BAB II
WUDLU
A. Dasar Wajib Wudlu
Wudlu hukumnya wajib dilakukan sebelum melakukan hal yang disyaratkan suci seperti shalat, thawaf, dll. Allah berfirman dalam Al-Qur'an:
إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَلاَةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَأَيْدِيْكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُؤُوْسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ . / المائدة 6
"Jika kalian hendak melakukan shalat maka basuhlah wajahmu dan kedua tanganmu hingga siku, dan usaplah sebagian kepalamu serta basuhlah kedua kakimu sampai kedua mata kaki". (QS. Al-Ma'idah:6)
Rasulullah SAW juga bersabda:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا قُمْتَ تُرِيدُ الصَّلاَةَ فَتَوَضَّأْ فَأَحْسِنْ وُضُوءَكَ. (رَوَاهُ النسائى)
Rasulallah SAW bersabda: "Saat engkau ingin melakukan shalat, maka wudlulah dan perbaiki wudlumu." (HR. An-Nasa'i)
Secara umum ibadah wudlu diwajibkan bersamaan dengan wajibnya shalat lima waktu pada malam isra' mi'raj.[1] Namun sebelum itu Nabi Muhammad sudah pernah melakukan wudlu . Diriwayatkan bahwa saat pertama Nabi Muhammad diangkat menjadi Nabi, malaikat Jibril mendatangi beliau dan mengajak wudlu kemudian shalat dua reka'at.[2]
B. Keutamaan Wudlu
Wudlu bila dilakukan dengan benar dan ihlas akan mendapatkan pahala dan keutamaan yang sangat besar, diantaranya adalah;
1. Mendapat Perhiasan di Akherat
Hal ini berdasarkan hadits;
عن أبي هريرة ، عن النبي صلى الله عليه وسلم ، قال : « تَبْلُغُ حُلِيَةُ أَهْلِ الْجَنَةِ مَبْلَغَ الْوُضُوْءِ. (رواه ابن حبان)
Diceritakan dari Abi Hurairah r.a, Rasulullah SAW bersabda: "Perhiasan ahli surga mencapai tempat (anggauta) wudlu". (HR. Ibnu Majah)
2. Tubuh Bercahaya di Akherat
Rasulullah SAW bersabda;
إِنَّ أُمَّتِي يُدْعَوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ غُرًّا مُحَجَّلِينَ مِنْ آثَارِ الْوُضُوءِ فَمَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يُطِيلَ غُرَّتَهُ فَلْيَفْعَلْ. (رَوَاهُ الْبُخَارِى)
"Sesungguhnya umatku nanti akan dipanggil pada hari kiyamat dengan wajah dan tangan bersinar terang sebab wudlu. Barang siapa mampu melakukan wudlu dengan sempurna, maka lakukanlah". (HR. Bukhari Muslim)
3. Diampuni Dari Dosa
Hal ini berdasarkan hadits;
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا تَوَضَّأَ فَغَسَلَ يَدَيْهِ خَرَّتْ خَطَايَاهُ مِنْ يَدَيْهِ فَإِذَا غَسَلَ وَجْهَهُ خَرَّتْ خَطَايَاهُ مِنْ وَجْهِهِ فَإِذَا غَسَلَ ذِرَاعَيْهِ وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ خَرَّتْ خَطَايَاهُ مِنْ ذِرَاعَيْهِ وَرَأْسِهِ فَإِذَا غَسَلَ رِجْلَيْهِ خَرَّتْ خَطَايَاهُ مِنْ رِجْلَيْهِ. (رَوَاهُ اِبْنَ مَاجَهْ)
|
|
Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya ketika orang melakukan wudlu kemudian membasuh kedua tangannya, maka rontoklah dosa-dosa tangan. Saat membasuh wajah, maka rontoklah dosa-dosa wajah. Saat membasuh lengan dan mengusap kepala, maka rontoklah dosa-dosa lengan dan kepala. Saat membasuh kedua kaki, maka rontoklah dosa-dosa kaki". (HR. Ibnu Majah)
|
|
BAB III
FARDLU WUDLU
Wudlu secara syari'at mempunyai pengertian "menggunakan air dalam bagian tubuh tertentu yang dimulai dengan niat".[3] Menurut Imam Haramain hal-hal yang dilakukan dalam wudlu merupakan murni beribadah (ta'abudi) tidak bisa dirasional. Sebab di dalamnya ada kegiatan mengusap kepala yang secara logika tidak bisa membersihkan.[4]
Yang dikehendaki dengan "fardlu" adalah sesuatu yang harus dilakukan saat melakukan wudlu. Hal-hal yang harus dilakukan dalam wudlu (fardlu wudlu) ada 6 (enam);
1. Niat Wudlu
Artinya; bermaksud di dalam hati ingin melakukan wudlu. Niat harus disertakan dengan awal perbuatan wudlu yaitu bersamaan dengan membasuh wajah. Niat harus di dalam hati sebab merupakan maksud melakukan sesuatu (krentek).[5] Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ... (رواه الشيخان)
"Sesungguhnya sahnya amal perbuatan tergantung niatnya". (HR. Bukhari Muslim)
Niat tidak cukup (belum sah) jika hanya diucapkan lisan. Pembacaan niat oleh lisan seperti yang biasa dilakukan masyarakat umum hanya sekedar anjuran memberi pertolongan agar mudah menghadirkan lafadl niat wudlu di dalam hati. Mengucapkan niat sebelum melakukan ibadah hukumnya mustahab (disenangi syari'at/disunahkan). Meskipun pengucapan niat tidak pernah dilakukan Rasulullah, namun bukan termasuk larangan syari'at. Bahkan justru hal tersebut dianjurkan untuk memberi pertolongan menghadirkan niat di dalam hati saat akan melakukan ibadah. [6]
Adapun lafadz-lafadz niat ada bermacam-macam;
نَوَيْتُ الْوَضَوْءَ لِرَفْعِ الْحَدَثِ اْلأَصْغَرِ فَرْضًا للهِ تَعَالَى
"Saya niat wudlu untuk menghilangkan hadats kecil fardlu karena Allah Ta'ala"
نَوَيْتُ اْلوُضُوْءَ فَرْضاً للهِ تَعَالَى
"Saya niat wudlu fardlu karena Allah Ta'ala"
Bahkan jika saat wudlu hanya niat نويت الوضوء (saya niat wudlu) saja bisa dianggap sah. Sebab perbuatan wudlu tidak ada tujuan lain kecuali untuk ibadah. Bagi orang awam kiranya memakai lafadz yang singkat agar lebih mudah menghadirkan niat di dalam hati.[7]
Bagi orang yang sedang beser baik beser kencing atau darah seperti wanita istihadlah, niatnya memakai lafadl di bawah ini;[8]
نَوَيْتُ الْوُضُوْءَ ِلإِسْتِبَاحَةِ الصَلاَةِ فَرْضاً للهِ تَعَالَى
"Saya niat wudlu agar diperbolehkan melakukan shalat fardlu karena Allah Ta'ala "
Dari semua keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam masalah niat terdapat 7 (tujuh) masalah;
1. Hakekat Niat; Secara bahasa mempunyai arti maksud dan secara syari'at mempunyai arti menyengaja melakukan perbuatan dengan disertakan awal perbuatannya.
2. Hukum Niat; Hukum niat secara umum wajib dilakukan setaip akan melakukan ibadah. Namun ada yang disunahkan yaitu saat memandikan jenazah.
3. Tempat Niat; Niat bertempat di dalam hati. Namun disunahkan mengucapkan di mulut sebelum perbuatan dimulai untuk menolong kehadiran niat di dalam hati.
4. Waktu Niat; Waktu niat besertaan dengan awal perbuatan yang dilakukan. Seperti contoh saat membasuh wajah pada wudlu. Kecuali niat di dalam puasa, sebab niat puasa tidak harus bertepatan awal mulainya puasa (fajar shadiq). Sebab hal tersebut merupakan hal yang sangat sulit.
5. Cara Niat; Cara niat akan berbeda antara satu ibadah dengan ibadah yang lain, seperti niat melakukan shalat, niat melakukan puasa dll.
6. Syarat Niat; Syarat niat harus dilakukan oleh orang Islam, tamziz, mantap, dan mengetahui perbuatan yang diniatkan.
7. Tujuan Niat; Tujuan niat untuk membedakan antar ibadah satu dengan ibadah lainya baik yang sama janis seperti mandi wajib dan mandi sunah maupun lain jenis seperti wudlu dan shalat.[9]
2. Membasuh Wajah
Kewajiban membasuh wajah sebagaiman dalil Al-Qur'an Surat Al-Ma'idah:6. Mengenai batas wajah baik al-Qur'an maupun Hadits tidak ada kejelasan secara devinitif. Sesuai ilmu ushul fiqh devinisi wajah dikembalikan pada lughat atau bahasa yaitu;
¨ Vertikal; Mulai tumbuhnya rambut kepala sampai pertemuan tulang rahang (janggut).
Bagian yang berada diantara keduanya (vertical dan horizontal) wajib dibasuh saat membasuh wajah. Dan juga wajib pula membasuh bagian secukupnya yang ada di luar batas wajah.
Juga diwajibkan membasuh rambut jenggot yang tidak lebat. Maksudnya wajib membasuh kulit yang ada di kawasan rambut jenggot tersebut. Namun jika rambutnya lebat, maka cukup membasuh rambut luar. Artinya tidak wajib membasahi kulit yang ada di dalam rambut. [11]
Yang perlu diperhatikan adalah "membasuh" bukan "mengusap". Perbedaan membasuh dengan mengusap sangat jelas. Jika membasuh harus ada air yang mengaliri semua bagian yang dibasuh meski hanya sedikit. Namun jika mengusap tidak disyaratkan harus ada air yang menetes atau mengalir. Jadi belum sah apa bila hanya membasahi telapak tangan kemudian diusap-usapkan wajah tanpa ada air yang mengalir.
Kemudian yang wajib dibasuh hanyalah wajah bagian luar. Artinya, tidak wajib membasuh bagian dalam mulut, hidung, dan mata. Sebab ketiganya masuk dalam kategori anggota dalam.[12]
3. Membasuh Dua Lengan
Di dalam al-Ma'idah: 6 dikatakan bahwa membasuh lengan wajib mengikutkan siku. Sebab lafadz (ila) banyak ahli tafsir memberi makna "serta". Penafsiran makna tersebut berdasarkan hadits Abu Hurairah r.a yang mencontohkan wudlunya Rasulullah SAW.[13]
عَنْ نُعَيْمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْمُجْمِرِ قَالَ رَأَيْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَتَوَضَّأُ فَغَسَلَ وَجْهَهُ فَأَسْبَغَ الْوُضُوءَ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى حَتَّى أَشْرَعَ فِي الْعَضُدِ ثُمَّ يَدَهُ الْيُسْرَى حَتَّى أَشْرَعَ فِي الْعَضُدِ ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى حَتَّى أَشْرَعَ فِي السَّاقِ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى حَتَّى أَشْرَعَ فِي السَّاقِ ثُمَّ قَالَ هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ. (رواه مسلم)
Diceritakan dari Nuaim bin Abdillah r.a, beliau berkata: "Saya melihat Abu Hurairah r.a. berwudlu, beliau membasuh wajahnya serta menyempurnakan, lalu membasuh lengan kanan serta sikunya dan lengan kiri serat sikunya, lalu mengusap kepala lalu membasuh kaki kanan sampai betis dan kaki kiri juga sampai betis, lalu beilau berkata: "Beginilah saya melihat Rasulullah SAW berwudlu". (HR. Muslim)
4. Mengusap Kepala
Yang dimaksud dengan mengusap kepala adalah mengusap sebagian kulit kepala atau rambut yang ada pada batas kepala. Artinya dalam mengusap kepala tidak harus semua bagian kepala diusap, bahkan jika hanya satu helai rambut yang ada dalam batas kepala sudah mencukupi.[14]
Hal ini berdasarkan firman Allah;
وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ. (المائدة: 6)
"dan usaplah sebagain kepalamu". (Al-Ma'idah: 6)
Penerapan makna tafsir "sebagian kepala" berdasarkan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Muslim;
عن ابْنِ الْمُغِيرَةِ, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ فَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَعَلَى الْعِمَامَةِ .(رواه مسلم)
Diceritakan dari Ibnu Mughirah: "Sesungguhnya Rasulullah SAW berwudlu kemudian mengusap sebagian ubun-ubun dan mengusap sorbanya". (HR. Muslim)
|
|
Di dalam mengusap kepala bisa dengan tangan sendiri atau orang lain, dan boleh dengan menggerakkan tangan juga boleh hanya menempelkan tangan yang sudah dibasahi air. Yang menjadi titik berat dalam mengusap kepala adalah adanya sifat basah pada bagian kepala atau rambut yang diusap (hushulul balal).[16]
Meskipun dalam Al-Qur'an dikatakan mengusap, jika dilakukan dengan cara membasuh kepala dengan menyiram, maka menurut pendapat yang lebih shahih diperbolehkan dan hal tersebut sudah mencukupi. [17]
5. Membasuh Dua Kaki
Dalam membasuh kaki harus mengikut sertakan mata kaki (tungkak). Sebab dalam Al-Qur'an dikatakan ( الى الكعبين ) – "serta dua mata kaki". Di dalam Haditspun Rasulullah SAW memperingatkan agar membasuh mata kaki.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ: رَجَعْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ مَكَّةَ إِلَى الْمَدِينَةِ حَتَّى إِذَا كُنَّا بِمَاءٍ بِالطَّرِيقِ تَعَجَّلَ قَوْمٌ عِنْدَ الْعَصْرِ فَتَوَضَّئُوا وَأَعْقَابُهُمْ تَلُوحُ لَمْ يَمَسَّهَا الْمَاءُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيْلٌ لِلأَعْقَابِ مِنْ النَّارِ أَسْبِغُوا الْوُضُوءَ.(رواه مسلم)
|
|
Kaki dan mata kaki[18] harus dibasuh bukan diusap. Hal ini berdasarkan firman Allah;
وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ. (المائدة: 6)
"dan basuhlah kakimu serta dua mata kaki". (Al-Ma'idah: 6)
Menurut bacaan tujuh ulama (qira'ah sab'ah) lafadz arjun dibaca nasab (arjulakum) yang diikutkan pada lafadz wujuhakum. Itu berarti kewajiban dalam kaki adalah membasuh seperti wajah. [19]
Dalam membasuh kaki juga diwajibkan membasuh sela-sela lubang pada telapak kaki yang bengkak-bengkak. Hal ini sebagaimana jika kaki tersumbat duri dan sebagian duri tersebut masih terlihat di luar kulit, maka harus dicabut terlebih dahulu. Jika tidak, maka wudlunya tidak sah. Sebab kulit yang ada lubang duri tersebut dihukumi bagian luar yang wajib dobasuh. Jika duri tidak dicabut, maka air tidak akan sampai pada lubang karena tersumbat duri. Namun jika duri tersebut amblas ke dalam kulit, maka tidak wajib dicabut, sebab dengan begitu menjadi hukum bagian dalam yang tidak wajib dibasuh.[20]
6. Tertib
Rukun tertib sebenarnya hanya menggaris bawahi cara melakukan wudlu. Yaitu harus dimulai dari membasuh wajah yang disertai dengan niat, diteruskan membasuh tangan, diteruskan mengusap kepala, dan yang terakhir membasuh kaki. Urutan tersebut harus dijaga tidak boleh mendahulukan yang akhir dan mengakhirkan yang dahulu. Hal tersebut berdasarkan firman Allah QS: Al-Ma'idah:6 yang mana huruf athaf (wawu) bermana tartib (urut).[21] Dalam sebuah hadits diterangkan;
أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ دَعَا بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْمِرْفَقِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْكَعْبَيْنِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا ثُمَّ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ لاَ يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.(رواه مسلم)
"Sesungguhnya Utsman bin Affan memberi contoh tentang wudlunya Rasulullah SAW. Terlebih dahulu beliau membasuh kedua telapak tangan tiga kali, kemudian berkumur dan meresap air ke hidung. Kemudian beliau mulai membasuh wajah tiga kali, diteruskan membasuh tangan kanan tiga kali dan tangan kiri juga tiga kali. Diteruskan mengusap kepala dan lalu membasuh kaki kanan beserta mata kakinya (polok) dan kaki kiri juga membasuh mata kakinya. Kemudian beliau berkata: "Saya melihat Rasulullah SAW melakukan wudlu seperti wudluku ini". Kemudain Rasulullah berkata: "Barang siapa wudlu sesuai dengan wudluku ini, kemudian shalat sunah dua rekaat yang tidak hadats di dalamnya, maka Allah akan mengampuni dosa-dosa yang lalu". (HR. Muslim)
|
|
Dari hadits di atas jelas bahwa Rasulullah SAW dalam melakukan wudlu selalu tertib sebagaimana perintah Allah dalam Al-Qur'an. Sehingga para Ulama memutuskan hukum wajib melakukan wudlu dengan cara tertib seperti urutan di atas berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits.[22]
Selain itu juga berdasarkan sabda Rasulullah SAW pada saat haji wada' menerangkan star sa'i antara Shofa dan Marwa;
فَابْدَءُوا بِمَا بَدَأَ اللَّهُ بِهِ. (رواه النسائى)
"Mulailah dengan hal yang mana Allah memulainya". (HR. An-Nasa'i)
Maksud hadits tersebut adalah perintah agar melakukan sa'i dimulai dari Shafaa sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Qur'an dengan mendahulukan lafadz Shafaa, yaitu;
إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا. (البقرة:158)
"Sesunnguhnya Shafaa dan Marwah adalah sebagian dari syi'ar Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji ke baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa[23] baginya melakukan sa'i antara keduanya". (Al-Baqarah. 158)
Kerena demikian maka tidak sah apa bila dalam menjalankan sa'i dimulai dari Marwah. Begitu juga dalam berwudlu, tidak sah jika tidak dimulai dari wajah dan seterusnya sebagaiman urutan dalam firman Allah.[24]
Peringatan!
Sesuatu yang menempel pada kulit anggota wudlu (wajah, lengan, dan kaki) seyogyanya dihilangkan terlebih dahulu. Apa lagi bila sesuatu tersebut dapat menghalangi air untuk sampai ke kulit seperti cat minyak, lilin, dll. Sebab hal tersebut dapat menyebabkan tidak sahnya basuhan dan akhirnya berkonsekuensi pada tidak sahnya wudlu. Yang perlu diperhatikan juga adalah kotoran di bawah kuku, jika sampai menghalangi air ke kulit, maka itu sangat berbahaya (tidak sah). Hal ini berdasarkan hadits dari sahabat Anas r.a.;
عَنْ أَنَسٍ: أََنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ تَوَضَّأَ وَتَرَكَ مَوْضِعَ الظُّفْرِ لَمْ يُصِبْهُ الْمَاءُ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:ارْجِعْ فَأَحْسِنْ وُضُوءَكَ. (رواه ابن ماجه)
Dari Anas r.a., beliau berkata: "Sesungguhnya seorang laki—laki datang kepada Nabi Muhammad SAW, ia telah berwudlu dan membiarkan sedikit bagian kuku tidak terkena air". Kemudian Nabi Muhammad SAW bersabda: "Kembalilah! Dan perbaiki wudlumu". (HR. Ibnu Majah)
[1]. HR. Ibnu Hiban
[2]. Muhammad As-Asyirbini Al-Khatib, Al-Iqna'. Hal: 36. Bairut. 1995
[3]. Syihabudin Al-Qulyubi dan Umairah, Qulyubi wa Umairah. I/49.
[4]. Muhammad As-Asyirbini Al-Khatib, Al-Iqna'. Hal: 36. Bairut. 1995
[7]. Ibit. I/70
[8]. Jalaludien Al-Mahali, Hamisy Qulyubi wa Umairah. I/46. TP. Semarang
[9]. Syekh Ibrahim Al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri. I/68. Bairut. 1994
[10]. Jalaludien Al-Mahali, Hamisy Qulyubi wa Umairah. I/47. TP. Semarang
[13]. Jalaludien Al-Mahali, Hamisy Qulyubi wa Umairah. I/49. TP. Semarang
[14]. Syihabudin Al-Qulyubi dan Umairah, Qulyubi wa Umairah. I/49.
[15]. Abdurrahman AL-Juzairi, Madzahib al-Arba'ah. I/55-59. Bairut. 2003
[16]. Syihabudin Al-Qulyubi dan Umairah, Qulyubi wa Umairah. I/49.
[17]. Ibit
[18]. Yang dimaksud mata kaki adalah tulang yang menonjol pada batas antara betis dan kaki. (Hasyiyah Qulyubi wa Umairah. I/49. TP. Semarang)
[19]. Syihabudin Al-Qulyubi dan Umairah, Qulyubi wa Umairah. I/49.
[21]. Jalaludien Al-Mahali, Hamisy Qulyubi wa Umairah. I/49. TP. Semarang
[23]. Allah mengungkapkan dengan perkataan "tidak ada dosa" sebab sebagian sahabat merasa keberatan mengerjakan sa'i di situ, karena tempat itu bekas tempat berhala. Dan di masa jahiliyyah tempat itu juga dijadikan tempat sa'i orang-orang jahiliyyah. Untuk menghilangkan rasa keberatan itu, Allah menurunkan ayat tersebut. (Al-Qur'an dan Terjemahnya: 39. Bairut)
SUNAH WUDLU
BAB IV
SUNAH-SUNAH WUDLU
Sunah adalah hal yang sering dilakukan Rasulullah SAW semasa hidupnya dan tidak ada indikasi yang mengarah pada wajib. Sunah-sunah wudlu di sini ada 10 (sepuluh);
1. Membaca Basmalah
Membaca basmalah sebelum wudlu sangat dianjurkan oleh Syari'at. Hal ini berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abi Hurairah r.a;
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَ الله ُعَلَيْهِ وَسَلَمَ " لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوْءَ لَهُ وَلاَ وُضُوْءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللهِ تعَاَلَى عَلَيْهِ " (رواه أبو داود)
Rasulullah bersabda: "Tidak sah shalat yang dilakukan tanpa wudlu dan tidak sempurna wudlu tanpa didahului menyebut nama Allah (basmalah)". (HR. Abu Dawud)
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَ الله ُعَلَيْهِ وَسَلَمَ: تَوَضَأُوْا بِاسْمِ اللهِ. (رواه النسائى)
Rasulullah SAW bersabda: "Berwudlulah dengan menyebut nama Allah". (HR. An-Nasa'i)
Lafadz basmalah yang paling singkat adalah bismillah, namun jika ingin lebih sempurna sebagaimana bisaanya dengan menambah lafadl ar-Rahman dan ar-Rahim menjadi Bismillahirrahmanirrahim.
2. Membasuh Dua Telapak Tangan
Sebelum melakukan wudlu disunahkan terlebih dahulu membasuh telapak tangan. Hal ini berdasarkan haidts;
عَبْدَ اللَّهِ بْنَ زَيْدٍ عَنْ وُضُوءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَدَعَا بِتَوْرٍ مِنْ مَاءٍ فَتَوَضَّأَ لَهُمْ فَكَفَأَ عَلَى يَدَيْهِ فَغَسَلَهُمَا ثَلَاثًا ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ. (رواه الشيحان)
Diceritakan dari Abdullah bin Zaid dari wuldunya Nabi Muhammad SAW: "Rasulullah SAW meminta satu ember air, kemudian beliau wudlu untuk memberi pelajaran para sahabat. Kemudian beliau menggosokan air pada tanganya dan kemudian membasuhnya tiga kali, kemudian memasukan kedua tangannya ke dalam wadah air". (HR. Bukhari Muslim)
Dari hadits tersebut diterangkan bahwa sebelum Rasulullah SAW memasukan tanganya ke dalam wadah air, beliau terlebih dahulu mencui tanganya.
Dalam hadits tersebut juga diterangkan bahwa Rasulullah SAW memasukkan tanganya ke dalam wadah air setelah dicuci di laur. Namun air tersebut belum dihukumi mustakmal sebab belum melakukan dan juga belum ada niat melakukan wudlu. Sebab air dikatakan mustakmal apa bila air tersebut bekas digunakan membasuh anggauta yang wajib dibasuh dengan disertai niat wudlu.
Kesunahan membasuh tangan tersebut lebih dianjurkan lagi ketika bangun tidur. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW;
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَ الله ُعَلَيْهِ وَسَلَمَ " إِذَا اِسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلاَ يَغْمَسْ يَدَهُ فِي اْلإِناَءِ حَتى يَغْسِلُهَا ثَلاَثاً فَإِنهُ لاَ يَدْرِي أَيْنَ بَاتَتْ يَدَهُ (رواه الشيخان)
Diceritakan dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah bersabda: "Saat salah satu dari kamu semua bangun tidur, maka jangan memasukkan tangannya ke dalam bak air sehingga terlebih dahulu membasuhnya tiga kali. Sebab dia tidak tau saat tidur tanganya merayap kemana-mana". (HR. Bukhari Muslim)
Kesunahan membasuh tangan sebelum mamasukan tangan ke dalam air sedikit ketika diragukan tangannya suci atau najis. Namun jika diyakini dan ditemukan kotoran najis menempel pada telapak tangan dan kondisi air sangat sedikit (kurang dua kullah), maka membasuh tangan sebelum memasukkan ke dalam bak air yang kurang dua kullah hukumnya wajib.
3. Berkumur dan Meresap Air ke Hidung
Menurut Imam Syafi'i berkumur dan meresap air ke hidung hukumnya sunah. Meski ada ulama lain yang mengatakan wajib seperti Imam Abu Hanifah. Berkumur dan meresap air ke hidung memang selalu dilakukan Rasulullah SAW sebelum wudlu.
Cara melakukannya bisa satu kali dengan bersama-sama yaitu mengambil air untuk berkumur sekaligus diresap ke hidung. Namun apa bila itu kesulitan, bisa bergantian satu-persatu. Cara ke dua yang banyak dipilih oleh para ulama.
Hal ini berdasarkan hadits dari Abdullah bin Zaid r.a. yang menerangkan cara wudlunya Rasulullah SAW;
ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فِي اْلإِنَاءِ فَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ وَاسْتَنْثَرَ ثَلاَثًا بِثَلاَثِ غَرَفَاتٍ مِنْ مَاءٍ. (رواه الشيخان)
"Kemudian Rasulullah SAW memasukan tangannya ke dalam wadah air kemudian beliau berkumur dan meresap air ke hidung tiga kali dengan tiga kali cawukan air". (HR. Bukhari Muslim)
4. Mengusap Seluruh Kepala
Seperti yang tertuang di depan tentang mengusap sebagian anggota kepala adalah fardlu (wajib). Namun jika lebih ingin menyempurnakan ibadah wudlu, maka dianjurkan mengusap seluruh kepala. Hal ini sebagaimana apa yang dilakukan Rasulullah SAW:
أَن رَسُوْلَ الله صلى الله عليه وَسَلمَ مَسَحَ رَأْسَهُ بِيَدَيْهِ فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ بَدَأَ بِمُقَدمِ رَأْسِهِ ثُمَ ذَهَبَ بِهِمَا اِلَى قَفَاهُ ثُمَ رَدهُمَا حَتىَ رَجَعَ اِلَى الْمَكَانِ الذِي بَدَأَ مِنْهُ ثُمَ غَسَلَ رِجْلَيْهِ. (رواه الترمذى)
"Sesungguhnya Rasulullah SAW mengusap kepalanya dengan kedua telapak tangannya. Dimulai dari bagian kepala depan terus ke belakang kepala sampai tengkuk dan kemudian dikembalikan ke bagian bagian depan kepala dimana Rasulullah memulainya. Kemudian beliau teruskan mengusap kedua kakinya". (HR.At-Tirmidzi)
Sebagaimana dalam hadits, cara yang lebih utama mengusap kepala secara menyeluruh adalah dengan menggerakkan kedua telapak tangan ke belakang kemudian ditarik ke depan kembali.
5. Mengusap Kedua Telinga
Menurut Imam Syafi'i mengusap telinga hukumnya sunah. Kebisaaan Rasulullah SAW sendiri dalam setiap wudlunya selalu mengusap telinga. Hukum sunah yang dicetuskan Imam Syafi'i berpegang pada Al-Qur'an yang mana dalam ayat wudlu Allah hanya mejelaskan 4 (empat) anggota wudlu yaitu wajah, tangan, kepala, dan kaki. Sedangkan kebisaaan Rasulullah SAW yang selalu mengusap telinga saat wudlu diarahkan pada hukum sunah. Sebab meskipun sunah, Rasulullah SAW tetap tidak pernah meninggalkannya. Hal ini menunjukkan hal-hal yang selalu dilakukan Rasulullah belum tentu mengarah pada hukum wajib.
Kesunahan mengusap telinga sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud:
عَنْ عَبْدِ الله بْنِ زَيْد قَالَ: رَأَيْتُ النَبِى صلى الله عليه وسَلمَ يَتَوَضأُ يَأْخُذُ ِلأُذُنَيْهِ مَاءً خِلاَفَ الْمَاءِ الذِى أَخَذَهُ لِرَأْسِهِ وَيَمْسَحُ صَمَاخَيْهِ أَيْضاً بِمَاءٍ جَدِيْدٍ ثَلاَثاً. (رواه البيهقى والحاكم)
Dari Abdullah bin Zaid, beliau berkata: "Saya melihat Nabi Muhammad SAW sedang wudlu. Beliau mengambil air untuk mengusap kedua telinganya dengan air yang bukan air untuk mengusap kepala. Dan belaiu mengusap kedua daun telinga juga dengan air yang baru tiga kali. (HR. Al-Baihaqi dan Hakim)
Cara mengusap telinga yang paling benar adalah; memasukan jari penunjuk ke dalam (depan) telinga dan menggerak-gerakkan ke seluruh bagian dalamnya, dan meletakkan jari jempol di bagian luar (belakang) telinga dan menggerak-gerakkan ke seluruh bagian luarnya.
6. Men-Takhlil Rambut Jenggot Yang Lebat
Yang dimaksud takhlil adalah memasukkan jari-jari tangan yang dibasahi air ke sela-sela rambut jenggot yang tebal. Hal ini berdasrakan Hadits;
عَنْ أَنَسَ رَضِىَ الله عَنْهُ كاَنَ ُصَلىَ الله عليه وَسَلمَ اِذَا تَوَضأَ اَخَذَ كَفاً مِنْ مَاءٍ فَأَدْخَلَهُ تَحْتَ حِنْكِهِ فَخَلَلَ بِهِ لِحْيَتَهُ وَقَالَ هَكَذَا اَمَرَنِى رَبِى. (رواه أبو داود)
Diceritakan dari Anas r.a; Sesungguhnya Rasulullah SAW pada saat wudlu beliau mengambil satu cakup air dan memasukkannya ke bawah cetak terus beliau men-tahlil rambut jenggotnya yang lebat. Kemudian beliau berkata (setelah wudlu): "Demikian itu (cara-cara wudlu) Tuhanku (Allah) perintah kepadaku". (HR. Abu Dawud)
Hal ini beda dengan rambut jenggot yang tidak lebat, maka men-takhlil hukumnya bukan sunah tetapi wajib. Sebab rambut jenggot yang tidak lebat tidak ada alasan sulit meratakan air sampai ke dalam kulitnya. Beda dengan rambut jenggot yang tebal, dikarenakan sulit memasukkan air sampai ke dalam kulit maka men-takhlil hukumnya hanya sunah karena ada darurat.
7. Men-Takhlil Jari-jari Tangan dan Kaki
Yang dimaksud takhlil jari-jari tangan adalah menyapu rancang, yaitu memasukkan jari-jari tangan kanan ke sela-sela jari tangan kiri dan sebaliknya lalu digosok-gosokkan. Sedangkan takhlil jari-jari kaki prakteknya dengan memasukkan jari-jari tangan yang ke sela-sela jari kaki. Takhlil yang dimaksud di atas dilakukan besertaan saat membasuh tangan dan kaki. Dalil takhlil adalah sebagai berikut:
عن ابن عباس رضى الله عنه قال: أَنه ُصلى الله عليه وسلم قاَلَ: اِذَا تَوَضأْتَ فَخَلِلْ أَصَابِعَ يَدَيْكَ وَرِجْلَيْكَ. (رواه الترمذى)
Diceritakan dari Ibnu Abbas r.a, beliau berkata; "Sesungguhnya Rasulullah SAW berkata: "Saat kamu wudlu, maka takhlil-lah jari-jari tangan dan kakimu". (HR. At-Tirmidzi)
8. Mendahulukan Organ Kanan
Organ yang dimaksud adalah anggauta wudlu yang mempunyai dua organ seperti tangan dan kaki. Saat melakukan wudlu disunahkan membasuh yang kanan terlebih dahulu kemudian baru yang kiri. Hal ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh A'isyah r.a:
عن عائشة رضى الله عنها قَالَتْ: كاَنَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم يُحِبَ التيامُنَ.(رواه الشيخان)
A'isyah r.a berkata: Rasulullah SAW sangat mencintai mendahulukan anggota kanan (dalam melakukan setiap sesuatu). (HR. Bukhari Muslim)
Juga hadits yang diambil dari Abi Hurairah r.a:
عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ أَنه ُصلى الله عليه وسلم قَالَ: اِذَا تَوَضأْتمُ ْفاَبْدَأْ بِيَمَانِكُمْ. (رواه أبو داود)
Dari Abi Hurairah r.a,; "Sesungguhnya Rasulullah SAW berkata: "Pada saat kalian wudlu maka mulailah dari anggauta/organ yang kanan". (HR. Abu Dawud)
9. Membasuh/Mengusap Tiga Kali
Membasuh tiga kali untuk anggauta wudlu yang harus dibasuh atau mengusap untuk anggauta yang harus di usap merupakan hal sangat disunahkan. Hadits yang menerangkan banyak sekali diantaranya adalah hadits dari sahabat Utsman r.a.;
أَنَّهُ ُصلى الله عليه وسلم تَوَضَّأَ ثَلاَثًا ثَلاَثًا. (رواه مسلم)
"Sesungguhnya Rasulullah SAW berwudlu tiga kali-tiga kali". (HR. Muslim)
Sedangkan hadits yang menerangkan Rasulullah SAW membasuh dan mengusap anggota wudlu satu atau dua kali , hal tersebut merupakan pijakan hukum bahwa satu atau dua kali basuhan sudah cukup, meskipun belum mengarah pada sunah.
Namun di kalangan kita ada sebagian yang kurang mengerti tentang praktek tatslits tersebut. Terutama saat membasuh tangan dan kaki. Cara membasuh tiga kali (tatslits) yang benar adalah; membasuh tangan kanan tiga kali baru setelah selesai pindah ke tangan yang kiri tiga kali. Begitu pula praktek saat membasuh tiga kali pada kaki. Kebisaaan membasuh tiga kali dengan cara kanan kiri-kanan kiri adalah praktek yang kurang benar. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Utsman bin Affan r.a:
ثُمَ غَسَلَ يَدُهُ اْليُمْنىَ إِلَى الْمَرَفِقِ ثَلاَثَ مَرَاتٍ ثُمَ غَسَلَ يَدَهُ اْليُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَ مَسَحَ رَأْسَهُ ثُمَ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنىَ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ثَلاَثَ مَرَاتٍ ثُمَ غَسَلَ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ. (رواه مسلم)
"Kemudian Rasulullah SAW membasuh tangan kanan tiga kali diteruskan tangan kiri juga tiga kali. Diteruskan mengusap kepala dan selanjutnya membasuh kaki kanan beserta mata kakinya (polok) tiga kali dan kaki kiri juga membasuh mata kakinya tiga kali". (HR. Muslim)
Hukum sunah membasuh tiga kali apa bila dalam keadaan netral. Sebab dalam keadaan tertentu justru membasuh tiga kali tidak disunahkan seperti takut tertinggal shalat berjama'ah dan tidak menemukan jama'ah shalat lain. Bahkan membasuh tiga kali hukumnya haram seperti waktu shalat sudah mendesak, atau air tinggal sedikit yang hanya cukup untuk membasuh satu kali-satu kali, atau air tersebut khusus disediakan untuk wudlu dan dalam situasi kekeringan, dalam keadaan seperti ini haram hukumnya menggunakan iar selain untuk membasuh yang wajib.
10. Muwallah/Kontinu
Yang dimaksud muwallah adalah meneruskan basuhan dari anggota wudlu satu ke anggota wudlu yang lain dengan tanpa ada waktu pemisah yang lama. Waktu lama tersebut distandarkan jika sisa air yang menempel pada anggota wudlu belum sampai mengering. Jika sampai mongering baru melanjutkan basuhan anggota wudlu yang lain, maka kesunahan muwallah tidak diperolah meskipun wudlunya tetap sah.
Selain sepuluh di atas, masih banyak lagi kesunahan-kesunahan wudlu diantaranya adalah meperluas basuhan kaki dan tangan serta wajah, dan membaca do'a setelah wudlu. Do'a setelah wudlu yang diambil dari hadits sahabat Umar bin Khattab adalah;
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ قَالَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِنْ التَّوَّابِينَ وَاجْعَلْنِي مِنْ الْمُتَطَهِّرِينَ فُتِحَتْ لَهُ ثَمَانِيَةُ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ. (رواه الترمذى)
Rasulullah SAW bersabda: " Barang siapa wudlu dan melakukan dengan baik pada wudlunya, kemudian membaca do'a;
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِنْ التَّوَّابِينَ وَاجْعَلْنِي مِنْ الْمُتَطَهِّرِينَ
maka akan dibukakan delapan pintu surga yang boleh memasuki lewat pintu yang ia suka". (HR. At-Tirmidzi)
SUNAH-SUNAH WUDLU
Sunah adalah hal yang sering dilakukan Rasulullah SAW semasa hidupnya dan tidak ada indikasi yang mengarah pada wajib. Sunah-sunah wudlu di sini ada 10 (sepuluh);
1. Membaca Basmalah
Membaca basmalah sebelum wudlu sangat dianjurkan oleh Syari'at. Hal ini berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abi Hurairah r.a;
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَ الله ُعَلَيْهِ وَسَلَمَ " لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوْءَ لَهُ وَلاَ وُضُوْءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللهِ تعَاَلَى عَلَيْهِ " (رواه أبو داود)
Rasulullah bersabda: "Tidak sah shalat yang dilakukan tanpa wudlu dan tidak sempurna wudlu tanpa didahului menyebut nama Allah (basmalah)". (HR. Abu Dawud)
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَ الله ُعَلَيْهِ وَسَلَمَ: تَوَضَأُوْا بِاسْمِ اللهِ. (رواه النسائى)
Rasulullah SAW bersabda: "Berwudlulah dengan menyebut nama Allah". (HR. An-Nasa'i)
Lafadz basmalah yang paling singkat adalah bismillah, namun jika ingin lebih sempurna sebagaimana bisaanya dengan menambah lafadl ar-Rahman dan ar-Rahim menjadi Bismillahirrahmanirrahim.
2. Membasuh Dua Telapak Tangan
Sebelum melakukan wudlu disunahkan terlebih dahulu membasuh telapak tangan. Hal ini berdasarkan haidts;
عَبْدَ اللَّهِ بْنَ زَيْدٍ عَنْ وُضُوءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَدَعَا بِتَوْرٍ مِنْ مَاءٍ فَتَوَضَّأَ لَهُمْ فَكَفَأَ عَلَى يَدَيْهِ فَغَسَلَهُمَا ثَلَاثًا ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ. (رواه الشيحان)
Diceritakan dari Abdullah bin Zaid dari wuldunya Nabi Muhammad SAW: "Rasulullah SAW meminta satu ember air, kemudian beliau wudlu untuk memberi pelajaran para sahabat. Kemudian beliau menggosokan air pada tanganya dan kemudian membasuhnya tiga kali, kemudian memasukan kedua tangannya ke dalam wadah air". (HR. Bukhari Muslim)
Dari hadits tersebut diterangkan bahwa sebelum Rasulullah SAW memasukan tanganya ke dalam wadah air, beliau terlebih dahulu mencui tanganya.
Dalam hadits tersebut juga diterangkan bahwa Rasulullah SAW memasukkan tanganya ke dalam wadah air setelah dicuci di laur. Namun air tersebut belum dihukumi mustakmal sebab belum melakukan dan juga belum ada niat melakukan wudlu. Sebab air dikatakan mustakmal apa bila air tersebut bekas digunakan membasuh anggauta yang wajib dibasuh dengan disertai niat wudlu.
Kesunahan membasuh tangan tersebut lebih dianjurkan lagi ketika bangun tidur. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW;
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَ الله ُعَلَيْهِ وَسَلَمَ " إِذَا اِسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلاَ يَغْمَسْ يَدَهُ فِي اْلإِناَءِ حَتى يَغْسِلُهَا ثَلاَثاً فَإِنهُ لاَ يَدْرِي أَيْنَ بَاتَتْ يَدَهُ (رواه الشيخان)
Diceritakan dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah bersabda: "Saat salah satu dari kamu semua bangun tidur, maka jangan memasukkan tangannya ke dalam bak air sehingga terlebih dahulu membasuhnya tiga kali. Sebab dia tidak tau saat tidur tanganya merayap kemana-mana". (HR. Bukhari Muslim)
Kesunahan membasuh tangan sebelum mamasukan tangan ke dalam air sedikit ketika diragukan tangannya suci atau najis. Namun jika diyakini dan ditemukan kotoran najis menempel pada telapak tangan dan kondisi air sangat sedikit (kurang dua kullah), maka membasuh tangan sebelum memasukkan ke dalam bak air yang kurang dua kullah hukumnya wajib.
3. Berkumur dan Meresap Air ke Hidung
Menurut Imam Syafi'i berkumur dan meresap air ke hidung hukumnya sunah. Meski ada ulama lain yang mengatakan wajib seperti Imam Abu Hanifah. Berkumur dan meresap air ke hidung memang selalu dilakukan Rasulullah SAW sebelum wudlu.
Cara melakukannya bisa satu kali dengan bersama-sama yaitu mengambil air untuk berkumur sekaligus diresap ke hidung. Namun apa bila itu kesulitan, bisa bergantian satu-persatu. Cara ke dua yang banyak dipilih oleh para ulama.
Hal ini berdasarkan hadits dari Abdullah bin Zaid r.a. yang menerangkan cara wudlunya Rasulullah SAW;
ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فِي اْلإِنَاءِ فَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ وَاسْتَنْثَرَ ثَلاَثًا بِثَلاَثِ غَرَفَاتٍ مِنْ مَاءٍ. (رواه الشيخان)
"Kemudian Rasulullah SAW memasukan tangannya ke dalam wadah air kemudian beliau berkumur dan meresap air ke hidung tiga kali dengan tiga kali cawukan air". (HR. Bukhari Muslim)
4. Mengusap Seluruh Kepala
Seperti yang tertuang di depan tentang mengusap sebagian anggota kepala adalah fardlu (wajib). Namun jika lebih ingin menyempurnakan ibadah wudlu, maka dianjurkan mengusap seluruh kepala. Hal ini sebagaimana apa yang dilakukan Rasulullah SAW:
أَن رَسُوْلَ الله صلى الله عليه وَسَلمَ مَسَحَ رَأْسَهُ بِيَدَيْهِ فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ بَدَأَ بِمُقَدمِ رَأْسِهِ ثُمَ ذَهَبَ بِهِمَا اِلَى قَفَاهُ ثُمَ رَدهُمَا حَتىَ رَجَعَ اِلَى الْمَكَانِ الذِي بَدَأَ مِنْهُ ثُمَ غَسَلَ رِجْلَيْهِ. (رواه الترمذى)
"Sesungguhnya Rasulullah SAW mengusap kepalanya dengan kedua telapak tangannya. Dimulai dari bagian kepala depan terus ke belakang kepala sampai tengkuk dan kemudian dikembalikan ke bagian bagian depan kepala dimana Rasulullah memulainya. Kemudian beliau teruskan mengusap kedua kakinya". (HR.At-Tirmidzi)
Sebagaimana dalam hadits, cara yang lebih utama mengusap kepala secara menyeluruh adalah dengan menggerakkan kedua telapak tangan ke belakang kemudian ditarik ke depan kembali.
5. Mengusap Kedua Telinga
Menurut Imam Syafi'i mengusap telinga hukumnya sunah. Kebisaaan Rasulullah SAW sendiri dalam setiap wudlunya selalu mengusap telinga. Hukum sunah yang dicetuskan Imam Syafi'i berpegang pada Al-Qur'an yang mana dalam ayat wudlu Allah hanya mejelaskan 4 (empat) anggota wudlu yaitu wajah, tangan, kepala, dan kaki. Sedangkan kebisaaan Rasulullah SAW yang selalu mengusap telinga saat wudlu diarahkan pada hukum sunah. Sebab meskipun sunah, Rasulullah SAW tetap tidak pernah meninggalkannya. Hal ini menunjukkan hal-hal yang selalu dilakukan Rasulullah belum tentu mengarah pada hukum wajib.
Kesunahan mengusap telinga sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud:
عَنْ عَبْدِ الله بْنِ زَيْد قَالَ: رَأَيْتُ النَبِى صلى الله عليه وسَلمَ يَتَوَضأُ يَأْخُذُ ِلأُذُنَيْهِ مَاءً خِلاَفَ الْمَاءِ الذِى أَخَذَهُ لِرَأْسِهِ وَيَمْسَحُ صَمَاخَيْهِ أَيْضاً بِمَاءٍ جَدِيْدٍ ثَلاَثاً. (رواه البيهقى والحاكم)
Dari Abdullah bin Zaid, beliau berkata: "Saya melihat Nabi Muhammad SAW sedang wudlu. Beliau mengambil air untuk mengusap kedua telinganya dengan air yang bukan air untuk mengusap kepala. Dan belaiu mengusap kedua daun telinga juga dengan air yang baru tiga kali. (HR. Al-Baihaqi dan Hakim)
Cara mengusap telinga yang paling benar adalah; memasukan jari penunjuk ke dalam (depan) telinga dan menggerak-gerakkan ke seluruh bagian dalamnya, dan meletakkan jari jempol di bagian luar (belakang) telinga dan menggerak-gerakkan ke seluruh bagian luarnya.
6. Men-Takhlil Rambut Jenggot Yang Lebat
Yang dimaksud takhlil adalah memasukkan jari-jari tangan yang dibasahi air ke sela-sela rambut jenggot yang tebal. Hal ini berdasrakan Hadits;
عَنْ أَنَسَ رَضِىَ الله عَنْهُ كاَنَ ُصَلىَ الله عليه وَسَلمَ اِذَا تَوَضأَ اَخَذَ كَفاً مِنْ مَاءٍ فَأَدْخَلَهُ تَحْتَ حِنْكِهِ فَخَلَلَ بِهِ لِحْيَتَهُ وَقَالَ هَكَذَا اَمَرَنِى رَبِى. (رواه أبو داود)
Diceritakan dari Anas r.a; Sesungguhnya Rasulullah SAW pada saat wudlu beliau mengambil satu cakup air dan memasukkannya ke bawah cetak terus beliau men-tahlil rambut jenggotnya yang lebat. Kemudian beliau berkata (setelah wudlu): "Demikian itu (cara-cara wudlu) Tuhanku (Allah) perintah kepadaku". (HR. Abu Dawud)
Hal ini beda dengan rambut jenggot yang tidak lebat, maka men-takhlil hukumnya bukan sunah tetapi wajib. Sebab rambut jenggot yang tidak lebat tidak ada alasan sulit meratakan air sampai ke dalam kulitnya. Beda dengan rambut jenggot yang tebal, dikarenakan sulit memasukkan air sampai ke dalam kulit maka men-takhlil hukumnya hanya sunah karena ada darurat.
7. Men-Takhlil Jari-jari Tangan dan Kaki
Yang dimaksud takhlil jari-jari tangan adalah menyapu rancang, yaitu memasukkan jari-jari tangan kanan ke sela-sela jari tangan kiri dan sebaliknya lalu digosok-gosokkan. Sedangkan takhlil jari-jari kaki prakteknya dengan memasukkan jari-jari tangan yang ke sela-sela jari kaki. Takhlil yang dimaksud di atas dilakukan besertaan saat membasuh tangan dan kaki. Dalil takhlil adalah sebagai berikut:
عن ابن عباس رضى الله عنه قال: أَنه ُصلى الله عليه وسلم قاَلَ: اِذَا تَوَضأْتَ فَخَلِلْ أَصَابِعَ يَدَيْكَ وَرِجْلَيْكَ. (رواه الترمذى)
Diceritakan dari Ibnu Abbas r.a, beliau berkata; "Sesungguhnya Rasulullah SAW berkata: "Saat kamu wudlu, maka takhlil-lah jari-jari tangan dan kakimu". (HR. At-Tirmidzi)
8. Mendahulukan Organ Kanan
Organ yang dimaksud adalah anggauta wudlu yang mempunyai dua organ seperti tangan dan kaki. Saat melakukan wudlu disunahkan membasuh yang kanan terlebih dahulu kemudian baru yang kiri. Hal ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh A'isyah r.a:
عن عائشة رضى الله عنها قَالَتْ: كاَنَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم يُحِبَ التيامُنَ.(رواه الشيخان)
A'isyah r.a berkata: Rasulullah SAW sangat mencintai mendahulukan anggota kanan (dalam melakukan setiap sesuatu). (HR. Bukhari Muslim)
Juga hadits yang diambil dari Abi Hurairah r.a:
عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ أَنه ُصلى الله عليه وسلم قَالَ: اِذَا تَوَضأْتمُ ْفاَبْدَأْ بِيَمَانِكُمْ. (رواه أبو داود)
Dari Abi Hurairah r.a,; "Sesungguhnya Rasulullah SAW berkata: "Pada saat kalian wudlu maka mulailah dari anggauta/organ yang kanan". (HR. Abu Dawud)
9. Membasuh/Mengusap Tiga Kali
Membasuh tiga kali untuk anggauta wudlu yang harus dibasuh atau mengusap untuk anggauta yang harus di usap merupakan hal sangat disunahkan. Hadits yang menerangkan banyak sekali diantaranya adalah hadits dari sahabat Utsman r.a.;
أَنَّهُ ُصلى الله عليه وسلم تَوَضَّأَ ثَلاَثًا ثَلاَثًا. (رواه مسلم)
"Sesungguhnya Rasulullah SAW berwudlu tiga kali-tiga kali". (HR. Muslim)
Sedangkan hadits yang menerangkan Rasulullah SAW membasuh dan mengusap anggota wudlu satu atau dua kali , hal tersebut merupakan pijakan hukum bahwa satu atau dua kali basuhan sudah cukup, meskipun belum mengarah pada sunah.
Namun di kalangan kita ada sebagian yang kurang mengerti tentang praktek tatslits tersebut. Terutama saat membasuh tangan dan kaki. Cara membasuh tiga kali (tatslits) yang benar adalah; membasuh tangan kanan tiga kali baru setelah selesai pindah ke tangan yang kiri tiga kali. Begitu pula praktek saat membasuh tiga kali pada kaki. Kebisaaan membasuh tiga kali dengan cara kanan kiri-kanan kiri adalah praktek yang kurang benar. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Utsman bin Affan r.a:
ثُمَ غَسَلَ يَدُهُ اْليُمْنىَ إِلَى الْمَرَفِقِ ثَلاَثَ مَرَاتٍ ثُمَ غَسَلَ يَدَهُ اْليُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَ مَسَحَ رَأْسَهُ ثُمَ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنىَ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ثَلاَثَ مَرَاتٍ ثُمَ غَسَلَ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ. (رواه مسلم)
"Kemudian Rasulullah SAW membasuh tangan kanan tiga kali diteruskan tangan kiri juga tiga kali. Diteruskan mengusap kepala dan selanjutnya membasuh kaki kanan beserta mata kakinya (polok) tiga kali dan kaki kiri juga membasuh mata kakinya tiga kali". (HR. Muslim)
Hukum sunah membasuh tiga kali apa bila dalam keadaan netral. Sebab dalam keadaan tertentu justru membasuh tiga kali tidak disunahkan seperti takut tertinggal shalat berjama'ah dan tidak menemukan jama'ah shalat lain. Bahkan membasuh tiga kali hukumnya haram seperti waktu shalat sudah mendesak, atau air tinggal sedikit yang hanya cukup untuk membasuh satu kali-satu kali, atau air tersebut khusus disediakan untuk wudlu dan dalam situasi kekeringan, dalam keadaan seperti ini haram hukumnya menggunakan iar selain untuk membasuh yang wajib.
10. Muwallah/Kontinu
Yang dimaksud muwallah adalah meneruskan basuhan dari anggota wudlu satu ke anggota wudlu yang lain dengan tanpa ada waktu pemisah yang lama. Waktu lama tersebut distandarkan jika sisa air yang menempel pada anggota wudlu belum sampai mengering. Jika sampai mongering baru melanjutkan basuhan anggota wudlu yang lain, maka kesunahan muwallah tidak diperolah meskipun wudlunya tetap sah.
Selain sepuluh di atas, masih banyak lagi kesunahan-kesunahan wudlu diantaranya adalah meperluas basuhan kaki dan tangan serta wajah, dan membaca do'a setelah wudlu. Do'a setelah wudlu yang diambil dari hadits sahabat Umar bin Khattab adalah;
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ قَالَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِنْ التَّوَّابِينَ وَاجْعَلْنِي مِنْ الْمُتَطَهِّرِينَ فُتِحَتْ لَهُ ثَمَانِيَةُ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ. (رواه الترمذى)
Rasulullah SAW bersabda: " Barang siapa wudlu dan melakukan dengan baik pada wudlunya, kemudian membaca do'a;
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِنْ التَّوَّابِينَ وَاجْعَلْنِي مِنْ الْمُتَطَهِّرِينَ
maka akan dibukakan delapan pintu surga yang boleh memasuki lewat pintu yang ia suka". (HR. At-Tirmidzi)
Senin, 09 November 2009
STATUS ANAK ZINA
MEMBUKA TABIR HADITS
"TIDAK MASUK SURGA ANAK HASIL ZINA"
Oleh: Fajar Abdul Bashir
Pendahuluan
Untuk mengawali pembahasan ini, terlebih dahulu akan kita tampilkan sebuah hadits yang jika hanya difahami secara tekstual tanpa melihat dalil lain, akan membuat bulu kuduk berdiri. Hadits itu adalah;
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ, قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:"لا يَدْخُلُ وَلَدُ الزِّنَا الْجَنَّةَ، وَلا شَيْءٌ مِنْ نَسْلِهِ إِلَى سَبْعَةِ آبَاءٍ".(رواه الطبرانى)
Diceritakan dari Abu Hurairah r.a Rasulullah SAW bersabda: "Tidak masuk surga anak hasil zina dan tidak satupun dari keturunan mereka sampai tujuh turunan". HR. Tabrany)
عَن ْعَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَو بن العاص, قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:"لا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ وَلَدُ زَنِيَةٍ". (رواه ابن حبان فى صحيحه)
Diceritakan dari Abdullah bin Umar, Rasulullah SAW bersabda: "Tidak masuk surga yaitu anak dari wanita pezina (". (HR. Ibnu Hibban)
Terlepas dari perbedaan pendapat tentang eksistensi posisi hadits tersebut, jika difahami sekilas dua hadits di atas memang menakutkan dan terkesan diskriminasi. Padahal dalam kehidupan ini tidak sedikit manusia yang melakukan zina dan menghasilkan keturunan. Bahkan pada awal masa Rasulullah SAW pun kasus perzinaan masih tetap marak dikarenakan kebudayaan jahiliyyah sulit sekali dihilangkan. Dari kasus perzinaan tersebut tentunya tidak sedikit yang menghasilkan keturunan. Dari sinilah Rasulullah SAW harus mengeluarkan peringatan keras dan mengancam para pelaku zina dengan dikeluarkan hadits tersebut. Peringatan keras tersebut tidak hanya mengancam pelaku pezina, tetapi juga berpotensi memberi dampak negatife bagi anak dan keturunannya.
Namun belakangan hadits tersebut mendapat tanggapan serius dari beberapa sahabat Nabi dan para Ulama. Pasalnya hadits yang mengancam keturunan pelaku zina tersebut seolah-olah bertentangan dengan dalil-dalil lain, baik dari al-Qur'an maupun al-Hadits. Selain itu juga seolah-olah bertentangan dengan nilai Islam yang rahmatan lil alamien. Untuk itulah, kiranya perlu sekali kita mengetahui lebih dalam sejauh mana arahan pegertian hadits di atas dan seperti apa dilalah hukumnya. Di dalam Al-Qur'an Allah berfirman:
وَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى وَإِنْ تَدْعُ مُثْقَلَةٌ إِلَى حِمْلِهَا لاَ يُحْمَلْ مِنْهُ شَيْءٌ وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى إِنَّمَا تُنْذِرُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ وَمَنْ تَزَكَّى فَإِنَّمَا يَتَزَكَّى لِنَفْسِهِ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ. [فاطر : 18]
"Dan orang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan jika seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lian) untuk memikul dosanya itu, tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikitpun, meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya. Sesungguhnya yang dapat kamu beri peringatan hanya orang0orang yang takut kepada azab Tuhanya (sekalipun) mereka tidak melihatNya. Dan barang siapa yang mensucikan dirinya, sesungguhnya ia mensucikan untuk dirinya sendiri. Dan kepada Allah lah kembali(mu)". (al-Fathir:18)
Dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa seseorang tidak akan bisa menanggung dosa orang lain sedikitpun dan Allah tidak akan membebankan dosa orang lain itu kepada siapapun meskipun dia dari kerabat. Kemudian di dalam ayat yang lain Allah SWT juga berfirman:
وَلا تَكْسِبُ كُلُّ نَفْسٍ إِلا عَلَيْهَا وَلا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى. (الأنعام: ١٦٤)
"Dan tidaklah seorang membuat dosa melinkan kemudharatanya (dosanya) kembali kepada dirinya sendiri; dan seseorang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain". (QS' al-An'am: 164)
Ayat ini juga menerangkan bahwa seseorang yang mengerjakan dosa, maka ia telah mencelakakn dirinya sendiri dan tidak bisa mencelakakan orang lain.
Dua ayat Al-Qur'an di atas secara garis besar dan tegas menunjukkan pengertian bahwa siapapun mereka tidak akan dibebani menanggung dosa orang lain meskipun dosa orang tuanya. Lalu bagaimana dengan hadits Rasulullah SAW yang mengatakan keturunan pezina tidak akan masuk surga?. Untuk itulah mari kita tela'ah pendapat-pendapat para Sahabat Nabi dan Ulama tentang dilalah atau arahan hadits Rasulullah SAW tersebut.
Pendapat Para Sahabat Nabi dan Ulama
A'isyah r.a istri Rasulullah berpendapat berkenanan dengan keturunan orang zina; "Anak pezina tidak akan menanggung sedikitpun dosa yang dilakukan kedua orang tuanya. Hal ini berdasarkan firman Allah yang berbunyai: "Dan orang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain". (QS. Al-Fathir: 18). Juga dalam kesempatan yang lain A'isyah r.a pernah mendengar sabda Rasulullah SAW;
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "وَلَدُ الزِناَ شَرُ الثلاَثَةِ إِذاَ عَمِلَ بِعَمَلِ اَبَوَيْهِ". (رواه البيهقى)
Rasulullah SAW bersabda: "Anak orang zina adalah orang ketiga yang berbuat kejelekan jika ia juga melakukan perbuatan orang tuanya". (HR. Al-Baihaqy)1
Dalam hadits di atas Rasulullah SAW memberi sinyal bahwa, anak orang zina merupakan orang jelek ketiga setelah orang tuanya jika ia melakukan perbuatan zina seperti perbuatan orang tuanya. Mafhum mukhalafah (pengertian balik) dari hadits tersebut adalah, jika anak orang zina tidak melakukan perbuatan seperti perbuatan orang tuanya (tidak melakukan zina), maka dia tidak termasuk golongan orang jelek. Hadits dan pemahaman ini juga didukung oleh Ibnu Abbas dan Shofyan Ats-Tsaury, bahwa anak orang zina bisa masuk neraka jika ia juga melakukan perbuatan zina.2 Demikianlah patutnya pengertian dari pada hadits yang disabdakan oleh Rasulullah SAW tersebut.
Sedangkan menurut Syekh Abu Hatim dalam memahami hadits penafian anak zina adalah, bahwa hadits yang mengatakan "tidak masuk surga anak keturunan pezina" hanya berlaku menurut keumumannya. Artinya, seorang anak menurut kebiasaan umum tidak akan jauh dari watak dan kelakuan orang tuanya. Seandainya orang tuanya pencuri, maka anaknya juga berpotensi menjadi pencuri, begitu juga jika orang tuanya sering melakukan perbuatan zina, maka anaknya kelak juga berpotensi melakukan perbuatan zina. Itu berarti tidak semua keturunan pezina bisa difonis akan masuk neraka dikarenakan perbuatan orang tuanya. Sebab seorang anak tidak akan menanggung sedikitpun dosa yang dilakukan orang tuanya. Apa lagi justru tidak sedikit dari mereka (keturunan anak zina) yang justru beriman dan beramal shalih.3
Syekh Ibnu Taimiyyah saat ditanya tentang anak keturunan zina, beliau juga memberi jawaban sama dengan pendapat di atas. Beliau berkata: "Anak keturunan zina jika beriman dan beramal shalih tetap akan masuk surga. Dan jika tidak beriman dan atau tidak beramal shalih, maka akan dibalas sesuai dengan perbuatanya seperti yang lainya. Pembalasan Allah itu menurut amal perbuatan manusia, bukan karena keturunannya. Sedangkan keturunan orang zina diremehkan, karena biasanya ia berpotensi melakukan perbuatan seperti orang tuanya. Padahal tidak semuanya demikian. Dan makhluk yang paling mulya dihadapan Allah adalah yang paling takwa di antara mereka".4
Fitrah (Kesucian) Setiap Manusia
Dari penjelasan beberapa pendapat Sahabat Nabi dan Ulama di atas, kiranya dapat ditangkap bahwa seorang anak sedikitpun tidak akan ikut menanggung dosa yang dilakukan orang tuanya. Dan seorang anak tidak akan dilahirkan dalam keadaan sudah berdosa karena memikul dosa orang tuanya. Hal ini berpedoman pada hadits Rasulullah SAW;
عن أبي هريرة، رضي الله عنه، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: "كُل مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى اْلفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانَه وَيُنَصِّرَانَهُ وَيُمَجِّسَانَهُ" (رواه الشيخان فى صحيحيهما)
Diceritakan dari Abu Hurairah r.a, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: "Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fathrah (suci). Maka kedua orang tuanya-lah yang membuatnya Yahudi, dan Nasrani, dan Majusi". (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam Kitab Shahih Muslim juga terdapat hadits Kudsiy:
عن عِياض بن حمَار قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "يقول الله تعالى: إِنِي خَلَقْتُ عِبَادِي حُنَفَاءَ، فَجَاءَتْهُمُ الشَيَاطِيْنَ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِيْنِهِمْ وَحَرَمَتْ عَلَيْهِمْ مَا أَحْلَلْتُ لَهُمْ". (رواه مسلم فى صحيحه)
Diceritakan dari Iyad bin Hammar, Rasulullah SAW bersabda: Allah SAW berkata: "Sesungguhnya telah Aku jadikan hamba-hambaKu dalam keadaan condong (ke dalam kebaikan/Islam). Kemudian datanglah syaitan-syaitan dan menyesatkan dari agama mereka dan mengharamkan hal yang telah Aku halalkan". (HR. Muslim)
Dari keterangan dua hadits di atas, dapat ditangkap bahwa status seorang anak pada dasarnya semua diciptakan dan dilahirkan dalam keadaan sempurna dan suci. Hal ini tidak memandang dari keturunan siapapun, bahkan dari keturunan orang non muslim sekalipun. Dalam sebuah hadits diceritakan bahwa pada saat peperangan, para sahabat juga membunuh anak-anak dari kaum musyrikin. Lalu Rasulullah SAW menegurnya dan mengeluarkan peringatan keras;
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "لاَ تَقْتُلُوْا ذُرِيةً، لاَ تَقْتُلُوْا ذُرِيةً, كُلُ نَسِمُةٍ تُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهَا يَهُوْدَانَهَا أَوْ يُنَصِرَانَهَا". (رواه أحمد والنسائي)
Rasulullah bersabda: "Jangan kamu bunuh keturunan mereka (musyrikin)! Jangan kami bunuh keturunan mereka! Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, sehingga kedua orang tuanyalah yang membuatnya Yahudi dan Nashrani". (HR. Ahmad dan An-Nasa'i)
Larangan Rasulullah SAW membunuh anak-anak kaum musyrik saat berperang merupakan perlindungan yang sempurna dan menyamakan mereka dengan anak-anak orang Islam yang pada dasarnya sama-sama diciptakan dan dilahirkan dalam keadaan fathrah/suci. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Surat Ar-Rum: 30:
فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا..)الروم: 30(
"(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu". (Ar-Rum: 30)
Juga firman Allah dalam surat Al-A'raf ayat 172:
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا. (الأعراف: 172)
"Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami) dan kami menjadi saksi". (QS. Al-A'raf: 172)
Itu berarti sebelum manusia lahir di muka bumi, mereka telah meng-Esakan Allah dan mengakuai Allah sebagai Tuhanya (fatrah). Hanya saja setelah mereka lahir dan menjalani kehidupan, mereka banyak yang tergoda dengan rayuan setan, sehingga ada yang beriman dan ada yang kafir (imma mu'minun wa imma kaafirun).
Dari beberapa uraian di atas, tentunya sangatlah tidak etis jika kita masih membeda-bedakan keturunan dan nasab, apa lagi membanggakan derajat orang tua. Cukup sudah bagi kita cerita tentang Nabi Nuh a.s, dimana putra beliau Kan'an adalah seorang yang sangat bertolak belakang. Bukan hanya tidak berkelakuan baik, namun juga tidak beriman kepada Allah SWT. Dan dalam kisah yang lain yaitu Nabi Ibrahim a.s, dimana beliau dilahirkan di lingkungan keluarga penyebah berhala. Namun pada kenyataanya Ibrahim tumbuh dengan keimanan di dada dan menjadi Nabi kekasih Allah SWT.
Namun sejauh itu, kita memang masih mengingat istilah pepatah; "Buah-buahan tidak akan jatuh jauh dari pohonya". Atau pepatah jawa yang lain: "wet kacang tukul melu lanjarane". Artinya secara kebiasaan dalam kehidupan bermasyarakat bahwa jika orang tuanya berkepribadian dan berkelakuan baik, maka biasanya anak cucunya juga berkelakuan baik. Dan jika orang tuanya berkelakuan jelek, maka biasanya keturunannya juga tidak jauh dari kelakuan orang tua. Inilah yang mendasari Rasulullah SAW mengatakan bahwa anak pezina tidak masuk surga. Artinya, jika anak tersebut mengikuti jejak orang tuanya dan tidak bertaubat sebelum meninggal. Selain itu, ancaman Rasulullah SAW sebagai bentuk peringatan keras bagi umatnya agar menjauhi perbuatan zina. Karena hal tersebut dapat berdampak pada kepribadian anak cucunya kelak.
Status Anak di Luar Nikah
Yang dimaksud dengan anak diluar nikah adalah anak yang dilahirkan dari hasil hubungan gelap (zina). Dalam pada ini, kita akan meninjau status anak hasil hubungan gelap (zina) dari perspektif fikih. Ada beberapa hal yang perlu diketahui tentang anak hasil hubungan di luar nikah.
- Nasab
Anak yang lahir dari hasil hubungan di luar pernikahan, menurut legalitas dalam kacamata Islam, maka ia tidak bisa mempunyai ayah dari segi nasab. Legalitas nasabnya dilimpahkan kepada ibu yang telah melahirkannya. Hal ini tidak memandang hubungan mereka (perempuan yang melahirkan dan laki-laki yang menghamili) berlanjut ke pernikahan atau tidak berlanjut. Artinya, meskipun hubungan mereka berlanjut ke pernikahan, laki-laki yang menghamili wanita tersebut tetap tidak bisa sebagai ayah (wali) secara Islam.5 Itu artinya, dalam hal berurusan dengan masalah yang bersangkuntan dengan perwalian, anak hasil di luar pernikahan akan di limpahkan kepada ibunya. Hal ini berdasarkan sebuah hadits Rasulullah SAW;
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَيُّمَا رَجُلٍ عَاهَرَ بِحُرَّةٍ أَوْ أَمَةٍ فَالْوَلَدُ وَلَدُ زِنَا لَا يَرِثُ وَلَا يُورَثُ. (رواه الترمذى)
Diceritakan dari Umar bin Syu'aib, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: "Manakala ada laki-laki melakukan hubungan (di luar pernikahan) dengan perempuan merdeka atau perempuan amat, maka anaknya adalah anak zina yang tidak bisa menerima warisan darinya atau diwaris olehnya". (HR. Turmudzi)
Dalam hadits tersebut Rasulullah SAW menerangkan bahwa anak hasil zina tidak bisa menerima warisan dari laki-laki yang menghamili ibunya dan pula tidak bisa mewariskan hartanya kepada laki-laki tersebut. Dari hadits yang diriwayatkan tersebut, Abu Isa At-Tirmidzi menegaskan bahwa anak hasil zina tidak bisa mewarisi harta bapaknya (laki-laki yang menghamili). Hal ini dikarenakan antara anak hasil zina dan laki-laki yang menghamili ibunya secara hukum Islam tidak ada hubungan nasab.6
1. Dalam Mujma' al Kabir li at-Tabrany juga terdapat hadits sama dari Ibnu Abbas r.a (9, 154)
2. Baihaqy Sunan al Kubra, Jilid: X, Hal: 58
3. Ibnu Hibban, Shahih Ibn Hibban, Jilid: 14, Hal: 267
4. Ibnu Taimiyyah, Fatawi al-Kubra, Jilid: VII, Hal: 151)
5. Muhammad Syatha, I'anatutthalibien, Jilid II, Hal: 146
6. Abu Isa, Sunan at-Tirmidzi, Jilid: VII, Hal: 475
Minggu, 08 November 2009
Penghianat Agama
Seperti yang kita ketahui bahwa Islam semakin lama semakin on-line, hal ini bisa kita lihat dengan banyaknya buku-buku, seminar-seminar, artikel-artikel tentang Islam dan panoramanya. bahkan kajian-kajian tentang hukum Islam sering diperdebatkan dengan argumen masing-masing yang semua mengklaim berdasarkan dalil-dalil al-Kitab dan as-Sunah. Namun apa bila kita lihat dalam paparan kehidupan masyarakat yang ada, maka buku-buku, seminar-seminar, artikel-artikel tersebut seolah-olah hanya sebuah panorama yang gamang yang tidak mempunyai pengaruh apa-apa pada tingkat keimaan manusia hingga termanifestasi dalam sebuah tindakan nyata. Banyak pembahasan tentang hukum Islam, namun sedikit yang melakukan hukum tersebut. Banyak yang mengkaji tentang Aqidah, namun banyak pula yang tersesat dalam filsafatnya sendiri. Banyak yang membahas tentang syari'at, namun melalaikan maslahahnya yang merupakan tujuan. Banyak yang membahas tentang zakat, namun mereka sendiri tidak peka terhadap fakir miskin dan anak yatim.
Saya ingat Firman Allah dalam surat Al-Ma'un, dimana Allah SWT jelas-jelas menceritakan sifat-sifat orang yang membahongi agama.
1. Tahukah kamu tentang orang-orang yang membohongi agama?
2. Yaitu orang-orang yang membentak-bentak anak yatim,
3. dan tidak menyuruh dan memberi makan orang miskin,
4. Maka bagi orang-orang yang shalat akan mendapatkan siksa neraka wail,
5. yaitu orang-orang yang melalaikan shalatnya.
6. Dan orang-orang yang melakukan riya' (memperlihatkan amalnya)
7. Dan orang-orang yang mencegah melakukan kebaikan.
Surat ini diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW untuk meberitahukan bahwa dianrata orang-orang Islam terdapat para pembohong atau orang-orang munafik.
wassalamu'aliakum Wr. Wb
Tidak ada komentar:
Posting Komentar