Metode
Tafsir Tematik
Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Quran Pemahaman dan Tafsir Al-Quran
Disepakati
oleh para ulama, kecuali beberapa gelintir di antara mereka, bahwa mukjizat
utama Al-Quran yang diperhadapkan kepada masyarakat yang ditemui Rasul adalah
dari segi bahasa dan sastranya yang mengungguli sastra bahasa yang dikenal
masyarakat Arab ketika itu. Hal ini mempunyai pengaruh yang tidak kecil
terhadap metode penafsiran Al-Quran. Jika kita telusuri tafsir-tafsir
Al-Quran sejak masa Muhammad bin Jarir Al-Thabari (251-310 H) sampai kepada
masa Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935 M), kita akan menemui ciri utama yang
menghimpun kitab-kitab tafsir tersebut adalah analisis redaksi. Agaknya hal
ini merupakan salah satu usaha untuk meletakkan dasar-dasar ilmiah bagi
pemahaman umat Islam terhadap kemukjizatan tersebut, setelah ketinggian nilai
sastranya tidak lagi dipahami secara instink-fitri (alamiah) oleh orang-orang
Arab sekalipun.
Ini
akhirnya menimbulkan pendapat bahwa redaksi Al-Quran bukanlah sesuatu yang
luar biasa, seperti teori Al-Shirfah yang dikemukakan oleh Al-Nazam (w. 835
H). Tetapi harus diakui bahwa usaha-usaha ulama untuk menafsirkan Al-Quran
dengan metode analisis-redaksi tersebut, bahkan dengan metode komparasi yang
kemudian dikembangkan Abu Bakar Al-Baqillani (w. 403 H) dalam rangka
kemukjizatannya, juga tidak dapat bertahan lama setelah semakin mundurnya
penguasaan sastra dan kaidah-kaidah bahasa orang Arab sendiri.
Setelah
Tafsir Al-Thabari, dapat dikatakan bahwa kitab-kitab tafsir sesudahnya
memiliki corak tertentu yang dirasakan bahwa penulisnya "memaksakan
sesuatu terhadap Al-Quran". Kalau hal tersebut bukan suatu paham akidah,
fiqih, atau tasawuf, maka paling tidak salah satu aliran kaidah bahasa. Hal
ini dapat dilihat dengan jelas pada Tafsir Al-Kasysyaf karya Al-Zamakhsyari
(467-538 H), atau Anwar Al-Tanzil karya Al-Baidhawi (w. 791 H), atau Ruh
Al-Ma'ani karya Al-Alusi (w. 1270 H), atau Al-Bahr Al-Muhith karya Abu Hayyan
(w. 745 H), dan sebagainya. Cara-cara yang mereka tempuh itu menjadikan
petunjuk-petunjuk Al-Quran, yang tadinya dipahami secara mudah, menjadi
semacam disiplin ilmu yang sukar untuk dicerna. Hal ini dikarenakan
kitab-kitab tafsir itu berisikan pembahasan-pembahasan yang mendalam, namun
gersang dari petunjuk-petunjuk yang menyentuh jiwa serta menalarkan akal.
Metode
yang selama ini digunakan para mufasir sejak masa kodifikasi Tafsir, yang
oleh sementara ahli diduga dimulai oleh Al-Farra' (w. 207 H), sampai tahun
1960 adalah menafsirkan Al-Quran ayat demi ayat sesuai dengan susunannya
dalam mush-haf. Bentuk demikian menjadikan petunjuk-petunjuk Al-Quran
terpisah-pisah dan tidak disodorkan kepada pembacanya secara menyeluruh.
Fakhruddin Al-Razi (w. 606 H/1210 M) misalnya, walaupun menyadari betapa
pentingnya korelasi antara ayat, dan dia mengajak para mufasir untuk
mencurahkan perhatian kepada hal itu, namun dia sendiri dalam kedua kitab
tafsirnya tidak menyinggung banyak tentangnya. Karena perhatiannya tercurah
kepada pembahasan-pembahasan filsafat (teologi) dan ilmu falak.
Pembahasan
masalah seperti ini mencapai puncaknya di bawah usaha Ibrahim bin 'Umar
Al-Biqa'i (809-885 H). Tetapi korelasi di sini ternyata menyangkut
sistematika penyusunan ayat dan surat Al-Quran sesuai dengan urutan-urutannya
dalam mush-haf, bukan dari segi korelasi ayat-ayatnya yang membahas
masalah-masalah yang sama dan terkadang bagian-bagiannya terpencar dalam
sekian surat. Di lain segi, maksud pembahasan Al-Biqa'i ini adalah untuk
menjelaskan kemukjizatan Al-Quran dari segi sistematika penyusunan ayat-ayat
dan surat-suratnya, serta sebab pemilihan suatu redaksi terhadap redaksi
lainnya, bukan untuk menggambarkan segi-segi petunjuk Al-Quran yang dapat
dipetik dan dimanfaatkan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Al-Syathibi
menjelaskan bahwa satu surat, walaupun dapat mengandung banyak masalah, namun
masalah-masalah tersebut berkaitan antara satu dengan lainnya. Sehingga
seseorang hendaknya jangan hanya mengarahkan pandangan pada awal surat,
tetapi hendaknya memperhatikan pula akhir surat, atau sebaliknya. Karena bila
tidak demikian, akan terabaikan maksud ayat-ayat yang diturunkan itu.
"Tidak
dibenarkan seseorang hanya memperhatikan bagian-bagian dari satu pembicaraan,
kecuali pada saat ia bermaksud untuk memahami arti lahiriah dari satu
kosakata menurut tinjauan etimologis, bukan maksud si pembicara. Kalau arti
tersebut tidak dipahaminya, maka ia harus segera memperhatikan seluruh
pembicaraan dari awal hingga akhir," demikian kata Al-Syathibi.
Pada
bulan Januari 1960, Syaikh Al-Azhar, Mahmud Syaltut, menerbitkan Tafsirnya,
Tafsir Al-Qur'an Al-Karim. Di situ beliau menafsirkan Al-Quran bukan ayat
demi ayat, tetapi dengan jalan membahas surat demi surat atau bagian suatu
surat, dengan menjelaskan tujuan-tujuan utama serta petunjuk-petunjuk yang
dapat dipetik darinya. Walaupun ide tentang kesatuan dan isi petunjuk surat
demi surat telah pernah dilontarkan oleh Al-Syathibi (w. 1388 M), tapi
perwujudan ide itu dalam satu kitab Tafsir baru dimulai oleh Mahmud Syaltut.
Metode
ini, walaupun telah banyak menghindari kekurangan-kekurangan metode lama,
masih menjadikan pembahasan mengenai petunjuk Al-Quran secara terpisah-pisah,
karena tidak kurang satu petunjuk yang saling berhubungan tercantum dalam
sekian banyak surat yang terpisah-pisah. Seperti dikemukakan semula bahwa
pendapat seseorang tentang sesuatu masalah ditentukan oleh banyak faktor.
Nah, kalau kita mengesampingkan sementara pendapat yang keliru yang tidak
kurang ditemui dalam sekian banyak kitab tafsir lama, dan karena ketuaannya
telah mendapat semacam pengkultusan, dan kita melihat pendapat-pendapat
lainnya, maka kita temui pendapat-pendapat yang dapat diterima "pada
masanya". Tetapi karena faktor yang dikemukakan di atas, maka pendapat
tersebut kini sudah "out of date", dan tidak lagi dapat diterima.
Misalnya, penafsiran tentang datarnya bumi, berdasarkan firman Allah pada
surat Nuh ayat 19, sebelum ditemukan benua Amerika dan sebelum dibuktikan
bumi kita bulat; atau penafsiran tujuh tingkat langit dengan tujuh planet
yang mengitari tata surya, yang ternyata tidak hanya tujuh.
Sementara
itu, berbarengan dengan perkembangan masyarakat, berbagai problem dan
pandangan baru timbul dan perlu ditanggapi secara serius, yang tentunya
berbeda dengan problem yang dihadapi oleh masyarakat sebelum kita. Problem
dan pemecahan masalah yang dikemukakan oleh Muhammad Rasyid Ridha agaknya
sudah tidak relevan dengan keadaan masa kini, atau paling tidak sudah tidak
menduduki prioritas pertama dalam perhatian atau kepentingan masyarakat
sekarang.
Dapat
dibayangkan bagaimana kiranya jika yang disodorkan kepada masyarakat umum
adalah masalah-masalah yang menjadi pembahasan ulama Tafsir pada masa sebelum
Rasyid Ridha. Tidak syak lagi bahwa manusia yang dibentuk pikirannya dengan
uraian-uraian tersebut adalah manusia-manusia abad lalu yang "terlambat
lahir".
Dari
sini pula para ahli keislaman mengarahkan pandangan mereka kepada
problem-problem baru dan berusaha untuk memberikan jawaban-jawabannya melalui
petunjuk-petunjuk Al-Quran, sambil memperhatikan hasil-hasil pemikiran atau
penemuan manusia, baik yang positif maupun yang negatif, sehingga
bermunculanlah banyak karya ilmiah yang berbicara tentang satu topik tertentu
menurut pandangan Al-Quran, misalnya Al-Insan fi Al-Quran, dan Al-Mar'ah fi
Al-Quran karya Abbas Mahmud Al-Aqqad, atau Al-Riba fi Al-Quran karya Al-Maududi,
dan sebagainya.
Namun
karya-karya ilmiah tersebut disusun bukan sebagai pembahasan Tafsir. Di sini
ulama Tafsir kemudian mendapat inspirasi baru, dari bermunculan karya-karya
Tafsir yang menetapkan satu topik tertentu, dengan jalan menghimpun seluruh
atau sebagian ayat-ayat, dari beberapa surat, yang berbicara tentang topik
tersebut, untuk kemudian dikaitkan satu dengan lainnya, sehingga pada
akhirnya diambil kesimpulan menyeluruh tentang masalah tersebut menurut
pandangan Al-Quran. Metode ini di Mesir pertama kali dicetuskan oleh Prof.
Dr. Ahmad Sayyid Al-Kumiy, Ketua Jurusan Tafsir pada Fakultas Ushuluddin
Universitas Al-Azhar sampai tahun 1981.
Beberapa
dosen Tafsir di universitas tersebut telah berhasil menyusun banyak karya
ilmiah dengan menggunakan metode tersebut. Antara lain Prof. Dr. Al-Husaini
Abu Farhah menulis Al-Futuhat Al-Rabbaniyyah fi Al-Tafsir Al-Mawdhu'i li
Al-Ayat Al-Qur'aniyyah dalam dua jilid, dengan memilih banyak topik yang
dibicarakan Al-Quran.
Dalam
menghimpun ayat-ayat yang ditafsirkannya secara mawdhu'i (tematik) itu,
Al-Husaini tidak mencantumkan seluruh ayat dari seluruh surat, walaupun
seringkali menyebutkan jumlah ayat-ayatnya dengan memberikan beberapa contoh,
sebagaimana tidak juga dikemukakannya perincian ayat-ayat yang turun pada
periode Makkah sambil membedakannya dengan periode Madinah, sehingga terasa
bahwa apa yang ditempuhnya itu masih mengandung beberapa kelemahan.
Pada
tahun 1977, Prof. Dr. Abdul Hay Al-Farmawiy, yang juga menjabat guru besar
pada Fakultas Ushuluddin Al-Azhar, menerbitkan buku Al-Bidayah fi Al-Tafsir
Al-Mawdhu'i dengan mengemukakan secara terinci langkah-langkah yang hendaknya
ditempuh untuk menerapkan metode mawdhu'iy. Langkah-langkah tersebut adalah:
Penulis
mempunyai beberapa catatan dalam rangka pengembangan metode tafsir Mawdhu'iy
dan langkah-langkah yang diusulkan di atas. Antara lain:
(1)
Penetapan masalah yang dibahas
Walaupun
metode ini dapat menampung semua persoalan yang diajukan, terlepas apakah
jawabannya ada atau tidak, namun untuk menghindari kesan keterikatan yang
dihasilkan oleh metode tahliliy akibat pembahasan-pembahasannya terlalu
bersifat sangat teoretis, maka akan lebih baik bila permasalahan yang dibahas
itu diprioritaskan pada persoalan yang menyentuh masyarakat dan dirasakan
langsung oleh mereka.
Ini
berarti, mufasir Mawdhu'iy diharapkan agar terlebih dahulu mempelajari
problem-problem masyarakat, atau ganjalan-ganjalan pemikiran yang dirasakan
sangat membutuhkan jawaban Al-Quran, misalnya petunjuk Al-Quran menyangkut
kemiskinan, keterbelakangan, penyakit dan sebagainya. Dengan demikian, corak
dan metode penafsiran semacam ini memberi jawaban terhadap problem masyarakat
tertentu di lokasi tertentu dan tidak harus memberi jawaban terhadap mereka
yang hidup sesudah generasinya, atau yang tinggal di luar wilayahnya.
(2)
Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya
Yaitu
hanya dibutuhkan dalam upaya mengetahui perkembangan petunjuk Al-Quran
menyangkut persoalan yang dibahas, apalagi bagi mereka yang berpendapat ada
nasikh dan mansukh dalam Al-Quran. Bagi mereka yang bermaksud menguraikan
satu kisah, atau kejadian, maka runtutan yang dibutuhkan adalah runtutan
kronologis peristiwa.
(3)
Kosakata ayat dengan merujuk kepada penggunaan Al-Quran
Walaupun
metode ini tidak mengharuskan uraian tentang pengertian kosakata, namun
kesempurnaannya dapat dicapai apabila sejak dini sang mufasir berusaha
memahami arti kosakata ayat dengan merujuk kepada penggunaan Al-Quran
sendiri. Hal ini dapat dinilai sebagai pengembangan dari tafsir bi
al-ma'tsur, yang pada hakikatnya merupakan benih awal dari metode mawdhu'iy.
Pengamatan
terhadap pengertian kosakata, demikian juga pesan-pesan yang dikandung oleh
satu ayat, hendaknya diarahkan antara lain kepada bentuk dan timbangan kata
yang digunakan, subjek dan objeknya, serta konteks pembicaraannya. Bentuk
kata dan kedudukan i'rab, misalnya, mempunyai makna tersendiri. Bentuk ism
memberi kesan kemantapan, fi'l mengandung arti pergerakan, bentuk rafa'
menunjukkan subjek atau upaya, nashb yang menjadi objek dapat mengandung arti
ketiadaan upaya, sedang al-jar memberi kesan keterkaitan dalam keikutan.
Untuk
menetapkan masalah yang akan dibahas, beberapa kitab dapat menjadi rujukan,
antara lain Tafshil Ayat Al-Qur'an karya sekelompok orientalis dan yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Muhammad Fuad Abdul Baqiy. Demikian
pula Kitab Al-Hayat karya Muhammad Reza Hakimi dan kawan-kawan, atau juga
dapat ditempuh dengan menggunakan Al-Mu'jam Al-Mufahras Ii Alfazh Al-Qur'an
karya Muhammad Fuad 'Abdul Baqiy, dengan memperhatikan kosakata dan
sinonimnya yang berhubungan dengan suatu masalah yang dibahas itu.
(4)
Azbab al-Nuzul
Perlu
digarisbawahi bahwa, walaupun dalam langkah-langkah tersebut tidak
dikemukakan menyangkut sebab nuzul, namun tentunya hal ini tidak dapat diabaikan,
karena sebab nuzul mempunyai peranan yang sangat besar dalam memahami
ayat-ayat Al-Quran. Hanya saja hal ini tidak dicantumkan di sana karena ia
tidak harus dicantumkan dalam uraian, tetapi harus dipertimbangkan ketika
memahami arti ayat-ayatnya masing-masing. Bahkan hubungan antara ayat yang
biasanya dicantumkan dalam kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode
analisis, tidak pula harus dicantumkan dalam pembahasan, selama ia tidak
mempengaruhi pengertian yang akan ditonjolkan.
Dapat
digarisbawahi pula bahwa langkah-langkah yang dijelaskan di atas menempatkan
penyusunan "pembahasan dalam satu kerangka yang sempurna" pada
tahap yang kelima agar kerangka tersebut tersusun atas dasar bahan-bahan yang
telah diperoleh dari langkah-langkah sebelumnya. Hal ini untuk menghindari
sedapat mungkin pra-konsepsi yang mungkin dapat mempengaruhi mufasir dalam
penafsirannya.
Dengan
tersusunnya langkah-langkah tersebut, bahkan dengan penerapan yang
dicontohkan oleh Al-Farmawiy dalam karyanya dengan menafsirkan ayat-ayat yang
berkaitan dengan: (a) pemeliharaan anak yatim dalam Al-Quran; (b) arti
ummiyatAl-Arab (kebuta-hurufan orang Arab) dalam Al-Quran; (c) etika meminta
izin dalam Al-Quran; dan (d) menundukkan mata dan memelihara alat kelamin
dalam Al-Quran, maka lahirlah bentuk kedua dari metode tafsir mawdhu'iy.
Bentuk pertama, ialah penafsiran menyangkut satu surat dalam Al-Quran dengan
menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan khusus, serta hubungan
persoalan-persoalan yang beraneka ragam dalam surat tersebut antara satu
dengan lainnya, sehingga kesemua persoalan tersebut kait-mengait bagaikan
satu persoalan saja, sebagaimana ditempuh oleh Mahmud Syaltut dalam kitab
Tafsirnya.
Kedua,
menghimpun ayat-ayat Al-Quran yang membahas masalah tertentu dari berbagai
surat Al-Quran, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh ayat-ayat
tersebut, sebagai jawaban terhadap masalah yang menjadi pokok pembahasannya.
Beberapa
keistimewaan metode ini antara lain, (a) menghindari problem atau kelemahan metode
lain yang digambarkan dalam uraian di atas; (b) menafsirkan ayat dengan ayat
atau dengan hadis Nabi, satu cara terbaik dalam menafsirkan Al-Quran; (c)
kesimpulan yang dihasilkan mudah dipahami. Hal ini disebabkan karena ia
membawa pembaca kepada petunjuk Al-Quran tanpa mengemukakan berbagai
pembahasan terperinci dalam satu disiplin ilmu. Juga dengan metode ini, dapat
dibuktikan bahwa persoalan yang disentuh Al-Quran bukan bersifat teoretis
semata-mata dan atau tidak dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat.
Dengan begitu ia dapat membawa kita kepada pendapat Al-Quran tentang berbagai
problem hidup disertai dengan jawaban jawabannya. Ia dapat memperjelas
kembali fungsi Al-Quran sebagai Kitab Suci. Dan terakhir dapat membuktikan
keistimewaan Al-Quran. Selain itu, (d) metode ini memungkinkan seseorang
untuk menolak anggapan adanya ayat-ayat yang bertentangan dalam Al-Quran. Ia
sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat-ayat Al-Quran sejalan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat.
Yang
dimaksud dengan metode analisis adalah "penjelasan tentang arti dan
maksud ayat-ayat Al-Quran dari sekian banyak seginya yang ditempuh oleh
mufasir dengan menjelaskan ayat demi ayat sesuai urutannya di dalam mush-haf
melalui penafsiran kosakata, penjelasan sebab nuzul, munasabah, serta
kandungan ayat-ayat tersebut sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir
itu".
Metode
tersebut jelas berbeda dengan metode Mawdhu'iy yang telah digambarkan
langkah-langkahnya di atas. Perbedaan itu antara lain, pertama, mufasir
mawdhu'iy, dalam penafsirannya, tidak terikat dengan susunan. ayat dalam
mush-haf, tetapi lebih terikat dengan urutan masa turunnya ayat atau
kronologi kejadian, sedang mufasir analisis memperhatikan susunan sebagaimana
tercantum dalam mush-haf.
Kedua,
mufasir Mawdhu'i tidak membahas segala segi permasalahan yang dikandung oleh
satu ayat, tapi hanya yang berkaitan dengan pokok bahasan atau judul yang
ditetapkannya. Sementara para mufasir analisis berusaha untuk berbicara
menyangkut segala sesuatu yang ditemukannya dalam setiap ayat. Dengan
demikian mufasir Mawdhu'i, dalam pembahasannya, tidak mencantumkan arti
kosakata, sebab nuzul, munasabah ayat dari segi sistematika perurutan,
kecuali dalam batas-batas yang dibutuhkan oleh pokok bahasannya. Mufasir
analisis berbuat sebaliknya.
Ketiga,
mufasir mawdhu'i berusaha untuk menuntaskan permasalahan-permasalahan yang
menjadi pokok bahasannya. Mufasir analisis biasanya hanya mengemukakan
penafsiran ayat-ayat secara berdiri sendiri, sehingga persoalan yang dibahas
menjadi tidak tuntas, karena ayat yang ditafsirkan seringkali ditemukan
kaitannya dalam ayat lain pada bagian lain surat tersebut, atau dalam surat
yang lain.
Yang
dimaksud dengan metode komparasi adalah "membandingkan ayat-ayat
Al-Quran yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi, yang berbicara
tentang masalah atau kasus yang berbeda, dan yang memiliki redaksi yang
berbeda bagi masalah atau kasus yang sama atau diduga sama. Termasuk dalam
objek bahasan metode ini adalah membandingkan ayat-ayat Al-Quran dengan
hadis-hadis Nabi saw., yang tampaknya bertentangan, serta membandingkan
pendapat-pendapat ulama tafsir menyangkut penafsiran ayat-ayat Al-Quran.
Dalam
metode ini, khususnya yang membandingkan antara ayat dengan ayat seperti
dikemukakan di atas, sang mufasir biasanya hanya menjelaskan hal-hal yang
berkaitan dengan perbedaan kandungan yang dimaksud oleh masing-masing ayat
atau perbedaan kasus atau masalah itu sendiri, seperti misalnya perbedaan
antara dalam surat Al-An'am ayat 151, dan surat Al-Isra' ayat 31, surat
Al-A'raf ayat 12, surat Shad ayat 75. Demikian juga antara Al-Anfal ayat 10
dengan Ali Imran ayat 126.
Mufasir
yang menempuh metode ini, sepert misalnya Al-Khatib Al-Iskafi dalam kitabnya
Durrah Al-Tanzil wa Ghurrah Al-Ta'wil, tidak mengarahkan pandangannya kepada
petunjuk-petunjuk yang dikandung oleh ayat-ayat yang dibandingkannya itu,
kecuali dalam rangka penjelasan sebab-sebab perbedaan redaksional. Sementara
dalam metode Mawdhu'i, seorang mufasir, disamping menghimpun semua ayat yang
berkaitan dengan masalah yang dibahas, ia juga mencari persamaan-persamaan,
serta segala petunjuk yang dikandungnya, selama berkaitan dengan pokok
bahasan yang ditetapkan.
Di
sini kita melihat bahwa jangkauan bahasan metode komparasi lebih sempit dari
metode Mawdhu'i, karena yang pertama hanya terbatas dalam perbedaan redaksi
semata-mata. Membandingkan ayat dengan hadis, yang kelihatannya bertentangan,
dilakukan juga oleh ulama hadis, khususnya dalam bidang yang dinamakan
mukhtalif al-hadits. Sikap ulama dalam hal ini berbeda-beda. Abu Hanifah dan
penganut mazhabnya menolak sejak dini hadis yang bertentangan atau tidak
sejalan dengan ayat Al-Quran. Sementara itu, Imam Malik dan penganut
mazhabnya dapat menerima hadis yang tidak sejalan dengan ayat, apabila ada
qarinah (pendukung bagi hadis tersebut) berupa pengalaman penduduk Madinah
atau ijma' ulama. Lainnya, Imam Syafi'i, berupaya untuk mengkompromikan ayat
dan hadis tersebut, khususnya jika sanad hadis tersebut sahih.
Dalam
membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir menyangkut ayat Al-Quran, ada
beberapa hal yang perlu mendapat sorotan:
Sebelum
mengakhiri tulisan ini, perlu digarisbawahi beberapa masalah, agar seorang
yang bermaksud menempuh metode Mawdhu'i atau membaca penafsiran yang menempuh
metode tersebut tidak terjerumus kedalam kesalahan atau kesalahpahaman.
Hal-hal
tersebut adalah:
|
Referensi
- Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA., Membumikan Al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Penerbit Mizan, Bandung, 1992.
- Tim DISBINTALAD (Drs. A. Nazri Adlany, Drs. Hanafi Tamam, Drs. A. Faruq Nasution), Al-Quran Terjemah Indonesia, Penerbit PT. Sari Agung, Jakarta, 2004
- Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA., Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat, Penerbit Mizan, Bandung, 1997.
- Departemen Agama RI, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Al-Quran, Syaamil Al-Quran Terjemah Per-Kata, Syaamil International, 2007.
- Muhammad Al-Bahiy, Tafsir Al-Qur'an Al-Karim, karya Mahmud Syaltut, Dar Al-Qalam, Mesir, cet. II
- Al-Syathibi, Al-Muwafaqat, Dar Al-Ma'rufah, Beirut, 1975, jilid III
- 'Abdul Hay Al-Farmawiy, Al-Bidayah fi Tafsir Al-Mawdhu'iy, Al-Hadharah Al-'Arabiyah, Kairo, cetakan II, 1977
- Hassan Hanafi, Al-Yamin wa Al-Yasar fi Al-Fikr Al-Diniy, Madbuliy, Mesir, 1989
- Dr. Syauqi Abu Khalil, Atlas Al-Quran, Membuktikan Kebenaran Fakta Sejarah yang Disampaikan Al-Qur'an secara Akurat disertai Peta dan Foto, Dar al-Fikr Damaskus, Almahira Jakarta, 2008.
- Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Dr. Ahmad Qodri Abdillah Azizy, MA, Dr. A. Chaeruddin, SH., etc. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Penerbit PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2008, Editor : Prof. Dr. Taufik Abdullah, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Prof. Dr. H. Ahmad Sukardja, MA.
- Sami bin Abdullah bin Ahmad al-Maghluts, Atlas Sejarah Para Nabi dan Rasul, Mendalami Nilai-nilai Kehidupan yang Dijalani Para Utusan Allah, Obeikan Riyadh, Almahira Jakarta, 2008.
- alquran.bahagia.us, al-quran.bahagia.us, dunia-islam.com, Al-Quran web, PT. Gilland Ganesha, 2008.
- Muhammad Fu'ad Abdul Baqi, Mutiara Hadist Shahih Bukhari Muslim, PT. Bina Ilmu, 1979.
- Al-Hafizh Zaki Al-Din 'Abd Al-'Azhum Al Mundziri, Ringkasan Shahih Muslim, Al-Maktab Al-Islami, Beirut, dan PT. Mizan Pustaka, Bandung, 2008.
- M. Nashiruddin Al-Albani, Ringkasan Shahih Bukhari, Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, dan Gema Insani, Jakarta, 2008.
- Al-Bayan, Shahih Bukhari Muslim, Jabal, Bandung, 2008.
- Muhammad Nasib Ar-Rifa'i, Kemudahan dari Allah, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, dan Gema Insani, Jakarta, 1999.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar