INFO PROFIL

Foto saya
JENTREK ROJOIMO WONOSOBO, jawa tengah indonesia, Indonesia
Ya Allah jadikan kami manusia yang bisa keluar dari belenggu “kemunafikan”. Bimbing kami untuk tidak mengoreksi orang lain sebelum diri ini terkoreksi ya Rabb. Jadikan kami manusia yang jujur dan tidak pernah membohongi diri sendiri apalagi orang lain. kepadaMulah kami berserah ya Allah, kepadaMulah kami bermohon karena tanpa kehendakMu kami tidak bisa berbuat apa-apa Affannur Jentrek rojoimo wonosobo . lahir13 Agustus 1989

Jumat, 10 Desember 2010

IN: MEDIKA - Beban Berat Penelitian
AFFANNUR
----------------------------------------------------------------------------
     Beban Berat Penelitian Tanaman Obat di Indonesia
     ------------------------------------------------------------------
     Penelitian tanaman obat di Indonesia terkesan jalan di tempat.
     Banyak faktor ikut menghambat upaya untuk menemukan obat baru dari
     tanaman asli Indonesia.Namun, sebenarnya ada kiat-kiat khusus
     untuk menghadapi tantangan tersebut.
     ------------------------------------------------------------------
     Ingatkah Anda pada obat dengan nama dagang Curcuma atau Rheumakur?
     Jika Anda mengingatnya, barangkali itulah nama dagang obat yang
     benar-benar asli hasil penelitian dari tanaman obat di Indonesia.
     Tentu saja kedua nama dagang yang dikembangkan dari ekstrak
     tanaman temu lawak dan kunyit itu amat tidak sebanding dengan
     ribuan nama dagang obat yang beredar di Indonesia. Kebanayakan
     dari mereka, tentu saja bukan hasil penelitian yang dilakukan dan
     berasal dari tanaman obat di Indonesia.
     Seperti juga dengan berbagai hasil industri barang dan jasa
     lainnya, komoditas obat yang beredar di Indonesia lebih banyak
     diimpor dari luar negeri. Jikapun tidak dalam bentuk jadi,
     kebanyakan obat yang beredar di pasar Indonesia adalah hasil
     jahitan dari berbagai ekstrak atau bahan dari luar negeri yang
     diolah oleh industri farmasi di Indonesia. Nyaris dalam pola
     demikian, tidak banyak nilai tambah yang diambil oleh bangsa
     Indonesia dalam pola produksi obat. Jikapun ada, mungkin sedikit
     tambahan dalam penelitian atau uji klinik tentang pemakaian
     obat-obatan tersebut di Indonesia. Umunya, hal tersebut dilakukan
     di beberapa rumah sakit pemerintah.
     Potensi tumbuhan sebagai tanaman yang berkhasiat sebagai obat
     memang telah lama dikenal manusia. Di dunia, tokoh fitoterapi
     Yunani dan Persia seperti Hipocrates dan Ibnu Sinna yang hidup
     ribuan tahun lalu, telah mengenal pengobatan penyakit dengan
     menggunakan tumbuh-tumbuhan. Secara kimiawi, tumbuhan dianggap
     sebagai penghasil senyawa organik yang jenis dan jumlahnya hampir
     tidak terhingga. Salah satu manfaat senyawa organik yang diambil
     oleh manusia adalah untuk mengobati penyakit. Beberapa tamanan
     bahkan telah dikenal atau terus dikembangkan sebagai obat anti
     jamur, anti bakteri, anti malaria, anti kanker, anti HIV.
     Meski memiliki manfaat sebagai obat, penelitian untuk
     mengungkapkan manfaat tanaman sebagai obat memang bukan perkara
     mudah. Sejak dari penemuan bahan tumbuh-tumbuhan hingga menjadi
     sebuah produk obat --lengkap dengan nama dagang-- yang siap
     dipasarkan, melalui berbagai tahapan yang amat rumit dan panjang.
     Dalam wawancara khusus di kantor Medika seusai menjadi Juri
     Pemilihan Iklan Medika Terbaik pada pertengahan Agustus lalu, Guru
     Besar Farmakologi FKUI, Prof. DR. Sardjono Santoso, menyebutkan
     adanya rangkaian kerja yang dimulai dari pencarian zat aktif,
     isolasi dan pemurnian zat dalam rangka memperoleh bahan baku obat,
     farmakokinetik dan farmakodinamik yang mendasar dalam mencari
     mekanisme kerja suatu zat aktif dalam tumbuhan obat, serta
     tahap-tahap lanjutan dalam uji klinik.
     Jika Sardjono melihat rangkaian penelitian tanaman obat di
     Indonesia dalam sebuah jalur vertikal, maka Guru Besar Farmasi
     Institut Teknologi Bandung (ITB), Prof. Kosasih Padmawinata, Ph.D,
     lebih menyorot kegiatan itu dalam sebuah jalur horisontal. Dalam
     orasi ilmiah yang dibawakannya dalam acara Medika Award pada
     pertengahan September lalu, Kosasih memaparkan bidang penelitian
     obat dari segi budi daya atau agronomi, pemuliaan, pemanenan,
     pengeringan bahan, pengecilan bahan, ekstraksi, fitokimia, uji
     farmakologi, uji biologi, uji toksisitas, pembuatan sediaan,
     standarisasi dan sebagainya. Tujuan itu semua, lanjut Kosasih,
     nantinya adalah memperoleh bahan tumbuhan atau simplisia --dalam
     bentuk akar, daun, kulit batang, kayu, bunga, buah-- yang
     diketahui mempunyai efek farmakologi, toksisitas, kandungan kimia
     yang mempunyai efek farmakologi, cara analitik untuk penentuan
     kandungan kimia, cara pembuatan sedian farmasi. Dari berbagai segi
     dan langkah penelitian itulah akhirnya ada yang dapat dijadikan
     obat untuk diproduksi dan dipasarkan ke masyarakat.
     Melihat rangkaian yang rumit dan panjang tersebut, jelas
     membutuhkan biaya, waktu, sarana dan prasarana yang memadai dan
     sumber daya manusia yang memadai. Pada konteks inilah, justru
     berbagai rintangan justru menghadang. Untuk biaya saja, misalnya,
     Kosasih menuturkan perlunya alokasi anggaran 7--120 juta rupiah
     untuk penelitian dalam satu segi saja hingga tuntas. Jika harus
     dilakukan dari berbagai segi, tentu diperlukan alokasi anggaran
     yang berlipat beberapa kali. Sardjono meski tidak menyebutkan
     berapa jumlah pasti anggaran biaya untuk menemukan satu obat baru,
     juga menegaskan bahwa jumlah uang yang harus disediakan amatlah
     besar.
     Sebagai perbandingannya, di luar negeri, jumlah anggaran dana
     untuk riset obat baru memang tidak kecil. Menurut sebuah berita
     yang dimuat Kompas pada pertengahan September lalu, perusahaan
     farmasi internasional Glaxo menyiapkan biaya sebesar 150-350 juta
     US$ setiap tahun untuk riset obat baru. Hal yang nyaris sama juga
     diungkapkan oleh Medical Director di PT Schering-Plough Indonesia,
     Dr. J. Hudyono, yang menyebut angka 300 juta US$ setiap tahun yang
     dikeluarkan oleh induk perusahaan tersebut di Jerman. Bahkan,
     masih lanjut Hudyono yang saat ini menjabat sebagai Ketua
     Perhimpunan Dokter Farmaseutika Indonesia (PDFI), karena besarnya
     riset untuk menemukan obat baru, beberapa perusahaan besar
     mengadakan penggabungan. Diantara perusahaan yang melakukan merger
     tersebut antara lain Bristoll Myers dengan Squib, Up John dengan
     Phamacia, dan Ciba Geigy dengan Sandoz.
     Di Indonesia, kondisi industri farmasi agak berbeda. Saat ini,
     pelaku bisnis farmasi Indonesia masih dikuasai oleh perusahaan
     penanaman modal asing (PMA). Tentu saja, untuk kepanjangan tangan
     usaha mereka di Indonesia, tidak mungkin ada riset obat baru yang
     mereka lakukan di sini. Dalam wawancaranya dengan Medika, Hudyono
     mengakui bahwa industri farmasi PMA sulit untuk mengadakan riset
     secara khusus. Pada industri farmasi PMA, obat dalam bentu jadi
     itu telah siap untuk dipasarkan. Namun dari Sardjono, Medika
     memperoleh informasi mulai adanya minat industri farmasi PMA untuk
     melakukan penelitian tanaman obat. Salah satu jalan yang mereka
     tempuh adalah dengan jalan mencari mitra kerja dengan berbagai
     lembaga penelitian yang telah ada.
     Sementara itu, industri farmasi nasional --sebagai pelaku lain di
     bisnis farmasi-- memiliki kiat tersendiri dalam menghadapi
     besarnya anggaran dana yang harus disediakan. Sebagai contoh, PT
     Kimia Farma (salah satu Badan Usaha Milik Negara di bawah
     Departemen Kesehatan) mengambil jalan pintas untuk melakukan kerja
     sama dengan berbegai instansi milik pemerintah seperti Pusat
     Penelitian dan Pengembangan Farmasi Departemen Kesehatan (Puslit
     Depkes) dan Badan Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Tradisional
     Departemen Pertanian (Balitro Deptan) Departemen Kesehatan,
     Farmakologi FKUI, dan Farmokologi Fakultas Kedokteran Hewan
     Institut Pertanian Bogor (FKH IPB). Saat ini, upaya gotong royong
     tersebut tengah berusaha mencari obat untuk menurunkan
     hiperlipidemia.
     Selain untuk menghemat biaya, upaya patungan yang dilakukan oleh
     industri farmasi dan lembaga yang enelitian yang terkait untuk
     menemukan obat baru juga dianggap sebagai upaya menjawab rintangan
     minimnya sarana dan parasarana serta sumber daya manusia yang
     tersedia. Dengan mengalokasikan beberapa kegiatan pada berbagai
     tempat yang telah ada, maka kegiatan penelitian dapat lebih
     mendalam dan lancar dilakukan. Sebagai contoh, Sardjono
     mengungkapkan pola kerjasama untuk menemukan obat penurun
     hiperlipidemia yang saat ini tengah dilakukan. Dalam kerja sama
     itu, Balitro menyediakan dan menyiapkan ekstrak tanaman standar,
     Farmakologi FKUI bersama Puslit Farmasi meneliti toksiologi,
     Farmokologi FKH IPB dan Farmokologi FKUI meneliti farmakodinamik,
     sementara formulasi dilakukan dan disediakan oleh Balitro dan PT
     Kimia Farma.
     Sayangnya, tidak banyak industri farmasi nasional yang juga
     tertarik melakukan kerja sama dengan berbagai instansi atau
     lembaga penelitian yang ada. Kepala Puslit Farmasi, Depkes, Drs.
     Sudjaswadi Wiryowidagdo, melihat terjadinya kesenjangan
     kepentingan antara peneliti di lembaga atau instansi penelitian
     dengan kepentingan industri farmasi. Berdasarkan catatan yang
     dikumpulkan oleh Medika dari orasi ilmiah saat pengukuhan
     Sardjono, hanya beberapa jenis penelitian --dari banyak penelitian
     tanaman obat yang yang ada yang diminati-- oleh industri farmasi
     Indonesia (daftar selengkapnya lihat dalam daftar tanaman obat
     dalam tabel). Menurut Sardjono, kebanyakan penelitian obat-obatan
     yang dilirik indusri farmasi adalah obat yang banyak dibutuhkan
     masyarakat, sehingga bisa dijual cepat, banyak, dan jika perlu
     mahal. Sebagai contoh adalah penelitian tanaman obat untuk
     menghilangkan rematik, menurunkan hiperlipidemia, dan untuk
     penyakit hati. Sementara contoh lain penelitian tanaman daun
     katuk, hingga kini belum banyak diminati oleh industri farmasi
     Indonesia. Padahal, menurut Drh. Agik Suprayogi, Msc, salah
     seorang peneliti daun katuk di FKH IPB, di luar negeri riset
     tentang daun katuk amat diminati.
     Kondisi tersebut, menurut Sardjono pada akhirnya menyebabkan
     beberapa penelitian tanaman obat di Indonesia lebih banyak
     diprakarsai dan dibiayai oleh instansi atau lembaga penelitian
     pemerintah. Harus diakui, sejak masa penjajahan Belanda dan Jepang
     hingga kemerdekaan Indonesia, penelitian tanaman obat di Indonesia
     lebih banyak menjadi kerja pemerintah (lihat tulisan "Perkembangan
     Penelitian Tanaman Obat di Indonesia). Masuknya tanaman obat dan
     pengobatan tradisional dalam GBHN, pada ahirnya justru lebih
     menguatkan dominasi pemerintah terhadap penelitian tanaman obat.
     Bahkan proporsi untuk menyertakan persentase sebanyak 20% biaya
     penelitian tanaman obat baru ke swasta, nyaris tidak mungkin akan
     tercapai.
     Kendala lain yang menyebabkan beratnya beban penelitian tanaman
     obat di Indonesia adalah minimnya kepercayaan masyarakat dan
     dokter terhadap tanaman obat asli Indonesia. Dr. Nafrialdy,
     seorang staf peneliti obat tradisional pada Bagian Farmakologi
     FKUI mengakui umumnya pasien dan dokter Indonesia telah terbiasa
     dengan obat-obatan modern. Akibatnya, penelitian tanaman obat yang
     dikembangkan dari obat tradisional yang berdasarkan data empiris
     dan kepercayaan masyarakat tradisional, menjadi kurang berkembang.
     Banyak, penelitian tanaman obat yang tidak dikembangkan secara
     keseluruhan hingga menjadi obat modern. Pada akhirnya, banyak
     tanaman oabt yang berubah menjadi jamu atau makanan suplemen.
     Untuk kedua jenis terakhir, penelitian serta uji klinik memang
     tidak seketat sebuah obat (lihat tulisan "Jika Mereka Memilih
     untuk Mengkopi Hak Paten").
     Meski mengakui bahwa langkah terbaik penelitian tanaman obat harus
     sesuai dengan langkah dalam penelitian obat modern, Sardjono
     mengungkapkan perlunya dicari terobosan khusus untuk meningkatkan
     dan mempercepat penelitian tanaman obat di Indonesia. Dalam
     tulisan di orasi ilmiahnya, Sardjono menyebut terobosan khusus itu
     sebagai program jangka pendek. Dalam program jangka pendek
     tersebut, Sardjono justru bermaksud untuk menjadikan tanaman obat
     dari obat tradisional --baik dalam bentuk jamu atau makanan
     suplemen-- sebagai awal langkah penelitian. Jadi, penelitian tidak
     dimulai dari upaya untuk mendapatkan tanaman obat yang berkhasiat
     tersebut. Namun, secara lebih lanjut Sardojono mengungkapkan bahwa
     penelitian lanjut terhadap obat tradisional yang telah lama ada di
     masyarakat itu tetap harus mengkuti tahap-tahap sesuai dengan obat
     modern.
     Tentu saja langkah berani yang diusulkan oleh Sardjono ini masih
     memerlukan pertimbangan lebih lanjut. Alasannya, seperti diungkap
     oleh Sardjono sendiri menyangkut etis tidaknya pemberlakuan
     penelitian langsung pada manusia. Padahal, umumnya sebuh obat baru
     tetap memerlukan penelitian toksisistas pada hewan. Selain itu
     faktor penyelenggara dan tempat penelitian serta publikasi hasil
     penelitian juga perlu mendapat pertimbangan tersendiri.
     Pertimbangan tersebut menyangkut kredibilitas, kejujuran, dan
     kesiapan dalam persiapan penelitian, saat penelitian, dan hasil
     penelitian dari perusahaan produsen jamu bersangkutan. Baik dan
     buruk hasil penelitian tersebut tentu harus diterima dengan lapang
     dada oleh perusahaan jamu tersebut.
     Jika saja usul Sardjono tersebut direalisasikan, tentu langkah
     penelitian tanaman obat di Indonesia akan makin cepat dan beragam.
     Apalagi, di luar usulan tersebut, saat ini dunia farmasi juga
     telah mulai memasuki era baru dengan memanfaatkan perkembangan
     biologi molekul dan rekayasa genetika. Menurut Kosasih
     Padmawinata, hal itu jelas akan mengakibatkan dihasilkannya
     metabolit sekender dalam tumbuhan obat melalui gen penghasil enzim
     yang direkayasa dengan perantaraan mikroba. Penelitian intensif
     yang terus dikembangkan dengan cara tersebut kini terus
     dikembangkan dan dilakukan, terutama di Jurusan Farmasi ITB.
     Namun semua itu pada akhirnya tentu berpulang dari kesiapan sumber
     daya manusia yang dimiliki bangsa Indonesia. Jika kita tidak siap,
     bukan tidak mungkin kekayaan alam berupa tumbuhan yang beroptensi
     untuk obat yang amat banyak di Indonesia, justru akan dimanfaatkan
     oleh bangsa lain. Seandainya itu terjadi, maka kita hanya bisa
     menyaksikan bangsa lain mengambil manfaat dari kekayaan alam kita.
     Untuk bangsa Indonesia, kita akan kembali sebagai tukang jahit dan
     membeli kopi dalam proses pembuatan obat dari tumbuhan obat yang
     ada di Indonesia. (Tim Medika)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar