INFO PROFIL

Foto saya
JENTREK ROJOIMO WONOSOBO, jawa tengah indonesia, Indonesia
Ya Allah jadikan kami manusia yang bisa keluar dari belenggu “kemunafikan”. Bimbing kami untuk tidak mengoreksi orang lain sebelum diri ini terkoreksi ya Rabb. Jadikan kami manusia yang jujur dan tidak pernah membohongi diri sendiri apalagi orang lain. kepadaMulah kami berserah ya Allah, kepadaMulah kami bermohon karena tanpa kehendakMu kami tidak bisa berbuat apa-apa Affannur Jentrek rojoimo wonosobo . lahir13 Agustus 1989

Selasa, 18 Mei 2010

Ada beberapa ciri atau kriteria cantik yang shalih dan shalihah yang dapat kita realisasikan, di antaranya :
  • Kulitnya dilindungi jlbab, berpakaian bersih, pas dan rapi
  • Sehat jasmani dan rohaninya, yang tercermin dari gerak tubuh dan sikapnya yang luwes dan terampil
  • Mampu menjaga pandangan karena ketakwaannya
  • Senantiasa menyuarakan dzikrullah
  • Selalu tersenyum ramah dan tulus
  • Senantiasa mengejar dan belajar ilmu kebaikan dan dakwah di majlis-majelis keilmuan
  • Menebar cinta kepada sesama dalam jalinan ukhuwah
  • Tidak mengutamakan kepentingan materi atau dunia semata
  • Birrul walidain (berbuat baik kepada kedua orang tua)
Kriteria di atas, mungkin hanya sebagaian yang terangkum dari sekian banyak kecantikan yang shalihah. Remaja muslim seperti itu akan terasa sejuk dipandang mata. Terasa nyaman dan ada keinginan untuk berintrospeksi setiap kali di dekatnya karena sikap, sifat dan perkatannya selalu penuh keteladanan. Inner beauty sejati ialah keshalihan

Konsep Cantik yang Islami (Cantik Yang Shalihah)

Dari pendapat di atas, kita dapat memetik sebuah pelajaran bahwa eksploitasi kecantikan fisik pada akhirnya menimbulkan kontroversi pada pribadi seseorang dan lingkungan sosialnya. Misalnya, ketika Indonesia mengirimkan duta untuk kontes Miss Universe, banyak kalangan agamawan dan budayawan yang menentang. Sayangnya, kepentingan politis dan ekonomi selalu mengalahkan nilai-nilai religi, moral dan budaya kebenaran. Pada akhirnya, kecantikan dari dalam diri lah yang menjadi sumber kebahagiaan dan kemanfaatan.
Sebagai remaja muslim, kita harus senantiasa mempersiapkan jiwa dan raga untuk menggapai cantik yang sesungguhnya. Kecantikan sejati lahir secara alami, bukan polesan kosmetik belaka. Remaja muslim yang cantik ialah yang berisi luar dan dalam. Berakhlak baik, cerdas dan tanggap terhadap diri dan lingkungan, serta memiliki keimanan yang mantap. Seseorang akan terlihat cantik bila kita merasa nyaman dan damai berada di dekatnya.
Remaja muslim, pernahkah kita menyadari bahwa kita sering dininabobokan produk-produk iklan tertentu untuk memenuhi kriteria cantik? Berkorban banyak materi karena mendamba kecantikan fisik semata. Pandangan seperti ini bisa menghambat daya pikir kreatif dan positif kita, lupa memperbaiki akhlak, lalai meng-upgrade pemikiran dan keimanan. Wajar saja kalau remaja kita semakin lemah dan tertinggal karena pola pikirnya tidak seimbang. Jika kita mau berpikir lebih peka dan benar, kecantikan fisik itu hanya sementara. Perlahan tapi pasti, semua itu akan lekang dimakan usia. Mempercantik fisik memang tidak ada salahnya, asal tujuannya benar, misalnya demi kesehatan dan kenyamanan ibadah. Namun, jika menjadi korban kriteria cantik secara fisik, nggak zaman dech..
Harus kita waspadai bahwa kecantikan fisik tidak selalu berbanding lurus dengan kecantikan akhlak, kecerdasan emosional, intelektual dan spiritual. Kecantikan yang menyeluruh itu ialah yang bisa memadukan perbuatan, perkataan dan perasaan yang shalih dan shalihah. Dalam buku curhatnya, mantan Puteri Indonesia Angelina F. Sondakh mengeluhkan beberapa kegiatannya yang kebanyakan berhubungan dengan demo kecantikan fisik atau seminar seputar kecantikan selama menjadi Puteri Indonesia 2001. Ia mengaku jenuh karena sisi brain dan behavior-nya kurang tergali dan termanfaatkan untuk kepentingan bangsa. Padahal, kecantikan fisik bukan modal utama, inner beauty-lah yang membuat perempuan terlihat sempurna.

