INFO PROFIL

Foto saya
JENTREK ROJOIMO WONOSOBO, jawa tengah indonesia, Indonesia
Ya Allah jadikan kami manusia yang bisa keluar dari belenggu “kemunafikan”. Bimbing kami untuk tidak mengoreksi orang lain sebelum diri ini terkoreksi ya Rabb. Jadikan kami manusia yang jujur dan tidak pernah membohongi diri sendiri apalagi orang lain. kepadaMulah kami berserah ya Allah, kepadaMulah kami bermohon karena tanpa kehendakMu kami tidak bisa berbuat apa-apa Affannur Jentrek rojoimo wonosobo . lahir13 Agustus 1989

Kamis, 29 Juli 2010



عَنِ ابْنِ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ الْأَنْصَارِيِّ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ :قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلاَ فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ

Dari Ka’b bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah dua ekor serigala yang lapar dilepas di tengah sekawanan kambing lebih merusak daripada merusaknya seseorang terhadap agamanya karena ambisinya untuk mendapatkan harta dan kedudukan.”

Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (no. 2482) melalui jalan Suwaid bin Nashr, dari Abdullah bin Al-Mubarak, dari Zakariya bin Abi Zaidah, dari Muhammad bin Abdirrahman, dari Ibn Ka’b bin Malik, dari ayahnya, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Al-Imam Ibnu Rajab rahimahullahu berkata, ”Hadits ini diriwayatkan melalui jalan lain dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antaranya dari hadits Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah, Usamah bin Zaid, Abu Sa’id, dan ‘Ashim bin ‘Adi Al-Anshari.” Hadits ini juga diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad rahimahullahu (3/456). Hadits ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil di dalam Ash-Shahihul Musnad (2/178) dan Asy-Syaikh Al-Albani di dalam Shahihul Jami’ (no. 5620).

Al-Qadhi rahimahullahu menerangkan, hadits ini shahih dan sangat masyhur. Kami memperoleh hadits ini lebih dari satu jalur periwayatan. Secara umum, pada lafadz hadits terdapat perbedaan kata namun bermakna sama.

Makna Hadits

Makna hadits ini, kerusakan yang ditimbulkan oleh dua ekor serigala lapar yang dibiarkan bebas di antara sekawanan kambing masih belum seberapa apabila dibandingkan kerusakan yang muncul karena ambisi seseorang untuk mendapatkan kekayaan dan kedudukan. Karena, ambisi untuk mendapatkan harta dan kedudukan akan mendorong seseorang untuk mengorbankan agamanya. Adapun harta, dikatakan merusak karena ia memiliki potensi untuk mendorongnya terjatuh dalam syahwat serta mendorongnya untuk berlebihan dalam bersenang-senang dengan hal-hal mubah. Sehingga akan menjadi kebiasaannya. Terkadang ia terikat dengan harta lalu tidak dapat mencari dengan cara yang halal, akhirnya ia terjatuh dalam perkara syubhat. Ditambah lagi, harta akan melalaikan seseorang dari zikrullah. Hal-hal seperti ini tidak akan terlepas dari siapapun.

Adapun kedudukan, cukuplah sebagai bukti kerusakannya bahwa harta dikorbankan untuk meraih kedudukan. Sementara kedudukan tidak mungkin dikorbankan hanya untuk mendapatkan harta. Inilah yang dimaksud dengan syirik khafi (syirik yang tersamar). Dia tenggelam di dalam sikap oportunis, merelakan prinsipnya hilang, kenifakan, dan seluruh akhlak tercela. Maka, ambisi terhadap kedudukan lebih merusak dan lebih merusak. (Tuhfatul Ahwadzi Syarah Sunan At-Tirmidzi)

Al-Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullahu berkata, “Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam (di dalam hadits ini) mengabarkan bahwa ambisi untuk memperoleh kedudukan dapat merusak agama seseorang. Kerusakannya tidak kurang dari kerusakan yang ditimbulkan oleh dua ekor serigala terhadap sekawanan kambing. Agama seorang hamba tidak akan selamat bila ia memiliki ambisi untuk memperoleh harta dan kedudukan, hanya sedikit yang dapat selamat. Perumpamaan yang teramat agung ini memberikan pesan untuk benar-benar waspada dari keburukan ambisi untuk memperoleh harta dan kedudukan di dunia.”

Beliau rahimahullahu juga berkata, “Ambisi seseorang terhadap kedudukan tentu lebih berbahaya dibandingkan ambisinya terhadap harta. Karena usaha untuk mendapatkan kedudukan duniawi, derajat tinggi, kekuasaan atas orang lain, dan kepemimpinan di atas muka bumi, lebih besar mudaratnya dibandingkan usaha mencari harta. Sungguh besar mudaratnya. Bersikap zuhud dalam hal ini begitu sulit.” (Syarh Ibnu Rajab)

Menjaga Agama Adalah Cita-cita Mulia

Di dalam hadits ini terdapat faedah yang mengingatkan kita bahwa perkara yang terpenting bagi seorang hamba adalah menjaga agamanya. Serta merasa rugi apabila muncul kekurangan di dalam menjalankan agama. Cinta seorang hamba terhadap harta dan kedudukan, upaya yang ia tempuh untuk mendapatkannya, ambisi untuk meraih harta dan kedudukan, serta kerelaan bersusah-payah untuk mengalahkan, hanya akan menyebabkan kehancuran agama dan runtuhnya sendi-sendi agamanya. Simbol-simbol agama akan terhapus. Bangunan-bangunan agamanya pun akan roboh. Ditambah lagi bahaya yang akan ia hadapi karena menempuh sebab-sebab kebinasaan.

Apakah Hanya Karena Sebuah Kedudukan Kita Menjatuhkan Diri Dalam Jurang Kehancuran?

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang umat Islam untuk meniru akhlak tercela kalangan Yahudi. Karena meniru akhlak tercela mereka akan berakhir dengan kehancuran dan celaka. Di antara sekian banyak tingkah laku Yahudi yang harus dijauhi adalah ambisi untuk mendapatkan kedudukan. Apakah pantas seorang muslim mengaku memperjuangkan Islam, sementara cara yang digunakan adalah cara-cara Yahudi? Dengan berebut kursi, meraih suara terbanyak, ingin tampil ke depan, hendak memimpin, menduduki kursi-kursi kedudukan, dan menjadi seorang penguasa? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Ali ‘Imran: 14)

Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thabari rahimahullahu ketika menjelaskan ayat di atas menyatakan, “Telah dibuat indah untuk manusia sifat tertariknya mereka terhadap wanita dan anak keturunan serta segala hal yang disebutkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan hal ini hanyalah untuk menjelaskan sifat buruk orang-orang Yahudi. Mereka lebih mengutamakan dunia dan ambisi terhadap kekuasaan dibandingkan harus mengikuti Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal mereka telah mengetahui kebenarannya.” (Tafsir Ath-Thabari)

Ambisi Untuk Berkuasa Pasti Disertai Sikap Menjelekkan Orang Lain

Adapun orang-orang yang berambisi untuk meraih tampuk kekuasaan, Ibnul Qayyim rahimahullahu menjelaskan, mereka mengejar kekuasaan untuk melampiaskan seluruh keinginan. Yaitu berkuasa di muka bumi, agar seluruh hati mengarah dan cenderung kepada mereka, serta membantu mereka di dalam mewujudkan keinginan. Dalam keadaan merekalah yang menguasai dan mengatur. Sehingga ambisi untuk meraih kekuasaan hanya akan melahirkan kerusakan-kerusakan yang tidak mungkin diketahui secara pasti jumlahnya kecuali oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Akan muncul dosa, hasad, perbuatan-perbuatan yang melampaui batas, dengki, kezaliman, fitnah, fanatik pribadi, tanpa memedulikan lagi hak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Orang yang terhina di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala akan dimuliakan sementara orang yang dimuliakan Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti dihina. Kekuasaan duniawi tidak mungkin sempurna kecuali dengan cara-cara kotor seperti tersebut di atas. Kekuasaan duniawi tidak akan tercapai kecuali dengan menempuh langkah-langkah yang penuh dengan mafsadah, bahkan berkali-kali lipat. Sementara orang-orang yang telah meraih kekuasaan amatlah buta dengan hal-hal ini. (Ar-Ruh, Ibnul Qayyim rahimahullahu)

Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullahu berkata: “Tidak ada seorang pun yang memiliki ambisi untuk mendapatkan kekuasaan melainkan ia pasti senang menyebutkan kekurangan dan cela orang lain, sehingga dialah yang dikenal sebagai orang sempurna. Dia pun tidak senang apabila ada yang menyebutkan kebaikan orang lain. Barangsiapa gila kekuasaan maka ucapkan ‘selamat berpisah’ dari kebaikan-kebaikannya.”

Ambisi Untuk Meraih Kekuasaan Akan Merusak Ilmu

Al-Ahnaf bin Qais rahimahullahu menjelaskan bahwa penyakit yang akan merusak alim ulama adalah ambisi untuk meraih kekuasaan. (‘Aja'ib Al-Atsar)

Al-Imam Ahmad rahimahullahu pernah berkata kepada Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullahu, “Cinta kekuasaan lebih disenangi orang dibandingkan emas dan perak. Barangsiapa berambisi memperoleh kekuasaan ia akan mencari-cari aib orang lain.” (Al-Adab Asy-Syar’iyyah, Ibnu Muflih)

Sufyan Ats-Tsauri rahimahullahu berkata, “Kekuasaan lebih disenangi oleh ahli qira’ah dibandingkan emas merah.” (Al-Wara’, Al-Imam Ahmad hal. 91)

Ibnu ‘Abdus rahimahullahu berkata, “Setiap kali bertambah kemuliaan seorang alim dan bertambah tinggi derajatnya, maka semakin cepat dia merasa ujub. Kecuali orang yang dijaga oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan taufiq-Nya dan membuang ambisi terhadap kekuasaan dari dirinya.” (Jami’ Bayan Al-‘Ilmi wa Fadhlih 1/142, Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullahu)

“Ilmu hadits adalah disiplin ilmu yang mulia. Yang sesuai untuk ilmu ini hanyalah akhlak mulia dan perilaku yang terpuji. Ilmu ini akan menghilangkan akhlak buruk dan perilaku tercela. Ilmu hadits adalah ilmu akhirat, bukan ilmu dunia. Barangsiapa yang ingin mendengarkan periwayatan hadits atau ingin menyampaikan ilmu hadits, hendaknya ia berupaya meluruskan dan mengikhlaskan niat. Dia pun harus membersihkan hatinya dari tujuan-tujuan duniawi dan segenap noda-nodanya. Dia pun harus berhati-hati dari penyakit dan kotoran dari ambisi terhadap kekuasaan.” (Muqaddimah Ibnu Shalah)
Salah satu hal yang membedakan antara ulama dunia dan ulama akhirat, ulama dunia senantiasa memerhatikan kekuasaan. Senang akan pujian dan massa. Sementara ulama akhirat menjauhi hal tersebut. Mereka benar-benar menjaga diri dari hal itu dan menyayangkan orang-orang yang terkena penyakit tersebut.

Namun dikarenakan telah terbiasa dan memiliki ambisi mendapatkan kedudukan, telah menguasai pemikiran mereka. Tinggallah ilmu hanya terucap melalui lisan sebagai sebuah adat, bukan untuk diamalkan. (Shaidul Khathir, Ibnul Jauzi rahimahullahu)

Ambisi Untuk Meraih Kekuasaan Akan Merusak Realisasi Cinta Kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala

Seringkali syahwat khafiyyah (tersembunyi) yang masuk pada diri seseorang dapat merusak realisasi cinta seorang hamba kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Merusak pula penghambaan dan keikhlasan di dalam beragama. Sebagaimana pernyataan Syaddad bin Aus rahimahullahu, ”Wahai sekalian sisa-sisa orang Arab. Sesungguhnya yang paling aku cemaskan bila menimpa kalian adalah riya’ dan syahwat khafiyyah.”

Ketika ditanya tentang makna syahwat khafiyyah, Al-Imam Abu Dawud As-Sijistani rahimahullahu menjawab, “Syahwat khafiyyah adalah ambisi terhadap kekuasaan.”
Hadits ini menjelaskan bahwa keyakinan yang benar tentu tidak akan membawa dirinya untuk berambisi semacam ini. Karena bila hati telah merasakan manisnya beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, merasakan manisnya mahabbah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tentu tidak ada lagi yang lebih ia cintai selain itu sampai ia menemui-Nya. Dengan sebab inilah, keburukan dan kekejian akan dijauhkan dari orang yang benar-benar ikhlas kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ

“Demikianlah, agar Kami memalingkan darinya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba kami yang terpilih.” (Yusuf: 24) [Al-'Ubudiyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu]

Termasuk Golongan Manakah Kita?

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan bahwa ambisi seorang hamba untuk memperoleh harta dan kekuasaan akan merusak agamanya. Seperti halnya atau bahkan lebih parah dibandingkan dua ekor serigala yang dibiarkan bebas di tengah-tengah kawanan kambing. Sungguh, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengabarkan keadaan orang yang mendapatkan catatan amal dengan tangan kirinya. Dia menyatakan:

مَا أَغْنَى عَنِّي مَالِيَهْ. هَلَكَ عَنِّي سُلْطَانِيَهْ
“Hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku. Telah hilang kekuasaan dariku.” (Al-Haqqah: 28-29)

Akhir kehidupan seseorang yang haus akan kekuasaan hanyalah seperti Fir’aun. Adapun para penumpuk harta, akhir kehidupannya hanyalah seperti Qarun. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberitakan keadaan Fir’aun dan Qarun di dalam kitab-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

أَوَلَمْ يَسِيْرًوا فِي اْلأَرْضِ فَيَنْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِيْنَ كَانُوا مِنْ قَبْلِهِمْ كَانُوا هُمْ أَشَدَّ مِنْهُمْ قُوَّةً وَآثَارًا فِي اْلأَرْضِ فَأَخَذَهُمُ اللهُ بِذُنُوْبِهِمْ وَمَا كَانَ لَهُمْ مِنَ اللهِ مِنْ وَاقٍ

“Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi, lalu memerhatikan betapa kesudahan orang-orang yang sebelum mereka. Mereka itu adalah lebih hebat kekuatannya daripada mereka dan (lebih banyak) bekas-bekas mereka di muka bumi, maka Allah mengazab mereka disebabkan dosa-dosa mereka. Dan mereka tidak mempunyai seorang pelindung dari azab Allah.” (Ghafir: 21)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:

تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ
“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al-Qashash: 83)

Sesungguhnya manusia ada empat macam.

Pertama, orang-orang yang menginginkan kekuasaan dan kerusakan di atas muka bumi, yaitu dengan durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka adalah para raja dan penguasa yang selalu berbuat kejahatan seperti Fir’aun dan pengikutnya. Mereka adalah makhluk yang paling buruk. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ فِرْعَوْنَ عَلَا فِي الْأَرْضِ وَجَعَلَ أَهْلَهَا شِيَعًا يَسْتَضْعِفُ طَائِفَةً مِنْهُمْ يُذَبِّحُ أَبْنَاءَهُمْ وَيَسْتَحْيِي نِسَاءَهُمْ إِنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ

“Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah-belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir’aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Al-Qashash: 4)
Al-Imam Muslim rahimahullahu meriwayatkan di dalam Shahih-nya dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan masuk Al-Jannah seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan seberat semut kecil. Dan tidak akan masuk neraka seseorang yang di dalam hatinya keimanan seberat semut kecil.” Kemudian ada orang bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku merasa senang bila pakaian dan sandalku bagus. Apakah hal ini termasuk dari kesombongan?” Rasulullah menjawab, “Tidak, sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha Indah, Dia senang dengan keindahan. Sombong ialah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.”

Sikap menolak kebenaran dan merendahkan orang lain adalah sikap orang yang menginginkan kekuasaan dan kerusakan.

Kedua, orang-orang yang menghendaki kerusakan tanpa disertai keinginan untuk berkuasa. Seperti para pencuri dan penjahat dari kalangan orang-orang rendahan.
Ketiga, orang-orang yang menginginkan kekuasaan tanpa disertai kerusakan. Sebagaimana halnya orang yang memiliki agama namun ingin menguasai yang lain.
Keempat, para penduduk Al-Jannah. Yaitu orang-orang yang tidak menginginkan kekuasaan dan kerusakan di atas muka bumi. Padahal mereka lebih mulia kedudukannya dibanding yang lain. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (Ali Imran: 139)

فَلَا تَهِنُوا وَتَدْعُوا إِلَى السَّلْمِ وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ وَاللَّهُ مَعَكُمْ وَلَنْ يَتِرَكُمْ أَعْمَالَكُمْ

“Janganlah kamu lemah dan minta damai padahal kamulah yang di atas dan Allah-(pun) beserta kamu dan Dia sekali-kali tidak akan mengurangi (pahala) amal-amalmu.” (Muhammad: 35)

وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ

“Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.” (Al-Munafiqun: 8)
Alangkah banyak orang yang mengharapkan kekuasaan padahal justru membuat dirinya semakin terhina. Betapa banyak orang yang diangkat kedudukannya padahal dirinya tidak berharap kekuasaan dan kerusakan. (As-Siyasah Asy-Syar’iyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu)

Ulama Islam dan Kedudukan

Kepada mereka yang mengaku sedang memperjuangkan Islam. Kepada mereka yang merasa sedang mengibarkan bendera Islam. Apakah mereka lebih baik dari Salaf, generasi pertama umat Islam? Apakah mereka tidak membaca biografi para ulama? Perhatikanlah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abdurrahman bin Samurah radhiyallahu ‘anhu dalam riwayat Muslim rahimahullahu:

يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ، لاَ تَسْأَلِ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا
“Wahai Abdurrahman, janganlah engkau meminta kepemimpinan. Karena sesungguhnya bila engkau memperoleh kepemimpinan karena permintaanmu maka engkau akan dibiarkan. Dan jika engkau memperolehnya tanpa dasar permintaan engkau akan dibantu.” (Silakan merujuk majalah Asy Syariah Vol I/No. 06/Maret 2004/Muharram 1425 untuk keterangan lebih lengkap tentang hadits ini, dengan tema Hukum Meminta Jabatan)

Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullahu di dalam Siyar A’lam An-Nubala’ menyebutkan banyak kisah menakjubkan dari sisi-sisi kehidupan para ulama. Mereka adalah manusia-manusia pilihan yang berusaha menjauhkan diri dari kedudukan dan kekuasaan. Berikut ini beberapa contoh yang dapat diambil ibrahnya.

- Manshur bin Al-Mu’tamir As-Sulami rahimahullahu menolak untuk diangkat sebagai seorang qadhi. Maka dikirimlah serombongan pasukan untuk memaksanya. Kepada Yusuf bin ‘Umar, komandan pasukan tersebut, dikatakan, ”Walaupun engkau koyak kulit tubuhnya, dia tidak akan mau untuk menerima tawaran tersebut.” Maka, Manshur pun ditinggalkan.

- Abu Qilabah Al-Jarmi rahimahullahu, salah seorang tabi’in, lari meninggalkan negerinya dari Bashrah hingga daerah Yamamah dan meninggal di sana. Beliau lari untuk menghindari tawaran menjadi seorang qadhi. Ayyub As-Sikhtiyani rahimahullahu pernah menemuinya dan bertanya tentang alasan beliau untuk lari menghindar. Maka Abu Qilabah menjawab, “Aku tidak melihat sebuah perumpamaan yang tepat untuk seorang qadhi kecuali seseorang yang tercebur di dalam lautan yang luas, hingga kapan dia akan mampu berenang? Pasti dia akan tenggelam.”

- Abdullah bin Wahb bin Muslim Al-Qurasyi rahimahullahu ketika menolak untuk diangkat menjadi seorang qadhi, beliau berkata kepada seseorang yang menanyakan sebab penolakannya, “Apakah engkau tidak mengerti bahwa para ulama akan dikumpulkan pada hari kiamat bersama para nabi? Sementara para qadhi akan dikumpulkan bersama para penguasa?”

- Al-Mughirah bin Abdillah Al-Yasykuri rahimahullahu menolak permintaan Khalifah Harun Ar-Rasyid untuk menjadi seorang qadhi. Beliau beralasan, Sungguh demi Allah, wahai Amirul Mukminin, aku lebih memilih dicekik oleh setan daripada harus memegang kedudukan qadha’. Ar-Rasyid lalu berkata, “Tidak ada lagi keinginan selain itu.” Kemudian Harun Ar-Rasyid pun mengabulkan permintaannya.

- Al-Imam Abdurrahman bin Mahdi rahimahullahu berkata, “Amirul Mukminin memaksa Sufyan Ats-Tsauri untuk memegang kedudukan al-qadha’ (yakni menjadi qadhi). Maka, Sufyan pun berpura-pura menjadi orang bodoh agar terbebas. Setelah Amirul Mukminin mengetahui hal tersebut, maka Sufyan pun dibebaskan lalu ia melarikan diri.”
Marilah kita membaca biografi para ulama yang lain, seperti Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Abu ‘Amr Abdurrahman bin ‘Amr Al-Auza’i, Muhammad bin Wasi’ bin Jabir Al-Akhnas, Abu Sufyan Waki’ ibn Al-Jarrah Al-Kufi, Al-Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit, Abu Ya’la Mu’alla bin Manshur Ar-Razi, Abdullah bin Idris bin Yazid Al-Kufi, dan yang lain. Mereka berusaha menjauhi kursi kedudukan. Benar-benar mengagumkan.

Apabila demikian sikap para ulama Islam, maka apakah mereka yang berebut kursi dan mencari suara terbanyak dapat dikatakan sedang memperjuangkan Islam? Dusta dan sungguh dusta lisan mereka. Mungkin terbersit dalam benak, jika kita tidak menduduki kursi-kursi penting maka Islam akan diinjak-injak? Maka, jawabnya ada pada pendirian seorang Imam Ahlus Sunnah Ahmad bin Hanbal rahimahullahu. Disebutkan dalam Mihnatul Imam Ahmad (hal. 70-72) beliau berkata, ”Sungguh, sekali-kali tidak mungkin hal itu akan terjadi! Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti akan membela agama-Nya. Sesungguhnya ajaran Islam ini memilki Rabb yang akan menolongnya. Dan sesungguhnya dienul Islam ini sangat kuat dan kokoh.”
Wallahu a’lam.

“APA ITU PENGERTIAN FITNAH, BURUK SANGKA
DAN KHIANAT ?”
Oleh : H. Affannur jentrek Rojoimo
 


Saudaraku sesama muslim.
Alhamdulillah, jumpa lagi kita kali ini dakwah saya (lewat tulisan) seperti judul tersebut di atas, semoga menjadi penawar yang menyejukkan dan dapat menjadi sebagai tambahan ilmu buat sidang pembaca. Sehingga dengan demikian nilai-nilai Islam menjadi kian dapat tersebar luaskan.

Saudaraku, kata fitnah di dalam bahasa Arab berarti namimah yaitu menyebarluaskan berita jelek atau cerita yang tidak benar tentang suatu hal atau orang lain, baik secara diam-diam maupun secara terbuka. Fitnah ini sebenarnya ditegakkan atas tiga perkara yaitu kedustaan, kedengkian dan kemunafikan. Fitnah sering terjadi ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Fitnah tidak sekedar menyebarkan berita buruk, tetapi juga mengadu domba dan memutar balikkan fakta. Sehingga Allah SWT menggambarkan, bahwa fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan.

• Perhatikan Firman Allah SWT :
“Fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan.” (QS. Al-Baqarah : 191)

Luka yang ditimbulkan oleh tajamnya pedang, mungkin masih bisa diobati. Tetapi luka yang ditimbulkan oleh tajamnya lisan (omongan, kata-kata) susah sekali dicari penawarnya. Itulah mengapa fitnah dikatakan lebih kejam dari pembunuhan. Saudaraku, seorang penyair Arab dalam sebuah syairnya mengatakan :
“Luka tombak ada obatnya. Luka lidah penawarnya tiada.”

Sementara dampak yang ditimbulkan oleh fitnah selalu negatif, tidak pernah ada yang positif. Karena itulah fitnah dikatakan berbahaya. Adapun bahaya-bahaya yang ditimbulkan oleh fitnah antara lain sebagai berikut :
a. Menimbulkan kesengsaraan, baik bagi si pemfitnah maupun bagi yang di fitnah.
b. Menimbulkan keresahan ditengah masyarakat
c. Merusak sendi-sendi persatuan dan kesatuan
d. Mencelakakan orang lain
e. Merugikan orang lain dan diri sendiri
f. Masuk Neraka (mendapat siksa)
g. Diancam tidak masuk Syurga, sebagaimana Hadist Nabi SAW tersebut ini :


• Rasulullah SAW bersabda :
“Tidak akan masuk Syurga orang yang suka adu domba (memfitnah).” (HR. Bukhari)

Lantas bagaimana cara menghindari penyakit fitnah itu ? Untuk menghindari penyakit fitnah itu ada beberapa cara yang dapat dilakukan, yaitu :
a. Selalu waspada dan hati-hati dalam setiap masalah
b. Jangan membuka rahasia (aib) orang lain
c. Menumbuhkan rasa persamaan dan kasih sayang sesama manusia
d. Mengamalkan ajaran agama
e. Membiasakan diri bersyukur kepada Allah SWT dan merasa cukup atas segala pemberian Allah.
f. Menjauhi seluruh penyebabnya, seperti mengikuti hawa nafsu, persaingan duniawi yang tidak bersih dan lain-lain
g. Berhati-hati dalam berbicara, bertindak dan dalam menerima kebenaran informasi.

Saudaraku, beralih kita kepada masalah buruk sangka. Buruk sangka di dalam bahasa Arab disebut Su’uzhan, artinya prasangka-prasangka buruk atau menyangka buruk terhadap Allah dan Rasul-Nya dan juga berprasangka buruk serta curiga kepada orang lain tanpa alasan.

• Kita perhatikan Firman Allah SWT yang termaktub di dalam kitab suci Al-Qur’an :
Dan ingatlah ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang dihatinya ada penyakit berkata : “Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kita, melainkan tipuan.” (QS. Al-Ahzab : 12)

• Dan di dalam ayat yang lain Allah SWT juga berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah olehmu kebanyakan dari prasangka, karena sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati ? Maka tentunya kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat : 12)

Ayat pertama menjelaskan kepada kita bahwa orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit hati itu menganggap bahwa Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan apa-apa kepada manusia. Inilah yang dinamakan su’uzhan kepada Allah dan Rasul-Nya. Termasuk su’uzhan kepada Allah adalah kita menganggap Allah tidak mengabulkan do’a kita, Allah menciptakan kita dalam kondisi yang jelek dan lain-lain. Di dalam ayat kedua di atas ada 3 (tiga) perbuatan yang harus dihindari oleh orang-orang yang beriman. Ketiga hal tersebut adalah :

a. Berprasangka buruk
b. Memata-matai orang (mencari-cari kesalahan orang lain)
c. Menggunjing orang lain


Buruk sangka adalah dosa, karena ia adalah tuduhan yang tidak beralasan dan bisa memutuskan silaturahmi di antara dua orang yang berbaik. Bagaimanakah perasaan orang yang tidak mencuri, kemudian disangka bahwa dia mencuri, sehingga semua orang bersikap lain kepada dirinya ? Rasulullah SAW sangat melarang orang berburuk sangka.

• Perhatikan Sabda Nabi Muhammad SAW :
“Sekali-kali janganlah kamu berburuk sangka, karena sungguh buruk sangka itu adalah perkataan yang paling bohong. Dan janganlah kamu mengintai-intai dan janganlah kamu saling berebut dan janganlah kamu saling membenci dan janganlah kamu saling membelakangi dan jadilah kamu hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Bukhari, Muslim dan Daud)

Mencari-cari kesalahan orang lain dan menggunjing adalah membicarakan aib dan keburukan seseorang, sedang ia tidak hadir. Hal ini semua merupakan bentuk-bentuk kemunafikan. Orang asyik sekali membongkar rahasia keburukan dan kebusukan seseorang, ketika orang orang itu tidak ada. Dan ketika orang itu datang, maka pembicaraan pun berhenti dengan sendirinya, kemudian berganti dengan memuji dan menyanjung. Ini adalah perbuatan hina dan pengecut.

Saudaraku, buruk sangka adalah dosa dan setiap dosa akan berakibat sengsara bagi siapa saja yang melakukannya. Sementara akibat yang ditimbulkan dari berburuk sangka antara lain adalah : Dapat memutuskan tali silaturahmi, merugikan orang lain dan diri sendiri, mengotori pikiran, dibenci Allah SWT dan Rasul-Nya serta akan dibenci dan dihindari (dikucilkan) orang lain.

Kemudian seperti penyakit hati lainnya maka penyakit buruk sangka ini disebabkan oleh : Menuruti hawa nafsu, menuruti bujukan syetan, tidak percaya diri, iri dengan orang lain dan kurangnya mensyukuri nikmat Allah SWT. Lantas, bagaimana cara menghindari buruk sangka itu ? Berikut ini ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk kita menghindari penyakit buruk sangka, yaitu : Usahakan membayangkan bagaimana sedihnya kalau diri kita dijadikan objek buruk sangka, dengan demikian tentunya bahwa kita juga tidak mau kalau diri kita dijadikan objek, begitu juga orang lain. Lakukan yang positif misalnya dengan mempererat tali persaudaraan, menumbuhkan kesadaran dan hormat menghormati dan jangan dilupakan isi rohani kita dengan santapan-santapan bergizi seperti tholabul ilmi, dengan banyak belajar tentang ilmu-ilmu agama.

Saudaraku, sekarang pembahasan kita sampai pada setentang pengertian khianat. Khianat artinya mengingkari tanggung jawab, berbuat tidak setia atau melanggar (mengingkari) janji yang telah dibuat. Secara luas, khianat berarti mengingkari tanggung jawab yang dipercayakan kepadanya, baik datangnya dari orang lain maupun dari Allah SWT. Penyakit hati khianat ini muncul karena adanya dorongan untuk mendapatkan keuntungan pribadi dengan mengorbankan sahabat, kelompok seperjuangan atau negara. Selain itu, khianat juga biasanya muncul karena ingin mendapatkan keuntungan pribadi yang banyak dengan jalan pintas.

• Didalam kitab suci Al-Qur’an Allah SWT berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfal : 27)

• Dan di dalam sebuah Hadist, bersabda Rasulullah SAW :
“Tunaikanlah amanat itu kepada orang yang telah mempercayai mu dan janganlah kamu berkhianat kepada orang yang mengkhianatimu.” (HR. Ashabus Sunan)

Hadist di atas memerintahkan kita untuk menunaikan amanat dan melarang kita berkhianat. Ada juga hadist lain yang menyatakan bahwa salah satu dari ciri (tanda) orang munafik adalah berkhianat.

Khianat merupakan penyakit yang sangat berbahaya, baik bagi diri penderitanya maupun bagi masyarakat dan bahkan negaranya. Dan di antara akibat yang ditimbulkan oleh penyakit khianat antara lain adalah : Merugikan diri sendiri dan orang lain, tidak akan dipercaya orang, menghancurkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, dibenci Allah SWT dan Rasul-Nya serta kelak apabila meninggal dunia masuk neraka.

Kemudian bagaimana cara menghindari penyakit Khianat itu ? Saudaraku, ada beberapa cara menghindari penyakit khianat, antara lain seperti tersebut ini : Membiasakan diri melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya, menumbuhkan rasa tanggung jawab terhadap segala hal dihadapi, menyadari akibat perbuatan khianat, baik bagi diri sendiri maupun orang lain, jujur terhadap keadaan dan selalu mensyukuri nikmat serta selalu berdo’a kepada Allah SWT agar terhindar dari penyakit khianat.
Kejahilan, Penyakit Kronis yang Tercela
Affannur jentrek Rojoimo
Mungkin akan muncul pertanyaan, apakah yang dimaksud dengan penyakit kronis dalam pembahasan akhlak kali ini? Sudah mafhum, dalam tinjauan medis, penyakit kronis adalah penyakit menahun yang tak kunjung sembuh atau bahkan sulit tertolong lagi melainkan hanya menunggu detik-detik ajal datang menjemput, kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki yang lain.

Pada taraf ini, setiap orang atau keluarga yang sakit, umumnya tidak akan berpikir panjang, apapun akan dikorbankan menuju kesembuhan. Namun penyakit kronis apapun, tetaplah suatu penyakit yang masih bisa dideteksi ahlinya.
Tentu kita akan bertanya-bertanya pada diri kita, penyakit kronis apakah yang mengancam keselamatan seluruh jenis manusia namun susah sekali dideteksi itu? Terlebih, keselamatan bila terbebaskan dari penyakit ini bukan tanggung-tanggung yaitu keselamatan dunia dan akhirat?
Namun demikianlah, tabiat manusia menyukai sesuatu yang bersifat menguntungkan sementara dan keselamatan yang bersifat semu serta melupakan yang hakiki. Itulah sifat kelalaian dan lupa yang selalu melekat pada setiap insani kecuali yang dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
إِنَّ الَّذِيْنَ لاَ يَرْجُوْنَ لِقَاءَنَا وَرَضُوْا بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاطْمَأَنُّوْا بِهَا وَالَّذِيْنَ هُمْ عَنْ آيَاتِنَا غَافِلُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat kami.” (Yunus: 7)
فَالْيَوْمَ نُنَجِّيْكَ بِبَدَنِكَ لِتَكُوْنَ لِمَنْ خَلْفَكَ آيَةً وَإِنَّ كَثِيْرًا مِنَ النَّاسِ عَنْ آيَاتِنَا لَغَافِلُوْنَ
“Maka pada hari ini kami selamatkan badanmu, supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan kami.” (Yunus: 92)
وَلاَ تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ نَسُوا اللهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُوْنَ
“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Al-Hasyr: 19)
يَعْلَمُوْنَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ اْلآخِرَةِ هُمْ غَافِلُوْنَ
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (Ar-Rum: 7)
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengajarkan kepada kita sebuah sikap dalam bergaul bersama mereka sebagaimana dalam firman-Nya:
فَأَعْرِضْ عَنْ مَنْ تَوَلَّى عَنْ ذِكْرِنَا وَلَمْ يُرِدْ إِلاَّ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا. ذَلِكَ مَبْلَغُهُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
“Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan kami, dan tidak menginginkan kecuali kehidupan duniawi. Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka. Sesungguhnya Rabbmu, Dialah yang paling mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia pulalah yang paling mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.” (An-Najm: 29-30)
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu di dalam tafsirnya menjelaskan: “Mereka berilmu tentang urusan dunia mereka namun jahil tentang urusan akhirat mereka. Al-Farra` berkata: ‘Allah merendahkan dan menghinakan mereka. Itulah batas akal mereka, mereka mengutamakan kehidupan dunia dari kehidupan akhirat’.”
Ibnu Katsir rahimahullahu menyatakan: “Mencari dunia dan berusaha untuknya merupakan puncak tujuan pencarian mereka. Telah diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad rahimahullahu dari Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ‘Dunia merupakan negeri orang yang tidak memiliki negeri dan harta bagi orang yang tidak memilikinya serta yang akan berusaha mengumpulkannya adalah orang yang tidak memiliki akal’.”
Penyakit kronis dalam pembahasan kali ini amat sangat terkait dengan agama dan keselamatan seseorang di dunia dan di akhirat. Sekali lagi, tahukah anda penyakit kronis apakah itu?
Itulah penyakit kejahilan (kebodohan), yang merupakan akhlak tercela serta akhlak orang-orang yang hina.

Kejahilan adalah Penyakit yang Berbahaya
Sedikit sekali orang mengetahui bahwa kejahilan adalah sebuah penyakit yang lebih berbahaya dari segala penyakit kronis. Bahkan bukan sesuatu yang aneh lagi, orang yang dijangkiti penyakit ini tidak merasa kalau dirinya sakit. Justru yang terjadi adalah mengklaim diri sebagai orang yang sehat segala-galanya. Seseorang yang tertimpa penyakit kronis hanya merasakannya di dunia. Namun penyakit kejahilan akan dirasakan pedihnya di dunia dan di akhirat.
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيْرًا مِنَ الْجِنِّ وَاْلإِنْسِ لَهُمْ قُلُوْبٌ لاَ يَفْقَهُوْنَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَ يُبْصِرُوْنَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لاَ يَسْمَعُوْنَ بِهَا أُولَئِكَ كَاْلأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُوْنَ
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu bagaikan binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Al-A’raf: 179)
Dengan kejahilan, seseorang akan terjatuh dalam perbuatan dosa yang tidak diampuni oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, perbuatan kezhaliman yang paling besar, yang akan mengharamkan masuk ke dalam surga serta mengekalkan di neraka. Perbuatan yang akan menghalalkan darah, kehormatan, dan harta pelakunya. Itulah perbuatan menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala alias syirik.
Al-Imam Al-Albani rahimahullahu ketika menjelaskan tentang menggantung jimat menyatakan: “Dan terus berkesinambungan kesesatan ini, tersebar baik di tengah orang-orang yang tinggal di pegunungan, para petani, maupun sebagian orang yang tinggal di perkotaan. Termasuk dalam kategori jimat adalah kharazat yang diletakkan oleh para sopir di bagian depan mobil mereka yang digantung di atas spion (tengah). Sebagian mereka menggantung sandal yang telah usang di depan atau di belakang mobil mereka. Yang lain menggantungkan sepatu kuda di depan rumah atau toko. Semuanya mereka jadikan sebagai tameng dari kejahatan mata yang jahat –menurut sangkaan mereka– dan selainnya (dari bentuk-bentuk kesyirikan). Semuanya telah tersebar dan menjadi musibah besar, disebabkan kejahilan tentang tauhid dan apa yang dinafikannya berupa segala bentuk kesyirikan dan berhalaisme. Yang tidaklah para rasul diutus dan kitab-kitab diturunkan melainkan untuk membatalkan segala kesyirikan itu serta menghakiminya. Kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sajalah kita mengadu akan kejahilan kaum muslimin dan jauhnya mereka dari agama mereka.” (Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah 1/890, no. 492)
Kejahilan juga akan menjatuhkan ke dalam amalan yang paling disukai iblis setelah syirik, yakni perbuatan mengada-ada dalam syariat alias bid’ah, serta segala bentuk penyimpangan syariat lainnya. Hingga seseorang akan menolak kebenaran yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu menyatakan: “Tidaklah engkau menemukan seseorang terjatuh dalam kebid’ahan melainkan karena kurangnya mereka dalam berpegang dengan As-Sunnah, baik ilmu maupun amal. Dan barangsiapa berilmu tentang As-Sunnah lalu mengikutinya, maka tidak terdapat pendorong pada dirinya untuk melakukan kebid’ahan. Maka orang yang jahil tentang As-Sunnah akan terjatuh pada kebid’ahan.” (Syarah Hadits Laa Yazni Az-Zani hal. 35)
Demikianlah orang jahil. Kejahilannya akan menjadi malapetaka dahsyat yang menghampirinya. Kesulitan hidup menjadi terbuka di hadapannya. Kesempurnaan manusia akan menghilang di benaknya sehingga segala gerak-geriknya dikendalikan oleh hawa nafsu. Sungguh betapa malang nasib hidupnya.
إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللهِ لِلَّذِيْنَ يَعْمَلُوْنَ السُّوْءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوْبُوْنَ مِنْ قَرِيْبٍ فَأُولَئِكَ يَتُوْبُ اللهُ عَلَيْهِمْ وَكَانَ اللهُ عَلِيْمًا حَكِيْمًا
“Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera. Maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (An-Nisa`: 17)
Ibnu Katsir rahimahullahu menjelaskan: “Mujahid dan selain beliau mengatakan: ‘Barangsiapa bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala baik karena tersalah atau sengaja maka dia adalah orang jahil, hingga dia mencabut diri dari dosa tersebut’.”
Qatadah rahimahullahu berkata dari Abul ‘Aliyah bahwa dia bercerita bahwa seluruh shahabat nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: ‘Segala dosa yang dilakukan oleh seorang hamba adalah karena kejahilan.’
Abdurrazzaq rahimahullahu berkata: Ma’mar menyampaikan kepada kami dari Qatadah, dia berkata: ‘Para shahabat Rasulullah radhiyallahu 'anhum telah bersepakat bahwa segala sesuatu yang Allah Subhanahu wa Ta’ala dimaksiati dengannya, maka itu dilandasi kejahilan baik disengaja ataupun tidak.’
Abu Shalih rahimahullahu meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwa dia berkata: ‘Barangsiapa jahil tentang sesuatu maka dia akan melakukan kejahatan.’ (Tafsir Ibnu Katsir dengan ringkas 1/572)
Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Sesungguhnya kesempurnaan hidup manusia berkisar pada dua poros, yaitu mengetahui kebenaran dari kebatilan dan mengutamakan kebenaran dari selainnya. Tidaklah terjadi perbedaan kedudukan seorang hamba di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala melainkan perbedaan mereka dalam dua fondasi ini. Dengan kedua hal inilah, Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji para nabi-Nya di dalam sebuah firman-Nya:
وَاذْكُرْ عِبَادَنَا إبْرَاهِيْمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوْبَ أُولِي اْلأَيْدِي وَاْلأَبْصَارِ
“Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq, dan Ya'qub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi.” (Shad: 45)
أُولِي الْأَيْدِي artinya kekuatan dalam menerapkan kebenaran. الْأَبْصَارِ artinya ilmu tentang agama. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyifati mereka dengan kesempurnaan pengetahuan mereka tentang kebenaran dan kesempurnaan penerapan mereka dengannya.” (Al-Jawabul Kafi hal. 139)
Al-Imam Ahmad rahimahullahu berkata: “Sesungguhnya seseorang melakukan penyelisihan karena sedikitnya pengetahuan mereka tentang segala apa yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (I’lamul Muwaqqi’in, 1/44)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata: “Kebenaran banyak hilang di tengah orang-orang yang jahil lagi ummi (tidak pandai membaca dan menulis).” (Majmu’ Fatawa 25/129)
Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Sebab tertolaknya kebenaran banyak sekali. Di antaranya adalah kejahilan, dan inilah sebab yang mendominasi pada kebanyakan orang. Karena barangsiapa jahil terhadap sesuatu niscaya dia akan menentangnya dan menentang pemeluknya.” (Hidayatul Hayara Fi Ajwibati Al-Yahudi wan Nashara hal. 18)
Setelah ini, tidakkah anda menganggap bahwa kejahilan adalah sebuah penyakit yang kronis dan berbahaya? Tidakkah cukup sebagai bukti bahwa terjatuhnya seseorang pada kesyirikan, kekufuran, kemaksiatan, dan segala bentuk penyelisihan terhadap syariat merupakah akibat dari kejahilan? Bahkan sekte Rafidhah, yang dicetuskan oleh seorang Yahudi yang pura-pura masuk Islam di masa pemerintahan ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu, Abdullah bin Saba` Al-Yahudi, di mana mazhab yang diusungnya adalah mazhab paling jahat dan paling sesat yang muncul dan bisa berkembang pesat di tengah kaum muslimin, juga disebabkan kejahilan. Hal ini telah disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu: “Sesungguhnya yang mencetuskan mazhab Rafidhah adalah seorang zindiq (munafik), mulhid (menyeleweng), musuh Islam dan kaum muslimin. Dan dia, Abdullah bin Saba`, tidak termasuk ahli bid’ah1 yang melakukan penakwilan sebagaimana golongan Khawarij dan Qadariyyah, sekalipun doktrin-doktrinnya berkembang pesat di tengah kaum yang memiliki iman namun terkuasai oleh kejahilan mereka.” (Minhaj As-Sunnah 4/363)
Penyakit kronis ini butuh obat yang ampuh dan mujarab, di mana tidak akan didapati obatnya melalui pemeriksaan medis di belahan dunia manapun.

Obat Penyakit Kronis Kejahilan
Seseorang yang mengerti sedikit ilmu agama niscaya akan mengetahui obat yang manjur bagi penyakit kronis yang sangat berbahaya tersebut. Itulah ilmu agama yang bersumberkan Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dipahami dengan pemahaman Salafus Shalih. Ilmu yang akan memperbaiki hubungan lahiriah dan batiniah dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ilmu yang akan membimbing ke jalan yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala serta menjauhi amalan-amalan yang dimurkai-Nya. Ilmu yang akan membimbing kepada jalan yang benar serta yang akan menjauhkan dari jalan yang batil. Ilmu yang akan membuahkan rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga mencegah dirinya untuk bermaksiat kepada-Nya.
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu menjelaskan: “Ilmu adalah mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala, mengenal Nabi-Nya, dan mengenal agama-Nya dengan dalil-dalil.” (Tsalatsatul Ushul karya beliau)
Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Ilmu adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ucapan para shahabat radhiyallahu 'anhum.”
Al-Auza’i rahimahullahu berkata: “Ilmu adalah apa yang diajarkan oleh para shahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka yang selainnya tidaklah dikatakan ilmu.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Bar rahimahullahu, 2/29)
Demikian juga yang diucapkan oleh Al-Imam Ahmad rahimahullahu. (Fadhlu Ilmis Salaf ‘alal Khalaf hal. 42)
Al-Junaidi rahimahullahu berkata: “Ilmu kita adalah terikat dengan Al-Kitab dan As-Sunnah. Dan orang yang tidak membaca Al-Qur`an dan Al-Hadits maka tidak bisa dijadikan panutan dalam ilmu kami.” (idem, hal. 44)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dan selain beliau berkata: “Cukuplah rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai ilmu dan cukuplah ketertipuan sebagai kejahilan.”2
Sebagian ulama salaf berkata: “Ilmu bukan karena banyak meriwayatkan, akan tetapi ilmu adalah yang akan mendatangkan rasa takut.”
Sebagian mereka menegaskan: “Barangsiapa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala maka dia adalah orang ‘alim dan barangsiapa bermaksiat maka dia adalah orang jahil.” (idem, hal. 47)
As-Sa’di rahimahullahu menjelaskan dalam sebuah manzhumah-nya: “Ketahuilah –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberimu hidayah– bahwa seutama-utama pemberian adalah ilmu yang akan menghilangkan keraguan (yaitu syubhat) dan kekotoran (yaitu syahwat). Ilmu yang akan membuka tabir kebenaran bagi yang berakal, dan ilmu yang akan menyampaikan kepada apa yang dicari.”
Kesimpulan kita bahwa ilmu adalah pohon yang akan membuahkan ucapan yang baik dan amal shalih. Sebaliknya, kejahilan adalah pohon yang membuahkan ucapan dan perbuatan yang jelek. (Risalah Qawa’id Fiqhiyyah karya As-Sa’di rahimahullahu hal. 12-13)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ
“Barangsiapa dikehendaki oleh Allah kebaikan, niscaya Allah akan memberikan kefaqihan dalam agama.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu)
مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلىَ الْجَنَّةِ
“Barangsiapa yang menempuh jalan dalam rangka menuntut ilmu maka Allah akan memudahkan jalannya menuju surga.” (HR. Muslim dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوْتِ اللهِ يَتْلُوْنَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُوْنَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْ عَلَيْهِمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ
“Tiadalah suatu kaum berkumpul di rumah dari rumah-rumah Allah, mereka membaca Al-Kitab (Al-Qur`an) dan mengkajinya, melainkan akan turun kepada mereka ketenangan, diliputi oleh rahmat, dikelilingi oleh para malaikat dan Allah menyebut-nyebut mereka di kalangan orang-orang yang ada di sisi-Nya .” (HR. Muslim dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Dalil-dalil yang Mengecam Kejahilan
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّا عَرَضْنَا اْلأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا اْلإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُوْمًا جَهُوْلاً
“Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (Al-Ahzab: 72)
وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيْلَ الْبَحْرَ فَأَتَوْا عَلَى قَوْمٍ يَعْكُفُوْنَ عَلَى أَصْنَامٍ لَهُمْ قَالُوْا يَا مُوْسَى اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُوْنَ
“Dan kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu. Setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala mereka, Bani lsrail berkata: ‘Hai Musa, buatkanlah untuk kami sebuah sesembahan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa sesembahan (berhala).’ Musa menjawab: ‘Sesungguhnya kalian adalah kaum yang jahil yang tidak mengetahui (sifat-sifat Allah)’.” (Al-A’raf: 138)
أَئِنَّكُمْ لَتَأْتُوْنَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُوْنِ النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُوْنَ
“Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu (mu), bukan (mendatangi) wanita? Sebenarnya kamu adalah kaum yang bodoh (akibat perbuatanmu).” (An-Naml: 55)
قُلْ أَفَغَيْرَ اللهِ تَأْمُرُونِّي أَعْبُدُ أَيُّهَا الْجَاهِلُوْنَ
“Katakanlah: ‘Maka apakah kamu menyuruh Aku menyembah selain Allah, hai orang-orang yang tidak berpengetahuan?’." (Az-Zumar: 64)
ثُمَّ أَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ بَعْدِ الْغَمِّ أَمَنَةً نُعَاسًا يَغْشَى طَائِفَةً مِنْكُمْ وَطَائِفَةٌ قَدْ أَهَمَّتْهُمْ أَنْفُسُهُمْ يَظُنُّوْنَ بِاللهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ يَقُوْلُوْنَ هَلْ لَنَا مِنَ اْلأَمْرِ مِنْ شَيْءٍ قُلْ إِنَّ اْلأَمْرَ كُلَّهُ لِلهِ يُخْفُوْنَ فِيْ أَنْفُسِهِمْ مَا لاَ يُبْدُوْنَ لَكَ يَقُوْلُوْنَ لَوْ كَانَ لَنَا مِنَ اْلأَمْرِ شَيْءٌ مَا قُتِلْنَا هَاهُنَا قُلْ لَوْ كُنْتُمْ فِيْ بُيُوْتِكُمْ لَبَرَزَ الَّذِيْنَ كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقَتْلُ إِلَى مَضَاجِعِهِمْ وَلِيَبْتَلِيَ اللهُ مَا فِيْ صُدُوْرِكُمْ وَلِيُمَحِّصَ مَا فِيْ قُلُوْبِكُمْ وَاللهُ عَلِيْمٌ بِذَاتِ الصُّدُوْرِ
“Kemudian setelah kamu berdukacita, Allah menurunkan kepada kamu keamanan (berupa) kantuk yang meliputi segolongan kamu, sedangkan segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri. Mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah. Mereka berkata: ‘Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini?’ Katakanlah: ‘Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah.’ Mereka menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan kepadamu. Mereka berkata: ‘Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini.’ Katakanlah: ‘Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh.’ Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu serta untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui isi hati.” (Ali ‘Imran: 154)
أَمْ مَنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ اْلآخِرَةَ وَيَرْجُوْ رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُوْنَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو اْلأَلْبَابِ
“(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (adzab) akhirat dan mengharapkan rahmat Rabbnya? Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (Az-Zumar: 9)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنَّ اللهَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ اللهُ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوْسًَا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوْا وَأَضَلُّوْا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan mencabut nyawa para ulama. Sehingga bila Allah tidak lagi menyisakan seorang pun dari mereka, lalu orang-orang mengangkat pemimpinnya dari orang jahil kemudian mereka bertanya kepadanya, dan mereka pun berfatwa tanpa ilmu, sesat lagi menyesatkan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu 'anhuma)

Akibat bila Terjangkiti Penyakit Kejahilan
1. Bila Dia Seorang Da’i
Tidak ada yang memungkiri bahwa kedudukan seorang da’i di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sangat tinggi. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya telah memuji mereka di dalam banyak dalil, sebagaimana dalam firman-Nya:
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shalih, dan berkata: ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?’.” (Fushshilat: 33)
قُلْ هَذِهِ سَبِيْلِي أَدْعُوْ إِلَى اللهِ عَلَى بَصِيْرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ
“Katakanlah: ‘Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik’.” (Yusuf: 108)
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُوْنَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
“Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali ‘Imran: 104)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَاللهِ لَأَنْ يَهْدِيَ اللهُ بِكَ رَجُلاً وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ
“Demi Allah, seseorang mendapatkan hidayah dari Allah karenamu maka itu lebih baik daripada kamu memiliki unta-unta merah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Sahl bin Sa’d As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu)
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ مِثْلُ أُجُوْرِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا
“Barangsiapa menyeru kepada petunjuk maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melakukannya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.” (HR. Muslim no. 2674 dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti yang mengamalkannya.” (HR. Muslim no. 1493 dari sahabat Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amir Al-Anshari Al-Badri radhiyallahu ‘anhu)
Bukanlah suatu keanehan jika seorang da’i mendapatkan martabat seperti ini, karena mereka adalah pewaris tugas para nabi. Dan kita mengetahui bahwa tugas mereka adalah berdakwah di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, seseorang dituntut agar bersemangat dalam memikul amanat ini untuk mendapatkan pahala yang besar di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bersamaan dengan realita umat ini yang sangat butuh kepada da’i-da’i yang shalihin, nashihin, dan penuh kasih sayang. Selain itu, juga dengan adanya peperangan yang dikobarkan musuh Islam terhadap pemikiran umat ini, aqidah dan akhlaknya, yang puncaknya mereka terpenjarakan dalam fitnah syahwat dan syubhat.
Kita telah diajarkan oleh agama bahwa berdakwah adalah sebuah amanat besar dan sebuah tanggung jawab. Tidak hanya di dunia, namun juga sebuah tanggung jawab di akhirat. Seorang da’i akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, ke mana dia mengajak umat. Dan untuk menyelamatkan diri dari tanggung jawab ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyaratkan agar berdakwah dilakukan di atas ilmu. Berdakwah di atas ilmu merupakan jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para pengikut beliau, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam firman-Nya:
قُلْ هَذِهِ سَبِيْلِي أَدْعُوْ إِلَى اللهِ عَلَى بَصِيْرَةٍ
“Katakanlah: ‘Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata.” (Yusuf: 108)
Dari sini kita mengetahui bahwa orang-orang yang tidak berilmu tentang syariat tidak diperbolehkan baginya memosisikan diri sebagai penerus tugas para nabi, terlebih dikenai perintah untuk berdakwah. Karena bila salah menyampaikan atau menyesatkan orang lain, ancamannya sangat besar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ اْلإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا
“Barangsiapa yang menyeru kepada kesesatan maka baginya dosa seperti dosa orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.” (HR. Muslim no. 2674 dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
2. Bila dia seorang pemimpin
Amat bisa dibayangkan jika seorang pemimpin berasal dari orang yang jahil tentang agama. Segala sepak terjangnya akan dibangun di atas kejahilan. Yang tergambar adalah sebuah bentuk kezhaliman, pemerkosaan hak rakyatnya, bahkan akan memperkosa agama dan kaum muslimin, lagi sesat menyesatkan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنَّ اللهَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ اللهُ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوْسًَا جُهَّالاً فَسُئِلُوْا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوْا وَأَضَلُّوْا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan mencabut nyawa para ulama. Sehingga bila Allah tidak lagi menyisakan seorangpun dari mereka, lalu orang-orang mengangkat pemimpinnya dari orang jahil kemudian mereka bertanya kepadanya, dan mereka pun berfatwa tanpa ilmu, sesat lagi menyesatkan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu 'anhuma)
3. Bila dia seorang biasa
Jika kejahilan merupakan sebuah akhlak yang tercela, yang akan merusak jati diri seorang da’i dan seorang pemimpin, apatah lagi jika akhlak ini disandang oleh seseorang yang awam tentang agama. Tentu akan semakin rusak dan jahat. Dia akan dijangkiti oleh penyakit kronis lainnya seperti taqlid buta, fanatisme, lancang, menolak kebenaran, membela kebatilan dan berkubang padanya, memusuhi kebenaran dan pelakunya, iri hati, dengki, sombong dan berbagai sifat berbahaya lainnya.
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu berkata: “Dan barangsiapa ridha dengan kebid’ahannya, tidak mau mencari dalil-dalil syariat dan tidak mau mencari ilmu yang akan bisa memisahkan antara haq dan batil, serta tidak mau membelanya, menolak apa yang datang dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, dibarengi kejahilan dan kesesatan serta berkeyakinan bahwa dirinya berada di atas kebenaran, maka orang seperti ini termasuk orang zhalim dan fasik. (Derajat kezhaliman dan kefasikannya) sesuai dengan kewajiban-kewajiban yang dia tinggalkan dan keberanian dirinya melaksanakan keharaman-keharaman Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Irsyad Ulil Basha`ir wal Albab hal. 300)

Hindarilah Penyakit Kejahilan!
Asy-Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr berkata: “Ilmu merupakan pokok pangkal segala kebaikan. Sedangkan kejahilan merupakan pokok pangkal segala kejelekan. Cinta kepada kezhaliman, permusuhan, melakukan kekejian dan melanggar larangan-larangan, sebabnya yang pertama adalah kejahilan serta rusaknya ilmu atau rusaknya niat. Dan rusaknya niat disebabkan karena rusaknya ilmu. Kejahilan dan rusaknya ilmu merupakan sebab pertama dalam kerusakan amal dan berkurangnya iman… Nafsu selalu mendorong untuk melakukan sesuatu yang mendatangkan mudarat dan tidak bermanfaat, karena kejahilannya tentang sesuatu yang membahayakannya. Oleh karena itu, barangsiapa mendalami Al-Qur`an maka dia akan menemukan isyarat yang besar bahwa kejahilan merupakan sebab segala dosa dan kemaksiatan.” (Asbab Ziyadatil Iman hal. 62)
Beliau juga menjelaskan: “Jahil tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah penyakit yang berbahaya dan membinasakan yang akan menggiring pemiliknya menuju kecelakaan dan adzab yang besar. Barangsiapa yang penyakit ini mengakar pada dirinya dan menguasainya, jangan engkau bertanya tentang kebinasaannya (yakni pasti akan binasa). Dia akan berkubang dalam kemaksiatan dan dosa, terjungkir balik dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang lurus, pasrah dalam seruan syubhat dan syahwat. Kecuali bila dia dijemput oleh rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan siraman hati dan cahaya penglihatan. Itulah kunci kebaikan, yaitu ilmu yang bermanfaat yang akan membuahkan amal shalih. Sebab, tidak ada obat terhadap penyakit itu melainkan ilmu. Dan seseorang tidak akan terlepas dari penyakit ini melainkan bila Allah Subhanahu wa Ta’ala mengajarkan kepadanya ilmu yang bermanfaat dan memberikan bimbingan kepadanya. Barangsiapa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala menginginkan kebaikan kepadanya, Dia akan mengajarkannya ilmu yang bermanfaat dan memberikan kedalaman tentang agama serta memperlihatkan kepadanya segala yang akan menjadikan dia bahagia dan bergembira, kemudian dia keluar dari kubangan kejahilan. Dan kapan saja Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menginginkan kebaikan untuknya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menetapkan dia di atas kejahilan. Kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sajalah kita meminta agar Dia menyirami hati kita dengan ilmu dan iman, serta melindungi kita dari kejahilan dan permusuhan.” (idem hal. 64)
Wallahu a’lam.

1 Karena dia telah kafir
2 Diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad rahimahullahu di dalam kitab Az-Zuhd (no. 158) dan Ath-Thabarani rahimahullahu di dalam Al-Kabir
(9/211) namun terdapat kelemahan, serta pada sanadnya ada inqitha` (keterputusan). Lihat ta’liq dan tahqiq Risalah Fadhlu ‘Ilmi As-Salaf hal. 46)

“APA ISI AL-QUR’AN DAN BAGAIMANA
CARA DITURUNKANNYA ?”
Oleh : Affannur jentrek rojoimo

Saudaraku sesama muslim,
Sebuah mutiara syair dibaca oleh saya pada suatu malam yang hening sunyi dan oleh telinga terdengar indah, begini bunyinya :

Kuunuu jamii-‘an yaa bunayya idza’taraa khathbun walaa tafarraquu aajaadaa
Ta’barrimaahu idzajtama’na takassuraa wa idzaftaraqna takassarta afraadaa
"Wahai anak-anakku, janganlah kalian bercerai berai ketika datang bahaya”.
“Ketahuilah anak-anak panah ketika terhimpun jadi satu, sukar untuk dipatahkan atau dipecah belah. Mudah dipatahkan atau dipecah belah, apabila satu persatu.”

Saudaraku, kapan pun dan dimana pun kita berada, kalau bertemu (berjumpa) dengan orang muslim (sesama muslim) lainnya, maka ia (mereka) itu adalah saudara kita. Di Indonesia ini, mayoritas rakyatnya (85%) beragama Islam dan di dunia ini, konon menurut data statistik sekarang jumlah umat Islam sudah mencapai lebih dari 1,4 milyar (satu koma empat per sepuluh milyar) orang.

Saya jadi berpikir, sesuai dengan kalimat demi kalimat yang tertera di dalam mutiara syair tersebut di atas, kalau saja kita sesama muslim tanpa alasan ini dan itu, tanpa embel-embel ini dan itu, mau bersatu, tentu kita akan kuat (kokoh), Islam akan jaya, Islam akan besar tidak saja di Republik ini tetapi di dunia. Sekarang kita memang sudah besar (banyak) tetapi lemah. Disegala bidang (politik, ekonomi, industri / perdagangan) dan lain-lain, kita tidak memimpin tetapi di pimpin.

Saudaraku, saya (penulis) rindu kalau membaca sejarah tentang kejayaan Islam pada masa-masa pemerintahan Khulafaurrasyidiin. Pemerintahan Islam ketika itu jaya, mempunyai kekuasaan yang luas. Betapa tidak, Persia ditaklukan, kemudian kota Damaskus, Bilbis, kota Iskandaria (ketika itu sebagai ibukota jajahan Romawi di Mesir) dengan direbutnya kota tersebut maka jatuhlah seluruh Negeri Mesir ke tangan kekuasaan Islam. Daerah Asia Minor pun ditaklukan, kemudian Daratan utara Benua Afrika seperti Barkah, Tripoli. Kemudian Khurasan, Jazirah Arab, Syam dan daerah pesisirnya menjadi taklukan Pemerintahan Islam. Sekarang di abad ke dua puluh ini, umat Islam memang ada dimana-mana dihampir setiap Negara di dunia ini, di Asia, Afrika, Amerika, Eropa (Negara-negara Barat dan Timur) dan jumlahnya satu koma empat milyar. Seperti dikatakan di atas kita memang banyak (besar) tetapi kenapa kita tidak memimpin tetapi dipimpin ?

Saya (penulis) jadi teringat kepada sebuah Hadist dari Tsauban ra bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Nyaris orang-orang kafir menyerbu dan membinasakan kalian seperti menyerbu makanan di atas piring. Bertanya seorang Sahabat : Apakah karena sedikitnya kami waktu itu ? Beliau Nabi SAW bersabda : Bahkan kalian pada waktu itu banyak sekali, akan tetapi kamu seperti buih di atas air. Dan Allah mencabut rasa takut musuh-musuhmu terhadap kalian serta menjangkitkan di dalam hatimu penyakit Wahn. Kembali seorang Sahabat bertanya : Wahai Rasulullah, apakah itu Wahn ? Beliau Nabi SAW bersabda : Mencintai dunia dan takut mati. (HR. Abu Daud, Ahmad dan Abu Na’im)

Saudaraku, kita banyak (besar) tetapi bagaikan buih di atas air, itu artinya kita sangat lemah, lemah sekali dan tidak memiliki kekuatan sedikit pun. Kenapa ?! Karena kita bercerai-berai, Karena kita tidak bersatu seperti kata syair bahwa anak-anak panah saja ketika terhimpun menjadi satu menjadi kuat, sukar untuk dipatahkan atau dipecah belah.

Coba tengok perang antara Iran dan Irak, masalah Palestina, tentang Masjid Aqsho yang sampai kini masih dikuasai (dijajah) oleh Israel (sampai-sampai orang yang mau shalat di Masjid harus pasrah di bawah todongan senjata api), padahal letaknya di kelilingi Negara-negara Islam. Kemudian di negeri kita sendiri, Indonesia tercinta, apakah kita (Islam) sudah bersatu ? Tengok tokoh-tokoh (Islam) kita yang satu bilang begini, yang satu lagi berkata begitu, partai-partai (besar) Islam pecah menjadi partai (Islam) dengan nama ini, dengan nama itu, masing-masing pimpinan saling tuding, umat bingung dan yang tersenyum dikulum adalah mereka para pemimpin Non Muslim.

Dan yang paling sangat mengambil keuntungan dari masalah kita ini, adalah musuh-musuh Islam (kaum kafir) dari luar, mereka dengan kegembiraan yang meluap-luap datang menyerbu kita, senjata yang mereka gunakan bukan senjata api, bukan persenjataan yang serba canggih, bukan Nuklir, Rudal Scut, tidak pula Rudal Patriot. Tetapi yang pasti yang mereka serang, sebagai tujuan, sebagai sasaran adalah aqidah kita.

Jangan heran kalau ada ribut-ribut diantara kita. Karena perasaan marah, dendam, iri, hasad, dengki, memang ditanamkan oleh mereka dan kita yang terhanyut lalu menjadikan saudara kita sendiri (sesama muslim) sebagai musuh atau lawan-lawan kita. Kenapa ?! Jawabnya karena kita bercerai-berai, sekali lagi karena kita bercerai-berai dan
karena kita tidak bersatu. Dan kaum kafir pun saling menghasung untuk menjajah Islam, Negeri-negerinya serta penduduknya, karena Negeri-negeri muslimin adalah Negeri-negeri sumber kebaikan dan barokah yang mengundang air liur kaum kafir untuk menjajahnya.

Saudaraku, tulisan (artikel) religius saya kali ini seperti judulnya tersebut di atas, semoga menjadi sebagai tambahan ilmu bagi sidang pembaca, dan Insya Allah menjadi sebagai suatu bentuk perbuatan amal sholeh bagi saya sebagai penulisnya. Insya Allah !

Apabila kita membaca kitab (buku) yang berhubungan dengan Al-Qur’an, maka kita dapat mengemukakan beberapa pendapat para ulama tentang isi (kandungan) Al-Qur’an, antara lain dikemukakan :

1. Aqidah yang mewajibkan beriman kepada Allah, Malaikat, Kitab-kitab, Rasul-rasul dan hari Akhirat. Ini merupakan garis pemisah antara iman dengan kafir seperti yang termasuk dalam Rukun Iman.
2. Ibadah, sebagai perbuatan yang menghidupkan aqidah dalam hati serta meresapkannya di dalam jiwa.
3. Janji dan ancaman, Al-Qur’an menjanjikan pahala bagi mereka yang mengamalkan perintah Al-Qur’an dan mengancam mereka yang mengingkarinya dengan siksaan. Janji Allah berlaku bagi orang per orangan maupun bagi suatu bangsa keseluruhannya. Baik merupakan janji kenikmatan dunia maupun kenikmatan akhirat.
4. Jalan-jalan mencapai kebahagiaan dunia maupun akhirat, karena itu Al-Qur’an berisi peraturan-peraturan, hukum-hukum. Peraturan-peraturan dan hukum tersebut ada yang mengatur hubungan manusia dengan Allah (vertical) dan hubungan antara sesama umat manusia (horisontal).
5. Riwayat dan cerita, yaitu sejarah orang-orang yang tunduk dan patuh kepada agama Allah SWT, serta menjalankan hukum-hukum Nya seperti para Nabi-nabi, Rasul-rasul dan orang-orang yang sholeh. Maksud dari riwayat tersebut untuk menjadi contoh tauladan bagi mereka yang mendambakan kebahagiaan.

Saudaraku sesama muslim.

Menurut penelitian para ahli (para alim ulama) mereka sependapat bahwa Al-Qur’an terdiri dari 30 juz dan 114 ayat. Adapun mengenai jumlah ayat, mereka berbeda pendapat. Diantara mereka ada yang berpendapat Al-Qur’an berjumlah 6236 ayat (Makkiyah 4631 ayat dan Madaniyah 1623 ayat). Sebahagian mereka ada yang berpendapat berjumlah 6277 ayat, ada yang mengatakan 6218 ayat, bahkan ada pula yang berpendapat 6204 ayat.

Walaupun terjadi perbedaan pendapat mengenai jumlah ayat, namun tidak akan mempengaruhi bagi isi Al-Qur’an itu sendiri, dengan pengertian bahwa ayat Al-Qur’an tidak akan bertambah maupun berkurang. Timbulnya perbedaan pendapat dikarenakan sebahagian Sahabat yang mendengar bacaan Nabi SAW berbeda pendapat tentang waqof dan washal dari bacaan tersebut. Sebahagian Sahabat beranggapan bahwa dalam rentetan bacaan tersebut merupakan satu ayat, sedangkan Sahabat lainnya beranggapan sudah merupakan dua ayat atau lebih. Demikian juga mengenai huruf-huruf pembukaan yang terdapat dalam surat-surat Al-Qur’an, sebahagian mereka beranggapan terdiri dari satu ayat, sedangkan pendapat lainnya bukan merupakan ayat tersendiri. Itulah sebab-sebab yang menimbulkan perbedaan pendapat mengenai jumlah ayat Al-Qur’an.

Jumlah kalimat dalam Al-Qur’an adalah sebanyak 77.934 buah kalimat, sedangkan huruf-hurufnya berjumlah 323.015 buah huruf, sebahagian dari ayat-ayat yang panjang dan sebahagian ada yang pendek. Pada umumnya ayat-ayat yang panjang terdapat dalam surat-surat yang panjang, demikian juga ayat-ayat yang pendek terdapat dalam surat-surat yang pendek. Ayat yang paling panjang berkenaan dengan masalah hutang piutang yang terdapat dalam surat Al-Baqarah yaitu ayat 282 yang terdiri dari 128 kalimat. Adapun ayat yang terpendek adalah kalimat yang terdapat pada permulaan surat Yaa-Siin.

Apabila kita membuka kitab suci Al-Qur’an, maka kita akan menjumpai tanda atau keterangan bahwa sebahagian dari ayat-ayatnya disebut ayat Makkiyah dan ayat Madaniyah.

• Ayat Makkiyah ialah semua ayat-ayat yang diterima Nabi Muhammad SAW sebelum hijrah ke Madinah. Tanda-tanda ayat Makkiyah adalah pendek-pendek dan disebut ayat Qishar, sedangkan ayat Madaniyah ayatnya panjang-panjang dan disebut ayat Thiwal.

• Pada umumnya ayat-ayat Makkiyah dimulai dengan seruan :
“Yaa Ayyuhannas.”
Artinya : Wahai seluruh manusia.

• Sedangkan ayat-ayat Madaniyah dimulai dengan seruan :
“Yaa Ayyuhallaziina Amanuu.”
Artinya : Wahai orang-orang yang beriman.

• Pada umumnya ayat-ayat Makkiyah mengandung hal-hal yang berkenaan dengan tauhid, adzab dan nikmat pada hari kemudian.

• Sedangkan ayat-ayat Madaniyah berisi hal-hal yang berhubungan dengan masalah hukum, cerita-cerita umat terdahulu dan orang-orang sholeh.

Saudaraku, bagaimana cara Al-Qur’an diturunkan ? Allah SWT menurunkan Al-Qur’an secara berangsur-angsur, sedikit demi sedikit sesuai dengan kebutuhan umat pada waktu itu.

• Perhatikan Firman Allah SWT :
“Dan Al-Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur, agar kamu membacanya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya sebahagian.” (QS. Al-Isro : 106)


Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur mengandung beberapa hikmah, antara lain :
a. Agar Al-Qur’an lebih mudah dapat dihayati dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
b. Sebagai jawaban terhadap peristiwa yang terjadi dalam masyarakat, sehingga jelas hukumnya, sebagai contoh perhatikan Firman Allah SWT :
“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang arak dan judi. Katakanlah : Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.” (QS. Al-Baqarah : 219)


Sedangkan contoh ayat yang turunnya di karenakan terjadi suatu peristiwa, perhatikan Firman Allah SWT :
“Dan jangalah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman, sesungguhnya wanita budak yang beriman lebih baik dari wanita musyrik walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahi orang-orang yang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman, sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka sedang Allah mengajak ke Sorga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayatnya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah : 221)

Ayat ini turun sehubungan dengan peristiwa Martsad yang diutus Nabi Muhammad SAW ke Mekkah untuk menjemput umat Islam yang masih bermukim di sana. Seorang wanita musyrik yang cantik dan kaya raya merayu Martsad untuk dijadikan istri. Pada prinsipnya permintaan wanita tersebut disetujui Martsad dengan syarat apabila mendapat restu dari Nabi Muhammad SAW. Sesudah kembali ke Madinah Martsad menyampaikan maksudnya untuk merestui pernikahan dengan wanita idamannya, sehingga turunlah ayat Al-Qur’an yang melarang menikahi wanita musyrik. Pada umumnya ayat-ayat hukum diturunkan diawali dengan suatu kejadian, atau pertanyaan, untuk menjelaskan hal-hal yang perlu diketahui oleh masyarakat.

Saudaraku, sampai disini dulu jumpa kita, Insya Allah bertemu lagi kita pada tulisan (artikel) religius saya mendatang, tentu saja dengan judul dan materi yang berbeda. Terima kasih atas segala perhatian, wabillahi Taufik wal hidayah Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
“Apa itu Akhlak Mahmudah
Dan Apa itu Akhlak Madzmumah?”
Oleh : Affannur jentrek rojoimo
 

Saudaraku sesama muslim.
Alhamdulillah, jumpa lagi kita kali ini dakwah saya (lewat tulisan) seperti judul tersebut diatas semoga dapat menjadi penawar yang menyejukkan dan menjadi sebagai tambahan ilmu bagi sidang pembaca. Dengan demikian nilai-nilai Islam menjadi dapat tersebar luaskan. Insya Allah!

Saudaraku, sebagaimana kita ketahui bahwa Allah SWT mengutus para Rasul antara lain untuk menjadi suri teladan yang baik (uswatun hasanah), yaitu untuk mengajarkan budi pekerti (akhlak) yang luhur. Rasulullah SAW pernah bersabda : “Aku diutus semata-mata untuk menyempurnakan budi pekerti yang luhur.” (HR. Ahmad). Akhlak yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW ini disebut akhlak mahmudah (akhlak yang terpuji) yang tentu saja harus kita teladani, kita harus memiliki akhlak yang mahmudah ini dan menjadikannya sebagai penghias hidup kita.

Saudaraku, sidang pembaca yang budiman, sengaja saya tidak akan membahas secara khusus setentang akhlak mahmudah, tetapi yang akan kita bersama pelajari ini adalah justru lawan dari akhlak mahmudah itu, yakni yang disebut akhlak madzmumah. Tahukah antum (pembaca) apa itu akhlak madzmumah? Akhlak madzmumah adalah akhlak yang dikendalikan oleh Syetan dan kita sama sekali tidak boleh memiliki akhlak yang demikian, karena akhlak madzmumah adalah akhlak yang tercela dan sangat-sangat harus kita jauhi.

Kenapa? Karena ia bisa membuat hati kita membusuk dan sulit disembuhkan. Tubuh kita mungkin saja akan tetap terlihat sehat ketika kita berakhlak madzmumah ini, tetapi hati dan jiwa kita menderita dan tersiksa. Sebab ia bukanlah penyakit fhisik, melainkan penyakit hati! Lalu, seperti apa sih penyakit hati itu ? Seberapa besar bahaya yang dibawanya? Dan bagaimana cara menanggulanginya? Wabah penyakit hati lebih berbahaya dari penyakit apapun.

Saudaraku (sidang pembaca), jangan sampai terjangkit oleh wabah penyakit hati yang sangat ganas ini, Na’udzubillah. Summa na’udzubillah! Untuk itu mari sedikit kita simak apa yang menjadi materi kita ini.

• Bersabda Rasulullah SAW :
“Ketahuilah, didalam tubuh manusia ada segumpal daging. Apabila segumpal daging itu baik, seluruhnya baik dan apabila daging itu buruk, buruklah seluruhnya Ketahuilah olehmu bahwa segumpal daging itu adalah kalbu (hati).” (HR. Bukhari)

Pernah dengar kisah putra Nabi Adam as yang bernama Qabil dan Habil ? Qabil adalah sosok manusia pertama didunia yang terkena penyakit hati (madzmumah). Ketika ia hendak dikawinkan dengan saudara kembar Habil yang tidak cantik, sementara saudara kembarnya sendiri (Qabil) yang cantik yang bernama Iqlima akan dikawinkan dengan Habil, ia merasa iri.

Kemudian Qabil protes kepada ayahnya sehingga akhirnya Nabi Adam as menyuruh kedua anaknya itu untuk berkurban dengan catatan siapa yang kurbannya diterima oleh Allah SWT maka dialah yang berhak mengawini Iqlima. Kemudian ketika ternyata kurban Habil yang diterima, Qabil merasa dengki sehingga ia membunuh adiknya sendiri. Penyakit hati yang diderita oleh Qabil telah menobatkan dirinya menjadi manusia pertama didunia yang melakukan kejahatan yaitu membunuh. Kita tentu tidak ingin menjadi pengikut Qabil bukan? Untuk itu mari kita mulai mempersiapkan diri menghadapi penyakit hati, wabil khusus didalam kita yang saat ini sedang menjalankan ibadah puasa dibulan suci Ramadhan 1427 H ini :

• Penyakit hati antara lain disebabkan karena ada perasaan iri :
1. Pengertian Iri :
Iri adalah sikap kurang senang melihat orang lain mendapat kebaikan atau keberuntungan. Sikap ini kemudian menimbulkan prilaku yang tidak baik terhadap orang lain, misalnya sikap tidak senang, sikap tidak ramah terhadap orang yang kepadanya kita iri atau menyebarkan isu-isu yang tidak baik. Jika perasaan ini dibiarkan tumbuh didalam hati, maka akan muncul perselisihan, permusuhan, pertengkaran, bahkan sampai pembunuhan, seperti yang terjadi pada kisah Qobil dan Habil.

2. Sebab-sebab Timbulnya sifat Iri :
Kalau kita cermati dari kisah Qabil dan Habil, kita dapat melihat bahwa sifat iri ini muncul karena :
a. Adanya rasa sombong didalam diri seseorang
b. Kurang percaya diri
c. Kurang mensyukurui nikmat Allah
d. Tidak merasa cukup terhadap sesuatu yang telah dimilikinya.
e. Tidak percaya kepada qadha dan qadar.

3. Akibat (berbahayanya) sifat Iri :
Sifat iri tidak pernah membawa kepada kebaikan, bahkan pasti membawa akibat buruk. Akibat dari sifat iri tersebut antara lain :
a. Merasa kesal dan sedih tanpa ada manfaatnya bahkan bisa dibarengi dosa.
b. Merusak pahala ibadah
c. Membawa pada perbuatan maksiat, sebab orang yang iri tidak bisa lepas dari perbuatan menyinggung, berdusta, memaki, dan mengumpat.
d. Masuk Neraka
e. Mencelakakan orang lain
f. Menyebabkan buta hati
g. Mengikuti ajakan syetan
h. Meresahkan orang lain
i. Menimbulkan perselisihan dan perpecahan
j. Meruntuhkan sendi-sendi persatuan masyarakat
k. Menimbulkan ketidaktentraman dalam diri, keluarga, masyarakat, atau orang lain.

4. Cara menghindari sifat Iri :
Diantara cara-cara menghindari sifat iri sebagai berikut :
a. Menumbuhkan kesadaran didalam diri bahwa kenikmatan itu pemberian Allah SWT, sehingga wajar apabila suatu saat Allah memberi nikmat kepada seseorang dan tidak memberikannya kepada orang lain.
b. Membiasakan diri bersyukur kepada Allah SWT dan merasa cukup terhadap segala sesuatu yang telah diterimanya.
c. Menjalin persaudaraan dengan orang lain, sehingga terhindar dari perasaan benci dan tidak senang apabila orang lain mendapatkan keberuntungan (kesenangan).
d. Membiasakan diri ikut merasa senang apabila orang lain mendapat keuntungan (kesenangan).

• Penyakit hati disebabkan karena perasaan dengki.
1. Definisi Dengki.
Dengki artinya merasa tidak senang jika orang lain mendapatkan kenikmatan dan berusaha agar kenikmatan tersebut cepat berakhir dan berpindah kepada dirinya, serta merasa senang kalau orang lain mendapat musibah. Sifat dengki ini berkaitan dengan sifat iri. Hanya saja sifat dengki sudah dalam bentuk perbuatan yang berupa kemarahan, permusuhan, menjelek-jelekkan, menjatuhkan nama baik orang lain. Orang yang terkena sifat ini bersikap serakah, rakus, dan zalim. ia akan menghalalkan segala cara untuk mencapai keinginannya, bahkan tidak segan-segan berbuat aniaya (zalim) terhadap sesamanya yang mendapatkan kenikmatan agar cepat kenikmatan itu berpindah kepada dirinya. Setentang sikap buruk yang namanya dengki ini, simak Hadist tersebut ini :

• Bersabda Nabi SAW :
“Dengki itu memakan kebaikan, sebagaimana api memakan kayu bakar.” (HR. Abu Daud)
• Dan Nabi SAW juga bersabda :
“Menimpa kepadamu suatu penyakit umat-umat sebelum kamu, yaitu benci-membenci dan dengki. Dialah pencukur agama, bukan sekedar pencukur rambut.” (HR. Turmudzi)

Saudaraku, Hadist yang pertama menjelaskan bahwa dengki itu memakan kebaikan seperti api yang memakan kayu bakar. Disini jelas bahwa dengki itu suatu hal yang berlawanan dengan kebaikan, bahkan menjadi musuhnya. Sedangkan Hadist yang kedua menjelaskan bahwa jika suatu masyarakat telah terjangkiti penyakit dengki, maka agama akan hancur, tatanan dan hukum yang ada tidak akan berguna. Oleh karena itu, jika sifat ini tidak dihindari, tatanan kehidupan bermasyarakat akan kacau dan rusak, bahkan agama tidak lagi dijadikan pedoman hidup.

2. Penyakit Dengki
Diatas sudah dijelaskan bahwa penyakit dengki berpangkal dari iri dan marah, sehingga penyebab dari iri juga merupakan penyebab dari penyakit iri, ditambah hal-hal sebagai berikut :
a. Kalah bersaing dalam merebut simpati orang atau dalam usaha.
b. Sifat kikir yang berlebihan
c. Cinta dunia dan sejenisnya.
d. Merasa sakit jika orang lain memiliki kelebihan
e. Tidak beriman kepada qadha dan qadar.

3. Bahaya Penyakit Dengki
Semua penyakit, apapun namanya, pasti mendatangkan bahaya bagi orang yang dihinggapinya. Demikian juga penyakit hati yang dibawa oleh penyakit dengki ini antara lain sebagai berikut :
a. Mendorong untuk berbuat maksiat seperti menggunjing, berbohong, marah, senang jika orang lain mendapat musibah.

• Rasulullah SAW bersabda :
“Manusia akan senantiasa mampu berbuat kebajikan selama tidak saling hasud satu sama lain.” (HR. Thabrani)
b. Mencelakakan orang lain
c. Merugikan diri sendiri dan orang lain
d. Kebutaan hati dalam menerima kebenaran, karena sibuk memikirkan bagaimana cara mencelakakan orang lain.
e. Tidak akan diakui sebagai umat Rasulullah SAW dan tidak akan mendapat syafaatnya pada hari Kiamat nanti.

• Bersabda Rasulullah SAW
“Bukanlah dari golonganku orang yang memiliki kedengkian.” (HR. Thabrani).

f. Masuk Neraka tanpa dihisab terlebih dahulu.
• Nabi SAW Bersabda :
“Ada 6 (enam) kelompok orang yang akan masuk Neraka sebelum dihisab amalnya, disebabkan oleh enam perkara. Yaitu :
1. Penguasa karena ke zalimannya
2. Orang Arab (atau ras lainnya) yang fanatik dengan kesukuannya
3. Para tokoh, karena kesombongannya
4. Para pedagang karena kecurangannya
5. Orang-orang awam karena kebodohannya
6. Para ulama karena hasudnya.” (HR. Dailami)


4. Bagaimana Cara Menghindari Penyakit Dengki ?
Adapun cara yang bisa ditempuh untuk menghindari penyakit dengki, antara lain :
a. Menjauhi semua penyebabnya.
b. Mewaspadai bahayanya.
c. Membiasakan diri untuk memberikan dukungan positif terhadap apa yang dialami saudara kita.
d. Mempererat tali persaudaraan sehingga terjalin kerukunan dan persaudaraan.
e. Selalu berdzikir, sehingga hati merasa dekat dengan Allah SWT.
f. Ilmu dan amal.

• Hasud.
1. Pengertian Hasud
Hasud adalah sikap suka menghasud dan mengadu domba terhadap sesama. Menghasud adalah tindakan yang jahat dan menyesatkan, karena mencemarkan nama baik dan merendahkan derajat seseorang dan juga karena mempublikasikan hal-hal jelek yang sebenarnya harus ditutupi. Saudaraku (sidang pembaca) tahukah antum, bahwa iri, dengki dan hasud itu adalah suatu penyakit. Pada mulanya iri yaitu perasaan tidak suka terhadap kenikmatan yang dimiliki orang lain. Kemudian, jika dibiarkan tumbuh, iri hati akan berubah menjadi kedengkian. Penyakit kedengkian jika dibiarkan terus akan berubah menjadi penyakit yang lebih buruk lagi, yaitu hasud.

2. Akibat Penyakit Hasud
Penyakit hasud adalah penyakit hati sama berbahanya dengan penyakit iri dan dendam. Sehingga dalam bahasa Arab iri, dengki dan hasud mempunyai arti kata yang sama yaitu hasad. Perbuatan iri dapat menghancurkan persatuan dan persaudaraan. Orang yang bertetangga dan bersaudara dapat bertengkar dan berselisih bahkan sampai pecah, bila termakan hasutan. Sehingga putuslah persaudaraan mereka.

• Nabi SAW pernah bersabda :
“Jauhilah sifat hasad, karena sesungguhnya hasad itu dapat memakan (menghabiskan) kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar.” (HR. Abu Daud)

• Dan Bersabda Rasulullah SAW :
“Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : “Tahukah kalian orang yang muflis (pailit/bangkrut) itu? Para Sahabat menjawab :”Orang yang tidak mempunyai harta sama sekali.” Lalu Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya orang yang paling pailit dari umatku ialah orang yang datang pada hari Kiamat kelak dengan membawa shalat, puasa dan zakat, tetapi ia telah mencaci maki orang lain, menuduh orang ini, memakan harta orang lain, menumpahkan darah orang ini, dan memukul orang ini. Maka orang-orang yang telah dianiaya ini diberi kebaikannya. Apabila amal kebaikannya habis sebelum dilunasi semua dosa-dosanya, maka diambillah kesalahan-kesalahan orang-orang (yang pernah dianiaya) dan ditumpahkan semuanya kepada dia, kemudian dia dilempar kedalam Neraka.” (HR. Muslim)

Dengan demikian, kalau kita rinci akibat penyakit hasud ini kurang lebih sebagai berikut :
a. Merugikan diri sendiri dan orang lain.
b. Menimbulkan perpecahan dan perselisihan.
c. Meruntuhkan sendi-sendi persatuan dan kerukunan dalam masyarakat.
d. Mencelakakan orang lain.
e. Menghilangkan amal perbuatan baik.
f. Masuk Neraka

3. Penyebab Penyakit Hasud.
Penyebab penyakit hasud tidak jauh berbeda dengan penyakit iri dan dendam, ditambah hal-hal sebagai berikut :
a. Permusuhan dan Kemarahan.
b. Sikap tidak rela orang lain lebih baik darinya.
c. Sombong
d. Tamak dan rakus dunia.
e. Lemahnya iman.
f. Mudah diprovokasi orang lain.

4. Bagaimana Cara Menghilangkan Penyakit Hasud?
Untuk menghilangkan penyakit ini, cara yang bisa dilakukan antara lain sebagai berikut :
a. Menumbuhkan kesadaran bahwa permusuhan dan kemarahan akan membawa petaka dan kesengsaraan baik lahir maupun bathin.
b. Saling mengingatkan dalam kebaikan dan kesabaran.
c. Jadilah orang yang mempunyai pendirian tidak mudah di provokasi.
d. Mengamalkan ajaran agama.

Saudaraku sesama muslim, saya sudahi dulu tulisan saya ini, sekali lagi saya berharap semoga dakwah (lewat tulisan) ini dapat menjadi penawar yang menyejukkan dan menjadi sebagai tambahan ilmu bagi sidang pembaca, tentu saja kesemuanya ini tidak terlepas dari sebuah keinginan yaitu nilai-nilai islam menjadi kian dapat tersebar luaskan.
Terima kasih atas segala perhatian. Wabilahi taufik wal hidayah wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.


***