INFO PROFIL

Foto saya
JENTREK ROJOIMO WONOSOBO, jawa tengah indonesia, Indonesia
Ya Allah jadikan kami manusia yang bisa keluar dari belenggu “kemunafikan”. Bimbing kami untuk tidak mengoreksi orang lain sebelum diri ini terkoreksi ya Rabb. Jadikan kami manusia yang jujur dan tidak pernah membohongi diri sendiri apalagi orang lain. kepadaMulah kami berserah ya Allah, kepadaMulah kami bermohon karena tanpa kehendakMu kami tidak bisa berbuat apa-apa Affannur Jentrek rojoimo wonosobo . lahir13 Agustus 1989

Rabu, 14 Juli 2010

Asbabul Wurud
A. Pendahuluan
Hadis atau sunnah[1] merupakan salah satu sumber ajaran islam yang menduduki posisi sangat signifikan, baik secara struktural maupun fungsional. Secara struktural menduduki posisi kedua setelah al-Qur’an, namun jika dilihat secara fungsional, ia merupakan bayan (eksplanasi) terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat ‘am (umum), mujmal (global) atau mutlaq.[2] Secara tersirat, al-Qur’an-pun mendukung ide tersebut, antara lain firman Allah SWT:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَانُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ
“Dan kami turnkan al-Qur’an kepadamu (Muhammad) agar kamu menjelaskan kapada umat manusia apa yang telah diturunkan untuk mereka, dan supaya mereka memikirkan.”. (QS. An-Nahl 44)
Adanya perintah agar Nabi SAW. Menjelaskan kapada umat manusia mengenai al-Qur’an, baik melalui ucapan, perbuatan atau taqrirnya, dapat diartikan bahwa Hadis berfungsi sebagai bayan (penjelas) terhadap al-Qur’an.
Oleh karena itu tidaklah terlalu berlebihan jika kemudian Imam al-Auza’i pernah berkesimpulan bahwa al-Qur’an sesungguhnya lebih membutuhkan kepada al-Hadis daripada sebaliknya. Sebab secara tafshili (rinci) al-Qur’an masih perlu dijelaskan dengan Hadis.[3]
Disamping sebagai bayan terhadap al-Qur’an, Hadis secara mandiri sesungguhnya dapat menetapkan suatu ketetapan yang belum diatur dalam al-Qur’an. Namun persoalannya adalah bahwa untuk memahami suatu Hadis dengan “baik”, tidaklah mudah. Untuk itu, diperlukan seperangkat metodologi dalam memahami Hadis.
Ketika kita mencoba memahami suatu Hadis, tidak cukup hanya melihat teks Hadisnya saja, khususnya ketika Hadis itu mempunyai asbabul wurud, melainkan kita harus melihat konteksnya. Dengan lain ungkapan, ketika kita ingin menggali pesan moral dari suatu Hadis, perlu memperhatikan konteks historitasnya, kepada siapa Hadis itu disampaikan Nabi, dalam kondisi sosio-kultural yang bagaimana Nabi waktu itu menyampaikannya. Tanpa memperhatikan konteks historisitasnya (baca: asbabul wurud) seseorang akan mengalami kesulitan dalam menangkap dan memahami makna suatu Hadis, bahkan ia dapat terperosok ke dalam pemahaman yang keliru.[4] Itulah mengapa asbabul wurud menjadi sangat penting dalam diskursus ilmu Hadis, seperti pentingnya asbabun nuzul dalam kajian tafsir al-Qur’an.[5]
Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa tidak semua Hadis mempunyai asbabul wurud. Sebagian Hadis mempunyai asbabul wurud khusus, tegas dan jelas, namun sebagian yang lain tidak. Untuk katagori pertama, mengetahui asbabul wurud mutlak diperlukan, agar terhindar dari kesalahpahaman (misunderstanding) dalam menangkap maksud suatu Hadis. Sedangkan untuk Hadis-Hadis yang tidak mempunyai asbabul wurud khusus, sebagai alternatifnya, kita dapat menggunakan pendekatan historis, sosiologis, antropologis atau bahkan pendekatan psikologis sebagai pisau analisis dalam memahami Hadis. Hal ini didasarkan pada suatu asumsi bahwa Nabi SAW tidak mungkin berbicara dalam kondisi yang vakum historis dan hampa kultural.
B. Pengertian Asbabul Wurud
Secara etimologis, “asbabul wurud” merupakan susunan idhafah yang berasal dari kata asbab dan al-wurud. Kata “asbab” adalah bentuk jamak dari kata “sabab”. Menurut ahli bahasa diartikan dengan “al-habl” (tali), saluran yang artinya dijelaskan sebagai segala yang menghubungakan satu benda dengan benda lainnya sedangakan menurut istilah adalah :
كل شيء يتوصل به الى غا يته
“Segala sesuatu yang mengantarkan pada tujuan”
Dan ada juga yang mendifinisikan dengan : suatu jalan menuju terbentuknya suatu hukum tanpa ada pengaruh apapun dalam hukum itu
Sedangkan kata Wurud bisa berarti sampai, muncul, dan mengalir seperti :
الماء الذي يورد
“Air yang memancar atau air yang mengalir “[6]
Dengan demikian, secara sederhana asbabul wurud dapat diartikan sebagai sebab-sebab datangnya sesuatu. Karena istilah tersebut biasa dipakai dalam diskursus ilmu hadis, maka asbabul wurud maka asbabul wurud dapat diartikan sebagai sebab-sebab atau latar belakang ( background ) munculnya suatu hadis.[7])
Menurut as-suyuthi, secara terminology asbabul wurud diartikan sebagai berikut :
أنه ما يكون طريقا لتحديد المراد من الحديث من عموم أو حصوص أو إطلاق أوتقييد أونسخ أونحو ذالك.
Sesuatu yang menjadi thoriq (metode) untuk menentukan suatu Hadis yang bersifat umum, atau khusus, mutlak atau muqayyad, dan untuk menentukan ada tidaknya naskh (pembatalan) dalam suatu Hadis.
Jika dilihat secara kritis, sebenarnya difinisi yang dikemukakan As-Suyuthi lebih mengacu kepada fungsi asbabu wurud al-Hadis, yakni untuk menentukan takhsis (pengkususan) dari yang ‘am (umum), membatasi yang mutlak, serta untuk menentukan ada tidaknya naskh mansukh dalam Hadis dan lain sebagainya.
Dengan demikian, nampaknya kurang tepat jika definisi itu dimaksudkan untuk merumuskan pengertian asbabul wurud menurut Prof.Dr. Said Agil Husin Munawwar untuk merumuskan pengertian asbabul wurud, kita perlu mengacu kepada pendapat hasbi ash-shiddiqie. Beliau mendefinisikan asbabul wurud sebagai berikut :
علم يعرف به السبب الذي ورد لأجله الحديث والزمان الذي جاء به
“Ilmu yang menerangkan sebab-sebab nabi SAW. Menuturkan sabdanya dan masa-masa nabi SAW. Menuturkannya”.
Sementara itu, ada pula ulama’ yang memberikan definisi asbabul wurud, agak mirip dengan pengertian asbabun-nusul, yaitu :
ما ورد الحديث أيام وقوعه
“Sesuatu (baik berupa peristiwa-peristiwa atau pertanyaan-pertanyaan) yang terjadi pada waktu Hadis itu disampaikan oleh nabi SAW.”
Dari ketiga definisi tersebut di atas dapat ditarik benang merah bahwa asbabul wurud adalah konteks historisitas, baik berupa peristiwa-peristiwa atau pertanyaan atau lainnya yang terjadi pada saat Hadis itu disampaikan oleh Nabi SAW. Ia dapat berfungsi sebagai pisau analisis untuk menentukan apakah Hadis itu bersifat umum atau khusus, mutlaq atau muqayyad, naskh atau mansukh dan lain sebagainya.
Dengan demikian, dalam perspektif ini mengetahui asbabul wurud bukanlah tujuan (ghayah), melainkan hanya sebagai sarana (washilah) untuk memperoleh ketepatan makna dalam memahami pesan moral suatu Hadis.[8]
C. Macam-Macam Asbabul Wurud
Menurut imam as-Suyuthi asbabul wurud itu dapat dikatagorikan menjadi tiga macam, yaitu: 1) sebab yang berupa ayat al-Qur’an, 2) sebab yang berupa Hadis itu sendiri 3) sebab yang berupa sesuatu yang berkaitan dengan para pendengar dikalangan sahabat.
Berikut ini akan dijelaskan satu-persatu mengenai ketiga macam tersebut, yaitu:
1. Sebab yang berupa ayat al-Qur’an. Artinya di sini ayat al-Qur’an itu menjadi penyebab Nabi SAW. Mengeluarkan sabdanya. Contohnya antara lain firman Allah Swt. Yang berbunyi :
الذين أمنوا ولم يلبسوا إيمانهم بظلم أولئك لهم الأمن وهم مهتدون
“orang-orang yang beriman, dan mereka tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kedzaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu orang-orang yang mendapatkan petunjuk” (Q.S. Al-An’am: 82)
Ketika itu sebagian sahabat memahami kata “azh-zhulmu” dengan pengertian al jaur yang berarti berbuat aniaya atau melanggar aturan. Nabi SAW. Kemudian memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud “azh-zhulmu” dalam firman tersebut adalah asy-syirku yakni perbuatan syirik, sebagaimana yang disebutkan dalam surat al-Luqman:
إن الشرك لظلم عظيم
“sesungguhnya syirik itu merupakan kezhaliman yang besar.” (Q.S al-Luqman: 13)
1. Sebab yang berupa Hadis. Artinya pada waktu itu terdapat suatu Hadis, namun sebagian sahabat merasa kesulitan memahaminya, maka kemudian muncul Hadis lain yang memberikan penjelasan terhadap Hadis tersebut. Contoh adalah Hadis yang berbunyi:
إن لله تعالى ملائكة في الأرض ينطق على ألسنة بني أدم بما في المرء من خير أو شر
“sesungguhnya Allah SWT memiliki para malaikat di bumi, yang dapat berbicara melalui mulut manusia mengenai kebaikan dan keburukan seseorang.” (HR. Hakim)
Dalam memahami Hadis tersebut, ternyata para sahabat merasa kesulitan, maka mereka bertanya: Ya rasul !, bagaimana hal itu dapat terjadi? Maka Nabi SAW menjelaskan lewat sabdanya yang lain sebagaimana Hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik. Suatu ketika Nabi SAW bertemu dengan rombongan yang membawa jenazah. Para sahabat kemudian memberikan pujian terhadap jenazah tersebut, seraya berkata: “Jenazah itu baik”. Mendengar pujian tersebut, maka Nabi berkata: “wajabat” (pasti masuk surga) tiga kali. Kemudian Nabi SAW bertemu lagi dengan rombongan yang membawa jenazah lain. Ternyata para sahabat mencelanya, seraya berkata: “Dia itu orang jahat”. Mendengar pernyataan itu, maka Nabi berkata: “wajabat”. (pasti masuk neraka).
Ketika mendengar komentar Nabi SAW yang demikian, maka para sahabat bertanya: “Ya rasul !, mengapa terhadap jenazah pertama engkau ikut memuji, sedangkan terhadap jenazah kedua tuan ikut mencelanya. Engkau katakan kepada kedua jenazah tersebut: “wajabat” sampai tiga kali. Nabi menjawab: ia benar. Lalu Nabi berkata kepada Abu Bakar, wahai Abu Bakar sesungguhnya Allah SWT memiliki para malaikat di bumi. Melalui mulut merekalah, malaikat akan menyatakan tentang kebaikan dan keburukan seseorang. (HR. al-Hakim dan al-Baihaqi)
Dengan demikian, yang dimaksud dengan para malaikat Allah di bumi yang menceritakan tentang kebaikan keburukan seseorang adalah para sahabat atau orang-orang yang mengatakan bahwa jenazah ini baik dan jenzah itu jahat.
1. 3. Sebab yang berupa perkaitan yang berkaitan dengan para pendengar dikalangan sahabat.
Sebagai contoh adalah persoalan yang berkaitan dengan sahabat Syuraid Bin Suwaid ats-Tsaqafi. Pada waktu Fath makkah (pembukaan kota makkah) beliau pernah datang kepada nabi SAW seraya berkata: “Saya Bernazar Akan Shalat Dibaitul Maqdis”. Mendengar pernyataan sahabat tersebut, lalu Nabi berssabda: “Shalat Di Sini, yakni masjidil haram itu lebih utama”. Nabi SAW lalu bersabda: “Demi Dzat yang Jiwaku Berada dalam kekuasaan-Nya, seandainya kamu shalat disini (Masjid Al-Haram Makkah), maka sudah mencukupi bagimu untuk memnuhi nazarmu”. Kemudian Nabi SAW, bersabda lagi: “Shalat Dimasjid Ini, Yaitu Masjid Al-Haram Itu Lebih Lebih Utama Dari Pada 100 000 Kali Shalat Di Selain Masjid Al-Haram”. (H.R. Abdurrazzaq Dalam Kitab Al-Mushannafnya).[9]
D. Urgensi Asbabul Wurud dan Cara Mengetahuinya
Asbabul wurud mempunyai peranan yang sangat penting dalam rangka memahami suatu hadis. Sebab biasanya hadis yang disampaikan oleh Nabi bersifat kasuistik, cultural, bahkan temporal. Oleh karenanya, memperhatikan konteks historisitas munculnya hadis sangat penting, karena paling tidak akan menghindarkan kesalahpahaman dalam menangkap maksud suatu hadis. Sedemikian rupa sehingga kita tidak terjebak pada teksnya saja, sementara konteksnya kita abaikan atau kita ketepikan sama sekali. Pemahaman hadis yang mengabaikan peranan asbabul wurud akan cenderung bersfat kaku, literalis-skriptualis, bahkan kadang kurang akomodatif terhadap perkembangan zaman.
Adapun urgensi asbabul wurud menurut imam as-Suyuthi antara lain untuk:
1. Menentukan adanya takhsish hadis yang bersifat umum.
2. Membatasi pengertian hadis yang masih mutlak.
3. 3. Mentafshil (memerinci) hadis yang masih bersifat global.
4. Menentukan ada atau tidak adanya nash-mansukh dalamsuatu hadis.
5. Menjelaskan ‘illat (sebab-sebab) ditetapkannya suatu hukum.
6. Menjelaskan maksud suatu hadis yang masih musykil (sulit dapahami)
Sebagai ilustrasi, akan diberikan beberapa contoh mengenai fungsi asbabul wurud hadis, yaitu untuk menentukan adanya takhsish terhadap suatu hadis yang ‘am, misalnya hadis yang berbunyi:
صلاة القاعد على النصف من صلاة القائم
“shalat orang yang sambil duduk pahalanya separoh dari orang yang sholat sambil berdiri.” (H.R. Ahmad)
Pengertian “shalat” dalam hadis tersebut masih bersifat umum. Artinya dapat berarti shalat fardhu dan sunnat. Jika ditelusuri melalui asbabul wurudnya, maka akan dapat dipahami bahwa yang dimaksud “shalat” dalam hadis itu adalah shalat sunnat, bukan shalat fardhu. Inilah yang dimaksud dengan takhshish, yaitu menentukan kekhususan suatu hadis yang bersifat umum, dengan memperhatikan konteks asbabul wurud.
Asbabul wurud hadis tersebut adalah bahwa ketika itu dimadinah dan penduduknya sedang terjangkit suatu wabah penyakit. Maka kebanyakan para sahabat lalu melakukan shalat sunnah sambil duduk. Pada waktu itu, nabi kebetulan datang dan tahu bahwa mereka suka melakukan shalat sunnat tersebut sambil duduk. Maka nabi kemudian bersabda :” shalat orang yang sambil duduk pahalanya separuh dari orang yang shalat dengan berdiri”. Mendengar pernyataan nabi tersebut, akhirnya para sahabat yang tidak sakit memilih shalat sunnat sambil berdiri.
Dari penjelasan asbabul wurud tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan “shalat” dalam hadis itu adalah shalat sunnat. Pengertiannya adalah bahwa bagi orang yang sesungguhnya mampu melakukan shalat sunnah sambil duduk, maka ia akan mendapat pahala separoh dari orang shalat sunnat dengan beridiri.
Dengan demikian, apabila seseorang memang tidak mampu melakukan shalat sambil berdiri -mungkin karena sakit-, baik shalat fardhu atau shalat sunnat, lalu ia memilih shalat dengan duduk, maka ia tidak termasuk orang yang disebut-sebut dalam hadis tersebut. Maka pahala orang itu tetap penuh bukan separoh, sebab ia termasuk golongan orang yang memang boleh melakukan rukhshah atau keringanan syari’at.
Adapun contoh mengenai asbabul wurud yang berfungsi untuk membatasi pengertian yang mutlak adalah hadis yang berbunyi:
من سن سنة حسنة عمل بها بعده كان له أجره مثل أجورهم من غير أن ينقص من أجورهم شيئا و من سن سنة سيئة فعمل بها من بعده كان عليه وزره ومثل أوزارهم من غير أن ينقص من أوزارهم شيئا
“barang siapa melakukan suatu sunnah hasanah (tradisi atau perilaku yang baik), lalu sunnah itu diamalkan orang-orang sesudahnya, maka ia akan mendapatkan pahalanya seperti pahala yang mereka lakukan, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Demikian pula sebaliknya, barang siapayang melakukan suatu sunnah sayyi’ah (tradisi atau perilaku yang buruk) lalu diikuti orang-orang sesudahnya, maka ia akan ikut mendapatkan dosa mereka, tanpa mengurangi sedikitpun dari dosa yang mereka peroleh.” (H.R. Muslim)
Kata “sunnah” masih bersifat mutlak, artinya belum dijelaskan oleh pengertian tertentu. Ia dapat berarti sunnah hasanah (perilaku yang baik) dan sunnah sayyi’ah (perilaku yang jelek). Sunnah merupakankata yang mutlaq baik yang mempunyai dasar pijakan agama atau tidak.
Asbabul wurud dari hadis tersebut adalah ketika itu Nabi SAW sedang bersama-sama sahabat. Tiba tiba datanglah sekelompok orang yang kelihatan sangat susah dan kumuh. Ternyata mereka adalah orang-orang miskin. Melihat fenomena itu, Nabi SAW wajahnya menjadi merah, karena merasa empati, iba dan kasihan. Beliau lalu memerintahkan kepada sahabat yang bernama bilal agar mengumandangkan adzan dan iqamah untuk melakukan shalat jama’ah. Setelah selesai jama’ah shalat, Nabi SAW kenudian berpidato, yang inti pidatonya adalah menganjurkan agar bertaqwa kepada Allah SWT dan mau menginfaqkan sebagian hartanya untuk sekelompok orang-orang miskin tersebut.
Mendengar anjuran itu, maka salah seorang dari sahabat Anshar lalu keluar membawa satu kantong bahan makanan dan diberikan kepada mereka. Ternyata yang dilakukan oleh Anshar itu kemudian diikuti oleh para sahabat yang lain. Maka kemudian Nabi bersabda :
من سن سنة حسنة … الحديث
Dari asbabul wurud tersebut, as-Suyuthi menyimpulkan bahwa yang dimaksud sunnah dalam hadis tersebut adalah sunnah yang baik.[10]
Adapun cara mengetahui asbabul wurudnya sebuah hadis adalah dengan melihat aspek riwayat atau sejarah yang berkaitan dengan peristiwa wurudnya hadis, sebab-sebab wurudnya hadis, ada yang sudah tercantum pada matan hadis itu sendiri, ada yang tercantum pada matan hadis lain. Dalam hal tidak tercantum, maka ditelusuri melalui riwayat atau sejarah atas dasar pemberitaan para sahabat.[11]
E. Kitab-Kitab yang Berbicara tentang Asbabul Wurud
Ilmu mengenai asbabul wurud al-hadis ini sebenarnya telah ada sejak zaman sahabat. Hanya saja ilmu ini belum tersusun secara sistematis dalam suatu bentuk kitab-kitab. Demikian kesimpulan as-Suyuthi dalam al-Luma’ fi Asbabi wurud al-hadis. Namun kemudian, seiring dengan perkembangan dunia keilmuan waktu itu, ilmu asbab al-wurud menjadi berkembang. Para ulama ahli hadis rupa-rupanya merasakan perlunya disusun suatu kitab secara tersendiri mengenai asbabul wurud.
Adapun kitab-kitab yang banyak berbicara mengenai asbabul wurud antara lain adalah:
1. Asbabu wurud al-Hadis karya Abu hafs al-Ukbari (w. 339 H.), namun sayang kitab tersebut tidak dapat sampai ke tangan kita.
2. Asbabu wurud al-hadis karya Abu Hamid Abdul Jalil Al-Jabari. Kitab tersebut juga tidak sempat sampai ketangan kita.
3. Asbabu Wurud al-Hadis atau yang disebut juga al-Luma’ fi Asbab Wurudil hadis, karya Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi. Kitab tersebut sudah ditahqiq oleh Yahya Ismail Ahmad.
4. Al-Bayan wa at-Ta’rif karya Ibnu Hamzah Al-Husaini ad-Damasyqi (w.1110 H.)
1. F. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Asbabul warud al-hadis merupakan konteks historisitas yang melatar belakangi munculnya suatu hadis. Ia dapat berupa peristiwa atau pertanyaan yang terjadi pada saat hadis itu di sampaikan nabi SAW. Dengan lain ungkapan, asbabul wurud adalah faktor-faktor yang melatar belakangi munculnya suatu hadis.
2. Sebagai salah satu disiplin ilmu dalam studi hadis, asbabul wurud mempunyai peranan yang sangat signifikan dalam rangka memahami maksud suatu hadis secara lebih baik. Pemahaman yang mengabaikan asbabul wurud, cenderung dapat terjebak kepada arti tekstual saja dan bahkan dapat membawa pemahaman yang keliru.
3. Dari beberapa definisi asbabul wurud yang telah dikemukakan oleh para ulama dapat disimpulkan bahwa pengertian asbabul wurud tersebut lebih mengacu pada asbabul wurud khas (asbabul wurud mikro). Di antara fungsi dari mengetahui asbabul wurud adalah untuk menentukan ada tidaknya takhsish dalam suatu hadis yang umum, membatasi kemutlakan suatu hadis, merinci yang masih global, menentukan ada tidaknya nasikh mansukh dalam hadis, mejelaskan ‘illat ditetapkannya suatu hukum, dan menjelaskan hadis yang sulit dipahami (musykil).
4. Tampaknya perlu dikembangkan asbabul wurud ‘am (asbabul wurud makro), yaitu situasi sosio-historis yang lebih bersifat umum di mana dan kapan Nabi SAW menyampaikan sabdanya dan hal ini memerlukan kajin sejarah yang sangat detail.

Daftar pustaka
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001.
Munawwar, Said Agil Husin dan Abdul Mustaqim, Asbabul wurud Studi kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, Cet 1
Suparta, Munzier, Ilmu Hadis, Jakarta: RajaGrafindo, 2008, Cet ke 5
Soetari, Endang, Ilmu hadits, Bandung: Amal Bakti Press, 1997, Cet ke 2
________________________________________
[1] Jumhur ulama hadits menyamakan istilah hadits dengan sunnah. Lihat : Muhammad’Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits Ulumuhu wa Mushthalahuhu (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), hlm.25
[2]
[3] Said Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqin, 2001 Asbabul Wurud study kritis hadits nabi pendekatan sosio/histories/-kontekstual Yogyakarta PT. Pustaka Pelajar Hlm.05
[4] Said Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqin, 2001 Asbabul Wurud study kritis hadits nabi pendekatan sosio/histories/-kontekstual Yogyakarta PT. Pustaka Pelajar. Hlm 6
[5] Ibn hamzah Al-Husainy Al-Dimasyqy , dalam muqoddimah Al-Bayan Wa Al Ta’rif Fi Asbab Wurud Al- hadits Al-Syarif. Hlm 32
[6] Munzier Suparta, 2008 Ilmu Hadits Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, hlm. 38-.39
[7] Said Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqin, ………………. Hlm.07
[8] Ibid. hlm 09
[9] Ibid . Hlm 09-12
[10] Ibid. hlm 13-16
[11] Endang soetari, Ilmu Hadits, (Bandung: Amal Bakti Press, 1997). Hlm 211

Tidak ada komentar:

Posting Komentar