Brain, Behavior, Beauty (Cantik Yang Shalihah)

Beberapa tahun terakhir, negara-negara kapitalis mematok kriteria cantik berdasarkan 3B (Brain, Behavior, Beauty). Negara kita juga ikut mengadopsi konsep itu, khususnya untuk menilai kecantikan pada ajang kontes kecantikan. Secara tidak langsung, konsep cantik itu banyak mengeksploitasi jasmani si peserta karena yang ditonjolkan tetap saja unsur beauty-nya. Seperti itukah definisi cantik yang “menjanjikan segala kebahagian”?.
Kecantikan bergantung kepada siapa yang melihat dan menilai. Dalam hal ini unsur rasa turut menentukan, sehingga sering dikatakan bahwa cantik atau ganteng itu relatif. Pada zaman Kaisar Romawi, gambaran fisik kecantikan perempuan ialah bertubuh gendut dan subur. Wanita kurus dan langsing dianggap kurang gizi dan lemah. Ini menunjukkan bahwa pada masa itu, kekuatan menjadi unsur utama penilaian cantik. Hingga akhirnya, perkembangan zaman menorehkan sejarah pergeseran kriteria kecantikan fisik seperti sekarang.

Mengukur Kekuatan Cinta
Affannur jentrek rojoimo wonosobo


Manusia mana yang tidak pernah merasakan cinta? Tentu semuanya pernah merasakan. Karena setiap makhluk yang bernyawa, telah ditakdirkan memiliki rasa cinta. Bahkan di fase tertentu, seorang manusia bisa dibuat mabuk dengan indahnya cinta. Dengan cinta, kehidupan di dunia ini dapat menjadi tentram, menumbuhkan rasa kasih sayang antar sesama, sehingga perputaran regenarasi penghuninya berjalan dengan sempurna.
Hingga sampailah kita pada satu kesimpulan, bahwa cinta adalah fitrah manusia. Namun sebagai muslim, tentu kita tak puas sampai di situ. Kita pun lebih tertarik mencari sesuatu yang lebih hakiki, tak berhenti hanya dalam kerangka yang sifatnya materi saja.
Islam telah banyak bicara tentang makna cinta hakiki. Pastinya tak seperti agama cinta ala Anand Krishna, yang belakangan kasusunya santer di media massa. Tapi cinta di sini, tak terhalangi oleh waktu, bahkan mampu menembus batas dari waktu itu sendiri, luar biasa bukan?
Kekuatan dahsyat ini lah yang memberanikan si kecil Ali ra. menggantikan posisi nabi Muhammad Saw. di atas ranjangnya pada malam hijrah. Padahal telah tersiar kabar di kota Mekkah, akan ada konspirasi yang mengerikan. Karena setiap perwakilan kabilah dengan pedangnya yang terhunus, siap mengepung rumah nabi dan menghabisinya di malam itu juga. Namun Ali ra. tak gentar, ia pun berada di atas ranjang nabi tanpa ada rasa khawatir. Tentunya keberanian ini tak lepas dari kuatnya cinta Ali kepada Rasulullah Saw..
Tapi yang perlu diingat, cinta tak ujuk-ujuk datang, ia harus dipupuk secara perlahan. Ibarat pohon yang baru ditanam, ia harus rutin disiram, diberi pupuk dan dirawat. Dengan demikian kelak ia akan tumbuh subur, akarnya kuat menghujam ke bumi, batangnya menjadi kokoh dan dahannya meninggi menjulang ke langit.
Puncak cinta dalam Islam yang disebutkan dalam Al Qur’an dan Al Hadits, ternyata hanya ditempati oleh Sang Pemilik Cinta dan makhluk yang paling Ia cintai. Ya, porsi itu hanyalah untuk Allah dan Rasul-Nya. Karena cinta terhadap keduanya, merupakan kunci yang menyelamatkan hidup manusia, baik itu di dunia mau pun di akhirat.
Melalui lisan mulianya, nabi Muhammad Saw. memberikan bocoran tentang siapa saja dari umatnya yang bisa merasakan manisnya iman. Mengapa harus iman? Ya, karena tanpa iman, mustahil seseorang akan selamat dunia akhirat. Iman pun diibaratkan seperti mutiara, saking berharganya, kehilangannya sama saja seperti mati sebelum waktunya.
Tiga ciri yang disebutkan Nabi itu adalah, pertama, orang yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari selainnya. Kedua, agar mencintai seseorang semata-mata karena Allah Swt. Ketiga, tidak senang kembali kapada kekufuran setelah diselamatkan oleh Allah Swt., sebagaimana ketidak-senangannya dilempar ke dalam api neraka.” (HR. Bukhari)
Ibarat keping mata uang, iman dan cinta tak dapat dipisahkan. Di dalam sebuah hadis lainnya, Rasulullah Saw. bersabda: “Tidak beriman seseorang di antara kalian, sampai menjadikanku lebih ia cintai dari pada kedua orang tuanya, anaknya dan manusia lainnya”. (HR. Bukhari)
Suatu ketika Umar bin Khatab ra., sahabat nabi yang tegas dan gagah perkasa, curhat kepada Rasulullah. Ia berbicara tentang kualitas cinta dan imannya. “Wahai kekasih Allah, engkaulah yang paling kucintai setelah diriku”.jelasnya. “Tidak, Umar., kecuali setelah diriku lebih engkau cintai ketimbang dirimu sendiri”.jawab Rasulullah. Seketika itu juga Umar meralat cintanya dan kemudian berkata, “Mulai detik ini ya Rasulallah, demi Allah, engkaulah yang paling ku cinta, bahkan melebihi diriku sendiri.” Dan Rasulullah pun kemudian membenarkan keimanan Umar saat itu juga.
Dan sekarang, marilah mengukur kekuatan cinta kita kepada Allah dan Rasul-Nya. Selayaknya sudah tertanam dalam diri kita, keabadian jauh lebih menggiurkan ketimbang hal-hal yang sifatnya sementara belaka. Kalau yang ada di alam hidup ini masih lebih dicintai daripada Allah dan Rasul-Nya, maka bersegeralah meng-upgrade iman kita. Sehingga kita terhindar dari kategori orang fasik yang disebutkan dalam Al Qur’an.
Allah Swt. telah berfirman, Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik. (QS. At Taubah: 24)

 

Mengukur Ikhlas Kita
fakultas ilmu kesehatan unsiq


gaulislam edisi 112/tahun ke-3 (27 Dzulhijjah 1430 H/14 Desember 2009)
 
Dari Amirul Mukminin, Umar bin Khathab ra, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya segala amal perbuatan bergantung kepada niatnya dan tiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan RasulNya, maka ia akan mendapatkan pahala hijrah karena Allah dan Rasulullah. Barang siapa yang hijrahnya karena faktor duniawi yang akan ia dapatkan atau karena wanita yang akan ia nikahi, maka ia dalam hijrahnya itu ia hanya akan mendapatkan apa yang ia niatkan.” (HR Bukhari-Muslim)
Setiap amal bergantung kepada niatnya. Yup, benar banget. Niatnya pun kudu ikhlas karena ingin mengharap keridhoan Allah Swt. semata. Hmm.. kudu ikhlas ya? Waduh, kayaknya kata itu buat kita jadi makin asing neh. Bukan kenapa-kenapa, susah juga nemuin orang yang mau ikhlas di jaman sekarang. Segalanya diukur dengan duit, dengan harta benda, ketenaran, cari muka dan sejenisnya. Iya, maksudnya kalo kita mau nolong orang kadang yang kepikiran: nih orang mau ngehargai gue nggak sih; orang ini kalo gue bantu mau balas jasa nggak ke gue; kalo gue menolong dia nama gue harum nggak sih; kalo gue nolong orang ini, kira-kira berapa gue dibayar; dan seabreg pikirin lainnya yang ujungnya itung-itungan deh.
Bro en Sis, secara teori udah banyak orang yang jelasin. Seperti kata teori pula, kayaknya gampang untuk bisa ikhlas. Tapi praktiknya, duh kita bisa rasakan sendiri gimana susahnya jaga hati dan jaga pikiran biar ikhlas kita nggak ternoda. Soalnya, ada aja celah yang bisa bikin kita melenceng dari niat awal dalam berbuat. Awalnya sih insya Allah bakalan ikhlas, eh nggak tahunya di tengah jalan ada yang godain kita supaya nggak ikhlas. Halah, gawat bener kan?
Sobat muda muslim, sekadar ngingetin memori kita, dalam Islam ikhlas ternyata mendapat perhatian khusus lho. Soalnya, ini erat kaitannya dengan amal perbuatan kita dan keimanan kita kepada Allah Swt. Jangan sampe deh kita beramal diniatkannya bukan karena perintah Allah Swt. atau bukan karena ingin mendapat ridho Allah Swt. Kalo sampe diniatkan dalam beramal karena ingin dipuji manusia gimana tuh? Duh, nggak tega deh saya nyebutinnya. Soalnya, tuh amal nggak bakalan ada bekasnya alias nggak mendapat ridho Allah Swt. Amal kita jadi sia-sia, Bro. Ih, nggak mau kan kita beramal tapi nggak dapat pahala? Amit-amit deh!
Bro en Sis, ikhlas adalah melakukan amal, baik perkataan maupun perbuatan ditujukan untuk Allah Ta’ala semata. Allah Swt. dalam al-Quran menyuruh kita ikhlas, seperti dalam firmanNya (yang artinya): “dan (aku telah diperintah): "Hadapkanlah mukamu kepada agama dengan tulus dan ikhlas dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS Yunus [10] :105)
Rasulullah saw, juga ngingetin kita melalui sabdanya (yang artinya), “Allah tidak menerima amal kecuali apabila dilaksanakan dengan ikhlas untuk mencari ridha Allah semata.” (HR Abu Daud dan Nasa’i)
Imam Ali bin Abu Thalib r.a juga berkata, “orang yang ikhlas adalah orang yang memusatkan pikirannya agar setiap amal diterima oleh Allah.”
Bro, sekadar tahu aja bahwa ikhlas adalah buah dan intisari dari iman. Seseorang nggak dianggap beragama dengan benar jika tidak ikhlas. Firman Allah Swt (yang artinya): Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS al-An’aam [6]: 162)
Allah Swt. juga berfirman dalam ayat lain (yang artinya), “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” (QS al-Bayyinah [98]: 5)
Imam Syafi’i pernah memberi nasihat kepada seorang temannya, “Wahai Abu Musa, jika engkau berijtihad dengan sebenar-benar kesungguhan untuk membuat seluruh manusia ridha (suka), maka itu tidak akan terjadi. Jika demikian, maka ikhlaskan amalmu dan niatmu karena Allah Azza wa Jalla.”
Karena itu nggak heran kalo Ibnu Qayyim al-Jauziyah ngasih perumpamaan seperti ini, “Amal tanpa keikhlasan seperti musafir yang mengisi kantong dengan kerikil pasir. Memberatkannya tapi tidak bermanfaat.” Dalam kesempatan lain beliau menulis, “Jika ilmu bermanfaat tanpa amal, maka tidak mungkin Allah mencela para pendeta ahli Kitab. Jika ilmu bermanfaat tanpa keikhlasan, maka tidak mungkin Allah mencela orang-orang munafik.”
Bro, lawannya ikhlas itu adalah ujub dan riya’. Itulah sebabnya orang yang sekaliber Umar bin Abdul ‘Aziz r.a. pun sangat takut akan penyakit riya’. Ketika ia berceramah kemudian muncul rasa takut dan penyakit ujub, segera ia memotong ucapannya. Dan ketika menulis karya tulis dan takut ujub, maka segera merobeknya. Subhanallah!
Al-Fudhail bin ‘Iyadh mengomentari ayat kedua dari surat al-Mulk (liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amalaa), bahwa maksud dari amal yang ihsan (paling baik) adalah amal yang akhlash (paling ikhlas) dan yang ashwab (paling benar). Ada dua syarat diterimanya amal ibadah manusia, ikhlas dan benar. Amal perbuatan, termasuk ibadah yang dilakukan dengan ikhlas karena Allah semata tetapi pelaksanaannya tidak sesuai dengan syariat Islam, maka amal tersebut tidak akan diterima Allah. Begitu juga sebaliknya, jika perbuatan dan ibadah dilakukan sesuai dengan syariat, tetapi yang melaksanakannya tidak semata-mata ikhlas karena Allah, maka amalnya tidak diterima.
Ikhlaskah kita?
Ikhlaskah kita jika beramal tapi ngarepin imbalan materi? Ah, kamu pasti bisa menilai sendiri deh. Iyalah. Misalnya nih, kalo ortu kamu minta tolong sama kamu untuk belanja kebutuhan dapur ke warung dekat rumah, kemudian kamu minta imbalan ke ortu kamu, ati-ati lho. Itu bisa termasuk nggak ikhlas kamu berbuat. Sebaiknya lurus-lurus aja. Nggak ngerasa ada ruginya alias nothing to lose, gitu lho. Mau dapet materi apa nggak dari apa yang kita usahain, kita nggak peduli. Nolong aja. Apalagi itu sama ortu. Jangan sampe deh ketika ortu minta tolong, eh kita malah pake tarif segala: Jauh-dekat Rp 2000 (idih, emangnya naik angkot!).
Bro, kalo kebetulan kamu ditunjuk jadi ketua OSIS atau ketua Rohis, nggak usah ngarepin materi dari jabatan yang kamu sandang. Kalo kamu beranggapan bahwa dengan menjadi ketua OSIS kamu bakalan bisa dengan mudah narikin iuran dari siswa terus kamu bisa memperkaya diri, wah itu namanya bukan cuma nggak ikhlas tapi udah melakukan penyalahgunaan jabatan.
Bro, meski kita nggak ngarepin imbalan secara materi, tapi yakin deh bahwa apa yang kita lakukan pasti mendapat ganjaran kebaikan lain di sisi Allah Swt. Jadi, nothing to worry about alias nggak perlu cemas dengan jaminan kebaikan dalam bentuk lain yang Allah berikan sebagai ‘imbalan’ atas keikhlasan kita. Intinya sih, jangan ngarepin imbalan dari manusia, cukup ridho dari Allah Ta’ala aja yang kita harepin. Setuju kan?
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Anas bin Malik ra., ia berkata: Aku pernah berjalan bersama Rasulullah saw. Beliau mengenakan selendang dari Najran yang kasar pinggirnya. Tiba-tiba seorang badui berpapasan dengan beliau, lalu menarik selendang beliau dengan kuat. Ketika aku memandang ke sisi leher Rasulullah saw. ternyata pinggiran selendang telah membekas di sana, karena kuatnya tarikan. Orang itu kemudian berkata: Hai Muhammad, berikan aku sebagian dari harta Allah yang ada padamu. Rasulullah saw. berpaling kepadanya, lalu tertawa dan memberikan suatu pemberian kepadanya. (HR Muslim)
Subhanallah, Rasulullah saw. malah memberikan harta (berinfak), padahal orang badui itu memintanya dengan kasar. Tapi itulah Rasulullah saw. sudah mengajarkan kepada umatnya bahwa beramal baik harus ikhlas dan tanpa pertimbangan untung-rugi lagi. Hebat kan, Bro?
Oya, keikhlasan kita juga akan diuji saat kita merasa ingin dilihat oleh orang lain, lho. Kalo mikirin hawa nafsu sih, kadang kita kepikiran ya pengen dilihat oleh teman kita ketika kita berbuat sesuatu. Ketika masukkin duit ke keropak di masjid, kita bahkan kepengin banget diliatin ama temen di sebelah kita. Emang sih, duitnya kita tutupi dengan tangan satunya saat masukkin ke keropak yang diedarkan di masjid kalo ada acara di sana. Apalagi kalo sampe terbersit di pikiran dan hati kita akan adanya decak kagum dari teman yang ngeliat amal kita, “subhanallah ya, dia rajin shadaqahnya”. Duh, itu bisa menodai amalan kita, Bro. Emang nggak mudah berbuat ikhlas ya. Tapi bukan berarti nggak bisa dilakukan.
Saat tampil jadi imam shalat, dan kebetulan bacaan al-Quran kita maknyus alias enak didengerin sama jamaah lain, jangan sampe deh kita punya pikiran ingin dianggap paling hebat. Apalagi kalo sampe diam-diam kita malah mengagumi diri sendiri, “orang lain nggak ada yang bisa kayak saya. Mereka pantas memilih saya jadi imam shalat”. Ah, ngeri deh. Ngeri kalo amalan kita bakalan nguap begitu aja. Insya Allah cara shalatnya sih bener asal ngikutin aturan yang udah ditetapkan dalam fiqih, tapi persoalan niat yang ada di pikiran dan hati bisa merusak amalan baik kita. Bener lho. Gara-gara nggak ikhlas, amal kita jadi sia-sia. Karena kita lebih ngarepin agar diliat oleh orang daripada ingin diliat sama Allah Swt.
Bro en Sis, emang sih kita bisa merasakan langsung kalo targetnya ingin diliat orang. Begitu suara kita mengalun manis dan easy listening saat mendendangkan nasyid terbaru dan kemudian para jamaah penonton konser nasyid tingkat RT yang kita ikutin itu bersorak gembira dan mengelu-elukan kita, pasti deh ada aja sedikit rasa jumawa en bangga diri (gue gitu, lho!). Awalnya sih boleh-boleh aja kita merasa ingin dihargai orang lain. Wajar kok. Tapi yang nggak wajar adalah kita merasa harus memposisikan diri selalu ingin dihargai dan dihormati. Kalo nggak dihargai ngambek dan kecewa. Nah, yang bisa merusak amal kita adalah karena niat yang udah tercemar “ingin selalu diliat orang”. Padahal, menjadi “dilihat orang” adalah efek samping, bukan tujuan kita dalam berbuat/beramal. Orang yang sering tampil dimuka umum wajar atuh kalo akhirnya dikenal. Tul nggak sih?
Muhasabah diri
Allah Swt. berfirman (yang artinya): “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Hasyr [59]: 18)
Ayat ini merupakan isyarat untuk melakukan muhasabah setelah amal berlalu. Karena itu Umar bin Khaththab ra berkata, “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab” (Ibnu Qudamah, Minhajul Qashidin (terj.), hlm. 478)
Muhasabah di sini artinya senantiasa memeriksa diri kita sendiri. Sudah sejauh mana sih yang kita raih dalam beramal baik. Sudah banyak nggak pahala yang kita perbuat, atau jangan-jangan malah sebaliknya kedurhakaan yang mengisi penuh pundi-pundi amal yang bakalan kita pertanggungjawabkan di hadapan Allah?
Yuk, kita bareng-bareng meningkatkan kualitas amalan kita dan memperbanyak amal shaleh. Senantiasa ikhlas, bersabar, dan bersyukur kepada Allah Swt. Nggak jamannya lagi mengingkari kelemahan kalo sejatinya kita emang lemah dan nggak mampu. Juga nggak perlu malu mengakui kesalahan jika memang kita salah. Jangan menyerang orang lain yang kita tuding sebagai biang kesalahan kita, tapi kita melakukan interospeksi diri. Sebab, kita hidup bersama orang lain. Dan kita memang saling membutuhkan satu sama lain. Kita juga pasti butuh kepedulian dari orang lain (termasuk kita sendiri harus peduli dengan orang lain). Itu sebabnya, kita harus ikhlas menerima teguran dan nasihat dari teman kita. Jangan merasa terhina jika dinasihati. Tapi sebaliknya, merasa diistimewakan karena selalu diingatkan.
Nikmati dunia ini dengan cara yang benar dan tuntunan yang sesuai ketetapan Allah Swt. dan RasulNya. Tak perlu khawatir, karena semua yang diberikan oleh Allah Swt. kepada kita adalah demi kebaikan kita. Tetaplah kita bersama Allah Swt. dan RasulNya. Jalani hidup dengan ikhlas, insya Allah nikmat, bahagia, tanpa perlu merasa was-was. Ikhlas menjadikan kita lebih terhormat di hadapan Allah Swt., juga menjadikan orang lain berusaha mencontoh pribadi kita yang baik. Semoga, kita semua bisa menjadi hamba-hamba Allah Swt. yang senantiasa ikhlas menghadapi berbagai kenyataan hidup sembari berdoa memohon ampun dan pertolongan kepada Allah Sw

Senin, 03 Mei 2010

Arbain Nawawi No. 17 - Berbuat Baik Dalam Segala Urusan 

 

affannur jentrek rojoimo

عن أبي يعلى شداد بن أوس رضي الله عنه عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : " إن الله كتب الإحسان على كل شيء , فإذا قتلتم فأحسنوا القتلة , وإذا ذبحتم فأحسنوا الذبحة وليحد أحدكم شفرته وليرح ذبيحته " رواه مسلم
Dari Abu Ya'la, Syaddad bin Aus radhiyallahu 'anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam beliau telah bersabda : “ Sesungguhnya Allah mewajibkan berlaku baik pada segala hal, maka jika kamu membunuh hendaklah membunuh dengan cara yang baik dan jika kamu menyembelih maka sembelihlah dengan cara yang baik dan hendaklah menajamkan pisau dan menyenangkan hewan yang disembelihnya”.
[Muslim no. 1955]

Kalimat “hendaklah membunuh dengan cara yang baik” berlaku umum mencakup menyembelih, membunuh dalam Qishash, ataupun hukuman pidana lainnya. Hadits ini termasuk salah satu Hadits yang mengandung berbagai macam prinsip atau kaidah. Membunuh dengan cara yang baik itu ialah membunuh tanpa sedikit pun unsur penganiayaan atau penyiksaan. Menyembelih dengan cara yang baik yaitu menyembelih hewan dengan lemah lembut, tidak merebahkannya ketanah dengan keras dan juga tidak menyeretnya, menghadapkannya ke kiblat, membaca basmalah dan hamdalah, memotong urat nadi lehernya dan membiarkannya sampai mati baru dikuliti, mengakui nikmat dan mensyukuri pemberian Allah, karena Allah telah menundukkannya kepada kita, padahal Dia berkuasa untuk menjadikannya sebagai musuh kita dan telah menghalalkan dagingnya untuk kita, padahal Dia berkuasa untuk mengharamkannya.