KH. MUNIF DJAZULI “Kiyai Nyentrik, Sederhana Dan Bersahaja”
Meneladani seorang ulama tak akan ada habisnya. Selalu saja terselip uswah di setiap sudut kehidupannya. Sekecil apapun yang diperbuat, di balik itu semua akan ada hikmah yang dapat dipetik oleh umat. Dan mungkin itulah yang disinyalir dalam hadis Nabi, bahwa ulama adalah pewaris para Nabi. Bukan mewarisi harta, dirham dan dinar, tapi ilmu dan keteladanan.
Kiai yang Nyentrik
KH. Munif Djazuli adalah putra kelima KH. Djazuli Usman, pendiri pondok pesantren Al-Falah Ploso Kediri. Sosok kiai yang selalu terlihat berpenampilan nyentrik. Mungkin itu yang bisa digambarkan dari seorang KH. Munif Djazuli, yang juga sering diungkapkan oleh para tokoh. Dari cara berpakaian, mungkin banyak orang yang menilai bahwa KH. Munif selalu berpenampilan dengan pakaian-pakaian yang juga selalu mewah. Namun sejatinya, menurut Ning Eva, putri sulung KH. Munif Djazuli, beliau berpenampilan sedemikian itu bukanlah untuk bermewah-mewahan saja, tapi di balik itu, agar kita tidak sampai dikecilkan, diremehkan hanya karena persoalan penampilan saja. Sehingga segala yang beliau kenakan itu tak lain dan tak bukan adalah untuk ngajeni diri sendiri, agar dalam berdakwah di tengah masyarakat -apalagi masyarakat elit- maka kita akan tetap bisa berdakwah bukan sebagai peminta, tapi penyeru agama Allah yang mulia.
Kiai Munif, juga sosok yang sangat cerdas, menurut beberapa saksi, termasuk putra-putrinya, beliau itu menguasai banyak bahasa, mulai Arab, Inggris, Cina, Mandarin, Jepang, Prancis, Spanyol dan sebagaianya. Entah dari mana beliau belajar bahasa-bahasa dunia itu, padahal jika dirunut ke belakang riwayat pendidikan beliau, dulu sekolah rakyat (SR) saja beliau tidak lulus. Kecakapan beliau dengan menggunakan bahasa-bahasa –yang secara logika hanya bisa dilakukan oleh orang yang pernah mempelajarinya- membuat banyak kalangan menyebut bahwa Kiai Munif adalah sosok yang sangat santun dalam berbahasa, tak ayal beliau sering menjadi penengah di antara keluarganya, selalu bisa menyatukan, memberi jalan tengah yang bisa diterima oleh semuanya. Hal ini mengigatkan pada mendiang kakaknya, KH Chamim Djazuli, Gus Miek. Tak pernah diketahui riwayat pendidikannya, tapi sangat mumpuni dalam keilmuannya, baik ilmu agama maupun ilmu-ilmu lainnya.
Dalam berdakwah, beliau juga sangat nyentrik. Beliau tak pernah membeda-bedakan siapa saja. Semua jika memang membutuhkan untuk diarahkan, maka akan beliau beri arahan. Diceritakan dulu, pernah Prabowo, ketua umum partai Gerindra, sempat ingin sowan kepada Kiai Munif, tapi beliau memberi syarat, Prabowo harus datang sendiri tanpa pengawal, sebab kebiasaan para pejabat jika ke mana saja selalu diiringi pengawal. Kemudian Prabowo pun mengiyakan. Tibalah hari, Prabowo sowan pada kiai Munif. Memang Prabowo datang tanpa pengawal, namun Kiai Munif tidak bisa dibohongi, beliau tahu bahwa ternyata Prabowo tetap membawa pengawal, hanya saja dengan cara menyamar, ada pengawal yang menyamar tukang becak, pedagang dan sebagainya. Akhirnya Prabowo pun meminta maaf pada kiai Munif karena dia tidak menepati janjinya.
Sosok yang Sederhana
Mungkin banyak yang mengira, KH. Munif Djazuli, yang selalu berpenampilan stylist, pengampu pondok pesantren Queen Al-Falah yang begitu besar dan mewah adalah seorang hedonis. Namun asumsi itu tidaklah benar, karena ternyata beliau adalah sosok yang sangat sederhana. Bahkan menurut cucu KH Nurul Huda Djazuli, kakak KH MUnif Djazuli, Agus Nailil Author, KH Munif Djazuli itu tidak memiliki ndalem (rumah). Beliau dan ketiga belas putranya hanya tinggal dalam sebuah kamar yang letaknya di antara kamar-kamar para santri. Jadi bukan bentuk rumah yang beliau miliki untuk tempat tinggal, hanya kamar.
