Mensyukuri Nikmat Allah, Bagaimana Caranya?
affannur jentrek rojoimo
Banyak sekali nikmat yang telah Allah karuniakan kepada kita. Sebelum kita lahir, kita pun telah diberi nikmat dalam rahim ibu kita. Begitu lahir nikmat-nikmat pun bertambah. Sungguh banyak nikmat tersebut, sehingga kita tiada akan mampu menghitungnya. Namun bisa jadi nikmat tak selamanya terasa nikmat. Nikmat malah bisa menjadi niqmah, yaitu balasan dari Allah berupa siksaan. Harta yang melimpah tidak menjadikan pemiliknya merasa tenteram, malahan hatinya selalu dirundung kekhawatiran jika harta itu sewaktu-waktu melayang. Jabatan dan kekuasaan membuat pemiliknya dibenci para bawahan. Tentu, kita tak ingin hal ini terjadi.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saja berlindung dari nikmat yang menjadi siksa ini. Dalam sebuah riwayat, beliau berdoa yang artinya, “Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari kehilangan nikmat dari-Mu, dan dari siksaan-Mu yang mendadak, dari menurunnya kesehatan yang Engkau berikan, dan dari kemurkaan-Mu.” (Riwayat Muslim)
Inti Masalah
Sebenarnya inti perubahan yang tak kita inginkan ini adalah terletak pada masalah bagaimana sikap kita terhadap nikmat dari Allah tersebut. Jika kita bersyukur dengan benar kepada Allah atas nikmat-nikmat dari-Nya, niscaya nikmat tetap akan menjadi nikmat. Kebalikannya, sikap tidak bersyukurlah yang menjadi sebab nikmat menjadi siksa.
Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Jika Allah memberikan kenikmatan kepada suatu kaum, dan Allah lalu meminta kepada mereka agar bersyukur. Maka jika mereka bersyukur, Allah akan menambahkan kenikmatan kepada mereka. Tetapi jika mereka kufur, maka Allah berkuasa untuk menyiksa mereka dengan mengubah nikmat-Nya atas mereka menjadi siksa.” (Riwayat Abu Dunya dalam kitab Asy-Syukr)
Hasan Al-Bashri berkata, “Sesungguhnya Allah pasti memberikan kemurahan nikmat-Nya menurut kehendak-Nya. Maka jika mereka tidak bersyukur kepada-Nya, tentu Allah akan mengubahnya menjadi siksaan.” (Kitab Asy-Syukr)
Ibnu Hazm berkata, “Setiap kenikmatan yang tidak menjadikan diri seseorang tidak dekat kepada Allah, maka akan menjadi siksaan.” (Kitab Asy-Syukr)
Bentuk tidak syukur yang menjadi penyebab berubahnya nikmat menjadi siksa ada beberapa macam. Mereka itu adalah:
Maksiat
Maksiat atau perbuatan dosa sebenarnya adalah perbuatan membalas nikmat Allah dengan hal-hal yang dimurkai-Nya. Contoh sederhana, nikmat penglihatan digunakan untuk memandang gambar-gambar wanita telanjang. Tentu hal seperti ini adalah membalas nikmat Allah dengan kemaksiatan.
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut, disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Ar-Rum: 41)
“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.”(An-Nisa: 79)
Nisbah kepada Selain Allah
Hilangnya kenikmatan juga dapat terjadi juga bila kita menisbatkan nikmat itu kepada selain Allah. Hal inilah yang terjadi para Qarun. Ketika ia mengatakan bahwa nikmat yang diberikan Allah tersebut adalah hasil ilmunya, maka Allah membinasakannya. Ketika ia berkata, “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku.”, maka Allah membenamkannya dan seluruh hartanya ke dalam bumi.
Menisbahkan nikmat kepada selain Allah adalah haram. Hal ini merupakan perbuatan orang kafir dan ingkar.
Kita sering mendengar ucapan-ucapan bermakna demikian di masyarakat. Ucapan menisbahkan anugerah nikmat kepada selain Allah itu seperti, “Harta benda ini kudapat karena ketrampilanku berdagang.”, “Seandainya bukan karena kepandaianku tentu proyek ini gagal.”, “Kita menang karena tentara kita kuat dan terlatih.”
Mereka lupa bahwa sesungguhnya hanya Rabb merekalah yang memberi kenikmatan, keberuntungan, kemenangan, kesejahteraan dan keselamatan. Mereka mengira bahwa semua karunia itu adalah karena hasil jerih payah, kekuatan, dan kepandaian mereka.
Namun, perlu diperhatikan, tidak ada salahnya kita mensyukuri dan berterima kasih kepada orang yang menolong kita atau kepada orang yang berbuat baik kepada kita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarang kita untuk berterima kasih, mendoakan dan berlaku baik kepada orang lain yang selalu berbuat baik kepada kita. Sabdanya, “Tidaklah dikatakan bersyukur kepada Allah bagi orang yang tidak bersyukur kepada manusia.” (Riwayat Ahmad)
Sombong
Hal lain yang dapat menjadi sebab berubahnya nikmat menjadi siksa adalah berlaku sombong. Sombong di sini adalah merasa diri lebih mampu dari orang lain. Akibatnya, ia mencela orang lain, dan membanggakan hal-hal yang dimilikinya, baik berupa harta benda, ilmu, atau pun kedudukan.
Allah berfirman yang artinya, “Kecelakaan bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya.” (Al-Humazah: 1-3)
Tidak Menunaikan Hak Allah dari Nikmat itu
Berubahnya nikmat menjadi siksa juga bisa disebabkan karena kita tidak menunaikan hak Allah dalam nikmat itu. Misalnya, ketika kita mempunyai ilmu yang bermanfaat, maka menyimpannya sendiri, dan tak mau mengajarkannya kepada orang lain. Saat mempunyai harta, kita tidak mau menginfakkannya kepada orang lain, padahal dalam harta itu ada hak-hak untuk orang lain.
“Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta).” (Al-Ma’arij: 24-25)
Karena itu terlantun doa malaikat yang mereka ucapkan setiap hari,
“Ya Allah, karuniakanlah pada orang yang berinfak pengganti atas apa yang dia infakkan. Ya Allah, timpakan kebinasaan-Mu kepada mereka yang mempertahankan hartanya tanpa menafkahkannya di jalan-Mu.” (Riwayat Al-Bukhari dan Muslim)
Itulah sebab-sebab berubahnya nikmat menjadi niqmat. Menjadi kewajiban kita untuk menjauhi hal-hal yang demikian. Semoga Allah memudahkan kita untuk bersyukur atas nikmat-nikmatNya.
Sumber: Mensyukuri Nikmat Allah, Bagaimana Caranya? (Kaifa Nasykur An-Ni’am) karya Royyad Al-Haqil, GIP
Banyak sekali nikmat yang telah Allah karuniakan kepada kita. Sebelum kita lahir, kita pun telah diberi nikmat dalam rahim ibu kita. Begitu lahir nikmat-nikmat pun bertambah. Sungguh banyak nikmat tersebut, sehingga kita tiada akan mampu menghitungnya. Namun bisa jadi nikmat tak selamanya terasa nikmat. Nikmat malah bisa menjadi niqmah, yaitu balasan dari Allah berupa siksaan. Harta yang melimpah tidak menjadikan pemiliknya merasa tenteram, malahan hatinya selalu dirundung kekhawatiran jika harta itu sewaktu-waktu melayang. Jabatan dan kekuasaan membuat pemiliknya dibenci para bawahan. Tentu, kita tak ingin hal ini terjadi.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saja berlindung dari nikmat yang menjadi siksa ini. Dalam sebuah riwayat, beliau berdoa yang artinya, “Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari kehilangan nikmat dari-Mu, dan dari siksaan-Mu yang mendadak, dari menurunnya kesehatan yang Engkau berikan, dan dari kemurkaan-Mu.” (Riwayat Muslim)
Inti Masalah
Sebenarnya inti perubahan yang tak kita inginkan ini adalah terletak pada masalah bagaimana sikap kita terhadap nikmat dari Allah tersebut. Jika kita bersyukur dengan benar kepada Allah atas nikmat-nikmat dari-Nya, niscaya nikmat tetap akan menjadi nikmat. Kebalikannya, sikap tidak bersyukurlah yang menjadi sebab nikmat menjadi siksa.
Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Jika Allah memberikan kenikmatan kepada suatu kaum, dan Allah lalu meminta kepada mereka agar bersyukur. Maka jika mereka bersyukur, Allah akan menambahkan kenikmatan kepada mereka. Tetapi jika mereka kufur, maka Allah berkuasa untuk menyiksa mereka dengan mengubah nikmat-Nya atas mereka menjadi siksa.” (Riwayat Abu Dunya dalam kitab Asy-Syukr)
Hasan Al-Bashri berkata, “Sesungguhnya Allah pasti memberikan kemurahan nikmat-Nya menurut kehendak-Nya. Maka jika mereka tidak bersyukur kepada-Nya, tentu Allah akan mengubahnya menjadi siksaan.” (Kitab Asy-Syukr)
Ibnu Hazm berkata, “Setiap kenikmatan yang tidak menjadikan diri seseorang tidak dekat kepada Allah, maka akan menjadi siksaan.” (Kitab Asy-Syukr)
Bentuk tidak syukur yang menjadi penyebab berubahnya nikmat menjadi siksa ada beberapa macam. Mereka itu adalah:
Maksiat
Maksiat atau perbuatan dosa sebenarnya adalah perbuatan membalas nikmat Allah dengan hal-hal yang dimurkai-Nya. Contoh sederhana, nikmat penglihatan digunakan untuk memandang gambar-gambar wanita telanjang. Tentu hal seperti ini adalah membalas nikmat Allah dengan kemaksiatan.
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut, disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Ar-Rum: 41)
“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.”(An-Nisa: 79)
Nisbah kepada Selain Allah
Hilangnya kenikmatan juga dapat terjadi juga bila kita menisbatkan nikmat itu kepada selain Allah. Hal inilah yang terjadi para Qarun. Ketika ia mengatakan bahwa nikmat yang diberikan Allah tersebut adalah hasil ilmunya, maka Allah membinasakannya. Ketika ia berkata, “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku.”, maka Allah membenamkannya dan seluruh hartanya ke dalam bumi.
Menisbahkan nikmat kepada selain Allah adalah haram. Hal ini merupakan perbuatan orang kafir dan ingkar.
Kita sering mendengar ucapan-ucapan bermakna demikian di masyarakat. Ucapan menisbahkan anugerah nikmat kepada selain Allah itu seperti, “Harta benda ini kudapat karena ketrampilanku berdagang.”, “Seandainya bukan karena kepandaianku tentu proyek ini gagal.”, “Kita menang karena tentara kita kuat dan terlatih.”
Mereka lupa bahwa sesungguhnya hanya Rabb merekalah yang memberi kenikmatan, keberuntungan, kemenangan, kesejahteraan dan keselamatan. Mereka mengira bahwa semua karunia itu adalah karena hasil jerih payah, kekuatan, dan kepandaian mereka.
Namun, perlu diperhatikan, tidak ada salahnya kita mensyukuri dan berterima kasih kepada orang yang menolong kita atau kepada orang yang berbuat baik kepada kita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarang kita untuk berterima kasih, mendoakan dan berlaku baik kepada orang lain yang selalu berbuat baik kepada kita. Sabdanya, “Tidaklah dikatakan bersyukur kepada Allah bagi orang yang tidak bersyukur kepada manusia.” (Riwayat Ahmad)
Sombong
Hal lain yang dapat menjadi sebab berubahnya nikmat menjadi siksa adalah berlaku sombong. Sombong di sini adalah merasa diri lebih mampu dari orang lain. Akibatnya, ia mencela orang lain, dan membanggakan hal-hal yang dimilikinya, baik berupa harta benda, ilmu, atau pun kedudukan.
Allah berfirman yang artinya, “Kecelakaan bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya.” (Al-Humazah: 1-3)
Tidak Menunaikan Hak Allah dari Nikmat itu
Berubahnya nikmat menjadi siksa juga bisa disebabkan karena kita tidak menunaikan hak Allah dalam nikmat itu. Misalnya, ketika kita mempunyai ilmu yang bermanfaat, maka menyimpannya sendiri, dan tak mau mengajarkannya kepada orang lain. Saat mempunyai harta, kita tidak mau menginfakkannya kepada orang lain, padahal dalam harta itu ada hak-hak untuk orang lain.
“Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta).” (Al-Ma’arij: 24-25)
Karena itu terlantun doa malaikat yang mereka ucapkan setiap hari,
“Ya Allah, karuniakanlah pada orang yang berinfak pengganti atas apa yang dia infakkan. Ya Allah, timpakan kebinasaan-Mu kepada mereka yang mempertahankan hartanya tanpa menafkahkannya di jalan-Mu.” (Riwayat Al-Bukhari dan Muslim)
Itulah sebab-sebab berubahnya nikmat menjadi niqmat. Menjadi kewajiban kita untuk menjauhi hal-hal yang demikian. Semoga Allah memudahkan kita untuk bersyukur atas nikmat-nikmatNya.
Sumber: Mensyukuri Nikmat Allah, Bagaimana Caranya? (Kaifa Nasykur An-Ni’am) karya Royyad Al-Haqil, GIP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar