Khutbah Jum'at : Nasihat ‘Ammar bin Yasir RA
Oleh: Drs. KH. M. Dian Nafi’, M.Pd
Wakil Rais Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa
Tengah,
Pengasuh Pesantren Mahasiswa Al-Muayyad Windan Surakarta.
KHUTBAH I
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَسْبَغَ عَلَى
عِبَادِهِ نِعَمَهُ وَعَطَايَاهُ، وَهَدَاهُمْ إِلَى الْحَقِّ بِمَواعِظِهِ
وَوَصَايَاهُ، قَالَ تَعَالَى: وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِيْنَ أُوْتُوا
الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُوا اللَّهَ، أَحْمَدُهُ
سُبْحَانَهُ بِمَا هُوَ لَهُ أَهْـلٌ مِنَ الْحَمْـدِ وَأُثْنِيْ عَلَيْهِ،
وَأُوْمِنُ بِهِ وَأَتَوكَّلُ عَلَيْهِ، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ
وَمَنْ يُضْـلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، أَرْسَلَ رُسُلَهُ مُبَشِّرِيْنَ وَمُنْذِرِيْنَ،
وَهُدَاةً مُصْلِحِيْنَ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا
عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ، خَيْرُ مَنْ أَوْصَى وَوَجَّهَ، وَأَرْشَدَ ونَبَّهَ،
أَرْسَلَهُ رَبُّهُ بَشِيْرًا وَنَذِيْرًا، وَدَاعِيًا إِلَى اللهِ بإِذْنِهِ
وَسِرَاجًا مُنِيْرًا، اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَيْهِ وَعَلَى
آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ، وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ بإِحْسَانٍ إِلَى
يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ: فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ اِتّقُوا
اللهَ تَعَالَى فِي السِّرِّ وَ اْلعَلَنِ، يَا أَيُّهَا الّذِيْنَ آمَنُوْا
اتَّقُّو اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَ لَا تَمُوْتُنَّ إِلَّا وَ أَنْتُمْ
مُسْلِمُوْنَ
قَالَ عَمَّارٌ بْنُ يَاسِرٍ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ: كَفَى بِالْمَوْتِ وَاعِظًا، وَكَفَى بِالْيَقِيْنِ غِنًى، وَكَفَى
بِالْعِبَادَةِ شُغْلًا. أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ فِيْ الزُّهْدِ
Dari ‘Ammar bin Yasir RA beliau berkata: “Cukuplah kematian
sebagai nasihat, keyakinan sebagai kekayaan, dan ibadah sebagai kesibukan.” (Imam Jalaluddin As-Suyuthi menjelaskan
bahwa kalimat itu diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Kitab Az-Zuhdu).
‘Ammar bin Yasir RA adalah anak dari Sumayyah binti
Khabbab dan Yasir bin Amir RA yang merupakan salah satu dari
orang yang paling awal dalam memeluk agama Islam atau disebut
dengan As-sabiqunal Awwalun.
Keluarga Yasir bin Amir berasal dari Tihanah, suatu daerah di
Yaman. Yasir bin Amir kemudian datang ke Mekkah untuk mencari saudaranya yang
hilang dan kemudian menetap di sana dan beristerikan Sumayyah binti Khabbab.
Setelah ‘Ammar bin Yasir dan keluarga memeluk Islam, kemudian mereka disiksa
oleh Abu Jahal untuk melepaskan Islam.
Dalam siksaan itu orang tua ‘Ammar bin Yasir tewas oleh
kekejaman kaum Quraisy.
Sementara ‘Ammar selamat setelah diperlihatkan mukjizat oleh
rasulullah SAW yang mengubah api menjadi dingin. ‘Ammar bin Yasir RA juga ikut
dalam hijrah ke Habasyah (saat ini Ethiopia) dan kemudian hijrah
ke Madinah.
‘Ammar bin Yasir RA termasuk sahabat yang dijanjikan masuk surga
oleh nabi Muhammad SAW. Beliau juga berperanan penting di setiap situasi
kritis. Di masa khalifah ‘Umar RA beliau dipercaya sebagai walikota Kufah
dengan ‘Abdurrahman bin Mas’ud RA sebagai wazir dan bendahara kota itu
(Bastoni, 2007: 198-205). Nasihat ‘Ammar bin Yasir RA mendalam, termasuk yang
dikutip oleh Imam Jalaluddin As-Suyuthi di dalam kitab tafsir beliau, Ad-Durru al-Mantsur fi
at-Ta’wili bi al-Ma’tsur.
Nasihat pertama adalah kafa bi al-mauti wa’idha,
cukuplah kematian sebagai nasihat). Kematian adalah peristiwa yang sangat besar
bagi manusia. Ia mengakhiri kenikmatan duniawi. Ia menjadi pemutus periode
hidup di alam ikhtiar. Kematian pasti dialami oleh setiap yang bernyawa.
Kemanapun manusia menghindarinya, kematian pasti menjemputnya. Oleh karena itu
mengambil nasihat dari kematian, mengambil nasihat dari sebuah peristiwa
terbesar, sangatlah penting.
Hampir setiap hari kita mendengar adanya kabar kematian, dari
pengeras suara di masjid/surau, dari radio, dari televisi, dari kabar sesama
kawan, dari koran, dan dari media yang beragam. Betul, kematian itu hanya satu,
tetapi sebabnya bermacam-macam. Tanawwa’at al-asbab wa al-mautu wahidu, bermacam-macamlah sebab kematian, tetapi
kematian itu hanya satu.
Sebagian dari kita ada yang memiliki pengalaman mendampingi
orang yang mendekati ajalnya. Banyak orang yang tidak tega, iba, dan bahkan
tersentak. Nah, menilik pengalaman beberapa orang yang hendak menghembuskan
nafas terakhir, sungguh mencemaskan detik-detik itu. Oleh karena itu wajar,
jika husnu al-khatimah atau akhir hidup yang baik menjadi idaman semua orang beriman.
Kematian membuat kita sadar bahwa manusia hidup di dunia ini
sementara. Usia umat nabi Muhammad SAW rata-rata berkisar 60 sampai 70 tahun.
Meskipun begitu ada pula yang masih lebih muda sudah dipanggil oleh Yang Maha
Kuasa. Dan tidak sedikit pula warga masyarakat yang sudah sepuh, sudah tua,
sudah berusia di atas 70 tahun, tetapi masih dianugerahi kesehatan dan
kebugaran sehingga setiap hari dapat salat berjama’ah dengan baik di masjid
atau mushalla, dapat mengunjungi majelis-majelis ilmu, dapat berbelanja
memenuhi kebutuhan sehari-hari, dapat membersihkan rumah, dapat menerima tamu
dengan ramah, dan dapat menolong sesama dengan lembut. Alhamdulillah. Semoga sampai di usia tua kita tetap dapat
berbuat baik dalam kesehatan yang terjaga. Amin.
Kematian juga mengingatkan kita bahwa kita ini adalah anak
keturunan Adam AS. “Asal” kita adalah surga. Kita dihidupkan di dunia untuk
memakmurkan bumi-Nya agar kelak kita dapat kembali kepada surga Allah SWT.
Kematian adalah gerbang, untuk mengkhiri hidup duniawi kita menuju ke alam
hidup berikutnya. Surgalah tempat kita kelak. Allahumma, amin.
Demikianlah Allah menciptakan kematian dan kehidupan untuk
menguji manusia, manakah di antara mereka yang terbaik amalnya.
تَبارَكَ الَّذِيْ بِيَدِهِ الْمُلْكُ وَهُوَ
عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ. الَّذِيْ خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَياةَ
لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
“Mahasuci Allah yang di tangan-Nya lah segala kerajaan, dan Dia
Maha Kuasa atas segala sesuatu, yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia
menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha
Perkasa lagi Maha Pengampun.”
(QS. Al-Mulk [67]: 1-2).
Hadirin yang dirahmati Allah.
Tetangga kita yang sakit dalam waktu lama, apalagi mencapai usia
senja, dapat berbagi cerita tentang kerinduan yang sulit digambarkan akan
sesuatu di masa mendatang. Dan tidak jarang terdengar sesal yang sangat
mengharukan tentang sesuatu yang telah berlalu. Itu masih lumayan melegakan,
karena ada yang bersedia mendengarkan curahan hati dengan sabar. Bagaimana
dengan orang-orang yang menghadapi saat paling kritis itu dalam kesendirian?
“Allah, Allah, Allah.” Itulah yang bisa untuk dituntunkan bagi mereka dalam kondisi
serba lemah itu, jika “La ilaha illallah” sudah dikhawatirkan tidak dapat ditirukan dengan lengkap,
maka lafadh jalalah “Allah, Allah, Allah” itulah yang terbaik untuk dituntunkan bagi mereka dalam
kondisi serba lemah itu. Kalimat bertele-tele sudah tidak diperlukan, apalagi
argumentasi.
Hadirin yang dirahmati Allah.
Kafabi al-yaqini ghina, cukuplah keyakinan sebagai kekayaan.
Cukupkan kepercayaan sebagai aset. Cukuplah kemantapan pikir, kemantapan hati,
dan kemantapan rohani sebagai modal.
Nasihat kedua ini tidak kalah daya hentaknya. Yang merasa tidak
sukses dalam hidup, oleh ‘Ammar bin Yasir diajak untuk memeriksa keyakinan
diri. Ya, keyakinan diri. Keyakinan bertingkat-tingkat. Ada yang terbentuk
melalui kesaksian inderawi (‘ainu al-yaqin). (QS. At-Takatsur [102]: 7).
ثُمَّ لَتَرَوُنَّها عَيْنَ الْيَقِيْنِ
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ‘ainu
al-yaqin.”
‘Ainu al-yaqin artinya melihat dengan mata kepala sendiri
sehingga menimbulkan keyakinan yang kuat.
Syaikh Fakhruddin Ar-Razi menyatakan wa la syakka ba’da
ar-ru`yati (ولا شك بعد الرؤية),
“tak ada keraguan setelah menyaksikan dengan mata kepala.”
Keyakinan berdasarkan fakta empirik yang terindera, dapat
memenuhi tahapan keyakinan yang berupa pengetahuan dan pemahaman. Tahapan ini
merupakan dasar yang penting dalam membangun keyakinan.
Masih ada keyakinan yang lebih tinggi, yaitu yang berdasarkan
ilmu (‘ilmu al-yaqin). (QS. At-Takatsur [102]: 5).
كَلاَّ لَوْ تَعْلَمُوْنَ عِلْمَ الْيَقِيْنِ
“Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang
yakin.” (QS. At-Takatsur [102]: 5).
Syaikh Fakhruddin Ar-Razi menegaskan bahwa al-‘ilmu min asyaddi
al-bawa’itsi ‘ala al-‘amali (العلم من أشد البواعث على العمل), “ilmu merupakan salah satu pendorong terkuat bagi perbuatan.”
Keyakinan orang yang berilmu lebih kokoh daripada keyakinan
orang-orang yang tidak berilmu. Di sinilah kekuasaan dan sekaligus keadilan
Allah juga dapat kita pahami. Ada perbedaan kualitas antara orang yang
berpendidikan dan yang tidak terdidik. Yang berilmu pengetahuan lebih terhormat
daripada yang tidak berilmu pengetahuan.
Mengapa? Karena mutu kesaksian mereka berbeda. Peristiwanya bisa
sama, tetapi maknanya berbeda. Misalnya genangan air bersih yang baru saja
dijumpai di sebuah lokasi terbuka yang jauh dari permukiman. Orang bodoh
menganggapnya itu hanyalah sekadar genangan, tetapi bagi orang yang berilmu
pengetahuan tinggi, kesaksian itu akan menuntun kepada pengamatan yang lebih
seksama, bahkan bisa melibatkan para ahli dari berbagai disiplin ilmu dan
berbagai pihak yang berwenang.
Ilmu menjadikan fakta berbicara lebih fasih. Peristiwa sederhana
bisa menjadi pelajaran berharga setelah melewati pertimbangan orang yang
berilmu pengetahuan. Demikianlah kita sangat menghargai firman-Nya tentang ilmu
dan keilmuan di dalam Al-Quran al-Karim.
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِيْنَ آمَنُوا مِنْكُمْ
وَالَّذِيْنَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيْرٌ
“… niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di
antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan
Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Mujadilah [58]: 11).
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: فَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِيْ عَلَى أَدْنَاكُمْ.
رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ عَنْ أَبِيْ أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
Rasulullah SAW bersabda: “Keutamaan orang ‘alim atas orang yang tekun
ibadah, laksana keutamaanku atas orang-orang yang paling rendah dari kalian.” (HR. Imam Tirmidzi dari Abi Umamah
Al-Bahili RA).
Kita menyaksikan peran ilmu sangat penting di dalam kehidupan
sehari-hari. Banyak negara bangkit menjadi semakin kuat karena modal ilmu
pengetahuan yang berhasil mereka pupuk sejak lama. Bangsa-bangsa berkembang
semakin dihormati juga bersama ilmu pengetahuan yang berhasil mereka kuasai.
Ilmu pengetahuan ditambah dengan penerapannya dalam menjawab
kebutuhan hidup sehari-hari melahirkan teknologi. Teknologi membuat hidup
manusia semakin mudah, praktis dan hemat waktu. Sebaliknya teknologi juga
mengakibatkan kesenjangan, baik kesenjangan sosial, karena kalangan yang kaya
akan mendapatkan akses teknologi yang lebih banyak dan lebih berkualitas.
Tetapi kesenjangan tidak hanya bersifat sosial saja, melainkan juga kesenjangan
antara moralitas masyarakat dengan tuntunan yang dianut oleh masyarakat
sendiri.
Teknologi memudahkan kehidupan manusia. Di tangan orang yang
tidak berakhlak karimah, maka teknologi akan juga memudahkan
perbuatan-perbuatan mereka. Itulah sebabnya para ilmuwan yang arif bijaksana,
para ulama, dan kaum cerdik pandai mendukung konvergensi ilmu pengetahuan dan
teknologi dengan kearifan masyarakat, termasuk yang bersumber dari nilai-nilai
agama.
Tak lain dan tak bukan agar teknologi tidak berkembang liar.
Jika teknologi berkembang penggunaannya secara liar, maka perangkat modern itu
akan sangat disayangkan apabila hanya semakin menyibukkan manusia dan
melalaikan kaum beriman dari ibadah dan keluhuran.
Oleh karena itu Allah SWT menegaskan menjamin untuk “meninggikan
orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat.”
Hadirin yang dirahmati Allah.
Keyakinan berdasarkan ilmu pengetahuan akhirnya diakui terbatas
kepada asumsi-asumsi dan postulat-postulat yang berlaku di dalam ilmu
pengetahuan itu sendiri. Kehidupan yang dijalani oleh manusia masih menyisakan
misteri. Misteri kehidupan banyak yang belum terjawab. Orang masih saja
mencari-cari sandaran yang paling kokoh untuk membangun keyakinan diri. Dalam
kaitan itu kita layak menyimak firman-firman-Nya. Allah SWT memberitahu kita
adanya keyakinan tertinggi, yaitu keyakinan hakiki atau haqqu al-yaqin (QS. Al-Waqi’ah [56]: 95). Tidak bisa
tidak, firman-Nya-lah yang melengkapi sandaran kedua keyakinan sebelumnya.
إِنَّ هَذَا لَهُوَ حَقُّ الْيَقِيْنِ
“Sesungguhnya (yang disebutkan ini) adalah suatu keyakinan yang
benar.” (QS Al-Waqi’ah
[56]: 95)
Hadirin yang dirahmati Allah.
Seandainya menghitung biaya, maka bagi setiap keyakinan ada
harga yang harus dibayar. Pertama, untuk menjangkau keyakinan inderawi
atau ‘ainu al-yaqin, maka dibutuhkan biaya. Dan biaya yang lebih besar harus dikerahkan
untuk menjangkau tataran keyakinan kedua, yaitu keyakinan berikutnya (‘ilmu al-yaqin). Dan ketika mencapai tataran ketiga dari
keyakinan, yaitu keyakinan hakiki (haqqu al-yaqin), maka seseorang memiliki “kekayaan” yang
tidak ternilai oleh harta.
Dengan modal keyakinan itulah manusia akan merasakan
tahapan-tahapan kenikmatan. Pertama adalah tahapan kenikmatan inderawi. Kedua,
adalah kenikmatan keilmuan. Dan ketiga, adalah kenikmatan rohani. Di tataran
itulah orang akan merasakan lezatnya beribadah kepada-Nya, baik ibadah ritual (mahdlah) maupun ibadah kemasyarakatan (ijtima’iyah) dan ibadah yang perlu mengerahkan harta (maliyah).
Sampailah kita kepada nasihat ketiga ‘Ammar bin Yasir RA. Kafa bi al-‘ibadati
syughla, cukuplah ibadah
sebagai kesibukan. Cukuplah kebaikan lillahi ta’ala sebagai pengisi waktu kita. Mulai terbit
fajar, matahari menyingsing di ufuk timur, sampai matahari berada tepat di atas
kepala kita, hingga tiba waktunya sore, petang dan malam, bahkan tengah malam,
ibadah selalu pantas menjadi pengisi waktu.
Kebiasaan beribadah membuat orang lebih terukur di dalam
berpikir, bersikap dan berbuat. Kita perhatikan, ada ibadah yang bersifat
ritual (mahdlah),
ada pula yang bersifat kemasyarakatan (ijtima’iyah) dan ada juga ibadah yang perlu mengerahkan harta (maliyah). Semua dapat kita lakukan sesuai dengan
petunjuk agama.
Memperhatikan ragam ibadah itu, tergambar bagi kita, semakin
sukses seseorang, maka semakin berpeluang untuk menganekaragamkan dan
melengkapkan bentuk ibadahnya.
Alangkah indahnya hidup kita jika sehari-hari kita dapat
mendasarkan setiap kegiatan kita sebagai ibadah kepada sang Pencipta.
Hadirin yang dirahmati Allah.
Semoga kita semua selalu dimudahkan untuk melaksanakan
nasihat-nasihat yang baik, termasuk nasihat dari para sahabat nabi Muhammad
SAW. Salah satu sahabat yang kita angkat nasihatnya adalah ‘Ammar bin Yasir
RA. “Cukuplah kematian sebagai nasihat, keyakinan sebagai kekayaan
dan ibadah sebagai kesibukan (كَفَى بِالْمَوْتِ وَاعِظًا، وَكَفَى
بِالْيَقِيْنِ غِنًى، وَكَفَى بِالْعِبَادَةِ شُغْلًا) .”
Marilah kita berdoa untuk kebaikan kita di dunia dan akhirat,
kebaikan bangsa dan para pemimpin, serta negara kita tercinta. “Ya Allah, ampunilah
kaum mukminin laki-laki dan wanita, kaum muslimin laki-laki dan wanita, baik
yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Sesungguhnya Engkau adalah Dzat
yang Maha Mendengar, Mahadekat, Dzat yang mengabulkan doa.”
“Ya Rabb kami, berilah ampunan kepada kami dan saudara-saudara
kami yang telah beriman lebih dahulu sebelum kami, dan janganlah Engkau
membiarkan ada kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya
Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.”
“Ya Allah, jadikanlah para pemimpin kami orang-orang yang baik.
Berikanlah taufik kepada mereka untuk melaksanakan perkara terbaik bagi diri
mereka, bagi Islam, dan orang-orang beriman. Ya Allah, mudahkanlah para
pemimpin kami untuk menunaikan tugasnya, sebagaimana yang Engkau perintahkan,
wahai Rabb semesta alam. Ya Allah, dekatkanlah para pemimpin kami kepada
orang-orang yang baik dan pemberi nasihat yang baik, wahai Rabb semesta alam.
Ya Allah, jadikanlah pemimpin kami sebagai orang yang baik, di mana pun para
pemimpin itu berada.”
“Ya Allah, berikanlah taufik kepada pemimpin kami untuk menempuh
jalan yang Engkau cintai dan Engkau ridhai. Ya Allah, bantulah meraka dalam
melakukan ketaatan kepada-Mu dan berilah mereka petunjuk ke jalan yang lurus.
Ya Allah, jauhkanlah mereka dari setiap fitnah dan masalah, baik yang tampak
jelas maupun yang tersembunyi. Sesungguhnya, Engkau Maha Kuasa atas segala
sesuatu.”
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ الْقُرْأَنِ
الْكَرِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْأَيَاتِ وَالذِّكْرِ
الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَّلْ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ
السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar