INFO PROFIL

Foto saya
JENTREK ROJOIMO WONOSOBO, jawa tengah indonesia, Indonesia
Ya Allah jadikan kami manusia yang bisa keluar dari belenggu “kemunafikan”. Bimbing kami untuk tidak mengoreksi orang lain sebelum diri ini terkoreksi ya Rabb. Jadikan kami manusia yang jujur dan tidak pernah membohongi diri sendiri apalagi orang lain. kepadaMulah kami berserah ya Allah, kepadaMulah kami bermohon karena tanpa kehendakMu kami tidak bisa berbuat apa-apa Affannur Jentrek rojoimo wonosobo . lahir13 Agustus 1989

Rabu, 27 April 2016

HERMENEUTIKA DAN TEORI KRITIS

HERMENEUTIKA DAN TEORI KRITIS


A.    Pengertian Hermeneutika
 Istilah hermeneutika berasal dari kata Yunani; hermencuein,yang artinya diterjemahkan "menafsirkan", kata bendanya: hermeneia artinya "tafsiran". Dalam tradisi Yunani kuno kata hermeneuein dipakai dalam tiga makna, yaitu mengatakan (to say), menjelaskan (to explain), dan menerjemahkan (to translate). Dari tiga makna ini, kemudian dalam kata Inggris diekspresikan dengan kata: to interpret, Dengan demikian perbuatan interpretasi menunjuk pada tiga hal pokok: pengucapan lisan (an oral recitation), penjelasan yang masuk akal (areasonable explanation), dan terjemahan dari bahasa lain (a translation from another language), atau mengekspresikan.[1]

Menurut istilah, hermeneutika biasa dipahami sebagai: "the art and science of interpreting especially authoritative writings; mainly in application to sacred scripture, and equivalent to exegesis" (seni dan ilmu menafsirkan khususnya tulisan-tulisan berkewenangan, terutama berkenaan dengan kitab suci dan sama sebanding dengan tafsir). Ada juga yang memahami bahwa hermeneutika merupakan sebuah filsafat yang memusatkan bidang kajiannya pada persoalan"understanding of understanding (pemahaman pada pemahaman)'' terhadap teks, terutama teks Kitab Suci, yang datang dari kurun, waktu, tempat, serta situasi sosial yang asing bagi paia pembacanya.
Istilah hermeneutika sering dihubungkan dengan nam a Hermes, tokoh dalam mitos Yunani yang bertugas menjadi perantara antara Dewa Zeus dan manusia. Namun dalam perkembangan selanjutnya definisi hermeutika ini mengalami perkembangan,
yang semula hermeneutika dipandang sebagai ilmu tentang penafsiran (science of interpretation). Dalam  perkembangan selanjutnya definisi hermeneutika menurut Richard E. Palmer dibagi menjadi enam, yakni:[2]
1.        Teori penafsiran Kitab Suci (theory of biblical exegesis)
2.         Sebagai metodologi filologi umum (general philological methodology).
3.        Sebagai ilmu tentang semua pemahaman bahasa (science of all linguistic understanding).
4.         Sebagai landasan metodologis dari ilmu-ilmu kemanusiaan (methodological foundation of Geisteswissenschaften)
5.         Sebagai pemahaman eksistensial dan fenomenologi eksistensi (phenomenology of existence dan of existential understanding)
6.        sebagai sistem penafsiran (system of interpretation).

Keenam definisi tersebut bukan hanya merupakan urutan fase sejarah, melainkan pendekatan yang sangat penting di dalam problem penafsiran suatu teks. Keenam definisi tersebut, masing-masing, mewakili berbagai dimensi yang sering disoroti dalam hermeneutika. Setiap definisi membawa nuansa yang berbeda, namun dapat dipertanggungjawabkan, dari tindakan manusia menafsirkan, terutama penafsiran teks.Tulisan ini mau memberikan kerangka menyeluruh tentang keenam definisi tersebut, yang lebih banyak berfungsi sebagai pengantar pada arti sesungguhnya dari hermeneutika.

B.     Tokoh-tokoh Pengembang Hermeneutika
1.        Friederich Sehleiermacher
2.        Wtlhelm Dilthey
3.        Gadamer
4.        Husser
5.        Heideger
6.        Ricoeur[3]
C.     Pendapat dari beberapa tokoh tentang hermeneutika
Dalam pandangan Friederich Sehleiermacher menyatakan bahwa pemahaman hermeneutika mempunyai dua dimensi,yakni:
1.      Penafsiran gramatikal, yang berkaitan dengan aspek linguistik yang membentuk batasan-batasan di mana sebuah kegiatan berpikir diatur. Dalam penafsiran ini, pendekatan yang digunakan dengan menggunakan metode komparatif yang bermula dari yang umum ke yang khusus. Penafsiran disebut juga penafsiran obyektif serta dapat juga dikatakan penafsiran negatif. Hal ini disebabkan hanya menunjukkan batas-batas pemahamannya saja.
2.      Penafsiran psikologis, yang berusaha menciptakan kembali tindak kreatif yang menghasilkan teks dan kegiatan sosial.[4]Penafsiran psikologi melibatkan  penempatan seseorang dalam pikiran penulis atau actor social supaya dapat mengetahui apa yang diketahui oleh seorang penulis atau yang dipersiapkan dalam kegiatan social. Hal ini merupakan proses yang memerlukan banyak tenaga untuk menyusun konteks kehidupan tempat suatu kegiatan terjadi dan mendapatkan makna. Dalam penafsiran ini, pendekatan yang digunakan dengan metode komparasi dan semacam ramalan. Dalam metode ini pelaku hermeneutika mentransformasikan dirinya dalam diri penulis untuk menggali proses mentalnya. Penafsiran ini disebut juga penafsiran teknis. Melalui penafsiran inilah tugas seorang hermeneutic terpenuhi. Selain disebut sebagai penafsiran teknis, penafsiran ini juga disebut penafsiran positif karena berusaha memahami tindak berpikir yang melahirkan wacana. [5]
Dalam pandangan Dilthey , yang dikenal sebagai filosof terpenting paruh kedua abad 19, hermeneutika memang bermula dari analisis psikologis akan tetapi akhirnya harus dikembangkan ke konteks social yang lebih luas. Dia juga berpendapat bahwa sebuah fenomena harus ditempatkan pada situasi keseluruhan yang lebih luas tempat fenomena tersebut mendapatkan maknanya, bagian-bagian memperoleh pemaknaan dari  keseluruhan dan keseluruhan mendapatkan pemaknaan dari bagian-bagian. Jadi yang menjadi penekanannya bergeser dari pemahaman empatik atau rekonstruksi proses mental orang lain kea rah penafsiran hermeneutik tentang produk budaya struktur konseptual.[6]
Sedangkan Husserl mengembangkan hermeneutikanya didasarkan pada prinsip fenomenologi. Baginya ada 3 pendapat mengenai konsep hermeneutika.,yakni:
1.      Hasil sebuah penafsiran haruslah bebas dari relativitas historis dan perubahan  social.
2.      Kesadaran harus bebas dari dugaan supaya diperoleh kebenaran mandiri.
3.      Data yang bersifat apa adanya harus dibuang
Menurut pandangan Heidegger yang merupakan murid Husserl, pemahaman adalah cara berada (mode of being) dan harus dapat dipahami oleh orang biasa, hal itu adalah dasar bagi eksistensi manusia. Baginya pemahaman dikaitkan dengan pemroses hubungan social dan penafsiran adalah pemahaman secara sederhana yang tampak jelas dalam bahasa.[7]
Menurut Gadamer dalam hermeneutika tertarik pada proses pemahaman. Pemahaman harus diletakkan dalam tradisi historis , suatu waktu dan tempat teks ditulis . Hermeneutik berlengsung di luar analisis teks menuju ke konteks historisnya. Ada 3 pendapat menurutntya tentang hermeneutika yakni:
1.      Kegiatan hermeneutic diterapkan pada sesuatu di luar apa yang dikatakan menuju pada sesuatu  yang secara alami ketika dikatakan  makna sehari-hari dan situasi dimana percakapan itu terjadi.
2.      Hermeneutik dilakukan dengan cara memadukan horizon pelaku hermeneutic dan horizon teks sasaran.  Benturan dengan horizon lain akan memunculkan kesadaran yang berupa asumsi dan dugaan tentang horizon suatu makna yang belum disadari.  Dalam hal ini hermeneutika adalah penjembatan atau mediasi bukannya rekonstruksi.
3.      Pembacaan sebagai bagian dari hermeneutik melibatkan aplikasi sehingga pembaca menjadi bagian dari yang ia mengerti. Karena itu ketermilikan, partisipasi, bahasa sebagai medium berpengalaman tentang dunia adalah landasan yang nyata bagi pengalaman hermeneutik.
Dalam perkembangan selanjutnya, Ricoeur mengembangkan hermeneutikanya  dengan berbasis pada teks. Dia memanfaatkan dikotomi langue dan parole serta mencarikan posisi eksplanasi dan pemahaman dalam sebuah penafsiran. Dan kaidah-kaidah teks menurutnya ada 3 kategori,yakni:[8]
1.      Teks selalu mengalami pelepasan konteksnya dari kondisi sosio-historis pengungkapannya semula, karena itu teks selalu membuka diri sendiri terhadap seri pembacaan yang tidak terbatas.
2.      Teks merupakan suatu langue dan parole. Begitu juga dalam proses pemahamannya. Ketika dianggap sebagai langue maka teks harus diperlakukan sesuai dengan aturan linguistic sekuat mungkin. Dan ketika dianggap sebagai parole maka teks adalah perbincangan dan pada saat inilah teks ditafsirkan.  Penafsiran menurut pandangannya merupakan dialektika antara dua kegiatan tersebut.
3.      Penafsiran merupakan proses dinamis yang mekanisme pengujian kebenaran hasilnya harus diserahkan pada proses negosiasi dan debat.
D.    Pengertian Teori Krisis
Secara etimologis kritis dapat berarti pertama keadaan kritis, gawat atau genting; kedua, berarti tidak lekas percaya dan ketiga, bersifat selalu menemukan kesalahan atau kekeliruan dapat pula diartikan tajam dalam penganalisisan (Tim KUBI, 1989:466). Ber-kaitan dengan tulisan ini maka kritis lebih diarahkan pada pengertian yang kedua. Dalam bahasa Inggris kritis diambilkan dari critical sebagai contoh critical sociology, yang dimaksudkan adalah teori kritis.
Mengapa teori kritis, sebab teori kritis dipandang sesuai dengan visi dan persepsi penulis untuk membedah dan jika mungkin meng-ubah secarateoretik reflektif dan praksis atas realitas masyarakat sekarang ini.Teori Kritis disebut juga sosiologi kritis atau teori kritik masyarakat (Connerton, 1976; Sindhunata, 1983; Hardiman, 1990; Suseno, 1992;).
E.     Sejarah Singkat Teori Krisis
Teori kritis baru terkenal tahun 1960-an sejak terjadi diskusi yang seru antara Karl Popper dan Theodore W. Adorno di bawah moderator Ralf Dahrendorf (Sindhunata, 1983:XIV), ternyata per-debatan itu diteruskan olehHans Albert dipihak Popper dan Jurgen Habermas di pihak Adorno. Namun teori kritis benar-benar mencapai puncak di bawah Jurgen Habermas dan Max Horkheimer[9].
Teori kritis harus dipahami dalam konteks jamannya, tetapi manakala jaman itu memiliki karakter yang sama, maka tidak mus-tahil bahwa teori itu pun mempunyai relevansi dengan realitas jaman. Kontekstual dengan logika situasi, logika jaman atau zeit geschit (Popper,1985). Sebagai contoh teori kritis dengan inspirasi dari ajaran Marx, memandang masyarakat kapitalis sebagai masyarakat yang menindas. Demikian pula manakala kehidupan di Indonesia dewasa ini menunjukkan karakter yang sama, maka teori kritis memiliki relevansinya.[10]
            Teori kritis dapat dianggap sebagai teori perjuangan, namun teori kritis juga tidak mengehendaki cara-cara yang destruktif, brutal dan anarkhis. Teori kritis lebih menonjolkan kekuatan moral. Teori kritis menghendaki suatu revolusi, namun revolusi secara damai. Sebagaimana dikatakan oleh Lenin bahwa tidak akan ada tindakan yang revolusioner tanpa ada teori yang revolusioner. Tetapi sebagai-mana diketahui bahwa banyak murid sekolah Franfurt kecewa, karena baik teori kritis maupun gurunya tidak mengehendaki revolusi tanpa damai.
            Teori kritis berkembang secara pesat bersama dan berada dalam Frankfurt School. Pelopor sekolah Frankfurt Felix J. Weil seorang sarjana politik. Mendapat warisan dari ayahnya Herman Weil, ia menghimpun cendekiawan untuk menyegarkan kembali ajaran Marx sesuai kebutuhan saat itu. Cendekiawan yang tergabung antara lain Friederickh Pollock ahli ekonomi, Theodore W.  Adorno, musikus, ahli sastra dan filsuf; Herbert Marcuse, murid Heidegger; Erich Fromm ahli psikoanalisa Freud; Walter Benyamin kritikus sastra, Max Horkheimer, Jurgen Habermas dan sebagainya.
            Sejak awal secara eksplisit sekolah Frankfurt menempatkan ajaran Marxisme sebagai titik tolak pemikirannya (Connerton, 1976; Suseno, 1977; Sindhunata, 1983; Hardiman 1990.) Walaupun sebagai-mana diketahui melalui sekolah ini pula ajaran-ajaran Marx diperbarui dan bahkan ditinggalkan. Disamping itu sekolah Frankfurt juga men-dasarkan diri pada perspektif idealisme Jerman yang dirintis Immanuel Kant (kritisisme), memuncak pada ajaran Hegel melalui dialektikanya serta ketika Horkheimer sebagai pimpinan Frankfurt School teori kritis mendapatkan penyegaran melalui ajaran Freud dan Habermas sendiri seperti Althuser yang memperbaharui teori Marx dengan konsentrasi pada ideologi (Suseno, 1977).
            Menurut Horkheimer dan kawan-kawannya, Kant dapat disebut sebagai filosuf kritis yang pertama. Kant sendiri menamakan filsafat-nya sebagai kritis, dalam arti bahwa akal budi harus menilai kemampuan dan keterbatasannya, dan hanya lewat kemampuan dan keterbatasannya itu akal budi mengetahui sesuatu. Sekolah Frankfurt menghargai Kant, karena mereka menganggap Kant telah menemukan otonomi subjek dalam membentuk pengetahuannya. Di sinilah terletak pengertian kritis yang pertama pengetahuan kita tidak ditentukan oleh objek, tapi subjek yang menghasilkan pengetahuan itu. Bahkan objek dapat dikonstruksi dan bahkan verifikasi hanya melalui subjek. Baginya tanpa kerja subjek tidak berarti apa-apa.[11]
            Hegel beranggapan bahwa Kant telah berhasil menemukan otonomi akal budi manusia. Oleh karena itu akal budi tidak perlu lagi kritis terhadap dirinya, ia harus menjadi affirmatif. Sebab menurut Hegel akal budi telah mencapai kesempurnaan dalam roh. Bagai-manakah proses akal budi sampai pada roh? Proses tersebut tercakup dalam pengertian dialektika sebagai ajaran Hegel yang paling terkenal. Persis di sinilah terletak pengertian kritis yang kedua dari Sekolah Frankfurt: mereka beranggapan bahwa berpikir secara kritis adalah berpikir dialektis. Proses berpikir dialektis bukan sekedar dirumuskan thesis-antithesis dan sinthesis sebagaimana pada umum-nya dirumuskan. Melainkan dalam dialektika disamping ketiga tesis itu juga diperlukan adanya saling negasi, kontradiksi dan mediasi.
            Berpikir kritis memerlukan: pertama, berpikir kritis adalah berpikir secara dialektis, berpikir dialektis adalah berpikir secara totalitas. Totalitas bukan berarti semata-mata keseluruhan di mana unsur-unsurnya yang bertentangan berdiri sejajar. Tetapi totalitas itu berarti keseluruhan yang mempunyai unsur-unsur yang saling be-rnegasi (mengingkari dan diingkari), saling berkontradiksi (melawan dan dilawan), dan saling bermediasi (memperantarai dan diperan-tarai). Pemikiran dialektis menekankan bahwa dalam kehidupan yang nyata pasti unsur-unsurnya saling berkontradiksi, bernegasi dan bermediasi. Pemikiran dialektis menolak kesadaran yang abstrak, misalnya individu dan masyarakat. Menurut pemikiran dialektis, individu selalu salingberkontradiksi, bermediasi dan bernegasi terhadap masyarakat(Sindhunata, 1983).
            Pengertian proses dialektis tidak mengarah pada sintesis dalam arti perpaduan, melainkan mengarah pada tujuan baru sama sekali, yakni rekonsiliasi, yang didalamnya tercakup pengertian pembaharu-an, penguatan dan perdamaian. Dalam seluruh proses berpikir dialek-tis sebenarnya merupakan realitas yang sedang bekerja atau working reality. Berpikir kritis adalah berpikir yang dialektis, berpikir dialektis adalah berpikir dalam perspektif empiris historis[12]Berpikir adalah berpikir dialektis, berpikir dialektis adalah berpikir dalam kerangka kesatuan teori dan praksis (Habermas dalam Connerton, 1976:330. pengertian teori dan praksis sering menjadi persoalan). Hal ini jelas berbeda dengan orang yang salah paham bahwa persoalan teori dan praksis mesti dipikirkan sebagai persoalan bagaimana agar suatu teori itu dapat diaplikasikan pada kehidupan praktis, sebab pengertian itu seakan-akan menganggap bahwa teori dan praksis sebagai dua bidang yang berbeda, pada hal pengetian teori dan praksis hanyalah dua dimensi dari manusia yang satu dan sama, sehingga satu sama lain memang saling bisa dipisahkan dan saling mengecualikan. Pemikiran dialektis tidak mengandaikan adanya kesenjangan antara teori dan praksis yang harus dijembatani melainkan bagaimana suatu teori dapat membuahkan praksis (Sindhunata,1983).
            Konsepsi teori kritis di samping bersumber pada Kant, Hegel juga pada Marx yang utamanya berangkat dari kritik ekonomi politik Marx. Menurut penganut Frankfurt school kritik ekonomi politik Marx harus diubah menjadi kritik sosiologi politik. Sebagaimana pendirian Marx bukanlah kesadaran manusia yang menentukan keadaan mereka melainkan sebaliknya keadaan sosiallah yang menentukan kesadaran mereka.
            Kritik Ideologi melalui Freud. Erich Fromm lah yang memasukkan psikoanalis Freud ke dalam ajaran teori kritis. Menurut Fromm kritik ideologi Marx membutuhkan psikoanalisa, sebab psikoanalisa dapat mempertajam kritik ideologi Marx. Menurut Marx ideologi itu adalah kesadaran palsu, maksudnya ideologi tidak menggambarkan situasi nyata manusia secara apa adanya. Ideologi menggambarkan keadaan secara terpuntir atau terbalik.
            Teori kritis memang diilhami filsafat kritis, sedangkan filsafat kritis mendapatkan aspirasinya dari kritik ideologi (Hardiman, 1990:10) yang dikembangkan Marx sewaktu masih muda, dalam tahap pemikirannya yang sering disebut hegelian muda. Selanjutnya perlu juga diketahui bahwa kritis di samping sebagai teori juga sebagai pendekatan. kritis sebagai pendekatan dalam arti bahwa sebuah teori hanyalah benar sebagai kritik terhadap belenggu-belenggu ideologis teori-teori terdahulu, jadi sebagai usaha teoretis yang sekaligus praksis emansipatif.
            Tujuan teorikritis adalah menghilangkan berbagai bentuk dominasi dan mendorong kebebasan, keadilan dan persamaan. Teori ini menggunakan metode reflektif dengan cara mengkritik secara terus menerus terhadap tatanan atau institusi sosial, politik atau ekonomi yang ada, yang cenderung tidak kondusif bagi pencapaian kebebasan, keadilan, dan persamaan[13]
F.      Tokoh Penggagas atau Pengembang Teori Krisis
1. T.W.Adorno
2. Max Hork-heimer
3. Hebert Marcuse
4. Friederich Pollock
G. Ilmu Pengetahuan dan Kepentingan
Teori kritis mempunyai pandangan yang khas sebagai upaya untuk menyerang pandangan yang telah ada. Pandangan lama menga-takan bahwa Ilmu pengetahuan harus dibangun dengan dasar objek-tivitas, bebas nilai (value free), netral sebagaimana doktrin positivis-me.
Di balik selubung objektivitas itu ilmu-ilmu tersembunyi kepentingan-kepentingan kekuasaan. Pengetahuan kita tidak ditentu-kan oleh objek, tapi subjek yang menghasilkan pengetahuan itu (Sindhunata, 1983:31). Di samping itu perlu disadari pula bahwa di samping pengetahuan yang telah diformulasikan, masih ada juga Segi Ilmu Pengetahuan yang tak terungkap (Polanyi,1996).
Mengenai bebas nilai , teori kritis memandang bahwa ilmu pengetahuan dapat berkembang atau tumbuh subur bersama dengan kepentingan fundamental yang ada di dalamnya (Suseno, 1992:183). Seperti halnya pendapat Helnest dalam (Kleden, 1987:21) bahwa … sejauh menyangkut dasar dan dampak sebuah teori ilmu sosial, maka tak ada satu disiplin ilmu-ilmu sosial pun yang dapat bebas nilai (value free), bebas kepentingan (interest-free), dan bebas kekuasaan (power-free). Habermas telah melakukan apa yang dapat disebutkritik ideologi dan kritik ilmu pengetahuan melalui kritik pengetahuan. Bagi Habermas antara pengetahuan, ilmu pengetahuan dan ideologi merupakan tiga hal yang saling bertautan dan ketiganya berkaitan pada praksis kehidupan sosial manusia.
Menurut Habermas, segala sesuatu tindakan manusia didasar-kan pada tiga kepentingan dasar. Pertama, kepentingan teknis, yaitu untuk menguasai alam.Kedua, kepentingan praktis, untuk berkomuni-kasi. Ketiga, kepentingan emansipatoris untuk menentang segala paksaan (Suseno, 1977:123). Di dalam kehidupan masyarakat modern bidang kehidupan manusia seolah-olah demi kepentingan teknis saja. Oleh karena itu untuk mendobraknya dapat dilaksanakan dengan refleksi. Melalui refleksi ini sejarah pengalaman penderitaan manusia dapat disadari, utamanya kesadaran emansipatoris.[14]


[1] Palmer, R.E. 1969. Hermeneutiks: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer. Evanston, III:Northwestern Univ. Press. h. 23.
[2] Ibid,h. 25.
[3] Betanzos, R.J. 1988,’Introduction’ in Wilhelm, Introduction to Human Sciences. Pp.9-63.Detroit, Mich: Wayne State Univ.Press.h. 28.
[4] Palmer, R.E. op. cit., h. 30.
[5] Ibid. h.43.
[6] Outwaite, W. 1975. Understanding Social Life: The Method called Verstehen. London: Allen & Unwin, h.26.
[7] Palmer, R.E., op. cit.,h. 13.
[8] Ricouer, 1981-b 1981 b. ‘appropriation’. In J.B.Thomson (ed.), Paul Ricoeur, Hermeneutiks and the Human Sciences, pp. 182-193. Cambridge: Cambridge Univ. Press. H. 192-193.
[9] [9] Palmer, R.E. op. cit., h. 31.

[10] Outwaite, W. op. cit., h.32.
[11] Palmer, R.E. op. cit., h. 33.

[12] [12] Outwaite, W. 1975.op. cit., h.67.
[13] ibid
[14] Aristoteles, On the Soul, Book II, Pasal 5 , artikel20-25

Tidak ada komentar:

Posting Komentar