INFO PROFIL

Foto saya
JENTREK ROJOIMO WONOSOBO, jawa tengah indonesia, Indonesia
Ya Allah jadikan kami manusia yang bisa keluar dari belenggu “kemunafikan”. Bimbing kami untuk tidak mengoreksi orang lain sebelum diri ini terkoreksi ya Rabb. Jadikan kami manusia yang jujur dan tidak pernah membohongi diri sendiri apalagi orang lain. kepadaMulah kami berserah ya Allah, kepadaMulah kami bermohon karena tanpa kehendakMu kami tidak bisa berbuat apa-apa Affannur Jentrek rojoimo wonosobo . lahir13 Agustus 1989

Minggu, 29 Desember 2013

Inspirasi dari Pemikiran Gus Dur

    Inspirasi dari Pemikiran Gus Dur

    Marzuki Wahid*
    Hari ini, Jum'at (30/12/2011), haul kedua Gus Dur-panggilan legendaris KH Dr. Abdurrahman Wahid.Haul adalah ajaran budaya untuk memperingati, mengenang, dan meneladani kebaikan, serta mendoakan orang yang sudah meninggal dunia. "Aku hanya pulang, bukan pergi," kata Gus Dur suatu waktu.  Benar adanya, semangat, gagasan, dan gerakan Gus Dur tidak pergi, masih terus hadir hingga hari ini. Satu di antaranya adalah gagasan "menjadi muslim-indonesia" yang hendak diungkap dalam tulisan ini.
    Islam-Arab versus Islam-Indonesia
    Tiga dekade yang lalu, Almaghfurlah Gus Dur pernah melontarkan satu pertanyaan menggelitik, "Kita ini sebetulnya orang Islam yang (kebetulan) hidup di Indonesia ataukah orang Indonesia yang (kebetulan) beragama Islam?" Pertanyaan ini sepintas tidak problematik, tetapi jika dibaca pelan-pelan dengan kecermatan yang tajam, maka termuat dua paradigma yang bertolak belakang dalam mengimplementasikan Islam di bumi Nusantara ini.
    Mencermati model pertanyaanya, tentu saja asumsi dasar pertanyaan ini membedakan "keislaman" dan "keindonesiaan" sebagai dua entitas yang independen, tak berhubungan satu sama lain: originalitas Indonesia menurut Agus Sunyoto adalah kapitayan-bukan animisme dan dinamisme-dengan ragam kebudayaan yang melikupinya. Sementara originalitas Islam adalah Arab dengan ragam kebudayaan yang menyertainya.
    Pertanyaan ini dilontarkan Gus Dur ketika sebagian orang Islam di Indonesia marak menggunakan identitas ke-Arab-an untuk meneguhkan identitas dirinya sebagai orang Islam. Dengan identitas itu, dalam benak mereka, seolah-olah Islam itu Arab dan Arab itu Islam. Untuk menjadi Muslim, seseorang harus menggunakan identitas Arab atau melebur seperti orang Arab, mulai dari cara berbicara yang ke-arab-arab-an, berjenggot dan berjambang lebat, berpakaian jubah, abaya hitam-hitam bercadar, atau seperti pakaian orang Afghanistan, hingga cara makan dan apa yang dimakan oleh orang Arab pun dijadikan model keislaman.
    Muslim yang berblangkon (peci khas Jawa, Cirebon), bersarung, masih menggunakan kemenyan dan dupa dalam sebagian aktivitasnya, senang berziyarah kubur, memperingati tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari atau setahun (haul) dari kematian leluhurnya dianggap tidak lebih-saleh dan tidak lebih-Islam ketimbang mereka yang serba-Arab itu. Karena semua itu dianggap bukan Islam, tapi tahayyul, bid'ah,dan churafat(dulu dikenal TBC). Keislaman kelompok ini disebut Islam sinkretis, yakni Islam campuran antara "Islam-murni" dengan budaya lokal setempat.
    Islam-murni (puritan) bagi mereka adalah Islam sebagaimana dijalankan Rasulullah SAW selama hidupnya di Arab pada abad ketujuh Masehi di padang pasir, yang belum mengenal teknologi secanggih hari ini. Demi menjaga kemurnian ajaran Islam, penganut Islam di manapun berada diharuskan meniru dan mengikuti "Islam masa Rasulullah" dengan keseluruhan budaya dan tradisi kearabannya.
    Jika model Islam ini yang diikuti, maka yang terjadi adalah arabisasi, pengaraban dunia. Jika Islam adalah arabisasi, maka Islam tentu bersifat lokal, temporal, dan bernuansa politis (sebab kata "Arab" adalah konsep politik). Jika Islam bersifat lokal, temporal, dan bernuansa politis, maka tentu bertentangan dengan misi utama Islam sendiri sebagai rahmatan lil 'alamin, menebarkan cinta-kasih kepada seluruh umat manusia di dunia dan segala ciptaan Tuhan di alam semesta.
    Selain itu, adalah imposible mempraktikkan Islam-murni pada saat sekarang dan di tempat yang sama sekali berbeda dengan budaya Arab. Kebudayaan Arab sendiri dan sejumlah tempat ibadah yang yang disucikan umat Islam di Arab, seperti ka'bah, masjidil haram, tempat sa'i, padang Arafah, Mina, Muzdalifah, dan lain-lain kini telah mengalami perubahan secara signifikan ketimbang masa Rasulullah dulu karena perkembangan teknologi dan kebutuhan manusia sekarang.
    Inilah keresahan Gus Dur melalui pertanyaan kritisnya yang saya kutip di atas.
    Islam-serba Arab itulah paradigma "orang Islam yang (kebetulan) hidup di Indonesia".  Identitas dasarnya adalah Islam (yang dalam pandangan mereka adalah Arabisme). Untuk menjadi Islam, Indonesia dengan seluruh kebudayaannya harus di-arab-kan. Jika Indonesia tidak bisa diarabkan, maka mereka membuat identitas keislaman sendiri secara eksklusif di dalam sistem kebudayaan Indonesia. Kebudayaan Indonesia disebutnya bid'ah (bukan bagian dari ajaran Islam) dan semuabid'ah adalah menyimpang dan sesat. Paradigma ini tentu cenderung eksklusif dalam kebudayaan Indonesia, bahkan dalam banyak hal terjadi konflik kebudayaan.
    Kebalikan dari cara pandang di atas adalah paradigma "orang Indonesia yang (kebetulan) beragama Islam". Paradigma ini memandang Islam bukan Arab, melainkan nilai-nilai dan ajaran-ajaran universal  kemanusiaan, keadilan, kemaslahatan, kerahmatan, kesetaraan, dan persaudaraan yang dilandasi wahyu ketuhanan dan tauhid. Ajaran-ajaran dan nilai-nilai ini dapat diterapkan di mana dan kapan saja. Selain ibadah, semuanya dapat dilakukan sesuai dengan budaya setempat. Islam dalam paradigma ini sangat mengapresiasi kebudayaan lokal, bahkan berpendapat bahwa al-'âdatu muhakkamah (adat/tradisi dapat dijadikan hukum). Menjadi Muslim, tidak harus Arab. Dengan budaya lokal sekalipun, seseorang bisa menjadi Muslim sejati.
    Di Bayan Lombok Barat, misalnya, terdapat pergumulan yang intensif antara Islam dengan kebudayaan setempat, yang tercermin dalam komunitas Wetu Telu. Tanpa harus menjadi Arab dan tanpa meninggalkan nilai-nilai dan ajaran-ajaran Islam yang universal itu, seseorang bisa mengamalkan ajaran Islam dengan baik. Islam Wetu Telu adalah potret Islam lokal yang bertahan dengan keaslian dan "kejujuran"nya.
    Keberadaannya bukan tanpa hambatan dan ancaman. Cercaan dan stigma "sesat", "menyimpang", "sinkretis", "belum sempurna", dan sejenisnya biasa dilekatkan oleh kelompok Islam lain yang merasa sempurna dan lebih benar, Islam Waktu Lima. Lagi-lagi, ini adalah pergulatan klaim kebenaran yang biasa terjadi sepanjang sejarah antara kalangan tekstualis dengan kontekstualis, konservatif dengan inovatif, arabis dengan kultural, dan varian-varian Islam lain.
    Dengan demikian, Islam memang universal. Dalam universalitasnya, Islam dapat dipraktikkan dan diwujudkan dalam setiap kebudayaan di belahan dunia. Universalitas Islam terletak kepada nilai-nilai dasar ketuhanan, kenabian, kemanusiaan, keadilan, kerahmatan, kebaikan, dan kasih sayang, beserta prinsip-prinsip dasar pengembangannya. Ekspresi Islam dalam kehidupan nyata tentu bergantung pada lanskap sosiologis dan kultural di mana Islam dipraktikkan. Indonesia-dengan segala karakteristik kebudayaan dan keberislamannya--sesungguhnya telah dapat menjadi varian Islam sendiri di dunia, yakni Islam-Indonesia, tanpa harus menjadi Arab, Timur Tengah, Barat, atau Eropa.
    Realitas yang lain
    INDONESIA adalah negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia. Dengan jumlah penduduk yang banyak dan wilayah yang luas, Indonesia juga bisa jadi negeri pemilik mesjid dan pendidikan Islam terbanyak di dunia-mulai dari pendidikan anak usia dini, pesantren, hingga pendidikan tinggi. Setiap tahun, Indonesia adalah penyumbang jama'ah haji dan umrah terbanyak di negeri kelahiran Rasulullah SAW. Meski tidak secara terang-terangan menyebut diri negara Islam, tetapi dalam setiap perhelatan negara-negara Islam di dunia, suara Indonesia selalu diperhitungkan.
    Dengan sejumlah catatan buruk kasus-kasus kekerasan atas nama agama yang terjadi akhir-akhir ini, terutama menyangkut pembatasan hak, pelarangan, pengusiran, pembakaran, hingga pembunuhan atas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), aliran-aliran yang dituduh sesat, dan Gereja-gereja di berbagai daerah,  Indonesia masih dikenal sebagai negara yang mampu menerapkan toleransi beragama dan kerukunan kehidupan umat beragama terbaik dibanding dengan negara-negara muslim lainnya. Muslim Indonesia pun konon memiliki karakter yang khas, terutama dalam pergumulannya dengan kebudayaan lokal Nusantara. Meski Islam lahir di Arab, tetapi dalam kenyataannya Islam dapat tumbuh kembang dan bahkan sangat berpengaruh di bumi Nusantara yang sebelumnya diwarnai animisme dan dinamisme.
    Indonesia pun secara sadar tidak menggunakan label Islam dalam struktur dan sistem kenegaraannya. Meskipun dengan dasar Pancasila dan UUD 1945, tetapi aturan-aturan kenegaraan dan peraturan perundang-undangannya tidak bertentangan dengan Islam, bahkan sejalan dengan misi Islam untuk mewujudkan keadilan, kedamaian, dan kemaslahatan. Di dalam Istana Presiden Indonesia di Jakarta terdapat Masjid Baiturrahim, di sampingnya ada Masjid Istiqlal, masjid nasional yang dikelola oleh Pemerintah. Begitu juga di hampir seluruh Kantor Gubernur dan Bupati se-Indonesia, di depan atau di sampingnya selalu terdapat Masjid Agung yang dikelola oleh Pemerintah.
    Itulah "Islam Indonesia", "Islam ala Indonesia" yang sering Gus Dur jelaskan. Saya memilah dan membedakan terma "Islam Indonesia" dan "Islam di Indonesia." Sekilas tidak terdapat perbedaan, tetapi secara paradigmatik memiliki implikasi yang jauh. Yang digambarkan di atas adalah "Islam Indonesia", Islam khas Indonesia, Islam berkarakter Indonesia, dan Islam yang menyatu dengan kebudayaan masyarakat Indonesia, tanpa bermaksud menundukkan dan menggantikannya menjadi Islam versi Arab. "Islam Indonesia" adalah Islam berbaju kebudayaan Indonesia, Islam bernalar Nusantara, Islam yang menghargai pluralitas, Islam yang ramah kebudayaan lokal, dan sejenisnya. "Islam Indonesia" bukan foto copy Islam Arab, bukan kloning Islam Timur Tengah, bukan flagiasi Islam Barat, dan bukan pula duplikasi Islam Eropa. "Islam Indonesia" adalah semua Islam itu yang tersaring ke dalam keindonesiaan.  
    Berbeda dengan itu, "Islam di Indonesia" memberikan pengertian bahwa Indonesia hanya sebagai lokus persinggahan dari Islam. Filosofi, logika, nalar, budaya, simbol, bahasa, dan tata cara pergaulan semuanya diadopsi, difoto copy, dicangkok, diduplikasi, dan diflagiasi secara sempurna dari Islam Arab. Asumsi paradigma "Islam di Indonesia" adalah bahwa Islam itu Arab dengan seluruh darah daging kebudayaannya, sejak kelahiran hingga perkembangan dewasa ini. Di Indonesia, Islam hanya numpang, singgah, dan menjadi "orang lain" yang--apabila bisa akan--menguasai Indonesia. Indonesia harus diislamkan, artinya diubah dan diganti dengan Islam Arab atau pseudo-Arab: menjadi negara Islam, secara simbolik menyebut Syari'at Islam, berbahasa Arab atau kearab-araban, pakaian kearab-araban, dan sejenisnya. Islam model ini tidak ramah dengan kebudayaan lokal, malah cenderung memusuhinya.
    Pilar Islam Indonesia
    Di balik "Islam Indonesia" atau "Islam di Indonesia" terdapat pilar keislaman yang sangat kuat di Indonesia.  Tanpa pilar ini, Islam tidak akan berkembang di bumi Indonesia. Pilar-pilar itu adalah organisasi-organisasi Islam yang sejak kelahirannya hingga sekarang terus berjuang dengan caranya sendiri untuk mewujudkan Islam di bumi Nusantara. Organisasi-organisasi ini memiliki akar jama'ah yang sangat kuat di bawah, yang secara sosiologis berbeda satu sama lain. Mereka juga memiliki rasion d'etre sendiri atas kehadirannya di Indonesia, mempunyai aset keagamaan, memiliki infrastruktur sampai ke desa, dan yang terpenting mereka menggunakan nalar yang berbeda satu sama lain dalam memahami sumber ajaran Islam, al-Qur'an dan Hadis.
    Organisasi-organisasi Islam sejenis ini di Indonesia sangat banyak. Di antaranya adalah Persyarikatan Muhamadiyyah, Al Irsyad, Persis, Nahdlatul Ulama, al-Washliyyah, Perti, Darud Da'wah wal Irsyad, Nahdlatul Wathan, Mathla'ul Anwar, dan lain-lain. Organisasi-organisasi Islam ini adalah bagian dari peradaban dan kekayaan intelektual "Islam Indonesia." Inilah Islam Nusantara yang membentuk kepribadian masyarakat Indonesia yang secara umum sangat toleran, dapat hidup rukun dengan agama-agama lain, menerima dasar negara Pancasila, menghargai kebudayaan lokal dan kebhinekaan, dan memiliki ikatan sosial yang sangat kuat.
    Munculnya isu terorisme, "Islam garis keras", "Islam ekstrim", dan "Islam fundamentalis", yang merongrong dasar negara Pancasila, menggunakan kekerasan dalam menegakkan Syari'at Islam, menyuarakan negara Islam dan khilafah Islamiyah secara simbolik, sesungguhnya bukan produksi asli Islam-Indonesia.  Itu adalah gerakan Islam transnasional yang diimpor dari negara-negara Timur Tengah.  Gejala ini muncul sepuluh tahun terakhir saja, setelah rezim Orde Baru tumbang.
    Gerakan Islam transnasional ini sesungguhnya tidak memperoleh dukungan kuat dari mayoritas Muslim Indonesia. Hanya saja, karena suara mereka nyaring dan keras, sehingga memperoleh perhatian media massa dan membuat ketakutan sebagian pemerintah, politisi, dan aparat negara lainnya. Atas ketakutan ini, seolah-olah mereka memperoleh dukungan politik.  
    Negara Pancasila
    Gus Dur adalah tokoh Muslim terdepan yang menentang negara Islam simbolik di Indonesia. Gus Dur memandang bahwa Pancasila adalah kompromi politik yang memungkinkan semua orang Indonesia hidup bersama-sama dalam sebuah negara kesatuan nasional Indonesia. Menurutnya, tanpa Pancasila, Indonesia akan berhenti sebagai negara. Douglas E. Ramage mencatat bahwa penafsiran Gus Dur dan rujukannya yang sering pada Pancasila erat kaitannya dengan peranannya sebagai ulama-pesantren, yang memiliki komitmen kuat pada pluralisme dan nilai-nilai inti demokrasi.
    Telah lama ia berpendapat bahwa umat Islam harus berpegang pada Pancasila. Ia memahami Pancasila sebagai syarat bagi demokratisasi dan perkembangan Islam spiritual yang sehat dalam konteks nasional. Di matanya, Indonesia adalah sebuah negara yang didasarkan pada konsensus dan kompromi dan kompromi itu inheren dalam Pancasila. Dengan penuh keyakinan, Gus Dur berpendapat bahwa pemerintahan yang berideologi Pancasila, termasuk negara damai (dar al-shulh) yang harus dipertahankan. Menurutnya, hal ini adalah cara yang paling realistik secara politik jika dilihat dari pluralitas agama di Indonesia.
    Lebih jauh, bagi Gus Dur, hal ini sepenuhnya konsisten dengan doktrin keagamaan Islam yang tidak memiliki perintah mutlak untuk mendirikan negara Islam. Islam tandas Gus Dur tidak mengenal sistem pemerintahan yang definitif dan baku. Dalam persoalan yang paling pokok, misalnya suksesi kekuasaan, ternyata Islam tidak memiliki sistem yang baku; terkadang memakai istikhlâfbai'at danahl al-hall wa al-‘aqdi (sistem formatur). Padahal, dalam pandangan Gus Dur, soal suksesi adalah soal yang cukup urgen dalam masalah kenegaraan. "Kalau memang Islam punya sistem yang baku, tentu tidak terjadi demikian," komentar Gus Dur.
    Tidak adanya bentuk baku sebuah negara dan proses pemindahan kekuasaan dalam bentuk baku yang ditinggalkan Rasulullah, baik melalui ayat al-Qur`an maupun al-Hadits, membuat perubahan historis atas bangunan negara yang ada menjadi tidak terelakkan dan tercegah lagi. Dengan demikian, maka kesepakatan akan bentuk negara tidak bisa lagi dilandaskan pada dalil naqli, melainkan pada kebutuhan masyarakat pada suatu waktu.
    Inilah yang menyebabkan mengapa hanya sedikit sekali Islam berbicara tentang bentuk negara. Menurutnya, Islam memang sengaja tidak mengatur konsep kenegaraan. Yang ada dalam Islam hanyalah komunitas agama (kuntum khaira ummatin ukhrijat li al-nâs), bukan khaira dawlatin, apalagi khaira mamlakatin, kilahnya.
    Filsafat politik yang mendasari pemikiran Gus Dur adalah bagaimana mengkombinasikan kesalehan Islam dengan apa yang disebutnya komitmen kemanusiaan. Baginya, nilai itu bisa digunakan sebagai dasar bagi penyelesaian tuntas persoalan utama kiprah politik umat, yakni posisi komunitas Islam pada sebuah masyarakat modern dan pluralistik Indonesia. Humanitarianisme Islam pada intinya menghargai sikap toleran dan memiliki kepedulian yang kuat terhadap kerukunan sosial. Dari kedua elemen asasi inilah sebuah modus keberadaan politik komunitas Islam negeri ini harus diupayakan.
    Cita negara yang secara konsisten diperjuangkan Gus Dur adalah tatanan politik nasional yang dihasilkan oleh proklamasi kemerdekaan, di mana semua warga negara memiliki derajat yang sama tanpa memandang asal-usul agama, ras, etnis, bahasa dan jenis kelamin. Konsekuensinya, politik umat Islam di Indonesia pun terikat dengan komitmen tersebut. Segala bentuk eksklusifisme, sektarianisme, dan primordialisme politik harus dijauhi. Termasuk di sini adalah pemberlakukan ajaran agama melalui negara dan hukum formal, demikian pula ide proporsionalitas dalam perwakilan di lembaga-lembaga negara. Sebab, tuntutan-tuntutan semacam ini jelas berwajah sektarian dan berlawanan dengan asas kesetaraan bagi warga negara.
    Yang penting bagi Gus Dur adalah memperjuangkan nilai-nilai Islam, bukan universum formalistiknya. Dengan memperjuangkan nilai-nilai yang ada dalam Islam, Gus Dur bisa mengatakan bahwa dia sedang memperjuangkan Islam. Di mata Gus Dur, Islam hanya dilihat sebagai sumber inspirasi-motivasi, landasan etik-moral, bukan sebagai simbol sosial dan politik belaka. Dengan kata lain, Islam tidak dibaca dari sudut verbatim doktrinalnya, tetapi coba ditangkap spirit dan rohnya. Islam dalam maknanya yang legal formal tidak bisa dijadikan sebagai ideologi alternatif bagi cetak biru negara bangsa Indonesia. Islam merupakan  faktor pelengkap di antara spektrum yang lebih luas dari faktor-faktor lain dalam kehidupan bangsa.
    Walhasil, visi Gus Dur tentang Indonesia masa depan adalah negara-bangsa Indonesia yang demokratis, pluralis, toleran, dan humanis, yakni negara yang menjamin kedudukan yang sama bagi seluruh warga negara dari berbagai latar belakang agama, etnis, gender, aliran, bahasa, dan status sosial. Seluruh warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama, tidak ada diskriminasi dan kekerasan dalam kehidupan mereka.
    Direktur Fahmina-instutute, Deputi Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF), dan Dosen Fak. Syari'ah IAIN Syekh Nurjati Cirebon
    Sebagian isi artikel ini sudah dimuat dalam HarianKabar Cirebon, Jum’at, 30 Desember 2011.

Kumpulan Anekdot, Joke dan Humor Ala Gus Dur

Selain sisi intelektual tinggi dalam agama, perjuangan keadilan dan kebenaran, penegakan demokrasi dalam bingkai NKRI dan ‘memelihara’ pluralisme nusantara, Gus Dur dikenal sebagai sosok humoris.
Frasa ‘begitu aja kok repot’ Gus Dur menjadi bagian ‘joke’ sekaligus ciri khas Gus Dur.  Gus Dur adalah orang yang banyak humor. Saat berbicara, dia selalu menyelipkan joke, cerita lucu, yang membuat pendengarnya tertawa. Joke-jokenya itu disukai oleh banyak tokoh dunia. Salah satu alasan utama mengapa Gus Dur humoris karena dengan berhumor, pikiran menjadi sehat.
“Gus, kok suka humor terus sih?” tanya seorang yang kagum karena humor Gus Dur selalu berganti-ganti. “Di pesantren, humor itu jadi kegiatan sehari-hari,” jelasnya.
“Dengan lelucon, kita bisa sejenak melupakan kesulitan hidup. Dengan humor, pikiran kita jadi sehat,” sambungnya. (Gusdur.net, akses 31 Des 2009)
Mengenang jasa dan perjuangannya, berikut saya kumpulkan anekdok-anekdok humoris Gus Dur yang saya ambil dari Gusdur.net dan beberapa sumber di internet.

1. Kaum Almarhum

Mungkinkah Gus Dur benar-benar percaya pada isyarat dari makam-makam leluhur? Kelihatannya dia memang percaya, sebab Gus Dur selalu siap dengan gigih dan sungguh-sungguh membela “ideologi”nya itu. Padahal hal tersebut sering membuat repot para koleganya.
Tapi, ini mungkin jawaban yang benar, ketika ditanya kenapa Gus Dur sering berziarah ke makam para ulama dan leluhur.
“Saya datang ke makam, karena saya tahu. Mereka yang mati itu sudah tidak punya kepentingan lagi.” Katanya.

2. Berdoa Sebelum Makan

Waktu Gus Dur menjabat Presiden RI, sekali waktu beliau bertemu dengan para romo (pastor) seluruh Keuskupan Agung Semarang. Dan, tak ketinggalan Gus Dur menyelipkan ceritanya. Ini pastor-pastor itu di sebuah negeri senang berburu binatang buas.
Sekali waktu, selesai misa hari Minggu, seorang pastor pergi ke hutan berburu binatang buas. Ia melihat seekor harimau. Langsung sang pastor mengokang senapannya dan menembak: “Dor – dor!” Wah, ternyata tembakannya meleset dan sang harimau balik mengejar sang pastor. Pastor segera berlari mengambil langkah seribu. Tiba-tiba si pastor berhadapan dengan jurang yang dalam. Si pastor langsung berhenti, berlutut, dan mengatupkan tangannya berdoa sebelum diterkam harimau. Berdoa sebelum mati.
Selesai berdoa, sang pastor terheran-heran karena ternyata ia masih hidup, tidak diterkam harimau. Waktu ia menoleh ke kanan, dilihatnya harimau itu berlutut di sampingnya dan berdoa sambil mengatupkan kedua kaki depannya, seperti orang Katolik mengatupkan kedua tangannya ketika sedang berdoa. Si pastor lalu bertanya kepada harimau, “Harimau, kamu kok tidak menerkam saya, malah malah kamu ikut-ikutan berdoa seperti saya. Mengapa?” Jawab harimau: “Ya, saya sedang berdoa. Berdoa sebelum makan!”

3. Kuli dan Kyai

Rombongan jamaah haji NU dari Tegal tiba di Bandara King Abdul Aziz, Jeddah Arab Saudi. Langsung saja kuli-kuli dari Yaman berebutan untuk mengangkut barang-barang yang mereka bawaAkibatnya, dua orang di antara kuli-kuli itu terlibat percekcokan serius dalam bahasa Arab.
Melihat itu, rombongan jamaah haji tersebut spontan merubung mereka, sambil berucap: Amin, Amin, Amin!
Gus Dur yang sedang berada di bandara itu menghampiri mereka: “Lho kenapa Anda berkerumun di sini?”
“Mereka terlihat sangat fasih berdoa, apalagi pakai serban, mereka itu pasti kyai.”

4. Obrolan Presiden

Saking udah bosannya keliling dunia, Gus Dur coba cari suasana di pesawat RI-01. Kali ini dia mengundang Presiden AS dan Perancis terbang bersama Gus Dur buat keliling dunia. Boleh dong, emangnya AS dan Perancis aja yg punya pesawat kepresidenan. Seperti biasa…
Setiap presiden selalu ingin memamerkan apa yang menjadi kebanggaan negerinya.Tidak lama presiden Amerika, Clinton mengeluarkan tangannya dan sesaat kemudian dia berkata: “Wah kita sedang berada di atas New York!”
“Itu.. patung Liberty kepegang!”, jawab Clinton dengan bangganya.
Ngga mau kalah presiden Perancis, Jacques Chirac, ikut menjulurkan tangannya keluar. “Tau nggak… kita sedang berada di atas kota Paris!”, katanya dengan sombongnya.
“Wah… kita sedang berada di atas Tanah Abang!!!”, teriak Gus Dur.
“Lho kok bisa tau sih?” tanya Clinton dan Chirac heran karena tahu Gus Dur itu kan nggak bisa ngeliat.
Karena disombongin sama Clinton dan Chirac, giliran Gus Dur yang menjulurkan tangannya keluar pesawat…
“Ini… jam tangan saya ilang…”, jawab Gus Dur kalem.
Presiden Indonesia: “Wah… kok bisa tau juga?”
“Itu… menara Eiffel kepegang!”, sahut presiden Perancis tersebut.
Presiden Indonesia (Gus Dur): “Lho kok bisa tau sih?”
*******************************

5. Sate Babi

Suatu ketika Gus Dur dan ajudannya terlibat percakapan serius.
Ajudan: Gus, menurut Anda makanan apa yang haram?
Gus Dur: Babi
Ajudan: Yang lebih haram lagi
Gus Dur: Mmmm … babi mengandung babi!
Ajudan: Yang paling haram?
Gus Dur: Mmmm … nggg … babi mengandung babi tanpa tahu bapaknya dibuat sate babi!
*******************************

6.Cuma Takut Tiga Roda

Suatu hari, saat Abdurarahman Wahid menjabat sebagai Presiden RI, ada pembicaraan serius. Pembicaraan bertopik isu terhangat  dilakukan selesai menghadiri sebuah rapat di Istana Negara.
Diketahui, pembicaraan itu mengenai wabah demam berdarah yang kala itu melanda kota Jakarta. Gus Dur pun sibuk memperbincangkan penyakit mematikan tersebut.
“Menurut Anda, mengapa demam berdarah saat ini semakin marak di Jakarta Pak?” tanya seorang menterinya.
“Ya karena Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso melarang bemo, becak, dan sebentar lagi bajaj dilarang beredar di Kota Jakarta ini. Padahal kan nyamuk sini cuma takut sama tiga roda…!”
*******************************

7. Membuang Presiden

Apa akibatnya kalau seorang presiden terlampau lama memegang kekuasaan? Apalagi jika ditambah seringnya ia membohongi rakyatnya sendiri? Tentu rakyat akan protes dan marah, karena menganggap presidennya telah berkhianat.
Tapi ini cerita Gus Dur tentang seorang presiden Filipina yang punya tiga orang anak. Merasa ayah mereka adalah orang nomor satu di negerinya, anak-anal sang presiden pun lantas bertingkah neko-neko.
Anak kedua presiden ingin mencari popularitas dengan menyebarkan jutaan lembar uang kertas pecahan 5 peso dari sebuah pesawat terbang.
Kakaknya tak mau kalah pamor. Dengan pesawat yang digunakan adiknya sebelumnya, sang kakak menyebarkan jumlah uang jauh lebih banyak dari adiknya.
Anak perempuan presiden juga ingin populer, tapi tidak mau meniru cara yang dilakukan oleh kedua kakaknya. Karena bingung, ia pun bertanya kepada pilot pesawat yang ikut menyebarkan uang bersama dua kakaknya itu.
“Mas kapten, aku ingin populer seperti dua kakakku sebelumnya, tapi tindakan populer apa yang bisa membahagiakan rakyat?”
“Gampang sekali: Buang saja ayah nona dari atas pesawat.”
*******************************

8. Becak, Dilarang Masuk

Saat menjadi Presiden, Gus Dur pernah bercerita kepada Menteri Pertahanan Mahfud MD tentang orang Madura yang katanya banyak akal dan cerdik.
Ceritanya ada seorang tukang becak asal Madura yang pernah dipergoki oleh polisi ketika melanggar rambu “Becak dilarang masuk”. Tukang becak itu masuk ke jalan yang ada rambu gambar becak disilang dengan garis hitam yang berarti jalan itu tidak boleh dimasuki becak.
“Apa kamu tidak melihat gambar itu? Itu kan gambar becak tak boleh masuk jalan ini,” bentak Pak polisi. “Oh saya melihat pak, tapi itu kan gambarnya becak kosong tidak ada pengemudinya. Becak saya kan ada yang mengemudi, tidak kosong berarti boleh masuk,” jawab si tukang becak.
“Bodoh, apa kamu tidak bisa baca? Di bawah gambar itukan ada tulisan bahwa becak dilarang masuk,” bentak Pak polisi lagi.
“Tidak pak, saya tidak bisa baca, kalau saya bisa membaca maka saya jadi polisi seperti sampeyan, bukan jadi tukang becak begini,” jawab si tukang becak sambil cengengesan.
*******************************

9. Argometer Japan yang Cepat

Di luar Hotel Hilton, Gus Dur bersama sahabatnya yang seorang turis Jepang mau pergi ke Bandara. Mereka naik taksi di jalan, tiba-tiba saja ada mobil kencang banget, menyalip taksi tersebut. Dengan bangga si Jepang berteriak, “Aaaah Toyota made in Japan sangat cepat…!”
Enggak lama kemudian mobil lain nyalip juga taksi tersebut. Si Jepang teriak lagi “Aaaah Nissan made ini Japan sangat cepat.”  Enggak lama kemudian lewat lagi satu mobil menyalip mobil tersebut dan si Jepang teriak lagi “Aaaah Mitsubishi made in Japan sangat cepat…!” Gus Dur dan sopir taksi itu merasa kesal melihat si Jepang ini bener-bener nasionalis.Kemudian, sesampainya di bandara, sopir taksi bilang ke si Jepang.
Supir taksi : “100 dolar please…”
Si Jepang : 100 dolars…?! Its not that far from the hotel…!!”
Gus Dur : “Aaaah… Argometer made ini Japan kan sangat cepat sekali!!”
*******************************

10. Pikiran porno

Dalam suatu kesempatan Gus Dur mengeluarkan sebuah pernyataan yang sebenarnya tidak dimaksudkan untuk menghina. Namun dengan itu bagian dari upaya Gus Dur menyampaikan joke.”Alquran itu kita suci yang paling porno. Ya kan bener, di dalamnya ada kalimat menyusui. Berarti mengeluarkan tetek. Ya udah, cabul kan?”
Mungkin dengan hanya kalimat guyonan itu sebagian masih ada yang merasa diresahkan. Masa sih ulama yang terkenal wali kaya gitu? Maka, di lain waktu Gus Dur mengulangi penjelasannya dengan memilih bahasa yang lebih sopan.
“Maksudnya, itu ayat jadi porno kalau yang baca lagi punya pikiran yang ngeres. Kalau nggak, ya udah. Berarti beres.”
Masih nggak puas. Karenanya pertanyaan berikutnya segera menyusul. “Tapi Gus, Alquran kan bahasanya sopan?”
“Betul, juga bahasa di luar Alquran banyak yang sopan. Tapi, waktu teman saya naik bus, lihat orang lagi bunting. Terus dia mbatin kenapa bisa bunting? Mendadak ‘barangnya’ (alat kelaminnya) berdiri gara-gara pikirannya itu,” jawab Gus Dur.
*******************************

11. Atlet Berlari dikejar Serdadu

Hampir tak ada negara yang rela ketinggalan mengikuti Olimpiade . Acara empat tahunan itu merupakan salah satu cara promosi negara masing-masing. Dan tentu saja , peristiwa ini juga sangat bergengsi karena acara ini diliput oleh semua media massa negara peserta. Wajarlah kalau setiap negara berusaha mengirimkan atlet terbaiknya, dengan harapan mereka bisa mendapatkan emas. Begitulah sambutan Gus Dur saat melepas tim Indonesia ke Olimpiade Sidney yang baru lalu.
Gus Dur lalu bercerita tentang peristiwa yang pernah terjadi di Suriah. Pada waktu Olimpiade beberapa tahun yang lalu, tuturnya, kebetulan pelari asal Suriah merebut medali emas. Sang pelari mampu memecahkan rekor tercepat dari pemenang sebelumnya, bahkan selisih waktunya pun terpaut jauh.
Maka, dia langsung dikerubuti wartawan karena punya nilai berita yang sangat tinggi.
“Apa sih rahasia kemenangan anda?” tanya wartawan.
“Mudah saja,” jawab si pelari Suriah, enteng, “Tiap kali bersiap-siap akan start, saya membayangkan ada serdadu Israel di belakang saya yang mau menembak saya.”
*******************************

12. Peluru Juga Habis…

Ini cerita Gus Dur tentang situasi Rusia, tidak lama setelah bubarnya Uni Soviet. Sosialisme hancur, dan para birokrat tidak punya pengalaman mengelola sistem ekonomi pasar bebas. Di masa sosialisme, memang rakyat sering antre untuk mendapatkan macam-macam kebutuhan pokok, tapi manajemennya rapi, sehingga semua orang kebagian jatah. Sekarang, masyarakat tetap harus antre, tapi karena manejemennya jelek, antrean umumnya sangat panjang, dan banyak orang yang tidak kebagian jatah.
Begitulah, seorang aktivis sosial berkeliling kota Moskow untuk mengamati bagaimana sistem baru itu bekerja. Di sebuah antrean roti, setelah melihat banyaknya orang yang tidak kebagian, aktivis itu menulis di buku catatannya, “roti habis.”
Lalu dia pergi ke antrean bahan bakar. Lebih banyak lagi yang tak kebagian. Dan dia mencatat “bahan bakar habis!”, kemudian dia menuju ke antrean sabun. Wah pemerintah kapitalis baru ini betul-betul brengsek, banyak sekali masyarakat yang tidak mendapat jatah sabun. Dia menulis besar-besar “SABUN HABIS!”.
Tanpa dia sadari, dia diikuti oleh seorang intel KGB. Ketika dia akan meninggalkan antrean sabun itu, si intel menegur “Hey bung! dari tadi kamu sibuk mencatat-catat terus, apa sih yang kamu catat?”.
Sang aktivis menceritakan bahwa dia sedang melakukan penelitian tentang kemampuan pemerintah dalam mendistribusikan barang bagi rakyat .
“Untung kamu ya, sekarang sudah jaman reformasi”, ujar sang intel, “Kalau dulu, kamu sudah ditembak”.
Sambil melangkah pergi, aktivis itu mencatat, “Peluru juga habis!
*******************************

13. Jawaban Ho..oh

Seorang ajudan Presiden Bill Clinton dari Amerika Serikat sedang jalan-jalan di Jakarta. Karena bingung dan tersesat, dia kemudian bertanya kepada seorang penjual rokok. “Apa betul ini Jalan Sudirman?” “Ho oh,” jawab si penjual rokok.
Karena bingung dengan jawaban tersebut, dia kemudian bertanya lagi kepada seorang Polisi yang sedang mengatur lalu lintas. “Apa ini Jalan Sudirman?” Polisi menjawab, “Betul.”
Karena bingung mendapat jawaban yang berbeda, akhirnya dia bertanya kepada Gus Dur yang waktu itu kebetulan melintas bersama ajudannya. “Apa ini Jalan Sudirman?” Gus Dur menjawab “Benar.”
Bule itu semakin bingung saja karena mendapat tiga jawaban yang berbeda. Lalu akhirnya dia bertanya kepada Gus Dur lagi, mengapa waktu tanya tukang rokok dijawab “Ho oh,” lalu tanya polisi dijawab “betul” dan yang terakhir dijawab Gus Dur dengan kata “benar.”
Gus Dur tertegun sejenak, lalu dia berkata, “Ooh begini, kalau Anda bertanya kepada tamatan SD maka jawabannya adalah ho oh, kalau yang bertanya kepada tamatan SMA maka jawabannya adalah betul. Sedangkan kalau yang bertanya kepada tamatan Universitas maka jawabannya benar.”
Ajudan Clinton itu mengangguk dan akhirnya bertanya, “Jadi Anda ini seorang sarjana?”
Dengan spontan Gus Dur menjawab, “Ho … oh!”
*******************************

14. Syukur Tidak Bisa memanjat

Guyonan itu, rupanya, tidak berlebihan. Meski sudah banyak yang meramalkan bahwa penampilan Gus Dur di depan DPR Kamis lalu bakal ramai, toh tidak ada yang menyangka bahwa sampai seramai itu. Kalau bukan kiai, mana berani menjadikan pidato Ketua DPR Akbar Tandjung sebagai sasaran humor? Akbar sejak dulu memang selalu memulai pidato dengan memanjatkan syukur. Maka, Gus
Dur pun melucu, yang membuat semua anggota DPR tertawa: syukur memang perlu dipanjatkan karena Syukur tidak bisa memanjat
Begitu menariknya, karuan saja pidato presiden kini banyak ditunggu penonton televisi. Padahal, dulu-dulu kalau presiden pidato di TV banyak yang mematikan TV-nya. Begitu tidak menariknya pidato presiden di masa Orde Baru sampai-sampai pernah para anggota DPRD diwajibkan mendengarkannya. Itu pun harus diawasi agar mereka sungguh-sungguh seperti mendengarkan. Untuk itu,
perlu diadakan sidang pleno DPRD dengan acara khusus nonton televisi.
*******************************

15. Gus Dur Dicium Artis Cantik

Magnet sense of humor Gus Dur yang tinggi membuat kesengsem seorang artis cantik saat hadir dalam suatu acara di rumah salah seorang pengasuh Pondok Kajen, Jawa Tengah. Saking gemesnya, artis itu dengan santai langsung ngesun (mencium) pipi Gus Dur tanpa pake permisi. Jelas beberapa di antara mereka yang hadir langsung dibikin kaget dan bingung. Siapa yang kuat ngeliat kiai nyentrik cuma diem aja disun (dicium) artis cantik.
Tak lama kemudian begitu sudah agak sepi, Gus Mus yang sedang di antara mereka, langsungnumpahin sederet kalimat yang sudah dari tadi cuma bisa disimpan di dalam hati.
“Loh Gus, kok Gus Dur diam saja sih disun sama perempuan?’”
Dengan santai dan.. silakan bayangin sendiri gayanya, Gus Dur malah ngasih jawaban sepele.
“Lha wong saya kan nggak bisa lihat. Ya mbok sampeyan jangan pengen….”