Hingga karena itu, Kiai Munif menjadi sosok yang lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam kamar. Kamar yang selalu dalam keadaan gelap gulita, tanpa secercah cahaya. Mungkin dalam keadaan sunyi inilah beliau lebih bisa untuk bertafakur dan mendekat kapada Allah. Sungguh cermin kehidupan kiai besar yang jauh dari gemerlap dunia.
Dalam hidangan makanan, beliau juga sangat sederhana. Jangan dibayangkan di meja makan beliau tersaji berbagai menu makanan, yang ada hanya makanan-makanan sederhana, seadanya yang cukup untuk penyuplai gizi sebagai bekal ibadah saja. Dan beliau juga menerapkan hidup sederhana ini ketika menyambut para tamu besarnya. Pernah saat itu mantan gubernur Jatim Imam Utomo, dan wakil gubernur Jatim saat ini Gus Ipul datang sowan. Kiai Munif hanya menghidangkan sajian sederhana, makanan yang beliau beli di depan pondok. Ini tak lain adalah untuk memberikan teladan betapa hidup itu tidak perlu bermewah-mewahan, cukup apa yang cukup untuk bekal beribadah saja.
Kesederhanaan ini selalu beliau tanamkan pada putra-putrinya, melalui cermin kehidupan beliau sehari-hari. Bahkan sempat ada yang menawarkan pada beliau agar putra-putrinya dibangunkan sebuah rumah, tapi beliau hanya menjawab, “Biar, sudah saya pasrahkan kepada Allah.” Bukan karena tidak mampu untuk membangun rumah yang mewah. Bahkan andai ingin membangun istana beliau akan bisa. Namun beliau lebih memilih hidup sederhana. Dan mempersembahkan semua harta yang dimiliki hanya untuk umat saja. Bahkan sampai menutup mata, semua sawah, dan apa yang beliau miliki semua diberikan kepada orang lain.
Sosok Yang Bersahaja
Untuk mempersembahkan cinta kasih beliau terhadap sang Ibu, Nyai Radliyah, Kiai Munif –atas saran sang Ibu- mendirikan pondok pesantren Queen Al-Falah yang terletak di sebelah barat pondok pesantren induk Al-Falah. Nama Queen sendiri –menurut penuturan Kiai Munif-diambil dari potongan ayat “quu anfusakum wa ahliikum naroo”. Namun menurut Ning Eva, nama Queen yang artinya ratu itu, adalah untuk memuliakan para pemegang Al-Qur’an, memuliakan ibu, para wanita, menjadikannya ratu. Dan seiring perjalanan waktu, pondok pesantren Queen berkembang menjadi sebuah pesantren yang menampung santri yang ingin sekolah formal.
Betapa perhatian Kiai Munif terhadap keluarganya, para putra-putri, sangat luar biasa. Beliau bahkan sering menyuruh para mufattiys, atau semacam guru privat untuk mengajari putra-putri beliau. Dalam prinsip beliu, yang paling penting dalam hidup ini adalah adab, budi pekerti, tata karma. Ilmu atau kepandaian itu nomor sekian. Sehingga beliau sendiri selalu mencerminkan budi pekerti yang luhur dalam kesehariannya, sabar, teguh, tidak pernah mengeluh. Bahkan dalam kondisi kritis –ketika akan dibawa ke rumah sakit Dr. Soetomo Surabaya- dan kebetulan saat itu satu di antara beberapa keponakan yang mengantarkan lupa tidak memakai peci, dengan tegas beliau menegur “Wes bosen ta dadi santri?” sontak, semua pun takut, dan merasa untung bagi yang waktu itu memakai peci. Beliau benar-benar sangat memperhatikan bagaiamana etika seorang santri, terlebih keluarganya. Jangan sampai seorang santri melepaskan identitas kesantriannya.
Sungguh, telaga teladan yang tak akan habis jika kita meminumnya. Terus meneladani seorang kiai, untuk melanjutkan estafet pewaris para Nabi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar