Metode
Tafsir Maudhu’i (Tematik)
Manusia,
karena perbedaan metode yang digunakan, latar belakang kehidupan dan pendidikan
atau karena perbedaan intensitas dan ekstensitas wawasan mufassir. Namum dapat
kita prediksi betapa hal-hal yang kontradiktif dan perbedaan pendapat tadi
merupakan sumber penyakit dan merupakan pangkal kehancuran bagi umat Ialam. Oleh
karena itu, kita perlu memiliki atau memilih metode penafsiran yang dapat
dipandang memuaskan, tanpa memastikan bahwa hasil penafsiran itu adalah
benar-benar sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah swt.Dari hasil
penafsiran Alquran bukanlah semuanya merupakan “kata putus” yang harus
diterima, tetapi sebagai perangkat yang membantu seseorang dalam memahami
maksud suatu ayat Alquran. Yang jelas untuk mengambil hasil penafsiran seorang
mufassir tidaklah bijaksana kalau diterima begitu saja atau disalahkan/dikritik
begitu saja, tanpa mengetahui dan meneliti metode tafsir yang digunakan oleh
mufassir. Pada akhir-akhir ini muncul berbagai metode tafsir ke permukaan yang
pada hakekatnya semua metode tersebut sebagai upaya mengungkap maksud-maksud
Alquran dalam menjawab permasalahan umat. Salah satu metode tafsir yang paling
populer akhir-akhir ini ialah metode tafsir maudhu’i (tematik). Dengan
penggunaan metode ini diharapkan dapat merupakan sebuah jawaban Alquran
terhadap berbagai masalah yang timbul atau paling tidak menambah perbendaharaan
dalam ulumul quran. Dikatakan dapat menjawab permasalahan umat, karena prosedur
kerja metode ini adalah mengambil berbagai ayat-ayat yang representatif dari
seluruh Alquran yang berhubungan dengan masalah yang dibahas. kemudian mufassir
melengkapi dirinya dengan berbagai macam ilmu tafsir, menghubungkan masalah
dengan interdiaipliner atau multidiaipliner, dan ditarik kembali kepada Alqur’an,
serta pada akhimya menemukan sebuah jawaban Alquran terhadap masalah yang sedang
dihadapi.
Untuk
tidak terlalu luas dalam pembahasannya, maka penulis membatasinya pada apa dan
bagaimana hakekat penafsiran dengan menggunakan metode tafsir maudhu’i. Dalam
analisisnya penulis menggunakan pola pikir deskriftif-kontekstual. Artinya adanya
kerja penggambaran obyek secara jelas, kemudian diadakan pemaknaan terhadap
teks dengan mencari kebermaknaan dengan melihat keterkaitan masa lampau, masa
kini, dan mendatang, atau mendudukkan antara yang sentral dengan yang perifer.
II.
PENGERTIAN TAFSIR MAUDIIU’ I
Kata
maudhu’i berasal dari bahasa arab yaitu maudhu’ yang merupakan isim
maf’ul dari fi’il madhi wadha’a yang berarti meletakkan, menjadikan,
mendustakan dan membuat-buat.[1] Arti maudhu’i yang dimaksud di sini ialah
yang dibicarakan atau judul atau topik atu sektor, sehingga tafsir maudhu’i
berarti penjelasan ayat-ayat Alquran yang mengenai satu judul/topik/sektor
pembicaraan tertentu. Dan bukan maudhu’i yang berarti yang didustakan atau
dibuat-buat, seperti arti kata hadis maudhu’ yang berarti hadis yang
didustakan/dipalsukan/dibuat-buat.[2] Adapun pengertian tafsir maudhu’i (tematik)
ialah mengumpulkan ayat-ayat al-qur’an yang mempunyai tujuan yang satu yang
bersama-sama membahas judul/topik/sektor tertentu dan menertibkannya sedapat
mungkin sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya,
kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan,
keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain, kemudian
mengistimbatkan hukum-hukum.[3]
Menurut
al-Sadr bahwa istilah tematik digunakan untuk menerangkan ciri pertama bentuk
tafsir ini, yaitu ia mulai dari sebuah terma yang berasal dari kenyataan
eksternal dan kembali ke Alquran. la juga disebut sintesis karena merupakan
upaya menyatukan pengalaman manusia dengan alqur’an.[4]
Namun ini bukan berarti metode ini
berusaha untuk memaksakan pengalaman ini kepada Alquran dan menundukkan Alquran
kepadanya. Melainkan menyatukan keduanya di dalam komteks suatu pencarian
tunggal yang ditunjukkan untuk sebuah pandangan Ialam mengenai suatu pengalaman
manusia tertentu atau suatu gagasan khusus yang dibawa oleh si mufassir ke
dalam konteks pencariannya. Bentuk tafsir ini disebut tematik atas dasar
keduanya, yaitu karena ia memilih sekelompok ayat yang berhubungan dengan
sebuah tema tunggal. Ia disebut sistetis, atas dasar ciri kedua ini karena ia
melakukan sintesa terhadap ayat-ayat berikut artinya ke dalam sebuah pandangan
yang tersusun.
Menurut
al Farmawi bahwa dalam membahas suatu tema, diharuskan untuk mengumpulkan
seluruh ayat yang menyangkut terma itu. Namun demikian, bila hal itu sulit
dilakukan, dipandang memadai dengan menyeleksi ayat-ayat yang mewakili
(representatif).[5]
Dari
beberapa gambaran di atas dapat dirumuskan bahwa tafsir maudhu’i ialah upaya
menafsirkan ayat-ayat Alquran mengenai suatu terma tertentu, dengan
mengumpulkam semua ayat atau sejumlah ayat yang dapat mewakili dan
menjelaskannya sebagai suatu kesatuan untuk memperoleh jawaban atau pandangan
Alquran secara utuh tentang terma tertentu, dengan memperhatikan tertib
turunnya masing-masing ayat dan sesuai dengan asbabun nuzul kalau perlu.
III.
SEJARAH TAFSIR MAUDHU’I
Dasar-dasar
tafsir maudhu’i telah dimulai oleh Nabi SAW sendiri ketika menafsirkan ayat
dengan ayat, yang kemudian dikenal dengan nama tafsir bi al-ma’sur. Seperti
yang dikemukakan oleh al Farmawi bahwa semua penafsiran ayat dengan ayat bisa
dipandang sebagai tafsir maudhu’i dalam bentuk awal.[6]
Tafsir-tafsir
buah karya para ulama yang kita ketahui sampai sekarang ini kebanyakan masih
menggunakan metode tafsir al-tahlily yaitu menafsirkan ayat-ayat Alquran dalam
kitab-kitab mereka, ayat demi ayat, surat demi surat secara tertib sesuai
dengan urutan adanya ayat-ayat itu dalam mushaf, tanpa memperhatikan judul/tema
ayat-ayat yang ditafsirkan. Hal itu umumnya disebabkan (1) karena dahulu pada
awal pertumbuhan tafsir, mereka masih belum mengambil spesialisasi dalam
ilmu-ilmu pengetahuan tertentu, yang memungkinkan mereka untuk menafsirkan
ayat-ayat alqur’an secara tematik/topikal atau sektoral, (2) karena mereka
belum terdesak untuk mengadakan tafsir maudhu’i ini, disebabkan kebanyakan
mereka adalah orang-orang yang hafal seluruh ayat Alquran, dan sangat menguasai
segala segi ajaran lslam sehingga mereka mampu untuk menghubungkan ayat
satu dengan ayat yang lain yang sama-sama membicarakan judul/topik yang satu.[7]
Kalau
kita kembali melihat ke dalam sejarah kebudayaan Ialam bahwa pada permulaan
Ialam yaitu zaman Rasulullah dan masa sahabat, perhatian mareka terkonsentrasi
pada upaya penyiaran agama Ialam, menghadapi berbagai tantangan orang-orang non
muslim, menghafal dan pelestarian Alquran dan al-hadia, maka wajarlah kalau
tafsir maudhu’i belum berkembang pada masa itu seperti sekarang ini. Pada masa
sekarang ini para ilmuwan menghadapi permasalahan yang kompleks, sejalan
dengan perkembangan ilmu dan tehnologi, globaliaasi informasi, maka tafsir
maudhu’i semakin populer dan mutlak dibutuhkan. Karena Alquran harus
dijadikan sebagi pedoman, petunjuk, rahmat, tempat berkonsultasi baik bersikap
maupun dalam bertingkah laku dalam rangka menjalankan fungsi seseorang
berhubungan dengan Allah, sesama manusia dan alam. Maka segala sesuatu yang
diperoleh di dunia ini, prosesnya, materinya, perencanaannya, tujuannya,
hasilnya, semuanya itu haruslah menjiwai pesan-pesan Alquran. Dari sisi ini,
re-interpretasi atau mengkaji ulang terhadap penafsiran Alquran yang diberikan
para ulama dahulu, dengan metode tafsir maudhu’i mutlak diperlukan. Kalau
demikian halnya, maka akan lahir mufassir-mufassir baru yang selalu mengkaji
dan menafsir Alquran sejalan dengan keadaan dari masa ke masa.
Tafsir
maudhu’i lebih kompleks dan lebih tajam dibandingkan dengan tafsir tahlili
(analitis). Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh al-Sadr tentang perbedaan
antara tafsir maudhu’i dan tahlili yaitu (1) peran mufassir yang mempergunakan
tafsir tahlili umumnya pasif. Pertama-tama ia mulai dengan membahas sebuah
naskah Alquran tertentu, dimulai dari sebuah ayat atau kalimat, tanpa
merumuskan dasar-dasar pemikiran atau rencana terlebih dahulu, kemudian mencoba
untuk menetapkan pengertian Alquran dengan bantuan perbendaharaan al-qur’gn dan
berbagai indikasi yang ada padanya dalam naskah khusus tersebut ataupun yang di
luar itu. Secara umum usahanya terbatas pada penjelasan sebuah naskah Alquran
tertentu. Dalam hal ini, peran naskah serupa dengan si pembicara, dan tugas
pasif si mufassir ialah mendengarkan dengan penuh perhatian dengan pikiran yang
cerah dan jernih serta penguasaan atas bahasa arab, baik yang klasik, halus
serta gaya bahasa arab. Dengan pikiran dan semangat yang demikian mufassir
duduk menghadapi A1-qur’an dan mendengarkan dengan penuh perhatian peranannya
pasif sementara Alquran menonjolkan arti harfiahnya, si mufassir mencatatnya di
dalam tafsimya sampai pada batas pemahamannya. Kontras dengan hal ini, mufassir
yang memaki metode maudhu’i (tematiks) tidak memulai aktifitasnya dari naskah
Alquran, tetapi dari realitas kehidupan. la
memusatkan perhatiannya pada sebuah subyek tertentu dari berbagai masalah yang
berhubungan dengan aspek-aspek kehidupan sosial atua kosmilogi, dengan
menggunakan kumpulan hasil pemikiran dan pengalaman manusia tentang subyek
tersebut, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam pemecahan-pemecahan yang
dianjurkan sehubungan dengan masalah tersebut, dengan jurang pemisah di antara
keduanya. Setelah itu, ia kembali kepada naskah Alquran, namun tidak dalam
posisi sebagai seorang pendengar pasif dan seorang pencatat. la menempatkan sebuah topik dan masalah yang ada dari sejumlah
pandangan dan gagasan manusia dihadapan Alquran. Dengan begitu ia mulai sebuah
dialog dengan Alquran, di mana si mufassir bertanya dan Al-qur’an memberikan
jawabannya.[8]
Dalm metode tafsir maudhu’i si mufassir mengkaji topiknya dengan
menghubungkannya dalam batas-batas kemampuannya, dengan pengalaman intelektual
manusia yang tidak sempurna sebagaimana yang diwakili oleh pandangan-pandangan
berbagai pemikir baik yang benar maupun tidak benar dengan menggunakan
pemikiran-pemikiran tersebut sebagai alat bantu untuk memecahkan masalah yang
dihadapinya. Kemudian kembali menyimpan hasil pencariannya, ia kembali kepada
Alquran, tidak sebagai pendengar yang pasif tetapi sebagi seseorang yang
memasuki suatu dialog. Dengan semangat pencarian dan kontemplatif, ia bertanya
kepada Alquran yang dimulai dengan naskah-naskah Alquran mengenai subyek
kajiannya. Tujuannya di sini ialah menemukan pandangan Alquran mengenai subyek
kajian dan sampai pada satu kesimpulan yang diilhami oleh naskah, sambil
membandingkannya dengan gagasan-gagasan dan pandangan-pandangan yang
berhubungan dengan subyek tersebut. Dengan demikian, perbedaan mendasar
yang pertama antara tafsir tahlili dan maudhu’i ialah bahwa dalam metode yang
pertama si mufassir pasif, pendengar sambil membuat catatan yang tidak demikian
dengan metode yang kedua. Tafsir maudhu’i ialah meletakkan warisan intelektual
dan pengalaman manusia sebagaimana juga pemikiran kontemporer di hadapan
Alquran, untuk mencari pandangan Alquran tentang subyek kajian yang dibahas.
Selanjutnya al-Sadr mengemukakan bahwa perbedaan kedua (2) bahwa tafsir maudhu’i
selangkah lebih maju dari pada tafsir tahlili. Tafsir tahlili membatasi dirinya
pada pengungkapan arti ayat-ayat Alquran secara terperinci, sementara tafsir
tematik menuju pada sesuatu yang lebih dari itu dan mempunyai lingkup pencarian
yang lebih luas. la berusaha mencari tata hubungan
antara ayat-ayat yang berbeda, yang perincian masing-masing ayatnya telah
disediakan oleh metode analitik, untuk mencapai kepada sebuah susunan pandangan
Alquran yang utuh, yang di dalam kerangka kerja tersebut masing-masing ayatnya
mempunyai tempat sendiri. Inilah apa yang kita sebut sebagi pandangan atau cara
pandang. Metode tematik berupaya, miksimal untuk sampai pada pandangan
A1-qur’an tentang nubuwwah, pandangan Alquran sehubungan dengan teori ekonomi,
pandangannya tentang hukum-hukum yang membentuk jalannya sejarah dan
pandangannya tentang kosmologi. Dengan demikian, tafsir maudhu’i satu tahap
lebih maju dari pada tafsir tahlili, dan bertujuan untuk sampai pada suatu
susunan pandangan yang mewakili sikap Alquran tentang sebuah tema tertentu dari
berbagai ayat idiologi, sosial dan kosmologi.[9] Keutuhan antara naskah Alquran dan pengalaman
manusia yang mana mufassir mondar-mandir berdialog dan berfikir antara Alquran
membela kepentingan manusia dan Alquran sebagai wahyu Allah akan besar
kemungkinan dapat menjawab masalah umat manusia.
IV.
URGENSI TAFSIR MAUDHU’I
Bila
dicermati, dalam metode tafsir maudhu’i akan diperoleh pengertian bahwa metode
ini merupakan usaha yang berat tetapi teruji. Dikatakan berat, karena mufassir
harus mengumpulkan ayat dalam satu tema dan hal-hal yang berhubungan dengan
tema tersebut. Dikatakan teruji, karena memudahkan orang dalam menghayati dan
memahami ajaran Alquran, serta untuk memenuhi menyelesaikan berbagai masalah
yang timbul di zaman ini. Begitu pentingnya metode ini, Abdul Djalal
menyebutkan faedah metode ini yaitu (1) akan mengetahui hubungan dan
persesuaian antara beberapa ayat dalam satu judul bahasan, sehingga bisa
menjelaskan arti dan maksud-maksud ayat-ayat A1-qur’an dan petunjuknya,
ketinggian mutu seni, sastra dan balghahnya. (2) akan memberikan pandangan
pikiran yang sempurna, yang bisa mengetahui seluruh nash-nash Alquran mengenai
topik tersebut secara sekaligus, sehingga ia bisa menguasai topik tersebut
secara lengkap. (3) menghindari adanya pertentangan dan menolak tuduhan yang
dilontarkan oleh orang-orang, yang mempunyai tujuan jahat terhadapAlquran,
seperti dikatakan bahwa ajara Alquran bertentangan dengan ilmu pengetahuan, (4)
lebih sesuai dengan selera zaman sekarang yang menuntut adanya penjelasan
tuntutan-tuntutan Alquran yang umum bagi semua pranata kehidupan sosial dalam
bentuk peraturan-peraturan dan perundang-undangan yang sudah difahami,
dimanfaatkan dan diamalkan, (5) mempermudah bagi para muballigh dan penceramah
serta pengajar untuk mengetahui secara sempurna berbagai macam topik dalam
Alquran, (6) akan bisa cepat sampai ke tujuan untuk mengetahui atau mempelajari
sesuatu topik bahasan aI-qur’an tanpa susah payah, (7) akan menarik orang untuk
mempelajari, menghayati dan mengamalkan isi Alqur’an, sehingga Insya Allah
tidak ada lagi semacam kesenjangan antara ajaran-ajaran Alquran dengan pranata
kehidupan mereka. (8) silabi pelajaran tafsir di madrasah-madrasah dan silabi
mata kuliah tafsir di fakultas-fakultas, bisa dijabarkan dalam buku-buku
pelajaran sehingga menunjang pendidikan yang merupakan program nasional.[10]
Menurut al-Zahabi bahwa telah terjadi kesalahan pada tafsir bi al-ro’yu antara
lain (1) kecenderungan mufassir terhadap makna yang diyakininya tanpa melihat
petunjuk dan penjelasan yang dikandung dalam lafaz-lafaz alqur’an tersebut,
dan (2) kecenderungan mufassir untuk semata-mata memperhatikan lafaz dan
maknanya yang bisa difahami oleh penutur bahasa Arab tanpa memperhatiakn apa
yang sebenarnya dikehendaki oleh yang berbicara dengan Alqur’an tersebut, yang
dibicarakan olehNya dan konteks kalimatnya.[11]
Oleh karenanya oleh Mursi Ibrahi mmengemukakan bahwa perlunya mufassir
mengumpulkan nash-nash Alquran yang berhubungan dengan judul yang dibahas.[12]
Dari sini kita melihat bahwa tafsir maudhu’i itu penting artinya. Disamping
banyak faedah tafsir maudhu’i, juga terdapat kekeliruan menafsirkan Alquran
yaitu karena dalam menafsirkannya hanya mengambil parsial ayat, juga tafsir
dengan metode ini semakin penting melihat banyaknya penyusupan konsep-konsep
asing dalam kosa kata, yang menimbulkan kerancuan dalam pengetahuan tentang
Ialam serta pandangan di kalangan umat Ialam, dan pada masa sekarang tidak
banyak umat Ialam yang hafal Alqur’an, maka besar kemumgkinan terjadinya
pemahaman ayat tidak sejalan dengan ayat-ayat lainnya. Sebagaimana dikemukakan
oleh Farmawi bahwa tafsir ini dapat menghindarkan terjadinya pendapat-pendapat
yang saling bertentangan dan subhat-subhat yang diciptakan oleh oarang-orang
yang mempunyai tujuan tertentu.[13]
Telah
muncul beberapa kitab atau makalah yang dalam penafsirannya dengan memakai
tafsir maudhu’i atau sedikit-dikitnya mendekati penerapan tafsur ini, antara
lain:
- Abu A’la al-Maududi, al-Riba fi Alquran al-Karim.
- Abu Ibrahim Musa, al-Insan fi Alquran al-Karim.
- Abbas al-Aqqad, al-Mar’ah fi Alquran al-Karim.
- M. Quraiah Shihab, “Penafsiran Khalifah dengan Metode Tematik”, dalam Membumikan AI-Qur’ an.
- M. Quraiah Shihab, Tafsir al-Mishbah.
- Jalaluddin, Konsep Perbuatan Manusia menurut Alquran (Suatu Kajian Tafsir Tematik dan sudah menjadi buku).
- Maragustam Siregar, Ummat Menurut AI-Qur’an (Tinjauan Tafsir Maudhu’i), berupa makalah.
- Prof. Dr. H. Maragustam Siregar, M.A. Ide-ide sentral Syekh Nawawi al-Bantani tentang Pendidikan Islam (disertasi dan sudah menjadi buku).
- Abd. Mun’im Salim, Dr., Fiqh Siyasah Konsep Kekuasaan Politik Dalam AlQuran, Manajemen PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994 (disertasi).
V.
OPERASIONALIAASI KERJA TAFSIR MAUDRU’I
Menurut
al-Farmawi bahwa ada tujuh langkah dalam sistimatika tafsir maudhu’i.[14] Kemudian tujuh langkah tersebut dikembangkan
oleh M. Quraiah Shihab yaitu:
- menetapkan masalah yang akan dibahas
- menghimpun seluruh ayat-ayat At-qur’an yang berkaitan dengan masalah tersebut
- menyusun urut-urutan ayat terpilih sesuai dengan perincian masalah dan atau masa turunnya, sehingga terpisah antara ayat Makkiy dan Madaniy. Hal ini untuk memahami unsur pentahapan dalam pelaksanaan petunjuk-petunjuk Alquran
- mempelajari/memahami korelasi (munasabaat) masing-masing ayat dengan surah-surah di mana ayat tersebut tercantum (setiap ayat berkaitan dengan terma sentral pada suatu surah)
- melengkapi bahan-bahan dengan hadis-hadis yang berkaitan dengan masalah yang dibahas
- menyusun autline pembahasan dalam kerangka yang sempurna sesuai dengan hasil studi masa lalu, sehingga tidak diikutkan hal-hal yang tidak berkaitan dengan pokok masalah
- mempelajari semua ayat yang terpilih secara keseluruhan dan atau mengkompromikan antara yang umum dengan yang khusus, yang mutlak dan yang relatif, dan lain-lain sehingga kesemuanya bertemu dalam muara tanpa perbedaan atau pemaksaan dalam penafsiran
- menyusun kesimpulan penelitian yang dianggap sebagai jawaban Alquran terhadap masalah yang dibahas.[15]
Contoh:
Potensi-potensi manusia dalam Alquran (masalahnya apa jawaban Alquran tentang
potensi-potensi manusia, (2) mencari kata kunci yakni kata aql, qalb, nafs,
ruuh, jasad, dan lain-lain, (3) diantara sekian ayat dipilih yang mewakilinya
dan ditertibkan sesuai dengan Makkiyah Madaniyahnya, (4) melengkapi bahan-bahan
dari hadis, (5) menyusun outline penelitian, (6) mempelajari secara seksama,
dengan ilmu-ilmu yang dikuasai dan dapat memakai tafsir bil ma’tusr, tahlili
atau lainnya, (7) menyusun hasil penelitian sebagai jawaban Alquran terhadap
tema yang dibahas).
Dengan
memperhatikan kompleksnya pembahasan proses kerja dalam penerapan metode tafsir
maudhu’i, maka membutuhkan seorang mufassir yang betul-betul berwawasan luas
maka keilmuannya terutama ketika meneliti berbagai ayat yang berhubungan dengan
tema dan memilihnya secara representatif. Di samping seorang mufassir tabu
tentang perangkat ulum Alquran terutama ilmu munasabah, asbab al-nuzul (kalau
ada), tafsir bi al-ma’tsur, ilmu bahasa arab, juga si mufassir harus bersikap
hati-hati dan tekun.
Oleh
karena itu begitu urgensinya penerapan metoda ini dalam rangka mencari solusi
jawaban Alquran terhadap permasalahan umat, maka setiap mufassir seharusnya
melengkapi dirinya perangkat penerapan metode ini sehingga hasilnya dapat
memuaskan.
Kalau
dilihat dari kompleksnya operasionaliaasi kerja metode tafsir ini akan dapat
menjawab permasalahan umat atau paling tidak akan lebih mendekati kebenaran
yang dikehendaki oleh Allah swt. Karena metode ini di samping membiarkan
ayat-ayat Alquran berbicara dengan dirinya sendiri, mencakup pendapat para
sahabat, tetap memakai hadis-hadis Nabi, juga meng-sintesakannya dengan
pengalaman kemanusiaan.
VI.
RINGKASAN
Dari
berbagai pembahasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa metode tafsir
maudhu’i adalah suatu metode yang cara kerjanya mengumpulkan ayat-ayat Alquran
yang mempunyai tujuan yang satu yang bersama-sama membahas judul/topik/sektor
tertentu dan menertibkannya sedapat mungkin sesuai dengan masa turunnya selaras
dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan
penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan
ayat-ayat lain, kemudian mengistimbatkan hukum-hukum. Dalam penerapannya ada
beberapa langkah yang harus ditempuh oleh si mufassir antara lain menetapkan
masalah yang akan dibahas, menghimpun seluruh ayat-ayat yang terkait dengan
masalah, menyusun urut-urutan ayat terpilih, memahami korelasi masing-masing
ayat dengan surah-surah dan lain-lain. Melihat kompleksnya cakupan ilmu yang
menjadi penopangnya maka besar kemungkinan akan dapat menjawab masalah umat,
atau paling tidak mendekati kebenaran yang ditunjuk oleh Alqur’an. Demikialah
makalah ini dibuat, semoga ada manfaatnya.
Yogyakarta,
10 Januari 2011
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul
Djalal, Urgensi Tafsir Maudhu’i Pada Masa Kini, Kalam Mulia, Jakarta,
1990.
Abdullah,
Taufiq dan Karim, Rush (ed), Metodologi Penelitian Agama, Tiara Wacana,
Yogyakarta, 1989.
Bayumi,
al, Mursi Ibrahim, Dirasat fi al-Tafsiir al-Maudhu’i , Dar al-Taudiwiyah
fi al-Tabaah, Kairo, 1970.
Dzahabi,
al, Muhammad Husein, Al-Tafsir wa al-Mufassiruun, Jilid I, Dar al-Kutub
al-Haditsah, tt.p. 1978.
Dzahabi,
Penyimpangan-penyimpangan dalam Penafsiran Alquran, Rajawali, Jakarta,
1986.
Farmawi
al, Abd al-Hayy, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’i, Matba’ah al-Hadarah
al-’Arabiyah, Kairo, 1977
Ibrahim,
Muahammad lamail, Mu’jam alAlfaz wa al-A’lam Alquraniyah, Dar al-`Ulum,
Kairo, 1968.
Ma’luf,
Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A ‘lam, Dar al-Masyriq, Beirut, 1987.
Musa,
Muhammad, Qamus Qur’ani, Khazanah Ibrahim, Iakandariyah, 1966.
Sadr
al, Muhammad Baqir, ” Pendekatan Tematik Terhadap Tafsir Alquran “, dalam
Ulumul Qur’an, Vol I, No. 4, 1990.
[1]Luia
Ma’luf, Al Mun jid fr al-Lughah wa al-A ‘lam, Dar al-Masyriq, Beirut,
1987, hal. 905.
[2]
Abdul Djalal, Urgensi Tafsir Maudlin’i Pada Masa Kini, Kalam Mulia, Jakarta,
1990, hal. 83-84.
[3]Farmawi
al, Abd al-Hayy, Mu jam al-Alfaz wa al-a’lam al-Our’aniyah, Dar
al-`ulum, Kairo, 1968, hal. 52.
[4]
Sadr at, Muhammad Baqir, “Pendekaian Temalik Terhadap Tafsir AI-Qur’an “,
dalam Ulumul Quan, Vol I, No. 4, 1990, hal. 34.
[5]Farmawi
al, Abd al-Hayy, AI-Bidayah.fi al-Tafsir al-Maudhu’i, Matba’ah
al-Hadarah al`Arabiyah, Kairo, 1977, hal. 62.
[6]
Ibid., hal. 54.
[7]Abdul
Djalal, Urgensi Tafsir Maudlin ’1 Pada Masa Kini, Kalam Mulia, Jakarta,
1990, hal. 89.
[8]Sadr
at, Muhammad Baqir, “Pendekaian Temalik Terhadap Tafsir AI-Qur’an “, dalam
Ulumul Qur an, Vol I, No. 4, 1990, hal. 32-33.
[10]
Abdul Djalal, Urgensi Tafsir Maudlin ‘i Pada Masa Kini, Kalam
Mulia, Jakarta, 1990, hal. 101-102.
[11]
Zahabi, at, Muhammad Husein, AI-Tafsir wa al-Mufassiruun, Jilid 1, Dar
al-Kutub al Haditsah, tt.p. 1978, hal. 14.
[12]
Bayumi, al, Mursi Ibrahim, Dirasat fi al Tafsiral-Maudhu’1, Dar
al-Taudiwiyah fi al-Tabaah, Kairo, 1970, hal.14.
[13]Farmawi
al, Abd al-Hayy, Al Bidayah fr al-Tafsir al Maudhu ‘i, Matba’ah
al-Hadarah al-Arabiyah, Kairo, 1977, hal.6.
[14]
Ibid., hal. 61-62.
[15]
Abdullah, Taufiq dan Karim, Rush (ed), Metodologi Penelitian Agama, Tiara Wacana,
Yogyakarta, 1989, hal. 141.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar