” katanya.
Baginya, Habib Umar bin Hafidz bukan sekadar guru, tapi juga sumber inspirasi. “Saya sangat mengagumi semangatnya dalam berdakwah dan mengajar.
Dalam situasi apa pun, beliau selalu menekankan pentingnya berdakwah dan mengajar. Bahkan dalam situasi perang pun, tetap mengajar. Beliau memang tak kenal lelah,” tambahnya.
Saat itu Darul Musthofa memang belum berdiri seperti sekarang, situasi yang serba terbatas. Walau pun situasi yang susah, itu sangat mengesankan baginya. Dahulu para santri tinggal di sebuah kontrakan yang sederhana di belakang kediaman Habib Umar.
Sedangkan pelajaran taklim selain diasuh sendiri oleh Habib Umar, para santri juga belajar di berbagai majelis-majelis taklim yang biasa di gelar di Tarim, seperti di Rubath Tarim, Baitul Faqih, Madrasah Syeikh Ali, mengaji kitab Bukhari di Masjid Ba’alwi, Taklim di Zawiyah Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad (Al-Hawi, Hadramaut), belajar Ihya di Zanbal di Gubah Habib Abdullah bin Abubakar Alaydrus, Zawiyah Mufti Tarim, yakni Syeikh Fadhal bin Abdurrahman Bafadhal dan lain-lain.
Selama mengaji dengan Habib Umar, ia sangat terkesan dengan salah satugurunya itu. “Beliau dalam mengajar tidak pernah marah. Saya tidak pernah mendengar Beliau mengomel atau memaki-maki kita. Kalau ada yang salah, ditegurnya baik-baik dan dikasih tahu. Selain itu, Habib Umar terkenal sangat istiqamah dalam hal apa pun,” katanya.
Habib Jindan mengaku sangat beruntung bisa belajar dengan seorang alim dan orator ulung seperti Habib Umar. Memang Habib Umar mendidik santri-santrinya bisa berdakwah, para santri mendapat pendidikan khusus untuk memberikan taushiah dalam bahasa Arab tiap sehabis shalat Subuh masing-masing santri dua orang, walaupun hanya sekitar lima sampai sepuluh menit.
Latihan kultum, itu juga menjadi saling menasehati antar santri. Setelah satu tahun menjadi santri ada program dakwah tiga hari sampai seminggu bagi yang mau dakwah berkeliling. Bahkan dirinya sudah mengajar untuk santri-santri senior pada akhir-akhir masa pendidikan.
Setelah selama kurang lebih 4 tahun, sekitar tahun 1998 ia pulang ke Indonseia bersama dengan rombongan Habib Umar yang mengantar sekaligus santri-santri asal Indoensia dan berkunjung ke rumah beberapa murid-muridnya. Perlu diketahui, angkatan pertama ini hampir 98% semua dari Indonesia, hanya dua - tiga orang dari santrisetempat. Untuk itulah, ia pulang seminggu terlebih dahulu, untuk mempersiapkanacara dan program kunjungan Habib Umar di Indonesia.
Saat pertama kali pulang, ia oleh sang Abah diperintahkan untuk berziarahdengan para Habaib sepuh yang ada di Jakarta, Bogor dan sekitarnya. Ada beberapa pendorong dan memberikan motivasi dirinya untuk berdakwah, seperti sang Ayahanda, Habib Novel bin Salim bin Jindan, Habib Hadi bin Ahmad Assegaf dan Habib Anis Al-Habsyi.
Menurutnya; masukan, didikan, motivasi oleh sang Abah memang ia rasakan. “Ikhlaslah dalam berdakwah. Yang penting, apa yang keluar dari hati akan sampai ke hati,” kata Habib Jindan menirukan Abahnya. Habib Novel bin Salim bin Jindan (alm) memang dikenal sebagai orator ulung sebagaimana abahnya yakni Habib Salim bin Jindan.Wajarlah bila Habib Novel ingin putra-putranya menjadi dai-dai yangtangguh.
“Kalau ceramah jangan terlalu panjang.Selagi orang lagi asyik, kamu berhenti. Jangan kalau orang sudah bosen, baru berhenti, nanti banyak audiens kapok mendengarnya. Lihat situasi dan keadaannya, sesuaikan dengan materi ceramahnya dan waktu ceramahnya. Lihat, kalau disitu ada beberapa penceramah, kamu harus batasi waktu berceramah dan bagi-bagi waktunya dengan yang lain”. Sampai masalah akhlak dan sopan santun dengan semua orang diajarkan, itu kesan dan masukan dari Abahnya, Habib Novel bin Salim bin Jindan kepadanya.
Selain berceramah, ia bersama sang adik, Habib Ahmad bin Novel bin Salim Jindan dan adik-adiknya yang lain sekarang waktuya banyak dicurahkan untuk mengasuh pondok pesantren Al-Fakhriyyah yang terletak di Jln. Prof. Dr. Hamka, Kp. Gaga, RT 001 RW 04 No. 1 Larangan Selatan, Ciledug.
Yang pertama kali digelari “Al-Auhaj” adalah Habib Abdullah bin Alwi bin Ali bin Abu Bakar Al-Fakher bin Abdullah bin Ahmad bin Abdurrahman bin Alwi Ammil Faqih.
Soal gelar yang disandangnya, karena beliau bemukim di dusun yang disebut “Auhaj” di Yaman.
Beliau dilahirkan di kota Tarim (Hadhramaut), dan dikarunia 3 orang Putera, yaitu Ahmad, Ali dan Abdullah; yang kemudian melanjutkan keturunan beliau. Terutama yang berada di Indonesia.
Habib Abdullah Al-Auhaj bin Alwi bin Ali wafat di Goroh (Hadhramaut) pada tahun 868 Hijriyah.
Soal gelar yang disandangnya, karena beliau bemukim di dusun yang disebut “Auhaj” di Yaman.
Beliau dilahirkan di kota Tarim (Hadhramaut), dan dikarunia 3 orang Putera, yaitu Ahmad, Ali dan Abdullah; yang kemudian melanjutkan keturunan beliau. Terutama yang berada di Indonesia.
Habib Abdullah Al-Auhaj bin Alwi bin Ali wafat di Goroh (Hadhramaut) pada tahun 868 Hijriyah.
Yang pertama kali dijuluki (digelari) “Ba ‘Agil” adalah Habib Agil bin Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Mauladdawilah.
Beliau dilahirkan di kota Tarim (Hadhramaut), dan dikarunia 1 orang Putera yaitu Abdurrahman.
Habib Abdurrahman bin Agil mempunyai 3 orang putera yaitu :
Beliau dilahirkan di kota Tarim (Hadhramaut), dan dikarunia 1 orang Putera yaitu Abdurrahman.
Habib Abdurrahman bin Agil mempunyai 3 orang putera yaitu :
- Hasan
- Muhammad-Al Hadi. Keduanya menurunkan keturunan “Al-Ba’agil Assegaf “
- Umar, menurunkan keturunan “Ba’agil “
Marga Al-Bal-Ghoits
Affannur Yang pertama kali (digelari) “AI-Balghoits” adalah Ahmad bin Al Ghoits bin Ahmad bin Umar bin Ahmad bin Muhammad bin Umar Al-Hamra.
Soal gelar “Al-Baghoits” ada dua versi penyebabnya:
Semoga Allah SWT memasukkan Beliau Beliau ke dalam Surga dan menghimpunkannya bersama-sama para Nabi, para Syuhada, para Auliya dan para Sholihin. Amin !.
Soal gelar “Al-Baghoits” ada dua versi penyebabnya:
- Menyatakan bahwa : Datuk Beliau yaitu Ahmad bin Umar AI-Hamra menamakan Ayah Beliau dengan Al-Ghoits dengan pengharapan agar anaknya mendapat berkat dan hidayah serta kelak menjadi seorang Waliyyullah sebagaimana yang didapat oleh pendahulunya Waliyyullah yang tersohor “Abul - Ghoits “.
- Menyatakan bahwa : Sewaktu di daerah dimana Waliyyullah Ahmad Al-Balghoits bermukim yaitu di Lahij (Yaman) mengalami musim kemarau yang berkepanjangan; maka penduduk setempat memohon Waliyyullah Ahmad Balghoits agar supaya memanjatkan do’a kepada Allah agar supaya Allah SWT segera menurunkan hujan. Kemudian do’a Beliau dikabulkan dengan turunnya hujan. Hujan dalam bahasa Arabnya adalah ” AI-Mathar ” dan sinonimnya yaitu “AI-Ghoits“.
Semoga Allah SWT memasukkan Beliau Beliau ke dalam Surga dan menghimpunkannya bersama-sama para Nabi, para Syuhada, para Auliya dan para Sholihin. Amin !.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar