AFFANNUR
Posted by nuansa qur'ani
Selama ini, Jamaluddin Al-Afghani (1838-1897) lebih dikenal sebagai politikus ulung. Ketika baru berusia 22 tahun ia telah menjadi pembantu Pangeran Dost Muhammad Khan di Afghanistan. Di tahun 1864 ia menjadi penasehat Sher Ali Khan. Beberapa tahun kemudian ia diangkat oleh Muhammad A'zam Khan menjadi Perdana Menteri. Ketika Inggris mulai mencampuri urusan politik dalam negeri, Al-Afghani merasa lebih aman meninggalkan tanah kelahirannya dan pergi ke India di tahun 1869.
Di India ia juga merasa tidak bebas bergerak karena negara ini telah jatuh di bawah kekuasaan Inggris, sehingga ia pindah ke Mesir tahun 1871. la menetap di Cairo dan memusatkan perhatian pada ilmu pengetahuan dan sastra Arab, dunia politik pun ia tinggalkan. Kediamannya menjadi tempat pertemuan para murid dan pengikutnya. Di tempat inilah, Al-Afghani mengajar dan mengeluarkan ide-ide pembaharuan. Menurut keterangan Muhammad Salam Madkur, pengikut Al-Afghani kebanyakan dari kalangan hakim, dosen, dan pegawai pemerintah. Sehingga, beberapa muridnya seperti Muhammad Abduh dan Sa’ad Zaghlul mampu memimpin kemerdekaan Mesir.
Tekanan Inggris kepada Mesir memuncak pada tahun 1876 membuat Al-Afghani kembali ke ranah politik dan berhasil mendirikan partai Al-Hizb Al-Watani. Tujuannya memperjuangkan pendidikan universal, kemer¬dekaan pers dan memasukkan unsur-unsur Mesir ke dalam posisi-posisi dalam bidang militer. Sehingga, slogan "Mesir untuk orang Mesir" pun menggema seantero Mesir. Karena pengaruhnya demikian kuat, melalui tekanan Inggris, akhirnya pemerintah mengusirnya tahun 1879.
Al-Afghani kemudian hijrah ke Prancis, dan membentuk perkumpulan bernama Al-Urwah Al-Wutsqa. Anggotanya terdiri atas orang-orang Islam dari India, Mesir, Suria, Afrika Utara, dan lain-lain. Perkumpulan tersebut dibentuk untuk memperkuat rasa persaudaraan Islam, membela Islam dan membawa umat Islam pada kemajuan. Untuk mewujudkan tujuan tersebut mereka menerbitkan majalah dengan nama yang sama. Tetapi hanya berumur 8 bulan, disebabkan Negara-negara Eropa melarang peredarannya.
Saat Al-Afghani di Prancis inilah, Ernest Renan (1823-1892), seorang filosof asal Prancis menulis dalam Majalah Journal Des Debats yang terbit tanggal 29 Maret 1883 menyangkut masalah “Islam dan Sains.” Terdapat tiga poin penting yang diutarakan dalam tulisan tersebut. Pertama, bangsa Arab tidak pernah memberi sumbangan apapun atas kemajuan sains dan teknologi. Karena ketika bangsa Arab menguasai pemerintahan, sains dan peradabannya dikuasai oleh kalangan Persia. Bidang filsafat dan sains juga dikuasai oleh golongan Kristian Nestorian. Para filosof terkemuka seperti Ibn Sina, al-Farabi dan Ibn Rusyd pun bukanlah dari kalangan Arab. Kedua, sains, filsafat dan pemikiran bebas adalah musuh Islam. Yang lebih ditekankan dalam Islam hanya perkara-perkara ghaib serta keimanan kepada qadha` dan qadar. Ketiga, bangsa Arab telah menjauhkan akal dari filsafat. Ia menyatakan bahwa Khulafa` al-Rasyidin yang diselubungi unsur Arab telah gagal menampilkan filsafat dan inovasi sains. Tetapi ketika unsur Persia mendominasi Daulah Abbasiyah, barulah filsafat, sains, dan peradabannya menyebar ke seluruh wilayah Islam.
Jelas, tuduhan itu tidak mendasar. Al-Afghani pun merespon pernyataan tersebut di harian yang sama tanggal 18 Mei 1883. Respon al-Afghani bersifat menyeluruh, tidak rasisme, adil, tidak emosional, dan mengoreksi pemahaman Renan atas ajaran Islam yang menganggap bahwa Islam tidak cocok dengan sains . Al-Afghani memandang sejarah kelam Kristiani yang berakibat pada kebangkitan sains, filsafat, dan modernism, tidak dapat disamakan dengan kemunduran Islam yang berafiliasi pada penolakan terhadap agama. Menurut Al-Afghani, tidak ada permusuhan antara agama-sains, teologi-filsafat, dan traditional-modernisme. Yang patut disalahkan adalah pemerintah karena kekurang-pamahamannya atas ajaran agama Islam.
Seandainya pemerintah kembali kepada asal usul dan prinsip agama yang hakiki, niscaya konflik, konfrontasi, penjajahan dan penindasan tidak akan terjadi. Tidak pernah terjadi pertentangan antara hakikat agama dengan inovasi sains baik pada waktu silam, zaman pertengahan, maupun pada masa kini dan masa depan. Untuk itulah umat Islam perlu melakukan gerakan reformasi dan revitalisasi untuk mengembalikan ummat pada zaman keemasannya. Al-Afghani mengakui kehebatan intelektual modern Barat saat ini, tapi ia juga mengingatkan bahwa kejayaan tersebut tidak luput dari sumbangsih peradaban Islam pada abad pertengahan.
Dalam mengungkap kemunduran peradaban Islam, Al-Afghani menggunakan istilah “muslim religion” yang berarti orang muslim, bukan agamanya. Karena pada dasarnya, Islam yang hakiki mewajibkan penganutnya untuk mempelajari berbagai disiplin ilmu, termasuk sains.
Kemunduran umat Islam mendorong Al-Afghani menciptakan pemikiran-pemikiran baru agar umat Islam mencapai kemajuan. Pemikirannya didasarkan pada keyakinan bahwa agama Islam sesuai untuk semua bangsa, zaman, dan keadaan. Tidak ada pertentangan antara ajaran Islam dan kondisi yang disebabkan perubahan zaman. Kemunduran umat Islam, telah dipengaruhi oleh sifat statis, berpegang pada taklid, bersikap fatalis, telah meninggalkan akhlak yang tinggi, dan telah melupakan ilmu pengetahuan.
Al-Afghani mengajak umat, pemimpin dan kelompok agar bersatu dan bekejasama dalam meraih kemajuan dan membebaskan diri dari intervensi Barat. Al-Afghani pun mencetuskan ide Pan Islamisme (Al-jami’iyyah Al-Islamiyyah). Semangat ini dikobarkan ke seluruh negeri Islam yang tengah berada dalam kemunduran dan dominasi Barat.
Pemikiran Al-Afghani terhadap sains dalam konteks pembaharuan dapat dilihat dalam “Refutation of the Materialists”. Terdapat tiga pokok ide yang ia cetuskan. Pertama, dimulai pada masa Rasulullah dan Khulafa’ur Rasyidin, ummat Islam berhasil menumbangkan kekuasaan Romawi dan Persia disebabkan penguasaan mereka terhadap ilmu pengetahuan. Kedua, hasil kajian ilmuan dan filosof Islam terhadap fakta-fakta saintifik di dalam al-Qur’an memperkokoh posisi Islam terhadap sains. Ketiga, membuka pintu ijtihad dalam reformasi dan revitalisasi ummat Islam sehingga membuahkan gagasan sains Islam.
Muhammad Basha Al-Makhzumi dalam Khatirat menggambarkan pemikiran Al-Afghani mengenai Islam dan Sains. Ia menegaskan, bahwa Islam sama sekali tidak pernah dan tidak akan menentang keberadaan sains. Menurutnya, hukum fisika, geometri, dan teori-teori filsafat berdiri pada asas kebenaran selama tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
Selain itu, konsep sains yang digagas oleh Al-Afghani juga dapat dilihat dari pidatonya berjudul “Lecture on Teaching and Learning” tanggal 8 November 1882 di Albert Hall, Calcutta, India. Al-Afghani berpendapat bahwa sains yang cabangnya meliputi astronomi, kimia, fisika, matematika, geologi, dan sebagainya, telah membuktikan fakta-fakta dan fenomena-fenomena terkait kebenaran. Sehingga, sains sangat dibutuhkan untuk membangun dan memajukan umat Islam. Tanpanya kaum Muslimin tidak akan mampu bersaing dengan peradaban Barat.
Sehubungan ini Charles E. Butterworth dalam tulisannya “Prudence Versus Legitimacy: The Persistent Theme in Islamic Political Thought,” merumuskan asas pemikiran terpenting Al-Afghani. Menurutnya, prinsip dasar pemikiran Al-Afghani adalah bahwa ilmu pengetahuan akan berguna bagi manusia sepanjang zaman. Sains akan memberikan peranan besar dalam kehidupan manusia yang dapat meningkatkan taraf hidup. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi manusia untuk tidak menguasainya.
Puncaknya dalam peresmian Universitas Sains ‘Darul Funun’ di Istanbul, Turki, 20 Februari 1870, Al-Afghani berpidato:
"Saudara-saudaraku! Bukalah mata baik-baik dan lihatlah pelajaranmu. Bangunlah dari tidur yang melenakan. Ketahuilah bahwa ummat Islam adalah ummat terbaik, yang paling berharga di dunia ini. Mereka sangat hebat dalam kecerdasan, pemahaman, dan kewaspadaan. Mereka pernah dihadapkan pada hal tersulit dalam bekerja dan berusaha. Belakangan ini ummat Islam tenggelam dalam kelalaian dan kebodohan. Seperti berada di sudut madrasah dan biara darwis, sampai-sampai lampu kebajikan berada di titik padam; dan ruh pendidikan pun menghilang. Sinar matahari dan cahaya bulan mulai memudar. Beberapa negara-negara Islam berada di bawah dominasi negara-negara lain. Pakaian kehinaan disematkan padanya. Kesucian agama pun mulai dihina. Semua hal ini terjadi akibat kurangnya kewaspadaan, kemalasan, kebodohan dan tidak mau berusaha....
.... Sejauh ini, marilah kita belajar semua cabang Sains. Marilah kita tingkatkan derajat kemanusiaan. Marilah kita bebaskan diri dari kebodohan dan sifat kebinatangan....
... Jangan sampai kita kehilangan kejayaan masa lalu dan hak-hak generasi mendatang.
... Kita harus berjalan menuju ke tahap-tahap kebajikan. Marilah kita berusaha untuk meningkatkan kemuliaan agama Islam.
Saudara-saudara! kita tidak akan mengambil contoh dari bangsa beradab? Marilah kita lirik prestasi usaha mereka. Karena mereka telah mencapai tingkat tertinggi ilmu pengetahuan….”
Pidato Al-Afghani yang penuh dengan retorika tentang kedudukan dan peranan sains tersebut telah membangunkan ummat Islam dari tidur panjangnya dan mendapat sambutan hangat dari pendiri Darul Funun. Selanjutnya, Tahsin, penasehat Darul Funun meminta Al-Afghani memberikan kuliah di universitas tersebut sepanjang bulan Desember 1870. Ia menyampaikan kuliah bertajuk “The Progress of Sciences and Arts” dengan bahasa Turki sebagai bahasa pengantarnya.
Ide pembaharuan kebangkitan ummat Islam dengan menguasai sains mendapat dukungan dari golongan muda Muslim berpendidikan Barat yang dikenal sebagai ‘The Young Ottomans’ seperti Tahsin (Penasehat Darul Funun) dan Tahir Munif (Presiden Majelis Pendidikan Turki). Kedua orang itu merupakan alumni pendidikan sains di Jerman dan kedua-duanya bercita-cita untuk mendirikan pusat pengkajian sains (the house of sciences). Kedatangan Al-Afghani ke Istanbul telah mengukuhkan hasrat dua sahabat itu untuk menggabungkan kemajuan sains dan teknologi moden yang mereka ketahui dengan kepandaian Al- Afghani dalam penguasaannya di bidang sains Arab yang diwarisi ulama di abad pertengahan. Ide pendirian Universiti Sains Islam Darul Funun tersebut merupakan respok ulama dan Al-Afghani terhadap pentingnya ummat Islam dalam menguasai berbagai disiplin sains.
Saudi Arabia, 9 Dzulqo’dah 1431 H, 14.30
Posted by nuansa qur'ani
Pernah dengar cerita-cerita mitos tentang manusia yang berubah (lycantrophy) pada saat bulan purnama, seperti makhluk Werewolf di Amerika, Macan di India dan sebagian Asia, Beruang di Eropa, Macan Tutul dan Singa di Afrika, Jaguar di Amerika Latin dan Siluman Buaya di Indonesia?
Selama berabad-abad telah ada keyakinan luas bahwa bulan memberikan pengaruh yang kuat pada kesehatan manusia dan perilakunya. Bukti yang paling kuat ini ditemukan dalam kata "lunatic" yang artinya gila, sebuah istilah yang berasal dari "lunar" dan awalnya digunakan untuk menggambarkan suatu bentuk kegilaan yang dianggap disebabkan oleh fase bulan.
Para dokter spesialis asal Miami, Amerika menjelaskan penelitian mereka bahwa terdapat korelasi kuat antara siklus bulan lengkap (purnama) dan sikap emosional pada manusia. Mereka juga menganalisa dari grafik statistik rumah sakit dan kantor polisi bahwa setelah siklus bulan lengkap terjadi, tingkat kejahatan, bunuh diri, kecelakaan lalu lintas meningkat tajam. Orang yang menderita ketidakstabilan emosional dan gangguan mental, pasien dengan kepribadian ganda, dan orang tua lebih rentan terhadap cahaya bulan. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa persentase terbesar perceraian, pertengkaran, dan kekerasan di beberapa kota berada di tengah bulan yakni saat bulan purnama.
Peneliti Klinis Toxicology, Leonie Calver, asal Australia juga melakukan penelitian yang sama. “Temuan kami adalah sebuah premis bahwa individu dengan perilaku kekerasan dan gangguan akut lebih banyak terjadi pada saat bersamaan dengan berlangsungnya bulan purnama,” ujarnya.
Para peneliti di Leeds University, juga membuktikan bahwa terdapat lonjakan pasien di seluruh rumah sakit setelah bulan purnama. Keluhanannya adalah kegelisahan dan depresi.
Fenomena ini dapat dijelaskan secara ilmiah dan dapat diterima. Ia mengatakan bahwa air di lautan dipengaruhi oleh daya gravitasi bulan dalam proses pasang surut. Komposisi tubuh manusia 80%nya adalah air, dan dua organ tubuh yang paling penting memiliki komposisi diatas 80% yaitu otak (90%) dan darah (90-95%). Jadi, potensi pengaruh gravitasi bulan juga tidak dapat diindahkan. Sehingga suasana hati dan sikap emosional manusia pun terkena imbasnya.
Penelitian ilmiah terbaru yang dilakukan oleh Dr. Amir Saleh, Konsultan Kesehatan di Amerika serta dosen Universitas Chicago, berpendapat bahwa puasa dapat mengendalikan pengaruh grafitasi bulan tersebut.
Karena puasa dapat memurnikan darah serta regenerasi sel-sel tubuh. Di dalam dan luar sel terdapat cairan, yang mana jika kita berpuasa dapat menambah kualitas cairan tersebut, terutama saat 3 hari (13, 14, 15 penanggalan Hijriah) tengah bulan.
Jika fokus (berpuasa 3 hari berturut-turut), grafitasi bulan yang memengaruhi cairan dalam sel tubuh manusia justru membantu menyeimbangan ion tubuh, memberikan tambahan energy, serta meningkatkan kekebalan tubuh.
Ibnu Sina dalam bukunya “Al-Qanun fi al-Tibb” menjelaskan pula bahwa proses pengobatan semisal hijamah, paling baik dilakukan saat pertengahan bulan, yakni tanggal 13, 14, 15 kalender Qamariyah, bukan permulaan atau akhir bulan.
Secara umum Dr. Allan Cott, M.D, seorang ahli kesehatan asal Amerika, menyatakan bahwa puasa dapat menjadikan diri lebih baik secara mental dan fisik, membersihkan badan, menurunkan tekanan darah dan kadar lemak, mengendalikan nafsu seks, mengendorkan ketegangan jiwa, menajamkan fungsi inderawi, mampu mengendalikan emosi, serta memperlambat proses penuaan.
Telah menceritakan kepada kami (Rauh), telah menceritakan kepada kami (Hammam) dari Anas bin Sirin dari Abdul Malik bin Qatadah bin Milhan Al-Qaisy dari Ayahnya ia berkata; "Rasulullah SAW pernah memerintahkan kami berpuasa yaumul bidh, yaitu; tanggal tiga belas, empat belas dan lima belas, dan beliau bersabda: "ia seperti puasa selamanya." H.R. Imam Ahmad.
Saudi Arabia, 13 Syawwal 1431, 02.45
Posted by nuansa qur'ani
Keikhlasan, kata itulah yang akan kita temui diurutan pertama pada papan “Panca Jiwa”, yang banyak bertebaran di lingkungan Pondok Modern Gontor. Sebuah papan berbahasa Indonesia yang kebal hukum CLI (Central Language Improvement), karena bukan hanya diperuntukkan bagi santri, tapi juga bagi kyai, guru, wali santri dan tamu Pondok Modern. Mengapa harus nilai ”Keikhlasan” yang ditanamkan pertama kali, bukan nilai-nilai lain?
Kita diciptakan di muka bumi ini hanya untuk beribadah (Q.S. Adz-Dzariyat: 56), bersifat ”menghamba”, bukan manusia ”merdeka” yang dapat bertindak sesukanya dan luput dari Ilmu Pencipta. Semua makhluk harus ikut aturan dan ketentuan-Nya, dan pada saatnya nanti kita akan mempertanggungjawabkan seluruh amal perbuatan.
Para Ulama’ sepakat bahwa syarat diterimanya amal perbuatan manusia ada dua, yakni sesuai dengan tuntunan Syariat Islam dan Ikhlas. Oleh sebab itu, ikhlas menjadi syarat pokok disamping pengetahuan kita terhadap syariat Islam.
Secara umum, manusia mengartikan ”ikhlas” sebagai ”berbuat tanpa mengharap pamrih” dan ”menerima atas suatu kehilangan”. Bagaimana kita tidak mengharap pamrih, sedangkan kita sudah mengeluarkan seluruh kemampuan? Bagaimana kita tidak merasa kehilangan, sedangkan kita sudah berusaha menjaga? Bisa jadi pertanyaan-pertanyaan inilah yang berkecambuk dalam pikiran kita, sehingga terasa berat untuk melakukannya. Inikah makna ikhlas yang sesungguhnya? Tidak sesederhana ini.
Mengerjakan seluruh perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya adalah ciri-ciri orang bertaqwa, tapi semuanya itu tidak akan terwujud jika ia tidak memurnikan ketaatan kepada-Nya. Inilah arti ”ikhlas” yang sebenarnya, yakni memurnikan hati, jiwa, dan pikiran untuk taat kepada Sang Pencipta (Q.S. Az-Zumar: 2 dan Al-Bayyinah: 5).
Dalam ibadah Qurban misalnya, Allah tidak akan menghitung berapa jumlah hewan yang dikurbankan, tapi kemurnian hatinya dalam mengorbankan hewan tersebut yang dinilai (Q.S. Al-Hajj: 37). Begitu pula seluruh ibadah lainnya.
Untuk itulah dalam pandangan Allah, manusia mulia bukanlah yang paling kaya, paling pintar, paling tampan atau cantik, melainkan yang paling bertaqwa (Q.S. Al-Hujurat: 13). Karena seluruh ketentuan baik ataupun buruk telah ditetapkan dalam kitab (Lauhul Mahfudz) sebelum mereka diciptakan (Q.S. Al-Hadiid: 22), sehingga tidak ada alasan bagi mereka untuk merasa berputus asa, gembira dan menyombongkan diri (Q.S. Al-Hadiid: 23).
Hidup akan terasa begitu indah jika seseorang berhasil memurnikan hati, jiwa dan pikirannya. Seorang guru akan benar-benar mencerdaskan anak didiknya, bukan memberikan contekan disaat ujian karena merasa dibayar. Seorang hakim akan mengetuk palu kebenaran, bukan melindungi yang bersalah karena ia kerabatnya. Seorang polisi lalu lintas melalukan operasi pemeriksaan surat-surat kendaraan didasarkan minimalisasi kendaraan curian, bukan sebagai objek mencari tambahan uang saku. Seorang pengusaha akan membuka banyak lapangan pekerjaan, bukan menumpuk kekayaan. Seorang wakil rakyat akan memberikan tender kepada perusahaan yang layak dan menolak suap, bukan kepada perusahaan yang lebih banyak memberikan suap. Dan seseorang akan merasa senang menolong, bukan karena mengharap imbalan ataupun merasa berhutang budi.
Cara terbaik untuk dapat bersikap ikhlas adalah menyandarkan seluruh hidup ini hanya pada Allah semata (Q.S. At-Taubah: 129). Jika, setiap detik dalam kehidupan ini kita sandarkan pada-Nya, kita akan temukan hikmah dibalik seluruh ketentuan-Nya (lihat kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir dalam Q.S. Al-Kahfi: 65-82).
Manusia tidak akan sanggup menahan luapan air, deburan ombak, hembusan angin, runtuhan bangunan, cuaca ekstrim, dan kematian, karena tinta pena telah mengering ketika seluruh peristiwa tersebut dihadapkan. Tidak ada alasan bagi bala tentara kebencian, kesedihan, kegelisahan, penyesalan dan kebinasaan untuk mengusik ketenangan jiwa. Penyakit kronis pun akan terasa ringan, musuh berbahaya akan terasa kecil, peristiwa mengerikan akan terasa biasa saja. Syaraf-syaraf tidak akan tegang, kegundahan jiwa akan reda, dan kecemasan di dada pun akan sirna, jika manusia menyandarkan diri hanya pada-Nya.
Nabi Ibrahim berkata: ”Tuhanku, Yang telah menciptakan aku, maka Dialah Yang menunjuki aku, dan Tuhanku, Yang memberi makan dan minum kepadaku, dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku, dan Yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali), dan Yang amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat." (Q.S. Asy-Syua’raa: 78-82). Teladan lainnya diberikan oleh Nabi Nuh (Q.S. Yunus: 71-72), Nabi Syu’ib (Q.S. Hud: 88), orang-orang beriman (Q.S. Al-Anfaal: 2, Huud: 123, Ar-Ra’du: 30, Ibrahim: 11-12, Al-Mulk: 29, Al-Ahzaab: 3).
Dengan menyandarkan hidup hanya pada-Nya, bukan berarti kita malas dan tidak mau berusaha, tapi dengan seizin Allah-lah kita dapat memberikan yang terbaik dan memperoleh hasil memuaskan. Do’a nabi Sulaiman patut dicontoh: "...Wahai Tuhanku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugrahkan kepadaku dan kepada orang tuaku, supaya aku dapat menyumbangkan karya yang Engkau restui serta masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang salih."(Q.S. An-Naml:19).
"Cukuplah Allah bagiku! Kepada Dialah orang yang bertawakal menyandarkan harapan dirinya!" (Q.S. Az-Zumar: 38)
Penuhi hati ini dengan satu rindu
Rindu untuk mendapatkan cintaMu
Penuhi jiwa ini dengan satu cinta
Cinta untuk mendapatkan rahmatMu
Cukup bagiku Allah, segalanya untukMu
Di hatiku ini penuh terisi segala tentang Allah
Kepada Nabi Muhammad tercurah shalawat Allah
(By Opick feat Gito Rollies)
Saudi Arabia, 9 Syawwal 1431 H, 05.58
Posted by nuansa qur'ani
Dunia Islam di zaman kekhalifahan sempat menjelma sebagai pusat studi astronomi dan astrologi. Studi astronomi dan astrologi mulai berkembang pada era kepemimpinan Khalifah Al-Mansyur sebagai penguasa ketiga Kekhalifahan Abbasiyah di abad ke-8 M. Studi astronomi dan astrologi di dunia Islam kian menggeliat sejak ditemukannya astrolabe oleh Al-Fazari.
Menurut sejarawan sains, Donald Routledge, kedua ilmu yang telah menguak rahasia langit itu mencapai puncak kejayaannya dalam peradaban Islam dari tahun 1025 M hingga 1450 M. Pada masa itu, di berbagai wilayah kekuasaan Islam telah lahir sederet astronom dan astrolog Muslim serta sejumlah observatorium yang besar dan megah.
Tak dapat dimungkiri bahwa sederet astronom dan astrolog Muslim terkemuka, seperti Nasiruddin at-Tusi, Ulugh Beg, Al-Batanni, Ibnu Al-Haitham, Ibnu Al-Syatir, Abdur Rahman as-Sufi, Al-Biruni, Ibnu Yunus, Al-Farghani, Al-Zarqali, Jabir Ibnu Aflah, Abu Ma’shar, dan lainnya, telah memberi sumbangan penting bagi pengembangan astronomi dan astrologi.
Bukti kejayaan yang diraih peradaban Islam dalam astronomi dan astrologi dapat dibuktikan melalui penamaan bintang dan sederet kawah bulan dengan nama-nama yang berasal dari bahasa Arab. Muslim Heritage Foundation mencatat ratusan nama bintang yang berasal dari peradaban Islam. Para astronom Muslim pada awalnya mengenal nama-nama bintang dari Almagest karya Ptolemeus–astronom Yunani yang hidup pada abad ke-2 M.
Setelah menguasai pengetahuan serta teknologi dalam bidang astronomi dan astrologi, para ilmuwan Muslim pun mulai memberi nama bintang-bintang yang berhasil mereka temukan. Sejarawan Jerman yang juga ahli dalam penamaan bintang dalam astronomi Islam, Paul Kunitzsch, mengungkapkan, ada dua tradisi penamaan bintang yang diwariskan oleh peradaban Islam.
Pertama penamaan bintang melalui dongeng. Paul menyebut penamaan bintang secara tradisional ini sebagai indigenous-Arabic. Yang kedua, menurut Paul, penamaan bintang secara ilmiah (scientific-Arabic). Sayangnya, penamaan bintang yang dilakukan para ilmuwan Muslim telah dibelokkan oleh peradaban Barat.
Hal itu dilakukan saat buku-buku teks bahasa Arab diterjemahkan ke dalam bahasa Latin mulai abad ke-12 M. Buku-buku teks bahasa Arab yang ditulis para astronom dan astrolog Muslim dengan sengaja dirusak sehingga maknanya pun berubah. Selain itu, perusakan alih bahasa itu juga membuat nama-nama bintang yang ditemukan peradaban Islam kehilangan arti.
Tak cuma itu, nama bintang juga secara sengaja dipindahkan dari satu ke yang lain. Sehingga, posisi bintang yang telah ditetapkan oleh para astronom dan astrolog Muslim itu berada dalam peta bintang yang berbeda. Untungnya, sebagian besar nama bintang yang diadopsi masyarakat Barat sejak bergulirnya Renaisans masih dalam bahasa Arab yang asli. Salah seorang astronom Muslim yang sangat berpengaruh dalam penamaan bintang adalah Abu al-Husain `Abd Al-Rahma-n Al-Sufi (903 M-986 M). Orang Barat mengenalnya dengan panggilan Azophi. Al-Sufi secara sistematis berhasil merevisi katalog bintang yang dibuat Ptolemeus. Ia mengubah Almagest yang populer itu dengan Kitab Suwar al-Kawakib (Kitab Bintang-Bintang Tetap).
Kitab yang dirampungkannya pada 964 M itu memang berbasis pada warisan astronomi Yunani. Meski begitu, nama-nama bintang yang tercatat dalam kitabnya itu berasal dari penemuannya sendiri dan diberi nama dalam bahasa Arab. Salinan kitab karya Al-Sufi itu sempat ditulis ulang olah putranya sekitar tahun 1010 M. Kini, kitab itu tersimpan di Perpustakaan Bodleian, Oxford.
Menurut Paul, tradisi masyarakat lokal di negeri Muslim yang tersebar di Semenanjung Arab dan Timur Tengah memiliki nama tersendiri untuk beragam bintang yang terang, salah satunya adalah Aldebaran. Paul menambahkan, kerap kali masyarakat Muslim memperlakukan bintang tunggal seperti orang atau binatang. Bintang yang dikenal sebagai Alpha dan Beta Ophiuchi, tutur dia, dianggapnya sebagai anjing gembala.
Paul menemukan fakta adanya penamaan bintang dalam bahasa Arab yang terdapat dalam buku Almagest karya Ptolemeus. “Contohnya nama bintang Fomalhaut berasal dari bahasa Arab yang berarti ‘mulut ikan dari selatan’,” ungkap Paul. Dalam kitab yang ditulisnya, astronom Muslim, Al-Sufi, telah mencatat hasil observasinya tentang Galaxi Andromeda. Ia menyebutnya sebagai ‘awan kecil’.
Al-Sufi pun tercatat sudah berhasil melakukan observasi dan menjelaskan bintang-bintang, posisinya, jarak, dan warna bintang-bintang itu. Ia juga mampu membuat peta bintang. Kitabnya yang paling fenomenal, yakni Kitab Suwar al-Kawakib itu diterjemahkan ke dalam bahasa Latin mulai abad ke-12, baik penjelasan teksnya maupun gambarnya.
Dari kitab inilah, masyarakat Barat salah satunya mengenal nama-nama bintang. Nama-nama bintang di luar angkasa yang ditemukan para ilmuwan Islam itu merupakan salah satu jejak kejayaan Islam.
Posted by nuansa qur'ani
Perkembangan sains Islam dapat dibagi ke dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah pewarisan dan penerjemahan. Pada masa ini dilakukan pengumpulan berkas-berkas penulisan Yunani untuk kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Institusi terkenal yang mengoleksi dan menerjemahkan tersebut salah satunya adalah Baitul Hikmah yang dibangun pemerintahan Khalifah Al-Ma’mun dari Dinasti Abbasiyah. Tahap kedua adalah pengklasifikasian cabang-cabang ilmu kemudian merumuskan metoda ilmiah dalam mempelajari dan membuktikannya. Tahap ketiga adalah pengembangan dan penemuan ilmu-ilmu pengetahuan baru.
Berikut penjelasan singkat mengenai beberapa cabang sains yang berkembang beserta tokoh-tokoh yang memeloporinya:
A. Kosmologi
Kosmologi adalah ilmu tentang sejarah, struktur, dan cara kerja alam semesta secara keseluruhan. Ilmu ini telah berkembang selama ribuan tahun dalam beberapa bentuk: mitologi dan religius, mistis dan filosofis, dan astronomis.
Ibn al-Shatir adalah seorang astronom muslim ternama yang bersama timnya menerjemahkan model kosmik Ptolemeus (pada naskah Almagest atau Al-Majisti) ke dalam konsep yang dapat diterapkan supaya lebih cocok dengan apa yang terlihat di langit.
B. Matematika
Sejak awal peradaban manusia, matematika sudah menjadi elemen penting dalam menunjang kehidupan. Penggunaan matematika sebagai alat terbukti eksis pada masa Mesir, Mesopotamia, India, dan Cina kuno. Ahli matematika Islam mengubah sifat bilangan (konsep angka desimal dan simbol bilangan nol, penambahan angka irasional serta natural dan pecahan), mengefisienkan beberapa bidang matematika, dan mengembangkan cabang-cabang baru matematika.
Di antara ahli matematika Islam yang terkenal adalah Banu Musa bersaudara yang meneliti angka-angka geometri berhubungan. Ibn al-Haytham mempelajari isometrik. Tsabit ibn Qurra, Nasiruddin al-Tusi, dan Umar Khayyam mengkaji postulat Euclid (yang buku aslinya berjudul Elements). Tidak lupa juga Al-Khawarizmi yang mengenalkan konsep aljabar dan algoritma. Trigonometri (terutama kajian segitiga) pun pada dasarnya adalah ciptaan matematikawan Islam. Belum lagi Abu Rayhan al-Biruni yang menerjemahkan karya Euclid ke dalam bahasa Sansekerta dan menghitung keliling serta jari-jari bumi secara presisi.
C. Astronomi
Pada masa itu, astronomi biasanya dikaitkan dengan matematika. Upaya yang dilakukan terdiri dari penelitian gerakan benda-benda langit dan mencatat apa yang ditemukan secara matematis. Pengetahuan ini diturunkan dari masa Yunani, Mesir, Babilonia, dan India kuno.
Putra Hunain ibn Ishaq –penerjemah kenamaan abad ke-9– membuat terjemahan Almagest (berisi tentang kinematika langit) karya Ptolemeus. Konsep Aristoteles tentang sfera padat yang diperkenalkan pada peradaban Islam melalui karya-karya Ibnu al-Haytham tetap menjadi model fundamental selama berabad-abad. Tsabit ibn Qurra dan Ibn Yunus, dikenal sebagai pengelola observatorium (lengkap dengan instrumen-instrumen astronomi hasil ciptaan yang luar biasa semisal astrolabes, bola langit, kuadran, dan jam matahari) yang didirikan di berbagai tempat. Al-Biruni (ditambah peran Al-Khawarizmi) menghasilkan data pengamatan yang membentuk dasar-dasar buku pegangan untuk jadwal astronomi penting yang dikenal sebagai zij. Al-Tusi dengan konsepnya yang terkenal, Tusi Couple, mengajukan model hipotesis tentang gerakan episiklus. Model tersebut kemudian diterapkan oleh Ibn al-Shatir dengan konsep gerakan planeter yang belakangan ternyata menunjukkan persamaan dengan skema Copernicus. Abdurrahman Al-Sufi dalam bukunya Kitab Suwar al-Kawakib al-Thabita (Risalah tentang Konstelasi Bintang-bintang Tetap) menguraikan tentang 48 konstelasi Ptolemeus.
D. Geografi
Meluasnya dunia Islam membutuhkan panduan di bidang geografi. Menghadapi kebutuhan yang berkembang pada perjalanan dan pedagangan serta urusan pemerintahan, ahli geografi bekerja keras untuk memperbaiki, mengembangkan, dan mengisi peta dunia yang diperoleh dari sumber-sumber Babilonia, Persia, dan Yunani serta dari naskah Yahudi, Kristen dan Cina. Pandangan kartografi Islam terhadap daerahnya menyerupai pandangan kartografi modern.
Abu Ishaq al-Istakhri (dengan karyanya: Al-Masalik wa Al-Mamalik –Jalur Perjalanan Kerajaan–) dan Ibn Hawqal membagi daerah Islam menjadi 12 wilayah dan memisahkan daerah non-Islam dalam kategori yang berbeda serta menulis atlas. Al-Mas’udi, dalam karyanya Muruj al-Dhahab (Padang Rumput Emas dan Tambang Permata), menguraikan tempat-tempat yang ia kunjungi dan berisi potret Eropa. Ibn Batuta, penjelajah abad ke-14 asal Maroko, menghabiskan hidupnya dengan berkelana dari Afrika Utara ke Cina dan Asia Tenggara lengkap dengan laporannya. Ibnu Khaldun memberikan penjelasan tentang daerah dan orang-orang di dalam batas wilayah Islam. Al-Idrisi membuat peta dunia berbentuk relief dari perak kemudian membuat detailnya pada 71 peta terpisah dan menyertainya dengan buku Kitab al-Rujari. Piri Re’is, seorang kapten laut masa Turki Utsmani, menghasilkan atlas mediterania serta bahkan peta Afrika Barat dan Amerika.
E. Kedokteran
Pada bidang kesehatan, Islam mewarisi dan mempelajari keberhasilan Yunani, Romawi klasik, Syria, Persia, dan India. Karya utama yang diterjemahkan dan menjadi basis adalah De Materia Medica yang disusun Dioscorides. Perpustakaan, pusat-pusat penerjemahan, dan rumah sakit sebagai sebuah institusi telah dikembangkan dengan cara revolusioner yang dapat membentuk jalan bagi sains kesehatan.
Al-Ruhawi memberikan karya berjudul Adab al-Tabib (Kode Etik Dokter) yang merupakan salah satu naskah berbahasa Arab pertama yang membicarakan masalah etika medis. Al-Razi (dikenal di Barat dengan sebutan Rhazes) dengan karyanya Tentang Cacar dan Campak yang diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Barat hingga cetakan ke-40. Ia juga menulis 23 jilid Al-Hawi (Kitab yang Lengkap) yang merupakan salah satu naskah pengobatan paling lengkap sebelum abad ke-19. Ibn Sina (dikenal di Barat dengan sebutan Avicenna) dengan karyanya yang fenomenal Al-Qanun berupa ensiklopedi topik-topik medis serta senyawa, obat, dan alat pengukuran. Karya Al-Razi dan Ibn Sina tersebut digunakan sebagai rujukan dasar di sekolah-sekolah medis Eropa hingga menjelang awal masa modern. Ibn al-Khatib melakukan penelitian tentang penularan dalam epidemi. Ibn al-Nafis memberikan teori baru tentang sirkulasi darah sekunder antara jantung dan paru-paru. Risalah Hunain ibn Ishaq tentang mata beserta diagram-diagram anatomi yang akurat merupakan yang pertama dalam bidang ini. Mansur ibn Muhammad ibn al-Faqih Ilyas dengan naskahnya Tashrih al-Badan (Anatomi Tubuh) memberikan diagram komprehensif mengenai struktur, sistem sirkulasi, dan sistem syaraf tubuh. Abu al-Qasim al-Zahrawi (dikenal di Barat dengan sebutan Abulcasis) menelurkan karya berjudul Kitab al-Tasrif (Buku tentang Konsesi) yang berisi tiga risalah utama mengenai pembedahan yang digunakan sekolah-sekolah medis Eropa selama beberapa abad. Ibn Zuhr (Avenzoar), Ibn Rusyd, dan Maimonides adalah ahli-ahli kedokteran lainnya. Tidak ketinggalan pula Ibn al-Baytar dengan karyanya Al-Jami’ fi al-Tibb (Kumpulan Makanan dan Obat-obat yang Sederhana) yang merupakan teks Arab terbaik berkaitan dengan botani pengobatan (farmakologi) dan tetap digunakan sampai masa Renaissans.
F. Zoologi, Botani, Geologi
Para naturalis Islam memiliki minat terhadap sumber daya alam seperti batuan, tanah, flora, dan fauna. Hasilnya adalah inventaris yang melimpah tentang kuda, unta, hewan liar, anggur, pohon palem, sampai manusia.
Al-Biruni dan al-Khazini bahu membahu mengukur dan mengelompokkan batu-batu mulia dan semimulia. Ibn Sina juga meneliti geologi dan pengaruhi gempa bumi serta cuaca. Karya Zakaria ibn Muhammad ibn Mahmud Abu Yahya al-Qazwini pada abad ke-13 berjudul Aja’ib al-Makhluqat (Keajaiban Ciptaan), mengungkapkan botani dan zoologi. Ibn Akhi Hizam dan Abu Bakr al-Baytar meneliti tentang kuda. Analisa tentang hewan juga terdapat pada naskah Manafi’ al-Hayawan (Tentang Identifikasi dan Ciri-ciri Organ Hewan) oleh Abu Sa’id Ubaydallah ibn Bakutishu’.
G. Kimia
Alkimia menggabungkan spiritual, kerajinan, dan disiplin-disiplin ilmiah yang dapat ditelusuri kembali pada masa yang sangat lampau dan pada proses yang secara tradisional terdapat dalam penyiapan pengolahan logam dan obat. Ketika peradaban Islam sudah mapan, mereka menyerap aturan-aturan dasar alkimia yang dibuat oleh bangsa Alexandria dan terus membentuknya dalam konensi-konvensi intelektual mereka sendiri.
Jabir ibn Hayyan (dikenal di Barat dengan sebutan Geber) adalah legenda di bidang ini. Ia memfokuskan pada prinsip keseimangan dan hubungan numerik benda-benda. Ia tidak hanya mahaguru laboratorium tapi juga analis yang teliti. Ia mengetahui cara-cara menghasilkan besi, mewarnai kulit, kain tenun, dan baju anti air. Al-Razi juga memberikan sumbangan di bidang ini berupa proses kimia dasar seperti distilasi, kalsinasi, kristalisasi, penguapan, dan penyaringan. Perkakas lab yang ia gunakan diperbaiki dan dikembangkan sampai kotak, gelas kimia, labu kaca, corong, dan tungku pembakaran yang standar menyerupai yang terdapat pada masa modern. Ia juga membuat klasifikasi sistematis terhadap zat-zat mineral hasil alami maupun yang dibuat di lab.
H. Optik
Beberapa filosof, matematikawan, dan ahli kesehatan Islam berupaya keras mempelajari sifat fundamental serta cara bekerja pandangan dan cahaya. Mereka memiliki akses pada warisan pengetahuan Yunani yang berkaitan dengan cahaya dan penglihatan. Sumber-sumber itu antara lain karya Euclid dan karya astronom Mesir, Ptolemeus.
Al-Kindi, dengan kajiannya pada karya Euclid yang berjudul Optics, menghasilkan pemahaman baru tentang refleksi cahaya serta prinsip-prinsip persepsi visual yang menjadi cikal bakal hukum-hukum perspektif pada Renaissans. Riset paling spektakuler mengenai penglihatan dan cahaya dilakukan oleh Ibn al-Haytham (dikenal di Barat dengan sebutan Alhazen). Ia meneliti hampir seluruh aspek cahaya dan penglihatan manusia dalam karya komprehensifnya yang berjudul Kitab al-Manazir (Buku Tentang Optik). Karya tersebut kemudian mempengaruhi karya da Vinci, Kepler, Roger Bacon, dan ilmuwan-ilmuwan Eropa lain. Kamal al-Din al-Farisi mengomentari karya Ibn al-Haytham pada segmen efek kamera obscura. Ia (al-Farisi) juga untuk pertamakalinya memberikan penjelasan yang memuaskan tentang pelangi. Selain itu, al-Razi dan Ibn Sina juga mencantumkan tulisan-tulisan tentang optik.
Demikianlah karya emas Islam di bidang sains. Jika diperhatikan, ada tokoh-tokoh yang menjadi ahli di berbagai bidang. Itulah potret manusia Islam seutuhnya. Seorang yang telah mencapai derajat ulama berarti selain menguasai agama juga memiliki keahlian di bidang ilmu dunia (sains dan teknologi). Perlu dicatat bahwa nama tokoh-tokoh di atas tidak semuanya Muslim. Ada sebagian kecil diantaranya menganut agama Yahudi, Kristen, ataupun Sabean. Tapi semuanya hidup di bawah peradaban Islam dimana Khalifah (pemerintahan) sangat toleransi terhadap kemajemukan serta giat memajukan ilmu pengetahuan dengan bahasa Arab sebagai bahasa internasional dan bahasa ilmu. Sebuah sistem hidup yang tiada taranya.
Saudi Arabia, Rabu 30 Juni 2010, 21.50
Posted by nuansa qur'ani
''Salah satu dokumen terpenting dalam sejarah peradaban Islam,'' begitu guru besar pada Fakultas Sejarah dan Filsafat Pendidikan Universitas Colorado AS, Nakosteen menyebut Kitab Al-Fihrist -- sebuah karya bibliografi terbesar sepanjang masa yang ditulis Ibnu al-Nadim pada abad ke-10 M.
Dalam karyanya bertajuk History of Islamic Origins of Western Education A.D. 800-1350 : With an Introduction to Medieval Muslim Education, Nakosteen mengungkapkan, Al-Fihrist telah membantu para ilmuwan dan sejarawan tentang ilmu-ilmu Islam serta karya-karya klasik berbahasa Arab.
''Hingga akhir abad ke-19 M, pengetahuan tentang peradaban Islam diperoleh berdasarkan informasi yang terdapat dalamKitab Al-Fihrist,” tutur Nakosteen. Al-Fihrist merupakan salah satu adikarya Ibnu Nadim yang juga dikenal sebagai Index of Nadim.
Kitab Al-Fihrist merupakan suatu karya bibliografi Islam yang menggambarkan perkembangan Islam berdasarkan kajian terhadap literatur yang terbit di dunia Muslim. Al-Fihrist pertama kali dipublikasikan pada 938 M.
Bibliografi merupakan publikasi yang memuat daftar dokumen baik yang “diterbitkan” dalam bentuk buku maupun artikel majalah atau sumber kepustakaan lain yang berhubungan dengan bidang, ilmu pengetahuan atau hasil karya seseorang.
Melalui bibliografi, seseorang tidak menemukan dokumen pustakanya langsung, melainkan hanya memperoleh informasi tentang dokumen pustaka yang memuat informasi yang tersebut, seperti informasi mengenai di dalam bahan pustaka apa informasi yang dicari berada.
Data yang dicatat dalam bibliografi antara lain adalah nama pengarang, nama penyunting, judul pustaka, tempat terbit, penerbit, tahun terbit dan edisi, volume, nomor, halaman (untuk majalah), serta keterangan fisik dokumen pustaka tersebut, misalnya jumlah halaman, tinggi buku, ilustrasi dan sebagainya.
Kitab Al-Fihrist yang ditulis Ibnu al-Nadim tidak hanya menggambarkan apa yang pernah dicapai atau dipahami seseorang terhadap materi Islam, akan tetapi juga menggambarkan bagaimana umat Islam bersentuhan dengan dunia atau paham dan keyakinan lain yang tertuang di dalam suatu literatur sebagai karya orang Islam.
Al-Fihrist terdiri dari sepuluh bagian. Setiap bagian terdiri dari sub-sub bagian kecuali bagian pertama. Setiap bagian dari Kitab Al-Fihrist tersebut berisi uraian tentang bermacam-macam ilmu pengetahuan, baik ilmu-ilmu agama Islam seperti ilmu fikih maupun hadis.
Bibliografi tersebut juga menguraikan ilmu-ilmu non-agama seperti ilmu matematika, astronomi, pengobatan, bahasa, sastra, filsafat, sejarah maupun biografi. Dalam karyanya tersebut, Ibnu Nadim tidak lupa menguraikan kisah para ahli di bidang ilmu-ilmu tersebut.
Pada bagian pertama, Ibnu al-Nadim menguraikan berbagai macam bahasa baik bahasa dari bangsa-bangsa di tanah Arab maupun bangsa-bangsa non-Arab seperti Eropa. Pada bagian pertama kitab tersebut, dia juga mendeskripsikan keanekaragaman tulisan dari berbagai macam bangsa termasuk bentuk dan karakteristik dari tulisan tersebut.
Selain berisi uraian berbagai macam bahasa dan tulisan bangsa-bangsa di dunia, dia juga menuliskan tentang kitab suci dari masing-masing agama seperti; Islam, Yahudi, Nasrani, maupun kaum Sabian.
Bagian kedua Kitab Al-Fihrist berisi uraian ilmu tata bahasa dan filologi serta para ahli di bidangnya masing-masing. Sedangkan bagian ketiga berisi mengenai sejarah, biografi, dan silsilah. Bagian keempat berisi tentang puisi dan penyair pada masa sebelum lahirnya agama Islam, pada masa bani Umayah dan pada masa Bani Abbasiyah.
Pada bagian kelima mengulas filsafat dan para cendekiawan skolastik. Bagian keenam tentang hukum, ahli fikih dan ahli hadis. Bagian ketujuh tentang filsafat dan ilmu pengetahuan kuno. Bagian kedelapan tentang legenda, dongeng, sihir dan sulap. Bagian kesembilan tentang sekte dan kepercayaan. Sedangkan bagian terakhir atau bagian kesepuluh tentang ahli kimia.
Kitab Al-Fihrist telah memberikan sumbangan yang besar bagi dunia untuk memahami Islam melalui kajian terhadap karya-karya yang dicapai umat Islam di era keemasan. Melalui karya tersebut, Ibnu Nadim tidak saja telah mengenalkan karya-karya pencapaian umat Islam pada suatu masa tertentu, akan tetapi juga telah menunjukkan cara lain dalam memahami Islam.
Dengan demikian, Kitab Al-Fihrist merupakan suatu pendekatan di dalam studi Islam yang dituangkan melalui pendekatan bibliografis, yaitu menunjukkan karya-karya hasil umat Islam mengenai suatu subjek materi ajaran Islam. Dengan karya tersebut, Ibnu al-Nadim bahkan telah membuat pemetaan terhadap berbagai kajian Islam yang dilakukan oleh umat Islam.
Dalam menyajikan daftar literatur, Ibnu al-Nadim menyusun karyanya berdasarkan atas nama pengarangnya lalu diikuti dengan nama-nama kitab atau judul-judul karangannya. Selain itu, dalam menulis berbagai macam ilmu beserta ahli-ahlinya di dalam kitab tersebut, Ibnu al-Nadim hanya menuliskan pengetahuan dari para ahli yang dia kenal dan lihat sendiri dengan baik.
Kalaupun ia tidak mengenalnya, maka Ibnu al-Nadim menuliskan keberadaan ilmu maupun ahli dibidang ilmu tersebut berdasarkan pengetahuan dari temen-temannya yang terpercaya. Yang menarik dari Ibnu al-Nadim, dia sering mencantumkan ukuran buku maupun jumlah halaman dari bukunya di dalam buku-buku karyanya. Sehingga para pembeli bukunya bisa terhindar dari kecurangan para pembuat salinan buku. Kitab Al-Fihrist telah diterjemahkan pada 1970 ke dalam bahasa Inggris.
Ibnu al-Nadim telah memberi insipirasi dan mengenalkan kepada peradaban modern cara membuat sebuah bibliografi. Sumbangan al-Nadim telah diakui peradaban modern, terutama para ilmuwan dan sejarawan Barat. Bibliografinya telah membuka jalan bagi para sejarawan dan cendekiawan yang mencoba menelusuri jejak keemasan Islam di era keemasan.
Maka, pantaslah bila Kitab Al-Fihrist disebut sebagai salah satu dokumen terpenting dalam sejarah kebudayaan Islam.
Jejak Hidup Sang Bibliografer
Sejatinya, ia bernama lengkap Abu'l-Faraj Muhammad bin Ishaq al-Nadim. Ia merupakan bibliografer Muslim nomor wahid yang berasal dari Baghdad, Irak. Ayahnya al-Warraq juga seorang pelajar dan ahli bibliografi.
Ibnu al-Nadim juga dikenal sebagai penjual buku, seorang pembuat kaligrafi yang menyalin manuskrip untuk dijual kepada orang lain seperti ayahnya. Dia tinggal di Baghdad. Namun ada juga yang menceritakan kalau dia tinggal di Moshul.
Dia juga hidup di lingkungan Bani al-Jarrah yang mendapatkan banyak pengetahuan tentang berbagai macam ilmu pengetahuan seperti ilmu logika dan ilmu pengetahuan umum baik yang berasal dari Yunani, Persia, juga India.
Ibnu al-Nadim juga dikenal sebagai orang yang sangat antusias dan tertarik terhadap berbagai macam ilmu pengetahuan. Selain mendalami bibliografi, Ibnu al-Nadim juga mendalami ilmu sejarah yang menjadikannya sebagai sejarawan yang terkenal pada masanya.
Kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan membuatnya tertarik untuk melakukan pertemuan-pertemuan dengan orang-orang yang juga memiliki ilmu pengetahuan yang luas. Hingga pada suatu masa, Ibnu Nadim pernah bertemu dengan seorang ahli filsafat Kristen yang bernama Ibnu al-Khammar.
Sebuah catatan sejarah pernah menuliskan Ibn al-khammar berkunjung ke rumahnya. Sejak saat itu, dia bersama Ibn al-khammar sering melakukan pertemuan untuk berdiskusi berbagai macam hal mengenai ilmu filsafat maupun ilmu pengetahuan umum seperti sejarah, sastra, dan bahasa.
Meskipun Ibnu Nadim dikenal sebagai seseorang yang memiliki toleransi yang besar terhadap penganut agama lain, dia tidak pernah lupa bahwa dirinya merupakan seorang Muslim. Namun, sejarah tidak memiliki banyak catatan tentang kehidupan Ibnu al-Nadim pada masa kecil dan remajanya, selain cerita karya besarnya Kitab Al-Fihrist yang sangat terkenal di kalangan para ilmuwan dan pelajar, baik di kalangan Timur maupun di Barat.
Meskipun Kitab Al-Fihrist telah bisa dibaca jutaan orang di seluruh penjuru dunia, namun kitab tersebut sudah tidak selengkap karya aslinya. Pasalnya pada 1258 tentara Mongol melakukan serangan besar-besaran ke Baghdad bahkan banyak perpustakaan yang menyimpan berbagai macam buku pengetahuan termasuk Kitab Al-Fihrist dimusnahkan.
Selain itu buku-buku yang terdapat di perpustakaan tersebut juga banyak yang dibuang ke sungai untuk menghapus peradaban Islam. Akibatnya banyak buku yang rusak dan hancur tanpa bisa diselamatkan.
Saudi Arabia, 23 Juni 2010, 21.23
Posted by nuansa qur'ani
Penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern saat ini, sesungguhnya telah lama ditemukan kaum Muslim. Demikian ujar guru besar Columbia University.
Para ilmuwan Muslim sudah membuat banyak penemuan-penemuan dari usia yang ada, demikian ujar Prof. Dr. George Saliba, guru besar Universitas Arab dan Islam Universitas Columbia. Pernyataan Saliba ini disampaikan dalam sebuah seminar di Government College University (GCU), hari Senin kemarin. Saliba hadir dalam seminar bertajuk, The Problems of Historiography of Islamic Science, yang diselenggarakan di Fazl-e-Hussain Hall. Saliba memberi suatu kritik dari buku klasik tentang kenaikan ilmu pengetahuan Islam. Ia merinci permasalahan dalam banyak buku dan menjelaskan penulisan sejarah alternatif bahwa digambarkan jika perkembangan ilmiah Islam sebagai hasil interaksi sosial dan kondisi-kondisi politis di dalam kerajaan Islam.
Saliba mengatakan, filsafat Islam telah mendorong ilmu pengetahuan dan telah mendukung berbagai disiplin-disiplin ilmu. Termasuk tumbuh-tumbuhan, ilmu hewan, aljabar, trigonometri, ilmu fisika, ilmu kimia, ilmu perbintangan, ilmu fisika, ilmu kimia, ilmu faal dan matematika sebelum zaman industri.
Ia juga mengatakan, pecahan persepuluhan bukan suatu penemuan orang Barat dan bahwa itu ditemukan oleh seorang ilmuwan Muslim. Ia juga menambahkan, sistem biner, adalah juga ditemukan oleh seorang ilmuwan Muslim.
Dr. George Saliba, adalah Profesor Ilmu pengetahuan Islam-Arab. Selain itu ia juga duduk di Departemen dari Timur Tengah dan Bahasa-bahasa Asia, di Columbia University, New York, AS.
Sebelum Saliba, orientalis asal Skotlandia, William Montgomery Watt pernah secara jujur, bagaimana Barat sangat berhutang budi pada Islam, khususnya dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Montgomery yang pernah mendapatkan gelar “Emiritus Professor,” gelar penghormatan tertinggi bagi seorang ilmuwan, sangat tekun melakukan penelitiannya tentang Islam. Khususnya sejarah perkembembangan pengetahuan di dunia Islam. Montgomery secara jujur mengakui, perkembangan ilmu pengetahuan yang kini berkembang pesat di Barat dan Eropa, sesungguhnya sebagian besar telah banyak ditemukan kaum Muslim sebelumnya. Peradaban Barat hanya menikmati saja.
Saudi Arabia, 22 Juni 2010, 09.08
Tidak ada komentar:
Posting Komentar