PEMIKIRAN IBN RUSYD
Biografi dan Pendidikannya
Nama lengkapnya, Abu Walid Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Rusyd dilahirkan di Cordova sebuah kota di Andalus. Ia terlahir pada tahun 510 H/126 M, Ia lebih populer dengan sebutan Ibnu Rusyd. Orang barat menyebutnya dengan sebuah nama Averrois. Sebutan ini sebenarnya di ambil dari nama kakeknya. Keturunannya berasal dari keluarga yang alim dan terhormat, bahkan terkenal dengan keluarga yang memiliki banyak keilmuan. Kakek dan ayahnya mantan hakim di Andalus dan ia sendiri pada tahun 565 H/1169 M diangkat pula menjadi hakim di Seville dan Cordova. Karena prestasinya yang luar biasa dalam ilmu hukum, pada tahun 1173 M ia dipromosikan menjadi ketua Mahkamah Agung, Qadhi al-Qudhat di Cordova.
Dalam beberapa hal Ibnu Rusyd tidak sependapat dengan tokoh-tokoh filosof muslim sebelumnya, seperti al-Farabi dan Ibnu Sina dalam memahami filsafat Aristoteles, walaupun dalam beberapa persoalan filsafat ia tidak bisa lepas dari pendapat dari kedua filosof muslim tersebut. Menurutnya pemikiran Aristoteles telah bercampur baur dengan unsur-unsur Platonisme yang dibawa komentator-komentator Alexandria. Oleh karena itu, Ibnu Rusyd dianggap berjasa besar dalam memurnikan kembali filsafat Aristoteles. Atas saran gurunya Ibnu Thufail yang memintanya untuk menerjemahkan fikiran-fikiran Aristoteles pada masa dinasti Muwahhidun tahun 557-559 H.
Nama lengkapnya, Abu Walid Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Rusyd dilahirkan di Cordova sebuah kota di Andalus. Ia terlahir pada tahun 510 H/126 M, Ia lebih populer dengan sebutan Ibnu Rusyd. Orang barat menyebutnya dengan sebuah nama Averrois. Sebutan ini sebenarnya di ambil dari nama kakeknya. Keturunannya berasal dari keluarga yang alim dan terhormat, bahkan terkenal dengan keluarga yang memiliki banyak keilmuan. Kakek dan ayahnya mantan hakim di Andalus dan ia sendiri pada tahun 565 H/1169 M diangkat pula menjadi hakim di Seville dan Cordova. Karena prestasinya yang luar biasa dalam ilmu hukum, pada tahun 1173 M ia dipromosikan menjadi ketua Mahkamah Agung, Qadhi al-Qudhat di Cordova.
Dalam beberapa hal Ibnu Rusyd tidak sependapat dengan tokoh-tokoh filosof muslim sebelumnya, seperti al-Farabi dan Ibnu Sina dalam memahami filsafat Aristoteles, walaupun dalam beberapa persoalan filsafat ia tidak bisa lepas dari pendapat dari kedua filosof muslim tersebut. Menurutnya pemikiran Aristoteles telah bercampur baur dengan unsur-unsur Platonisme yang dibawa komentator-komentator Alexandria. Oleh karena itu, Ibnu Rusyd dianggap berjasa besar dalam memurnikan kembali filsafat Aristoteles. Atas saran gurunya Ibnu Thufail yang memintanya untuk menerjemahkan fikiran-fikiran Aristoteles pada masa dinasti Muwahhidun tahun 557-559 H.
Namun demikian, walaupun Ibnu Rusyd
sangat mengagumi Aristoteles bukan berarti dalam berfilsafat ia selalu mengekor
dan menjiplak filsafat Aristoteles. Ibnu Rusyd juga memiliki pandangan tersendiri
dalam tema-tema filsafat yang menjadikannya sebagai filosof Muslim besar dan
terkenal pada masa klasik hingga sekarang.
Pemikiran Epistemologi Ibn Rusyd
Dalam kitabnya Fash al Maqal ini, ibn Rusyd berpandangan bahwa mempelajari filsafat bisa dihukumi wajib. Dengan dasar argumentasi bahwa filsafat tak ubahnya mempelajari hal-hal yang wujud yang lantas orang berusaha menarik pelajaran / hikmah / ’ibrah darinya, sebagai sarana pembuktian akan adanya Tuhan Sang Maha Pencipta. Semakin sempurna pengetahuan seseorang tentang maujud atau tentang ciptaan Tuhan , maka semakin sempurnalah ia bisa mendekati pengetahuan tentang adanya Tuhan. Bahkan dalam banyak ayat-ayat-Nya Tuhan mendorong manusia untuk senantiasa menggunakan daya nalarnya dalam merenungi ciptaan-ciptaan-Nya.
Dalam kitabnya Fash al Maqal ini, ibn Rusyd berpandangan bahwa mempelajari filsafat bisa dihukumi wajib. Dengan dasar argumentasi bahwa filsafat tak ubahnya mempelajari hal-hal yang wujud yang lantas orang berusaha menarik pelajaran / hikmah / ’ibrah darinya, sebagai sarana pembuktian akan adanya Tuhan Sang Maha Pencipta. Semakin sempurna pengetahuan seseorang tentang maujud atau tentang ciptaan Tuhan , maka semakin sempurnalah ia bisa mendekati pengetahuan tentang adanya Tuhan. Bahkan dalam banyak ayat-ayat-Nya Tuhan mendorong manusia untuk senantiasa menggunakan daya nalarnya dalam merenungi ciptaan-ciptaan-Nya.
Ibn Rusyd berpendapat ada 3 macam
cara manusia dalam memperoleh pengetahuan yakni:
a. Lewat metode al- Khatabiyyah (Retorika)
b. lewat metode al-Jadaliyyah (dialektika)
c. Lewat metode al-Burhaniyyah (demonstratif)[8]
Pertama, Metode Khatabi digunakan oleh mereka yang sama sekali tidak termasuk ahli takwil , yaitu orang-orang yang berfikir retorik, yang merupakan mayoritas manusia. Sebab tidak ada seorangpun yang berakal sehat kecuali dari kelompok manusia dengan kriteria pembuktian semacam ini (khatabi)
Kedua, Metode Jadali dipergunakan oleh mereka yang termasuk ahli dalam melakukan ta’wil dialektika. Mereka itu secara alamiyah atau tradisi mampu berfikir secara dialektik.
Ketiga, Metode Burhani dipergunakan oleh mereka yang termasuk ahli dalam melakukan ta’wil yaqini. Mereka itu secara alamiah mampu karena latihan, yakni latihan filsafat, sehingga mampu berfikir secara demonstratif. Ta’wil yang dilakukan dengan metode Burhani sangat tidak layak untuk diajarkan atau disebarkan kepada mereka yang berfikir dialektik terlebih orang-orang yang berfikir retorik. Sebab jika metode ta’wil burhani diberikan kepada mereka justru bisa menjerumuskan kepada kekafiran . Penyebabnya dalah karena tujuan ta’wil itu tak lain adalah membatalkan pemahaman lahiriyah dan menetapkan pemahaman secara interpretatif. Pernyataan ini merujuk pada Qur’an surat Al-Isra’ : 85 :
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي
Artinya: Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku. (Q.S. Al-Israa’: 85)
Allah SWT tidak menjelaskan pengertian ruh karena tingkat kecerdasan mereka itu tidak / belum memadai sehingga dikhawatirkan justru hal itu akan menyusahkan mereka.
Ketiga metode itu telah dipergunakan oleh Tuhan sebagaimana terdapat dalam teks-teks al Qur’an. Metode itu dikenalkan oleh Allah SWt sedemikian rupa mengingat derajat pengetahuan dan kemampuan intelektual manusia amat beragam, sehingga Allah SWT tidak menawarkan metode pemerolehan pengetahuan dan kebenaran hanya dengan satu macam cara saja.
a. Lewat metode al- Khatabiyyah (Retorika)
b. lewat metode al-Jadaliyyah (dialektika)
c. Lewat metode al-Burhaniyyah (demonstratif)[8]
Pertama, Metode Khatabi digunakan oleh mereka yang sama sekali tidak termasuk ahli takwil , yaitu orang-orang yang berfikir retorik, yang merupakan mayoritas manusia. Sebab tidak ada seorangpun yang berakal sehat kecuali dari kelompok manusia dengan kriteria pembuktian semacam ini (khatabi)
Kedua, Metode Jadali dipergunakan oleh mereka yang termasuk ahli dalam melakukan ta’wil dialektika. Mereka itu secara alamiyah atau tradisi mampu berfikir secara dialektik.
Ketiga, Metode Burhani dipergunakan oleh mereka yang termasuk ahli dalam melakukan ta’wil yaqini. Mereka itu secara alamiah mampu karena latihan, yakni latihan filsafat, sehingga mampu berfikir secara demonstratif. Ta’wil yang dilakukan dengan metode Burhani sangat tidak layak untuk diajarkan atau disebarkan kepada mereka yang berfikir dialektik terlebih orang-orang yang berfikir retorik. Sebab jika metode ta’wil burhani diberikan kepada mereka justru bisa menjerumuskan kepada kekafiran . Penyebabnya dalah karena tujuan ta’wil itu tak lain adalah membatalkan pemahaman lahiriyah dan menetapkan pemahaman secara interpretatif. Pernyataan ini merujuk pada Qur’an surat Al-Isra’ : 85 :
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي
Artinya: Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku. (Q.S. Al-Israa’: 85)
Allah SWT tidak menjelaskan pengertian ruh karena tingkat kecerdasan mereka itu tidak / belum memadai sehingga dikhawatirkan justru hal itu akan menyusahkan mereka.
Ketiga metode itu telah dipergunakan oleh Tuhan sebagaimana terdapat dalam teks-teks al Qur’an. Metode itu dikenalkan oleh Allah SWt sedemikian rupa mengingat derajat pengetahuan dan kemampuan intelektual manusia amat beragam, sehingga Allah SWT tidak menawarkan metode pemerolehan pengetahuan dan kebenaran hanya dengan satu macam cara saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar