IN: MEDIKA - Beban Berat Penelitian
AFFANNUR ----------------------------------------------------------------------------
Beban Berat Penelitian Tanaman Obat di Indonesia
------------------------------------------------------------------
Penelitian tanaman obat di Indonesia terkesan jalan di tempat.
Banyak faktor ikut menghambat upaya untuk menemukan obat baru dari
tanaman asli Indonesia.Namun, sebenarnya ada kiat-kiat khusus
untuk menghadapi tantangan tersebut.
------------------------------------------------------------------
Penelitian tanaman obat di Indonesia terkesan jalan di tempat.
Banyak faktor ikut menghambat upaya untuk menemukan obat baru dari
tanaman asli Indonesia.Namun, sebenarnya ada kiat-kiat khusus
untuk menghadapi tantangan tersebut.
------------------------------------------------------------------
Ingatkah Anda pada obat dengan nama dagang Curcuma atau Rheumakur?
Jika Anda mengingatnya, barangkali itulah nama dagang obat yang
benar-benar asli hasil penelitian dari tanaman obat di Indonesia.
Tentu saja kedua nama dagang yang dikembangkan dari ekstrak
tanaman temu lawak dan kunyit itu amat tidak sebanding dengan
ribuan nama dagang obat yang beredar di Indonesia. Kebanayakan
dari mereka, tentu saja bukan hasil penelitian yang dilakukan dan
berasal dari tanaman obat di Indonesia.
Jika Anda mengingatnya, barangkali itulah nama dagang obat yang
benar-benar asli hasil penelitian dari tanaman obat di Indonesia.
Tentu saja kedua nama dagang yang dikembangkan dari ekstrak
tanaman temu lawak dan kunyit itu amat tidak sebanding dengan
ribuan nama dagang obat yang beredar di Indonesia. Kebanayakan
dari mereka, tentu saja bukan hasil penelitian yang dilakukan dan
berasal dari tanaman obat di Indonesia.
Seperti juga dengan berbagai hasil industri barang dan jasa
lainnya, komoditas obat yang beredar di Indonesia lebih banyak
diimpor dari luar negeri. Jikapun tidak dalam bentuk jadi,
kebanyakan obat yang beredar di pasar Indonesia adalah hasil
jahitan dari berbagai ekstrak atau bahan dari luar negeri yang
diolah oleh industri farmasi di Indonesia. Nyaris dalam pola
demikian, tidak banyak nilai tambah yang diambil oleh bangsa
Indonesia dalam pola produksi obat. Jikapun ada, mungkin sedikit
tambahan dalam penelitian atau uji klinik tentang pemakaian
obat-obatan tersebut di Indonesia. Umunya, hal tersebut dilakukan
di beberapa rumah sakit pemerintah.
lainnya, komoditas obat yang beredar di Indonesia lebih banyak
diimpor dari luar negeri. Jikapun tidak dalam bentuk jadi,
kebanyakan obat yang beredar di pasar Indonesia adalah hasil
jahitan dari berbagai ekstrak atau bahan dari luar negeri yang
diolah oleh industri farmasi di Indonesia. Nyaris dalam pola
demikian, tidak banyak nilai tambah yang diambil oleh bangsa
Indonesia dalam pola produksi obat. Jikapun ada, mungkin sedikit
tambahan dalam penelitian atau uji klinik tentang pemakaian
obat-obatan tersebut di Indonesia. Umunya, hal tersebut dilakukan
di beberapa rumah sakit pemerintah.
Potensi tumbuhan sebagai tanaman yang berkhasiat sebagai obat
memang telah lama dikenal manusia. Di dunia, tokoh fitoterapi
Yunani dan Persia seperti Hipocrates dan Ibnu Sinna yang hidup
ribuan tahun lalu, telah mengenal pengobatan penyakit dengan
menggunakan tumbuh-tumbuhan. Secara kimiawi, tumbuhan dianggap
sebagai penghasil senyawa organik yang jenis dan jumlahnya hampir
tidak terhingga. Salah satu manfaat senyawa organik yang diambil
oleh manusia adalah untuk mengobati penyakit. Beberapa tamanan
bahkan telah dikenal atau terus dikembangkan sebagai obat anti
jamur, anti bakteri, anti malaria, anti kanker, anti HIV.
memang telah lama dikenal manusia. Di dunia, tokoh fitoterapi
Yunani dan Persia seperti Hipocrates dan Ibnu Sinna yang hidup
ribuan tahun lalu, telah mengenal pengobatan penyakit dengan
menggunakan tumbuh-tumbuhan. Secara kimiawi, tumbuhan dianggap
sebagai penghasil senyawa organik yang jenis dan jumlahnya hampir
tidak terhingga. Salah satu manfaat senyawa organik yang diambil
oleh manusia adalah untuk mengobati penyakit. Beberapa tamanan
bahkan telah dikenal atau terus dikembangkan sebagai obat anti
jamur, anti bakteri, anti malaria, anti kanker, anti HIV.
Meski memiliki manfaat sebagai obat, penelitian untuk
mengungkapkan manfaat tanaman sebagai obat memang bukan perkara
mudah. Sejak dari penemuan bahan tumbuh-tumbuhan hingga menjadi
sebuah produk obat --lengkap dengan nama dagang-- yang siap
dipasarkan, melalui berbagai tahapan yang amat rumit dan panjang.
Dalam wawancara khusus di kantor Medika seusai menjadi Juri
Pemilihan Iklan Medika Terbaik pada pertengahan Agustus lalu, Guru
Besar Farmakologi FKUI, Prof. DR. Sardjono Santoso, menyebutkan
adanya rangkaian kerja yang dimulai dari pencarian zat aktif,
isolasi dan pemurnian zat dalam rangka memperoleh bahan baku obat,
farmakokinetik dan farmakodinamik yang mendasar dalam mencari
mekanisme kerja suatu zat aktif dalam tumbuhan obat, serta
tahap-tahap lanjutan dalam uji klinik.
mengungkapkan manfaat tanaman sebagai obat memang bukan perkara
mudah. Sejak dari penemuan bahan tumbuh-tumbuhan hingga menjadi
sebuah produk obat --lengkap dengan nama dagang-- yang siap
dipasarkan, melalui berbagai tahapan yang amat rumit dan panjang.
Dalam wawancara khusus di kantor Medika seusai menjadi Juri
Pemilihan Iklan Medika Terbaik pada pertengahan Agustus lalu, Guru
Besar Farmakologi FKUI, Prof. DR. Sardjono Santoso, menyebutkan
adanya rangkaian kerja yang dimulai dari pencarian zat aktif,
isolasi dan pemurnian zat dalam rangka memperoleh bahan baku obat,
farmakokinetik dan farmakodinamik yang mendasar dalam mencari
mekanisme kerja suatu zat aktif dalam tumbuhan obat, serta
tahap-tahap lanjutan dalam uji klinik.
Jika Sardjono melihat rangkaian penelitian tanaman obat di
Indonesia dalam sebuah jalur vertikal, maka Guru Besar Farmasi
Institut Teknologi Bandung (ITB), Prof. Kosasih Padmawinata, Ph.D,
lebih menyorot kegiatan itu dalam sebuah jalur horisontal. Dalam
orasi ilmiah yang dibawakannya dalam acara Medika Award pada
pertengahan September lalu, Kosasih memaparkan bidang penelitian
obat dari segi budi daya atau agronomi, pemuliaan, pemanenan,
pengeringan bahan, pengecilan bahan, ekstraksi, fitokimia, uji
farmakologi, uji biologi, uji toksisitas, pembuatan sediaan,
standarisasi dan sebagainya. Tujuan itu semua, lanjut Kosasih,
nantinya adalah memperoleh bahan tumbuhan atau simplisia --dalam
bentuk akar, daun, kulit batang, kayu, bunga, buah-- yang
diketahui mempunyai efek farmakologi, toksisitas, kandungan kimia
yang mempunyai efek farmakologi, cara analitik untuk penentuan
kandungan kimia, cara pembuatan sedian farmasi. Dari berbagai segi
dan langkah penelitian itulah akhirnya ada yang dapat dijadikan
obat untuk diproduksi dan dipasarkan ke masyarakat.
Indonesia dalam sebuah jalur vertikal, maka Guru Besar Farmasi
Institut Teknologi Bandung (ITB), Prof. Kosasih Padmawinata, Ph.D,
lebih menyorot kegiatan itu dalam sebuah jalur horisontal. Dalam
orasi ilmiah yang dibawakannya dalam acara Medika Award pada
pertengahan September lalu, Kosasih memaparkan bidang penelitian
obat dari segi budi daya atau agronomi, pemuliaan, pemanenan,
pengeringan bahan, pengecilan bahan, ekstraksi, fitokimia, uji
farmakologi, uji biologi, uji toksisitas, pembuatan sediaan,
standarisasi dan sebagainya. Tujuan itu semua, lanjut Kosasih,
nantinya adalah memperoleh bahan tumbuhan atau simplisia --dalam
bentuk akar, daun, kulit batang, kayu, bunga, buah-- yang
diketahui mempunyai efek farmakologi, toksisitas, kandungan kimia
yang mempunyai efek farmakologi, cara analitik untuk penentuan
kandungan kimia, cara pembuatan sedian farmasi. Dari berbagai segi
dan langkah penelitian itulah akhirnya ada yang dapat dijadikan
obat untuk diproduksi dan dipasarkan ke masyarakat.
Melihat rangkaian yang rumit dan panjang tersebut, jelas
membutuhkan biaya, waktu, sarana dan prasarana yang memadai dan
sumber daya manusia yang memadai. Pada konteks inilah, justru
berbagai rintangan justru menghadang. Untuk biaya saja, misalnya,
Kosasih menuturkan perlunya alokasi anggaran 7--120 juta rupiah
untuk penelitian dalam satu segi saja hingga tuntas. Jika harus
dilakukan dari berbagai segi, tentu diperlukan alokasi anggaran
yang berlipat beberapa kali. Sardjono meski tidak menyebutkan
berapa jumlah pasti anggaran biaya untuk menemukan satu obat baru,
juga menegaskan bahwa jumlah uang yang harus disediakan amatlah
besar.
membutuhkan biaya, waktu, sarana dan prasarana yang memadai dan
sumber daya manusia yang memadai. Pada konteks inilah, justru
berbagai rintangan justru menghadang. Untuk biaya saja, misalnya,
Kosasih menuturkan perlunya alokasi anggaran 7--120 juta rupiah
untuk penelitian dalam satu segi saja hingga tuntas. Jika harus
dilakukan dari berbagai segi, tentu diperlukan alokasi anggaran
yang berlipat beberapa kali. Sardjono meski tidak menyebutkan
berapa jumlah pasti anggaran biaya untuk menemukan satu obat baru,
juga menegaskan bahwa jumlah uang yang harus disediakan amatlah
besar.
Sebagai perbandingannya, di luar negeri, jumlah anggaran dana
untuk riset obat baru memang tidak kecil. Menurut sebuah berita
yang dimuat Kompas pada pertengahan September lalu, perusahaan
farmasi internasional Glaxo menyiapkan biaya sebesar 150-350 juta
US$ setiap tahun untuk riset obat baru. Hal yang nyaris sama juga
diungkapkan oleh Medical Director di PT Schering-Plough Indonesia,
Dr. J. Hudyono, yang menyebut angka 300 juta US$ setiap tahun yang
dikeluarkan oleh induk perusahaan tersebut di Jerman. Bahkan,
masih lanjut Hudyono yang saat ini menjabat sebagai Ketua
Perhimpunan Dokter Farmaseutika Indonesia (PDFI), karena besarnya
riset untuk menemukan obat baru, beberapa perusahaan besar
mengadakan penggabungan. Diantara perusahaan yang melakukan merger
tersebut antara lain Bristoll Myers dengan Squib, Up John dengan
Phamacia, dan Ciba Geigy dengan Sandoz.
untuk riset obat baru memang tidak kecil. Menurut sebuah berita
yang dimuat Kompas pada pertengahan September lalu, perusahaan
farmasi internasional Glaxo menyiapkan biaya sebesar 150-350 juta
US$ setiap tahun untuk riset obat baru. Hal yang nyaris sama juga
diungkapkan oleh Medical Director di PT Schering-Plough Indonesia,
Dr. J. Hudyono, yang menyebut angka 300 juta US$ setiap tahun yang
dikeluarkan oleh induk perusahaan tersebut di Jerman. Bahkan,
masih lanjut Hudyono yang saat ini menjabat sebagai Ketua
Perhimpunan Dokter Farmaseutika Indonesia (PDFI), karena besarnya
riset untuk menemukan obat baru, beberapa perusahaan besar
mengadakan penggabungan. Diantara perusahaan yang melakukan merger
tersebut antara lain Bristoll Myers dengan Squib, Up John dengan
Phamacia, dan Ciba Geigy dengan Sandoz.
Di Indonesia, kondisi industri farmasi agak berbeda. Saat ini,
pelaku bisnis farmasi Indonesia masih dikuasai oleh perusahaan
penanaman modal asing (PMA). Tentu saja, untuk kepanjangan tangan
usaha mereka di Indonesia, tidak mungkin ada riset obat baru yang
mereka lakukan di sini. Dalam wawancaranya dengan Medika, Hudyono
mengakui bahwa industri farmasi PMA sulit untuk mengadakan riset
secara khusus. Pada industri farmasi PMA, obat dalam bentu jadi
itu telah siap untuk dipasarkan. Namun dari Sardjono, Medika
memperoleh informasi mulai adanya minat industri farmasi PMA untuk
melakukan penelitian tanaman obat. Salah satu jalan yang mereka
tempuh adalah dengan jalan mencari mitra kerja dengan berbagai
lembaga penelitian yang telah ada.
pelaku bisnis farmasi Indonesia masih dikuasai oleh perusahaan
penanaman modal asing (PMA). Tentu saja, untuk kepanjangan tangan
usaha mereka di Indonesia, tidak mungkin ada riset obat baru yang
mereka lakukan di sini. Dalam wawancaranya dengan Medika, Hudyono
mengakui bahwa industri farmasi PMA sulit untuk mengadakan riset
secara khusus. Pada industri farmasi PMA, obat dalam bentu jadi
itu telah siap untuk dipasarkan. Namun dari Sardjono, Medika
memperoleh informasi mulai adanya minat industri farmasi PMA untuk
melakukan penelitian tanaman obat. Salah satu jalan yang mereka
tempuh adalah dengan jalan mencari mitra kerja dengan berbagai
lembaga penelitian yang telah ada.
Sementara itu, industri farmasi nasional --sebagai pelaku lain di
bisnis farmasi-- memiliki kiat tersendiri dalam menghadapi
besarnya anggaran dana yang harus disediakan. Sebagai contoh, PT
Kimia Farma (salah satu Badan Usaha Milik Negara di bawah
Departemen Kesehatan) mengambil jalan pintas untuk melakukan kerja
sama dengan berbegai instansi milik pemerintah seperti Pusat
Penelitian dan Pengembangan Farmasi Departemen Kesehatan (Puslit
Depkes) dan Badan Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Tradisional
Departemen Pertanian (Balitro Deptan) Departemen Kesehatan,
Farmakologi FKUI, dan Farmokologi Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor (FKH IPB). Saat ini, upaya gotong royong
tersebut tengah berusaha mencari obat untuk menurunkan
hiperlipidemia.
bisnis farmasi-- memiliki kiat tersendiri dalam menghadapi
besarnya anggaran dana yang harus disediakan. Sebagai contoh, PT
Kimia Farma (salah satu Badan Usaha Milik Negara di bawah
Departemen Kesehatan) mengambil jalan pintas untuk melakukan kerja
sama dengan berbegai instansi milik pemerintah seperti Pusat
Penelitian dan Pengembangan Farmasi Departemen Kesehatan (Puslit
Depkes) dan Badan Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Tradisional
Departemen Pertanian (Balitro Deptan) Departemen Kesehatan,
Farmakologi FKUI, dan Farmokologi Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor (FKH IPB). Saat ini, upaya gotong royong
tersebut tengah berusaha mencari obat untuk menurunkan
hiperlipidemia.
Selain untuk menghemat biaya, upaya patungan yang dilakukan oleh
industri farmasi dan lembaga yang enelitian yang terkait untuk
menemukan obat baru juga dianggap sebagai upaya menjawab rintangan
minimnya sarana dan parasarana serta sumber daya manusia yang
tersedia. Dengan mengalokasikan beberapa kegiatan pada berbagai
tempat yang telah ada, maka kegiatan penelitian dapat lebih
mendalam dan lancar dilakukan. Sebagai contoh, Sardjono
mengungkapkan pola kerjasama untuk menemukan obat penurun
hiperlipidemia yang saat ini tengah dilakukan. Dalam kerja sama
itu, Balitro menyediakan dan menyiapkan ekstrak tanaman standar,
Farmakologi FKUI bersama Puslit Farmasi meneliti toksiologi,
Farmokologi FKH IPB dan Farmokologi FKUI meneliti farmakodinamik,
sementara formulasi dilakukan dan disediakan oleh Balitro dan PT
Kimia Farma.
industri farmasi dan lembaga yang enelitian yang terkait untuk
menemukan obat baru juga dianggap sebagai upaya menjawab rintangan
minimnya sarana dan parasarana serta sumber daya manusia yang
tersedia. Dengan mengalokasikan beberapa kegiatan pada berbagai
tempat yang telah ada, maka kegiatan penelitian dapat lebih
mendalam dan lancar dilakukan. Sebagai contoh, Sardjono
mengungkapkan pola kerjasama untuk menemukan obat penurun
hiperlipidemia yang saat ini tengah dilakukan. Dalam kerja sama
itu, Balitro menyediakan dan menyiapkan ekstrak tanaman standar,
Farmakologi FKUI bersama Puslit Farmasi meneliti toksiologi,
Farmokologi FKH IPB dan Farmokologi FKUI meneliti farmakodinamik,
sementara formulasi dilakukan dan disediakan oleh Balitro dan PT
Kimia Farma.
Sayangnya, tidak banyak industri farmasi nasional yang juga
tertarik melakukan kerja sama dengan berbagai instansi atau
lembaga penelitian yang ada. Kepala Puslit Farmasi, Depkes, Drs.
Sudjaswadi Wiryowidagdo, melihat terjadinya kesenjangan
kepentingan antara peneliti di lembaga atau instansi penelitian
dengan kepentingan industri farmasi. Berdasarkan catatan yang
dikumpulkan oleh Medika dari orasi ilmiah saat pengukuhan
Sardjono, hanya beberapa jenis penelitian --dari banyak penelitian
tanaman obat yang yang ada yang diminati-- oleh industri farmasi
Indonesia (daftar selengkapnya lihat dalam daftar tanaman obat
dalam tabel). Menurut Sardjono, kebanyakan penelitian obat-obatan
yang dilirik indusri farmasi adalah obat yang banyak dibutuhkan
masyarakat, sehingga bisa dijual cepat, banyak, dan jika perlu
mahal. Sebagai contoh adalah penelitian tanaman obat untuk
menghilangkan rematik, menurunkan hiperlipidemia, dan untuk
penyakit hati. Sementara contoh lain penelitian tanaman daun
katuk, hingga kini belum banyak diminati oleh industri farmasi
Indonesia. Padahal, menurut Drh. Agik Suprayogi, Msc, salah
seorang peneliti daun katuk di FKH IPB, di luar negeri riset
tentang daun katuk amat diminati.
tertarik melakukan kerja sama dengan berbagai instansi atau
lembaga penelitian yang ada. Kepala Puslit Farmasi, Depkes, Drs.
Sudjaswadi Wiryowidagdo, melihat terjadinya kesenjangan
kepentingan antara peneliti di lembaga atau instansi penelitian
dengan kepentingan industri farmasi. Berdasarkan catatan yang
dikumpulkan oleh Medika dari orasi ilmiah saat pengukuhan
Sardjono, hanya beberapa jenis penelitian --dari banyak penelitian
tanaman obat yang yang ada yang diminati-- oleh industri farmasi
Indonesia (daftar selengkapnya lihat dalam daftar tanaman obat
dalam tabel). Menurut Sardjono, kebanyakan penelitian obat-obatan
yang dilirik indusri farmasi adalah obat yang banyak dibutuhkan
masyarakat, sehingga bisa dijual cepat, banyak, dan jika perlu
mahal. Sebagai contoh adalah penelitian tanaman obat untuk
menghilangkan rematik, menurunkan hiperlipidemia, dan untuk
penyakit hati. Sementara contoh lain penelitian tanaman daun
katuk, hingga kini belum banyak diminati oleh industri farmasi
Indonesia. Padahal, menurut Drh. Agik Suprayogi, Msc, salah
seorang peneliti daun katuk di FKH IPB, di luar negeri riset
tentang daun katuk amat diminati.
Kondisi tersebut, menurut Sardjono pada akhirnya menyebabkan
beberapa penelitian tanaman obat di Indonesia lebih banyak
diprakarsai dan dibiayai oleh instansi atau lembaga penelitian
pemerintah. Harus diakui, sejak masa penjajahan Belanda dan Jepang
hingga kemerdekaan Indonesia, penelitian tanaman obat di Indonesia
lebih banyak menjadi kerja pemerintah (lihat tulisan "Perkembangan
Penelitian Tanaman Obat di Indonesia). Masuknya tanaman obat dan
pengobatan tradisional dalam GBHN, pada ahirnya justru lebih
menguatkan dominasi pemerintah terhadap penelitian tanaman obat.
Bahkan proporsi untuk menyertakan persentase sebanyak 20% biaya
penelitian tanaman obat baru ke swasta, nyaris tidak mungkin akan
tercapai.
beberapa penelitian tanaman obat di Indonesia lebih banyak
diprakarsai dan dibiayai oleh instansi atau lembaga penelitian
pemerintah. Harus diakui, sejak masa penjajahan Belanda dan Jepang
hingga kemerdekaan Indonesia, penelitian tanaman obat di Indonesia
lebih banyak menjadi kerja pemerintah (lihat tulisan "Perkembangan
Penelitian Tanaman Obat di Indonesia). Masuknya tanaman obat dan
pengobatan tradisional dalam GBHN, pada ahirnya justru lebih
menguatkan dominasi pemerintah terhadap penelitian tanaman obat.
Bahkan proporsi untuk menyertakan persentase sebanyak 20% biaya
penelitian tanaman obat baru ke swasta, nyaris tidak mungkin akan
tercapai.
Kendala lain yang menyebabkan beratnya beban penelitian tanaman
obat di Indonesia adalah minimnya kepercayaan masyarakat dan
dokter terhadap tanaman obat asli Indonesia. Dr. Nafrialdy,
seorang staf peneliti obat tradisional pada Bagian Farmakologi
FKUI mengakui umumnya pasien dan dokter Indonesia telah terbiasa
dengan obat-obatan modern. Akibatnya, penelitian tanaman obat yang
dikembangkan dari obat tradisional yang berdasarkan data empiris
dan kepercayaan masyarakat tradisional, menjadi kurang berkembang.
Banyak, penelitian tanaman obat yang tidak dikembangkan secara
keseluruhan hingga menjadi obat modern. Pada akhirnya, banyak
tanaman oabt yang berubah menjadi jamu atau makanan suplemen.
Untuk kedua jenis terakhir, penelitian serta uji klinik memang
tidak seketat sebuah obat (lihat tulisan "Jika Mereka Memilih
untuk Mengkopi Hak Paten").
obat di Indonesia adalah minimnya kepercayaan masyarakat dan
dokter terhadap tanaman obat asli Indonesia. Dr. Nafrialdy,
seorang staf peneliti obat tradisional pada Bagian Farmakologi
FKUI mengakui umumnya pasien dan dokter Indonesia telah terbiasa
dengan obat-obatan modern. Akibatnya, penelitian tanaman obat yang
dikembangkan dari obat tradisional yang berdasarkan data empiris
dan kepercayaan masyarakat tradisional, menjadi kurang berkembang.
Banyak, penelitian tanaman obat yang tidak dikembangkan secara
keseluruhan hingga menjadi obat modern. Pada akhirnya, banyak
tanaman oabt yang berubah menjadi jamu atau makanan suplemen.
Untuk kedua jenis terakhir, penelitian serta uji klinik memang
tidak seketat sebuah obat (lihat tulisan "Jika Mereka Memilih
untuk Mengkopi Hak Paten").
Meski mengakui bahwa langkah terbaik penelitian tanaman obat harus
sesuai dengan langkah dalam penelitian obat modern, Sardjono
mengungkapkan perlunya dicari terobosan khusus untuk meningkatkan
dan mempercepat penelitian tanaman obat di Indonesia. Dalam
tulisan di orasi ilmiahnya, Sardjono menyebut terobosan khusus itu
sebagai program jangka pendek. Dalam program jangka pendek
tersebut, Sardjono justru bermaksud untuk menjadikan tanaman obat
dari obat tradisional --baik dalam bentuk jamu atau makanan
suplemen-- sebagai awal langkah penelitian. Jadi, penelitian tidak
dimulai dari upaya untuk mendapatkan tanaman obat yang berkhasiat
tersebut. Namun, secara lebih lanjut Sardojono mengungkapkan bahwa
penelitian lanjut terhadap obat tradisional yang telah lama ada di
masyarakat itu tetap harus mengkuti tahap-tahap sesuai dengan obat
modern.
sesuai dengan langkah dalam penelitian obat modern, Sardjono
mengungkapkan perlunya dicari terobosan khusus untuk meningkatkan
dan mempercepat penelitian tanaman obat di Indonesia. Dalam
tulisan di orasi ilmiahnya, Sardjono menyebut terobosan khusus itu
sebagai program jangka pendek. Dalam program jangka pendek
tersebut, Sardjono justru bermaksud untuk menjadikan tanaman obat
dari obat tradisional --baik dalam bentuk jamu atau makanan
suplemen-- sebagai awal langkah penelitian. Jadi, penelitian tidak
dimulai dari upaya untuk mendapatkan tanaman obat yang berkhasiat
tersebut. Namun, secara lebih lanjut Sardojono mengungkapkan bahwa
penelitian lanjut terhadap obat tradisional yang telah lama ada di
masyarakat itu tetap harus mengkuti tahap-tahap sesuai dengan obat
modern.
Tentu saja langkah berani yang diusulkan oleh Sardjono ini masih
memerlukan pertimbangan lebih lanjut. Alasannya, seperti diungkap
oleh Sardjono sendiri menyangkut etis tidaknya pemberlakuan
penelitian langsung pada manusia. Padahal, umumnya sebuh obat baru
tetap memerlukan penelitian toksisistas pada hewan. Selain itu
faktor penyelenggara dan tempat penelitian serta publikasi hasil
penelitian juga perlu mendapat pertimbangan tersendiri.
Pertimbangan tersebut menyangkut kredibilitas, kejujuran, dan
kesiapan dalam persiapan penelitian, saat penelitian, dan hasil
penelitian dari perusahaan produsen jamu bersangkutan. Baik dan
buruk hasil penelitian tersebut tentu harus diterima dengan lapang
dada oleh perusahaan jamu tersebut.
memerlukan pertimbangan lebih lanjut. Alasannya, seperti diungkap
oleh Sardjono sendiri menyangkut etis tidaknya pemberlakuan
penelitian langsung pada manusia. Padahal, umumnya sebuh obat baru
tetap memerlukan penelitian toksisistas pada hewan. Selain itu
faktor penyelenggara dan tempat penelitian serta publikasi hasil
penelitian juga perlu mendapat pertimbangan tersendiri.
Pertimbangan tersebut menyangkut kredibilitas, kejujuran, dan
kesiapan dalam persiapan penelitian, saat penelitian, dan hasil
penelitian dari perusahaan produsen jamu bersangkutan. Baik dan
buruk hasil penelitian tersebut tentu harus diterima dengan lapang
dada oleh perusahaan jamu tersebut.
Jika saja usul Sardjono tersebut direalisasikan, tentu langkah
penelitian tanaman obat di Indonesia akan makin cepat dan beragam.
Apalagi, di luar usulan tersebut, saat ini dunia farmasi juga
telah mulai memasuki era baru dengan memanfaatkan perkembangan
biologi molekul dan rekayasa genetika. Menurut Kosasih
Padmawinata, hal itu jelas akan mengakibatkan dihasilkannya
metabolit sekender dalam tumbuhan obat melalui gen penghasil enzim
yang direkayasa dengan perantaraan mikroba. Penelitian intensif
yang terus dikembangkan dengan cara tersebut kini terus
dikembangkan dan dilakukan, terutama di Jurusan Farmasi ITB.
penelitian tanaman obat di Indonesia akan makin cepat dan beragam.
Apalagi, di luar usulan tersebut, saat ini dunia farmasi juga
telah mulai memasuki era baru dengan memanfaatkan perkembangan
biologi molekul dan rekayasa genetika. Menurut Kosasih
Padmawinata, hal itu jelas akan mengakibatkan dihasilkannya
metabolit sekender dalam tumbuhan obat melalui gen penghasil enzim
yang direkayasa dengan perantaraan mikroba. Penelitian intensif
yang terus dikembangkan dengan cara tersebut kini terus
dikembangkan dan dilakukan, terutama di Jurusan Farmasi ITB.
Namun semua itu pada akhirnya tentu berpulang dari kesiapan sumber
daya manusia yang dimiliki bangsa Indonesia. Jika kita tidak siap,
bukan tidak mungkin kekayaan alam berupa tumbuhan yang beroptensi
untuk obat yang amat banyak di Indonesia, justru akan dimanfaatkan
oleh bangsa lain. Seandainya itu terjadi, maka kita hanya bisa
menyaksikan bangsa lain mengambil manfaat dari kekayaan alam kita.
Untuk bangsa Indonesia, kita akan kembali sebagai tukang jahit dan
membeli kopi dalam proses pembuatan obat dari tumbuhan obat yang
ada di Indonesia. (Tim Medika)
daya manusia yang dimiliki bangsa Indonesia. Jika kita tidak siap,
bukan tidak mungkin kekayaan alam berupa tumbuhan yang beroptensi
untuk obat yang amat banyak di Indonesia, justru akan dimanfaatkan
oleh bangsa lain. Seandainya itu terjadi, maka kita hanya bisa
menyaksikan bangsa lain mengambil manfaat dari kekayaan alam kita.
Untuk bangsa Indonesia, kita akan kembali sebagai tukang jahit dan
membeli kopi dalam proses pembuatan obat dari tumbuhan obat yang
ada di Indonesia. (Tim Medika)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar