INFO PROFIL

Foto saya
JENTREK ROJOIMO WONOSOBO, jawa tengah indonesia, Indonesia
Ya Allah jadikan kami manusia yang bisa keluar dari belenggu “kemunafikan”. Bimbing kami untuk tidak mengoreksi orang lain sebelum diri ini terkoreksi ya Rabb. Jadikan kami manusia yang jujur dan tidak pernah membohongi diri sendiri apalagi orang lain. kepadaMulah kami berserah ya Allah, kepadaMulah kami bermohon karena tanpa kehendakMu kami tidak bisa berbuat apa-apa Affannur Jentrek rojoimo wonosobo . lahir13 Agustus 1989

Rabu, 20 Januari 2010






“Ingatlah ketika Luqman berkata kepada putranya sambil ia memberi pelajaran, “Hai anakku ! Janganlah menyekutukan Allah; menyekutukan Allah sungguh suatu kedzaliman yang besar”.

4. Nahi bermakna doa, seperti pada QS [2] : 286 :

“Ya Tuhan kami, janganlah menghukum kami jika kami lupa atau melakukan kesalahan; Ya Tuhan kami, janganlah memikulkan kepada kami suatu beban berat seperti yang Engkau bebankan kepada orang yang sebelum kami; Ya Tuhan kami, janganlah memikulkan kepada kami beban yang tak mampu kami pikul”.

5. Nahi bermakna bimbingan, seperti pada QS [5] : 101 :

“Hai orang yang beriman! Janganlah tanyakan sesuatu, yang bila diterangkan menyusahkan kamu”.

6. Nahi menegaskan keputusasaan, seperti pada QS [66] : 7 :

“Hai orang-orang kafir! Janganlah kamu berdalih hari ini! Balasan yang akan kamu peroleh hanyalah atas apa yang kamu kerjakan”.

7. Nahi untuk menenteramkan, seperti pada QS [9] : 40 :

“Jangan sedih, Allah beserta kita”.

16. Kaidah Wujuh (banyak makna) – Nazha’ir (satu makna)

Wujuh adalah satu kata yang mempunyai banyak makna, sedangkan nazha’ir adalah kata yang hanya mempunyai satu makna yang tetap.

Muqatil bin Sulaiman meriwayatkan yang disandarkan kepada Nabi : “Seseorang tidak akan benar-benar paham Al-Qur’an sebelum dia mengetahui makna yang beragam (wujuh) dari Al-Qur’an”.

Ibnu ‘Asakir meriwayatkan sebuah hadits yang berasal dari Hammad Zaid, dari Ayyub, dari Abu Qalabah, dari Abu Darda’ : ”Sesungguhnya engkau tidak akan benar-benar paham Al-Qur’an sebelum engkau mengetahui makna-makna Al-Qur’an dalam berbagai ragam”.

Diantara lafazh-lafazh yang termasuk dalam kategori wujuh adalah kata “al-huda”. As-Suyuthi mengemukakan tujuh belas arti kata tersebut dalam berbagai tempat sebagai berikut :

1. Tsabat, tetap teguh

“Teguhkanlah kami pada jalan yang lurus” (QS Al-Fatihah [1] :6).

2. Al-bayan, menjelaskan

“Merekalah yang berada dalam penjelasan tuhan dan mereka yang akan berhasil” (QS Al-Baqarah [2] : 5).

3. Ad-dien, agama

“Katakanlah, ‘Agama yang benar ialah agama’ “. (QS [3] : 73).

4. Iman

“Dan Allah menambah keimanan kepada mereka yang telah dikaruniai iman” (QS [19] : 76).

5. Ad Du’a, seruan

“Dan orang-orang kafir berkata : “Mengapa tidak diturunkan kepadanya sebuah ayat dari Tuhannya ?” Tetapi engkau adalah seorang pemberi peringatan, dan pada setiap golongan ada seorang penyeru” (QS [13] : 7).

6. Rasul dan kitab

“Kami berfirman : “Turunlah kamu sekalian dari sini. Maka apabila datang kepadamu Rasul dan kitab Aku, siapapun mengikuti Rasul dan kitab-Ku tak ada kekhawatiran dan tak perlu sedih” (QS [2] : 38).

7. Al-Ma’rifah, pengetahuan

“Dan dia memancangkan diatas bumi gunung-gunung supaya tidak menggoyangkan kamu dan sungai-sungai serta lorong-lorong supaya kamu mendapat petunjuk. Dan rambu-rambu dan dengan bintang-bintang mereka mengetahui” (QS [2] : 159).

8. Nabi Muhammad

“Mereka menyembunyikan segala keterangan (ayat-ayat) dan Nabi yang kami turunkan setelah dijelaskan dalam kitab kepada manusia, mereka mendapat laknat Allah dan laknat mereka yang berhak melaknat.” (QS [2] : 159).

9. Al-Qur’an

“Itu hanya nama-nama yang kamu buat-buat sendiri, kamu dan moyang kamu, Allah tidak memberi kekuasaan itu. Apa yang mereka ikuti hanyalah dugaan dan yang menyenangkan nafsu sendiri. Padahal Al-Qur’an dari Tuhan sudah sampai kepada mereka.” (QS [53] : 23).

10. Taurat

“Dahulu telah kami berikan kepada Musa Taurat. Dan kami wariskan Kitab itu kepada Bani Israil.” (QS [40] : 53).

11. Al-Istirja’, mohon perlindungan

“Mereka berkata, bila ditimpa musibah “Inna lillahi wa ‘inna ilaihirojiun” Kami milik Allah dan kepadaNya pasti kami kembali. Mereka itulah yang mendapat karunia dan rahmat dari Tuhan dan mereka itulah yang memohon perlindungan” (QS Al-Baqarah [2] : 156-157).

12. Al Hujjah, argumen

“Tidakkah tergambar olehmu orang yang berdebat dengan Ibrahim tentang Tuhannya karena ia telah diberi kekuasaan ? Ibrahim berkata , “Tuhanku Yang menghidupkan dan Yang mematikan.” Ia berkata : “Akulah yang membuat hidup dan membuat mati.” Ibrahim berkata, “Tapi Allah Yang menyebabkan matahari terbit dari Timur. Terbitkanlah kalau begitu, dari Barat.” Orang yang ingkar itu terkejut. Allah tidak memberi argumen kepada orang-orang yang zalim.” (QS Al-Baqarah [2] : 156-157).

13. Tauhid

“Mereka berkata, “Jika kami akan mengikuti ajaran tauhid bersamamu, tentulah kami akan diusir dari tanah kami”. (QS [28] : 57).

14. Sunnah, pedoman perilaku

“Ataukah sudah Kami beri kitab kepada mereka sebelum itu, lalu mereka jadikan pegangan ? Bahkan mereka berkata, “Kami sudah melihat leluhur kami sudat menganut suatu agama, dan kami berpedoman pada mereka.” (QS [43] : 21-22).

15. Al-ishlah, pembenaran

“Itulah supaya ia tahu bahwa aku tidak mengkhianatinya ketika ia tak ada, dan Allah tidak membenarkan tipu muslihat para pengkhianat.” (QS [12] : 52)

16. Ilham

“Ia berkata : “Tuhan kami ialah Yang telah memberikan setiap suatu (ciptaan) bentuk dan kodratnya, kemudian mengilhaminya.” (QS [20] : 50)

17. Taubat

“Dan tetapkanlah untuk kami kehidupan yang baik, didunia dan diakhirat. Sungguh kami bertobat kepadaMu, Ia berfirman, “Azabku akan menimpa siapa-siapa yang Kukehendaki dan rahmatKu meliputi segala sesuatu. Dan akan Kutetapkan (rahmatKu) untuk mereka yang bertaqwa dan yang mengeluarkan zakat serta mereka yang beriman kepada ayat-ayat kami.” (QS [7] : 156)

Kata-kata lain yang termasuk wujuh adalah su’, shalat, rahmah, fitnah, ruh, dzikr, din, du’a.

Sedangkan contoh nazha’ir adalah kata “al-barru” yang selalu bermakna darat dan “al-bahru” yang selalu bermakna laut. Misalnya dalam ayat :

1. QS Al-An’am [6] : 59

“Dia mengetahui apa yang didarat dan dilaut.”

2. QS Yunus [10] : 22

“Dialah yang memungkinkan kamu menjelajahi daratan dan lautan.”

3. QS Al-Isra’ [17] : 70

“Kami telah memberi kehormatan kepada anak-anak Adam; Kami lengkapi mereka dengan sarana angkutan di darat dan di laut.”

Fenomena wujuh dalam Al-Qur’an merupakan fenomena kewahyuan, dimana seorang pembaca Al-Qur’an akan mendapatkan bahwa ayat-ayatnya menampakkan ‘wajah’ nya dari perpekstif dan latar belakang ia membacanya, seperti permukaan berlian yang memberikan cahaya yang beragam dari semua sudut pandang yang berbeda-beda.

17. Kaidah Isim (kata benda) – Fi’il (kata kerja)

Menurut As Suyuthi, isim menunjukkan tetapnya keadaan dan kelangsungannya. Sedangkan fi’il menunjukkan timbulnya sesuatu yang baru dan terjadinya suatu perbuatan. Masing-masing kata tersebut mempunyai tempat tersendiri yang tidak bisa dipertukarkan satu dengan yang lain untuk tetap menghadirkan makna yang sama. Hakikat makna yang dikandung ayat berbeda, dengan perkataan kata yang digunakan.

A. Beberapa contoh ayat yang menggunakan isim :

1. QS Al-Kahfi [18] : 18 :

“Engkau mengira mereka bangun, padahal mereka tidur dan kami bolak-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri; anjing mereka merentangkan kedua kaki depannya diambang pintu. Kalau engkau melihat mereka, tentu engkau akan berbalik lari dari mereka dan penuh rasa takut”.

Ayat tersebut menggambarkan tentang keadaan anjing ashabul kahfi ketika tidur didalam gua. Anjing itu dalam keadaan kaki terentang selama mereka tidur. Keadaan demikian diungkapkan dengan menggunakan isim (kata benda), tidak dengan fi’il (kata kerja). Penggunaan isim tersebut lebih menggambarkan tetapnya keadaan anjing sepanjang waktu itu.

2. QS Al Hujurat [49] : 15 :

“Orang-orang yang mukmin ialah yang beriman kepada Allah dan RasulNya dan tak pernah ragu berjuaang di jalan Allah dengan harta dan nyawa. Mereka itulah orang-orang yang tulus hati”.

Iman adalah hakikat yang harus tetap berlangsung atau ada, selama keadaan menghendaki, seperti halnya ketaqwaan, kesabaran dan sikap syukur. Penggunaan isim mu’minun menggambarkan keadaan pelakunya yang terus berlangsung dan berkesinambungan. Ia tidak terjadi secara temporer. Mukmin adalah sebutan untuk orang yang keberadadannya senantiasa diliputi iman.

B. Beberapa contoh ayat yang menggunakan fi’il :

1. QS Al-Baqarah [2] : 274 :

“Mereka yang menyumbangkan harta, siang dan malam, dengan sembunyi atau terang-terangan, pahala mereka pada Tuhan. Mereka tak perlu khawatir dan tak perlu sedih”.

Kata yunfiqun (meng-infaq-kan) pada ayat diatas menunjukkan keberadaannya sebagai tindakan yang bisa ada dan bisa juga tidak, sebagai sesuatu yang temporal. Manakala seseorang melakukan pekerjaan ituia berolah pahala dan jika meninggalkan ia tidak memperolah pahala.

2. QS Asy-Syu’ara’ [26] : 78-82 :

“Yang menciptakan aku, dan Dialah Yang membimbingku; Yang memberi aku makan dan minum. Dan bila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku; Yang akan membuatku mati, dan kemudian menghidupkan aku (kembali). Dan kuharapkan mengampuni dosa-dosaku pada hari perhitungan”.

Isim khalaqa dalam ayat tersebut menunjukkan telah terjadi dan selesainya penciptaan pada waktu yang lampau, sedang fi’il yahdi dan lain-lainnya dalam rangkaian ayat tersebut menunjukkan terus berlangsungnya perbuatan itu waktu demi waktu berangsur-angsur hingga sekarang.

18. Kaidah Mufrad (tunggal) – Jamak (berbilang)

Mufrad adalah sebutan untuk kata benda (isim) yang menunjukkan satu atau tunggal. Sedangkan Jamak adalah sebutan untuk kata benda (isim) yang berarti lebih dari satu atau banyak.

Kaidah Mufrad-Jamak dalam Al-Qur’an :

1. Kata yang selalu disebutkan dalam bentuk mufrad (tunggal) misalnya : ardh (bumi), shirath (jalan), nur (cahaya).

2. Kata-kata yang selalu disebutkan dalam bentuk jamak, misalnya : lubb-albab (orang orang yang memikirkan), kub-akwab (piala-piala).

3. Kata yang dipergunakan dalam bentuk mufrad dan jamak untuk maksud atau konteks yang berbeda. Kata-kata tersebut antara lain : Sama’ – samawat, rih – riyah, sabil – subul, maghrib –magharib, masyriq – masyariq.

Kata sama’ dalam bentuk jamak adalah untuk menyebut bilangan atau untuk menunjukkan betapa luasnya. Dan dalam bentuk mufrad jika yang dimaksud adalah arah atas, sebagai lawan bawah.

Kata rih biasanya disebutkan dalam bentuk mufrad jika digunakan dalam konteks azab dan digunakan dalam bentuk jamak jika digunakan dalam konteks rahmat.

Kata sabil disebutkan dalam bentuk mufrad, jika digunakan dalam konteks kebenaran dan disebutkan dalam bentuk jamak jika untuk jalan kesesatan.

Kata masyriq dan maghrib dimufradkan untuk menunjukkan arah, di jamak kan jika menunjukkan dua tempat terbit dan dua tempat terbenam, yakni musim dingin dan musim panas. Dijamakkan karena keduanya adalah tempat terbit dan tempat terbenam setiap hari.

19. Kaidah Dhamir (Kata Ganti), Tadzkir (penunjuk laki-laki) dan Ta’nits (penunjuk perempuan).

Dhamir (kata ganti) berfungsi untuk menghindari pemborosan kata-kata, mempersingkat perkataan, tanpa mengubah maknanya, contohnya :

“Sungguh, laki-laki dan perempuan mukmin, laki-laki dan perempuan yang taat, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, tabah, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatan, laki-laki dan perempuan yang banyak mengingat Allah, bagi mereka Allah menyediakan ampunan dan pahala yang besar” (QS 33 : 35)

kata “hum” yaitu “mereka” pada akhir ayat menggantikan 25 kata yang disebutkan sebelumnya. Dhamir mempunyai kata yang digantikan yang disebut isim zhahir (kata yang disebutkan dengan jelas) dan isim marji’ (tempat kembali).

Dhamir terdiri atas tiga macam :

1. Kata ganti orang pertama, menggunakan dhamir mutakallim.

2. Kata ganti orang kedua, menggunakan dhamir mukhatab.

3. Kata ganti orang ketiga, menggunakan dhamir ghaib.

Tadzkir (penunjuk laki-laki) adalah kata-kata yang menunjukkan jenis gender laki-laki (mudzakkar) dan ta’nits (penunjuk perempuan) adalah kata-kata yang menunjukkan jenis gender perempuan (mu’annats). Untuk mendalami masalah ini silahkan mempelajari ilmu nahwu (gramatika) Bahasa Arab.

20. Kaidah Ta’rif (Isim Makrifah) dan Tankir (Isim Nakirah)

Isim Makrifah adalah kata benda tertentu, mempunyai beberapa fungsi, antara lain :

1. Ta’rif dengan isim dhamir (kata ganti) untuk meringkas kalimat, contoh QS 33 : 35 : “Sungguh, laki-laki dan perempuan mukmin, laki-laki dan perempuan yang taat, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, tabah, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatan, laki-laki dan perempuan yang banyak mengingat Allah, bagi mereka Allah menyediakan ampunan dan pahala yang besar”.

2. Ta’rif dengan nama diri berfungsi untuk beberapa maksud :

a. Menghadirkan pemilik nama itu dalam hati pendengar dengan cara menyebut namanya yang khas, contoh QS 112 : 1-2 : “Katakanlah, Dia lah Allah, Yang Maha Esa, Allah Yang Kekal, Yang Mutlak”

b. Memuliakan atau mengungkap identitas, contoh QS 48 : 29 : “Muhammad adalah utusan Allah, orang-orang yang bersamanya bersikap keras terhadap orang-orang kafir, kasih-sayang antara sesamanya, akan kau lihat mereka rukuk dan sujud (dalam shalat), mencari karunia Allah dan ridhaNya”.

c. Menghinakan atau meremehkan, contoh QS 111 : 1 : “Binasalah kedua tangan Abu Lahab, binasalah dia”.

3. Ta’rif dengan isim isyarah (kata penunjuk), untuk maksud tertentu

a. Menjelaskan yang ditunjuk itu dekat, dengan kata penunjuk “hadza” atau “hadzihi”, contoh QS 31 : 11

b. Menjelaskan bahwa sesuatu yang ditunjuk itu jauh, dengan kata penunjuk : dzalika, tilka, ula’ika.

c. Menjelaskan keagungan yang ditunjuk dengan menggunakan kata penunjuk jauh : dzalika, contoh QS 2 : 2.

d. Menghinakan dengan kata penunjuk dekat, contoh QS : 29 : 64.

4. Ta’rif dengan isim maushul karena beberapa alasan :

a. Karena tidak disukai penyebutan namanya untuk menutupi atau merendahkan, contoh QS 46 : 17

b. Untuk menunjukkan umum, contoh QS 29: 69.

c. Untuk meringkas kalimat, contoh QS 33 : 69.

5. Ta’rif dengan alif dan lam, antara lain berfungsi untuk :

a. Menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui, karena sudah disebutkan sebelumnya.

b. Menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui oleh pendengar.

c. Menunjukkan hakikat makna secara keseluruhan.

d. Menunjuk seluruh pengertian yang tercakup didalamnya.

6. Ta’rif dengan idhafah, antara lain berfungsi sebagai berikut :

a. Memuliakan, contoh QS 15 : 42.

b. Menunjuk pengertian umum, contoh QS 35 : 3.

Isim Nakirah adalah kata benda tak tentu, digunakan untuk beberapa fungsi, antara lain sbb :

1. Menunjukkan tunggal, contoh QS Yasin [28] : 20 : “Dan seorang laki-laki datang tergesa-gesa dari ujung kota”. Kata “rajulun” maksudnya seorang laki-laki.

2. Menunjukkan ragam-macam, contoh QS Al-Baqarah [2] : 96 : “Sungguh akan kau dapati merekalah orang yang paling serakah ingin hidup”. Yaitu ragam kehidupan, mencari tambahan untuk masa depan.

3. Menunjukkan tunggal dan ragam sekaligus, contoh QS An-Nur [24] : 45 : “Allah menciptakan semua yang melata dari air”. Maksudnya, setiap macam dari segala macam binatang itu berasal dari suatu macam air dan setiap individu (satu) binatang itu berasal dari satu nutfah.

4. Mengagungkan atau memuliakan, contoh QS Al-Baqarah [2] : 279 : “Jika kamu lakukan, ketahuilah, suatu pernyataan perang dari Allah dan Rasulnya”. Kata “harb” berarti peperangan yang dahsyat .

5. Menunjukkan jumlah yang banyak, contoh QS Asy-Syu’ara’ [26] : 42 : “Setelah ahli-ahli sihir datang, mereka berkata kepada Fir’aun, “Tentu kami akan mendapat imbalan bila kami yang menang ?”. Kata “ajran” ialah pahala yang banyak.

6. Mengagungkan dan menunjukkan arti banyak sekaligus, contoh QS Fatir [35] : 4: “Kalau mereka mendustakan engkau, Rasul-Rasul sebelummu pun sudah didustakan dan kepada Allah segala persoalan dikembalikan”. Maksudnya, Rasul-Rasul yang mulia dan banyak jumlahnya.

7. Untuk merendahkan, contoh QS Abasa [80] : 18 : “Dari bahan apakah Ia menciptakan ? Dari setetes air mani. Ia menciptakan, lalu membentuknya menurut ukuran”.

8. Menyatakan jumlah yang sedikit, contoh QS At-Taubah [9] : 72 : “Allah menjanjikan kepada orang yang beriman, laki-laki dan perempuan (yaitu) taman-taman surga …. Dan keridlaan Allah lebih besar. Itulah kemenangan yang gemilang”. Artinya ridla Allah yang sedikit itu lebih besar daripada surga-surga yang ada, kerena merupakan pangkal kebahagiaan.

9. Menunjukkan pengertian umum jika nakirah tersebut mengandung unsur nafyi atau nahyi atau syarth atau istifham, contoh QS 82 : 19 : “Hari ketika tak seorang pribadi pun berkuasa atas pribadi yang lain dan segala urusan hari itu hanyalah semata pada Allah”. Kata nafs dalam ayat tersebut bersifat umum, siapapun orangnya sama, tidak dapat membantu orang lain.

21. Kaidah Hadzful Ma’ful (membuang obyek kalimat)

Kaidah hadzful ma’ful adalah pembuangan obyek dalam kalimat. Apabila suatu kata kerja (fi’il) atau yang mengandung arti kata kerja, dihubungkan dengan suatu obyek tertentu, pengertiannya menjadi terbatas hanya pada kata yang berkaitan. Akan tetapi jika obyek kata itu ditinggalkan (tidak disebutkan) maka kata tersebut mengandung pengertian yang lebih luas dan umum.

Contoh-contoh :

1. QS Al-alaq [96] : 1-3

“Bacalah dengan nama Tuhanmu dan Penjagamu yang menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah beku. Bacalah dan Tuhanmu Maha Pemurah.”

Dalam ayat diatas setelah kata ‘Bacalah’ tidak ditemukan obyek (ma’ful). Padahal lazimnya kata kerja memerlukan obyek atau sasaran yang dikenai pekerjaan.

Suatu kaidah dari hadzful ma’ful adalah bahwa satu kata yang dalam susunan redaksinya tidak menyebutkan obyeknya, maka obyek yang dimaksud bersifat umum, mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh kata tersebut. Dalam contoh diatas, kata ‘bacalah’ mencakup segala yang dapat dibaca baik yang tersirat (tulisan) maupun yang tersurat (tanda-tanda/gejala alam semesta).

2. QS An Nahl [16] : 43

“Maka bertanyalah kepada ahl dzikr (ahli ilmu).”

Kata ‘bertanyalah’ diatas tidak dijelaskan obyeknya, bertanya tentang apa. Jadi diperintahkan bertanya mengenai segala sesuatu yang belum diketahui.

22. Kaidah Istifham (pertanyaan mencari pemahaman)

Istifham adalah mencari pemahaman tentang sesuatu hal yang belum diketahui.

Kata tanya (adatul istifham) terbagi dalam dua kategori :

a. Huruf istifham, berupa hamzah dan hal yang artinya apakah.

Huruf hamzah, digunakan untuk menanyakan tentang apa atau siapa yang jawabannya memerlukan ya atau tidak, seperti pada QS [5] : 116 :

“Dan ingatlah ketika Allah berfirman, “Hai Isa putra Maryam! Engkaukah yang berkata kepada orang : Sembahlah aku dan ibuku sebagai tuhan selain Allah ?” Ia berkata, “Maha suci Engkau! Tidak sepatutnya aku mengatakan apa yang bukan menjadi hakku”.

Lafazh hal, adalah kata tanya untuk konfirmasi, yang memerlukan jawaban : Ya atau tidak, seperti pada QS [76] : 1 :

“Bukankah sudah berlalu pada manusia masa yang panjang dari waktu ketika dia bukan apa-apa (bahkan) tidak disebut-sebut ?”.

b. Isim istifham, yaitu semua kata tanya selain yang nomor 1, yaitu : apa (ma), siapa (man), bagaimana (kaifa), kapan (mata), bilamana (ayyana), dari mana (anna), berapa (kam), dimana (aina), apa, siapa (ayyu)

a. Lafazh ma (apa), digunakan untuk menanyakan sesuatu yang tak berakal, seperti pada QS [74] : 42-43 :

“Apa yangmembawa kamu kedalam api neraka ?” Mereka berkata , “Kami tidak termasuk golongan orang yang shalat.”

b. Lafazh man (siapa), untuk menanyakan makhluk berakal, seperti pada QS [2] : 245 :

“Siapakah yang hendak meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, yang akan Ia lipat gandakan gantinya dengan sebanyak-banyaknya? Allah akan memberi (kepadamu) kesempitan dan kelapangan (rejeki), dan kepadaNya kamu dikembalikan.”

c. Lafazh mata (kapan), digunakan untuk menanyakan waktu, baik yang lampau maupun yang akan datang, seperti pada QS [2] : 241 :

“Ataukah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga tanpa suatu cobaan seperti dialami mereka sebelum kamu? Mereka mengalami penderitaan dan malapetaka dan jiwa mereka begitu tergoncang, sehingga Rasul pun berkata bersama orang-orang yang beriman , “Bilakah datangnya pertolongan Allah? “Ya, sungguh pertolongan Allah sudah dekat!”

d. Lafazh ayyana (bilamana), digunakan untuk menanyakan sesuatu berkenaan dengan waktu mendatang, seperti pada QS [75] : 6 :

“Ia bertanya, “Bilakah hari kiamat itu ?”

e. Lafazh kaifa (bagaimana), untuk menanyakan keadaan sesuatu, seperti pada QS [3] : 101 :

“Dan bagaimana kamu akan mengingkari padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu dan ditengah-tengah kamu pun ada Rasul-Nya?”

f. Lafazh anna (dari mana), untuk menanyakan asal-usul, seperti pada QS [19] : 8 :

“Dia berkata, “Tuhanku, bagaimana aku akan mendapatkan anak, sedang istriku mandul dan aku sudah dalam usia renta ?”

g. Lafazh kam (berapa), digunakan untuk menanyakan jumlah atau bilangan, seperti pada QS [2] : 259 :

“Atau seperti orang yang melewati sebuah dusun yang sudah runtuh sampai ke atap-atapnya, ia berkata, “Oh, bagaimana Allah menghidupkan semua ini setelah mati ? “lalu Allah membuat orang itu mati selama seratus tahun kemudian membangkitkannya kembali. Lalu Allah bertanya, “Berapa lama kamu tinggal disini ?” Ia menjawab, “Saya tinggal disini sehari atau setengah hari”. Allah berfirman, “Tidak, bahkan seratus tahun.”

h. Lafazh aina (dimana), digunakan untuk menanyakan tempat, seperti pada QS [81] : 26 :

“Maka kemanakah kamu akan pergi ?”

i. Lafazh ayyu, untuk menanyakan apa atau siapa, seperti pada QS [6] : 81 :

“Manakah dari kedua golongan yang lebih berhak mendapat keamanan? (katakanlah) jika kamu mengerti.”

23. Kaidah Tanya – Jawab

A. Ragam Tanya – Jawab

Suatu riwayat asbabun nuzul menyebutkan bahwa sekelompok orang bertanya kepada Nabi Muhammad tentang bulan sabit, mengapa mula-mula terlihat kecil seperti benang, lalu bertambah sedikit demi sedikit hingga purnama, kemudian berkurang lagi hingga kembali ke keadaan semula. Untuk menjawab hal itu maka Allah menurunkan ayat QS Al-Baqarah [2] : 189 :

“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan-bulan baru. Katakanlah, itu tanda-tanda waktu untuk manusia dan untuk musim haji.”

Jawaban yang diberikan tidak sepenuhnya sesuai dengan apa yang ditanyakan. Jawaban demikian merupakan kehendak Allah. Maksudnya, jawaban itulah yang seharusnya ditanyakan. Redaksi semacam ini oleh Al-Salaki, seperti dikutip As-Suyuthi disebut uslub hakim.

Adakalanya jawaban yang diberikan lebih luas dari yang ditanyakan, misalnya dalam QS [6] : 63-64 :

“Katakanlah , “Siapakah yang menyelamatkan kamu dari bahaya yang mengerikan di darat dan di laut, kamu berdoa kepadaNya dengan rendah hati dan suara lembut. Sekiranya Dia menyelamatkan kami dari (bahaya) ini tentulah kami akan bersyukur ? “ Katakanlah, “Allah akan menyelamatkan kamu dari segala bencana. Namun kamu kemudian mempersekutukannya !”

Adakalanya jawabannya lebih sempit cakupannya daripada yang ditanyakan. Misalnya pada QS [10] : 15 :

“Bila kepada mereka ayat-ayat Kami dibacakan dengan jelas, mereka yang tidak mengharapkan bertemu dengan Kami berkata, “Bawakanlah bacaan lain dari ini, atau gantilah !” Katakanlah, “Tiada semestinya aku menggantikannya atas kemauanku sendiri. Aku hanya mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku. Jika tidak mentaati Tuhanku aku takut akan azab hari maha dahsyat (yang akan datang).”

B. Bentuk-Bentuk Pertanyaan dan Jawaban Dalam Al-Qur’an

1. Jawaban bersambungan dengan pertanyaan, contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 215 :

“Mereka bertanya kepadamu, apa yang mereka nafkahkan, Katakanlah : Apa saja yang baik yang kamu nafkahkan hendaknya kepada ibu-bapak dan kearabat, kepada anak yatim dan orang miskin dan kepada orang terlantar dalam perjalanan. Dan segala perbuatan baik yang kamu lakukan, Allah mengetahuinya.”

2. Jawaban terpisah, baik terdapat dalamsatu surat maupun dalam dua surat yang berlainan, contohnya pada QS [25] : 7 :

“Dan mereka berkata : “Rasul macam apa ini, makan makanan dan berjalan di pasar-pasar ? Kenapa tidak diturunkan seorang malaikat kepadanya dan bersama-sama memberi peringatan.”

Jawabannya ada pada ayat yang berbeda, yaitu ayat 20 pada surat yang sama :

“Dan Rasul-Rasul yang kami utus sebelummu, mereka memakan makanan dan berjalan-jalan di pasar.”

3. Dua jawaban dalam satu surat untuk satu pertanyaan, contohnya QS [43] : 31-32 :

“Mereka berkata, “Mengapa Al-Qur’an ini tidak diturunkan kepada orang penting dari kedua kota ini ? ”Ataukah mereka yang membagi-bagikan rahmat Tuhanmu ? Kamilah yang membagi-bagikan penghidupan diantara mereka.”

4. Jawaban lainnya ada pada QS [28] : 68 :

“Dan tuhanmu menciptakan dan memilih apa yang Ia kehendaki. Bagi mereka tak ada pilihan.”

5. Pertanyaan yang tidak diberikan atau tidak memerlukan jawaban, contohnya pada QS [47] : 14 :

“Adakah orang yang berpegang pada (jalan) yang terang dari Tuhannya, sama dengan orang yang menganggap indah perbuatannya yang buruk dan mengikuti hawa nafsu mereka ?”

6. Jawaban yang disebutkan mendahului pertanyaan, contohnya pada QS [38] : 4

“Shad, demi Al-Qur’an yang penuh peringatan.”

Ayat diatas sebagai jawaban atas pertanyaan keheranan orang musyrik Mekkah yang disebutkan lebih dahulu dari pertanyaan keheranan mereka pada ayat sesudahnya, yaitu QS [38] : 4 :

“Mereka keheranan ada seorang pemberi peringatan datang dari kalangan mereka sendiri, orang-orang kafir lalu berkata : dia seorang seorang tukang sihir dan pendusta.”

24. Kaidah Syarat – Jawab

Dalam ilmu nahwu (tata bahasa Arab), kata-kata syarat (adawatusy-yarth) itu terbadi dalam dua bagian :

1. Kata syarat yang menjazamkan fi’il : in, idzma, ma, mata, man, kaifama, haitsuma, aina, ayyana, ayyun dan mahma.

2 Kata syarat yang tidak menjazamkan : lau, laula, idza, kullama dan lamma.

Kalimat yang didahului dengan kata syarat dinamakan jumlah syarthiyyah.

Beberapa Contoh Kata Syarat Dalam Al-Qur’an :

1. In (jika) dalam QS Al-Baqarah [2] : 284.

2. Idza (bila, jika) dalam QS [110] : 1-3.

3. Man (barang siapa) dalam QS [4] : 110.

4. Mahma (apapun) dalam QS [7] : 132

5. Aina (dimana) dalam QS [4] : 78.

6. Ayyun (apa) dalam QS [17] : 110.

7. Lau (jikalau, kiranya) dalam QS [9] : 42.

Perbedaan Penggunaan In dan Idza :

Menurut ketentuan asal, mutakallim (orang pertama) tidak bisa memastikan terjadinya apa yang disyaratkan di waktu mendatang. Untuk itu digunakan kata syarat in. Ia dipakai dalam kondisi yang jarang terjadi dan harus bedampingan dengan lafazh mudhari’ (kata kerja sekarang atau yang akan datang), sebab terdapat segi keraguan tentang terjadinya.

Adapun kata syarat idza, menurut asalnya dipakai dalam keadaan mutakallim optimis terjadinya apa yang disyaratkan dimasa yang akan datang. Oleh karena itu, idza tidak dipakai kecuali dalam beberapa keadaan yang banyak terjadi dan berdampingan dengan bentuk madhi (kata kerja bentuk lampau), karena bentuk ini menunjukkan hal yang pasti terjadi, contohnya dalam QS [7] : 131 :

“Bila mereka mangalami musim yang baik, mereka berkata, “Inilah usaha kami. “Tetapi jika mereka ditimpa yang buruk, mereka melemparkan sebab-sebabnya pada Musa dan pengikutnya. Ketahuilah, nasib mereka ditangan Allah; tapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.”

Hadzf Jawabusy Syarth

Menurut As Sa’di yang dikutip Abd. Rahman Dahlan dalam bukunya Kaidah-Kaidah Penafsiran Al-Qur’an, apabila jawabusy-syarth dari jumlah syartiyyah dibuang, itu menunjukkan pentingnya masalah yang dibicarakan. Jika ia membicarakan masalah siksa maka itu menunjukkan dahsyatnya siksaan tersebut, contohnya :

“Sekiranya engkau dapat melihat ketika orang-orang jahat menundukkan kepala dalam-dalam dihadapan Tuhan (sambil berkata), “Tuhan, kami melihat dan mendengar. Maka kembalikanlah kami (ke dunia); kami akan mengerjakan amal kebaikan. Sungguh, (sekarang) kami telah yakin.” (QS [32] : 12).

“Sekiranya kau lihat ketika mereka dalam ketakutan, tapi tak dapat melarikan diri, dan keadaan mereka ditangkap dari tempat yang dekat dan mereka berkata, “Kami sekarang percaya (pada kebenaran). “Tapi bagaimana mereka akan beriman dari tempat yang jauh dan sebelumnya mereka sudah menolaknya dan mereka (terus-menerus) melemparkan (penghinaan) kepada yang ghaib dari tempat yang jauh.” (QS [34] : 51-53).

25. Kaidah Petunjuk Kata (Dalalah Lafazh)

Petunjuk (dalalah) lafazh kepada makna adakalanya berdasarkan pada bunyi (mantuq, makna eksplisit yang tersirat) dan adakalanya pula berdasarkan pemahaman (mafhum, makna implisit yang tersirat).

A. Mantuq

Mantuq adalah makna lahir yang tersurat (eksplisit) yang tidak mengandung kemungkinan pengertian ke makna yang lain.

Mantuq terdiri atas 5 (lima) kategori :

1. Nash, ialah lafazh yang bentuknya sendiri telah dapat menunjukkan makna yang dimaksud secara jelas (sharih), tidak mengandung kemungkinan makna lain. Contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 196 :

“Maka (wajib) berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali,

itulah sepuluh (hari) yang sempurna.”

Penyifatan “sepuluh” dengan “sempurna” telah mematahkan kemungkinan “Sepuluh” ini diartikan lain secara majaz (kiasan). Inilah yang dimaksud dengan nash.

2. Zahir, ialah lafazh yang menunjukkan sesuatu makna yang segera dipahami ketika ia diucapkan tetapi disertai kemungkinan makna lain yang lemah (marjuh). Jadi zahir itu sama dengan nash dalam hal petunjuk lafazhnya kepada bunyi yang tersurat. Namun dari segi lain ia berbeda dengan nash, karena zahir masih disertai kemungkinan menerima makna lain meskipun lemah. Misalnya dalam QS Al-Baqarah [2] : 173 “famanidlthurro ghaira baghi wa la ‘ad.” Lafazh “al-bagh” digunakan untuk makna “al-jahil” (bodoh, tidak tahu) dan “az-zalim” (melampaui batas, zalim). Tetapi pemakaian untuki makna kedua lebih tegas dan populer sehingga makna inilah yang kuat (rajih), sedang makna yang pertama lemah (marjuh), Juga dalam QS Al-Baqarah [2] : 222 :

“Dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka bersuci ….”

Berhenti haid dinamakan “suci” (tuhr), berwudhu dan mandi pun disebut “tuhr”. Namun penunjukan kata “tuhr” kepada makna kedua (mandi) lebih tepat, jelas (zahir) sehingga itulah makna yang rajih (kuat), sedangkan penunjukan kepada makna yang pertama (berhenti haid) adalah marjuh (lemah).

3. Mu’awwal, adalah lafazh yang diartikan dengan makna marjuh karena ada sesuatu dalil yang menghalangi dimaksudkannya makna yang lebih rajih. Mu’awwal berbeda dengan zahir; zahir diartikan dengan makna yang rajih sebab tidak ada dalil yang memalingkannya kepada yang marjuh, sedangkan mu’awwal diartikan dengan makna marjuh karena ada dalil yang memalingkannya dari makna rajih. Akan tetapi masing-masing kedua makna ini ditunjukkan oleh lafazh menurut bunyi ucapan yang tersurat. Misalnya dalam QS rendahkan SAYAP

4. Dalalah istida’ adalah kebenaran petunjuk (dalalah) lafazh kepada makna yang tepat terkadang bergantung pada sesuatu yang tidak disebutkan. Contohnya pada QS Al-Baqarah [2] ; 184 :

“Maka jika diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan, maka (wajiblah berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari-hari yang lain.”

Ayat ini memerlukan suatu lafazh yang tidak disebutkan yaitu “lalu ia berbuka”, sebab kewajiban qada puasa bagi musafir itu hanya apabila ia berbuka dalam perjalanannya itu. Sedangkan jika ia tetap berpuasa maka baginya tidak ada kewajiban qada. Contoh yang lain pada QS An-Nisa’ [4] : 23 :

“Diharamkan atas kamu ibu-ibumu”

Ayat ini memerlukan adanya adanya kata-kata yang tidak disebutkan, yaitu kata “bersenggama”, sehingga maknanya yang tepat adalah “diharamkan atas kamu (bersenggama) dengan ibu-ibumu.”

5. Dalalah Isyarah adalah kebenaran petunjuk (dalalah) lafazh kepada makna yang tepat berdasarkan kepada isyarat lafazh. Contohnya pada QS Al-Baqarah [2] ; 187 :

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutiah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga jelas bagi kamu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar… “

Ayat ini menunjukkan sahnya puasa bagi orang-orang yang pagi-pagi hari masih dalam keadaan junub, sebab ayat ini membolehkan berc ampur sampai dengan terbit fajar sehingga tidak ada kesempatan untuk mandi. Keadaan demikian menuntut atau memaksa kita berpagi dalam keadaan junub. Membolehkan melakukan penyebab sesuatu berarti membolehkan pula melakukan sesuatu itu. Maka membolehkan “bercampur” sampai pada bagian waktu terakhir dari malam yang tidak ada lagi kesempatan untuk mandi sebelum terbit fajar, berarti membolehkan juga berpagi dalam keadaan junub.

B. Mafhum

Mafhum adalah makna yang ditunjukkan oleh lafazah tidak berdasarkan pada bunyi ucapan yang tersurat, melainkan berdasarkan pada pemahaman yang tersirat.

Mafhum terdiri atas 2 (dua) jenis :

a. Mafhum muwafaqah (perbandingan sepadan), yaitu makna yang hukumnya sepadan dengan mantuq.

1. Fahwal khitab, yaitu apabila makna yang dipahami itu lebih harus diambil hukumnbya daripada mantuq. Misalnya pada QS Al-Isra’ [17] : 23 :

“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya (orang tua) perkataan ‘ah’ .”

Ayat ini mengharamkan perkataan “ah” yang tentunya akan menyakiti hati kedua orang tua, maka dengan pemahaman perbandingan sepadan (mafhum muwafaqah), perbuatan lain seperti mencaci-maki, memukul lebih diharamkan lagi, walaupun tidak disebutkan dalam teks ayat.

2. Lahnul Khitab, yaitu apabila mafhum sama nilainya dengan hukum mantuq. Misalnya pada QS An-Nisa’ [4] : 10 :

“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya … “

Ayat ini melarang memakan harta anak yatim, maka dengan pemahaman perbandingan sepadan (mafhum muwafaqah), perbuatan lain seperti : membakar, menyia-nyiakan, merusak, menterlantarkan harta anak yatim juga diharamkan.

b. Mafhum Mukhalafah (perbandingan terbalik), yaitu makna yang hukumnya kebalikan dari mantuq.

3. Mafhum sifat, yang dimaksud adalah sifat ma’nawi, contohnya pada QS Al-Hujurat [49] : 6 :

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti … “

Ayat ini memerintahkan bertabayun (memeriksa, meneliti) berita yang dibawa oleh “orang fasik”. Maka dengan pemahaman perbandingan terbalik (mafhum mukhalafah) bahwa berita yang dibawa oleh orang yang tidak fasik tidak perlu diperiksa, diteliti. Ini berarti berita dari orang yang adil dan tsiqoh wajib diterima.

4. Mafhum syarat, yaitu memperhatikan syaratnya. Contohnya seperti pada QS At-Talaq [65] : 6 :

“Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkah.”

Dengan pemahaman perbandingan terbalik (mafhum mukhalafah) berarti istri yang ditalak tidak sedang dalam keadaan hamil, tidak wajib diberi nafkah.

5. Mafhum gayah (maksimalitas), misalnya pada QS Al-Baqarah [2] : 230 :

“Kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga ia kawin dengan suami yang lain … “

Dengan pemahaman terbalik, maka bila mantan istri yang sudah ditalak tiga kali kemudian menikah lagi dengan lelaki lain dan kemudian bercerai maka menjadi halal dikawin lagi.

6. Mafhum hasr (pembatasan, hanya), misalnya pada QS Al-Fatihah [1] : 5 :

“Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan … “

Dengan pemahaman terbalik maka tidak boleh menyembah selain Allah dan tidak boleh memohon pertolongan kepada selain Allah.

26. Kaidah Makna Kata (lafazh)

A. Makna Hakikah (lahir)

Makna hakihah adalah makna lahir (harfiah/lughawiyah).

Hakikah diklasifikasikan menjadi :

1. Lughawiyyah Wadhi’iyyah, yaitu kata yang digunakan untuk menunjukkan makna hakiki berdasarkan konteks penggunaan asal kata tersebut. Selain itu biasa disebut pula dengan hakikah al lughawiyyah saja. Misalnya kata “rajul” yang digunakan untuk menyebut laki-laki dewasa.

2. Lughawiyya Manqulah, yaitu kata yang digunakan untuk menunjukkan makna hakiki setelah mengalami transformasi makna, baik yang dilakukan oleh ahli bahasa maupun pembuat syariat. Kata jenis ini, bisa diklasifikasikan menjadi dua bagian, sebagai berikut :

a. Al-Urfiyyah, yaitu transformasi makna dari makna asal karena kebiasaan. Misalnya kata “ad-dabbah” (hewan melata) menjadi makna lain yang lebih populer. Berdasarkan asal maknanya mempunyai konotasi semua mahkluk hidup yang melata dimuka bumi, yang meliputi manusia dan hewan. Kemudian digunakan orang Arab dengan konotasi hewan berkaki empat sehingga makna asalnya ditinggalkan.

b. As-Syari’yyah, yaitu kata yang mengalami transformasi makna dari makna asal kepada makna lain yang digunakan oleh pembuat syariat. Karena yang melakukan transformasi adalah yang membuat syariat, maka konotasi maknanya harus berdasarkan dalil syariat. Misalnya kata shalat, zakat, shiyam (puasa), kafir, haji dan lain-lain.

B. Makna Majaz (kiasan)

Makna majaz adalah makna yang digunakan tidak sesuai dengan asal makna kata yang lahir karena ada indikasi yang menghalangi diartikan dengan makna hakiki.

Klasifikasi makna majaz :

1. Isti’arah, yaitu meminjam kata asal untuk digunakan dengan makna baru disebabkan adanya persamaan diantara masing-masing, contohnya wajah yang elok dengan dengan bulan purnama : “wajah anda bagai bulan purnama.”

Isti’arah dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

a. Isti’arah Tashrihiyyah, untuk menjelaskan persamaan yang disamakan dengan persamaannya, misalnya pada QS Ibrahim [14] : 1 :

“Alif lam ra. (Ini adalah) Kitab yang kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap-gulita menuju cahaya.”

Kata “gelap-gulita” dipinjam sebagai kiasan untuk kesesatan, kekufuran dan kata “cahaya” dipinjam sebagai kiasan untuk petunjuk, keimanan.

b. Isti’arah Makaniyyah, obyek yang menjadi kiasan dibuang, kemudian digantikan dengan kata yang mencerminkan sifatnya yang dominan, misalnya pada QS Al-Isra’ [17] : 24 :

“Rendahkanlah sayapmu terhadap mereka berdua (ibu-bapak) dengan penuh kash sayang dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka berdua, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.”

Obyek yang menjadi kiasan yang sebenarnya adalah burung, namun kata burung dihilangkan digantikan dengan sifat burung yang dominan yaitu sayap.

c. Isti’arah Takhyiliyyah, menetapkan keberadaan obyek yang menjadi kiasan bagi yang dijadikan kiasan, sehingga pihak yang diseru akan membayangkan bahwa yang dijadikan kiasan tersebut sejenis dengan yang menjadi kiasan. Misalnya pada QS Al-Mulk : [67] : 8 :

“Hampir-hampir (neraka) itu meledak-ledak lantaran marah. Setiap kali dilemparkan kedalamnya sekumpulan (orang-orang) kafir, penjaga-penjaga (neraka itu) bertanya kepada mereka, “Apakah belum pernah datang kepada kamu (di dunia) seorang pemberi peringatan ?”

d. Isti’arah Tamtsiliyyah, ini berupa susunan kata yang tidak digunakan pada tempatnya. Hal itu disebabkan adanya hubungan persamaan, yaitu dengan dihilangkannya wujud persamaannya dari beberapa perkara, misalnya pada QS Al-Mulk [67] : 22 :

“Maka apakah orang yang berjalan dengan muka terjungkal itu lebih banyak mendapat petunjuk ataukah orang yang berjalan tegap diatas jalan yang lurus ?”

Orang yang berjalan tegap diatas jalan lurus adalah kiasan untuk orang-orang mukmin, sedangkan orang yang berjalan dengan muka terjungkal adalah kiasan untuk orang-orang kafir.

3 Mursal, yaitu jika hubungan antara makna yang digunakan dengan makna yang diletakkan pertama kali tidak mempunyai persamaan. Majaz Mursal dibagi menjadi empat :

a. Juz’iyyah, karena dengan menyebut sebagiannya, Misalnya QS Al-Muzammil [73] : 2

“Bangunlah dimalam hari, kecuali sedikit (daripadanya).”

Bangunlah maksudnya berdirilah, maksudnya berdiri untuk maksud keseluruhannya yaitu shalat, jadi bangunlah adalah majaz untuk shalatlah.

b. Kulliyah, disebut keseluruhan untuk maksud sebagiannya. Contohnya QS Al-Baqarah [2] : 19 “

“Mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati.”

Anak jari adalah keseluruhan jari-jari, padahal yang dimaksud adalah salah satu dari anak jari, karena tidak mungkin seluruh anak jari dimasukkan untuk menyumbat telinga.

c. Sababiyah, menyebut sesuatu sesuai dengan sebutan sebabnya, misalnya pada QS Al-Baqarah [2] : 194 :

“Oleh sebab itu siapa saja yang menyerang kamu, maka seranglah (balaslah) ia seimbang dengan serangannya terhadapmu.”

Kata seranglah adalah kata yang sama dengan kata menyerang sebelumnya, padahal yang dimaksud seranglah adalah balaslah.

d. Musabbabiyah, yang menjadi dasar penyebutan adalah akibatnya, contoh pada QS Al-Baqarah [2] : 61 :

“Oleh sebab itu, mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang bumi tumbuhkan, yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang-putihnya, kacang-adasnya dan bawang-merah nya.”

Yang menumbuhkan tumbuhan adalah Allah, namun karena tempat tumbuhnya adalah di bumi maka penyebutan apa yang bumi tumbuhkan, maksudnya adalah apa yang Allah tumbuhkan di bumi itu.

C. Musytarak (ambigu)

Musytarak adalah kata yang mempunyai lebih dari satu arti. Bila dijumpai lafazh musytarak sedapat mungkin dicari penjelasan (bayan) nya, dari ayat Al-Qur’an yang lain maupun dari sunnah (riwayat hadits).

Contoh-contoh lafazh musytarak :

1. QS Al-Baqarah [2] : 228

“Dan wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (ber ‘iddah) tiga kali quru’.”

Kata “quru’” bisa bermakna haid, bisa bermakna suci (mandi).

2. QS An-Nisa’ [4] : 43 :

“…Atau kamu telah menyentuh perempuan…”

Kata “lamasa” bisa bermakna sentuhan kulit, bisa bermakna bersetubuh.

3. QS Al-Ma’idah [5] : 38 :

“Dan laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya…”

Kata “yad” bisa bermakna : tangan sampai pegelangan, tangan sampai siku, tangan sampai bahu.

27. Kaidah Am (umum) – Khas (khusus)

A. Lafazh ‘am (umum)

Adalah lafazh yang maknanya luas meliputi satuan-satuan (juz’iyah) yang relevan dengan cakupan makna itu tanpa batas.

Allah berfirman dalam QS Al-Ankabut [29] : 33 :

“Sesungguhnya Kami akan menyelamatkan kamu dan keluargamu.”

Berdasarkan keumuman lafazh “keluarga” pada firman Allah diatas yang maka Nabi Nuh menagih janji Allah ketika banjir telah melanda dengan memohon kepada Allah agar menyelamatkan anaknya yang termasuk keluarganya, hal itu dapat kita lihat pada QS Hud [11] : 45 :

“Dan nuh berseru kepada Tuhannya seraya berkata : “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasukkeluargaku dan sesungguhnya janji Engkau adalah benar.”

Kemudian Allah menjawab permohonan nabi Nuh tersebut pada ayat lanjutannya, yaitu QS Hud [11] : 46 :

“Allah berfirman, “Hai Nuh, sesungguhnya ia tidak termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan).”

Jawaban Allah ini mengecualikan anaknya dari keumuman kata “keluargamu” yang dijanjikan akan diselamatkan.

Aneka Ragam bentuk ‘Am :

1. Lafazh man (siapa), ma (apa saja), aina dan mata (kapan); yang terdapat dalam suatu kalimat tanya (istifham) :

2. Lafazh ma (apa saja) dan man (siapa) yang mendapat jaminan balasan, seperti :

a. QS Al-Baqarah [2] : 272 :

“Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (dijalan Allah), niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu tidak sedikitpun dianiaya.”

b. QS An-Nisa’ [4] : 123

“Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan (sesuai) dengan kejahatan itu.”

3. Lafazh kullun (tiap-tiap) dan jami’un (seluruh)

a. QS Ali Imran [3] : 185 :

“Tiap-tiap yang berjiwa akan mengalami mati.”

b. QS Al-Baqarah [2] : 29 :

“Dia lah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.”

4. Lafazh ayyun (mana saja) yang terdapat pada kalimat yang bersifat syarat.

Contohnya pada QS Al-Isra’ [17] : 110 :

“Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai nama-nama yang baik.”

5. Lafazh yang bersifat nakirah yang terdapat dalam susunan kalimat yang bersifat negatif (nahi) atau dalam susunan larangan (nahi). Contohnya pada QS Al Bawarah [2] : 48 :

a. QS Al-Baqarah [2] : 48 :

“Dan jagalah dirimu dari (azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun.”

b. QS Al-Isra’ [17] : 23 :

“Maka, sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka.”

6. Lafazh ma’syara, ma’asyira, ‘ammah, qatibah dan sa’irun :

a. QS Al-An’am [6] : 130 :

“Hai golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu Rasul-Rasul Kami dari golongan kamu sendiri, yang menyampaikan ayat-ayat Ku dan memberi peringatan kepadamu terhadap pertemuanmu dengan hari ini … ?”

b. QS At-Taubah [9] : 36 :

“Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya, sebagaimana mereka pun telah memerangi kamu semuanya.”

7. Isim berbentuk jama’ yang diawali alif dan lam.

Contohnya pada QS Al-Ma’idah [5] : 42 :

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”

8. Isim yang dinisbatkan (mudhaf)

Contohnya pada QS Ibrahim [14] : 34 :

“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghitungnya.”

9. Isim-isim yang berfungsi sebagai penyambung (al-maushulah) seperti ladzi, al-lati, al-ladzina, al-lati dan dzu. Contohnya pada QS An-Nisa’ [4] : 10 :

“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya.”

10. ‘Amr (perintah) dengan bentuk jama’ (plural)

Contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 43 :

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’ “.

Macam-macam penggunaan lafazh ‘am (umum) :

a. ‘Am yang tetap dimaksudkan untuk keumumannya, contohnya pada QS Al-Kahfi [18] : 49 :

“Dan tuhanmu tidak menganiaya seorang jua pun.”

Kata “ahadan” tak seorangpun bersifat umum tanpa ada kemungkinan peng khususan.

QS An-Nisa’ [4] : 23 :

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu.”

Kata “ummhat” ibu-ibumu bersifat umum tanpa ada kemungkinan peng khususan.

b. ‘Am tetapi yang dimaksudkan adalah khas (khusus)

Contohnya pada QS Ali –Imran [3] : 39 :

“Kemudian malaikat memanggilnya (zakariya), sedang ia tengah berdiri bersembahyang di mihrab.”

Lafazh malaikat pada ayat diatas adalah umum tapi yang dimaksud adalah khusus, yaitu Jibril.

c. ‘Am yang mendapat peng-khususan

Contohnya QS Ali-Imran [3] : 97 :

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah.”

Ayat itu umum untuk semua manusia, tapi di ayat yang lain ada peng khususan yaitu bagi yang mampu.

B. Khas (khusus) dan Takhsis (pengkhususan)

Khas merupakan kebalikan dari ‘Am, yaitu lafazh yang hanya mengandung satu satuan (juz’iyah) makna.

Takhsis adalah mengeluarkan sebagian kandungan yang dicakup oleh makna lafazh yang umum.

Macam-macam Mukhashshis (peng khusus).

1. Mukhashshish Muttashil (peng khusus yang bersambung)

a. Istitsna (pengecualian), contohnya pada QS An-nur [24] : 4-5 :

“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik, kecuali orang-orang yang bertaubat … “

b. Sifat, contohnya pada QS An-Nisa’ [4] : 23 :

“(Dan diharamkan bagi kamu untuk mengawini) anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu, yaitu istrimu (itu) telah kamu campuri.”

Anak tiri haram dinikahi, yaitu yang ibunya (yang menjadi istri) telah disetubuhi. Bila belum disetubuhi kemudian bercerai, maka anak tiri itu boleh dikawini.

c. Syarat, contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 180 :

“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabat secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa.”

Kalimat “jika ia meninggalkan harta yang banyak” adalah syarat, maka bila seseorang tidak meninggalkan harta yang banyak, maka tidak wajib berwasiat.

d. Batas, contohnya dalam QS Al-Baqarah [2] : 196 :

“Dan janganlah kamu mencukur kepalamu, sebelum kurban sampai ditempat penyembelihannya.”

Kalimat “sebelum kurban sampai ditempat penyembelihan” merupakan batas larangan mencukur rambut kepala saat haji.

e. Mengganti sebagian dari keseluruhannya, contohnya pada QS Ali-Imran [3] : 97 :

“Melaksanakan ibadah haji adalah kewajiban manusia yang sanggup mengadakan perjalanan kepadanya.”

2. Mukhashshish Munfashil , yaitu peng khusus yang berada di tempat lain

a. Ayat Al-Qur’an yang lain.

QS Al-Baqarah [2] : 228 :

“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (ber ‘iddah) tiga kali quru’.”

Ayat tersebut bersifat umum, berlaku bagi setiap wanita yang dicerai, baik yang sedang hamil maupun tidak dan yang telah dicampuri. Kemudian ayat ini ditakhsis oleh dua ayat (mukhashshish) yang lain :

QS Ath-Thalaq [65] : 4 :

“Dan perempuan-perempuan yang sedang hamil, waktu ‘iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.”

Mukhashshish kedua, QS Al-Ahzab [33] : 49 :

“Apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.”

b. Hadits (men takhsis Al-Qur’an dengan hadits), contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 275 :

“Dan Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.”

Dikecualikan dari jual-beli adalah jual-beli yang buruk seperti tersebut pada hadits berikut :

“Dari Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah saw melarang mengambil upah dari persetubuhan binatang jantan dengan binatang yang lain.” (HR Bukhari).

Dalam riwayat lain disebutkan :

“Dari Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah saw melarang jual-beli (binatang) yang akan dikandung oleh yang (sekarang masih) didalam kandungan. Yang demikian itu adalah jual-beli yang dilakukan oleh kaum jahiliyyah, yaitu seseorang membeli binatang sembelihan (dengan bayar tempo) sampai unta itu beranak dan anak onta itu beranak pula.” (HR Muttafaqun ‘alaihi).

c. Ijma’ (men takhsis Al-qur’an dengan Ijma’).

Contohnya pada QS An-Nisa’ [4] : 11 :

“Allah mensyari’atkan bgimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan.”

Ayat tersebut dikecualikan secara ijma’ bagi laki-laki yang berstatus budak..

d. Qiyas (men takhsis Al-Qur’an dengan Qiyas)

Contohnya QS An-nur [24] : 2 :

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.”

Ayat tersebut dikecualikan bagi budak dengan dasar analogi terhadap perempuan yang berstatus budak yang dikecualikan dari ketentuan hukum dera bagi perempuan-perempuan yang berbuat fahisyah sebagaimana tersebut dalam QS An-nisa’ [4] : 25 :

“Jika mereka mengerjakan perbuatan keji, maka atas mereka setengah hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami.”

e. Akal (men takhsis Al-Qur’an dengan akal)

Contohnya pada QS Ar-Ra’du [13] : 6 :

“Allah adalah pencipta segala sesuatu.”

Akal menetapkan bahwa Allah bukan pencipta bagi diriNya sendiri.

f. Indera (men takhsis Al-Qur’an dengan indera)

Contohnya : QS An-Naml [27] : 23 :

“Sesungguhnya aku menjumpai seseorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu, serta mempunyai singgasana yang besar.”

Indera kita menetapakan segala sesuatu yang dianugerahkan kepada wanita (Ratu Balqis) tidak seperti yang dianugerahkan kepada Nabi Sulaiman.

g. Siyaq (Mentakshis Al-Qur’an dengan siyaq)

Siyaq adalah keterangan yang mendahului suatu kalam dan yang datang sesudahnya.

Contohnya takhsis dengan siyaq adalah seperti pada QS Al-A’raf [7] : 163 :

“Dan tanyakanlah kepada mereka (Bani Israil) tentang kampung yang terletak di dekat laut …. ?”

Dalam ayat tersebut, dilukiskan bahwa yang dipertanyakan adalah tentang suatu kampung/desa, Menurut siyaqul kalam bahwa yang dimaksud dengan desa itu adalah penduduknya.

Hukum lafazh ‘am, khas dan takhsis :

1. Apabila didalam ayat Al-Qur’an terdapat lafazh yang bersifat khas (khusus), maka maknanya dapat menetapkan sebuah hukum secara pasti, selama tidak terdapat dalil yang menta’wilkannya dan menghendaki makna lain.

2. Apabila lafazh itu bersifat ‘am (umum) dan tidak terdapat dalil yang meng-khususkannya (men-takhsis-nya), maka lafazh tersebut wajib diartikan kepada ke umumannya dan memberlakukan hukumnya bagi semua satuan yang dicakup makna itu secara mutlak.

3. Apabila lafazh itu bersifat umum dan terdapat dalil yang men takhsis nya, maka lafazh itu hendaknya diartikan kepada satuan makna yang telah dikhususkannya itu dan satuan yang khusus itu dikeluarkan dari cakupan makna yang umum tersebut.

28. Kaidah Mujmal (global) – Mufassar/Mubayyan (ditafsirkan/dijelaskan)

Lafazh mujmal adalah lafazh yang global, masih membutuhkan penjelasan (bayan) atau penafsiran (tafsir).

Untuk memberikan penjelasan atau penafsiran terhadap lafazh yang mujmal maka tidak ada jalan lain kecuali harus kembali kepada syar’i, karena memang Dia lah yang menjadikannya sebagai lafazh yang mujmal.

Mubayyan adalah lafazh yang sudah dijelaskan dari keglobalannya.

Klasifikasi Mubayyan berdasarkan sumber yang menjelaskannya :

1. Mubayyan Muttashil, adalah mujmal yang disertai penjelasan yang terdapat dalam satu nash. Misalnya dalam QS An-Nisa’ [4] : 176, lafazh “kalalah” adalah mujmal yang kemudian dijelaskan dalam satu nash;

“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah, (yaitu) jika seorang meninggal dunia dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jia ia tidak mempunyai anak, tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keudanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Kalalah adalah orang yang meninggal dunia yang tidak mempunyai anak. Makna inilah yang diambil oleh Umar bin Khtattab, yang meyatakan :

“Kalalah adalah orang yang tidak mempunyai anak.”

2. Mubayyan Munfashil, adalah bentuk mujmal yang disertai penjelasan yang tidak terdapat dalam satu nash. Dengan kata lain, penjelasan tersebut terpisah dari dalil mujmal. Dalam hal ini bisa berupa :

a. Dari ayat Al-Qur’an yang lain, misalnya dalam QS Ali Imran [3] : 7 :

“…Padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya kecuali Allah dan orang yang mendalam ilmunya berkata : “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabih, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”.

Kalimat “Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya” adalah mujmal karena ambigutias huruf wawu, yaitu kata “dan”. Bisa berkonotasi kata penghubung (‘athaf) atau Kata depan permulaan kalimat baru (isti’naf). Jika kata “dan” dianggap sebagai kata penghubung, maka konotasi kalimat tersebut adalah “hanya Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya yang mengetahui takwilnya”. Namun, jika kata dan dianggap sebagai permulaan kalimat baru, maka konotasinya adalah “hanya Allah yang mengetahui takwilnya” sedangkan orang-orang yang mendalam ilmunya –yang notabene tidak tahu takwilnya- berkata, “kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabih”. Oleh karena itu, hal ini memerlukan penjelasan. Maka Penjelasannya tidak terdapat dalam satu nash, diantaranya firman Allah pada QS An-Nahl [16] : 89 :

“Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu.”

Ayat ini menunjukkan Al-Qur’an diturunkan sebagai penjelasan segala sesuatu kepada manusia, termasuk ayat-ayat yang mutasyabih. Jadi berdasarkan petunjuk (qarinah) dari ayat ini huruf “dan” pada QS Ali-Imran [3] : 7 adalah sebagai kata penghubung sehingga konotasinya adalah “yang mengetahui ta’wil ayat-ayat mutasyabih hanyalah Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya.”. Demikian pendapat kelompok yang berpendapat demikian.

b. Dari Sunnah (hadits), contohnya pada QS Al-Anfal [8] : 60 :

“Siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi … “

Kata “kekuatan” pada ayat diatas masih mujmal, yang penjelasannya ada datang dari sunnah, yaitu hadits riwayat Muslim dari Uqbah bin Amir :

“Saya mendengar Rasulullah bersabda, -sementara itu beliau masih berada diatas mimbar- ‘Siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi, ingatlah, sesungguhnya kekuatan itu adalah panah. Ingatlah, sesungguhnya kekuatan itu adalah panah.’ ”

Macam-macam bayan (penjelasan) terhadap lafazh mujmal :

1. Penjelasan dengan perkataan (bayan bil qaul), contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 196 :

“Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna.”

Ayat tersebut merupakan bayan (penjelasan) terhadap rangkaian kalimat sebelumnya mengenai kewajiban mengganti korban (menyembelih binatang) bagi orang-orang yang tidak menemukan binatang sembelihan atau tidak mampu.

2. Penjelasan dengan perbuatan (bayan fi’li)

Contohnya Rasulullah melakukan perbuatan-perbuatan yang menjelaskan cara-cara berwudhu : memulai dengan yang kanan, batas-batas yang dibasuh, Rasulullah mempraktekkan cara-cara haji, dsb.

3. Penjelasan dengan perkataan dan perbuatan sekaligus

Firman Allah dalam QS Al-Baqarah [2] : 43 :

“…dan dirikanlah shalat…”

Perintah mendirikan sholat tersebut masih kalimat global (mujmal) yang masih butuh penjelasan bagaimana tata cara sholat yang dimaksud, maka untuk menjelaskannya Rasulullah naik keatas bukit kemudian melakukan sholat hingga sempurna, lalu bersabda : “Sholatlah kalian, sebagaimana kalian telah melihat aku shalat” (HR Bukhary).

4. Penjelasan dengan tulisan

Penjelasan tentang ukuran zakat, yang dilakukan oleh Rasulullah dengan cara menulis surat (Rasulullah mendiktekannya, kemudian ditulis oleh para Sahabat) dan dikirimkan kepada petugas zakat beliau.

5. Penjelasan dengan isyarat

Contohnya seperti penjelasan tentang hitungan hari dalam satu bulan, yang dilakukan oleh Rasulullah saw. dengan cara isyarat, yaitu beliau mengangkat kesepuluh jarinya dua kali dan sembilan jari pada yang ketiga kalinya, yang maksudnya dua puluh sembilan hari.

6. Penjelasan dengan meninggalkan perbuatan

Contohnya seperti Qunut pada shalat. Qunut pernah dilakukan oleh Rasulullah dalam waktu yang relatif lama, yaitu kurang lebih satu bulan kemudian beliau meninggalkannya.

7. Penjelasan dengan diam (taqrir).

Yaitu ketika Rasulullah melihat suatu kejadian, atau Rasulullah mendengar suatu penuturan kejadian tetapi Rasulullah mendiamkannya (tidak mengomentari atau memberi isyarat melarang), itu artinya Rasulullah tidak melarangnya. Kalau Rasulullah diam tidak menjawab suatu pertanyaan, itu artinya Rasulullah masih menunggu turunnya wahyu untuk menjawabnya.

8. Penjelasan dengan semua pen takhsis (yang mengkhususkan).

Mufassar (sudah ditafsirkan)

Mufassar adalah lafazh yang menunjukkan kepada makna yang terperinci dan tidak ada kemungkinan ta’wil yang lain baginya.

Apabila datang penjelasan (bayan) dari syar’i terhadap lafazh yang mujmal itu dengan bayan yang sempurna lagi tuntas, maka lafazh yang mujmal tadi menjadi mufassar (ditafsirkan), seperti bayan yang datang secara rinci terhadap lafazh shalat, zakat, haji dan lainnya.

Macam-macam mufassar :

1. Mufassar oleh zatnya sendiri

Yaitu lafazh yang sighat (bentuk) nya sendiri telah menunjukkan dalalah (petunjuk) yang jelas kepada makna yang terinci dan pada lafazh itu terkandung sesuatu yang meniadakan kemungkinan penakwilan terhadap makna yang lainnya. Contohnya pada QS An-nur [24] : 4 :

“Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera.”

Kata “delapan puluh” adalah lafazh mufassar dimana bilangan tertentu itu tidak mengandung kemungkinan lebih atau kurang.

Contoh lain pada QS At-Taubah [9] : 36 :

“Perangilah orang-orang musyrik itu semuanya.”

Kata “semuanya” itu adalah mufassar.

2. Mufassar oleh lafazh lainnya

Yaitu lafazh yang bentuknya global, tidak terurai, lalu mendapat penjelasan dari nash yang lain secara pasti dan terurai, sehingga tidak mengandung kemungkinan ta’wil lagi untuk makna yang lainnya. Contohnya tentang lafazh : shalat, zakat, shiyam, haji. Kata-kata tersebut masih global (mujmal), kemudian Rasulullah menjelaskan lafazh-lafazh tersebut dengan perbuatan dan perkataan sehingga kita memahami artinya seperti yang sudah kita pahami bersama pengertian dan tata caranya.

29. Kaidah Mutlaq (tanpa batasan) – Muqayyad (dengan batasan)

Mutlaq adalah lafazh yang menunjukkan suatu hakikat tanpa suatu pembatas (qayid). Contohnya dalam QS Al-Mujadalah [58] : 3 :

“Dan orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atas mereka) memerdekakan seorang budak ….”

Lafazh “budak” diatas tanpa dibatasi, meliputi segala jenis budak, baik yang mukmin maupun kafir.

Muqayyad adalah lafazh yang menunjukkan suatu hakikat dengan suatu pembatas (qayid). Contohnya dalam QS An-Nisa’ [4] :92 :

“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain) kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaknya) ia memerdekakan seorang budak yang beriman”

Lafazh “budak” diatas dibatasi dengan “yang beriman”

Macam-macam mutlaq-muqayyad dan hukumnya masing-masing :

1. Lafazh yang mutlaq tetap pada ke mutlaqannya, selama tidak ada dalil yang meng-qayyid-kannya (membatasinya). Jadi terdapat dalil yang memberi batasan (qayyid) maka dalil itu dapat mengalihkan ke mutlaqannya dan menjelaskan pengertiannya.

Contohnya, pada QS An-Nisa’ [4] : 11 :

“(Pembagian harta pusaka) tersebut sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat dan sesudah dibayar hutangnya.”

Wasiat yang dimaksud dalamayat diatas bersifat mutlaq, tidak dibatasi jumlahnya, minimal-maksimalnya, kemudian wasiat tersebut diberi batasan oleh nash hadits yang menegaskan bahwa, “Tidak ada wasiat lebih dari sepertiga harta pusaka.” Oleh sebab itu maka wasiat dalam ayat diatas menjadi tidak mutlaq lagi dan mesti diartikan dengan “wasiat yang kurang dari batas sepertiga dari harta pusaka.”

2. Sebab dan hukumya sama, maka pengetian lafazh mutlaq dibawa ke kepada makna muqayyad.

Contohnya pada QS Al-Maidah [5] : 3 :

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah dan daging babi.”

Lafazh “darah” pada ayat diatas adalah mutlaq tanpa ada batasan.

Pada QS Al-An’am [6] : 145 :

“Katakanlah, ‘Tidaklah aku peroleh dalam apa apa yang diwahyukan kepadaku (tentang) suatu (makanan) yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi.”

Lafazh “darah” pada ayat ini bersifat muqayyad karena dibatasi dengan lafazh “yang mengalir.”

Karena ada persamaan hukum dan sebab, maka lafazh “darah” yang tersebut pada QS Al-Maidah [5] : 3 yang mutlaq wajib dibawa (diartikan) ke muayyad, yaitu “darah yang mengalir.”

3. Sebab dan hukum salah satu atau keduanya berbeda, maka lafazh yang mutlaq tetap diartikan sesuai dengan ke mutlaqannya.

a. Sebab sama tapi hukum berbeda : dalam QS An-Nisa’ [4] : 43 :

“….Maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih), usaplah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu”

Dalam hal tayamum lafazh (mengusap) tangan adalah mutlaq karena tidak dibatasi.

Namun mengenai wudhu, yaitu dalam QS Al-Maidah [5] : 6 :

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku…”

lafazh “(basuhlah) tanganmu sampai dengan siku” adalah muqayyad karena dibatasi sampai dengan siku.

Kedua nash diatas mempunyai sebab yang sama, yaitu “bersuci” tapi pada segi hukum terjadi perbedaan yaitu : hukum pada QS An-Nisa’ [4] : 43 adalah mengusap tangan, sedangkan hukum pada QS Al-Maidah [5] : 6 adalah membasuh tangan sampai ke siku.

b. Hukum sama tapi sebab berbeda : pada QS At-Thalaq [65] : 2 :

“Apabila mereka (istri-istrimu) telah mendekati masa akhir ‘iddahnya, maka rujukilah kepada mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu.”

Lafazh “saksi” pada ayat ini mutlaq tidak dibatasi.

Namun pada QS Al-Baqarah [2] : 282 :

“Apabila kamu berhutang piutang untuk waktu yang tertentu, maka hendaklah kamu menuliskannya… dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki (diantara kamu).”

Lafazh “saksi” pada ayat ini muqayyad karena dibatasi dengan “laki-laki”.

Kedua ayat diatas mempunyai persamaan hukum, yaitu “mengadakan dua orang saksi”. Tetapi pada segi sebab terjadi perbedaan, sebab pada QS At-Thalaq [65] : 2 ialah “rujuk pada istri” sedangkan sebab pada QS Al-Baqarah [2] : 282 adalah : “hutang-piutang”.

b. Hukum dan sebab keduanya berbeda : pada QS Al-Maidah [3] : 38 :

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya… .”

Bila dibandingkan dengan QS Al-Maidah [3] : 6 pada point a diatas, maka sebabnya berbeda, pada ayat ini sebabnya pencurian dan hukumya juga berbeda, pada ayat ini tentang potong tangan.

30. Terjemah, Tafsir dan Ta’wil

A. Terjemah (Translate)

Pengertian terjemah adalah memindahkan kalam dari suatu bahasa kepada bahasa yang lain. Terjemah dibagi dua yaitu secara harfiah (litterlijk) dan secara tafsiriyyah (ma’nawiyah). Terjemahan secara harfiah (litterlijk) sangat tidak dianjurkan untuk orang awam yang umum, kecuali untuk pelajar yang mempelajari bahasa.Terjemahan yang disarankan untuk orang awam yang umum adalah terjemahan yang tafsiriyaah (ma’nawiyah).

Contoh dalam QS Al-Qamar [54] : 13, bila diterjemahkan secara harfiyah adalah :

“Dan kami bawa dia (Nabi Nuh) diatas yang mempunyai papan-papan dan paku-paku. Ia berjalan dengan mata-mata Kami sebagai balasan bagi orang-orang yang tidak dipercayai”

maka terjemahan ini pasti membingungkan dan kurang bisa dipahami. Maka terjemahan yang baik adalah secara ma’nawiyyah, yaitu :

“Dan kami, kendarakan dia (Nabi Nuh) diatas (bahtera yang terdiri dari) papan-papan dan paku-paku (supaya ia selamat dari topan yang hebat itu). Ia (kapal itu) berlayar dengan pengawasan Kami, sebagai ganjaran bagi orang-orang yang tidak dipercayai (oleh sebagian besar kaumnya, yakni kaum Nabi Nuh).

B. Tafsir dan Ta’wil

Ulama dahulu (mutaqaddimin) tidak membedakan antara tafsir sengan ta’wil, berkata Mujahid : ”Sesungguhnya para ulama mengetahui ta’wil Al-Qur’an maksudnya yaitu tafsir maknanya”. Sedangkan ulama kemudian (mutaakhkhirin) membedakan antara tafsir dengan ta’wil.

Tafsir adalah penjelasan tentang makna yang lahir (zhahir) dari ayat Al-Qur’an sedangkan ta’wil mengambil sebagian makna dari makna-makna yang dikandung Al-Qur’an.

Contoh, dalam QS at-Taubah [9] : 41 : “Berangkatlah kamu (ke medan perang) baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat”. Frasa kalimat merasa ringan ataupun berat di ta’wil dengan dalam keadaan tua ataupun muda.

Menurut Ibnu Abbas, tafsir ayat Al-Qur’an itu ada empat macam :

5. Tafsir yang dipahami oleh orang-orang Arab karena kelaziman bahasanya.

6. Tafsir yang harus diketahui oleh semua orang yaitu tentang akidah, ibadat dan halal-haram.

7. Tafsir yang hanya diketahui oleh ulama yang mendalam ilmunya.

8. Tafsir yang hanya diketahui oleh Allah.

31. Perkembangan Tafsir

A. Masa Sahabat

Ibnu Khladun dalam kitab Muqaddimah-nya menjelaskan : “Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab dan menurut uslub-uslub balagahnya. Karena itu semua orang Arab memahaminya dan mengetahui makna-maknanya baik kosa kata maupun susunan kalimatnya”.

Namun demikian mereka berbeda-beda tingkat pemahamannya, sehingga apa yang tidak diketahui oleh seseorang diantara mereka boleh jadi diketahui oleh yang lain.

Riwayat Mujahid dari Ibnu Abbas : “Dulu saya tidak tahu apa makna fatirus samawati wal ard sampai datang kepadaku dua orang dusun yang bertengkar tentang sumur. Salah seorang mereka berkata : “Ana fatartuha”, maksudnya “ana ibtada’tuha” (akulah yang membuatnya pertama kali).

Para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an berpegang kepada :

1. Al-Qur’an, yaitu penafsiran ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an yang lain.

2. Penjelasan Nabi, mereka bertanya langsung kepada Nabi apabila menemui kesulitan dalam memahami makna Al-Qur’an.

Riwayat dari Ibnu Mas’ud : “Ketika turun ayat ‘Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan imannya dengan kezaliman …” (QS Al’An’am [6] : 82). Hal ini sangat meresahkan hati para sahabat, mereka bertanya : ‘Ya Rasulullah, siapakah diantara kita yang tidak berbuat zalim terhadap dirinya ?’, Beliau menjawab : ‘Kezaliman disini bukanlah seperti yang kalian pahami. Tidakkah kalian mendengar apa yang dikatakan hamba yang saleh (Luqman), ‘Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah kezaliman yang besar’ (QS Luqman [31 : 13), kezaliman disini sesungguhnya adalah syirik”.

3. Pemahaman dan ijtihad. Diantara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan Al-Qur’an adalah empat khulafaur rasyidinh, Ibnu Ma’ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al-Asy’ari, Abdullah bin Zubair, Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Jabri bin Abdullah, Abdullah bin Amr bin Ash dan ‘Aiysah ummul mukminin.

B. Masa Tabi’in

Setelah penaklukan Islam semakin meluas keluar dari Jazirah Arab, Pada era Khalifah Usman sahabat-sahabat besar diijinkan keluar dari kota Madinah untuk mengajarkan agama di daerah-daerah taklukan, maka para sahabat menyebar ke berbagai daerah dan mengembangkan madrasah di tempatnya masing-masing :

Di Mekkah berdiri perguruan Ibnu Abbas, diantara para tabi’in yang menjadi muridnya adalah : Sa’id bin Jubair, Mujahid, Ikrimah maula Ibnu Abbas, Tawus bin Kaisan Al-Yamani dan ‘Ata bin Abi Rabah.

Di Madinah Ubay bin Ka’ab lebih menonjol dibidang tafsir dari sahabat Nabi yang lain, diantara muridnya dikalangan tabi’in adalah : Zaid bin Aslam, Abu ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab al-Qurazi.

Di Kufah (Iraq) berdiri perguruan Ibnu Mas’ud, yang dipandang oleh para ulama sebagai cikal bakal mazhab ahli ra’y (akal). Tabi’in yang menjadi muridnya antara lain : ‘Alqamah bin Qais, Masruq, Al-Aswad bin Yazid, Murrah Al-Hamazani, ‘Amir Asy-Sya’bi, Hasan al-Basri dan Qatadah bin Di’amah as-Sadusi.

Pada masa ini sebagian ulama ahli kitab (Yahudi) ada yang masuk Islam, sebagian tabi’in menukil dari mereka Isra’iliyat yang kemudian dimasukkan ke dalam tafsir. Misalnya yang diriwayatkan dari Abdullah bin Salam, Ka’bul Ahbar, Wahb bin Munabbih, Abdul Malik bin Abdul ‘Azis bin Juraij.

C. Masa Pembukuan

Pembukuan tafsir dimulai pada akhir pemerintahan Bani Umayyah dan awal pemerintahan Bani Abbasyah. Tokoh-tokoh yang terkemuka diantara mereka adalah : Yazid bin Harun as-Sulami (wafat 117 H), Syu’bah bin al-Hajjaj (wafat 160 H), Waki’ bin Jarrah (wafat 197 H), Sufyan bin Uyainah (wafat 198 H0, Rauh bin ‘Ubadah al-Basri (wafat 205 H), Aburrazaq bin Hammam (wafat 211 H), Adam bin Abu Iyas (wafat 220 H) dan ‘Abd bin Humaid (wafat 249 H). Kitab tafsir pembukuan pertama ini tidak ada yang sampai kepada kita. Yang kita terima hanyalah nukilan-nukilan pada kitab-kitab tafsir bil ma’sur periode sesudahnya.

Generasi berikutnya setelah periode pertama diatas menulis tafsir secara independen serta menjadikan ilmu tafsir yang berdiri sendiri dan terpisah dari hadits. Diantara mereka adalah : Ibn Majah (safat 273 H), Ibn Jarir at-Tabari (wafat 310 H), Abu Bakar bin Munzir an-Naisaburi (safat 318 H), Ibn Abi Hatim (wafat 327 H), Abusy Syaikh bin Hibban (safat 369 H0, Al-Hakim (safat 405 H) dan Abu Bakar bin Mardawaih (safat 410 H).

Kemudian ilmu semakin berkembang pesat, pembukuannya mencapai kesempurnaan, cabang-cabangnya bermunculan, perbedaan pendapat terus meningkat, masalah-masalah “kalam” semakin berkobar, fanatisme mazhab menjadi serius dan ilmu-ilmu filsafat bercorak rasional bercampurbaur dengan ilmu-ilmu naqli serta setiap golongan berupaya mendukung mazhabnya masing-masing. Itu semua membuat tafsir ternoda oleh iklim yang tidak sehat tersebut, sehingga para mufasir dalam menafsirkan Al-Qur’an berpegang pada pemahaman pribadi dan mengarah pada berbagai kecenderungan. Ahli ilmu rasional hanya memperhatikan dalam tafsirnya kata-kata pujangga dan filosof, seperti Fakhruddin ar-Razi. Ahli fikih hanya membahas soal-soal fikih, seperti Al-Jassas dan Al-Qurtubi. Sejarawan hanya mementingkan kisah dan berita seperti As-Sa’labi dan Al-Khazin. Tafsir ahli kalam punya kecenderungan mendukung mazhabnya seperti Al-Jubai, Qadi Abdul Jabbar dan Zamakhsyari dari Mu’zilah, Mala Muhsin al-Kasyi dari Syiah al-Isna Asyriyah, Ibnu Arabi dari golongan Tasawwuf hanya mengemukakan makna-makna yang tersirat (isyari).

Kemudian datanglah masa modern yang memperhatikan masalah kotemporer (kekinian), aspek sosial, keindahaln uslub dan kehalusan ungkapan, diantara mufasir kelompok ini adalah Muhammad Abduh, Muhammd Rasyid Ridha, Muhammad Mustafa al-Maragi, Sayyid Qutub dan Muhammad Izzah Darwazah.

Jenis-Jenis Tafsir

1. Tafsir bil Ma’tsur

Yaitu tafsir yang didasarkan pada nukilan-nukilan yang sahih menurut urutan, yaitu : Al-qur’an, hadits, pendapat sahabat, pendapat tabi’in.

2. Tafsir bir-ra’yi (akal)

Yaitu tafsir yang didasarkan pada ijtihad sendiri berdasarkan akal semata

3. Tafsir Isyari (isyarat)

Yaitu tafsir yang didasarkan pada isyarat yang kadang tidak tertangkap dari tekstual lahirnya. Contoh tafsir isyari adalah tentang ayat “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan …” (QS an-Nasr [110] : 1) maka Ibnu Abbas menafsirkan itu adalah isyarat tentang ajal Rasulullah yang sudah dekat.

Tafsir isyari ini banyak digunakan oleh kaum sufi berdasarkan kasyf atau ilham laduni dalam memahami isyarat makna batin dari Al-Qur’an.

Menurut Ibnul Qayyim, tafsir isyari dapat diterima apabila memenuhi empat persyaratan :

1. Tidak bertentangan dengan makna lahir ayat.

2. Maknanya sendiri sahih (tidak batil).

3. Terdapat indikasi bagi makna isyarat tersebut.

4. Antara makna isyari dengan makna ayat terdapat hubungan yang erat dan dapat dipahami oleh akal yang sehat.

4. Tafsir Tematik.

Yaitu tafsir yang hanya membahas pada tema-tema khusus tertentu, seperti yang berhubungan dengan hukum (ahkam), majaz, Nasikh-Mansukh, Asbabul-Nuzul.

5. Tafsir Garib (janggal)

Yaitu penafsiran kata-kata yang asing atau ayat mutasyabih yang dipaksakan untuk ditafsirkan maknanya, atau penafsiran berdasarkan ra’yu semata yang sulit diterima oleh akal sehat. Contoh :

a. Firman Allah dalam QS An-Nazi’at [79] : 17 “Pergilah engkau (Musa) kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas”. Kata Fir’aun ditafsirkan sifat buruk yang ada pada setiap manusia.

b. Firman Allah dalam QS Al-Maidah [5] : 55 “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan sholat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)”.

Dikatakan bahwa makna “orang-orang yang beriman” adalah para Imam Syiah yang dua belas. Kemudian “mereka tunduk” diartikan Sayyidina Ali.

32. Syarat dan Adab Bagi Mufasir

A. Syarat-syarat Mufasir :

1. Akidahnya benar.

2. Bersih dari hawa nafsu.

3. Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an terlebih dahulu.

4. Mencari Penafsiran dari hadits.

Firman Allah dalam QS An-Nisa’[16] : 44 :

“Dan kami turunkan kepadamu ad-dzikr (Al-Qur’an) agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”

5. Mencari penafsiran dari pendapat (atsar) sahabat, yaitu bila tidak dijumpai penafsiran dari hadits nabi yang maqbul (diterima).

6. Mencari penafsiran dari pendapat tabi’in, yaitu bila tidak dijumpai penafsiran dari para sahabat Nabi.

7. Mengetahui bahasa arab dengan segala cabangnya, seperti : nahwu (gramatika), sharaf (konyugasi), balagah (retorika), ma’ani, bayan (kejelasan) dan badi’ (efektifitas bicara), mengetahui irab (fungsi kata dalam kalimat), tasrif (konyugasi), masdar (kata dasar), musytaq (bentuk kata turunan), serta mengetahui syair-syair Arab lampau yang terkenal untuk mengetahui arti kata-kata sulit yang jarang digunakan.

Mujahid berkata : “Tidak diperkenankan bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berbicara tentang Kitabullah (menafsirkan) apabila ia tidak mengetahui berbagai dialek bahasa Arab”.

8. Mengetahui ilmu ushul tafsir, yang meliputi seluruh pembahasan pada point VII. Ushul tafsir diatas.

9. Mengetahui ilmu hadits, atsar sahabat dan tabi’in.

10. Mengetahui ilmu fikih dan ushul fikih.

11. Pemahaman dan ketelitian yang cermat akan qarinah, dhalalah nash, serta tujuan tasyri sehingga mampu menyimpulkan makna yang sejalan dengan syariat.

B. Adab Mufasir :

1. Berniat baik dan bertujuan benar.

2. Berakhlak baik.

3. Taat dan beramal.

4. Berlaku jujur, teliti dan obyektif.

b. Tawadu’ dan lemah lembut.

c. Berjiwa mulia dan menjaga muru’ah (kehormatan diri dan agama).

d. Berani dalam menyampaikan kebenaran.

e. Berpenampilan dan berperilaku yang baik.

f. Bersikap tenang dan mantap.

g. Menghormati pendapat orang lain yang lebih utama.

h. Mempersiapkan dan menempuh metode pnafsiran yang baik.

33. Kitab – Kitab Tafsir yang Terkenal

A. Tafsir bil Ma’sur

1. Tafsir yang disandarkan kepada Ibnu Abbas –Tanwirul Miqbas min Tafsiri Ibn Abbas- disusun oleh Abu Tahir Muhammad bin Ya’qub al-Fairuzabadi asy-Syafi’i.

2. Tafsir Ibn Jarir at-Tabari, Jami’ul bayan fi tafsiril Qur’an.

3. Tafsir Ibn Abi Hatim

4. Tafsir Abusy Syaikh bin hibban.

5. Tafsir Abu Lais as-Samarqandhi, Bahrul-Ulum.

6. Tafsir Abu Ishaq, al-Kasyfu wal bayan ‘an tafsiril Qur’an.

7. Tafsir Abu Fida Ibn Katsir, Tafsirul Qur’anil Adzim.

8. Tafsir Jalaluddin as-Suyuthi, ad-Durrul Mansar fil Tafsiri bil-Ma’tsur.

9. Tafsir asy-Syaukani, Fathul Qadir.

B. Tafsir bir ra’yu

1. Tafsir Abu ‘Ali al-Jubai (salah satu tokoh Mu’tazilah).

2. Tafsir Qadi Abdul Jabbar.

3. Tafsir Zamakhsyari, al-Kasysyaf ‘an haqa’iqi gawamidit tanzil wa ‘uyunil aqawil fi wujuhit ta’wil.

4. Tafsir Fakhruddin ar-Razi, Mafatihul Gaib.

5. Tafsir an-Nasafi, Madarikut tanzil wa haqa’iqut ta’wil.

6. Tafsir Abu Hayyan, al-Bahrul Muhit.

7. Tafsir Al-Baidawi, Anwarut tanzil wa asrarut ta’wil.

8. Tafsir Jalalain, karya Jalaluddin al-Mahalli dan muridnya Jalaluddin as-Suyuthi.

9. Tafsir al-Qurtubi, Al-Jami’li Ahkamil Qur’an.

C. Tafsir Isyari

1. Tafsir Gharaibul Qur’an wa Raghaibul Furqan, karya Syeikh Nizhamuddin al-Hasan bin Muhammad al-Husain al-Khurasani an-Naisaburi.

2. Tafsir Al-Qur’anul Azhim, karya Abu Muhammad Sahl bin Abdullah bin Yunus bin Abdullah at-Tustari

3. Tafsir Ruhul Ma’ani, karya Syihabuddin as-Sayyid Muhammad al-Alusi al-Baghdadi.

4. Tafsir Haqaiqut Tafsir, karya Abu Abdurrahman Muhammad bin Husain bin al-Asad as-Sulami.

D. Tafsir Modern

1. Tafsir Al-Manar, karya Muhammad Rasyid Ridha.

2. Tafsir al-Maraghi, karya Ahmad Musthafa al-Maraghi.

3. Tafsir Fi Zilalil Qur’an, karya Sayyid Qutub.

4. Tafsir al-Jawahir, karya Thantawi Jauhari.

5. Tafsir Fathul Bayan, karya Shidiq Hasan Khan.

34. Biografi Singkat Beberapa Mufasir.

A. Ibnu Abbas

Beliau adalah putra paman Nabi yaitu Abbas bin Abdul Munthalib, dilahirkan ketika Bani Hasyim berada di Syi’b, tiga atau tahun sebelum hijrah. Ketika Rasulullah meninggal Ibnu Abbas baru berumur 13 tahun. Ketika perang siffin beliau berada di al-Maisarah, kemudian diangkat sebagai gubernur Basrah oleh Khalifah Ali. Setelah Khalifah Ali terbunuh beliau menetap di Mekkah.

Ibnu Abbas dikenal sebagai Turjumanul Qur’an (juru tafsir Al-Qur’an), Habrul ummah (tokoh ulama umat) dan Ra’isul Mufassirin (pemimpin para mufasir). Dalam Mu’jam al-Bagawi dan lainnya meriwayatkan dari Umar :

“Bahwa Umar mendekati Ibnu Abbas dan berkata, sungguh saya pernah melihat Rasulullah mendoakanmu, lalu membelai kepalamu, meludahi mulutmu dan berdoa, ‘Ya Allah, berilah ia pemahaman dalam urusan agama dan ajarkanlah kepadanya ta’wil’”.

Riwayat yang disandarkan kepada Ibnu Abbas mengenai tafsir tidak terhitung banyaknya, mulai dari yang sahih, hasan, munqathi , dhaif sampai maudlu.

Baihaqi meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud : “Juru tafsir Al-Qur’an yang terbaik adalah Ibnu Abbas”.

Abu Nu’aim meriwayatkan dari Mujahid : “Adalah Ibnu Abbas dijuluki dengan al-Bahr (lautan) karena banyak dan luas ilmunya.”

B. Mujahid bin Jabr

Beliau dilahirkan pada 21 H, masa Khalifah Umar. Mujahid adalah pemimpin atau tokoh utama mufasir generasi tabi’in, Ia belajar tafsir kepada Ibnu Abbas. Ia juga banyak meriwayatkan dari Ali, S’d bin Abi Waqqas, empat orang Abdullah, Rafi’ bin Khudaij, Aisyah, Ummu Salamah, Abu Hurairah, Suraqah bin Malik dan lainnya.

Sufyan Tsauri berkata : “Jika datang padamu tafsir dari Mujahid, cukuplah itu bagimu”.

Berkata Ibnu Taimiyah : “Syafi’i, Bukhari dan ahli ilmu lainnya banyak berpegang kepada tafsirnya”.

Az-Sahabi berkata : “Umat sepakat bahwa Mujahid adalah tokoh terkemuka yang kata-katanya dijadikan hujjah, dan kepadanya Abdullah bin Kasir belajar”.

C. Ibn Jarir at-Tabari

Lahir 224 H di Baghdad dan meninggal 310 H dikota yang sama. Ulama yang luas ilmunya, banyak meriwayatkan hadits, ahli dalma pen-tarjih-an (seleksi yang lebih kuat) riwayat-riwayat, banyak mengetahui sejarah tokoh dan kisah terdahulu.

Kitab tafsirnya Jami’ul Bayan fi Tafsiril Qur’an merupakan kitab tafsir paling besar dan utama serta menjadi rujukan penting para mufasirin bil ma’sur.

Ibn Jarir mempunyai keistimewaan tersendiri berupa istimbath (penyimpulan) yang unggul dan pemberian isyarat pada kata-kata yang samar ‘irabnya. Imam Nawawi dalam Tahzibnya berkata : “Kitab Ibn Jarir dalam bidang tafsir adalah sebuah kitab yang belum seorangpun pernah menyusun kitab yang menyamainya”. Ibnu Katsir, tokoh mufasir yang sesudahnya banyak menukil darinya.

D. Ibn Katsir

Nama lengkapnya Ismail bin Amr al-Qurasyi bin Katsir al-Basri ad-Dimsyaqi ‘Imaduddin Abul Fida al-Hafiz al-Muhaddits asy-Syafi’i. Lahir 705 H dan wafat 774 H.

Al-Hafidz Ibnu Hajar Atsqolani berkata : “Beliau adalah seorang ahli hadits yang faqih, karangan-karangannya tersebar luas diberbagai negeri semasa hidupnya dan dimanfaatkan orang banyak setelah wafatnya”.

Kitab tafsirnya Tafsirul Qur’anil Adzim merupakan tafsir paling masyhur meriwayatkan dari mufasir generasi salaf dan menjelaskan makna-makna dan hukum-hukumnya serta menjauhi pembahasan irab dan morfologi yang bertele-tele seperti yang dilakukan kebanyakan mufasir juga menjauhi pembicaraan yang melebar pada ilmu-ilmu lain yang tidak significant. Tafsirnya dimulai dengan menafsirkan ayat dengan ayat Al-Qur’an yang lain, kemudian dengan pendapat sahabat, pendapat tabi’in dan ulama salaf sesudahnya. Menukil Israiliyat yang relevan dengan tetap memberi peringatan akan cerita-cerita Israiliyat yang munkar.

E. Fakhruddin ar-Razi

Lahir di Ray 543 H dan wafat di Harah tahun 606 H. Sangat menguasai ilmu mantiq (logika), filsafat serta menonjol dalam ilmu kalam. Kitab tafsirnya Mafatihul Gaib berisi uraian mengenai kedokteran, logika, filsafat dan hikmah serta membawa kepada persoalan-persoalan ilmu aqliah yang bukan untuk itu nash diturunkan. Oleh karena itu kitab tafsir ini kurang memiliki ruh Islam, seorang penilai mengatakan tentang kitab tafsirnya : “Didalamnya terdapat segala sesuatu kecuali tafsir itu sendiri”.

F. Az-Zamakhsyari

Nama lengkapnya Abul Qasim Mahmud bin Umar al-Khawarizmi az-Zamakhsyari. Dilahirkan tahun 467 H di Zamakhsar. Beliau sangat ahli dalam ilmu bahasa, ma’ni dan bayan. Bagi orang-orang yang membaca kitab-kitab imu nahwu dan balagah tentu sering menemukan keterangan-keterangan yang dikutip dari kitab zamakhsyari sebagai hujjah. Misalnya mereka mengatakan :”Zamakhsyari telah berkata dalam kitab Al-Kasysyaf atau dalam Asasul Balagah-nya…”. Beliau orang yang mempunyai pendapat dan hujjah sendiri dalam banyak masalah bahasa Arab. Bukan type orang yang suka mengikuti langkah-langkah orang lain yang hanya menghimpun dan mengutip saja, tetapi ia mempunyai pendapat orisinal yang jejaknya ditiru dan diikuti oleh orang lain. Imam Zamakhsyari ber mazhab Hanafi dalam fikih dan ber akidah Mu’tazilah. Beliau menafsirkan Al-Qur’an cenderung kepada mazhab dan akidahnya dengan cara yang hanya diketahui oleh orang yang ahli.

G. As-Syaukani

Nama lengkapnya Qadi Muhammad bin Ali bin Abdullah asy-Syaukani as-San’ani, seorang imam mujtahid. Dilahirkan di kampung Syaukan pada 1173 H dan meninggal tahun 1250 H. Dalam fikih beliau ber mazhab Zaidiyah. Kitab tafsirnya Fathul Qadir menggabungkan antara riwayat, penalaran dan istinbath atas nash-nash ayat.

Reference :

1. Studi ilmu-ilmu Al-Qur’an, author : Manna Khlail al-Qattan. Publisher : Lintera Antar Nusa.

2. Al-Qur’an dan ulumul Qur’an, author : Drs. Muhammad Chirzin, M.Ag. Publisher : Dana Bhakti Prima Yasa.

3. Al-Qur’an sumber hukum Islam yang pertama, author : Drs. Miftah Faridl & Drs. Agus Syihabudin. Publisher : Pustaka.

4. Ulumul Qur’an Praktis, author : Drs. Hafidz Abdurrahman, MA. Publisher : Idea Pustaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar